You are on page 1of 51

LAPORAN KASUS

ST-SEGMENT ELEVATION MYOCARDIAL INFARCTION

PEMBIMBING : dr Zainal Safri, Sp. PD, Sp. JP(K)

PENYUSUN : Gajen a/l


Chandran (100100273)
Fona Sunaria

(110100249)

KEPANITERAAN KLINIK RSUP. HAJI ADAM MALIK


DEPARTEMEN KARDIOLOGI DAN KEDOKTERAN VASKULAR
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2015
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang telah memberikan
berkat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan kasus ini
dengan judul ST-Segment Elevation Myocardial Infarction.
Penulisan laporan kasus ini adalah salah satu syarat untuk menyelesaikan
Kepaniteraan Klinik Senior Program Pendidikan Profesi Dokter di Departemen
Kardiologi dan Kedokteran Vaskular, Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera
Utara.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada Dokter
pembimbing, dr. Zainal Safri, Sp. PD, Sp. JP(K), yang telah meluangkan waktunya
dan memberikan banyak masukan dalam penyusunan laporan kasus ini sehingga
penulis dapat menyelesaikannya tepat waktu.
Penulis menyadari bahwa penulisan laporan kasus ini masih jauh dari
kesempurnaan, baik isi maupun susunan bahasanya, untuk itu penulis mengharapkan
saran dan kritik dari pembaca sebagai koreksi dalam penulisan laporan kasus
selanjutnya. Semoga makalah laporan kasus ini bermanfaat, akhir kata penulis
mengucapkan terima kasih.

Medan, 6 Juli 2015

Penulis

DAFTAR ISI
COVER
KATA PENGANTAR................................................................................. ii
DAFTAR ISI............................................................................................... iii
DAFTAR TABEL....................................................................................... iv
DAFTAR GAMBAR.................................................................................. iv

BAB 1 PENDAHULUAN.......................................................................... 1
BAB 2 LAPORAN KASUS....................................................................... 2
BAB 3 DISKUSI......................................................................................... 14
BAB 4 KESIMPULAN.............................................................................. 27
DAFTAR PUSTAKA ...............................................................................

28

DAFTAR TABEL
Tabel 3.1. Tanda dan Gejala pada SKA................................................. 18
Tabel 3.2. Lokasi Infark Berdasarkan sadapan EKG............................. 19
Tabel 3.3. Marka jantung yang sering digunakan.................................. 21
Tabel 3.4. Kontraindikasi fibrinolitik..................................................... 26

DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Evolusi gambaran EKG pada STEMI.................................. 19
Gambar 2. Pendekatan Manajemen STEMI.......................................... 24

BAB 1

PENDAHULUAN
Pembuluh darah koroner merupakan pembawa darah yang berisi oksigen dan
nutrisi untuk otot jantung agar dapat berfungsi dengan baik. Jika terjadi gangguan
pada pembuluh ini, itulah yang dapat menyebabkan penyakit jantung koroner (PJK).
Sindroma Koroner Akut (SKA) merupakan bagian dari PJK (PERKI, 2014). SKA
istilah yang digunakan untuk kumpulan simptom yang muncul akibat iskemia
miokard akut. SKA yang terjadi akibat infark otot jantung disebut infark miokard.
Termasuk di dalam SKA adalah unstable angina pektoris, infark miokard non elevasi
segmen ST (Non STEMI), dan infark miokard elevasi segmen ST (STEMI)
(Ramrakha, 2006).
Infark miokard adalah nekrosis miokard yang berkembang cepat oleh karena
ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen otot-otot jantung (Fenton,
2009). Hal ini biasanya disebabkan oleh ruptur plak yang kemudian diikuti oleh
pembentukan trombus oleh trombosit. Lokasi dan luasnya miokard infark bergantung
pada lokasi oklusi dan aliran darah kolateral (Irmalita, 1996).
Menurut WHO (2008), pada tahun 2002 penyakit infark miokard akut
merupakan penyebab utama kematian di dunia yaitu terhitung sebanyak 7.200.000
(12,2%) di seluruh dunia. Di negara berpenghasilan rendah angka kematian pun
mencapai 2.470.000 (9,4%). Di Indonesia juga penyakit infark miokard akut ini
merupakan penyebab kematian tersering dengan angka mortalitas 220.000 (14%).
Menurut penelitian Direktorat Jenderal Yanmedik Indonesia tahun 2007,
jumlah pasien penyakit jantung yang menjalani rawat inap dan rawat jalan di rumah
sakit di Indonesia adalah 239.548 jiwa. Kasus terbanyak adalah penyakit jantung
iskemik, yaitu 110.183 kasus. Prevalensi tertinggi terjadi pada infark miokard akut
(13,49%) kemudian diikuti oleh gagal jantung (13,42%) dan penyakit jantung
lainnya (13,37%).
Maka dari itu perlu dilaksanakannya laporan kasus kali ini untuk membahas
tentang diagnosis dan tatalaksana dari ST-Segment Elevation Myocardial Infarction.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
1

Infark Miokard dengan Elevasi Segmen ST

Definisi
Sindrom Koroner Akut (SKA) adalah suatu istilah atau terminologi yang

digunakan untuk menggambarkan suatu spektrum keadaan atau kumpulan proses


penyakit yang meliputi angina pektoris tidak stabil/APTS (unstable angina/UA),
atau infark miokard tanpa elevasi segmen ST (Non-ST elevation myocardial
infarction/ NSTEMI), atau infark miokard dengan elevasi segmen ST (ST
elevationmyocardial infarction/STEMI).
Infark Miokard Akut (IMA) merupakan gangguan aliran darah ke jantung
yang menyebabkan sel otot jantung mati. Aliran darah di pembuluh darah terhenti
setelah terjadi sumbatan koroner akut, kecuali sejumlah kecil aliran kolateral dari
pembuluh darah di sekitarnya. Daerah otot di sekitarnya yang sama sekali tidak
mendapat aliran darah atau alirannya sangat sedikit sehingga tidak dapat
mempertahankan fungsi otot jantung, dikatakan mengalami infark. Infark miokard
akut dengan elevasi segmen ST (ST Elevation Myocardial Infarct) merupakan bagian
dari spektrum sindrom koroner akut (SKA) yang terdiri atas angina pektoris tak
stabil, IMA tanpa elevasi ST, dan IMA dengan elevasi ST.
Infark miokard dengan elevasi segmen ST (ST-Elevation Myocardial
Infarction, STEMI) merupakan bagian dari spektrum sindroma koroner akut yang
terdiri dari angina tipikal dan disertai dengan gambaran elevasi segmen ST yang
persisten di dua sadapan yang bersebelahan pada EKG. Sebagian besar pasien
STEMI akan mengalami peningkatan marka jantung, sehingga berlanjut menjadi
infark miokard dengan elevasi segmen ST. Infark miokard dengan elevasi segmen
ST akut merupakan indikator kejadian oklusi total pembuluh darah arteri koroner.
Keadaan ini memerlukan tindakan revaskularisasi untuk mengembalikan aliran darah
dan reperfusi miokard secepatnya; secara medikamentosa menggunakan agen
fibrinolitik atau secara mekanik, intervensi koroner perkutan primer.
Ketiga

keadaan

tersebut

merupakan

keadaan

kegawatdaruratan

kardiovaskular dan memerlukan tatalaksana yang adekuat untuk menghindari


terjadinya sudden death.
Klasifikasi berdasarkan Killip digunakan pada penderita infark miokard akut,dengan
pembagian:

1
2

Derajat I : tanpa gagal jantung


Derajat II : Gagal jantung dengan ronki basah halus di basal paru, S3 galop dan peningkatan

3
4

tekanan vena pulmonalis


Derajat III : Gagal jantung berat dengan edema paru seluruh lapangan paru.
Derajat IV : Syok kardiogenik dengan hipotensi (tekanan darah sistolik 90
mmHg) dan vasokonstriksi perifer (oliguria, sianosis dan diaforesis)
Klasifikasi Infark Miokard Akut (IMA) diklasifikasikan berdasar EKG 12

sandapan menjadi :
1. Infark miokard akut ST-elevasi (STEMI) : oklusi total dari arteri koroner yang
menyebabkan area infark yang lebih luas meliputi seluruh ketebalan miokardium,
yang ditandai dengan adanya elevasi segmen ST pada EKG.
2. Infark miokard akut non ST-elevasi (NSTEMI) : oklusi sebagian dari arteri
koroner tanpa melibatkan seluruh ketebalan miokardium, sehingga tidak ada
elevasi segmen ST pada EKG.
2

Etiologi dan Faktor Risiko


Seseorang untuk menderita SKA ditentukan melalui interaksi dua atau lebih

faktor risiko antara lain: faktor yang tidak dapat dikendalikan (nonmodifiable
factors) dan faktor yang dapat dikendalikan (modifiable factors).
Faktor risiko biologis yang tidak dapat dimodifikasi, yaitu:
a

Usia
Risiko terjadinya penyakit arteri koroner meningkat dengan bertambahnya

usia, diatas 45 tahun pada pria dan diatas 55 tahun pada wanita. Riwayat keluarga
yang memiliki penyakit jantung juga merupakan faktor risiko, termasuk penyakit
jantung pada ayah dan saudara pria yang didiagnosa sebelum umur 55 tahun, dan
pada ibu atau saudara perempuan yang didiagnosa sebelum umur 65 tahun.
Pasien usia lanjut lebih sering dari pada usia muda mengalami perubahan
abnormalitas anatomi dan fisiologi kardiovaskular, termasuk respon simpatis beta
yang terbatas, peningkatan afterload jantung karena penurunan compliance arteri dan
hipertensi arterial, hipotensi ortostatik, hipertropi jantung, dan disfungsi ventrikular
terutama disfungsi diastolik.
b Jenis kelamin

Laki-laki memiliki risiko lebih tinggi daripada perempuan. Walaupun setelah


menopause, tingkat kematian perempuan akibat penyakit jantung meningkat, tapi
tetap tidak sebanyak tingkat kematian pada laki-laki.
c

Riwayat keluarga
Anak-anak dengan orang tua yang memiliki riwayat penyakit jantung, lebih

berisiko untuk terkena penyakit jantung itu sendiri.


d Ras/Suku
Afrika Amerika memiliki tekanan darah yang lebih tinggi daripada
Kaukasian, dan memiiki risiko lebih tinggi pada penyakit jantung. Risiko tinggi juga
terdapat pada orang Mexican Amerika, American India, native Hawaiians dan Asian
Amerika. Hal ini juga berhubungan dengan tingginya angka kejadian obesitas dan
diabetes. Insidensi kematian pada penyakit jantung koroner pada orang Asia yang
tinggal di Inggris lebih tinggi dibandingkan dengan penduduk lokal.
e

