You are on page 1of 12

REFERAT

FRAKTUR MAKSILA

Oleh:
Raden Roro Anindya Prabasary

G99152074

Pembimbing :
dr. Dewi Haryanti K, Sp.BP-RE

KEPANITERAAN KLINIK
ILMU BEDAH/SUB BAGIAN BEDAH PLASTIK
FAKULTAS KEDOKTERAN UNS/RSUD Dr. MOEWARDI
SURAKARTA
2014

DAFTAR ISI

A. PENDAHULUAN..................................................................................................

B. ANATOMI WAJAH...............................................................................................

C. TRAUMA MAKSILA..........................................................................................

1. Definisi..............................................................................................................

2. Etiologi...............................................................................................................

3. Klasifikasi..........................................................................................................

4. Manifestasi Klinis...............................................................................................

5. Diagnosis............................................................................................................

6. Radiologi............................................................................................................

11

7. Komplikasi..

12

D. DAFTAR PUSTAKA...............................................................................................

12

E.

A. PENDAHULUAN
Fraktur maksilofacial dibagi menjadi beberapa jenis, yaitu fraktur tulang
hidung, fraktur tulang zigoma dan arkus zigoma, fraktur tulang maksila, fraktur tulang
orbita dan fraktur tulang mandibula. Kejadian fraktur mandibula dan maksila terbanyak
bila dibandingkan dengn tulang lainnya, yaitu masing-masing sebesar 29,85%, disusul
fraktur zigoma 27,64% dan fraktur nasal 12,66%.Trauma maksilofacial dapat
menyebabkan beberapa komplikasi, antaranya adalah obstruksi saluran napas,
perdarahan,gangguan pada vertebra servikalis atau terdapatnya gangguan fungsi saraf
otak. Penanganan khusus pada trauma maksilofacial, harus dilakukan segera (immediate)
atau pada waktu berikutnya (delayed). Penanggulangan ini tergantung kepada kondisi
jaringan yang terkena trauma. Pada periode akut setelah terjadi kecelakaan, tidak ada
tindakan khusus untuk fraktur muka kecuali mempertahankan jalan napas, mengatasi
perdarahan dan memperbaiki sirkulasi darah serta cairan tubuh. Tindakan reposisidan
fiksasi definitif bukan tindakan life-saving.1
B. ANATOMI WAJAH
Kerangka wajah berfungsi untuk melindungi otak, melindungi organ penghidu,
penglihatan, dan rasa, dan menyediakan kerangka di mana jaringan lunak wajah dapat
bertindak untuk memfasilitasi makan, ekspresi wajah, bernapas, dan berbicara. Tulangtulang wajah utama adalah maksila, mandibula, tulang frontal,tulang hidung, dan
zigoma.2

Gamb
ar 1.

Tulang

wajah

Tulang maksila
Rahang atas memiliki beberapa peran. Tulang ini tempat gigi atas,
membentuk atap rongga mulut, membentuk lantai dan memberikan kontribusi ke
dinding lateral dan atap rongga hidung, membentuk sinus maksilaris, dan
memberikan kontribusi ke dinding inferior dan dasar dari orbital. Dua tulang
maksilaris yang bergabung di garis tengah membentuk sepertiga tengah wajah.

Gambar 2. Tulang Maksila


Maksila dirancang untuk menyerap gaya yang timbul saat mengunyah dan
menyediakan buttress vertikal oklusi gigi. Sesuai dengan karakter buttress, beban
didistribusikan menuju ke kerangka kraniofasial secara keseluruhan. Gaya tersebut
didistribusikan melalui arkus palatum dan artikulasi maksila melawan sutura
frontomaxilary, zygomaticomaxilary, dan ethmoidomaxilary. Fraktur dapat
bervariasi mulai dari fraktur sederhana prosesus alveolar maksila sampai dengan
fraktur comminuted pada keseluruhan area wajah bagian tengah. Pola dan distribusi
fraktur bergantung pada besar dan arah gaya (dari arah frontal atau lateral).. Ketika
fraktur maksila dihubungkan dengan fraktur zygoma, otot masseter memegang
peranan penting dalam displacement segmen fraktur karena perlekatannya yang
kuat pada badan zygoma. Pada fraktur maksila atas, sistem nasolakrimal dapat pula
terlibat. Kanal nasolakrimal sering kali terpotong oleh garis fraktur.2
C. TRAUMA MAKSILA
1. Definisi
4

