You are on page 1of 24

Sindrom Silver-Russell

Oleh :
Bob Kevin Pardede

BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK FK UNDIP


SMF KESEHATAN ANAK RSUP Dr. KARIADI
SEMARANG
2016

Daftar Isi
1.
2.
3.
4.

Pendahuluan..........................................................................................................2
Etiologi..................................................................................................................2
Epidemiologi.........................................................................................................4
Penegakan Diagnosis.............................................................................................4
4.1.
4.2.

5.

Diagnosis Banding.................................................................................................7
5.1.
5.2.
5.3.
5.4.

6.

Diagnosis Klinis.............................................................................................4
Diagnosis Molekular......................................................................................7

Intrauterine Growth Restriction.....................................................................7


Sindrom Tiga M.............................................................................................8
Kelainan Instabilitas Kromosom....................................................................8
Fetal Alcohol Syndrome.................................................................................9

Tatalaksana............................................................................................................9
6.1.
6.3.
6.4.
6.5.
6.6.
6.7.
6.8.
6.9.
6.10.
6.11.
6.12.

Pemberian Makan Awal dan Nutrisi...............................................................9


Prosedur Bedah dan Anestesi.......................................................................13
Terapi Growth Hormone..............................................................................14
Bone Age Advancement dan Pubertas..........................................................15
Komplikasi Metabolik Jangka Panjang........................................................16
Masalah Neurokognitif.................................................................................17
Masalah Ortopedik.......................................................................................18
Kelainan maksilofasial.................................................................................19
Kelainan Kongenital Lainnya...................................................................20
Fase dewasa..............................................................................................21
Konseling Genetik....................................................................................21

7. Prognosis.............................................................................................................22
Daftar Pustaka.............................................................................................................23

1. Pendahuluan
Sindrom Silver-Russell (SSR, atau juga dikenal sindrom RussellSilver, SRS) merupakan kondisi yang langka, namun mudah dikenali dan
dihubungkan dengan retardasi pertumbuhan prenatal dan postnatal. Sindrom
ini awalnya dideskripsikan oleh H. K. Silver1 dan A. Russel2 secara terpisah
sebagai kumpulan tanda dan gejala berat badan lahir rendah (BBLR),
perawakanan pendek postnatal, wajah yang khas, dan badan asimetri. Hampir
semua pasien dengan SSR lahir kecil untuk masa kehamilan (KMK).
Etiologi intrauterine growth retardation (IUGR) dan SSR sangat
heterogen. Akan tetapi,

anak dengan dengan SSR dapat dibedakan dari

mereka dengan IUGR atau KMK atau gagal tumbuh dengan adanya ciri yang
khas yaitu makrosefalus relative (didefinisikan lingkar kepala lahir 1,5 SD
melebihi standar deviasi berat dan/atau panjang badan), dahi menonjol, tubuh
asimetri, serta kesulitan makan.
Saat ini, penyebab molekular diidentifikasi pada sekitar 60% pasien yang
didiagnosis sebelumnya secara klinis. Mekanisme molekular yang paling sering
adalah hilangnya metilasi pada kromosom 7 (upd(7)mat; pada ~5-10% pasien). 3
Perlu diingat, etiologi molekular masih belum diketahui pada proporsi yang besar
pada pasien.

2. Etiologi
Sindrom Silver-Russell dapat terjadi dari beberapa penyebab genetik
yang berbeda. Dua penyebab yang telah diketahui pada sebagian besar kasus
yakni: (1) disomi pada kromosom 7 maternal (dimana anak 2 kromosom ibu;
bukan 1 kromosom dari ibu dan 1 dari ayah); dan (2) abnormalitas pada
region kromosom 11p5. Kelainan upd(7)mat ditemukan pada sekitar 5-10%
kasus dan regio imprinted kromosom 11p5 ditemukan pada 40-60% kasus.
Kelainan pada kromosom lainnya seperti kromosom 1, 7, 14, 15, 17, dan 18
telah diteliti mengakibatkan SSR atau sindrom lain mirip SSR.
Kromosom, yang terletak pada inti sel, membawa informasi genetic
tiap individu. Sel tubuh manusia memiliki 46 kromosom. Sepasang
2

kromosom autosomal 1 sampai 22 serta kromosom genosomal X dan Y.


kromosom-kromosom tadi dibagi lagi berdasarkan bagian-bagiannya.
Proses spesifik yang diasosiasikan pada sebagian kasus SSR adalah
genetic imprinting. Setiap orang memiliki 2 salinan untuk setiap gen 1
salinan dari ayah dan 1 salinan dari ibu. Pada sebagian besar kasus, kedua gen
teraktivasi. Akan tetapi,

beberapa gen akan tetap silent atau inaktif

tergantung dari orang tua yang mana gen tersebut berasal (genetic
imprinting). Genetic imprinting dikendalikan oleh pengaturan kimia melalui
proses yang disebut metilasi. Genetic imprinting yang adekuat penting untuk
perkembangan yang normal. Kecacatan imprinting telah diasosiasikan dengan
beberapa kelainan.
Gen imprinted cenderung ditemukan secara klaster atau berkelompok.
Beberapa gen imprinted ditemukan secara klaster pada kromosom 11p15.5.
klaster dibagi menjadi 2 regio fungsional yang dikenal regio pusat imprinting
atau imprinting centers regions (ICR1 dan ICR2). Para peneliti telah
mengidentifikasi beberapa gen imprinted spesifik yang diatur oleh pusat
imprinting. Gen-gen ini memiliki peran penting dalam meregulasi
pertumbuhan janin. Abnormalitas pada region ini mengakibatkan kelainan
overgrowth yang dikenal sebagai sindrom Beckwidth-Wiedermann.
Peneliti menunjukkan abnormalitas yang bertolak belakang pada regio
gen ini berkontribusi pada terjadinya SSR. Peneliti memperkirakan 30-60%
kasus SSR disebabkan oleh gangguan, terutama hipometilasi yang mengenai
region IC1 pada kromosom 11. Dua gen, H19 diekspresikan secara maternal
dan IGF2 yang diekspresikan secara paternal, diyakini berperan terhadap
kejadian RSS, melalui ekspresi yang berlebih atau kurang. Penelitian lebih
lanjut diperlukan untuk mempelajari mengenai gen-gen ini dan mekanisme
genetik yang kompleks yang bertanggung jawab akan kejadia RSS.
Sekitar 10% kasus RSS disebabkan oleh gangguan genetic imprinting
yang terjadi karena kelainan kromosomal spesifik yang dikenal disomi
kromosom 7 uniparental. Seperti yang disebutkan di atas, dengan disomi
uniparental, seseorang mendapatkan 2 salinan kromosom (atau bagian dari
kromosom) dari satu orang tua; bukan masing-masing satu dari kedua orang

