You are on page 1of 12

1.

Pengertian Hipotermi
Hipotermia adalah penurunan suhu inti tubuh dibawah 35oC (95o F).
Hipotermia dihasilkan saat tubuh tidak dapat memproduksi panas yang cukup
untuk menggantikan panas yang hilang ke lingkungan. Ini dapat terjadi pada
suhu Hipotermia adalah penurunan suhu inti tubuh dibawah 35o C (95o F).
Hipotermia dihasilkan saat tubuh tidak dapat memproduksi panas yang
cukup untuk menggantikan panas yang hilang ke lingkungan. Ini dapat terjadi
pada suhu udara hingga 18,3o C (65o F) atau pada suhu air hingga 22,2o C (72o
F) (Wald, Peter H, 2002:153).
Hipotermia adalah gangguan medis yang terjadi di dalam tubuh, sehingga
mengakibatkan penurunan suhu karena tubuh tidak mampu memproduksi
panas untuk menggantikan panas tubuh yang hilang dengan cepat. Kehilangan
panas karena pengaruh dari luar seperti air, angin, dan pengaruh dari dalam
seperti kondisi fisik (Lestari, 2010, p.2).

2. Faktor Penyebab Hipotermi


Hipotermia terjadi ketika tubuh tidak dapat memproduksi panas yang
cukup untuk menggantikan panas yang hilang keluar ke lingkungan.
Hipotermia dapat terjadi ketika tubuh kehilangan panasnya. Tubuh dapat
kehilangan panasnya melalui radiasi, konveksi, dan evaporasi. Kehilangan
panas yang paling signifikan saat dingin terjadi karena tercelup di air yang
dingin atau terpajan suhu udara yang rendah (dingin) dan angin kencang saat
kondisi berpakaian basah (Wald, Peter H, 2002:151). Suhu tubuh adalah jumlah
panas yang dihasilkan di dalam tubuh, ditambah panas dari lingkungan yang
masuk dan keluar tubuh.
Faktor risiko yang dapat menyebabkan cidera karena dingin (cold injury)
yaitu terkait dengan agent (suhu dingin), host (manusia), dan lingkungan (angin
dingin, kelembaban, durasi terpajan, jumlah aktivitas, dan pakaian pelindung)
(Wald, Peter H, 2002:153). Beberapa faktor risiko cold injury yang terdapat
manusia yaitu keadaan fisik yang buruk, kelelahan, umur (sangat tua atau

sangat muda), kekurangan asupan kalori, memiliki penyakit baik akut maupun
kronik (penyakit jantung).
Selain itu, Joseph Ladou dalam bukunya Current Occupational and
Environmental Medicine mengatakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi
risiko hipotermia ini antara lain adalah suhu udara, kelembaban, kecepatan
angin, durasi pajanan, tipe pakaian/alat pelindung diri, tipe/jenis pekerjaan
yang dilakukan dan hubungannya dengan energi yang dikeluarkan, usia dan
status kesehatan pekerja (Ladou, 2004:122).
Risiko terkena hipotermia akan meningkat karena faktor umur, pekerja
terkontaminasi dengan obat-obatan dan alkohol, sedang menerima perawatan
medis seperti obat tidur, memiliki kelemahan ginjal, diabetes, myxedema,
penyakit saraf yang mempengaruhi hipotalamus atau kelenjar pituitari serta
penyakit jantung yang menyebabkan berkurangnya fungsi kerja jantung
(Ladou, 2004:122)

3. Patofisiologi Hipotermi
Pengaturan suhu tubuh pada dasarnya ditentukan oleh dua hal, yaitu
produksi panas dan hilangnya panas. Kedua hal tersebut yang mengatur
keseimbangan suhu tubuh sehingga tetap berada pada nilai yang normal.
Produksi panas ditentukan oleh:
1.
2.

