Professional Documents
Culture Documents
Oleh:
Gemala RR
G99151010
G99151009
Karla Kalua
G99142105
BAB I
STATUS PASIEN
A. Anamnesa
I. Identitas pasien
II.
Nama
Umur
Jenis Kelamin
Alamat
No RM
MRS
: Ny. S
: 53 tahun
: Perempuan
: Jaten, Karanganyar
: 01257385
: 17 April 2016
Tanggal Periksa
: 25 April 2016
Keluhan Utama
Nyeri pada wajah kiri setelah KLL
III.
IV.
: disangkal
Riwayat operasi
: disangkal
Riwayat trauma
: disangkal
Riwayat hipertensi
V.
Riwayat DM
: disangkal
: disangkal
Riwayat alergi
: disangkal
VI.
: disangkal
: disangkal
Riwayat hipertensi
: disangkal
Riwayat DM
: disangkal
Riwayat alergi
: disangkal
Riwayat Kebiasaan
Riwayat minum-minuman keras
: disangkal
Riwayat merokok
: disangkal
Olahraga teratur
: disangkal
VII.
Riwayat Gizi
Pasien makan 3 kali sehari dengan lauk pauk dan sayur terkadang disertai buah.
Mata
Hidung
Telinga
Mulut
Tenggorokan
Respirasi
Kardiovaskuler
Ekstremitas
C. PEMERIKSAAN FISIK
Keadaaan umum
Primary Survey
Airway
: Airway bebas
Breathing
Inspeksi: retraksi (-); takipneu (-), RR: 20 kali/menit; napas cuping
hidung (-); pengembangan dada kanan = dada kiri
Palpasi : krepitasi (-)
Perkusi : sonor/sonor
Auskultasi : SDV (+ / +) normal, suara nafas tambahan (-/-)
Circulation
Look
Listen : suara jantung regular, bising (-), suara jantung menjauh (-)
Feel
: akral dingin (-), capillary refill time <2 detik, nadi: 100 x/menit,
TD: 140 /90 mmHg
Disability
GCS E4V5M6, lateralisasi (-), pupil isokor (3mm/3mm), reflek cahaya (+/+)
Exposure
Suhu 36o C, jejas lihat status lokalis
Secondary survey
Kepala
Mata
Hidung
Telinga
Mulut
: Maloklusi (-), sianosis (-), gusi berdarah (-), mandibular krepitasi (-), gigi
goyang (-), gigi patah (-)
Leher
Thorax
Jantung
:
Inspeksi
Palpasi
Perkusi
:
Inspeksi
Palpasi
Perkusi
: sonor/sonor
: timpani
Palpasi
Ekstremitas:
Oedem
D. Status Lokalis
Regio
di regio
Akral Dingin
-
Frontal
Mid Facial
Hasil
Hemoglobin
Hematokrit
Leukosit
Trombosit
Eritrosit
10.8
32
3.9
172
4.10
100
0.6
12
Natrium Darah
Kalium Darah
Chlorida Darah
132
3.8
104
Satuan
DARAH RUTIN
g/dL
%
ribu/l
ribu/l
juta/l
KIMIA KLINIK
mg/dl
mg/dl
mg/dl
ELEKTROLIT
mmol/l
mmol/l
mmol/l
Rujukan
12.0-15.6
33-45
4.5-11.0
150-450
4.10-5.10
60 100
0.6 1.1
< 50
136 - 145
3.3 - 5.1
98 - 106
Kesan:
-
M. Assesment II
1. Fraktur Maxilla (S)
2. Fraktur rima orbita inferior (S)
3. Vulnus appertum R. supraciliaris (S)
N. Plan II
1. Pro ORIF elektif
2. Pro repair vulnus
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. FRAKTUR MAXILA
8
1. Anatomi
Kerangka wajah berfungsi untuk melindungi otak, melindungi organ penghidu,
penglihatan, dan rasa, dan menyediakan kerangka di mana jaringan lunak wajah dapat
bertindak untuk memfasilitasi makan, ekspresi wajah, bernapas, dan berbicara.