tua. Salah satu penyebab RSS terjadi karena kedua salinan kromosom 7
didapat hanya dari ibu (disomi uniparental maternal). Akibatnya, terdapat
terlalu banyak gen yang diekspresikan secara maternal pada region ini dan
tidak cukup gen yang diekspresikan secara paternal. Disomi uniparental
maternal terjadi setelah fertilisasi (post-zigotik) sehingga risiko kejadian
berulang pada kehamilan berikutnya sangat kecil walaupun faktor usia ibu
juga diperkirakan ikut berperan.
Kejadian SSR secara familial, meskipun jarang, pernah tercatat. Pada
kasus-kasus yang jarang ini, SSR mungkin diturunkan secara autosomal
dominan atau resesif. Penyakit genetik ditentukan oleh kombinasi gen pada
trait tertentu yang diterima dari kromosom ayah dan ibu.

3. Epidemiologi
Secara global, insidens SSR diperkirakan antara 1:30.000 hingga
1:100.000.4 Tahun 2015, penelitian di Estonia5 memperkirakan insidens
sejumlah 1:70.000; akan tetapi, studi ini hanya menginklusi kasus yang telah
dikonfirmasi secara molekular, sehingga bisa terjadi underdiagnosis. Tidak
ada perbedaan jumlah penderita SSR secara gender.
Di masa lalu, banyak bayi dengan IUGR dan normosefal keliru
terdiagnosis dengan SSR. Kasus lain (karena kesulitan dalam diagnosis)
dapat tidak terdiagnosis atau terjadi misdiagnosis, sehingga sulit untuk
menentukan frekuensi yang sesunggguhnya pada populasi umum.

4. Penegakan Diagnosis
4.1.

Diagnosis Klinis
Diagnosis SSR saat ini berdasarkan kombinasi ciri karakteristik. Uji
molekular dapat mengkonfismasi diagnsosis padda sekitar 60% pasien. (REF) Uji
molekular memungkinkan untuk membagi pasien SSR ke dalam subkelompok,
sehingga tatalaksana dapat lebih disesuaikan. Akan tetapi, hasil pemeriksaan
molekular yang negative ditemukan pada proporsi besar padda pasien dengan

manifestasis klinis SSR. Pada pasien-pasien ini, penegakan diagnosis ini berguna
untuk pemberian terapi (termasuk growth hormone [GH], penelitian lebih lanjut
untuk identifikasi etiologi fenotip SSR.
Akan tetapi, diagnosis SSR cukup sulit, karena kondisi yang bervariasi pada
penderita dan keparahan yang berbeda, serta temuan klinis lainnya yang tidak
spesifik. Hingga saat ini, belum ada consensus yang telah mencapai definisi klinis
SSR. Kurangnya consensus ini yang mungkin mengakibatkan underdiagnosis
ataupun overdiagnosis, terutama pada klinisi yang tidak familiar dengan SSR.
Beberapa sistem skoring klinis telah diajukan, yang menunjukkan bahwa
adanya tantangan dalam penegakan diagnosis yang pasti. Semua sistem yang ada
menggunakan kriteria yang serupa, namun berbeda dalam jumlah atau definisi yang
dibutuhkan dalam menegakkan diagnosis SSR.
Sebuah konsensus yang disusun oleh COST Action BM1208, European
Society of Pediatric Endocrinology, Pediatric Endocrine Society, Asia Pacific
Pediatric Endocrine Society, dan Sociedad Latino-Americana de Endocrinologia
Pediatrica merangkum rekomendasi-rekomendasi untuk pemeriksaan, penegakan
diagnosis, dan tatalaksana SSR.6 Konsensus ini menganjurkan sistem skoring klinis
yang dianjukan oleh Azzi et al7 yaitu Netchine-Harbison (NH-CSS; The NetchineHarbison clinical scoring system) pada 2015, adalah sistem skoring satu-satunya
yang dikembangkan berdasarkan data prospektif (Tabel 1). Empat dari enam kriteria
yang digunakan bersifat objektif; dahi yang menonjol dan kesulitan makan yang
bersifat subjektif, namun diberikin definisi yang jelas. Menggunakan studi kohort
yang sama, NH-CSS memiliki nilai sensitivitas 98% dan memiliki nilai negative
predictive value tertinggi yakni 89%, sehingga tingkat kepercayaan untuk
mengeksklusi pasien yang tidak memenuhi 4 dari 6 kriteria RSS lebih tinggi. Akan
tetapi, seperti sistem skoring lainnya, NH-CSS memiliki spesivitas yang rendah
(36%),7

dimana dengan skoring ini dapat mengakibatkan positif palsu apabila

diagnosis hanya berdasarkan penemuan klinis.


Tabel 1 Sistem skoring klinis Netchine-Harbison7
Kriteria klinis
Definisi
KMK (berat dan/atau 2 SD untuk usia kehamilan

panjang badan)
Gagal tumbuh postnatal

Tinggi pada usia 24 1 bulan 2 SD atau tinggi 2 SD

dibawah tinggi potensi genetic


Makrosefalus relatif saat Lingkar kepala saat lahir 1,5 SD di atas berat
lahir
Dahi menonjol

dan/atau panjang badan


Dahi menonjol melewati bidang wajah dilihat dari

Badan asimetri

samping pada usia 1-3 tahun


LLD 0,5 cm atau lengan asimetri atau LLD < 0,5 cm
dengan sedikitnya 2 bagian tubuh lain yang asimetri

Kesulitan

(salah satu nya selain wajah)


makan BMI 2 SD pada usia 24 tahun atau masih

dan/atau BMI rendah

menggunakan

selang

makan

atau

mengonsumsi

kriptoheptadin menstimulasi nafsu makan


Diagnosis secara klinis dipertimbangkan apabila memenuhi 4 dari 6 kriteria diatas. Apabila uji
molekular normal dan diagnosis banding telah disingkirkan, pasien-pasienyang telah memenuhi
setidaknya 4 kriteria, maka dapat dimasukkan sebagai diagnosis SSR. LLD, leg length
discrepancy/selisih panjang tungkai; SD, standar deviasi; KMK, kecil untuk masa kehamilan.