Metabolisme basal,
Metabolisme ekstra yang disebabkan oleh aktivitas otot, termasuk

3.
4.
5.

panas yang dihasilkan dari kontraksi otot pada keadaan menggigil,


Efek hormon tiroksin dalam meningkatkan laju metabolisme,
Stimulasi simpatetik pada sel oleh hormon katekolamin,
Metabolisme ekstra yang berkaitan dengan proses digestif dan
absorpstif makan (thermogenic effect of food)

Sedangkan kehilangan panas ditentukan oleh :


1.

Tingkat konduksi panas dari area penghasil panas di tubuh terutama


organ dalam menuju permukaan kulit,

2.

Tingkat konveksi dan evaporasi panas dari permukaan kulit terhadap area
sekitar.

Ada dua mekanisme yang mendasari terjadinya penurunan suhu tubuh pada
suatu kejadian trauma, yaitu :
1.
2.

Penurunan produksi panas yang diawali kerusakan sel


Peningkatan kehilangan panas yang disebabkan peningkatan gradien
suhu lingkungan dengan suhu tubuh.
Pada pasien trauma dengan perdarahan, respon tubuh untuk menjaga

keseimbangan carian adalah dengan pelepasan katekolamin dan peningkatan


denyut jantung. Pelepasan katekolamin meningkatkan resistensi vaskular
sehingga cardiac output dan metabolic demand terjaga. Namun jika mekanisme
ini gagal maka pasien akan masuk kedalam tahapan syok. Pada tingkat seluler,
turunnya perfusi yang disebabkan oleh trauma akan menyebabkan delivery
oxygen berkurang sehingga metabolisme selular yang bertujuan untuk
menghasilkan panas yaitu fosforilasi oksidatif di mitokondria terganggu.
Disfungsi ini menyebabkan sel menggunakan jalur metabolisme anaerob, yang
menghasilkan adenosin trifosfat lebih sedikit. Panas tubuh dihasilkan dari
proses hidrolisis adenosin trifosfat menjadi adenosin difosfat. Maka penurunan
jumlah adenosin trifosfat akibat kurangnya

oksigen dalam jaringan

menyebabkan penurunan produksi panas dan terjadilah hipotermi.


Selain itu hipotermia juga dapat terjadi pada pasien trauma disebabkan oleh
peningkatan kehilangan panas. Dikenal istilah thermoneutral zone, yaitu batas
temperatur sekitar dimana produksi panas tepat melampaui dengan jumlah
panas yang hilang dari tubuh. Suhu tersebut sekitar 28C. Jika suhu sekitar
pada pasien kurang dari suhu tersebut, maka kehilangan panas akan lebih
besar dari panas yang dihasilkan. Sumber-sumber yang dapat menyebabkan
penurunan suhu tubuh pada trauma dapat juga berasal dari penggunaan cairan
resusitasi yang tidak hangat, tindakan anastesi, atau tindakan operasi yang
besar seperti laparotomi yang menyebabkan organ terpapar dengan suhu

ruangan yang lebih rendah. Terdapat beberapa jalur mekanisme yang


mengakibatkan perubahan fungsi tubuh pada hipotermia yakni :
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.

Apoptosis, proteolisis yang dimediasi Calpain, dan Disfungsi


Mitokondria
Gangguan pada pompa ion dan neuroeksitatorik seperti kalsium
masuknya, akumulasi glutamat, dan pelepasan yang ko-agonis glisin.
Respon imun dan inflamasi
Produksi radikal bebas
Permeabilitas vaskular, dan edema
Asidosis intrasel dan ekstra sel serta metabolisme selular
Aktivasi koagulasi dan formasi mikrotrombus

Pengaruh Hipotermi Terhadap Sistem Tubuh


1.

Pengaruh terhadap sirkulasi


Dalam hipotermia

ringan,

terjadi

takikardia

awal

dan

vasokonstriksi perifer, dan konsekuen terhadap peningkatan curah jantung.