Tulang-tulang wajah utama adalah rahang, rahang bawah, tulang frontal,tulang
hidung, dan zigoma.2
10
rasa nyeri, terdapat deformitas yang dapat dilihat atau diperiksa dengan cara perabaan,
epistaksis, obstruksi hidung yang disebabkan timbulnya hematom pada septum nasi,
fraktur septum atau dislokasi septum, gangguan pada mata, misalnya gangguan
penglihatan, diplopia, ekimosis pada konjungtiva, abrasi kornea, gangguan saraf
sensoris berupa anestesia atau hipestesia dari ketiga cabang nervus cranialis kelima,
gangguan saraf motorik, trismus, maloklusi, kebocoran cairan cerebrospinalis,
krepitasi tulang hidung, maksila dan mandibula.8
Jika terjadi fraktur maksila maka harus segera dilakukan tindakan untuk
mendapatkan fungsi normal dan efek kosmetik yang baik. Tujuan tindakan
penanggulangan ini adalah untuk memperoleh fungsi normal pada waktu menutup
mulut atau oklusi gigi dan memperoleh kontur muka yang baik. Harus diperhatikan
juga jalan napas serta profilaksis kemungkinan terjadinya infeksi. Edema faring
dapatmenimbulkan gangguan pada jalan napas sehingga mungkin dilakukan
tindakantrakeostomi. Perdarahan hebat yang berasal dari arteri maksilaris interna atau
arteriethmoidalis anterior sering terdapat fraktur maksila dan harus segera diatasi. Jika
tidak berhasil dilakukan pengikatan arteri maksilaris interna atau arteri karotis eksterna
atau arteri etmoidalis anterior. Jika kondisi pasien cukup baik sesudahtrauma tersebut,
reduksi fraktur maksila biasanya tidak sulit dikerjakan kecualikerusakan pada tulang
sangat hebat atau terdapatnya infeksi. Reduksi fraktur maksilamengalami kesulitan
jika pasien datang terlambat atau kerusakan sangat hebat yangdisertai dengan fraktur
servikal atau terdapatnya kelainan pada kepala yang tidak terdeteksi. Garis fraktur
yang timbul harus diperiksa dan dilakukan fiksasi.14
1) Fraktur maksila Le Fort I
Pada fraktur Le Fort I (fraktur Guerin) meliputi fraktur horizontal bagian
bawah antara maksila dan palatum. Garis fraktur berjalan ke belakang melalui
lamina pterigoid. Fraktur ini bisa unilateral atau bilateral. Kerusakan pada fraktur
Le Fort akibat arah trauma dari anteroposterior bawah dapat mengenai
nasomaksila, bagian bawah lamina pterigoid, anterolateral maksila, palatum
durum, dasar hidung, septum,apertura piriformis. Gerakan tidak normal akibat
fraktur ini dapat dirasakan dengan jari pada saat pemeriksaan palpasi. Garis
11
fraktur yang mengarah ke vertikal, yang biasanya terdapat pada garis tengah,
membagi muka menjadi dua bagian.