Selain manifestasi klinis yang dijadikan kriteria diagnosis klinis SSR, gejala
dan tanda yang bervariasi pada pasien SSR juga ditemukan. (Tabel 2)
Tabel 2 Temuan klnis lain pada SSR
Temuan klinis

Frekuensi % (jumlah total


pasien)

Wajah segitiga

94 (164)

Klinodaktili digiti V

75 (319)

Dimple pada bahu

66 (61)

Mikrognatia

62 (115)

Massa otot yang rendah

56 (103)

Keringat berlebih

54 (106)

Telinga low-set dan/atau posisi posterior

49 (266)

Sudut bibir turun

48 (176)

Suara nyaring

45 (26)
6

Tumit menonjol

44 (61)

Fontanel terlambat menutup

43 (47)

Kelainan genital pria

40 (85)

Keterlambatan bicara

40 (189)

Gigi ireguler atau bertumpuk

37 (195)

Keterlambatan motorik

37 (254)

Sindaktili jari kaki

30 (264)

Hipoglikemia

22 (103)

Scoliosis dan/atau kifosis

18 (227)

Temuan klinis lain yang dilaporkan pada pasien SSR yang telah dirangkum oleh Wakeling et al. 8

4.2.

Diagnosis Molekular
Hasil uji molekular positif mengkonfirmasi diagnosis klinis. Hasil uji ini juga dapat
menstratifikasi menjadi subkelompol molekular yang spesifik, sehingga membantu
dalam tatalaksana yang lebih baik.

5. Diagnosis Banding
Gejala-gejala pada penyakit lain mungkin saja menyerupai SSR. Beberapa kondisi
berikut mungkin dapat dipertimbangkan sebagai diagnosis banding:

5.1.

Intrauterine Growth Restriction


Pertumbuhan lambat sebelum kelahiran atau IUGR dapat terjadi pada
sejumlah kasus kelainan kongenital yang berbeda;

semua kelainan ini

termasuk dalam diagnosis banding SSR. Kelainan ini mencakup Mulibrey


nanism, dan banyak kelainan kromosomal lainnya seperti mosaic sindrom
Turner, miksoploidi diploid/triploid, delesi 12p14 dan delesi 15z26.3.
Meskipun kelainan-kelaianan ini memiliki gejala dan tanda yang menyerupai
7

SSR, mereka umumnya memiliki ciri fisis yang membedakan dari SSR.
Kunci pembeda adalah sering kali makrosefalus (SSR) dan mikrosefalus.

5.2.

Sindrom Tiga M
Sindrom Tiga M atau Three M syndrome adalah kondisi genetic yang
langka ditandai dengan BBLR, perawakan pendek (dwarfism), ciri abnormal
pada kraniofasial, malformasi skeletal yang nyata, dan /atau kelainan fisis
yang lain. Penamaan Tiga M merujuk pada inisial peneliti awal kelaianan
ini (J. D. Miller, V. A. McKusick, P. Malvaux). Ciri malformasi kraniofasial
yaitu kepala yang panjang dan sempit (dolikosefalus), dahi yang menonjol
berlebihan (frontal bossing), dan wajah segitiga dengan dagu yang menonjo
dan lancip, telainga yang besar, dan/atau pipi datar abnormal. Sebagai
tambahan, pada beberapa anak, gigi dapat dijumpai berkumpul di satu bagian;
sehingga terjadi maloklusi. Kelaianan skeletal diasosiasikan dengan kelaiann
ini termasuk tulang yang tipis, terutama bagian diafisis tulang panjang pada
lengan dan tungkai; tulang vertebra yang panjang dan tipis secara abnormal. ;
dan/atau malformasi pada kostae dan skapula. Individu yang mengalami
kelainan ini juga memiliki kelaianan tambahan termasuk klinodaktil, digiti V
yang terlalu pendek, dan/atau peningkatana fleksibilitas sendi. Rentang serta
keparahan ciri fisis bervariasi antarra kasus yang satu dan yang lainnya.
Tingkat intelektual umumnya normal. Sindrom Tiga M diturunkan secara
resesif autosomal.

5.3.

Kelainan Instabilitas Kromosom


Kelainan instabilitas kromosom seperti anemia Fanconi, sindrom
Bloom, dan sindrom Nijmegen breakage dapat memilki gejala serupa dengan
SSR. Pada individu dengan kondisi ini, kromosom di dalam sel tidak stabil
dan rentan untuk rusak dan terbentuk kembali dengan mudah (intabilitas
kromosom), kerusakan deoxyribonucleic acid (DNA) ditemukan di dalam sel.

DNA adalah pembawa kode genetic dan kerusakan pada DNA sebetulnya
normal terjadi tiap harinya. Pada kebanyakan normal, kerusakan di DNA
dapat diperbaiki. Akan tetapi, pada individu yang mengalami kelainan ini,
bongkar-pasang DNA terjadi lebih sering dan tubuh memperbaiki dengan
lebih lambat atau gagal memperbaiki kerusakan tersebut. Kelainan-kelainan
ini sering dihubungkan dengan IUGR dan perawakan pendek dengan adanya
tambahan gejala seperti ekstrimitas tubuh abnormal dan fotofobia.

5.4.

Fetal Alcohol Syndrome


Fetal alcohol syndrome (FAS) adalah kumpulan gejala khas kecacatan
mental dan fisik kongenital akibat konsumsi alcohol oleh ibu pada masa
kehamilan. Rentang dan tingkat keparahan dari satu kasus ke kasus lainnya
cukup luas. Akan tetapi, ciri khas kelianan ini termasuk retardasi
pertumbuhan prenatal dan postnatal; malformasi kranifasial; kelainan otak;
dan/atau kelainan fisik lainnya. FAS juga diasosiasikan dengan retardasi
mental dengan derajat yang bervariasi, kelainan belajar, dan/atau gangguan
perilaku, dan pada kasus tertentu, dapat muncul tanpa disertai dengan
kelainan fisis yang nyata.