Trauma maksilofasial adalah suatu ruda paksa yang mengenai wajah dan
jaringan sekitarnya. Trauma pada jaringan maksilofasial dapat mengenai jaringan
lunak dan jaringan keras. Yang dimaksud dengan jaringan lunak wajah adalah
jaringan lunak yang menutupi jaringan keras wajah. Sedangkan yang dimaksud
dengan jaringan keras wajah adalah tulang wajah yang terdiri dari tulang hidung,
tulang arkus zigomatikus, tulang mandibula, tulang maksila, tulang rongga mata,
gigi dan tulang alveolus.3
2. Etiologi
Penyebab trauma maksilofasial bervariasi, mencakup kecelakaan lalu lintas,
kecelakaan kerja, kecelakaan akibat olah raga, kekerasan fisik,
terjatuh, dan trauma akibat senjata api. 3
Berdasarkan studi yang dilakukan, 72 % kematian oleh trauma
maksilofasial paling banyak disebabkan kecelakaan lalu lintas. Kecelakaan lalu
lintas adalah penyebab utama trauma maksilofasial yang dapat membawa kematian
dan kecacatan pada orang dewasa dan angka terbesar biasanya terjadi pada pria
dengan batas usia 21-30 tahun. Terjadinya kecelakaan lalu lintas ini
biasanya

sering

terjadi

pada

pengendara

sepeda

motor

dikarenakan kurangnya perhatian tentang keselamatan jiwa


seperti tidak menggunakan pelindung kepala (helm), kecepatan
dan rendahnya kesadaran tentang beretika lalu lintas.3
3. Klasifikasi
Fraktur maksila yang terdiri atas fraktur le fort I, II, dan III.4,5

Gambar 3. Fraktur maksila yang terdiri atas fraktur le fort I, II, dan III 4,5
1) Fraktur maksila Le Fort I

Pada fraktur Le Fort I (fraktur Guerin) meliputi fraktur horizontal


bagian bawah antara maksila dan palatum. Garis fraktur berjalan ke belakang
melalui lamina pterigoid. Fraktur ini bisa unilateral atau bilateral. Kerusakan
pada fraktur Le Fortakibat arah trauma dari anteroposterior bawah dapat
mengenai nasomaksila, bagian bawah lamina pterigoid, anterolateral maksila,
palatum durum, dasar hidung, septum,apertura piriformis. Gerakan tidak
normal akibat fraktur ini dapat dirasakan dengan jari pada saat pemeriksaan
palpasi. Garis fraktur yang mengarah ke vertikal, yang biasanya terdapat pada
garis tengah, membagi muka menjadi dua bagian. 4,5

Gambar
4.

fraktur

maksila
Fort

Le

(fraktur

horizontal)4,5
2) Fraktur maksila Le Fort II
Pada fraktur maksila Le Fort II (fraktur piramid) berjalan melalui
tulanghidung dan diteruskan ke tulang lakrimalis, dasar orbita, pinggir
infraorbita danmenyebrang ke bagian atas dari sinus maksila juga ke arah
lamina pterigoid sampaike fossa pterigopalatina. Fraktur pada lamina
kribriformis dan atap sel etmoid dapat merusak sistem lakrimalis. 4,5

Gambar 5. fraktur maksila Le Fort II (fraktur piramid)4,5


3) Fraktur maksila Le Fort III

Pada fraktur maksila Le Fort III (craniofacial dysjunction) garis fraktur


berjalan melalui sutura nasofrontal diteruskan sepanjang taut etmoid melalui
fisuraorbitalis superior melintang ke arah dinding lateral ke orbita, sutura
zigomatikofrontal dan sutura temporo-zigomatik. Fraktur Le Fort III ini
biasanya bersifat kominutif yang disebut kelainan dishface. Fraktur maksila Le
Fort III ini sering menimbulkan komplikasi intrakranial seperti timbulnya
pengeluaran cairan otak melalui atap sel etmoid dan lamina kribriformis. 4,5

Ga

mbar

6.

