Professional Documents
Culture Documents
(110100249)
Puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang telah memberikan
berkat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan kasus ini
dengan judul ST-Segment Elevation Myocardial Infarction.
Penulisan laporan kasus ini adalah salah satu syarat untuk menyelesaikan
Kepaniteraan Klinik Senior Program Pendidikan Profesi Dokter di Departemen
Kardiologi dan Kedokteran Vaskular, Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera
Utara.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada Dokter
pembimbing, dr. Zainal Safri, Sp. PD, Sp. JP(K), yang telah meluangkan waktunya
dan memberikan banyak masukan dalam penyusunan laporan kasus ini sehingga
penulis dapat menyelesaikannya tepat waktu.
Penulis menyadari bahwa penulisan laporan kasus ini masih jauh dari
kesempurnaan, baik isi maupun susunan bahasanya, untuk itu penulis mengharapkan
saran dan kritik dari pembaca sebagai koreksi dalam penulisan laporan kasus
selanjutnya. Semoga makalah laporan kasus ini bermanfaat, akhir kata penulis
mengucapkan terima kasih.
Penulis
DAFTAR ISI
COVER
KATA PENGANTAR................................................................................. ii
DAFTAR ISI............................................................................................... iii
DAFTAR TABEL....................................................................................... iv
DAFTAR GAMBAR.................................................................................. iv
BAB 1 PENDAHULUAN.......................................................................... 1
BAB 2 LAPORAN KASUS....................................................................... 2
BAB 3 DISKUSI......................................................................................... 14
BAB 4 KESIMPULAN.............................................................................. 27
DAFTAR PUSTAKA ...............................................................................
28
DAFTAR TABEL
Tabel 3.1. Tanda dan Gejala pada SKA................................................. 18
Tabel 3.2. Lokasi Infark Berdasarkan sadapan EKG............................. 19
Tabel 3.3. Marka jantung yang sering digunakan.................................. 21
Tabel 3.4. Kontraindikasi fibrinolitik..................................................... 26
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Evolusi gambaran EKG pada STEMI.................................. 19
Gambar 2. Pendekatan Manajemen STEMI.......................................... 24
BAB 1
PENDAHULUAN
Pembuluh darah koroner merupakan pembawa darah yang berisi oksigen dan
nutrisi untuk otot jantung agar dapat berfungsi dengan baik. Jika terjadi gangguan
pada pembuluh ini, itulah yang dapat menyebabkan penyakit jantung koroner (PJK).
Sindroma Koroner Akut (SKA) merupakan bagian dari PJK (PERKI, 2014). SKA
istilah yang digunakan untuk kumpulan simptom yang muncul akibat iskemia
miokard akut. SKA yang terjadi akibat infark otot jantung disebut infark miokard.
Termasuk di dalam SKA adalah unstable angina pektoris, infark miokard non elevasi
segmen ST (Non STEMI), dan infark miokard elevasi segmen ST (STEMI)
(Ramrakha, 2006).
Infark miokard adalah nekrosis miokard yang berkembang cepat oleh karena
ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen otot-otot jantung (Fenton,
2009). Hal ini biasanya disebabkan oleh ruptur plak yang kemudian diikuti oleh
pembentukan trombus oleh trombosit. Lokasi dan luasnya miokard infark bergantung
pada lokasi oklusi dan aliran darah kolateral (Irmalita, 1996).
Menurut WHO (2008), pada tahun 2002 penyakit infark miokard akut
merupakan penyebab utama kematian di dunia yaitu terhitung sebanyak 7.200.000
(12,2%) di seluruh dunia. Di negara berpenghasilan rendah angka kematian pun
mencapai 2.470.000 (9,4%). Di Indonesia juga penyakit infark miokard akut ini
merupakan penyebab kematian tersering dengan angka mortalitas 220.000 (14%).
Menurut penelitian Direktorat Jenderal Yanmedik Indonesia tahun 2007,
jumlah pasien penyakit jantung yang menjalani rawat inap dan rawat jalan di rumah
sakit di Indonesia adalah 239.548 jiwa. Kasus terbanyak adalah penyakit jantung
iskemik, yaitu 110.183 kasus. Prevalensi tertinggi terjadi pada infark miokard akut
(13,49%) kemudian diikuti oleh gagal jantung (13,42%) dan penyakit jantung
lainnya (13,37%).
Maka dari itu perlu dilaksanakannya laporan kasus kali ini untuk membahas
tentang diagnosis dan tatalaksana dari ST-Segment Elevation Myocardial Infarction.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
1
Definisi
Sindrom Koroner Akut (SKA) adalah suatu istilah atau terminologi yang
keadaan
tersebut
merupakan
keadaan
kegawatdaruratan
1
2
3
4
sandapan menjadi :
1. Infark miokard akut ST-elevasi (STEMI) : oklusi total dari arteri koroner yang
menyebabkan area infark yang lebih luas meliputi seluruh ketebalan miokardium,
yang ditandai dengan adanya elevasi segmen ST pada EKG.
2. Infark miokard akut non ST-elevasi (NSTEMI) : oklusi sebagian dari arteri
koroner tanpa melibatkan seluruh ketebalan miokardium, sehingga tidak ada
elevasi segmen ST pada EKG.
2
faktor risiko antara lain: faktor yang tidak dapat dikendalikan (nonmodifiable
factors) dan faktor yang dapat dikendalikan (modifiable factors).
Faktor risiko biologis yang tidak dapat dimodifikasi, yaitu:
a
Usia
Risiko terjadinya penyakit arteri koroner meningkat dengan bertambahnya
usia, diatas 45 tahun pada pria dan diatas 55 tahun pada wanita. Riwayat keluarga
yang memiliki penyakit jantung juga merupakan faktor risiko, termasuk penyakit
jantung pada ayah dan saudara pria yang didiagnosa sebelum umur 55 tahun, dan
pada ibu atau saudara perempuan yang didiagnosa sebelum umur 65 tahun.