6. Tatalaksana
SSR bermanifestasi pada spektrum kelainan fisik yang luas dan
abnormalitas fungsi tubuh. Penatalaksanaan SSR harus dilakukan secara
multidisiplin terdiri dari subspesialis endokrin anak, gastroenterology anak,
ahli gizi, ahli genetic klinis, tim kranifasial, bedah ortopedi, ahli saraf,
therapist bicara dan bahasa, serta psikolog.8

6.1.

Pemberian Makan Awal dan Nutrisi


Tipikal neonatus dengan SSR adalah memiliki nilai SD panjang badan
(PB) di bawah berat badan (BB); namun setelah lahir, karena nafsu makan
9

yang buruk, kesulitan makan, serta masalah pencernaan, makan nilai SD BB


turun drastis di bawah PB. Apabila dibiarkan, akan terjadi gagal tumbuh
akibat defisit kalori yang berkepanjangan.8
Kesulitan makan dan gagal tumbuh lebih sering terjadi pada pasien SSR
disbanding pasien yang lahir KMK tanpa SSR. Gagal tumbuh pada anak dengan SSR
dapat disebabkan dari beberapa faktor, mulai dari kesulitan makan (nafsu makan
yang buruk, gangguan oromotor, dan berakibat pada rendahnya asupan kalori) serta
masalah pencernaan secara fungsi ataupun struktur. Masalah pencernaan dan
malnutrisi terjadi di lebih dari 70% pasien dengan SSR, termasuk gastroesophageal
reflux (GER) pada 55% kasus, yang mengakibatkan muntah persisten pada anak d
atas usia 1 tahun. Konstipasi juga sering terjadi, terutama pada usia di atas 2 tahun.
Salah satu stimulant nafsu makan untuk meningkatkan berat badan yang digunakan
pada anak yakni kriptoheptadin. Akan tetapi,

penggunaan stimulant ini masih

membutuhkan penelitian kapan dapat mulai diberikan pada anak dengan SSR.
Target nutrisi utama pada 2 tahun awal kehidupan pasien dengan SSR adalah,
bantuan nutrisi, pencegahan hipoglikemia, dan perbaikan dari BB dan PB akibat
defisit kalori, yang harus dioptimalkan sebelum memulai terapi growth hormone
(GH). Akan tetapi pemantauan ketat harus dilakukan karena kejar-tumbuh yang
terlalu cepat pada anak yang lahir dengan KMK diasosiasikan dengan meningkatnya
risiko penyakit metabolic dan kardiovaskular di kehidupan mendatang.
Anak dengan SSR memiliki komposisi tubuh yang abnormal dengan massa
otot yang rendah, umumnya ringan untuk PB atau tinggi badan (TB).

Rentang

target status nutrisi anak dengan SSR cukup sempit dan tergantung pada massa otot
tiap individu. Perlu diperhatikan, pemberian nutrisi yang sedikit melebihi kebutuhan
(sebagai contoh, berat badan actual per berat badal ideal > 90%) dapat meningkatkan
massa lemak relative dengan cepat. Pertimbangan anak usia 2-4 tahun yang diberikan
terapi GH antara lain: berat 75-85% dari persentil 50 untuk BB/TB dan/atau BMI
12-14 kg/m2, menggunakan pengukuran tinggi pada sisi yang lebih panjang (apabila
ditemukan LLD). Berat badan < 70% BB/TB ideal akan mengganggu kecepatan
tumbuh, meskipun dengan pemberian terapi GH. Pada anak > 4 tahun, target optimal
BMI berdasarkan massa otot.
Rekomendasi:
10

1. Target nutrisi pada tahun-tahun pertama kehidupan adalah penggantian nutrisi


yang kurang dengan pemantauan ketat terhadap kejar-tumbuh yang terlalu
cepat karena meningkatkan risiko metabolic di kemudian hari.
2. Tanyakan/lakukan penapisan awal untuk dismotilitas
usus (GER,
pengosongan isi lambung yang lambat.
3. Diagnosis dan tangani gangguan oromotor

dan/atau

sensori

yang

memengaruhi kemampuan makan.


4. Pada pasien dengan kegagalan makan yang berat namun tidak respons dengan
tatalaksana

standar,

kelainan

anatomis

atau

fungsional

saluran

gastrointestinal, seperti malrotasi, harus disingkirkan.


5. Hindari pemberian makan enteral dengan nasogastric atau gastrotomy tube
apabila anak mampu makan dimana kebutuhan nutrisi telah terpenuhi.
6. Pada kasus kesulitan makan yang ekstrim atau GER, pertimbangkan
pemberian makan enteral secara gastrostomy tube (dengan atau tanpa
fundoplikasi) atau jejustomi transgastrik profil rendah sebagai usaha terakhir
mencegah hipoglikemi dan/atau malnutrisi.
7. Pada kasus pemmberian makan, hindari peningkatan BB berlebihan.

6.2.

Pencegahan Hipoglikemi
Anak-anak dengan SSR, terutama di bawah 5 tahun, memiliki massa
otot dan hati yang rendah, ukuran otak terhadap tubuh yang besar secara
disproposional, dan kesulitan makan,

semua hal ini mengakibatkan

meningkatnya risiko hipoglikemi saat puasa dan berpotensi mengganggu


fungsi neurokognitif. Insidens terjadinya hipoglikemia pada anak-anak ini
sebesar 27%,9 dengan frekuensi tinggi hipoglikemia asimtomatik nocturnal.
Pemantauan kadar keton urin efektif dalam pre-emptying
hipoglikemia yang berhubungan dengan puasa, aktivitas, atau sakit.
Pengukuran ini dapat digunakan untuk menentukan waktu puasa aman bagi
anak, yang mana akan berubah seiring bertambah usia. Hipoglikemia malam
dapat dicegah dengan menambah polimer glucose molekul tinggi (untuk bayi
bawah 10 bulan) atau tepung jagung mentah (untuk anak yang lebih tua atau
dengan risiko)

sebagai makan malam terakhir. Kebersihan gigi penting


11

diperhatikan karena karbohidrat kompleks mempercepat terjadinya kavitas.


