You are on page 1of 38

Presentasi Kasus Bedah Plastik

SEORANG WANITA USIA 53 TAHUN DENGAN FRAKTUR MAXILLA SINISTRA,


FRAKTUR RIMA ORBITA INFERIOR SINISTRA DAN VULNUS APPERTUM REGIO
SUPRA CILIARIS SINISTRA

Oleh:
Gemala RR

G99151010

Ida Ayu Sinthia PS

G99151009

Karla Kalua

G99142105

Periode: 25 April 2016 1 Mei 2016


Pembimbing :
dr. Amru Sungkar, Sp. B. Sp.BP-RE

KEPANITERAAN KLINIK ILMU BEDAH


FAKULTAS KEDOKTERAN UNS / RSUD Dr. MOEWARDI
SURAKARTA
2016

BAB I
STATUS PASIEN
A. Anamnesa
I. Identitas pasien

II.

Nama
Umur
Jenis Kelamin
Alamat
No RM
MRS

: Ny. S
: 53 tahun
: Perempuan
: Jaten, Karanganyar
: 01257385
: 17 April 2016

Tanggal Periksa

: 25 April 2016

Keluhan Utama
Nyeri pada wajah kiri setelah KLL

III.

Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien dibawa ke IGD RSDM pada tanggal 17 April 2016 setelah mengalami
kecelakaan lalu lintas. Pasien mengalami kecelakaan lalu lintas 1 jam SMRS. Pasien
mengendarai sepeda motor dengan menggunakan helm standart namun kaca helm tidak
ditutup, kemudian ditabrak motor dari arah samping kanan. Posisi jatuhnya pasien ke
arah kiri sehingga tangan kiri dan wajah kiri membentur aspal. Setelah kejadian pasien
sempat pingsan, muntah (-), kejang (-). Saat ini pasien mengeluh nyeri pada wajah
bagian kiri. Nyeri dirasakan apabila wajah kiri disentuh. BAB dan BAK setelah
kecelakaan dalam batas normal.

IV.

Riwayat Penyakit Dahulu


Riwayat penyakit serupa

: disangkal

Riwayat operasi

: disangkal

Riwayat trauma

: disangkal

Riwayat hipertensi

: (+), sejak kurang lebih 4 tahun yang lalu dan rutin


kontrol ke Poli Jantung RSDM
2

V.

Riwayat DM

: disangkal

Riwayat sakit jantung

: disangkal

Riwayat alergi

: disangkal

Riwayat Penyakit Keluarga

VI.

Riwayat keluhan yang sama

: disangkal

Riwayat sakit jantung

: disangkal

Riwayat hipertensi

: disangkal

Riwayat DM

: disangkal

Riwayat alergi

: disangkal

Riwayat Kebiasaan
Riwayat minum-minuman keras

: disangkal

Riwayat merokok

: disangkal

Olahraga teratur

: disangkal

VII.

Riwayat Gizi
Pasien makan 3 kali sehari dengan lauk pauk dan sayur terkadang disertai buah.

VIII. Riwayat Sosial Ekonomi dan Lingkungan


Pasien adalah seorang ibu rumah tangga, datang berobat ke RSDM menggunakan
fasilitas BPJS.
B. Anamnesa sistemik
Kepala

: nyeri kepala (-), pusing (-)

Mata

: pandangan kabur (-),kuning (-),pandangan dobel (-)

Hidung

: tersumbat (-), pilek (-), keluar darah (-)

Telinga

: pendengaran berkurang(-), berdenging(-) keluar cairan(-)

Mulut

: gusi sakit (-), mulut kering (-)

Tenggorokan

: sakit menelan (-), suara serak (-), gatal (-)

Respirasi

: Nyeri dada (-), batuk (-), sesak nafas (-)

Kardiovaskuler

: berdebar-debar (-), nyeri dada (-), sesak saat aktivitas (-)


3

Gastrointestinal : mual (-), muntah (-), nyeri


perut (-), sulit BAB (-)
Muskuloskeletal : lemas (-), kaku sendi (-), nyeri sendi (-)
Genitourinaria

: nyeri BAK (-), BAK darah (-)

Ekstremitas

: Nyeri (-), kaku (-)

C. PEMERIKSAAN FISIK

Keadaaan umum

: Tampak sakit sedang, GCS E4V5M6

Primary Survey
Airway

: Airway bebas

Breathing
Inspeksi: retraksi (-); takipneu (-), RR: 20 kali/menit; napas cuping
hidung (-); pengembangan dada kanan = dada kiri
Palpasi : krepitasi (-)
Perkusi : sonor/sonor
Auskultasi : SDV (+ / +) normal, suara nafas tambahan (-/-)
Circulation
Look