Le

III

fraktur

maksila

(craniofacial

dysjunction) 4,5

Fort

4. Manifestasi klinis
Pada penderita trauma maksilofacial dapat timbul beberapa kelainan seperti
kerusakan jaringan lunak (edema, kontusio, ekskoriasi, laserasi dan avulsi),
emfisema subkutis, rasa nyeri, terdapat deformitas yang dapat dilihat atau diperiksa
dengan cara perabaan, epistaksis, obstruksi hidung yang disebabkan timbulnya
hematom pada septum nasi, fraktur septum atau dislokasi septum, gangguan pada
mata, misalnya gangguan penglihatan, diplopia, ekimosis pada konjungtiva, abrasi
kornea, gangguan saraf sensoris berupa anestesia atau hipestesia dari ketiga cabang
nervus cranialis kelima, gangguan saraf motorik, trismus, maloklusi, kebocoran
cairan cerebrospinalis, krepitasi tulang hidung, maksila dan mandibula.2,3
Jika terjadi fraktur maksila maka harus segera dilakukan tindakan untuk
mendapatkan fungsi normal dan efek kosmetik yang baik. Tujuan tindakan
penanggulangan ini adalah untuk memperoleh fungsi normal pada waktu menutup
mulut atau oklusi gigi dan memperoleh kontur muka yang baik. 2 Harus
diperhatikan juga jalan napas serta profilaksis kemungkinan terjadinya infeksi.
Edema faring dapatmenimbulkan gangguan pada jalan napas sehingga mungkin
dilakukan tindakantrakeostomi. Perdarahan hebat yang berasal dari arteri
maksilaris interna atau arteriethmoidalis anterior sering terdapat fraktur maksila
dan harus segera diatasi. Jika tidak berhasil dilakukan pengikatan arteri maksilaris
7

interna atau arteri karotis eksterna atau arteri etmoidalis anterior. Jika kondisi
pasien cukup baik sesudah trauma tersebut, reduksi fraktur maksila biasanya tidak
sulit dikerjakan kecualikerusakan pada tulang sangat hebat atau terdapatnya
infeksi. Reduksi fraktur maksilamengalami kesulitan jika pasien datang terlambat
atau kerusakan sangat hebat yangdisertai dengan fraktur servikal atau terdapatnya
kelainan pada kepala yang tidak terdeteksi. Garis fraktur yang timbul harus
diperiksa dan dilakukan fiksasi.6
5. Diagnosis
a. Adanya riwayat trauma pada muka, sebuah riwayat trauma yang lengkap
dibutuhkan, mulai dari kapan kejadian, penyebab trauma, bagaimana
mekanisme kejadiannya, pertolongan pertama yang sudah dilakukan dan
jumlah perdarahan. Sebuah riwayat trauma yang lengkap akan berpengaruh
terhadap jenis dan waktu perawatan terjadi serta hasil akhirnya.4,6
b. Tampak deformitas muka, bisa berupa :
1) Bengkak asimetri, miring disertai lecet kulit sampai luka jaringan lunak
2) Hematoma atau perdaraan di luka atau dari lubang hidung dan mulut
sebagai jalan keluar perdarahan dari sinus maxilla/fraktur.
c. Pemeriksaan fisik maksilofasial
Pemeriksaan fisik dilakukan secara menyeluruh dan terfokus pada area trauma,
dengan tetap mewaspadai luka-luka atau trauma lain yang berhubungan. Jika
perludikonsultasikan ke spesialis lain seperti THT, mata dan bedah saraf. Nilai
lokasi, panjang dan kedalaman dari robekan dari wajah. Robekan, memar,
terbakar berdampak merusak struktur yang lebih dalam. Bila ada hal
tersebut,lakukan pemeriksaan teliti terhadap regio di sekitarnya. Selalu
diasumsikan terdapatfraktur di bawah luka robekan atau memar sampai
pemeriksaan klinis dan hasil radiologis membuktikannya.4
Inspeksi :
1) Elongasi fasial
Derajat tinggi fraktur LeFort
2) Asimetri
Deformitas dan injuri nervus cranial
3) Udem
4) Hematoma
5) Trismus
8