Tekanan darah meningkat sedikit. Saat suhu jatuh ke hipotermia tingkat
moderat, sebuah bradikardia progresif berkembang sebagai akibat dari
penurunan spontan depolarisasi sel pacu jantung. Pengurangan resultan
curah jantung mungkin juga seimbang oleh resistensi vaskular sistemik
yang meningkat dengan konsekuensi pada respon refleks otonom dan
pelepasan katekolamin.
Denyut jantung jatuh ke 30-40 kali denyut per menit pada 280C.
Pemeriksaan penunjang diperlukan untuk mengetahui keadaan lain yang
mendasari seperti hipoglikemia, hipovolemia, atau konsumsi obat. Pada
suhu yang lebih rendah, bradikardia dapat menjadi ekstrim, dengan tingkat
sekitar 10 kali denyut per menit pada 200C.
Detak jantung adalah manifestasi utama dari hipotermia,
sedangkan fibrilasi ventrikel terjadi sekunder pada keadaan rewarming,
hipokapnia, alkalosis atau manipulasi fisik.
2.

Pengaruh terhadap Darah


Perubahan hematologis yang terkait dengan hipotermia sangat
penting, terutama peningkatan kekentalan darah, fibrinogen, dan
hematokrit. Perubahan permeabilitas pembuluh darah mengakibatkan
hilangnya plasma untuk kompartemen ekstravaskuler, yang menyebabkan

hemokonsentrasi, dan hipovolemia yang menyertainya diperparah oleh


diuresis yang diinduksi oleh keadaan dingin (cold-induced diuresis).
Peningkatan hematokrit sekitar 2% untuk setiap penurunan 10C suhu.
Keadaan hipotermia secara langsung menghambat reaksi enzimatik baik
jalur intrinsik maupun ekstrinsik dari kaskade pembekuan, sehingga
keadaan koagulopati dapat terjadi. Hipotermia juga dapat merusak baik
sintesis endotel dari prostasiklin (PGI2) dan menghambat agregasi platelet,
mempromosikan aktivasi platelet dan trombosis. Deplesi angka leukosit
dapat terjadi sebagai respon terhadap hipotermia.
3.

Pengaruh terhadap Neuromuskular


Efek hipotermi terhadap neuromuskular sering jelas terjadi secara
klinis, dengan kebingungan pada tahap awal dan kadang amnesia dalam
tahap ringan. Sebagaimana suhu turun lebih lanjut, apatis, gangguan
penilaian maupun disorientasi mungkin bisa terjadi. Dysarthria, depresi
progresif kesadaran dan akhirnya koma dapat berkembang, dan kehilangan
kesadaran sering terjadi saat suhu di bawah sekitar 300C. Hilangnya
autoregulasi serebrovaskular pada suhu sekitar 250C

serta penurunan

aliran darah otak oleh 6-7% setiap penurunan suhu 10C. Namun, dalam
hipotermia berat terjadi penurunan tingkat metobolisme yang nyata, dan
dengan demikian otak sangat meningkatkan toleransi terhadap iskemik.
Pada saat suhu tubuh kurang dari 200C, toleransi iskemik adalah sepuluh
kali dari keadaan normotermia. EEG menjadi datar di bawah sekitar 200C.
4.

Pengaruh terhadap Respiratorik


Dalam hipotermia ringan, terjadi takipnea awal, diikuti oleh
penurunan volume permenit dan konsumsi oksigen Sebagaimana saat suhu
tubuh jatuh ke hipotermia tingkat moderat, refleks pelindung saluran napas
berkurang karena penurunan fungsi silia, dan hal ini merupakan
predisposisi terjadinya aspirasi dan pneumonia. Penurunan signifikan
konsumsi oksigen dan produksi karbon dioksida terjadi, keduanya jatuh
sekitar 50% pada suhu 300C. Pada tingkat hipotermia berat, hipoventilasi
progresif dan apnea, dan edema (lebih jarang) paru bisa terjadi.