Kelas sosial
Tingkat kematian akibat penyakit jantung koroner tiga kali lebih tinggi pada

pekerja kasar laki-laki terlatih dibandingkan dengan kelompok pekerja pofesi (misal
dokter, pengacara dll). Selain itu frekuensi istri pekerja kasar ternyata dua kali lebih
besar untuk mengalami kematian dini akibat penyakit jantung koroner dibandingkan
istri pekerja profesional/non-manual.
Sementara itu faktor risiko yang dapat dimodifikasi, antara lain:
a

Merokok
Peran rokok dalam penyakit jantung koroner, antara lain menimbulkan

aterosklerosis, peningkatan trombogenesis dan vasokonstriksi, peningkatan tekanan


darah, pemicu aritmia jantung, meningkatkan kebutuhan oksigen jantung, dan
penurunan kapasitas pengangkutan oksigen. Merokok 20 batang rokok atau lebih
dalam sehari bisa meningkatkan risiko 2-3 kali dibandingkan individu yang tidak
merokok.
b Konsumsi alkohol
Meskipun ada dasar teori mengenai efek protektif alkohol dosis rendah hingga
moderat, dimana ia bisa meningkatkan tromolisis endogen, mengurangi adhesi

platelet, dan meningkatkan kadar HDL dalam sirkulasi, akan tetapi semuanya masih
kontroversial tidak semua literatur mendukung konsep ini, bahkan peningkatan dosis
alkohol dikaitkan dengan peningkatan mortalitas kardiovaskular karena aritmia,
hipertensi sistemik dan kardiomiopati dilatasi.
c

Hipertensi
Hipertensi menyebabkan peningkatan afterload yang secara tidak langsung

akan meningkatkan beban kerja jantung. Kondisi seperti ini akan memicu hipertropi
ventrikel kiri sebagai kompensasi dari meningkatnya afterload yang pada akhirnya
meningkatkan kebutuhan oksigen jantung.
d Dislipidemia
Kolesterol merupakan prasyarat terjadi penyakit koroner pada jantung.
Kolesterol akan berakumulasi di lapisan intima dan media pembuluh arteri koroner.
Jika hal tersebut terus berlangsung, makan akan terbentuk plak sehingga pembuluh
arteri koroner yang mengalami inflamasi atau terjadi penumpukan lemak akan
mengalami aterosklerosis.
e

Obesitas
Pada umumnya, obesitas cenderung meningkatkan kadar kolesterol total dan

trigliserida dan menurunkan kadar HDL. Meskipun kolesterol LDL tetap meningkat
sedikit atau normal, partikel small dense LDL yang aterogenik cenderung meningkat,
terutama pada pasien dengan resistensi insulin yang berkaitan dengan adipositas
viseral. Perubahan-perubahan ini meningkatkan risiko terjadinya aterosklerosis.
f

Olahraga
Aktivitas aerobik yang teratur akan menurunkan risiko terkena penyakit

jantung koroner, yaitu sebesar 20-40%.


g

Diabetes mellitus
Diabetes mellitus sudah dikenal sebagai faktor risiko utama penyakit

kardiovaskular. Data dari penelitian klinis menunjukkan sebagian besar pasien DM


meninggal karena penyakit kardiovaskular dan lebih dari tiga perempat pasien DM
yang meninggal penyebabnya dikaitkan dengan aterosklerosis, sebagian besar kasus
(75%) karena PJK.

Diabetes mellitus tipe 2 meningkatkan risiko PJK, 2 sampai 4 kali pada


populasi secara keseluruhan. Pasien DM tanpa riwayat PJK mempunyai risiko infark
miokard yang sama seperti pasien PJK yang bukan DM.. Risiko PJK tersebut bahkan
lebih tinggi pada wanita. Pasien DM wanita mempunyai laju kematian 5-8 kali lebih
tinggi daripada wanita non-diabetes.

Patofisiologi
STEMI umumnya disebabkan penurunan atau berhentinya aliran darah secara

tiba-tiba akibat oklusi trombus pada arteri koroner yang sudah mengalami
aterosklerosis. Pada kebanyakan kasus, proses akut dimulai dengan ruptur atau
pecahnya plak ateroma pembuluh darah koroner, dimana trombus mural timbul pada
lokasi ruptur dan menyebabkan oklusi arteri koroner, baik secara total atau parsial.
Hal ini berkaitan dengan perubahan komposisi plak dan penipisan tudung fibrus
(fibrous cap) yang menutupi plak tersebut. Kejadian ini akan diikuti oleh proses
agregasi trombosit dan aktivasi jalur koagulasi. Secara histologis, plak koroner yang
lebih mudah ruptur adalah yang intinya kaya dengan lemak dan yang mempunyai
fibrous cap yang tipis. Faktor-faktor seperti usia, genetik, diet, merokok, diabetes
mellitus tipe II, hipertensi, reactive oxygen species dan inflamasi menyebabkan
disfungsi dan aktivasi endotelial. Pemaparan terhadap faktor-faktor di atas
menimbulkan injury bagi sel endotel. Akibat disfungsi endotel, sel-sel tidak dapat
lagi memproduksi molekul-molekul vasoaktif seperti nitric oxide. Sebaliknya,
disfungsi endotel justru meningkatkan produksi vasokonstriktor, endotelin-1, dan
angiotensin II yang berperan dalam migrasi dan pertumbuhan sel sehingga
memperberat gangguan aliran darah koroner9 seperti terlihat pada gambar 2.2..
Pasokan oksigen yang berhenti selama kira-kira 20 menit dapat menyebabkan
nekrosis pada miokardium (infark miokard).

Gambar 2.1. Proses Pembentukan Plak

Gambar 2.2. Mekanisme Pembentukan Trombus Koroner


Leukosit yang bersirkulasi menempel pada sel endotel teraktivasi. Kemudian
leukosit bermigrasi ke sub endotel dan berubah menjadi makrofag. Di sini makrofag
berperan sebagai pembersih dan bekerja mengeliminasi kolesterol LDL. Sel
makrofag yang terpajan dengan kolesterol LDL teroksidasi disebut sel busa (foam
cell) seperti pada gambar 2.1.. Faktor pertumbuhan dan trombosit menyebabkan
migrasi otot polos dari tunika media ke dalam tunika intima dan proliferasi matriks.
Proses ini mengubah bercak lemak menjadi ateroma matur. Lapisan fibrosa menutupi
ateroma matur, membatasi lesi dari lumen pembuluh darah. Perlekatan trombosit ke
tepian ateroma yang kasar menyebabkan terbentuknya trombosis. Ulserasi atau
ruptur mendadak lapisan fibrosa atau perdarahan yang terjadi dalam ateroma
menyebabkan oklusi arteri.

Menurut American Heart Association, tipe plak diklasifikasikan sesuai


dengan tampilan klinis dan histologi.
a

Tipe I (lesi awal)


Terdiri dari makrofag dan sel busa, berlaku pada dekade pertama dan
asimptomatik.

Tipe II (fatty streak)


Terdiri dari akumulasi lipid, berlaku pada dekade pertama, dan asimptomatik.

Tipe III (lesi intermediate)


Sedikit berbeda dari tipe II. Terdiri dari kumpulan lipid ekstraseluler, berlaku
pada dekade tiga dan asimptomatik.

Tipe IV (atheroma)
Intinya terdiri dari lipid ekstraseluler dan berlaku pada dekade ketiga. Pada
awalnya asimptomatik dan menjadi simptomatik.

Tipe V (fibroatheroma)
Berinti lipid dan terdapat lapisan fibrosis, atau beinti lipid multiple dan
lapisan fibrosis atau terdiri dari kalsifikasi terutama atau fibrosis. Terdapat
pertumbuhan otot polos dan kolagen. Biasanya berlaku pada dekade keempat
dan bisa simptomatik atau asimptomatik.

Tipe VI (complicate lesion)


Adanya defek permukaan,hematoma-hemorrhage, dan trombus. Biasanya
berlaku pada dekade keempat dan bisa simptomatik atau asimptomatik.
Kerusakan miokard yang disebabkan oklusi arteri koroner bergantung pada

beberapa faktor, yaitu bagian yang disuplai oleh pembuluh darah yang rusak, apakah
oklusinya total atau parsial, durasi oklusi koroner, kuantitas darah yang disuplai oleh
pembuluh darah koroner ke jaringan yang terganggu, kebutuhan oksigen oleh
miokard, dan apakah perfusi miokard pada daerah infark adekuat setelah pulih
seperti pada gambar 2.3.. Faktor pemicu pada STEMI antara lain aktivitas fisik yang
berat, stres emosional, penyakit medis atau pembedahan, serta penyalahgunaan
kokain ataupun narkoba lain seperti amfetamin. Akibat dari iskemia, selain nekrosis,
adalah gangguan kontraktilitas miokardium karena proses hibernating dan stunning
(setelah iskemia hilang), disritmia dan remodeling ventrikel (perubahan bentuk,
ukuran, dan fungsi ventrikel). Sebagian pasien SKA tidak mengalami koyak plak
seperti diterangkan di atas, melainkan karena obstruksi dinamis akibat spasme local

dari arteri koronaria epikardial (Angina Prinzmetal) Penyempitan arteri koronaria,


tanpa spasme maupun thrombus, dapat diakibatkan oleh progresi plak atau restenosis
setelah Intervensi Koroner Perkutan (IKP). Sementara itu terdapat beberapa faktor
ekstrinsik, seperti demam, anemia, tirotoksikosis, hipotensi, takikardia, dapat
menjadi pencetus terjadinya SKA pada pasien yang telah mempunyai plak
aterosklerosis.

Ga
mbar 2.3. Konsekuensi dari Trombosis Koroner

Manifestasi Klinis

Nyeri Dada
Mayoritas pasien (80%) datang dengan keluhan nyeri dada. Perbedaan

dengan nyeri pada angina adalah nyeri pada infark lebih panjang yaitu minimal 20
menit, sedangkan pada angina kurang dari itu. Disamping itu pada angina biasanya
nyeri akan hilang dengan istirahat akan tetapi pada infark tidak. Nyeri dan rasa
tertekan pada dada itu bisa disertai dengan keluarnya keringat dingin atau perasaan

takut. Meskipun IMA memiliki ciri nyeri yang khas yaitu menjalar ke lengan kiri,
bahu, leher sampai ke epigastrium, akan tetapi pada orang tertentu nyeri yang terasa
hanya sedikit. Hal tersebut biasanya terjadi pada manula, atau penderita DM
berkaitan dengan neuropati.
b Sesak Napas
Sesak napas bisa disebabkan oleh peningkatan tekanan akhir diastolik
ventrikel kiri yang mendadak, disamping itu perasaan cemas bisa menimbulkan
hiperventilasi. Pada infark yang tanpa gejala nyeri, sesak napas merupakan tanda
adanya disfungsi ventrikel kiri yang bermakna.
c

Gejala Gastrointestinal
Peningkatan aktivitas vagal menyebabkan mual dan muntah, dan biasanya

lebih sering pada infark inferior, dan stimulasi diafragma pada infak inferior juga
bisa menyebabkan cegukan.
d Gejala Lain
Termasuk palpitasi, rasa pusing, atau sinkop dari aritmia ventrikel, dan gejala
akibat emboli arteri (misalnya stroke, iskemia ekstremitas).