Kasus dengan hipoglikemia yang berat, bukan puasa, dan non-ketotik harus
selalu dikenali dan diperiksa lebih lanjut.
Untuk episode puasa preoperative atau keadaan demam, glukosa
(dekstrose 10%) intravena mungkin diperlukan. Anak dengan SSR mungkin
membutuhkan waktu istirahat usus yang lebih lama dibandingkan anak KMK
tanpa SSR sebelum pemberian makan oral atau enteral karena dismotilitas
usus dan dan gangguan makan intrinsik.10
Rekomendasi:
1. Pemantauan ketonuria saat di rumah.
2. Diskusikan rencana bersama dokter anak setempat dan untuk admisi unit
gawat darurat yang segera dan pemberian terapi dekstrosa intravena saat anak
sakit.
3. Anak dengan SSR perlu dirawatinapkan pada kondisi sakit yang berhubungan
dengan ketonuria atau hipoglikemia dan jangan dipulangkan sebelum stabil
secara metabolic atau dapat diberi makan secara adekuat.
4. Glucagon tidak direkomendasikan untuk korekso hipoglikemia, karena
penyimpanan glikogen yang buruk dan terbatasnya kemampuan untuk
gluconeogenesis.
5. Sediakan rencakan emergency saat sakit kepada orang tua.
6. Ajarkan kepada orang tua bagaimana mengenali tanda hipoglikemia,
mengukur keton, dan menentukan waktu puasa aman, cegah hipoglikemia
dengan pemberian kompleks karbohidrat, dan hinderi puasa tanpa
pengawasan medis.
7. Pada kasus hipoglikemia berat, dimana penyebab lain telah disingkirkan dan
jika alternative lain tidak efektif, maka pertimbangkan:
a. Mulai terapi GH lebih awal untuk menunjang sumbeh glukosa
(meningkatkan massa otot dan gluconeogenesis)
b. Pemasangan selang gastrotomi atau jejustomi.

12

6.3.

Prosedur Bedah dan Anestesi


Tindakan bedah apapun harus direncanakan dengaan hati0hati karena
risiko terjadinya hipoglikemia puasa pada pasien SSR. Sebagai akibat dari
rendahnya rasio berat-terhadap-panjang, BMI renda, dan kepala yang besar;
pasien muda dengan SSR juga berisiko mengalami hipotermia di ruang
operasi yang dingin. Banyak anak dengan SSR memiliki mandibular yang
kecil, dimana mempersulit visualisasi jalan napas dan intubasi. Hal lainnya,
anak muda dengan SSR dan malnutrisi mungkin mengalami proses
penyembuhan yang tidak terlalu baik setelah operasi.
Rekomendasi:
1. Konsultasikan masalah yang perlu diperhatikan pasien SSR kepada dokter
bedah dan anestesi sebelum operasi.
2. Pertimbangkan pemberian dekstrosa intravena malam sebelum operasi untuk
menghindari ketonuria dan hipoglikemia.
3. Jadwalkan operasi paling pagi jika memungkinkan.
4. Monitor gula darah dan berikan dekstrosa intravena saat dan setelah operasi.
Jangan pulangkan pasien hingga ketonuria tidak ditemukan dan pasien
mampu makan sendiri secara oral atau enteral.
5. Ikuti protocol pengaturan temperature intraoperative yang sesuai untuk
ukuran pasien, bukan usia.
6. Tunda operasi elektif sampai pasien memiliki gizi yang adekuat.
7. Waspada risiko malnutrisi tinggi setelah operasi dan ikuti petunjuk tata
laksana yang sesuai.

6.4.

Terapi Growth Hormone


Data mengenai TB dewasa pasien SSR yang tidak ditatalaksana masih
terbatas; namun, SSR diasosiasikan dengan penurunan TB dewasa yang
signifikan sekitar -3 SD).11 SSR merupakan indikasi pemberian terapi GH
dibawah pengawasan ahli. Perlu diketahui bahwa SSR adalah satu-satunya
sindrom yang diinklusi pada percobaan klinis terapi GH pada anak
13

perawakan pendek lahir dengan KMK.12 Hasil dari percobaan klinis ini
memvalidasi penggunaan GH pada anak dengan SSR.
Secara keseluruhan, percobaan klinis terapi GH pada pasien lahir KMK
(dimana pasien SSR diinklusi) menunjukkan respons pertumbuhan yang baik dann
meningkatkan taksiran tinggi dewasa sebesar 7-11 cm pada dosis terapeutik. 12 Akan
tetapi, respons pada pasien dengan SSR belum diteliti sampai studi longitudinal dari
Belanda menganalisis respons GH terhadap 62 anak dengan diagnosis klinis
menggunakan NH-CSS dibandingkan dengan 277 anak dengan perawakan pendek
dan non-sindromik lahir KMK. Pada umumnya, studi menunjukkan respons yang
serupa dari kedua kelompok ini (rata-rata peningkatan tinggi yakni 1,3 SD pada
kelompok SSR dan 1,26 SD pada kelompok non SSR); namun, tinggi dewasa akhir
dicapai pada pasien dengan SSR lebih rendah (rata tinggi dewasa -2,17 SD vs -1,65
SD). (REF) Meskipun tinggi rata-rata anak SSR pada awal terapi lebih rendah secara
statistik dibanding anak non-SSR,

terapi GH menunjukkan efek baik terhadap

seluruh subtipe SSR, dengan tren peningkatan TB pada pasien upd(7)mat atau SSR
klinis.
Prediktor kuat dari respons jangka pendek dan jangka panjang terhadap
terapi GH adalah usia dan tinggi berdasarkan nilai SD pada memulainya terapi GH
(yang keduanya berbanding secara terbalik).
Rekomendasi:
1. Tunda terapi GH sampai defisit kalori tertangani
2. Hindari uji stimulasi GH
3. Tujuan dari terapi GH adalah memperbaiki komposisi tubuh (terutama massa
tubuh tanpa

lemak), perkembangan psikomotor dan nafsu makan,

mengurangi risiko hipoglikemia, dan mengoptimalisasi pertumbuhan tinggi


linear.
4. Mulai terapi GH sedini mungkin; usia yang cukup untuk memulai terapi
pada kebanyakan pasien yakni 2-4 tahun; namun, ada beberapa pengecualian
pemberian terapi*.
5. Mulai dosis GH sekitar 35 g/kg per hari. Gunakan dosis terkecil yang telah
menunjukkan efek tumbuh-kejar.