Pasien usia lanjut lebih sering dari pada usia muda mengalami perubahan
abnormalitas anatomi dan fisiologi kardiovaskular, termasuk respon simpatis beta
yang terbatas, peningkatan afterload jantung karena penurunan compliance arteri dan
hipertensi arterial, hipotensi ortostatik, hipertropi jantung, dan disfungsi ventrikular
terutama disfungsi diastolik.
b Jenis kelamin
Riwayat keluarga
Anak-anak dengan orang tua yang memiliki riwayat penyakit jantung, lebih
Kelas sosial
Tingkat kematian akibat penyakit jantung koroner tiga kali lebih tinggi pada
pekerja kasar laki-laki terlatih dibandingkan dengan kelompok pekerja pofesi (misal
dokter, pengacara dll). Selain itu frekuensi istri pekerja kasar ternyata dua kali lebih
besar untuk mengalami kematian dini akibat penyakit jantung koroner dibandingkan
istri pekerja profesional/non-manual.
Sementara itu faktor risiko yang dapat dimodifikasi, antara lain:
a
Merokok
Peran rokok dalam penyakit jantung koroner, antara lain menimbulkan
platelet, dan meningkatkan kadar HDL dalam sirkulasi, akan tetapi semuanya masih
kontroversial tidak semua literatur mendukung konsep ini, bahkan peningkatan dosis
alkohol dikaitkan dengan peningkatan mortalitas kardiovaskular karena aritmia,
hipertensi sistemik dan kardiomiopati dilatasi.
c
Hipertensi
Hipertensi menyebabkan peningkatan afterload yang secara tidak langsung
akan meningkatkan beban kerja jantung. Kondisi seperti ini akan memicu hipertropi
ventrikel kiri sebagai kompensasi dari meningkatnya afterload yang pada akhirnya
meningkatkan kebutuhan oksigen jantung.
d Dislipidemia
Kolesterol merupakan prasyarat terjadi penyakit koroner pada jantung.
Kolesterol akan berakumulasi di lapisan intima dan media pembuluh arteri koroner.
Jika hal tersebut terus berlangsung, makan akan terbentuk plak sehingga pembuluh
arteri koroner yang mengalami inflamasi atau terjadi penumpukan lemak akan
mengalami aterosklerosis.
e
Obesitas
Pada umumnya, obesitas cenderung meningkatkan kadar kolesterol total dan
trigliserida dan menurunkan kadar HDL. Meskipun kolesterol LDL tetap meningkat
sedikit atau normal, partikel small dense LDL yang aterogenik cenderung meningkat,
terutama pada pasien dengan resistensi insulin yang berkaitan dengan adipositas
viseral. Perubahan-perubahan ini meningkatkan risiko terjadinya aterosklerosis.
f
Olahraga
Aktivitas aerobik yang teratur akan menurunkan risiko terkena penyakit
Diabetes mellitus
Diabetes mellitus sudah dikenal sebagai faktor risiko utama penyakit
Patofisiologi
STEMI umumnya disebabkan penurunan atau berhentinya aliran darah secara
tiba-tiba akibat oklusi trombus pada arteri koroner yang sudah mengalami
aterosklerosis. Pada kebanyakan kasus, proses akut dimulai dengan ruptur atau
pecahnya plak ateroma pembuluh darah koroner, dimana trombus mural timbul pada
lokasi ruptur dan menyebabkan oklusi arteri koroner, baik secara total atau parsial.
Hal ini berkaitan dengan perubahan komposisi plak dan penipisan tudung fibrus
(fibrous cap) yang menutupi plak tersebut. Kejadian ini akan diikuti oleh proses
agregasi trombosit dan aktivasi jalur koagulasi. Secara histologis, plak koroner yang
lebih mudah ruptur adalah yang intinya kaya dengan lemak dan yang mempunyai
fibrous cap yang tipis. Faktor-faktor seperti usia, genetik, diet, merokok, diabetes
mellitus tipe II, hipertensi, reactive oxygen species dan inflamasi menyebabkan
disfungsi dan aktivasi endotelial. Pemaparan terhadap faktor-faktor di atas
menimbulkan injury bagi sel endotel. Akibat disfungsi endotel, sel-sel tidak dapat
lagi memproduksi molekul-molekul vasoaktif seperti nitric oxide. Sebaliknya,
disfungsi endotel justru meningkatkan produksi vasokonstriktor, endotelin-1, dan
angiotensin II yang berperan dalam migrasi dan pertumbuhan sel sehingga
memperberat gangguan aliran darah koroner9 seperti terlihat pada gambar 2.2..
Pasokan oksigen yang berhenti selama kira-kira 20 menit dapat menyebabkan
nekrosis pada miokardium (infark miokard).
Tipe IV (atheroma)
Intinya terdiri dari lipid ekstraseluler dan berlaku pada dekade ketiga. Pada
awalnya asimptomatik dan menjadi simptomatik.
Tipe V (fibroatheroma)
Berinti lipid dan terdapat lapisan fibrosis, atau beinti lipid multiple dan
lapisan fibrosis atau terdiri dari kalsifikasi terutama atau fibrosis. Terdapat
pertumbuhan otot polos dan kolagen. Biasanya berlaku pada dekade keempat
dan bisa simptomatik atau asimptomatik.