Gambar 4. fraktur
maksila Le Fort I
2) Fraktur maksila Le
Pada
(fraktur
Fort II
fraktur
maksila Le Fort II
piramid)
berjalan
melalui
Le Fort III
12
2) Asimetri
Deformitas dan injuri nervus cranial
3) Udem
4) Hematoma
5) Trismus
6) Nyeri spontan
7) Maloklusi
Palpasi :
1)
2)
3)
4)
5)
6)
Tenderness
Step offs
Facial stability
Crepitus
Subacutraneous air
Cutaneous anesthesia
Perform early
Lihat exophthalmos or enophthalmos
Pupil shape
Hyphema
Visual acuity
Entrapment signs
Raccoon sign
Penetrating Injuries
1) Occult globe penetration
2) Eyelid lacerations
Nose
1) Septal hematoma
2) CSF Rhinorrhea
Ears
1) Subperichondral hematoma
2) Hemotympanum
3) Battle sign
Oral and Mandibular Exam
1) Mandible deviation
2) Teeth malocclusion
3) Paresthesia
4) Tongue Blade Test
95% Sensitive
65% Specific
14
Pada
pemeriksaan
intraoral
lakukan
palpasi
regio
maksila
dan
15
zygomaticomaxillary,
infraorbital,
zygomaticofrontal,
16
Perawatan fraktur ditujukan pada penempatan ujung tulang yang fraktur pada
hubungan yang benar sehingga ujung tulang tersebut bersentuhan dan
dipertahankan pada posisi tersebut sampai penyembuhan terjadi.2,3,11
Reposisi/reduksi fraktur ada 3 cara :
a) Close reduction
Banyak terdapat cara reposisi. Cara yang mudah adalah reposisi tertutup yaitu
manipulasi tulang dengan tarikan yang dilakukan di bawah kulit yang intact
sampai fraktur berada pada posisi yang benar. fraktur yang dapat dilakukan
reposisi tertutup, bila garis fraktur simpe1, posisi cukup baik dan terjadinya
fraktur masih baruReduksi yang dilakukan pada fraktur dengan cara
manipulasi. Cara ini dilakukan pada fraktur yang masih baru dan mudah
dikembalikan pada tempat semula.
Caranya :
Kita raba permukaan tulang yang patah melalui intra dan ekstra oral, lalu kita
perhatikan oklusinya. Setelah kawat fiksasi dipasang, baru reduksi dikerjakan
yaitu dengan manipulasi bagian-bagian tulang yang patah itu sampai
kedudukannya seperti semula.
b) Reduksi dengan tarikan
Yang paling sering dipakai yaitu intermaxillary traction yaitu penarikan rahang
bawah dan rahang atas. Cara ini dilakukan bila displacement sukar
dimanipulasi pada tempat-tempat yang diinginkan yang mungkin oleh karena
adanya spasmus otot dan fraktur yang sudah lama sehingga terjadi malunion
yang sukar dikembalikan ke keadaan semula.
c) Open reduction (dengan cara operasi)
Cara ini dipakai jika reduksi tertutup tidak dapat dikerjakan, lebih sering
dikerjakan untuk fiksasi dari pada untuk reduksi fraktur.
Fiksasi dan Immobilisasi
Pada fraktur yang dilakukan reposisi tertutup ketika tulang rahang dan gigi sudah
terletak pada posisi yang tepat, maka dapat dipertahankan dengan menggunakan
kawat Arch Bar, membebat gigi, pita elastic atau kawat yang menghubungkan
17
mandibula dan maksila. Fiksasi dapat dilakukan langsung pada gigi atau otot-otot
sekitar rahang, sehingga dapat dibagi menjadi : 1,6
a) Indirect dental fixation
Mengikat rahang atas dan rahang bawah bersama-sama dalam keadaan oklusi
dengan mempergunakan pengikat atau elastic band. Pada fiksasi harus
diperhatikan oklusi gigi atas dan bawah harus baik.
Ada 2 macam cara :
Circumferential wiring
External fixation
B. VULNUS
1. Definisi Luka
Luka adalah terputusnya kontinuitas atau hubungan anatomis jaringan sebagai
akibat dari ruda paksa. Luka dapat merupakan luka yang sengaja dibuat untuk tujuan
tertentu, seperti luka insisi pada operasi atau luka akibat trauma seperti luka akibat
kecelakaan.
18
Luka bersih
Luka bersih adalah luka yang tidak terdapat inflamasi dan infeksi, yang
merupakan luka sayat elektif dan steril dimana luka tersebut berpotensi untuk
terinfeksi. Luka tidak ada kontak dengan orofaring,traktus respiratorius maupun
traktus genitourinarius. Dengan demikian kondisi luka tetap dalam keadaan
bersih. Kemungkinan terjadinya infeksi luka sekitar 1% - 5%.
19
5) Vulnus morsum adalah luka karena gigitan binatang. Luka gigitan hewan
memiliki bentuk permukaan luka yang mengikuti gigi hewan yang menggigit.
Dengan kedalaman luka juga menyesuaikan gigitan hewan tersebut.