5
a

Diagnosa
Anamnesa
Pasien yang datang dengan keluhan nyeri dada perlu ditelaah secara cermat

apakah nyeri dada yang timbul tipikal berasal dari arteri koroner atau bukan.
Riwayat nyeri dada sebelumnya juga perlu ditanyakan, selain faktor-faktor risiko
PJK (penyakit jantung koroner) yang dapat dimodifikasi seperti hipertensi, diabetes
mellitus, dislipidemia, merokok, obesitas, stres serta aktivitas fisik. Selain itu riwayat
keluarga sakit jantung koroner perlu ditanyakan.
Pada hampir setengah kasus, terdapat faktor pencetus sebelum terjadi
STEMI, seperti aktivitas fisik berat, stres emosional atau penyakit medis atau
tindakan pembedahan. Walaupun STEMI bisa terjadi hampir sepanjang hari atau
malam, variasi sirkardian dilaporkan pada pagi hari dalam beberapa jam setelah
bangun tidur.
Sifat nyeri dada/angina tipikal antara lain:

Lokasi nyeri: substernal, retrosternal, dan prekordial.

Sifat nyeri: rasa sakit, seperti ditekan, rasa terbakar, ditindih benda berat,
seperti ditusuk, rasa diperas,dan dipelintir.

Penjalaran: biasanya lengan kiri, dapat juga ke leher, rahang bawah, gigi,
punggung/intrakapsular, perut, dan dapat juga ke lengan kanan.

Nyeri membaik atau hilang dengan istirahat, atau dengan obat golongan
nitrat.

Faktor pencetus: latihan fisik, stress emosi, udara dingin, dan sesudah makan

Gejala yang menyertai: mual, muntah, sulit bernapas, keringat dingin,cemas


dan lemas.

Gambar 2.4. Diagnosa Banding Sindrom Koroner Akut

Diagnosis banding STEMI antara lain perikarditis akut, emboli paru, diseksi
aorta akut, kostokondritis, dan gangguan gastrointestinal. Nyeri dada tidak selalu
ditemukan pada STEMI. Infark miokard akut dengan elevasi segmen ST tanpa nyeri
lebih sering dijumpai pada diabetes mellitus dan usia lanjut.

Gambar 2.5. Faktor Pembeda dalam Mendiagnosa Sindrom Koroner Akut


b Pemeriksaan Fisik
Sebagian besar pasien cemas dan tidak bisa istirahat (gelisah). Seringkali
dijumpai ekstremitas pucat disertai keringat dingin. Kombinasi nyeri dada subternal
>20 menit dan banyak keringat dicurigai kuat adanya STEMI. Sekitar seperempat
pasien infark anterior mempunyai manifestasi hiperaktivitas saraf simpatis
(takikardia dan/atau hipotensi) dan hampir setengah pasien infark inferior
menunjukkan hiperaktifitas parasimpatis (bradikardia dan/atau hipotensi).
Tanda fisik lainnya pada disfungsi ventrikel adalah S4 dan S3 gallop,
penurunan intensitas bunyi jantung pertama dan split paradoksikal bunyi jantung
kedua. Dapat ditemukan murmur midsistolik atau late sistolik apikal yang bersifat
sementara karena disfungsi apparatus katup mitral dan pericardial friction rub.
Peningkatan suhu sampai 38C dapat dijumpai dalam minggu pertama pasca STEMI.
c

Elektrokardiogram (EKG)
Diagnosis STEMI ditegakkan berdasarkan EKG yaitu adanya elevasi ST

2mm, minimal pada 2 sadapan prekondrial yang berdampingan atau 1mm pada 2
sadapan ekstremitas. Pemeriksaan EKG 12 sandapan harus dilakukan pada semua

pasien dengan nyeri dada atau keluhan yang dicurigai STEMI. Pemeriksaan ini harus
dilakukan segera dalam 10 menit sejak kedatangan di Instalasi Gawat Darurat (IGD).
Pemeriksaan EKG di IGD menjadi landasan dalam menentukan keputusan terapi
karena bukti kuat dalam menunjukkan gambaran elevasi segmen ST dapat
mengidentifikasikan pasien yang bermanfaat untuk dilakukan terapi reperfusi. Jika
pemeriksaan EKG awal tidak diagnostik untuk STEMI tetapi pasien tetap simtomatik
dan terdapat kecurigaan kuat STEMI, EKG serial dengan interval 5-10 menit atau
pemantauan EKG 12 sadapan secara kontinyu harus dilakukan untuk mendeteksi
potensi perkembangan elevasi ST. Sebagian besar pasien dengan presentasi awal
elevasi segmen ST mengalami evolusi menjadi gelombang Q pada EKG yang
akhirnya didiagnosis infark miokard gelombang Q. Apabila obstruksi yang terjadi
tidak total, bersifat sementara atau ditemukan banyak kolateral, biasanya tidak akan
ditemukan elevasi segmen ST. Pasien tersebut biasanya mengalami angina pektoris
tak stabil atau non STEMI

Gambar 2.6 Evolusi EKG pada STEMI


Tabel 2.1 Lokasi Infark Berdasarkan Lokasi ST elevasi pada Hasil EKG
Lokasi
Anterior

Anterioseptal

Lokasi Elevasi
Segmen ST
V3, V4

V1, V2, V3

Perubahan
Resiprokal
V7, V8, V9

V7, V8, V9

Arteri Koroner
Arteri

koroner

kiri,

cabang

LAD/Diagonal
Arteri
koroner
kiri, cabang LAD
diagonal cabang

Anterioekstensif

I, aVL, V2-V6

I, III, aVF

LAD septal
Arteri
koroner

kiri,
Anterolateral

proksimal

LAD
aVL, V3, V4, V5, II, III, aVF, V7, V8, Arteri
V6

V9

koroner

kiri
Cabang
diagonal

LADdan

cabang
Inferior

II, III, aVF

I, aVL, V2, V3

sirkumfleks
Arteri
koroner
kanan

cabang

decendens
posterior

Lateral

I, aVL, V5, V6

II, III, aVF

dan

cabang

arteri

koroner

kiri

sirkumfleks
Arteri
koroner
kiri
Cabang
diagonal

LADdan

cabang
Septum

V1, V2

V7, V8, V9

sirkumfleks
Arteri
koroner
kiri

Posterior

V7, V8, V9

V1, V2, V3

cabang

LAD-septal
Arteri
koroner
kanan

Ventrikel kanan

V3R-V4R

I, aVL

sirkumfleks
Arteri
koroner
kanan proksimal

d Laboratorium
Petanda (biomarker) kerusakan jantung. Pemeriksaan yang dianjurkan adalah
creatinine kinase (CK)MB dan cardiac specific troponin (cTn) T atau cTn I dan
dilakukan secara serial. cTn harus digunakan sebagai penanda optimal untuk pasien
STEMI yang disertai kerusakan otot skeletal, karena pada keadaan ini juga akan

diikuti peningkatan CKMB. Pada pasien dengan elevasi ST dan gejala IMA, terapi
reperfusi diberikan sesegera mungkin dan tidak tergantung pemeriksaan biomarker.

Peningkatan enzim dua kali di atas nilai batas atas normal menunjukkan ada
nekrosis jantung (infark miokard).

CKMB: meningkat setelah 3 jam bila ada infark miokard dan mencapai
puncak dalam 10-24 jam dan kembali normal dalam 2-4 hari. Operasi
jantung, miokarditis dan kardioversi elektrik dapat meningkatkan CKMB

cTn: ada 2 jenis yaitu cTn T dan cTn I. enzim ini meningkat setelah 2 jam
bila infark miokard dan mencapai puncak dalam 10-24 jam dan cTn T masih
dapat dideteksi setelah 5-14 hari, sedangkan cTn I setelah 5-10 hari

Pemeriksaan lainnya: mioglobin, creatinine kinase (CK) dan lactic


dehidrogenase (LDH)
Reaksi nonspesifik terhadap lesi miokard adalah leukositosis PMN yang
dapat terjadi dalam beberapa jam setelah onset nyeri dan menetap selama 3-7
hari. Leukosit dapat mencapai 12.000-15.000/uL.

Angiografi Koroner (Coronary angiography)


Angiografi koroner merupakan pemeriksaan khusus dengan sinar x pada

jantung dan pembuluh darah yang sering dilakukan selama serangan untuk
menentukan letak sumbatan pada arteri koroner. Jika ditemukan sumbatan, tindakan

lain yang dinamakan angioplasty, dapat dilakukan untuk memulihkan aliran darah
pada arteri tersebut. Terkadang akan ditempatkan stent (pipa kecil yang berpori)
dalam arteri.
6
a

Penatalaksanaan
Tatakasana Pra Rumah Sakit
Tujuan utama tatalaksana STEMI adalah mendiagnosis secara cepat,

menghilangkan nyeri dada, menilai dan mengimplementasikan strategi reperfusi


yang mungkin dilakukan, memberi antitrombotik dan anti platelet, memberi obat
Prognosis STEMI sebagian besar tergantung adanya 2 kelompok komplikasi
umum yaitu : komplikasi elektrikal (aritmia) dan komplikasi mekanik (pump failure).
Sebagian besar kematian di luar Rumah Sakit pada STEMI disebabkan adanya
fibrilasi ventrikel mendadak, yang sebagian besar terjadi pada jam pertama.
Elemen utama tatalaksana pra rumah sakit pada pasien yang dicurigai STEMI
antara lain:

Penanganan gejala oleh pasien dan segera mencari pertolongan medis

Segera memanggil tim medis emergensi yang dapat melakukan tindakan


resusitasi

Transportasi pasien ke rumah sakit yang mempunyai fasilitas ICCU/ ICU


serta staf medis dokter dan perawat yang terlatih.