14

6. Hentikan terapi GH jika kecepatan pertumbuhan < 2 cm per tahun dalam


periode 6 bulan dan bone age > 14 tahun pada perempuan atau > 17 tahun
pada pria.
7. Jika respons terapi GH buruk, reevaluasi diagnosis yang mendasarinya, dosis
GH, response IGF1, komplians terapi, dan masalah sistemik perancu lainnya.
8. Pantau kadar IGF1 dan IGFBP3 dalam darah sedikitnya setahun sekali
selama terapi GH.
*

Terapi GH tidak memiliki indikasi spesifik untuk SSR dan diberikan atas indikasi KMK (PB

-2,5 SD; usia >2-4 tahun; dosis 35-70 g/kg/hari) (REF). Pengecualian terapi yaitu:
mengawali pemberian di bawah usia 2 tahun, hipoglikemi puasa berat, malnutrrisi berat,
meskipun dengan nutrisi penunjang, akan dipasang jejustomi jika tidak ada perbaikan; dan
hipotoni muscular berat.

6.5.

Bone Age Advancement dan Pubertas


Publikasi literatur terhadap progres bone age pada pasien SSR maih
terbatas. Keterlambatan bone age awal diikuti dengan pertumbuhan yang
cepat yang terjadi umumnya usia 8-9 tahun, namun terkadang terjadi di usia
lebih muda, terutama pada anak-anak yang diberika makan berlebih secara
non-volitional. Onset pubertas umumnya dalam rentang yang normal (8-13
tahun pada perempuan dan 9-14 tahun pada pria) namun fase pubertas
beraakhir lebih awal. Adrenarche dapat

terjadi lebih awal dan agresif

dibandingkan pada anak yang lahir KMK non-SSR, terutama pada subtype
11p15 LOM.
Rekomendasi:
1. Monitor tanda andrenarche premature, pubertas sentral yang terjadi cukup
awal dan cepat, serta resistensi insulin.
2. Monitor dan antisipasi akselerasi bone age terutama mulai dari fase mid
kanak-kanak.
3. Pertiimbangkan personalisasi terapi GnRHa untuk setidaknya 2 tahun untuk
anak dengan bukti pubertas sentral (mulai dari usia tidak lebih dari 12 tahun
pada perempuan dan 13 pada pria) untuk mencapai potensi tinggi dewasa.
15

6.6.

Komplikasi Metabolik Jangka Panjang


Individu yang lahir dengan BBLR memiliki risiko gangguan
kesehatan seperti penyakit jantung coroner, hipertensi, dyslipidemia,
resistensi insulin, dan obesitas (sindrom metabolic) lebih tinggi. Studi
menunjukkan kecenderungan anak lahir KMK yang mengalami kejar-tumbuh
yang terlalu

cepat atau disproporsional memiliki risiko yang disebutkan

sebelumnya.13
Resistensi insulin pada anak usia muda dan pre-pubertal umumnya
bersifat atipikal dan sulit dideteksi pada saat puasa; namun, toleransi glukosa
terganggu dapat dikonfirmasi dengan tes toleransi glukosa oral (TTGO).14
Resistensi insulin terjadi lebih sering pada kelompok usia pubertal atau postpubertal dengan adanya peningkatan kadar gula darah puasa dan insulin, dan
kemungkinan terjadinya diabetes mellitus tipe 2.
Secara keseluruhan, terapi GH memiliki efek metabolic positif pada
anak lahir KMK, namun data spesik terhadap SSR masih terbatas. Banyak
studi longitudinal terapi GH terhadap anak KMK menunjukkan luaran positif,
seperti peningkatan massa badan tanpa lemak, massa lemak berkurnag,
penurunan tekanan darah, dan perbaikan profil lemak, yang bertahan setelah
terapi dihentikan.
Rekomendaasi:
1. Hindari peningkatan berat badan yang berlebihan atau terlalu cepat untuk
menghindari resistensi insulin, yang berhubungan dengan adrenarche yang
terlalu awal dan cepat, pubertas sentral yang terlalu awal, dan ppada
perempuan, meningkatnya risiko sindrom polikistik ovarium. (REF)
2. Sampaikan kepada praktisi klinis lainnya mengenai pentingnya untuk tidak
overfeeding pada kelompok ini.
3. Infokan kepada orang tua atau pengasuh mengenai risiko reistensi insulin
berhubungan dengan IUGR dan overfeeding.

16

4. Lakukan penapisan indikator fisis dan biokimia resistensi insulin selama


terapi GH, terutama pada anak dengan massa otot yang rendah dan kadar
baseline IGF1 yang tinggi.
5. Pada pasien dengan tanda klinis resistensi insulin, pertimbangkan untuk
pemeriksaan TTGO 2 jam post prandial termasuk pengukuran kadar insulin
dan C-peptide.
6. Edukasi mengenai diet dan gaya hidup sehat pada anak yang lebih tua atau
dewasa muda dan tekankan kalori diet protein kalori seimbang dan olahraga
teratur untuk menghindari peningkatan berat badan yang disproporsional,
terutama setelah penghentian terapi GH.
6.7.

Masalah Neurokognitif
Keterlambatan motorik dan bicara sering terjadi pada anak dengan
SSR.15 Keterlambatan otorik berhubungan dengan berkurangnya massa otot
dan ukuran kepala yang relatif besar disbanding tubuh. Dispraksia verbal dan
keterlambatan perkembangan global atau kesulitan belajar, ummumnya
ringan, dapat terjadi pada anak dengan SSR, terutama dengan upd(7)mat.
Autistic spectrum disorder (ASD) dilaporkan terjadi lebih sering pada
kelompok anak-anak subtipe ini. Dystonia mioklonal pada padsien dengan
upd(7)mat mungkin berhubungan dengan perubahan ekspresi dari SGCE
pada kromosom 7q21 yang diekspresikan secara paternal.
Rekomendasi:
1. Rujuk bayi dan anak dengan SSR untuk pemeriksaan perkembangan jika
perlu untuk memastikan intervensi yang sesuai sedini mungkin.
2. Pada pasien dengan upd(7)mat, periksa gejala dystonia mioklonal pada setiap
pertemuan dan rujuk ke subspesialis neurologi jika diperlukan
3. Monitor anak dengan upd(7)mat untuk tanda dispraksia verbal atau oromotor
dan/atau tanda ASD.
4. Lakukan follow-up untuk anak SSR usia sekolah untuk mendeteksi adanya
kesulitan belajar, psikososial dan/atau keterlambatan kognitif agar intervensi
yang sesuai dapat diberikan.