6) Vulnus combutio adalah luka karena terbakar oleh api atau cairan panas maupun
sengatan arus listrik. Vulnus combutio memiliki bentuk luka yang tidak beraturan
dengan permukaan luka yang lebar dan warna kulit yang menghitam. Biasanya
juga disertai bula karena kerusakan epitel kulit dan mukosa.
3. Penyembuhan Luka
a. Tahapan penyembuhan luka
Tanpa memandang penyebab, tahapan penyembuhan luka terbagi atas :
1) Fase koagulasi : Koagulasi merupakan respon yang pertama terjadi sesaat setelah
luka terjadi dan melibatkan platelet. Pengeluaran platelet akan menyebabkan
vasokonstriksi. Proses ini bertujuan untuk homeostatis sehingga mencegah
perdarahan lebih lanjut. Proses ini diikuti oleh proses selanjutnya yaitu fase
inflamasi.
2) Fase inflamasi : Fase inflamasi mempunyai prioritas fungsional yaitu menggalakkan
hemostasis, menyingkirkan jaringan mati, dan mencegah infeksi oleh bakteri patogen
terutama bakteria. Pada fase ini platelet yang membentuk klot hematom mengalami
degranulasi, melepaskan faktor pertumbuhan seperti platelet derived growth factor
(PDGF) dan transforming growth factor (TGF), granulocyte colony stimulating
factor (G-CSF), C5a, TNF, IL-1 dan IL-8. Fase inflamasi memungkinkan
pergerakan leukosit (utamanya neutrofil). Neutrofil selanjutnya
memfagosit dan
vascular
endothelial
growth
factor
(VEGF)
sehingga
terjadi
Proses kontraksi (untuk menarik kedua tepi luka agar saling berdekatan).
Menurut Hunt (2003) kontraksi adalah peristiwa fisiologi yang menyebabkan
terjadinya penutupan pada luka terbuka. Kontraksi terjadi bersamaan dengan sintesis
kolagen. Hasil dari kontraksi akan tampak dimana ukuran luka akan tampak semakin
mengecil atau menyatu.
4) Fase remodeling : Remodeling merupakan fase yang paling lama pada proses
penyembuhan luka,terjadi pada hari ke 21-hingga 1 tahun. Terjadi kontraksi luka,
akibat pembentukan aktin myofibroblas dengan aktin mikrofilamen yang
memberikan kekuatan kontraksi pada penyembuhan luka. Pada fase ini terjadi juga
remodeling kolagen. Kolagen tipe III digantikan kolagen tipe I yang dimediasi
matriks metalloproteinase yang disekresi makrofag, fibroblas, dan sel endotel. Pada
masa 3 minggu penyembuhan, luka telah mendapatkan kembali 20% kekuatan
jaringan normal (Hunt,2003; Mann ,dkk;2001, Ting,dkk;2008).
22
23
Fibroblas bermigrasi kedalam bagian luka dan mensekresi kolagen. Selama fase
granulasi luka berwarna merah muda dan mengandung pembuluh darah. Tampak
granula-granula merah. Luka beresiko dehiscence dan resisten terhadap infeksi.
Epitelium pada permukaan tepi luka mulai terlihat. Dalam beberapa hari lapisan
epithelium yang tipis akan bermigrasi menyebrangi permukaan luka. Epitel menebal
dan mulai matur dan luka mulai merapat. Pada luka superficial, reepitelisasi terjadi
3-5 hari.
4) Fase kontraktur scar (7 hari beberapa bulan)
Serabut-serabut kolagen terbentuk dan terjadi proses remodeling. Pergerakan
miofibroblast yang aktif menyebabkan kontraksi area penyembuhan, menutup defek
dan membawa ujung kulit tertutup bersama-sama. Skar yang matur selanjutnya
terbentuk. Skar yang matur tidak mengandung pembuluh darah dan pucat, serta lebih
terasa nyeri dari pada fase granulasi.
b.
c.