beberapa faktor, yaitu bagian yang disuplai oleh pembuluh darah yang rusak, apakah
oklusinya total atau parsial, durasi oklusi koroner, kuantitas darah yang disuplai oleh
pembuluh darah koroner ke jaringan yang terganggu, kebutuhan oksigen oleh
miokard, dan apakah perfusi miokard pada daerah infark adekuat setelah pulih
seperti pada gambar 2.3.. Faktor pemicu pada STEMI antara lain aktivitas fisik yang
berat, stres emosional, penyakit medis atau pembedahan, serta penyalahgunaan
kokain ataupun narkoba lain seperti amfetamin. Akibat dari iskemia, selain nekrosis,
adalah gangguan kontraktilitas miokardium karena proses hibernating dan stunning
(setelah iskemia hilang), disritmia dan remodeling ventrikel (perubahan bentuk,
ukuran, dan fungsi ventrikel). Sebagian pasien SKA tidak mengalami koyak plak
seperti diterangkan di atas, melainkan karena obstruksi dinamis akibat spasme local
Ga
mbar 2.3. Konsekuensi dari Trombosis Koroner
Manifestasi Klinis
Nyeri Dada
Mayoritas pasien (80%) datang dengan keluhan nyeri dada. Perbedaan
dengan nyeri pada angina adalah nyeri pada infark lebih panjang yaitu minimal 20
menit, sedangkan pada angina kurang dari itu. Disamping itu pada angina biasanya
nyeri akan hilang dengan istirahat akan tetapi pada infark tidak. Nyeri dan rasa
tertekan pada dada itu bisa disertai dengan keluarnya keringat dingin atau perasaan
takut. Meskipun IMA memiliki ciri nyeri yang khas yaitu menjalar ke lengan kiri,
bahu, leher sampai ke epigastrium, akan tetapi pada orang tertentu nyeri yang terasa
hanya sedikit. Hal tersebut biasanya terjadi pada manula, atau penderita DM
berkaitan dengan neuropati.
b Sesak Napas
Sesak napas bisa disebabkan oleh peningkatan tekanan akhir diastolik
ventrikel kiri yang mendadak, disamping itu perasaan cemas bisa menimbulkan
hiperventilasi. Pada infark yang tanpa gejala nyeri, sesak napas merupakan tanda
adanya disfungsi ventrikel kiri yang bermakna.
c
Gejala Gastrointestinal
Peningkatan aktivitas vagal menyebabkan mual dan muntah, dan biasanya
lebih sering pada infark inferior, dan stimulasi diafragma pada infak inferior juga
bisa menyebabkan cegukan.
d Gejala Lain
Termasuk palpitasi, rasa pusing, atau sinkop dari aritmia ventrikel, dan gejala
akibat emboli arteri (misalnya stroke, iskemia ekstremitas).
5
a
Diagnosa
Anamnesa
Pasien yang datang dengan keluhan nyeri dada perlu ditelaah secara cermat
apakah nyeri dada yang timbul tipikal berasal dari arteri koroner atau bukan.
Riwayat nyeri dada sebelumnya juga perlu ditanyakan, selain faktor-faktor risiko
PJK (penyakit jantung koroner) yang dapat dimodifikasi seperti hipertensi, diabetes
mellitus, dislipidemia, merokok, obesitas, stres serta aktivitas fisik. Selain itu riwayat
keluarga sakit jantung koroner perlu ditanyakan.
Pada hampir setengah kasus, terdapat faktor pencetus sebelum terjadi
STEMI, seperti aktivitas fisik berat, stres emosional atau penyakit medis atau
tindakan pembedahan. Walaupun STEMI bisa terjadi hampir sepanjang hari atau
malam, variasi sirkardian dilaporkan pada pagi hari dalam beberapa jam setelah
bangun tidur.
Sifat nyeri dada/angina tipikal antara lain:
Sifat nyeri: rasa sakit, seperti ditekan, rasa terbakar, ditindih benda berat,
seperti ditusuk, rasa diperas,dan dipelintir.
Penjalaran: biasanya lengan kiri, dapat juga ke leher, rahang bawah, gigi,
punggung/intrakapsular, perut, dan dapat juga ke lengan kanan.
Nyeri membaik atau hilang dengan istirahat, atau dengan obat golongan
nitrat.
Faktor pencetus: latihan fisik, stress emosi, udara dingin, dan sesudah makan
Diagnosis banding STEMI antara lain perikarditis akut, emboli paru, diseksi
aorta akut, kostokondritis, dan gangguan gastrointestinal. Nyeri dada tidak selalu
ditemukan pada STEMI. Infark miokard akut dengan elevasi segmen ST tanpa nyeri
lebih sering dijumpai pada diabetes mellitus dan usia lanjut.
Elektrokardiogram (EKG)
Diagnosis STEMI ditegakkan berdasarkan EKG yaitu adanya elevasi ST
2mm, minimal pada 2 sadapan prekondrial yang berdampingan atau 1mm pada 2
sadapan ekstremitas. Pemeriksaan EKG 12 sandapan harus dilakukan pada semua
pasien dengan nyeri dada atau keluhan yang dicurigai STEMI. Pemeriksaan ini harus
dilakukan segera dalam 10 menit sejak kedatangan di Instalasi Gawat Darurat (IGD).
Pemeriksaan EKG di IGD menjadi landasan dalam menentukan keputusan terapi
karena bukti kuat dalam menunjukkan gambaran elevasi segmen ST dapat
mengidentifikasikan pasien yang bermanfaat untuk dilakukan terapi reperfusi. Jika
pemeriksaan EKG awal tidak diagnostik untuk STEMI tetapi pasien tetap simtomatik
dan terdapat kecurigaan kuat STEMI, EKG serial dengan interval 5-10 menit atau
pemantauan EKG 12 sadapan secara kontinyu harus dilakukan untuk mendeteksi
potensi perkembangan elevasi ST. Sebagian besar pasien dengan presentasi awal
elevasi segmen ST mengalami evolusi menjadi gelombang Q pada EKG yang
akhirnya didiagnosis infark miokard gelombang Q. Apabila obstruksi yang terjadi
tidak total, bersifat sementara atau ditemukan banyak kolateral, biasanya tidak akan
ditemukan elevasi segmen ST. Pasien tersebut biasanya mengalami angina pektoris
tak stabil atau non STEMI
Anterioseptal
Lokasi Elevasi
Segmen ST
V3, V4
V1, V2, V3
Perubahan
Resiprokal
V7, V8, V9
V7, V8, V9
Arteri Koroner
Arteri
koroner
kiri,
cabang
LAD/Diagonal
Arteri
koroner
kiri, cabang LAD
diagonal cabang
Anterioekstensif
I, aVL, V2-V6
I, III, aVF
LAD septal
Arteri
koroner
kiri,
Anterolateral
proksimal
LAD
aVL, V3, V4, V5, II, III, aVF, V7, V8, Arteri
V6
V9
koroner
kiri
Cabang
diagonal
LADdan
cabang
Inferior
I, aVL, V2, V3
sirkumfleks
Arteri
koroner
kanan
cabang
decendens
posterior
Lateral
I, aVL, V5, V6
dan
cabang
arteri
koroner
kiri
sirkumfleks
Arteri
koroner
kiri
Cabang
diagonal
LADdan
cabang
Septum
V1, V2
V7, V8, V9
sirkumfleks
Arteri
koroner
kiri
Posterior
V7, V8, V9
V1, V2, V3
cabang
LAD-septal
Arteri
koroner
kanan
Ventrikel kanan
V3R-V4R
I, aVL
sirkumfleks
Arteri
koroner
kanan proksimal
d Laboratorium
Petanda (biomarker) kerusakan jantung. Pemeriksaan yang dianjurkan adalah
creatinine kinase (CK)MB dan cardiac specific troponin (cTn) T atau cTn I dan
dilakukan secara serial. cTn harus digunakan sebagai penanda optimal untuk pasien
STEMI yang disertai kerusakan otot skeletal, karena pada keadaan ini juga akan
diikuti peningkatan CKMB. Pada pasien dengan elevasi ST dan gejala IMA, terapi
reperfusi diberikan sesegera mungkin dan tidak tergantung pemeriksaan biomarker.