Melakukan terapi reperfusi


Keterlambatan terbanyak yang terjadi pada penanganan pasien biasanya

bukan selama transportasi ke rumah sakit, namun karena lama waktu mulai onset
nyeri dada sampai keputusan pasien untuk meminta pertolongan. Hal ini bisa
ditanggulangi dengan cara edukasi kepada masyarakat.
b Tatalaksana Umum
Terapi reperfusi segera, baik dengan IKP atau farmakologis, diindikasikan
untuk semua pasien dengan gejala yang timbul dalam 12 jam dengan elevasi segmen
ST yang menetap atau Left Bundle Branch Block (LBBB) yang (terduga) baru.
Terapi reperfusi (sebaiknya IKP primer) diindikasikan bila terdapat bukti iskemia
yang sedang terjadi, bahkan jika gejala mungkin telah timbul >12 jam yang lalu atau
bila nyeri dan perubahan EKG terlihat terhambat. Reperfusi dini akan
memperpendek lama oklusi koroner, meminimalkan derajat disfungsi dan dilatasi

ventrikel dan mengurangi kemungkinan pasien STEMI berkembang menjadi pump


failure atau takiaritmia ventrikular yang maligna.
1

Oksigen
Suplemen oksigen harus diberikan pada pasien dengan saturasi oksigen arteri
<90%. Pada semua pasien STEMI tanpa komplikasi dapat diberikan oksigen
selama 6 jam pertama.

Morfin
Morfin sangat efektif mengurangi nyeri dada dan merupakan analgesik
pilihan dalam tatalaksana nyeri dada pada infark miokard. Morfin diberikan
secara bolus intravena dengan dosis 2-4 mg dan dapat diulang dengan interval 515 menit dengan dosis total 20 mg. Mengurangi dan menghilangkan nyeri dada
sangat penting karena nyeri dikaitkan dengan aktivasi simpatis yang
menyebabkan vasokontriksi dan meningkatkan beban jantung.

Intervensi Koroner Perkutan Primer (IKP primer)


IKP primer terbukti memiliki keberhasilan membuka dan mempertahankan
patensi arteri koroner yang tersumbat lebih baik dibandingkan dengan
fibrinolosis apabila dilakukan oleh tim yang berpengalaman dalam 120 menit
dari waktu kontak medis pertama. IKP primer diindikasikan untuk pasien
dengan gagal jantung akut yang berat atau syok kardiogenik, kecuali bila
diperkirakan bahwa pemberian IKP akan tertunda lama dan bila pasien dating
dengan awitan gejala yang telah lama.
Pasien yang akan menjalani IKP primer sebaiknya mendapatkan
terapi antiplatelet ganda (DAPT) berupa aspirin dan penghambat reseptor ADP
sesegera mungkin sebelum angiografi, disertai dengan antikoagulan intravena.

Terapi fibrinolitik
Terapi fibrinolitik direkomendasikan diberikan dalam 12 jam pertama sejak
awitan gejala pada pasien-pasien tanpa indikasi kontra apabila IKP primer tidak
bisa dilakukan oleh tim yang berpengalaman dalam 120 menit sejak kontak
medis pertama.
Agen yang spesifik terhadap fibrin (tenekteplase, alteplase, reteplase) lebih
disarankan

dibandingkan

agen-agen

tidak

spesifik

terhadap

fibrin

(streptokinase). Aspirin oral atau intravena harus diberikan dengan dosis

loading 150-300 mg, tanpa memandang strategi pengobatan yang diberikan.


Clopidogrel direkomendasikan untuk diberikan bersama dengan aspirin.
Antikoagulan direkomendasikan pada pasien-pasien STEMI yang diobati
dengan fibrinolitik hingga revaskularisasi (bila dilakukan) atau selama dirawat
di rumah sakit hingga 5 hari.
Setelah diberikan fibrinolisis, semua pasien perlu dirujuk ke rumah sakit
yang menyediakan IKP. IKP rescue diindikasikan segera setelah fibrinolysis
gagal, yaitu resolusi segmen ST kurang dari 50% setelah 60 menit disertai tidak
hilangnya nyeri dada.
Kontraindikasi fibrinolitik:
a

Kontraindikasi absolut:
Riwayat perdarahan intracranial apapun.
Lesi structural cerebrovaskular.
Tumor intracranial (primer ataupun metastasis).
Stroke iskemik dalam 3 bulan atau dalam 3 jam terakhir.
Dicurigai adanya suatu diseksi aorta.
Adanya trauma/ pembedahan/ truma kepala dalam 3 bulan terakhir.
Adanya perdarahan aktif (termasuk menstruasi).

b Kontraindikasi relatif:
Riwayat hipertensi kronik dan berat yang tidak terkontrol.
Riwayat stroke iskemik > 3 bulan, demensia, atau kelainan intracranial
selain yang disebutkan pada kontraindikasi absolute.
Resusitasi jantung paru traumatic atau lama > 10 menit atau operasi besar
< 3 minggu.
Perdarahan internal dalam2-4 minggu terakhir.
Terapi antikoagulan oral.
Kehamilan.
Non compressible punctures.
Ulkus peptikum aktif.
Khusus untuk streptokinase/ anistreplase: riwayat pemaparan sebelumnya
(>5hari) atau riwayat alergi terhadap zat-zat tersebut.
Tabel 2.2 Terapi Fibrinolitik

Terapi awal
juta

Antitrombin

Kontraindikasi

Terapi

Spesifik

Streptokinase(SK

1,5

unit/ Dengan

atau Riwayat SK atau

100ml D5% atau tanpa heparin iv anistreplase


NaCl 0,9% selama selama 24 48
30 60 menit.

Alteplase(tPA)

jam

15 mg iv bolus Heparin iv selama


0,75 mg/ kg BB 24 48 jam
selama 30 menit
kemudian 0,5 mg/
kg BB selama 60
menit

iv.

Dosis

total tidak melebihi


100mg
Gambar 2.7. Pendekatan Manajemen STEMI oleh ESC 2012 GL

Gambar 2.8 Manajemen STEMI


c

Terapi Jangka Panjang


Mengingat sifat PJK sebagai penyakit kronis dan risiko tinggi bagi pasien

yang telah pulih dari STEMI untuk mengalami kejadian kardiovaskular selanjutnya
dan kematian premature, perlu dilakukan berbagai intervensi untuk meningkatkan
prognosis pasien. Terapi jangka panjang yang disarankan setelah pasien pulih dari
STEMI adalah
1

Kendalikan faktor risiko seperti hipertensi, diabetes, dan terutama merokok,


yang ketat.

Terapi antiplatelet dengan aspirin dosis rendah (75-100 mg) diindikasikan


tanpa henti.

DAPT (aspirin dengan penghambat reseptor ADP) seperti clopidogrel (75


mg setiap hari) diindikasikan hingga 12 bulan setelah STEMI.
4

Pengobatan oral dengan penyekat beta (-blocker) diindikasikan untuk


pasien-pasien dengan gagal ginjal atau disfungsi ventrikel kiri.

Profil lipid puasa harus didapatkan pada setiap pasien STEMI sesegera
mungkin sejak datang.

Statin dosis tinggi perlu diberikan atau dilanjutkan segera setelah pasien
masuk rumah sakit bila tidak ada indikasi kontra atau riwayat intoleransi,
tanpa memandang nilai kolesterol inisial.

ACE-I diindikasikan sejak 24 jam untuk pasien-pasien STEMI dengan


gagal ginjal, disfungsi sistolik ventrikel kiri, diabetes, atau infark anterior.
Sebagai alternative dari ACE-I, ARB dapat digunakan.

Antagonis aldosterone diindikasikan bila fraksi fraksi ejeksi 40% dengan


syarat tidak terdapat gagal ginjal (kreatinin >2,5 mg/dl) atau
hyperkalemia.

Komplikasi

Gambar 2.9. Komplikasi Infark Miokard


Ketika proses infark telah terjadi, terutama pada STEMI, komplikasi dapat
timbul dari abnormalitas proses inflamasi, mekanik, dan elektrik yang dipicu oleh
daerah miokard yang nekrosis (gambar 2.9.).
a

Aritmia
Aritmia sering terjadi selama infark miokard akut dan merupakan penyebab

kematian terbesar pada pasien-pasien yang tiba di rumah sakit. Mekanisme yang
berkontribusi terhadap terbentuknya aritmia setelah proses infark miokard, sebagai
berikut:
1

Terganggunya anatomis aliran darah

yang menuju struktur yang

menghantarkan konduksi listrik jantung (seperti SA node, AV node, dan


bundle branch)
2

Akumulasi hasil-hasil metabolik yang toksik (contohnya asidosis selular)


dan konsentrasi ion transselular yang abnormal karena kebocoran membran.

Stimulasi otonom (simpatis dan parasimpatis)

Administrasi dari obat-obat aritmogenik (contohnya dopamin)

b Disfungsi Miokard
1

Congestive Heart Failure


Iskemia akut pada jantung menyebabkan kerusakan dari kontraktilitas

ventrikel (disfungsi sistol) dan peningkatan dari kekakuan miokard (disfungsi


diastol), keduanya dapat menyebabkan munculnya keluhan gagal jantung.
Tanda dan gejala terhadap dekompensasi tersebut termasuk dispnoe, ronki
paru, dan terdengarnya suara jantung 3 (S3).

Syok Kardiogenik
Syok kardiogenik adalah kondisi dimana terjadi penurunan yang fatal
terhadap cardiac output dan hipotensi (tekanan darah sistol <90mmHg) dengan
ketidakcukupan perfusi ke jaringan-jaringan perifer, hal ini terjadi jika lebih
dari 40% massa ventrikel kiri sudah terjadi infark.

Perikarditis
Perikarditis akut bisa terjadi pada awal masa post-myocard infark sebagai
akibat dari inflamasi yang menjalar dari miokardium hingga ke perikardium

Tromboemboli
Aliran darah yang stasis pada regio yang terjadi kerusakan kontraksi
ventrikel kiri setelah infark miokard menyebabkan terbentuknya trombus di
intrakvitas, terutama jika infarknya melibatkan apeks ventrikel kiri atau ketika
aneurisma sebenarnya telah terbentuk. Tromboemboli dapat menyebabkan
infark pada organ-organ perifer (seperti cerebrovascular [stroke] akibat dari
emboli ke otak).

Disfungsi Ventrikular
Ventrikel kiri mengalami perubahan serial dalam bentuk ukuran, dan
ketebalan pada segmen yang mengalami infark dan non infark. Proses ini
disebut remodelling ventricular yang sering mendahului berkembangnya gagal
jantung secara klinis dalam hitungan bulan atau 16 tahun pasca infark.
Pembesaran ruang jantung secara keseluruhan yang terjadi dikaitkan dengan
ukuran dan lokasi infark, dengan dilatasi terbesar pasca infark pada apeks
ventrikel kiri yang mengakibatkan penurunan hemodinamik yang nyata, lebih
sering terjadi gagal jantung dan prognosis lebih buruk
6 . Gangguan Hemodinamik
Gagal pemompaan (pump failure) merupakan penyebab utama kematian
di rumah sakit pada STEMI. Perluasan nekrosis iskemia mempunyai korelasi
dengan tingkat gagal pompa dan mortalitas, baik pada awal (10 hari infark) dan
sesudahnya.