17

6.8.

Masalah Ortopedik
Masalah ortopedik yang kerap diasosiasikan dengan SSR yaitu
tungkai atau tubuh asimetri, scoliosis, dysplasia panggul, dan/atau anomali
kaki.
Ekstrimitas asimetri dapat mencakup, lengan, tungkai, atau keduanya. Pada 7
pasien yang didiagnsosis SSR klinis, perbedaan panjang ekstremitas tidak
dipengaruhi oleh terapi GH secara signifikan. Operasi limb lengthening dilakukan
untuk menyeimbangkan panjang ekstrimitas pada pasien SSR menunjukkan hasil
yang positif.16
Scoliosis dilaporkan pada 9-36% pasien dengan SSR. Hubungan kausal
dengan panjang tungkai yang asimetri masih belum jelas. Keluhan nyeri punggung
dilaporkan secara inkonsisten. Terapi GH mungkin berhubungan dengan perburukan
scoliosis yang telah ada; akan tetapi penyebab pastinya masih belum jelas.
Rekomendasi:
1. Jika diperlukan, rujuk ke bagian ortopedi anak untuk tatalaksana yang
kolaboratif untuk tubuh asimmetri, perbedaan panjang ekstremitas, dan
scoliosis.
2. Pemeriksaan rutin untuk scoliosis unutk semua pasien dengan SSR.
3. Sebelum memulai terapi GH, rujuk pasien dengan scoliosis ke tim ortopedik
untuk pemantauan selama terapi GH.
4. Evaluasi tungkai asimetri secara teratur dan pertimbangkan tatalaksana
ortopedik jika diperlukan.

6.9.

Kelainan maksilofasial
SSR ditandai dengan kraniofasial yang disproporsional, yang
menjadikan wajah berbentuk segitiga. Keterlambatan erupsi gigi, mikrodonti,
tidak munculnya gigi tetap, dan kodilus yang tumpul dilaporkan pada pasienpasien dengan SSR.
Arkus rahang atas umumnya sempit dan crowded, namun crowding
dapat lebih parah pada arkus bawah, dengan posisi incisor bawah terletak di
posisi lingual. Mikrognatia cukup sering dijumpai, dengan pertumbuhan
18

mandibular yang kurang baik, sehingga dagu tampak kecil, runcing dan
overbite. Anak dengan asimetri wajah yang nyata mungkin mengalammi
crossbite yang mengganggu proses mengunyah. Insufisiensi velofaringeal
dengan atau tanpa summbing submukosa cukup sering terjadi pada pasien
dengan 11p15 LOM. Otitis media sering dialami oleh anak muda dengan
SSR dan tampak adanya perbaikan dengan tatalaksana orthodonti.
Intervensi ortodonti pada anak dengan SSR dapat membantu menormalisasi
fungsi orofaringeal dan penampilan wajah. Tim kraniofasial yang ideal adalah ahli
ortodonti, bedah plastic, dan THT yang berpengalaman, beberapa teknik ortoddonti
pernah diterapkan dan dilaporkan berhasil. Saat ini, rapid palatal expansion adalah
teknik yang paling efektif untuk mengubah bentuk wajah. (REF)
Banyak pasien dengan SSR melaporkan kelelahan waktu siang yang
berlebihan, mendengkur, dan/atau tidur yang terganggu. Akan tetapi, data mengenai
gangguan tidur terhadap populasi ini masih terbatas. Sebuah studi retrospektif
mengidentifikasi adanya gangguan bernapas saat tidur yang ringan pada 74% pasien
SSR (tidak diperparah dengan terapi GH). Penelitian lebih lanjut masih diperlukan.
Rekomendasi:
1. Bangun sistem rujukan dengan tim maksilofasial atau ortodonti yang
berpengalaman menangani kasus SSR.
2. Reujuk pasien ke tim maksiofasial untuk penilaian setelah erupsi gigi susu
pertama jika diperlukan.
3. Sarankan untuk intervensi ortodonti awal dalam kepatuhan untuk tidak
lanjutnya.
4. Lakukan penapisan untuk gangguan napas saat tidur, seperti mendengkur,
apnea, kelelahan di siang hari yang berlebihan, sering terbangun saat malam,
dan agitasi.
5. Rujuk pasien yang dicurigai memiliki gangguan napas saat tidur ke spesialis
yang sesuai unutk evaluasi obstructive sleep apnea (OSA).

19

6.10.

Kelainan Kongenital Lainnya

Kelainan kongenital telah dikenali pada sebagian kecil pasien SSR, terutama dengan
11p15 LOM. Abnormalitas genitalia seperti kriptokidism dan hipospadia, sering
terjadi pada anak laki-laki.17 Sindrom Mayer-Rokitansky-Kuster-Hauser pada pasien
perempuan ditandai dengan hypoplasia kongenital atau aplasia dari uterus atau
bagian atas vagina.17 Anomali pada struktur renal dan cacat jantung kongenital juga
pernah dilaporkan.
Rekomendasi:
1. Investigasi kelainan genitalia pada anak laki-laki.
2. Investigasi anak perempuan dengan amenorea primer untuk sindrom MayerRokitansky-Kuster-Hauser.

6.11.