6) Nyeri spontan
7) Maloklusi
Palpasi :
1)
2)
3)
4)
5)
6)

Tenderness
Step offs
Facial stability
Crepitus
Subacutraneous air
Cutaneous anesthesia

Periorbital and Orbital Exam


1)
2)
3)
4)
5)
6)
7)

Perform early
Lihat exophthalmos or enophthalmos
Pupil shape
Hyphema
Visual acuity
Entrapment signs
Raccoon sign

Penetrating Injuries
1) Occult globe penetration
2) Eyelid lacerations
Nose
1) Septal hematoma
2) CSF Rhinorrhea
Ears
1) Subperichondral hematoma
2) Hemotympanum
3) Battle sign
Oral and Mandibular Exam
1) Mandible deviation
2) Teeth malocclusion
3) Paresthesia
4) Tongue Blade Test
95% Sensitive
65% Specific
Pada

pemeriksaan

intraoral

lakukan

palpasi

regio

maksila

dan

mandibula,kemudian waspadai ada tidaknya pecahan gigi atau kehilangan gigi.


Rahang dinilaidari gerakannya ke lateral atau ke depan belakang. Rasa lunak yang
terlokalisasi atau pergerakan yang abnormal mengindikasikan adanya fraktur.
Sensasi di daerah wajah dinilai.Pemeriksaan intranasal mengidentifikasi robekan,
hematoma dan area obstruksidari dalam hidung. Mengalirnya cairan jernih dari
hidung menunjukan rhinorrhea daricairan cerebrospinal dan penting untuk

kemungkinan fraktur di fossa anterior craniumdan dapat juga mengenai daerah


cribiformis. Pemeriksaan klinis untuk masing-masing fraktur, sebagai berikut:4,5,6
a. Fraktur Maksila
Fraktur maksila terbagi atas fraktur Le Fort I, Le Fort II dan Le Fort
III, dimana pemeriksaan klinis pada masing-masing fraktur Le Fort tersebut
berbeda.
Le Fort I
Pemeriksaan klinis pada fraktur Le Fort I dilakukan dalam dua
pemeriksaan yakni secara ekstra oral dan intra oral. Pada pemeriksaan ekstra
oral, pemeriksaan dilakukan dengan visualisasi dan palpasi. Secara visualisasi
dapat terlihat adanya edema pada bibir atas dan ekimosis. Sedangkan secara
palpasi terdapat bergeraknya lengkung rahang atas. Pada pemeriksaan intra
oral, pemeriksaan dilakukan secara visualisasi dan palpasi. Secara visualisasi
dapat terlihat adanya open bite anterior. Sedangkan secara palpasi terdapat
rasa nyeri.
Selanjutnya pemeriksaan fraktur Le Fort I dilakukan dengan foto
rontgen dengan proyeksi wajah anterolateral.
Le Fort II
Pemeriksaan klinis pada fraktur Le Fort II dilakukan dalam dua
pemeriksaan yakni secara ekstra oral dan intra oral. Pada pemeriksaan ekstra
oral, pemeriksaan dilakukan dengan visualisasi dan palpasi. Secara visualisasi
dapat terlihat pupil cenderung sama tinggi, ekimosis, dan edema periorbital.
Sedangkan secara palpasi terdapat tulang hidung bergerak bersama dengan
wajah tengah, mati rasa pada daerah kulit yang dipersarafi oleh nervus
infraorbitalis. Pada pemeriksaan intra oral, pemeriksaan dilakukan secara
visualisasi dan palpasi. Secara visualisasi dapat terlihat adanya gangguan
oklusi tetapi tidak separah jika dibandingkan dengan fraktur Le Fort I.
Sedangkan secara palpasi terdapat bergeraknya lengkung rahang atas.
Pemeriksaan selanjutnya dilakukan dengan pemeriksaan dengan foto
rontgen proyeksi wajah anterolateral, foto wajah polos dan CT scan.
Le Fort III
Pemeriksaan klinis pada fraktur Le Fort III dilakukan secara ekstra
oral. Pada pemeriksaan ekstra oral, pemeriksaan dilakukan dengan visualisasi.
Secara visualisasi dapat terlihat pembengkakan pada daerah kelopak mata,
ekimosis periorbital bilateral. Usaha untuk melakukan tes mobilitas pada
maksila akan mengakibatkan pergeseran seluruh bagian atas wajah.