Prognosis
Terdapat beberapa sistem dalam menentukan prognosis pasca infark

miokardium akut (IMA). Prognosis IMA dengan melihat derajat disfungsi ventrikel
kiri secara klinis dinilai menggunakan klasifikasi Killip.
Tabel 2.3. Klasifikasi Killip
Kelas

Definisi

Mortalitas(%)

Tidak terdapat tanda gagal jantung kongestif

II

S3 dan ronkhi basah pada setengah lapangan paru

17

III

IV

Edema paru akut ditandai oleh ronkhi basah di seluruh


lapangan paru
Syok kardiogenik yang ditandai oleh tekanan darah sistolik
<90 mmHg dan tanda hipoperfusi jaringan

38

81

Tabel 2.4. TIMI Risk Score untuk Infark Miokard dengan elevasi ST
Faktor risiko (bobot)
Usia 65-74 tahun (2 poin)
Usia > 75 tahun (3 poin)
Diabetes mellitus/hipertensi atau angina (1 poin)
TDS <100mmHg (3 poin)
Frekuensi jantung > 100mmHg (2 poin)
Klasifikasi Killip II-IV (2 poin)
Berat < 67 kg (1 poin)
Elevasi ST anterior atau LBBB (1poin)
Waktu ke reperfusi > 4 jam (1 poin)
Skor risiko = total poin (0-14)

Mortalitas 30 hari (%)


0,8
1,6
2,2
4,4
7,3
12,4
16,1
23.4
26,8
35,9

BAB 3
LAPORAN KASUS

Status Pasien
Kepaniteraan Klinik RSUP. H. Adam Malik
Departemen Kardiologi dan Kedokteran Vaskular

Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Medan 2015


No. RM : 00.64.60.81

Tanggal : 24 Juni 2015

Hari : Rabu

Nama Pasien : BM

Umur : 48 tahun

Jenis Kelamin : Lk

Pekerjaan : Petani

Alamat : Desa

Agama : Kristen Protestan

Tlp : -

Simbalimbingan
Hp : 082167749946

ANAMNESIS
Autoanamnesis

Alloanamnes
e
RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG
Keluhan Utama

: Nyeri dada

Anamnesa

: Hal ini dialami Os secara tiba-tiba sejak 3 hari sebelum


masuk rumah sakit. Nyeri dirasakan Os seperti terbakar pada
dada sebelah kiri dan menjalar ke punggung dengan durasi
nyeri >20menit. Nyeri dirasakan Os saat beraktifitas ringan,
sedang, dan berat. Nyeri dada diikuti dengan keringat dingin
(+), mual (+), muntah (-). Riwayat nyeri dada sebelumnya
(+) 2 tahun yang lalu dengan rasa nyeri yang tidak
menjalar dan durasi <20 menit.
Riwayat sesak nafas (-). Riwayat terbangun pada malam hari
karena sesak (-), dan sesak oleh aktifitas (-). Riwayat kaki
bengkak tidak dialami Os.
Sebelumnya, os pernah berobat ke RS lain dan dirawat oleh
Sp. PD untuk keluhan nyeri dada dan dinyatakan terdapat
sumbatan pembuluh darah jantung.
Riwayat penyakit gula (-), riwayat darah tinggi (+) sejak 3
tahun yang lalu. Riwayat merokok (+) sejak 20 tahun yang
lalu dengan jumlah 1 bungkus/hari.

Faktor Risiko PJK

: Laki laki, perokok, riwayat hipertensi

RPT

: MCI

RPO

: Ranitidin, ISDN, Aptor 1x1, Diazepam 3x2mg

STATUS PRESENS
KU: Sedang
RR: 20 x/i
Dispnoe: (-)

Kesadaran: Compos Mentis TD: 110/80 mmHg


Suhu: 36,2 C
Sianosis: (-)
Ikterus: (-)
Edema: (-)

HR: 80 x/i
Orthopnoe: (+)
Pucat: (-)

PEMERIKSAAN FISIK
KEPALA
MATA : Konjunctiva palpebra inf. pucat (-/-), sklera ikterik (-/-)
TELINGA/HIDUNG/MULUT : tidak ada kelainan
LEHER : TVJ R + 2 cmH2O
THORAX
Depan
Inspeksi
Simetris fusiformis
Palpasi
Sf ka = ki, kesan: melemah
Perkusi
Sonor memendek
Auskultasi SP: Vesikuler

Belakang
Simetris fusiformis
Sf ka = ki
Sonor memendek
SP: Vesikuler

ST: -

ST: -

JANTUNG
Batas Jantung Relatif: Atas

: ICR III Sinistra

Kanan : Linea parasternalis dextra


Kiri

: 1 cm lateral Linea Midclavicula Sinistra

Bawah : Diafragma
Jantung : HR : 80 x/i, reguler, MI>M2 P2>P1 T1>T2 A2>A1, desah (-), gallop (-)
S1 (+)

S2 (+)

Murmur (-)

S3 (-)

Tipe : -

Punctum Maximum : ABDOMEN

S4 (-)
Grade : Radiasi : -

: Reguler

Inspeksi

: Simetris

Palpasi

: Soepel, Rigid abdomen (-), Asites (-), H/L/R tidak teraba

Perkusi

: Timpani (+)

Auskultasi

: Bising usus (+) normal

EKSTREMITAS
Superior: oedema (-) pucat (-)

sianosis (-)

clubbing (-)

pulsasi arteri (+)

Inferior : oedema (-) pucat (-)

sianosis (-)

clubbing (-)

pulsasi arteri (+)

Akral : hangat
PEMERIKSAAN TAMBAHAN

Elektrokardiografi (Rabu, 24 Juni 2015)


Interpretasi rekaman EKG :
Sinus Rhythm, heart rate 79 x/i reguler, normoaxis, P wave (+) normal, PR interval
0,15 s, Q wave (+) normal, QRS duration 0,08s, ST segment elevasi di lead III dan
aVF, ST depresi (-), T inversi (+) di lead II, III, dan aVF, LVH(-), RVH (-), VES(-).
Kesan EKG : Sinus Rhythm + STEMI inferior.
Foto Toraks (Jumat, 12 Juni 2015)

Interpretasi Foto Toraks :


CTR 57%, segmen aorta : dilatasi (-) elongasi (-), segmen pulmonal : dilatasi (-)
elongasi (-), pinggang jantung (+) normal, apex : downward, Kongesti (-), Infiltrat
(-)
Kesan : Kardiomegali

Klasifikasi Killip
Kelas

Definisi

Proporsi pasien

Mortalitas
(%)

I
II
III
IV

Tidak ada tanda gagal jantung kongestif


+ S3 dan/atau ronki basah di basal paru
Edema paru akut
Syok kardiogenik

40-50%
30-40%
10-15%
5-10%

6
17
30-40
60-80

TIMI Risk Score untuk Infark Miokard dengan elevasi ST


Faktor risiko (bobot)
Usia > 75 tahun (3 poin)

Mortalitas 30 hari (%)


1,6

Diabetes mellitus/hipertensi atau angina (1 poin)


TDS <100mmHg (3 poin)
Frekuensi jantung > 100x/i (2 poin)
Klasifikasi Killip II-IV (2 poin)
Berat < 67 kg (1 poin)
Elevasi ST anterior atau LBBB (1 poin)
Waktu ke reperfusi > 4 jam (1 poin)
Skor risiko = total poin (0-14)
Hasil Laboratorium
Darah Lengkap
Hemoglobin

: 13.40 g/dL

(13.2 17.3)

Eritrosit

: 4.15 x 106/mm3

(4.20 4.87)

Leukosit

: 11.42 x 103/mm3

(4,5 11,0)

Hematokrit

: 37.00 %

(43 49)

Trombosit

: 241 x 103/mm3

(150 450)

MCV

: 89.20 fL

(85 95)

MCH

: 32.30 pg

(28 32)

MCHC

: 36.20 %

(33 35)

RDW

: 12.20 %

(11.6 14.8)

MPV

: 10.00 fL

(7 10.2)

PCT

: 0.24 %

PDW

: 11.5 fL

Hitung jenis
Neutrofil

: 58.80 %

(37 80)

Limfosit

: 26.90 %

(20-40)

Monosit

: 9.40 %

(2-8)

Eosinofil

: 4.60 %

(1-6)

Basofil

: 0.30 %

(0-1)

Ureum

: 18.20 mg/dL

(<50)

Kreatinin

: 0.80 mg/dL

(0.70 1.20)

Faal Ginjal

Elektrolit
Natrium (Na) : 141 mEq/dL

(131- 135)

2,2
4,4
7,3
12,4
16,1
23.4
26,8
3/14

Kalium (K)

: 3.4

/dL

Klorida (Cl)

: 109 mEq/dL

(3.6 -5.5)
(96 100)

KGD sewaktu : 135.20 mg/dL

(<200)

CK-MB

: 26 U/L

(7-25)

Troponin T

: 1.8

(0,0-0, 1)

Kemih

: dalam batas normal

Tinja

: Tidak dilakukan pemeriksaan

DIAGNOSIS
1. Fungsional : STEMI anteroekstensif onset 3 hari Killip I TIMI Risk 3/14
2. Anatomi

: Arteri koroner

3. Etiologi

: Atherosklerosis

TERAPI
1. Nonfarmakologis
a. Tirah baring
2. Farmakologis
a. O2 2-4L nasal kanul
b. IVFD NaCl 0,9% 10 gtt/i mikro
c. Inj. Lovenox 0.6cc/12 jam
d. Clopidogrel 1 x 75 mg loading dose 300 mg
e. Aspilet 1 x 80 mg loading dose 160 mg
f. Simvastatin 1x 40 mg
g. ISDN 3 x 5 mg
h. Bisoprolol 1x 1,25 mg
RENCANA PENJAJAKAN
1.
2.
3.
4.