Fase dewasa
Sedikit informasi yang tersedia di literature mengenai perjalanan kondisis

SSR jangka panjang. Kebanyakan individu dengan SSR tidak ditindaklajuti secara
rutin, dan hanya sebagian kecil pasien dewasa yang melaporkan adanya gangguan
medis. Akan tetapi, telah diteliti bahwa lahir KMK dengan peningkatan berat badan
terhadap panjang yang terlalu cepat, terutama pada awal kehidupan, meningkatkan
risiko masalah metabolic di masa mendatang. Masalah medis yang pernah dilaporkan
oleh pasien dewasa dengan 11p15 LOM yaitu hipertensi, dilated cardiomyopathy,
DM tipe 2, hiperkolesteremia, infiltration fatty liver, peningkatan kadar gula darah
dan HbA1c; namun, laporan ini mungkin tidak bisa merepresentasikan keseluruhan
populai SSR.
Rekomendasi:
1. Pertimbangkan tindak lanjut medis kepada remaja atau dewasa muda dengan
SSR atau bentuk kolaborasi dengan tim ilmu penyakit dalam.
2. Hindari putus kontak dengan pasien dengan SSR untuk memfasilitasi
partisipasi mereka dengan penelitian di masa datang.
20

6.12.

Konseling Genetik

Konseling genetic yang akurat tergantung pada penyebab molekular yang


mendasarinya. Kelaianan kromosom 11p15 LOM memiliki risiko rekurensi yang
rendah (umumnya saudara kandung pasien SSR normal). Risiko anak SSR memiliki
anak dengan SSR juga rendah.
Kasus familial SSR yang langka pernah dilaporkan dengan mekanisme yang
mendasarinya yaitu: duplikasi 11p15 yang diturunkan secara maternal; mutasi gainof-function gen CDKN1C yang diturunkan secara maternal; dan mutasi loss-offunction IGF2 yang diturunkan secara paternal. Pada keluarga ini, risiko rekurrensi
sebesar 50%. Kelainan upd(7)mat diasosiasikan dengan risiko rekurensi yang rendah.
Risiko saudara kandung untuk mengalami SSR dari penderita dengan SSR klinis
jjuga rendah.
Rekomendasi:
1. Konseling genetic sebaiknya dilakukan dengan tenaga yang berpengalaman
di didang kelainan imprinting.

7. Prognosis
Prognosis pasien SSR umumnya baik, hanya pada sebagian kasus
ditemukan gangguan belajar

21

Daftar Pustaka

1.

Silver HK, Kiyasu W, George J, et al. Syndrome of congenital hemihypertrophy,


shortness of stature, and elevated urinary gonadotropins. Pediatrics.
1953;12(4):368-76.
2. Russell A. A syndrome of intra-uterine dwarfism recognizable at birth with
cranio-facial dysostosis, disproportionately short arms, and other anomalies (5
examples). Proc R Soc Med. 1954;47(12):1040-4.
3. Netchine I, Rossignol S, Dufourg MN, et al. 11p15 imprinting center region 1
loss of methylation is a common and specific cause of typical Russell-Silver
syndrome: clinical scoring system and epigenetic-phenotypic correlations. J Clin
Endocrinol Metab. 2007;92(8):3148-54.
4. Toutain A. Silver-Russell syndrome. Orphanet; 2007; Available from: http://
www.orpha.net/consor/cgi-bin/Disease_Search.php?
lng=EN&data_id=584&Disease_Disease_Search_diseaseGroup=SilverRussellsyndrome&Disease_Disease_Search_diseaseType=Pat&Disease(s)/group
%20of%20diseases=Silver-Russell-syndrome&title=SilverRussellsyndrome&search=Disease_Search_Simple.
5. Yakoreva M. A retrospective analysis of the prevalence of imprinting disorder in
Estonia. Eur J Hum Genet. 2015;23(Suppl. 1):325.
6. Preece MA, Abu-Amero SN, Ali Z, et al. An analysis of the distribution of
hetero- and isodisomic regions of chromosome 7 in five mUPD7 Silver-Russell
syndrome probands. J Med Genet. 1999;36(6):457-60.
7. Azzi S, Salem J, Thibaud N, et al. A prospective study validating a clinical
scoring system and demonstrating phenotypical-genotypical correlations in
Silver-Russell syndrome. J Med Genet. 2015;52(7):446-53.
8. Wakeling EL, Brioude F, Lokulo-Sodipe O, et al. Diagnosis and management of
Silver-Russell syndrome: first international consensus statement. Nat Rev
Endocrinol. 2016.
9. Wakeling EL, Amero SA, Alders M, et al. Epigenotype-phenotype correlations
in Silver-Russell syndrome. J Med Genet. 2010;47(11):760-8.
10. Boonstra VH, Arends NJ, Stijnen T, et al. Food intake of children with short
stature born small for gestational age before and during a randomized GH trial.
Horm Res. 2006;65(1):23-30.
11. Wollmann HA, Kirchner T, Enders H, et al. Growth and symptoms in SilverRussell syndrome: review on the basis of 386 patients. Eur J Pediatr.
1995;154(12):958-68.
12. Jensen RB, Thankamony A, O'Connell SM, et al. A randomised controlled trial
evaluating IGF1 titration in contrast to current GH dosing strategies in children
born small for gestational age: the North European Small-for-Gestational-Age
Study. Eur J Endocrinol. 2014;171(4):509-18.

22

13. Lauren L, Jarvelin MR, Elliott P, et al. Relationship between birthweight and
blood lipid concentrations in later life: evidence from the existing literature. Int J
Epidemiol. 2003;32(5):862-76.
14. Milovanovic I, Njuieyon F, Deghmoun S, et al. SGA children with moderate
catch-up growth are showing the impaired insulin secretion at the age of 4. PLoS
One. 2014;9(6):e100337.
15. Fuke T, Mizuno S, Nagai T, et al. Molecular and clinical studies in 138 Japanese
patients with Silver-Russell syndrome. PLoS One. 2013;8(3):e60105.
16. Goldman V, McCoy TH, Harbison MD, et al. Limb lengthening in children with
Russell-Silver syndrome: a comparison to other etiologies. J Child Orthop.
2013;7(2):151-6.
17. Bruce S, Hannula-Jouppi K, Peltonen J, et al. Clinically distinct epigenetic
subgroups in Silver-Russell syndrome: the degree of H19 hypomethylation
associates with phenotype severity and genital and skeletal anomalies. J Clin
Endocrinol Metab. 2009;94(2):579-87.

23

You might also like