Tertiary Intention Healing (penyembuhan luka tertier) yaitu luka yang dibiarkan
terbuka selama beberapa hari setelah tindakan debridement. Setelah diyakini bersih,
tepi luka dipertautkan (4-7 hari). Luka ini merupakan tipe penyembuhan luka yang
terakhir (Mansjoer,2000; InETNA, 2004:4).
24
25
luka
terinfeksi,
respon
inflamatori
berlangsung
lama
dan
penyembuhan luka terlambat. Luka tidak akan sembuh selama ada infeksi. Infeksi
dapat berkembang saat pertahanan tubuh lemah. Diagnosa dari infeksi jika nilai
kultur luka melebihi nilai normal. Kultur memerlukan waktu 24-48 jam dan selama
menunggu pasien di beri antibiotika spektrum luas. Kadang-kadang benda asing
dalam luka adalah sumber infeksi.
26
Suplai darah yang adekuat perlu bagi tiap aspek penyembuhan. Suplai darah
dapat terbatas karena kerusakan pada pembulu darah jantung/paru. Hipoksia
mengganggu aliran oksigen dan nutrisi pada luka, serta aktifitas dari sel pertumbuhan
tubuh. Neutropil memerlukan oksigen untuk menghasilkan oksigen peroksida untuk
membunuh patogen. Demikian juga fibroblast dan fagositosis terbentuk lambat. Satusatunya aspek yang dapat meningkatkan penyembuhan luka pada keadaan hipoksia
adalah angio genesis.
2) Faktor ekstrinsik
Faktor ektrinsik dapat memperlambat penyembuhan luka meliputi malnutrisi,
perubahan
usia
dan
penyakit
seperti
diabetes
melitus.
Malnutrisi
dapat
tua
yang
mengalami
penurunan
respon
inflamatari
yang
arteri sklerosis dan platelet agregasi. Lebih lanjut kondisi ini membatasi jumlah
oksigen dalam luka.
Penggunaan steroid memperlambat penyembuhan dengan menghambat
kologen sintesis, Pasien yang minum steroid mengalami penurunan strenght luka,
menghambat kontraksi dan menghalangi epitilisasi.
Untungnya Vitamin A ada untuk meningkatkan penyembuhan luka yang
terhambat karena gangguan atau penggunaan steroid.
8. Komplikasi Penyembuhan Luka
Meliputi Infeksi, pendarahan, dehiscence dan evicerasi
1)
Infeksi
Invasi bakteri pada luka dapat terjadi pada saat trauma, selama pembedahan atau
setelah pembedahan. Gejala dari Infeksi sering muncul dalam 2-7 hari setelah
pembedahan.gejalanya berupa infeksi termasuk adanya purulent, peningkatan
drainage, nyeri, kemerahan dan bengkak di sekeliling luka, peningkatan suhu, dan
peningkatan leukosit.
2)
Pendarahan
Dapat menunjukkan suatu pelepasan jahitan, sulit membeku pada garis jahitan,
infeksi atau erosi dari pembuluh darah oleh benda asing (seperti darain).
Hipovolemia mungkin tidak cepat tampak, sehingga balutan jika mungkin harus
sering di lihat selama 48 jam pertama setelah pembedahan dan tiap 8 jam setelah itu.
Jika terjadi perdarahan yang berlegihan, penambahan tekanan luka steril mungkin
diperlukan. Pemberian cairan & intervensi pembedahan mungkin diperlukan.
3)
D. Pengkajian Luka
1. Lokasi
Lokasi luka dapat mempengaruhi penyembuhan luka, dimana tidak semua
lokasi tubuh mendapatkan peredaran darah yang sama. Ditinjau dari prinsip
fisiologis, pada bagian tubuh yang memiliki pembuluh darah yang banyak akan
mendapatkan aliran darah yang banyak. Hal ini akan mendukung penyembuhan luka
lebih cepat dibandingkan dari bagian tubuh yang lebih sedikit mendapat aliran darah.
2. Ukuran luka
Diukur panjang, lebar dan diameternya bila bentuk luka bulat dengan
sentimeter, gambarkan bentuk luka tersebut dengan lembar transparan yang telah
dicatat berpola kotak-kotak berukuran sentimeter.