Peningkatan enzim dua kali di atas nilai batas atas normal menunjukkan ada
nekrosis jantung (infark miokard).
CKMB: meningkat setelah 3 jam bila ada infark miokard dan mencapai
puncak dalam 10-24 jam dan kembali normal dalam 2-4 hari. Operasi
jantung, miokarditis dan kardioversi elektrik dapat meningkatkan CKMB
cTn: ada 2 jenis yaitu cTn T dan cTn I. enzim ini meningkat setelah 2 jam
bila infark miokard dan mencapai puncak dalam 10-24 jam dan cTn T masih
dapat dideteksi setelah 5-14 hari, sedangkan cTn I setelah 5-10 hari
jantung dan pembuluh darah yang sering dilakukan selama serangan untuk
menentukan letak sumbatan pada arteri koroner. Jika ditemukan sumbatan, tindakan
lain yang dinamakan angioplasty, dapat dilakukan untuk memulihkan aliran darah
pada arteri tersebut. Terkadang akan ditempatkan stent (pipa kecil yang berpori)
dalam arteri.
6
a
Penatalaksanaan
Tatakasana Pra Rumah Sakit
Tujuan utama tatalaksana STEMI adalah mendiagnosis secara cepat,
bukan selama transportasi ke rumah sakit, namun karena lama waktu mulai onset
nyeri dada sampai keputusan pasien untuk meminta pertolongan. Hal ini bisa
ditanggulangi dengan cara edukasi kepada masyarakat.
b Tatalaksana Umum
Terapi reperfusi segera, baik dengan IKP atau farmakologis, diindikasikan
untuk semua pasien dengan gejala yang timbul dalam 12 jam dengan elevasi segmen
ST yang menetap atau Left Bundle Branch Block (LBBB) yang (terduga) baru.
Terapi reperfusi (sebaiknya IKP primer) diindikasikan bila terdapat bukti iskemia
yang sedang terjadi, bahkan jika gejala mungkin telah timbul >12 jam yang lalu atau
bila nyeri dan perubahan EKG terlihat terhambat. Reperfusi dini akan
memperpendek lama oklusi koroner, meminimalkan derajat disfungsi dan dilatasi
Oksigen
Suplemen oksigen harus diberikan pada pasien dengan saturasi oksigen arteri
<90%. Pada semua pasien STEMI tanpa komplikasi dapat diberikan oksigen
selama 6 jam pertama.
Morfin
Morfin sangat efektif mengurangi nyeri dada dan merupakan analgesik
pilihan dalam tatalaksana nyeri dada pada infark miokard. Morfin diberikan
secara bolus intravena dengan dosis 2-4 mg dan dapat diulang dengan interval 515 menit dengan dosis total 20 mg. Mengurangi dan menghilangkan nyeri dada
sangat penting karena nyeri dikaitkan dengan aktivasi simpatis yang
menyebabkan vasokontriksi dan meningkatkan beban jantung.
Terapi fibrinolitik
Terapi fibrinolitik direkomendasikan diberikan dalam 12 jam pertama sejak
awitan gejala pada pasien-pasien tanpa indikasi kontra apabila IKP primer tidak
bisa dilakukan oleh tim yang berpengalaman dalam 120 menit sejak kontak
medis pertama.
Agen yang spesifik terhadap fibrin (tenekteplase, alteplase, reteplase) lebih
disarankan
dibandingkan
agen-agen
tidak
spesifik
terhadap
fibrin
Kontraindikasi absolut:
Riwayat perdarahan intracranial apapun.
Lesi structural cerebrovaskular.
Tumor intracranial (primer ataupun metastasis).
Stroke iskemik dalam 3 bulan atau dalam 3 jam terakhir.
Dicurigai adanya suatu diseksi aorta.
Adanya trauma/ pembedahan/ truma kepala dalam 3 bulan terakhir.
Adanya perdarahan aktif (termasuk menstruasi).
b Kontraindikasi relatif:
Riwayat hipertensi kronik dan berat yang tidak terkontrol.
Riwayat stroke iskemik > 3 bulan, demensia, atau kelainan intracranial
selain yang disebutkan pada kontraindikasi absolute.
Resusitasi jantung paru traumatic atau lama > 10 menit atau operasi besar
< 3 minggu.
Perdarahan internal dalam2-4 minggu terakhir.
Terapi antikoagulan oral.
Kehamilan.
Non compressible punctures.
Ulkus peptikum aktif.
Khusus untuk streptokinase/ anistreplase: riwayat pemaparan sebelumnya
(>5hari) atau riwayat alergi terhadap zat-zat tersebut.
Tabel 2.2 Terapi Fibrinolitik
Terapi awal
juta
Antitrombin
Kontraindikasi
Terapi
Spesifik
Streptokinase(SK
1,5
unit/ Dengan
Alteplase(tPA)
jam
iv.