EKG serial
Pemeriksaan enzim jantung serial
KGD 2 jam PP, HbA1C, Lipid profile
Angiografi koroner

PROGNOSIS
Dubia ad bonam

34

BAB 4
FOLLOW UP PASIEN

Tanggal
1/7/2015

Nyeri dada

Sens : Compos Mentis

Sesak napas

TD :120/80

A
-

STEMI
anteroekstensif

Pols : 120 x/i

onset 3 hari

RR : 32 x/i

Killip III TIMI

Temp : 36.0oC

Risk 7/14
DM Tipe 2

Pemeriksaan fisik :
Kepala : anemis -/-, ikterus -/Leher : TVJ R+3 cmH2O
Thoraks : cor: S1 S2: N murmur: (-)
Pulmo: Sp : Vesikuler

St: (+)

ronkhi basah

P
Terapi
Tirah baring
O2 2-4L/i
IVFD NaCL 0.9%
-

10gtt/i
Plavix 1x 75mg
Aspilet 1x80mg
Inj. Furosemid

Diagnostik
Konsul

35

endokrin
KGD/jam,
KGDN/2jpp
, HbA1c
Lipid

20mg/6jam
Inj Lovenox

profile

0,6cc/12 jam (H-1)


Alpazolam 1 x

rdiografi

Ecoca

0,5mg (malam)
Laxadin I x C1
Simvastatin 1x40
mg (malam)

Abdomen: soepel, BU (+) normal


Ekstremitas: akral hangat, oedem
(-/-)
Hb:16.6g/dl Leukosit: 14.4x103 mm3 MCH: 8.2 MCHC: 37,10 g% PDW:
10.3 fl Troponin T: Negatif CKMB: 236 U/L RBC:6.20x103mm 3
PLT=223x103 mm3 RDW 11,9% MPV: 9 fl PCT: 0.20% AST: 409 U/L ALT:
80 U/L Na: 137 mEq/L K:3.6 mEq/L Cl: 101 mEq/l
Echocardiography: SR, ventrikel rate 70 x/i, gel P normal 0,08 s, interval
PR 0,16 s, kompleks QRS 0,08 s + LAD, segmen ST elevasi di V1 V5, gel T
normal.
Kesimpulan: SR + LAD + STEMI anteroekstensif
EKG Serial: Sinus Rhythm, heart rate 78x/i reguler, normoaxis, P wave (+)
normal durasi 0,08 s, PR interval 0,16 s, Q wave (+) normal, QRS duration
0,12 s, ST segment elevasi di lead V1 V6, ST depresi (-), T inversi (-),
LVH(-), RVH (-), VES(-)

36

BAB 5
PEMBAHASAN DAN DISKUSI

3.1.

Anamnesis
Gejala yang paling sering ditemui dalam SKA adalah adanya nyeri dada

tipikal (angina tipikal) maupun atipikal (angina atipikal). Nyeri tipikal berupa rasa
nyeri yang berlokasi di retrosternal, menjalar ke lengan kiri, leher, rahang, area
interskapular, bahu, dan epigastrium nyeri terasa seperti terbakar maupun tertipa
beban berat. Keluhan ini dapat bertahan dalam jangka waktu yang lama yaitu
diatas 20 menit. Keluhan angina juga padat disertai dengan diaphoresis, mual,
muntah, nyeri abdomen, sesak nafas, dan sinkop (PERKI, 2014).
Sedangkan pada angina atipikal dapat ditemui keluhan seperti nyeri yang
menjalar pada daerah yang penjalaran angina tipikal, gangguan pencernaan. Pada
pasien usia tua, penderita diabetes mellitus, wanita, gagal ginjal menahun,
maupun demensia, angina tipikal sering terjadi pada pasien usia muda (25-40
tahun) atau usai lanjut ( > 75 tahun), wanita, penderita diabetes, gagal ginjal
menahun, atau demensia.
Pasien yang datang dengan keluhan nyeri dada perlu dilakukan anamnesis
secara cermat apakah nyeri dada berasal jantung atau dari luar jantung. Jika
dicurigai nyeri dada dari jantung perlu dibedakan apakah nyeri berasal dari
koroner atau bukan, apakah ada riwayat infark miokard sebelumnya serta faktor
faktor resiko antara lain hipertensi, diabetes mellitus, dislipidemia, merokok,
stress emosional, serta riwayat sakit jantung koroner pada keluarga (Tylorer et. al,
2000).
Nyeri yang bersifat pleuritik, dapat ditunjuk dengan satu jari terutama
berlokasi di apeks ventrikel kiri, nyeri akibat pergerakan tubuh atau saat dipalpasi,
durasinya hanya beberapa detik, berlokasi di abdomen tengah atau bawah serta
adanya penjalaran hingga ke ekstremitas bawah, kemungkinan bukan merupakan
nyeri akibat iskemi miokard (PERKI, 2014).

37

Selain nyeri hal gejala lain yang perlu ditanyakan adalah riwayat sesak
nafas. Sesak nafas bisa disebabkan oleh peningkatan mendadak tekanan akhir
diastolic ventrikel kiri, disamping itu perasaan cemas bisa menimbulkan
hiperventilasi. Pada infark yang tanpa gejala nyeri, sesak nafas merupakan tanda
adanya disfungsi ventrikel kiri yang bermakna.
Selain itu dapat pula ditanyakan mengenai gejala gastrointestinal seperti
mual dan muntah. Peningkatan aktivitas vagal menyebabkan mual dan muntah,
dan biasanya lebih sering pada infark inferior, dan stimulasi diafragma pada infak
inferior juga bisa menyebabkan cegukan. Gejala lain seperti palpitasi, rasa pusing,
atau sinkop dari aritmia ventrikel, dan gejala akibat emboli arteri (misalnya stroke,
iskemia ekstremitas) juga perlu diperhatikan saat menganamnesis pasien.
Pada pasien didapati nyeri dada tipical infark (karakteristik seperti ditusuk
tusuk dengan penjalaran ke bahu) dengan durasi>20 menit, disertai dengan mual
muntah dan keringat dingin. Riwayat sesak nafas dan jantung berdebar (-).

3.2.

Faktor Risiko

Faktor risiko biologis yang tidak dapat dimodifikasi, yaitu :


1. Usia
Risiko terjadinya penyakit arteri koroner meningkat dengan bertambahnya
umur yaitu diatas 45 tahun pada pria dan diatas 55 tahun pada wanita. Pasien usia
lanjut lebih sering dari pada usia muda mengalami perubahan abnormalitas
anatomi dan fisiologi kardiovaskular, termasuk respon simpatis beta yang terbatas,
peningkatan afterload jantung karena penurunan compliance arteri dan hipertensi
arterial, hipotensi ortostatik, hipertropi jantung, dan disfungsi ventrikular terutama
disfungsi diastolik (Fuster et. al, 2011).
2. Jenis kelamin
Laki-laki memiliki resiko lebih tinggi dari pada perempuan.Walaupun
setelah menopause, tingkat kematian perempuan akibat penyakit jantung
meningkat, tapi tetap tidak sebanyak tingkat kematian laki-laki akibat penyakit
jantung.

38

3. Riwayat keluarga
Dengan riwayat keluarga yang memiliki penyakit jantung juga merupakan
faktor resiko, termasuk penyakit jantung pada ayah dan saudara pria yang
didiagnosa sebelum umur 55 tahun, dan pada ibu atau saudara perempuan yang
didiagnosa sebelum umur 65 tahun.
Faktor risiko yang dapat dimodifikasi, yaitu:
1. Merokok
Peran rokok dalam penyakit jantung koroner antara lain menimbulkan
aterosklerosis,

peningkatan

kejadian

trombogenesis

dan

vasokonstriksi,

peningkatan tekanan darah, pemicu aritmia jantung, meningkatkan kebutuhan


oksigen jantung, dan penurunan kapasitas pengangkutan oksigen. Merokok 20
batang rokok atau lebih dalam sehari bisa meningkatkan risiko 2-3 kali
dibandingkan yang tidak merokok.
2. Hipertensi
Hipertensi menyebabkan meningkatnya afterload yang secara tidak
langsung akan meningkatkan beban kerja jantung. Kondisi seperti ini akan
memicu hipertropi ventrikel kiri sebagai kompensasi dari meningkatnya afterload
yang pada akhirnya meningkatkan kebutuhan oksigen jantung.
3. Dislipidemia
Kolesterol merupakan prasyarat terjadi penyakit koroner pada jantung.
Kolesterol akan berakumulasi di lapisan intima dan media pembuluh arteri
koroner. Jika hal tersebut terus berlangsung akan membentuk plak sehingga
pembuluh arteri koroner yang mengalami inflamasi atau terjadi penumpukan
lemak akan mengalami aterosklerosis (Gaziano, 2008).
4. Obesitas
Beberapa perubahan metabolisme lemak sering kali dijumpai pada
individu obesitas. Perubahan perubahan ini berkaitan erat dengan jumlah lemak
viseral dibandingkan dengan total lemak tubuh. Pada umumnya, obesitas
cenderung meningkatkan kadar kolesterol total dan trigliserida dan menurunkan
kadar HDL. Meskipun kolesterol LDL tetap meningkat sedikit atau normal,

39

partikel small dense LDL yang aterogenik cenderung meningkat, terutama pada
pasien dengan resistensi insulin yang berkaitan dengan adipositas viseral.
Perubahan perubahan ini meningkatkan risiko terjadinya aterosklerosis.
5. Diabetes mellitus
Diabetes mellitus sudah dikenal sebagai faktor resiko utama penyakit
kardiovaskular.Data dari penelitian klinis menunjukkan sebagian besar pasien DM
meninggal karena penyakit kardiovaskular dan lebih dari tiga perempat pasien
DM yang meninggal penyebabnya dikaitkan dengan aterosklerosis, sebagian besar
kasus (75%) karena PJK.
Pada Pasien didapati faktor risikonya adalah laki laki usia > 45 tahun,
penderita DM tipe 2, dan perokok.

3.3.

Pemeriksaan Fisik
Gangguan fungsi ventrikel dapat menyebabkan gangguan perfusi dari

jaringan seringnya menyebabkan penurunan kesadaran, diaphoresis, takikardia,


dan gagal ginjal akut prerenal. Pada 6-10 % kasus STEMI dapat dijumpai syok
kardiogenik dengan onset antara 6 jam setelah terjadi serangan. Syok kardiogenik
sendiri terjadi 75% pada 24 jam sewaktu onset. Hipotensi, takikardia saat istirahat,
perubahan status mental, oliguria, ekstremitas dingin, dan kongesti paru dapat
dijumpai pada pasien STEMI dengan syok kardiogenik (PERKI, 2014).
Aritmia, baik takiaritmia, maupun bradiaritmia, dapat dijumpai pada
pasien dengan STEMI. Batuk, mengi, dan batuk berdahak yang berbusa bisa
dijumpai pada pasien dengan STEMI. Demam biasanya terjadi dalam waktu 2448 jam (Emedicine, 2014).
Dalam pemeriksaan fisik juga dapat ditemui suara jantung S4 yang terjadi
akibat iskemia dan kurangnya ATP sehingga menyebabkan kekakuan otot jantung.
Desah holosistolik yang dapat ditemui terjadi akibat regurgitasi mitral yang
diakibatkan iskemia inferior. Desah holosistolik ini terdengar paling kuat di apeks
dan mengalami radiasi ke arah aksila (Learntheheart, 2014).

40

Tabel 3.1. Tanda dan Gejala pada SKA (Lily, 2011)


Tanda dan Gejala yang bisa ditemui pada SKA
Karakteristik nyeri
Berat, persisten, berlokasi di substernal
Efek simpatis
Diaphoresis
Ekstremitas dingin
Parasimpatis (efek vagal)
Mual, muntah
Kelemahan
Respon inflamatorik
Demam dengan derajat rendah
S4 (dan S4 jika gangguan sistolik terjadi)
Temuan pada jantung
Gallop
Penonjolan diskinetik
Mumur sistolik
Lainnya
Ronki basah basal pada paru-paru
Distensi vena jugular

Pada Pasien tidak ditemukan kelainan pada pemeriksaan fisik.