3. Kedalaman luka
Kedalaman luka dapat diukur dengan kapas lidi steril yang sudah
dilembabkan dengan normal saline, masukan dengan hati-hati kedalam luka dengan
posisi tegak lurus (90o) hingga kedasar luka. Beri tanda pada lidi sejajar dengan
permukaan kulit disekitar luka. Ukur dengan sentimeter.
4. Goa atau terowongan
Goa dan terowongan dapat diketahui denga melakukan palpas jaringan
disekeliling pinggir luka, dimana akan teraba tenderness/perlukan. Masukan saline
melalui mulut lubang ke dasar luka/ujung terowongan. Beri tanda pada lidi sejajar
dengan permukaan kulit disekitar luka. Beri tekanan /palpasi dengan hati-hati dan
kaji saluran yang abnormal tersebut.
Jangan pernah menggunakan kekuatan dorongan yang berlebilan bila
menggunakan kapas lidi. Ukur lokasi dan kedalaman lubang/penetrasi. Untuk
penentuan lokasi ditetepkan dengan pola arah jarum jam dengan pusat pada tengah
luka dan jam 12 sesuai garis anatomis sumbu tubuh manusia. Misalnya lokasi mulut
lubang terdapat pada posisi jam 8 dengan kedalaman 5 cm atau dapat dibuatkan
gambar jam dengan tanda pada posisi jam 8.
5. Warna dasar luka
29
hydrogen dan apabila eksudat banyak dapat digunakan hydrofiber yang mengandung
calcium alginate labih efektif.
d) Epitelisasi
Warna dasarnya adalah pink, kadang-kadang sebagian luka ini masih dalam
proses glanulasi. Untuk itu perlu pemilihan balutan yang dapat mendukung mutasi
sel yaitu douderm tipis
berbentuk seruk, namun cukup lunak dan nyaman diletakan diatas permukaan luka
dan tidak menimbulkan trauma terghadap luka, dapat juga menyetap eksudut yang
minimal melindungi luka dari kontaminasi.
e) Infeksi
Luka ini banyak warna dasarnya, umumnya ada pada ke empat warna diatas.
Untuk luka ini balutan balutan dapat dikombinasi. Bila cendrung berdarah dapat
ditutup dengan calciun alginate diatas bagian yang berdarah tersebut. Untuk eksudat
yang banyak dapat dipilih hydrofiber dan untuk bau yang tidak enak dapat diberikan
Carboflex. Kemudian tutup denga balutan transparan untuk memantau kondisi dari
luar tanpa membuka balutan
f) Funging malodours
Warna luka berfariasi, luka ini sangat kompleks biasanya dialami oleh penderita
kangker, terutama kanker mammae dimana sebagian permukaan luka sangat mudah
berdarah, eksudat banyak, bau tidak enak, ukurannya besar dan lokasinya dekat
dengan hidung. Untuk menentukan balutan yang efektif dapat dilakukan sesuatu
dengan petunjuk pada luka yang terinfeksi yang telah ditulis sebelumnya.
C. FRAKTUR ORBITA
1. Definisi
Fraktur dinding orbital adalah terputusnya kontinuitas antara jaringan-jaringan
pada dinding orbital dengan atau tanpa penglibatan tulang-tulang di daerah
sekitarnya.22
2. Etiologi
Faktor penyebab bervariasi. Kecelakaan lalu lintas merupakan faktor etiologi
yang dominan yang bertanggung jawab menyebabkan terjadinya fraktur dinding
orbital. Faktor lain fraktur dinding orbital adalah akibat perkelahian. Selain itu, bisa
juga diakibatkan karena senjata yang tumpul atau tajam. Faktor etiologi lain yang
31
32
4. Diagnosis
a. Anamnesis
Dari anamnesis dapat ditentukan mekanisme trauma yang menyebabkan fraktur,
seperti pukulan benda keras yang melebihi diameter rima orbita biasanya
berhubungan dengan fraktur blow out. Biasanya daerah yang terkena paling sering
mengalami fraktur adalah dasar orbita. Penyebab dari fraktur ini adalah peningkatan
tekanan intraorbita yang menyebabkan tulang orbita menjadi rusak. Teori lain
berpendapat bahwa kompresi rima orbita inferior menyebabkan kerusakan dasar
orbita secara langsung.22
Fraktur menimbulkan nyeri yang hebat. Pada daerah yang mengalami fraktur
muncul pembengkakan akibat adanya akumulasi darah dan cairan. Akumulasi darah
biasanya menyebabkan daerah yang membengkak tampak biru atau ungu (memar).