Dosis
yang telah pulih dari STEMI untuk mengalami kejadian kardiovaskular selanjutnya
dan kematian premature, perlu dilakukan berbagai intervensi untuk meningkatkan
prognosis pasien. Terapi jangka panjang yang disarankan setelah pasien pulih dari
STEMI adalah
1
Profil lipid puasa harus didapatkan pada setiap pasien STEMI sesegera
mungkin sejak datang.
Statin dosis tinggi perlu diberikan atau dilanjutkan segera setelah pasien
masuk rumah sakit bila tidak ada indikasi kontra atau riwayat intoleransi,
tanpa memandang nilai kolesterol inisial.
Komplikasi
Aritmia
Aritmia sering terjadi selama infark miokard akut dan merupakan penyebab
kematian terbesar pada pasien-pasien yang tiba di rumah sakit. Mekanisme yang
berkontribusi terhadap terbentuknya aritmia setelah proses infark miokard, sebagai
berikut:
1
b Disfungsi Miokard
1
Syok Kardiogenik
Syok kardiogenik adalah kondisi dimana terjadi penurunan yang fatal
terhadap cardiac output dan hipotensi (tekanan darah sistol <90mmHg) dengan
ketidakcukupan perfusi ke jaringan-jaringan perifer, hal ini terjadi jika lebih
dari 40% massa ventrikel kiri sudah terjadi infark.
Perikarditis
Perikarditis akut bisa terjadi pada awal masa post-myocard infark sebagai
akibat dari inflamasi yang menjalar dari miokardium hingga ke perikardium
Tromboemboli
Aliran darah yang stasis pada regio yang terjadi kerusakan kontraksi
ventrikel kiri setelah infark miokard menyebabkan terbentuknya trombus di
intrakvitas, terutama jika infarknya melibatkan apeks ventrikel kiri atau ketika
aneurisma sebenarnya telah terbentuk. Tromboemboli dapat menyebabkan
infark pada organ-organ perifer (seperti cerebrovascular [stroke] akibat dari
emboli ke otak).
Disfungsi Ventrikular
Ventrikel kiri mengalami perubahan serial dalam bentuk ukuran, dan
ketebalan pada segmen yang mengalami infark dan non infark. Proses ini
disebut remodelling ventricular yang sering mendahului berkembangnya gagal
jantung secara klinis dalam hitungan bulan atau 16 tahun pasca infark.
Pembesaran ruang jantung secara keseluruhan yang terjadi dikaitkan dengan
ukuran dan lokasi infark, dengan dilatasi terbesar pasca infark pada apeks
ventrikel kiri yang mengakibatkan penurunan hemodinamik yang nyata, lebih
sering terjadi gagal jantung dan prognosis lebih buruk
6 . Gangguan Hemodinamik
Gagal pemompaan (pump failure) merupakan penyebab utama kematian
di rumah sakit pada STEMI. Perluasan nekrosis iskemia mempunyai korelasi
dengan tingkat gagal pompa dan mortalitas, baik pada awal (10 hari infark) dan
sesudahnya.
Prognosis
Terdapat beberapa sistem dalam menentukan prognosis pasca infark
miokardium akut (IMA). Prognosis IMA dengan melihat derajat disfungsi ventrikel
kiri secara klinis dinilai menggunakan klasifikasi Killip.
Tabel 2.3. Klasifikasi Killip
Kelas
Definisi
Mortalitas(%)
II
17
III
IV
38
81
Tabel 2.4. TIMI Risk Score untuk Infark Miokard dengan elevasi ST
Faktor risiko (bobot)
Usia 65-74 tahun (2 poin)
Usia > 75 tahun (3 poin)
Diabetes mellitus/hipertensi atau angina (1 poin)
TDS <100mmHg (3 poin)
Frekuensi jantung > 100mmHg (2 poin)
Klasifikasi Killip II-IV (2 poin)
Berat < 67 kg (1 poin)
Elevasi ST anterior atau LBBB (1poin)
Waktu ke reperfusi > 4 jam (1 poin)
Skor risiko = total poin (0-14)
BAB 3
LAPORAN KASUS
Status Pasien
Kepaniteraan Klinik RSUP. H. Adam Malik
Departemen Kardiologi dan Kedokteran Vaskular
Hari : Rabu
Nama Pasien : BM
Umur : 48 tahun
Jenis Kelamin : Lk
Pekerjaan : Petani
Alamat : Desa
Tlp : -
Simbalimbingan
Hp : 082167749946
ANAMNESIS
Autoanamnesis
Alloanamnes
e
RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG
Keluhan Utama
: Nyeri dada
Anamnesa
RPT
: MCI
RPO
STATUS PRESENS
KU: Sedang
RR: 20 x/i
Dispnoe: (-)
HR: 80 x/i
Orthopnoe: (+)
Pucat: (-)
PEMERIKSAAN FISIK
KEPALA
MATA : Konjunctiva palpebra inf. pucat (-/-), sklera ikterik (-/-)
TELINGA/HIDUNG/MULUT : tidak ada kelainan
LEHER : TVJ R + 2 cmH2O
THORAX
Depan
Inspeksi
Simetris fusiformis
Palpasi
Sf ka = ki, kesan: melemah
Perkusi
Sonor memendek
Auskultasi SP: Vesikuler
Belakang
Simetris fusiformis
Sf ka = ki
Sonor memendek
SP: Vesikuler
ST: -
ST: -
JANTUNG
Batas Jantung Relatif: Atas
Bawah : Diafragma