Adanya pergeseran awal disosiasi kurva oksihemoglobin ke kiri


yang dalam menanggapi turunnya temperatur, yang menghasilkan
gangguan pengiriman oksigen dan hipoksia jaringan, tapi hal ini seimbang
untuk beberapa derajat oleh asidosis laktat yang dihasilkan dan oleh faktor
lain yang memberi kontribusi terhadap asidosis keseluruhan, baik
pernapasan (ekskresi karbon dioksida berkurang) dan metabolisme.
Menggigil sangat dapat meningkatkan produksi laktat, dan pembersihan
oleh hepar bisa terganggu, sering kali terjadi asidosis metabolik selama
rewarming sebagai produk dari metabolisme anaerobik dikembalikan ke
sirkulasi, dan hal ini dapat berkontribusi pada peningkatan risiko aritmia.
Dalam hipotermia berat, asidosis sering mendalam, sehingga ada
keseluruhan bergesernya ke kurva disosiasi Hb-O2 ke kanan. Hal itu
signifikan pada gangguan pengiriman oksigen ke jaringan yang berkurang
karena penurunan permintaan oksigen pada suhu yang lebih rendah.
5.

Pengaruh terhadap Ginjal dan Metabolisme


Dalam hipotermia ringan, terdapat cold-induced diuresis, yang
terjadi sebelum penurunan suhu tubuh yang besar. Hal ini awalnya
dikarenakan peningkatan aliran darah ginjal sebagai akibat dari
vasokonstriksi, kemudian dengan temperatur jatuh, hilangnya kemampuan
tubular distal untuk menyerap kembali air dan perlawanan terhadap
tindakan vasopresin (ADH). Cold-induced diuresis disertai dengan
peningkatan ekskresi urin serta elektrolit, mungkin sebagai akibat dari
penurunan tubular natrium reabsorption. Dalam keadaan hipotermia
moderat, laju filtrasi glomerulus jatuh sebagai akibat penurunan curah
jantung dan berakibat jatuhnya aliran darah ginjal, yang terakhir dari
tersebut dikurangi setengahnya pada suhu 27-300C. Jika hipotermia telah
berkembang pesat, banyak proses yang berbeda dapat menyebabkan
hiperglikemia, yang dapat memberikan kontribusi komponen osmotik

6.

untuk diuresis tersebut.


Pengaruh terhadap gastrointestinal
Motilitas usus menurun di bawah sekitar 340C, mengakibatkan
ileus ketika suhu jatuh di bawah 280C. Oleh karena itu, selang nasogastrik

harus ditempatkan untuk mengurangi kemungkinan aspirasi. Penelitian


pada hewan coba telah menunjukkan bahwa hipotermia meningkatkan
produksi asam lambung dan mengurangi sekresi bikarbonat duodenum, hal
ini merupakan predisposisi terhadap kerusakan mukosa di gaster dan
duodenum. Alasan untuk ini masih belum jelas dipahami, tetapi diduga
akibat trombosis dalam mikrosirkulasi, dan iskemia yang dihasilkan dan
nekrosis perilobular di pankreas. Hal ini mungkin menjadi proses yang
mendasari serupa dengan yang menyebabkan mikro-infark dalam hati,
otak, usus, miokardium, dan organ lainnya.

4. Anamnesa Riwayat Infeksi Sistem Tubuh


Melakukan anamnesa untuk mengetahui status infeksi seseorang dapat
dilakukan dengan memperoleh data dari hasil analisis darah lengkap. Berikut
beberapa hasil DL yang dapat menunjukkan terjadinya infeksi:
1.