Terkadang dapat terjadi perdarahan pada hidung.22
Penglihatan dapat terganggu jika kelopak mata juga ikut membengkak dan
menutup pandangan, atau pada kasus tertentu dimana terjadi kerusakan pada bola
mata, atau jika darah terakumulasi di belakang bola mata dan menekan saraf optik.22
Fraktur juga bisa mempengaruhi fungsi otot-otot yang menggerakkan mata,
sehingga dapat terjadi penglihatan ganda (diplopia) atau menghalangi pergerakan
mata ke kanan, kiri, atas, atau bawah. Terkadang gangguan penglihatan dan
gangguan pergerakan bola mata dapat disebabkan oleh adanya pecahan tulang yang
menekan atau memotong saraf, pembuluh darah atau otot di sekitar mata. Pada
fraktur blow-out terkadang menyebabkan adanya penglihatan ganda, bola mata pada
sisi yang terjadi fraktur dapat tenggelam (sunken), bola mata hanya dapat melihat ke
bawah, penurunan sensasi terhadap sentuhan dan nyeri di sekitar pipi dan bibir atas
(akibat cedera saraf di bawah orbita), atau akumulasi udara pada jaringan di bawah
33
kulit (emfisema subkutis). Emfisema subkutis terjadi jika fraktur pada dasar orbita
menyebabkan udara dari hidung atau sinus masuk ke jaringan di sekitar mata,
terutama jika penderita menghembuskan udara dari hidung dengan kuat.22
b. Pemeriksaan fisik
Hal yang perlu dinilai pertama kali adalah adanya trauma multisistem,
melakukan primary survey (airway, breathing, circulation). Setelah itu dilakukan
juga pemeriksaan pada bola mata. Pasien dengan trauma periorbita seringkali
menampakkan gangguan visual, terdapat iritis traumatik, abrasi kornea, hifema,
glaukoma akut, ablasio retina, serta neuropati traumatik optik. Penurunan visus,
warna, dan defek papilary afferent dapat mengakibatkan neuropati traumatik optik. 22
1) Dasar orbita
Saat terjadi fraktur dasar orbita, pemeriksaan dapat menunjukkan adanya edema
periorbita dan ekimosis periorbita. Terdapat pula keluhan nyeri jika dilakukan
palpasi. Dapat pula terjadi disetesia, hipestesia, atau hiperalgesia.dapat juga menilai
apakah terdapat proptosis atau enophtalmos.22
2) Dinding medial
Pada fraktur dinding medial, dapat terjadi perdarahan subkonjungtiva, epistaksis, dan
rhinorrhea. Fraktur ini juga dapat mengakibhatkan kerusakan sistem drainase
nasolakrimalis dan ligamen canthal media. 22
3) Dinding lateral
Fraktur pada dinding lateral (terutama os zygomaticus) dapat dinilai adanya nyeri
tekan. Terdapat
infraorbita,
zygomaticofacial,
dan
Klasifikasi
Secara umum, fraktur orbital dibagi kepada dua kategori yang luas.