Jantung : HR : 80 x/i, reguler, MI>M2 P2>P1 T1>T2 A2>A1, desah (-), gallop (-)
S1 (+)
S2 (+)
Murmur (-)
S3 (-)
Tipe : -
S4 (-)
Grade : Radiasi : -
: Reguler
Inspeksi
: Simetris
Palpasi
Perkusi
: Timpani (+)
Auskultasi
EKSTREMITAS
Superior: oedema (-) pucat (-)
sianosis (-)
clubbing (-)
sianosis (-)
clubbing (-)
Akral : hangat
PEMERIKSAAN TAMBAHAN
Klasifikasi Killip
Kelas
Definisi
Proporsi pasien
Mortalitas
(%)
I
II
III
IV
40-50%
30-40%
10-15%
5-10%
6
17
30-40
60-80
: 13.40 g/dL
(13.2 17.3)
Eritrosit
: 4.15 x 106/mm3
(4.20 4.87)
Leukosit
: 11.42 x 103/mm3
(4,5 11,0)
Hematokrit
: 37.00 %
(43 49)
Trombosit
: 241 x 103/mm3
(150 450)
MCV
: 89.20 fL
(85 95)
MCH
: 32.30 pg
(28 32)
MCHC
: 36.20 %
(33 35)
RDW
: 12.20 %
(11.6 14.8)
MPV
: 10.00 fL
(7 10.2)
PCT
: 0.24 %
PDW
: 11.5 fL
Hitung jenis
Neutrofil
: 58.80 %
(37 80)
Limfosit
: 26.90 %
(20-40)
Monosit
: 9.40 %
(2-8)
Eosinofil
: 4.60 %
(1-6)
Basofil
: 0.30 %
(0-1)
Ureum
: 18.20 mg/dL
(<50)
Kreatinin
: 0.80 mg/dL
(0.70 1.20)
Faal Ginjal
Elektrolit
Natrium (Na) : 141 mEq/dL
(131- 135)
2,2
4,4
7,3
12,4
16,1
23.4
26,8
3/14
Kalium (K)
: 3.4
/dL
Klorida (Cl)
: 109 mEq/dL
(3.6 -5.5)
(96 100)
(<200)
CK-MB
: 26 U/L
(7-25)
Troponin T
: 1.8
(0,0-0, 1)
Kemih
Tinja
DIAGNOSIS
1. Fungsional : STEMI anteroekstensif onset 3 hari Killip I TIMI Risk 3/14
2. Anatomi
: Arteri koroner
3. Etiologi
: Atherosklerosis
TERAPI
1. Nonfarmakologis
a. Tirah baring
2. Farmakologis
a. O2 2-4L nasal kanul
b. IVFD NaCl 0,9% 10 gtt/i mikro
c. Inj. Lovenox 0.6cc/12 jam
d. Clopidogrel 1 x 75 mg loading dose 300 mg
e. Aspilet 1 x 80 mg loading dose 160 mg
f. Simvastatin 1x 40 mg
g. ISDN 3 x 5 mg
h. Bisoprolol 1x 1,25 mg
RENCANA PENJAJAKAN
1.
2.
3.
4.
EKG serial
Pemeriksaan enzim jantung serial
KGD 2 jam PP, HbA1C, Lipid profile
Angiografi koroner
PROGNOSIS
Dubia ad bonam
34
BAB 4
FOLLOW UP PASIEN
Tanggal
1/7/2015
Nyeri dada
Sesak napas
TD :120/80
A
-
STEMI
anteroekstensif
onset 3 hari
RR : 32 x/i
Temp : 36.0oC
Risk 7/14
DM Tipe 2
Pemeriksaan fisik :
Kepala : anemis -/-, ikterus -/Leher : TVJ R+3 cmH2O
Thoraks : cor: S1 S2: N murmur: (-)
Pulmo: Sp : Vesikuler
St: (+)
ronkhi basah
P
Terapi
Tirah baring
O2 2-4L/i
IVFD NaCL 0.9%
-
10gtt/i
Plavix 1x 75mg
Aspilet 1x80mg
Inj. Furosemid
Diagnostik
Konsul
35
endokrin
KGD/jam,
KGDN/2jpp
, HbA1c
Lipid
20mg/6jam
Inj Lovenox
profile
rdiografi
Ecoca
0,5mg (malam)
Laxadin I x C1
Simvastatin 1x40
mg (malam)
36
BAB 5
PEMBAHASAN DAN DISKUSI
3.1.
Anamnesis
Gejala yang paling sering ditemui dalam SKA adalah adanya nyeri dada
tipikal (angina tipikal) maupun atipikal (angina atipikal). Nyeri tipikal berupa rasa
nyeri yang berlokasi di retrosternal, menjalar ke lengan kiri, leher, rahang, area
interskapular, bahu, dan epigastrium nyeri terasa seperti terbakar maupun tertipa
beban berat. Keluhan ini dapat bertahan dalam jangka waktu yang lama yaitu
diatas 20 menit. Keluhan angina juga padat disertai dengan diaphoresis, mual,
muntah, nyeri abdomen, sesak nafas, dan sinkop (PERKI, 2014).
Sedangkan pada angina atipikal dapat ditemui keluhan seperti nyeri yang
menjalar pada daerah yang penjalaran angina tipikal, gangguan pencernaan. Pada
pasien usia tua, penderita diabetes mellitus, wanita, gagal ginjal menahun,
maupun demensia, angina tipikal sering terjadi pada pasien usia muda (25-40
tahun) atau usai lanjut ( > 75 tahun), wanita, penderita diabetes, gagal ginjal
menahun, atau demensia.
Pasien yang datang dengan keluhan nyeri dada perlu dilakukan anamnesis
secara cermat apakah nyeri dada berasal jantung atau dari luar jantung. Jika
dicurigai nyeri dada dari jantung perlu dibedakan apakah nyeri berasal dari
koroner atau bukan, apakah ada riwayat infark miokard sebelumnya serta faktor
faktor resiko antara lain hipertensi, diabetes mellitus, dislipidemia, merokok,
stress emosional, serta riwayat sakit jantung koroner pada keluarga (Tylorer et. al,
2000).
Nyeri yang bersifat pleuritik, dapat ditunjuk dengan satu jari terutama
berlokasi di apeks ventrikel kiri, nyeri akibat pergerakan tubuh atau saat dipalpasi,
durasinya hanya beberapa detik, berlokasi di abdomen tengah atau bawah serta
adanya penjalaran hingga ke ekstremitas bawah, kemungkinan bukan merupakan
nyeri akibat iskemi miokard (PERKI, 2014).