10

Pemeriksaan selanjutnya dilakukan dengan pemeriksaan dengan foto


rontgen proyeksi wajah anterolateral, foto wajah polos dan CT scan.
6. Radiologis :
a. Foto AP: Walaupun garis patah kadang tidak jelas, dengan membandingkan
sisi kontralateral, bias ditemui diskontinuitas tulang secara radiologis.
Perhatikan pengisian sinus oleh darah yang menyebabkan pengaburan gambar
sinus.2
b. CT Scan bisa melihat garis patah yang tidak nampak dalam foto radiologis
biasa. CT Scan 3-dimensi akan menggambarkan bentuk tulang muka
keseluruhan fan lubang tulang yang patah atau melesak dapat dikenali dengan
lebih jelas, dikerjakan atas indikasi khusus. CT scan pada potongan axial
maupun coronal merupakan gold standard pada pasien dengan kecurigaan
fraktur zigoma, untuk mendapatkan pola fraktur, derajat pergeseran, dan
evaluasi jaringan lunak orbital. Secara spesifik CT scan dapat memperlihatkan
keadaan

dari

midfasial,

infraorbital,

seperti

zygomaticofrontal,

nasomaxillary,

zygomaticomaxillary,

zygomaticosphenoid,

dan

zygomaticotemporal.2,6
c. Penilaian radiologis dari foto polos dapat menggunakan foto waters, caldwel,
submentovertek dan lateral. Dari foto waters dapat dilihat pergeseran pada tepi
orbita inferior, maksila, dan zigoma. Foto caldwel dapat menunjukkan region
frontozigomatikus danarkus zigomatikus. Foto submento vertek menunjukkan
arkus zigomatikus.2
7. Komplikasi
Komplikasi pada fraktur maksila meliputi komplikasi awal dan komplikasi
lambat, sebagai berikut :
Komplikasi Awal
a. Perdarahan
b. Sumbatan jalan nafas
c. Infeksi
Komplikasi Lambat
d. Malunion
e. Obstruksi nasal
f. Sinusitis kronik
g. Maloklusi
11

h. Deformitas
DAFTAR PUSTAKA
1. Pruitt BA. 2008. Towsend: sabiston textbook of surgery, 18th ed. Saunders Elsevier.
2. Mullholand MW, Lillemoe KD, Doherty GM, Maier RV, Upchurch GR. 2006. Greenfield
surgery : scientific principles and practice 4th edition. Lippinkot Williams & Willkins
3. Brunner dan Suddarth. 2001. Keperawatan Medikal Bedah Edisi 8 Volume 2. Jakarta :
Penerbit Buku Kedokteran EGC.
4. Sudjatmiko G. 2011. Petunjuk Praktis Ilmu Bedah Plastik Rekonstruksi. Jakarta: Yayasan
Khasanah Kebajikan.
5. Sjamsuhidajat R dan De Jong W. 2005. Buku Ajar Ilmu Bedah.2nded. Jakarta: Penerbit
Buku Kedokteran EGC.
6. Cuschieri A, Grace P.A, Darzi A, Borley N, Rowley DI. 2003. Clinical surgery second

ed. Oxford: Blackwell Publishing

12

You might also like