Leukosit (Sel Darah Putih)


Hitung Sel Darah Putih (white blood cell count/WBC) adalah
jumlah total sel darah putih. Leukosit tinggi (hitung sel darah putih yang
tinggi) artinya tubuh kita sedang melawan infeksi. Leukosit rendah artinya
ada masalah dengan sumsum tulang. Leukosit adalah sel darah putih yang
diproduksi oleh jaringan hemopoetik yang berfungsi untuk membantu
tubuh melawan berbagai penyakit infeksi sebagai bagian dari sistem
kekebalan tubuh.
Nilai normal :
Bayi baru lahir

9000 -30.000 /mm3

Bayi/anak

9000 12.000/mm3

Dewasa

4000-10.000/mm3

Peningkatan jumlah leukosit (disebut Leukositosis) menunjukkan


adanya proses infeksi atau radang akut,misalnya pneumonia (radang paruparu), meningitis (radang selaput otak), apendiksitis (radang usus buntu),
tuberculosis, tonsilitis, dan Iain-Iain. Selain itu juga dapat disebabkan oleh
obat-obatan misalnya aspirin, prokainamid, alopurinol, antibiotika
terutama ampicilin, eritromycin, kanamycin, streptomycin, dan Iain-Iain.
Penurunan jumlah Leukosit (disebut Leukopeni) dapat terjadi pada
infeksi tertentu terutama virus, malaria, alkoholik, dan Iain-Iain. Selain itu
juga dapat disebabkan obat-obatan, terutama asetaminofen (parasetamol),
kemoterapi

kanker,

antidiabetika

oral,

antibiotika

(penicillin,

cephalosporin, kloramfenikol), sulfonamide (obat anti infeksi terutama


yang disebabkan oleh bakter).
Hitung Jenis Leukosit (Diferential Count) adalah penghitungan
jenis leukosit yang ada dalam darah berdasarkan proporsi (%) tiap jenis
leukosit dari seluruh jumlah leukosit.
Hasil pemeriksaan ini dapat menggambarkan secara spesifik
kejadian dan proses penyakit dalam tubuh, terutama penyakit infeksi. Tipe
leukosit yang dihitung ada 5 yaitu neutrofil, eosinofil, basofil, monosit,
dan limfosit. Salah satu jenis leukosit yang cukup besar, yaitu 2x besarnya
eritrosit (sel darah merah), dan mampu bergerak aktif dalam pembuluh
darah maupun di luar pembuluh darah. Neutrofil paling cepat bereaksi
terhadap radang dan luka dibanding leukosit yang lain dan merupakan
pertahanan selama fase infeksi akut.
a.

Neutrofil (%NEUT)
Berfungsi melawan infeksi bakteri, dan dilaporkan sebagai
persentase leukosit atau %NEUT. Biasa jumlahnya 55-70 %. Jika
neutrofil rendah (disebut neutropenia), seseorang lebih mudah
terkena infeksi bakteri. Penyakit HIV lanjut, obat HIV seperti
gansiklovir (untuk mengatasi virus sitomegalo, AZT (obat

antiretroviral) dapat menyebabkan neutropenia. Peningkatan


jumlah neutrofil biasanya pada kasus infeksi akut, radang,
kerusakan jaringan, apendiksitis akut (radang usus buntu), dan
lain-lain. Penurunan jumlah neutrofil terdapat pada infeksi virus,
leukemia, anemia defisiensi besi, dan lain-lain.
b.

Eosinofil (%EOS)
Eosinofil merupakan salah satu jenis leukosit yang terlibat
dalam alergi dan infeksi (terutama parasit) dalam tubuh, dan
jumlahnya 1 2% dari seluruh jumlah leukosit. Nilai normal
dalam tubuh: 1 4%. Peningkatan eosinofil terdapat pada
kejadian alergi, infeksi parasit, kanker tulang, otak, testis, dan
ovarium.

Penurunan eosinofil terdapat pada kejadian shock,

stres, dan luka bakar.


c.