Yang pertama merupakan fraktur yang secara relatif eksternal dan melibatkan
orbital
yang
melibatkan tulang secara internal di dalam kavitas orbital. Fraktur ini terjadi
tanpa (atau sedikit) penglibatan orbital rim.25,26
Fraktur seperti ini biasanya disebut fraktur blow-out atau blow-in. Istilah
blow-out ini digunakan oleh Converse dan Smith (1950) untuk menggambarkan
fraktur pada dinding inferior orbital yang mengarah ke bawah dan memasuki
sinus maksilaris. Sebaliknya, blow-in merupakan fraktur yang mengarah ke atas,
memasuki orbita.25
Tanpa penglibatan orbital rim, fraktur ini dipanggil pure blow-out. Jika orbital
rim terlibat, maka ianya dikenali sebagai impure blow-out. Dalam kasus ini,
lemak orbital dan otot masuk ke dalam sinus maksilaris, menghasilkan
enophthalmus. Jika otot rektus inferior dan oblique inferior juga terlibat dalam
hal ini, pergerakan bola mata akan menjadi terbatas. Ini dikenal sebagai diplopia.25
6. Penatalaksanaan
a. Medikamentosa
Pasien harus disarankan untuk menghindari meniup hidungnya untuk beberapa
minggu setelah trauma untuk mencega emfisema dan gangguan visual. Spray
dekongestan nasal seringkali dugunakan. Antibiotik profilaksis juga digunakan untuk
mencegah selulitis orbital akibat bakteri jika fraktur menciptakan hubungan antara
orbita dengan sinus. Jika edema orbita berat, steroid dapat digunakan untuk
menurunkan edema.22,27,28
b. Pembedahan
Pembedahan dilakukan terutama jika terdapat disfungsi pada mata seperti adanya
diplopoa, enophtalmus (lebih dari 2 mm), serta fraktur yang melibatkan lebih dari
setengah dasar orbita.22,29
35
DAFTAR PUSTAKA
1. Auerbach SM, Laskin DM, Kiesler DJ, et al; Psychological factors associated with respo
nse to
maxillofacial injury and its treatment. J Oral Maxillofac Surg. 2008 Apr
66(4):75561.
2. Glynn SM, Shetty V, ElliotBrown K, et al; Chronic posttraumatic stress disorder after faci
al injury: a 1year
;62(2):410-
8; discussion 418.
3. Devauchelle B, Badet L, Lengele B, et al; First human face allograft: early report. Lancet.
2006 Jul 15;368(9531):2039. 2014 Jul;58(3):497521. doi: 10.1016/j.cden.2014.03.001.
4. Ceallaigh PO, Ekanaykaee K, Beirne CJ, et al; Diagnosis and management of common m
axillofacialinjuries in the emergency department. Part 1: Advanced trauma life support. E
merg Med J. 22006 Oct;23(10):7967.
5. Strong EB; Frontal sinus fractures: current concepts. Craniomaxillofac Trauma Reconstr.
2009 Oct;2(3):16175. doi: 10.1055/s00291234020.
36
K,
Schirmacher
P,
Blessing
M.
Keratinocyte-Drived
21. Gabbiani. The myofibroblast in wound healing and fibrocontractive diseases. Journal of
Pathology. 2003; 500-503.
22. Joseph JMI, Glavas P. Orbital fractures: A review. Clinical ophtalmology, 2011; 5:95-100
23. Alsuhaibani AH. Orbital Fracture: Significance of lateral wall. Saudi Journal of
Ophthalmology, 2010; 24:4955
24. Kunz C, Audig L, Cornelius CP, Tllez CHB, Rudderman R, Prein J. The
Comprehensive AOCMF Classification System: Orbital Fractures - Level 3 Tutorial.
Craniomaxillofac Trauma Reconstruction, 2014; 7(1):S92S102
25. Reyes JM, Vargas MFG, Rosenvasser J, Arocena MA, Medina AJ, Funes J. Classification
and epidemiology of orbital fractures diagnosed by computed tomography. Rev. Argent.
Radiol., 2013;77(2):139-145
26. Caranci F, Cicala D, Cappabianca S, Briganti F, Brunese L, Fonio P. Orbital Fractures:
Role of Imaging. Semin Ultrasound CT MRI, 2012; 33:385-391
27. Ellis E. Orbital Trauma. Oral Maxillofacial Surg Clin N Am., 2012; 24:629648
28. Boswell KA. Management of Facial Fractures. Emerg Med Clin N Am., 2013; 31:539
551
29. Boyette JR, Pemberton JD, Velez JB. Management of orbital fractures: Challenges and
38