3.4.
3.4.1. Elektrokardiogram

Pemeriksaan Penunjang

Pada SKA pemeriksaan EKG merupakan modalitas dalam menegakkan


diagnosis STEMI. EKG harus dilakukan sesegera mungkin setelah pasien
mencapai rumah sakit, yaitu sekitar 10 menit. Gambaran EKG pada SKA
bervariasi, dapat normal, nondiagnostik, Left Bundle Branch Block (LBBB),
elevasi segmen ST yang persisten di atas 20 menit (PERKI, 2014).
Pada STEMI gambaran yang paling khas adalah adanya ST elevasi pada
EKG. Elevasi dari ST merupakan penanda adanya infark miokardium yang
menggambarkan kerusakan yang bersifat luas dan memiliki kemungkinan besar
reversible. Akan tetapi, dalam beberapa kasus elevasi dari segmen ST merupakan
tanda dari infark sejati. Hal ini juga menunujukkan bakhwa untuk terapi dari
STEMI membutuhkan tindakan yang agresif. ST elevasi biasanya kembali kepaga
garis isoelektris dalam beberapa jam dan ST elevasi yang persisten menunujukkan

41

adanya penggembungan dari ventrikel dan melemahnya ventrikel yang lebih


dikenal dengan aneurisma ventrikuler. Elevasi ST dinilai dengan 2 sadapan yang
bersebelahan dan bergantung pada usia dan jenis kelamin.
Gelombang Q menunjukkan adanya kematian dari sel miokardium yang
ireversibel dan biasanya muncul dalam beberapa jam setelah terjadinya infark dan
cenderung menetap seumur hidup pasien. Gelombang Q terbentuk karena jaringan
yang mati tidak bisa mengalirkan aliran listrik sehingga aliran listrik menjauhi
dari daerah yang mengalami infark. EKG juga digunakan untuk mengetahui di
mana kerusakan myocardium sesuai dengan sadapannya (Lily, 2011).

Gambar 1. Evolusi gambaran EKG


pada STEMI (Lily, 2011)

Tabel 3.2. Lokasi Infark Berdasarkan sadapan EKG (PERKI, 2014)


Sadapan dengan deviasi Segmen
Lokasi Iskemia atau Infark
V1-V4
Anterior
V5-V6,I, aVL
Lateral
II, III, aVF
Inferior
V7-V9
Posterior
V3R-V4R
Ventrikel kanan
Pada pasien ini EKG disimpulkan dengan STEMI anteroseptal dengan ST elevasi
di lead V1, V2, V3, V4.
3.4.2. Marka Jantung
1.
CK-MB

42

CK-MB merupakan isoenzim dari kreatinine kinase yang di temukan di


jantung sehingga dijadikan sebagai dasar dari kriteria standar pada diagnosis
miokardiak infark. CK-MB meningkat pada 3-12 jam dari onset nyeri dada dan
mencapai puncak dalam waktu 24 jam. Pada waktu 48 hingga 72 jam nilainya
akan kembali ke nilai normal. Spesifisitasnya tidak setinggi troponin tetapi
sensitivitasnya sekitar 95% (Emedicine, 2014).
2.

Troponin
Cardiac troponin merupakan penanda kerusakan miokard yang memiliki

spesifisitas tinggi. Protein ini dilepaskan oleh area yang kecil pada kerusakan
miokardium sekitar 1 3 jam setelah terjadinya kerusakan otot jantung dan
kembali normal pada 5-7 hari. Sedangkan pada darah perifer, peningkatan terjadi
pada waktu 3 4 jam, menghilang dalam 2 3 hari dan bila nekrosis luas dapat
bertahan hingga 2 minggu (PERKI, 2014). Troponin lebih spesifik dibanding CKMB.
Faktor yang menyebabkan kenaikan dari troponin adalah :
1.

Takiaritmia atau bradiaritmia berat

2.

Infark miokardiak akut

3.

Infark miocardiak surgical

4.

Unstable angina

5.

Miokarditis

6.

Dissecting aneurysm

7.

Trauma pada otot, rhabdomyolisis, polymyositis, dermatomyositis

8.

Penyakit kritis terutama pada sepsis

9.

Emboli paru

10.

Gangguan ginjal.
Tabel 3.3. Marka jantung yang sering digunakan (Fishbach, 2014)

Penanda

Waktu

Waktu Peningkatan

Waktu kembali ke nilai

Peningkatan Awal

Tertinggi

normal

43

CK-MB

4 8 jam

12 24 jam

72 96 jam

Troponin I

4 6 jam

12 jam

3 10 jam

Troponin T

4 8 jam

12 48 jam

7 10 jam

Pada Pasien dijumpai hasil pemeriksaan enzim jantung yang meningkat


yaitu CK-MB.
3.4.3. Angiografi Koroner
Coronary angiography merupakan pemeriksaan khusus dengan sinar x
pada jantung dan pembuluh darah. Sering dilakukan selama serangan untuk
menemukan letak sumbatan pada arteri koroner. Jika ditemukan sumbatan,
tindakan lain yang dinamakan angioplasty, dapat dilakukan untuk memulihkan
aliran darah pada arteri tersebut. Kadang kadang akan ditempatkan stent (pipa
kecil yang berpori) dalam arteri (Van de werf et al, 2008). Pada pasien ini belum
dilakukan penjajakan angiografi koroner.

3.5.

Penatalaksanaan

3.5.1. Tatalaksana Awal


Prognosis STEMI sebagian besar tergantung dengan adanya 2 kelompok
komplikasi umum yaitu komplikasi elektrikal (aritmia) dan komplikasi mekanik
(pump failure). Sebagian besar kematian di luar Rumah Sakit pada STEMI
disebabkan adanya fibrilasi ventrikel mendadak, yang sebagian besar terjadi pada
jam pertama. Karena itu diperlukan elemen utama tatalaksana pra rumah sakit
pada pasien yang dicurigai STEMI, antara lain :
a. Penanganan gejala oleh pasien dan segera mencari pertolongan medis
b. Segera memanggil tim medis emergensi yang dapat melakukan tindakan
resusitasi

44

c. Transportasi pasien ke rumah sakit yang mempunyai fasilitas ICCU/ICU


serta staf medis dokter dan perawat yang terlatih
d. Melakukan terapi reperfusi.
Keterlambatan terbanyak yang terjadi pada penanganan pasien biasanya
bukan selama transportasi ke Rumah Sakit, namun karena lama waktu mulai onset
nyeri dada sampai keputusan pasien untuk meminta pertolongan. Hal ini bisa
ditanggulangi dengan cara edukasi kepada masyarakat.
3.5.2. Tatalaksana Umum
1.

Oksigen
Suplemen oksigen harus diberikan pada pasien dengan saturasi oksigen
arteri <90%. Pada semua pasien STEMI tanpa komplikasi dapat diberikan oksigen
selama 6 jam pertama (PERKI, 2014).

2.

Nitrogliserin
Nitrogliserin sublingual dapat diberikan dengan aman dengan dosis 0,4 mg
dan dapat diberikan sampai 3 dosis dengan interval 5 menit. Selain mengurangi
nyeri dada, nitrogliserin juga dapat menurunkan kebutuhan oksigen miokard
dengan menurunkan preload dan meningkatkan suplai oksigen miokard dengan
cara dilatasi pembuluh koroner yang terkena infark atau pembuluh kolateral. Jika
nyeri dada terus berlangsung dapat diberikan nitrogliserin intravena. Nitrogliserin
intravena juga diberikan untuk mengendalikan hipertensi atau edema paru.

3.

Morfin
Morfin sangat efektif mengurangi nyeri dada dan merupakan analgesik
pilihan dalam tatalaksana nyeri dada pada STEMI. Morfin diberikan dengan dosis
2 4 mg dan dapat diulang dengan interval 5 15 menit dengan dosis total 20
mg. Mengurangi dan menghilangkan nyeri dada sangat penting karena nyeri
dikaitkan dengan aktivasi simpatis yang menyebabkan vasokontriksi dan
meningkatkan beban jantung (Fuster et. al, 2011).

4.

Aspirin

45

Aspirin merupakan tatalaksana dasar pada pasien yang dicurigai STEMI


dan efektif pada spektrum sindrom koroner akut. Inhibisi cepat siklooksigenase
trombosit yang dilanjutkan reduksi kadar tromboksan A2 dicapai dengan absorpsi
aspirin bukal dengan dosis 160-325 mg diruang emergensi. Selanjutnya aspirin
diberikan oral dengan dosis 75-162 mg.
5.

Penyekat Beta
Jika morfin tidak berhasil mengurangi nyeri dada, pemberian penyekat
beta IV, selain nitrat mungkin efektif. Regimen yang biasa diberikan adalah
metoprolol 5 mg setiap 2-5 menit sampai total 3 dosis, dengan syarat frekuensi
jantung >60 menit, tekanan darah sistolik >100 mmHg. Lima belas menit setelah
dosis IV terakhir dilanjutkan dengan metoprolol oral dengan dosis 50 mg tiap 6
jam selama 48 jam, dan dilanjutkan 100 mg tiap 12 jam.

6.

ACE Inhibitor
ACE Inhibitor harus segera diberikan jika tekanan darah stabil dan tetap di
atas 100 mmHg. Keuntungan ACE Inhibitor terutama terlihat pada pasien dengan
gagal jantung, infark miokard, disfungsi ventrikel kiri. ACE Inhibitor seperti
captopril 6,25 mg diberikan 3 dosis, target 25-50 mg.

7.

Antagonis Kalsium
Tidak terdapat bukti yang mendukung penggunaan antagonis kalsium
secara rutin. Namun golongan obat ini dapat digunakan sebagai terapi tambahan
pada penderita dengan nyeri dada iskemik yang berlanjut walaupun telah
mendapatkan nitrat dan penyekat beta.

8.

Antitrombotik
Menurut John (2008) heparin dapat diberikan dalam bentuk unfractionated
heparin atau low molecular weight heparin. Unfractionated heparin diberikan
5000 Unit bolus dilanjutkan dengan 1000 Unit/jam. Dosis heparin kemudian
diteruskan sesuai pemeriksaan aPTT (target aPTT 1,5-2 x nilai normal).

9.

Antagonis Reseptor Glykoprotein IIb/IIIa

46

Golongan obat ini sedang diuji pada uji klinik sebagai terapi adjuvant
fibrinolitik. Penggunaannya pada primary PTCA terbukti memperbaiki angka
harapan hidup.
Pada pasien ini dilakukan penatalaksanaan berupa pemberian antiplatelet
berupa aspilet ditambah dengan clopidogrel.
10.