37
Selain nyeri hal gejala lain yang perlu ditanyakan adalah riwayat sesak
nafas. Sesak nafas bisa disebabkan oleh peningkatan mendadak tekanan akhir
diastolic ventrikel kiri, disamping itu perasaan cemas bisa menimbulkan
hiperventilasi. Pada infark yang tanpa gejala nyeri, sesak nafas merupakan tanda
adanya disfungsi ventrikel kiri yang bermakna.
Selain itu dapat pula ditanyakan mengenai gejala gastrointestinal seperti
mual dan muntah. Peningkatan aktivitas vagal menyebabkan mual dan muntah,
dan biasanya lebih sering pada infark inferior, dan stimulasi diafragma pada infak
inferior juga bisa menyebabkan cegukan. Gejala lain seperti palpitasi, rasa pusing,
atau sinkop dari aritmia ventrikel, dan gejala akibat emboli arteri (misalnya stroke,
iskemia ekstremitas) juga perlu diperhatikan saat menganamnesis pasien.
Pada pasien didapati nyeri dada tipical infark (karakteristik seperti ditusuk
tusuk dengan penjalaran ke bahu) dengan durasi>20 menit, disertai dengan mual
muntah dan keringat dingin. Riwayat sesak nafas dan jantung berdebar (-).
3.2.
Faktor Risiko
38
3. Riwayat keluarga
Dengan riwayat keluarga yang memiliki penyakit jantung juga merupakan
faktor resiko, termasuk penyakit jantung pada ayah dan saudara pria yang
didiagnosa sebelum umur 55 tahun, dan pada ibu atau saudara perempuan yang
didiagnosa sebelum umur 65 tahun.
Faktor risiko yang dapat dimodifikasi, yaitu:
1. Merokok
Peran rokok dalam penyakit jantung koroner antara lain menimbulkan
aterosklerosis,
peningkatan
kejadian
trombogenesis
dan
vasokonstriksi,
39
partikel small dense LDL yang aterogenik cenderung meningkat, terutama pada
pasien dengan resistensi insulin yang berkaitan dengan adipositas viseral.
Perubahan perubahan ini meningkatkan risiko terjadinya aterosklerosis.
5. Diabetes mellitus
Diabetes mellitus sudah dikenal sebagai faktor resiko utama penyakit
kardiovaskular.Data dari penelitian klinis menunjukkan sebagian besar pasien DM
meninggal karena penyakit kardiovaskular dan lebih dari tiga perempat pasien
DM yang meninggal penyebabnya dikaitkan dengan aterosklerosis, sebagian besar
kasus (75%) karena PJK.
Pada Pasien didapati faktor risikonya adalah laki laki usia > 45 tahun,
penderita DM tipe 2, dan perokok.
3.3.
Pemeriksaan Fisik
Gangguan fungsi ventrikel dapat menyebabkan gangguan perfusi dari
40
3.4.
3.4.1. Elektrokardiogram
Pemeriksaan Penunjang
41
42
Troponin
Cardiac troponin merupakan penanda kerusakan miokard yang memiliki
spesifisitas tinggi. Protein ini dilepaskan oleh area yang kecil pada kerusakan
miokardium sekitar 1 3 jam setelah terjadinya kerusakan otot jantung dan
kembali normal pada 5-7 hari. Sedangkan pada darah perifer, peningkatan terjadi
pada waktu 3 4 jam, menghilang dalam 2 3 hari dan bila nekrosis luas dapat
bertahan hingga 2 minggu (PERKI, 2014). Troponin lebih spesifik dibanding CKMB.
Faktor yang menyebabkan kenaikan dari troponin adalah :
1.
2.
3.
4.
Unstable angina
5.
Miokarditis
6.
Dissecting aneurysm
7.
8.
9.
Emboli paru
10.
Gangguan ginjal.
Tabel 3.3. Marka jantung yang sering digunakan (Fishbach, 2014)
Penanda
Waktu
Waktu Peningkatan
Peningkatan Awal
Tertinggi
normal
43
CK-MB
4 8 jam
12 24 jam
72 96 jam
Troponin I
4 6 jam
12 jam
3 10 jam
Troponin T
4 8 jam
12 48 jam
7 10 jam
3.5.
Penatalaksanaan
44
Oksigen
Suplemen oksigen harus diberikan pada pasien dengan saturasi oksigen
arteri <90%. Pada semua pasien STEMI tanpa komplikasi dapat diberikan oksigen
selama 6 jam pertama (PERKI, 2014).
2.
Nitrogliserin
Nitrogliserin sublingual dapat diberikan dengan aman dengan dosis 0,4 mg
dan dapat diberikan sampai 3 dosis dengan interval 5 menit. Selain mengurangi
nyeri dada, nitrogliserin juga dapat menurunkan kebutuhan oksigen miokard
dengan menurunkan preload dan meningkatkan suplai oksigen miokard dengan
cara dilatasi pembuluh koroner yang terkena infark atau pembuluh kolateral. Jika
nyeri dada terus berlangsung dapat diberikan nitrogliserin intravena. Nitrogliserin
intravena juga diberikan untuk mengendalikan hipertensi atau edema paru.
3.
Morfin
Morfin sangat efektif mengurangi nyeri dada dan merupakan analgesik
pilihan dalam tatalaksana nyeri dada pada STEMI. Morfin diberikan dengan dosis
2 4 mg dan dapat diulang dengan interval 5 15 menit dengan dosis total 20
mg. Mengurangi dan menghilangkan nyeri dada sangat penting karena nyeri
dikaitkan dengan aktivasi simpatis yang menyebabkan vasokontriksi dan
meningkatkan beban jantung (Fuster et. al, 2011).
4.
Aspirin
45
Penyekat Beta
Jika morfin tidak berhasil mengurangi nyeri dada, pemberian penyekat
beta IV, selain nitrat mungkin efektif. Regimen yang biasa diberikan adalah
metoprolol 5 mg setiap 2-5 menit sampai total 3 dosis, dengan syarat frekuensi
jantung >60 menit, tekanan darah sistolik >100 mmHg. Lima belas menit setelah
dosis IV terakhir dilanjutkan dengan metoprolol oral dengan dosis 50 mg tiap 6
jam selama 48 jam, dan dilanjutkan 100 mg tiap 12 jam.