: sianosis (-), jugular venous distended (-), conjungtiva anemis (-)

Listen : suara jantung regular, bising (-), suara jantung menjauh (-)
Feel

: akral dingin (-), capillary refill time <2 detik, nadi: 100 x/menit,
TD: 140 /90 mmHg

Disability
GCS E4V5M6, lateralisasi (-), pupil isokor (3mm/3mm), reflek cahaya (+/+)
Exposure
Suhu 36o C, jejas lihat status lokalis
Secondary survey

Kepala

: mesochepal, vulnus appertum (+) di regio frontal

Mata

: Conjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), pupil isokor


(3mm/3mm), oedem palpebra (-/-), refleks cahaya (+/+)

Hidung

: deviasi septum (-), krepitasi (-), discharge (-)


4

Telinga

: Sekret (-/-), darah (-/-),nyeri tekan mastoid (-), nyeri tekan


tragus (-/+)

Mulut

: Maloklusi (-), sianosis (-), gusi berdarah (-), mandibular krepitasi (-), gigi
goyang (-), gigi patah (-)

Leher

: KGB membesar (-), peningkatan JVP (-)

Thorax

: bentuk normochest, pengembangan dada kanan = kiri,


retraksi (-), jejas (-)

Jantung

:
Inspeksi

: ictus cordis tidak tampak

Palpasi

: ictus cordis tidak kuat angkat

Perkusi

: batas jantung kesan tidak melebar

Auskultasi : bunyi jantung I-II intensitas normal, regular, bising (-)


Pulmo

:
Inspeksi

: Pengembangan dada kanan = dada kiri

Palpasi

: Fremitus raba kanan=kiri, nyeri tekanan -/-,


krepitasi -/-

Perkusi

: sonor/sonor

Auskultasi : SDV (+/+) normal, suara nafas tambahan (-/-)


Abdomen :
Inspeksi

: Distensi (-), jejas (-)

Auskultasi : Bising usus (+) normal


Perkusi

: timpani

Palpasi

: supel, nyeri tekan (-), defans muskuler (-),


hepar dan lien tidak teraba

Ekstremitas:
Oedem
D. Status Lokalis
Regio
di regio

Akral Dingin
-

Frontal

: tampak vulnus appertum ukuran 3x1x1 cm

frontal/ suprasiliaris (S)


5

Mid Facial

I. Multiple vulnus escoriasi R. mid facial, pendataran mallar (-/+)


P. Nyeri tekan (+) pada maxilla (s)
J. Assesment I
1. Susp Fraktur Maxilla (S)
2. Vulnus appertum R. supraciliaris (S)
K. Plan I
1. Cek laboratorium darah lengkap
2. Foto Rontgen
3. O2 3 lpm
4. Infus RL 1500 cc/ 24 jam
5. Inj Metamizole 1g/ 8jam
6. Inj Ranitidin 50 mg/ 12 jam
L. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan Laboratorium (Tanggal 17 April 2016) di RSDM
Pemeriksaan

Hasil

Hemoglobin
Hematokrit
Leukosit
Trombosit
Eritrosit

10.8
32
3.9
172
4.10

Gula Darah Sewaktu


Creatinine
Ureum

100
0.6
12

Natrium Darah
Kalium Darah
Chlorida Darah

132
3.8
104

Satuan
DARAH RUTIN
g/dL
%
ribu/l
ribu/l
juta/l
KIMIA KLINIK
mg/dl
mg/dl
mg/dl
ELEKTROLIT
mmol/l
mmol/l
mmol/l

Rujukan
12.0-15.6
33-45
4.5-11.0
150-450
4.10-5.10
60 100
0.6 1.1
< 50
136 - 145
3.3 - 5.1
98 - 106

2. Foto Rontgen posisi Waters (Tanggal 17 April 2016) di RSDM

Kesan:
-

Suspect hematosinus maksilaris kiri DD Sinusitis

Tak tampak jelas gambaran garis fraktur di os maxilla

M. Assesment II
1. Fraktur Maxilla (S)
2. Fraktur rima orbita inferior (S)
3. Vulnus appertum R. supraciliaris (S)
N. Plan II
1. Pro ORIF elektif
2. Pro repair vulnus

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. FRAKTUR MAXILA
8

1. Anatomi
Kerangka wajah berfungsi untuk melindungi otak, melindungi organ penghidu,
penglihatan, dan rasa, dan menyediakan kerangka di mana jaringan lunak wajah dapat
bertindak untuk memfasilitasi makan, ekspresi wajah, bernapas, dan berbicara.
Tulang-tulang wajah utama adalah rahang, rahang bawah, tulang frontal,tulang
hidung, dan zigoma.2