Basofil (%BASO)
Basofil adalah salah satu jenis leukosit yang jumlahnya 0,5
-1% dari seluruh jumlah leukosit, dan terlibat dalam reaksi alergi
jangka panjang seperti asma, alergi kulit, dan lain-lain.Nilai
normal dalam tubuh: 0 -1%. Peningkatan basofil terdapat pada
proses inflamasi (radang), leukemia, dan fase penyembuhan
infeksi. Penurunan basofil terjadi pada penderita stres, reaksi
hipersensitivitas (alergi), dan kehamilan.

d.

Limposit (%LYMP)
Ada dua jenis utama limfosit yaitu Sel-B untuk membuat
antibodi, protein khusus yang menyerang kuman; dan sel-T untuk
menyerang dan membunuh kuman, serta membantu mengatur
sistem kekebalan tubuh. Salah satu jenis sel-T adalah sel CD4,
yang diinfeksi dan dibunuh oleh HIV. Jumlah limfosit umumnya
20-40 persen leukosit Hitung darah lengkap biasanya tidak
termasuk tes CD4. Tes CD4 ini harus diminta sebagai tambahan.
Hasil hitung darah lengkap tetap dibutuhkan untuk menghitung
jumlah CD4, sehingga dua tes ini umumnya dilakukan sekaligus.

Limposit adalah salah satu leukosit yang berperan dalam proses


kekebalan dan pembentukan antibodi. Nilai normal: 20 35% dari
seluruh leukosit. Peningkatan limposit terdapat pada leukemia
limpositik, infeksi virus, infeksi kronik, dan Iain-Iain. Penurunan
limposit terjadi pada penderita kanker, anemia aplastik, gagal
ginjal, dan Iain-Iain.
e.

Monosit (%MONO)
Monosit atau makrofag diukur sebagai persentase leukosit
(%MONO) dan biasanya 2-8 %. Sel ini melawan infeksi dengan
memakan; kuman dan memberi tahu sistem kekebalan tubuh
mengenai kuman apa yang ditemukan. Monosit beredar dalam
darah. Bila monosit ada di jaringan tubuh, mereka disebut
makrofag. Jumlah monosit yang tinggi menunjukkan adanya
infeksi bakteri. Monosit merupakan salah satu leukosit yang
berinti besar dengan ukuran 2x lebih besar dari eritrosit (sel darah
merah), terbesar dalam sirkulasi darah dan diproduksi di jaringan
limpatik. Nilai normal dalam tubuh: 2 8% dari jumlah seluruh
leukosit. Peningkatan monosit terdapat pada infeksi virus, parasit
(misalnya cacing), kanker, dan Iain-Iain. Penurunan monosit
terdapat pada leukemia limposit dan anemia aplastik.

5. Masalah Perawatan Pada Pasien Dengan Hipotermi


Menurut Indarso F (2001), disamping sebagai suatu gejala, hipotermia
merupakan awal penyakit yang berakhir dengan kematian. Menurut Sandra
M.T (1997), hipotermi yaitu suatu kondisi dimana suhu tubuh inti turun sampai
dibawah 35o C.
Panas yang hilang saat pajanan lama terhadap lingkungan dingin akan
melebihi kemampuan tubuh akan menghasilkan panas, sehingga terjadi
hipotermia. Hipotermia dikelompokkan oleh pengukuran suhu inti. Hipotermia
yang disengaja dapat dilihat selama prosedur operasi untuk menurunkan
kebutuhan metabolisme dan oksigen. Hipotermia yang tidak disengaja biasanya