Terapi Reperfusi

Gambar 2. Pendekatan Manajemen STEMI (Gabriel et. al, 2008)


Reperfusi dini akan memperpendek lama oklusi koroner, meminimalkan
derajat disfungsi dan dilatasi ventrikel dan mengurangi kemungkinan pasien
STEMI berkembang menjadi pump failure atau takiaritmia ventrikular yang
maligna.
Pemberian terapi fibrinolitik tidak perlu menunggu hasil pemeriksaan
enzim jantung, karena penundaan yang tidak perlu ini dapat mengurangi

47

miokardium yang seharusnya dapat terselamatkan. Jika keluhan pasien sesuai


dengan IMA dan kadar enzim jantung yang meningkat, namun tidak terdapat ST
elevasi pada EKG, maka diagnosisnya adalah infark non ST elevasi (NSTEMI).
Pasien harus mendapat terapi heparin, aspirin, dan obat obat anti angina. Terapi
fibrinolitik tidak boleh diberikan pada infark non ST elevasi. Namun pada pasien
STEMI pemberian fibrinolitik harus dilakukan sesegera mungkin, karena semakin
cepat diberikan semakin banyak miokardium yang terselamatkan. Sebaiknya
dicapai dalam waktu kurang dari 30 menit (Fuster et. al, 2011). Jenis jenis obat
fibrinolitik diantaranya :
1. Streptokinase
Regimen 1,5 juta unit dalam 100 NaCl 0,9% atau dekstrose 5%
diberikan dalam 1 jam (Fuster et. al, 2011). Terapi dinyatakan berhasil bila
dijumpai VES (ventricular extrasystole) pada pantauan elektrokardiografi
yang menandakan lisisnya tromboemboli.
2. Tissue Plasminogen Activator (tPA)
Penggunaan tPA harus dipertimbangkan pada pasien pasien yang
telah mendapatkan streptokinase dalam 2 tahun terakhir, alergi terhadap
streptokinase, hipotensi (TDS < 90 mmHg).
Indikasi terapi fibrinolitik adalah sebagai berikut :
a. Gejala yang sesuai dengan IMA
b. Perubahan EKG berupa ST elevasi >0,1 mm pada minimal 2 sandapan
berdekatan yang merupakan gambaran bundle branch block baru
c. Onset nyeri dada < 6 jam sangat bermanfaat, 6-12 jam bermanfaat, dan
>12 jam tidak bermanfaat, kecuali dengan penderita dengan iskemia lanjut,
yang terbukti berlanjutnya nyeri dada dan ST elevasi pada EKG.
Kontraindikasi

fibrinolitik

menurut

Bottiger

et.

al tahun

2008,

keberhasilan resusitasi tidak dikontraindikasikan dengan terapi fibrinolitik. Akan


tetapi, pada keadaan yang tidak efektif dimana dapat terjadi peningkatan
perdarahan yang merugikan, pemberian fibrinolitik tidak diindikasikan.

48

Tabel 3.4. Kontraindikasi fibrinolitik (Gabriel et. al, 2008)


Kontra Indikasi Absolut
Stroke hemoragik atau stroke yang

Kontra Indikasi Relatif


Transient Ischaemic Attack (TIA)

belum diketahui dengan awitan

dalam 6 bulan

kapanpun
Stroke iskemik 6 bulan terakhir
Kerusakan sistem saraf sentral dan

Pemakaian antikoagulan oral


Kehamilan atau dalam 1 minggu post

neoplasma
Trauma operasi/ trauma kepala yang

partum
Tempat tusukan yang tidak dapat

berat dalam 3 minggu terakhir


Perdarahan saluran cerna dalam 1

dikompresi
Resusitasi traumatik

bulan terakhir
Penyakit perdarahan

Hipertensi refrakter (tekanan darah


sistolik > 180mm Hg
Penyakit hati lanjut
Ulkus peptikum yang aktif

Diseksi aorta

Kegagalan fibrinolitik ditandai dengan berlanjutnya nyeri dada dan


menetapnya ST elevasi. Komplikasi berupa gagal jantung, aritmia lebih banyak
terjadi, untuk itu rescue PTCA harus dipertimbangkan. Jika tidak memungkinkan,
sebaiknya fibrinolitik diulangi dengan dosis yang sama (Fuster et. al, 2011).
Primary

PTCA

terbukti

memiliki

keberhasilan

membuka

dan

mempertahankan patensi arteri koroner yang tersumbat lebih baik dibandingkan


fibrinolitik. Namun tindakan ini masih terbatas pada beberapa rumah sakit
sehingga dipertimbangkan sebagai alternatif tindakan reperfusi pada pasien
dengan kontraindikasi absolut fibrinolitik atau pasien dengan syok kardiogenik,
tindakan ini tidak dianjurkan jika pemberian fibrinolitik melebihi 60-90 menit.
BAB 6
KESIMPULAN

49

Dilaporkan laki laki, BM, 48 tahun, dengan diagnosa STEMI inferior


onset 3 hari Killip I TIMI Risk 3/14. Selama perawatan kondisi stabil dan
direncanakan tindakan EKG serial, pemeriksaan enzim jantung serial, KGD 2 jam
PP, HbA1C, lipid profile, dan angiografi koroner. Selama perawatan os mendapat
pengobatan berupa :
1. Tirah baring
2. O2 2-4 L/i
3. IVFD NaCl 0,9% 10 gtt/i mikro
4. Clopidogrel 1 x 75 mg loading dose 300 mg
5. Aspilet 1 x 80 mg loading dose 160 mg
6. Simvastatin 1x 40 mg
7. ISDN 3 x 5 mg
8. Bisoprolol 1x 1,25 mg

DAFTAR PUSTAKA
1

Robbins SL, Cotran RS, Kumar V. Buku Ajar Patologi Robbins. Jakarta:
EGC; 2007.

50

Tim Penyusun. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi Ketiga Jilid Pertama.


Jakarta: Media Aesculapius FKUI; 2001.

Khairuni, Raisa., 2013. Gambaran Jenis dan Biaya Obat pada Pasien Rawat
Inap dengan Sindroma Koroner Akut di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam
Malik Medan pada Tahun 2011. USU Institutional repository.

Nielsen K., Faergeman O., Larsen M.L., and Foldspang A., 2006. "Danish
singles have a two fold risk of acute coronary syndrome. Dalam: Nurulita A,
Bahrun U., Arif M., 2011. Perbandingan Kadar Apolipoprotein B dan Fraksi
Lipid Sebagai Faktor Resiko Sindroma Koroner Akut. JST Kesehatan 2011; 1:
95

Erhardt L, Herlitz J, Bossaert L. Task force on the management of chest pain.


EurHeart J. 2002; 23 (15) : 1153-76.

Antman EM, Hand M, Armstrong PW, Bates ER, Green LA, Hochman JS, et
al. Focused update of the ACC/AHA 2004 guidelines for the management of
patients with ST-elevation myocardial infarction: a report of the American
College of Cardiology/American Heart Association Task Force on Practice
Guidelines: developed in collaboration with the Canadian Cardiovascular
Society, endorsed by the American Academy of Family Physicians: 2007
Writing Group to Review New Evidence and Update the ACC/AHA 2004
Guidelines for the Management of Patients With ST-Elevation Myocardial
Infarction, writing on behalf of the 2004 Writing Committee. J Am Coll
Cardiol. 2008;51:210247.

Werf FV, Bax J, Betriu A, Crea F, Falk V, Fox K, et al. Management of acute
myocardial infarction in patients presenting with persistent ST-segment
elevation: the Task Force on the Management of ST-Segment Elevation Acute
Myocardial Infarction of the European Society of Cardiology. Eur Heart J
2008;29:29092945.

Guyton AC, Hall JE. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta: EGC; 2007.

Lilly, L. S., 2011.Pathophysiology of Heart Disease: Edisi 5.Lippincott


Williams&Wilkins.Philadelphia, 161-162.

51

10 World Health Organization,2008. Mortality Country Fact Sheet . Available


from: http://www.who.int/whosis/mort/profiles/mort_searo_idn_indonesia.pdf
11 Gaziano, T.A, Gaziano, J.M, 2008. Epidemiology of Cardiovascular
Disease.In : Loscalzo, J. ed. Harrisons Cardiovascular Medicine. United
State of America: The McGraw-Hill Companies : 18
12 Libby P, Bonow RO, Mann DL, Zipes DP. Braunwalds Heart Disease : A
textbook of Cardiovascular Medicine. Philadephia: Elsevier; 2008.
13 World Health Organization,2008. Mortality Country Fact Sheet . Available
from: http://www.who.int/whosis/mort/profiles/mort_searo_idn_indonesia.pdf
14 KementerianKesehatan Indonesia, 2011.Risiko Utama Penyakit Tidak
Menular

Disebabkan

Rokok.

Indonesia.

Jakarta:

DepartemenKesehatanRepublik

Available

from:

http://www.depkes.go.id/index.php/component/content/article/43newsslider/1386-risiko-utama-penyakit-tidak-menular-disebabkan-rokok.html
15 Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia, 2014. Infark
Miokard dengan Elevasi Segmen ST. Edisi ke-3.
16 Rhee W.J, Sabattne S.M., Lily S.L., 2011. Acute Coronary Syndromes,p.161188, Pathophysiology of Heart Diseases, 5th edition, Philadelphia, Lippincott
Williams & Wilkins, a Wolters Kluwer business.
17 Katritsis, D.G., Gersh, B.J., and Camm, A.J., 2013. Acute Myocardial
Infarction, p.177. In: Clinical Cardiology: Current Practice Guidelines,
Oxford, Oxford University Press.
18 Kawai C., Pathognesis of Acute Myocardial Infarction, Novel Regulatory
System of Bioactive Substance in the Vessel Wall. 2012. American Heart
Association .
19 Diego S., William W., Thygesen C., Management of acute myocardial
infarction in patients presenting with ST-segment elevation.2002. European
Society of Cardiology. Elsevier.
20 Tyroler H.A., Diseases and Health Probelms, 2000, Coronary Heart Disease
Epidemiology in the 21st Century, The Johns Hopkins University School of
Hygiene and Public Health.

52

21 American Heart Association. Older Americans and Cardiovascular DiseasesStatistics. 2013.Available from: http://www.american
heart.org/presenter.jhtml identifier_3000936
22 Fuster,at al. Hurst, The Heart Disease. 13th, 2011, McGraw Hill Publisher.
23 Steg, Gabriel, et.al., 2012, ESC Guidelines for The Management of Acute
Myocardial Infarction in Patients Presenting with ST-Segment Elevation,
European Heart Journal, p. 1-51
24 ESC Guidelines for the management of acute myocardial infarction in
patients presenting with ST-segment elevation. Eur Heart J 2012; 33 :2501
2502.

You might also like