6.
ACE Inhibitor
ACE Inhibitor harus segera diberikan jika tekanan darah stabil dan tetap di
atas 100 mmHg. Keuntungan ACE Inhibitor terutama terlihat pada pasien dengan
gagal jantung, infark miokard, disfungsi ventrikel kiri. ACE Inhibitor seperti
captopril 6,25 mg diberikan 3 dosis, target 25-50 mg.
7.
Antagonis Kalsium
Tidak terdapat bukti yang mendukung penggunaan antagonis kalsium
secara rutin. Namun golongan obat ini dapat digunakan sebagai terapi tambahan
pada penderita dengan nyeri dada iskemik yang berlanjut walaupun telah
mendapatkan nitrat dan penyekat beta.
8.
Antitrombotik
Menurut John (2008) heparin dapat diberikan dalam bentuk unfractionated
heparin atau low molecular weight heparin. Unfractionated heparin diberikan
5000 Unit bolus dilanjutkan dengan 1000 Unit/jam. Dosis heparin kemudian
diteruskan sesuai pemeriksaan aPTT (target aPTT 1,5-2 x nilai normal).
9.
46
Golongan obat ini sedang diuji pada uji klinik sebagai terapi adjuvant
fibrinolitik. Penggunaannya pada primary PTCA terbukti memperbaiki angka
harapan hidup.
Pada pasien ini dilakukan penatalaksanaan berupa pemberian antiplatelet
berupa aspilet ditambah dengan clopidogrel.
10.
Terapi Reperfusi
47
fibrinolitik
menurut
Bottiger
et.
al tahun
2008,
48
dalam 6 bulan
kapanpun
Stroke iskemik 6 bulan terakhir
Kerusakan sistem saraf sentral dan
neoplasma
Trauma operasi/ trauma kepala yang
partum
Tempat tusukan yang tidak dapat
dikompresi
Resusitasi traumatik
bulan terakhir
Penyakit perdarahan
Diseksi aorta
PTCA
terbukti
memiliki
keberhasilan
membuka
dan
49
DAFTAR PUSTAKA
1
Robbins SL, Cotran RS, Kumar V. Buku Ajar Patologi Robbins. Jakarta:
EGC; 2007.
50
Khairuni, Raisa., 2013. Gambaran Jenis dan Biaya Obat pada Pasien Rawat
Inap dengan Sindroma Koroner Akut di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam
Malik Medan pada Tahun 2011. USU Institutional repository.
Nielsen K., Faergeman O., Larsen M.L., and Foldspang A., 2006. "Danish
singles have a two fold risk of acute coronary syndrome. Dalam: Nurulita A,
Bahrun U., Arif M., 2011. Perbandingan Kadar Apolipoprotein B dan Fraksi
Lipid Sebagai Faktor Resiko Sindroma Koroner Akut. JST Kesehatan 2011; 1:
95
Antman EM, Hand M, Armstrong PW, Bates ER, Green LA, Hochman JS, et
al. Focused update of the ACC/AHA 2004 guidelines for the management of
patients with ST-elevation myocardial infarction: a report of the American
College of Cardiology/American Heart Association Task Force on Practice
Guidelines: developed in collaboration with the Canadian Cardiovascular
Society, endorsed by the American Academy of Family Physicians: 2007
Writing Group to Review New Evidence and Update the ACC/AHA 2004
Guidelines for the Management of Patients With ST-Elevation Myocardial
Infarction, writing on behalf of the 2004 Writing Committee. J Am Coll
Cardiol. 2008;51:210247.
Werf FV, Bax J, Betriu A, Crea F, Falk V, Fox K, et al. Management of acute
myocardial infarction in patients presenting with persistent ST-segment
elevation: the Task Force on the Management of ST-Segment Elevation Acute
Myocardial Infarction of the European Society of Cardiology. Eur Heart J
2008;29:29092945.
Guyton AC, Hall JE. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta: EGC; 2007.
51
Disebabkan
Rokok.
Indonesia.
Jakarta:
DepartemenKesehatanRepublik
Available
from:
http://www.depkes.go.id/index.php/component/content/article/43newsslider/1386-risiko-utama-penyakit-tidak-menular-disebabkan-rokok.html
15 Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia, 2014. Infark
Miokard dengan Elevasi Segmen ST. Edisi ke-3.
16 Rhee W.J, Sabattne S.M., Lily S.L., 2011. Acute Coronary Syndromes,p.161188, Pathophysiology of Heart Diseases, 5th edition, Philadelphia, Lippincott
Williams & Wilkins, a Wolters Kluwer business.
17 Katritsis, D.G., Gersh, B.J., and Camm, A.J., 2013. Acute Myocardial
Infarction, p.177. In: Clinical Cardiology: Current Practice Guidelines,
Oxford, Oxford University Press.
18 Kawai C., Pathognesis of Acute Myocardial Infarction, Novel Regulatory
System of Bioactive Substance in the Vessel Wall. 2012. American Heart
Association .
19 Diego S., William W., Thygesen C., Management of acute myocardial
infarction in patients presenting with ST-segment elevation.2002. European
Society of Cardiology. Elsevier.
20 Tyroler H.A., Diseases and Health Probelms, 2000, Coronary Heart Disease
Epidemiology in the 21st Century, The Johns Hopkins University School of
Hygiene and Public Health.
52
21 American Heart Association. Older Americans and Cardiovascular DiseasesStatistics. 2013.Available from: http://www.american
heart.org/presenter.jhtml identifier_3000936
22 Fuster,at al. Hurst, The Heart Disease. 13th, 2011, McGraw Hill Publisher.
23 Steg, Gabriel, et.al., 2012, ESC Guidelines for The Management of Acute
Myocardial Infarction in Patients Presenting with ST-Segment Elevation,
European Heart Journal, p. 1-51
24 ESC Guidelines for the management of acute myocardial infarction in
patients presenting with ST-segment elevation. Eur Heart J 2012; 33 :2501
2502.