terjadi secara perlahan dan tidak terlihat selama beberapa jam. Saat suhu tubuh
turun ke 35C, klien mengalami menggigil, kehilangan ingatan, depresi, dan
gangguan akal. Jika suhu tubuh turun di bawah 34,4C, terjadi penurunan
denyut jantung, frekuensi napas, dan tekanan darah. Kulit menjadi sianotik.
Jika hipotermia terus berlanjut, klien akan mengalami distritmi jantung,
kehilangan kesadaran, dan tidak responsif terhadap nyeri. Pada hipotermia
berat, seseorang memperlihatkan tanda klinis seperti kematian (contohnya:
tidak ada respons terhadap stimulus dan pernapasan serta denyut nadi yang
sangat lambat). Saat dicurigai adanya hipotermia, harus melakukan pengukuran
suhu inti. Hipotermia diklasifikasikan melalui pengukuran suhu inti: Ringan:
33-36, Sedang: 30-33, Berat: 27-30, Sangat berat: <30. Termometer
khusus dibutuhkan karena alat standar tidak dapat mengukur dibawah 35C.
Faktor pencetus hipotermia menurut Depkes RI,1992:
a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.

Faktor lingkungan.
Syok.
Infeksi.
Gangguan endokrin metabolik.
Kurang gizi
Obat-obatan.
Aneka cuaca

6. Tindakan Keperawatan Pada Gangguan Pemenuhan Keseimbangan Suhu


Tubuh
1. Penghangatan eksternal pasif merupakan terapi pilihan untuk hipotermia
ringan. Pada teknik ini singkirkan baju basah pasien kemudian tutupi
tubuh pasien dengan selimut atau insulasi lain. Hal ini akan membatasi
pelepasan panas tubuh pasien dan membiarkan tubuh pasien untuk
memproduksi panas tubuh dan meningkatkan suhu inti tubuh karena
pasien dengan hipotermia ringan masih dapat meningkatkan produksi
panas tubuh dengan menggigil.
2. Penghangatan eksternal aktif. Teknik ini digunakan untuk pasien dengan
hipotermia sedang atau untuk pasien yang tidak berespon dengan

penghangatan eksternal pasif. Selimut hangat, mandi air hangat atau


lempeng pemanas digunakan untuk menghangatkan pasien. Selain itu
dapat pula diberikan cairan infus hangat intravena (suhu 39-40 0C) atau
oksigen yang dipanaskan (suhu 42-46 0C) dan dilembabkan. Komplikasi
yang sering terjadi akibat teknik ini adalah afterdrop atau rewarming
shock. Pada penghangatan eksternal terjadi vasodilatasi perifer dan darah
yang dingin dari ekstremitas kembali ke sirkulasi inti tubuh sehingga
dapat terjadi penurunan tekanan darah dan peningkatan kerja miokardium
yang semula tertekan. Hal ini meningkatkan risiko terjadinya fibrilasi
ventrikel.
3. Penghangatan internal aktif digunakan untuk hipotermia berat ini. Dapat
dilakukan dengan hypothermia wrap. Usahakan pasien tetap kering,
dapat dibungkus dengan sleeping bag, jaket kulit, pakaian wool.
Pemberian oksigen hangat dan lembab dengan suhu 420 -460C serta
cairan infus intavena hangat dengan suhu 430C dapat terus diberikan.
Cairan infus intravena yang diberikan adalah cairan NaCl 0,9% atau
cairan intravena campuran dekstrose 5% dalam NaCL 0,9%.

7. Melaksanakan Evaluasi Kebutuhan Keseimbangan Suhu Tubuh


Semua intervensi keperawatan dievaluasi dengan membandingkan respon
aktual klien terhadap hasil yang diharapkan dari rencana perawatan.hal ini
menunjukkan apakah tujuan keperawatan telah terpenuhi atau apakah
dibutuhkan revisi terhadap rencana.

Merupakan bagian lanjut dari proses keperawatan


Setelah perawat melengkapi intervensi, klien harus di evaluasi kembali

untuk mengetahui apakah intervensi yang dilakukan tersebut sudah efektif


Evaluasi proses dikatakan berhasil dengan cara membandingkan hasil

klien yang nyata dengan hasil yang direncanakan


Apabila belum berhasil, perlu dikaji ulang lagi klien tersebut

You might also like