Gambar 1. tulang wajah


Rahang atas memiliki beberapa peran. Tulang ini tempat gigi atas,membentuk
atap rongga mulut, membentuk lantai dan memberikan kontribusi kedinding lateral
dan atap rongga hidung, membentuk sinus maksilaris, danmemberikan kontribusi ke
dinding inferior dan dasar dari orbital. Dua tulang maksilaris yang bergabung di garis
tengah membentuk sepertiga tengah wajah.4

Gambar 2. tulang maksila


2. Definisi
Trauma maksilofasial adalah suatu ruda paksa yang mengenai wajah dan jaringan
sekitarnya. Trauma pada jaringan maksilofasial dapat mengenai jaringan lunak dan
jaringan keras. Yang dimaksud dengan jaringan lunak wajah adalah jaringan lunak
yang menutupi jaringan keras wajah. Sedangkan yang dimaksud dengan jaringan
keras wajah adalah tulang wajah yang terdiri dari tulang hidung, tulang arkus
zigomatikus, tulang mandibula, tulang maksila, tulang rongga mata, gigi dan tulang
alveolus.6,7
3. Etiologi
Penyebab trauma maksilo fasial bervariasi, mencakup kecelakaan lalu lintas,
kekerasan fisik, terjatuh, olah raga dan trauma akibat senjata api. Kecelakaan lalu
lintas adalah penyebab utama trauma maksilofasial yang dapat membawa
kematiandan kecacatan pada orang dewasa secara umum dibawah usia 50 tahun dan
angka terbesar biasanya terjadi pada pria dengan batas usia 21-30 tahun. Bagi pasien
dengan kecelakaan lalu lintas yang fatal menjadi masalah karena harus rawat inap di
rumah sakit dengan cacat permanen yang dapat mengenai ribuan orang per tahunnya.
Berdasarkan studi yang dilakukan, 72 % kematian oleh trauma maksilofasial paling
banyak disebabkan kecelakaan lalu lintas.3
4. Klasifikasi
Pada penderita trauma muka dapat timbul beberapa kelainan seperti kerusakan
jaringan lunak (edema, kontusio, ekskoriasi, laserasi dan avulsi), emfisema subkutis,

10

rasa nyeri, terdapat deformitas yang dapat dilihat atau diperiksa dengan cara perabaan,
epistaksis, obstruksi hidung yang disebabkan timbulnya hematom pada septum nasi,
fraktur septum atau dislokasi septum, gangguan pada mata, misalnya gangguan
penglihatan, diplopia, ekimosis pada konjungtiva, abrasi kornea, gangguan saraf
sensoris berupa anestesia atau hipestesia dari ketiga cabang nervus cranialis kelima,
gangguan saraf motorik, trismus, maloklusi, kebocoran cairan cerebrospinalis,
krepitasi tulang hidung, maksila dan mandibula.8
Jika terjadi fraktur maksila maka harus segera dilakukan tindakan untuk
mendapatkan fungsi normal dan efek kosmetik yang baik. Tujuan tindakan
penanggulangan ini adalah untuk memperoleh fungsi normal pada waktu menutup
mulut atau oklusi gigi dan memperoleh kontur muka yang baik. Harus diperhatikan
juga jalan napas serta profilaksis kemungkinan terjadinya infeksi. Edema faring
dapatmenimbulkan gangguan pada jalan napas sehingga mungkin dilakukan
tindakantrakeostomi. Perdarahan hebat yang berasal dari arteri maksilaris interna atau
arteriethmoidalis anterior sering terdapat fraktur maksila dan harus segera diatasi. Jika
tidak berhasil dilakukan pengikatan arteri maksilaris interna atau arteri karotis eksterna
atau arteri etmoidalis anterior. Jika kondisi pasien cukup baik sesudahtrauma tersebut,
reduksi fraktur maksila biasanya tidak sulit dikerjakan kecualikerusakan pada tulang
sangat hebat atau terdapatnya infeksi. Reduksi fraktur maksilamengalami kesulitan
jika pasien datang terlambat atau kerusakan sangat hebat yangdisertai dengan fraktur
servikal atau terdapatnya kelainan pada kepala yang tidak terdeteksi. Garis fraktur
yang timbul harus diperiksa dan dilakukan fiksasi.14
1) Fraktur maksila Le Fort I
Pada fraktur Le Fort I (fraktur Guerin) meliputi fraktur horizontal bagian
bawah antara maksila dan palatum. Garis fraktur berjalan ke belakang melalui
lamina pterigoid. Fraktur ini bisa unilateral atau bilateral. Kerusakan pada fraktur
Le Fort akibat arah trauma dari anteroposterior bawah dapat mengenai
nasomaksila, bagian bawah lamina pterigoid, anterolateral maksila, palatum
durum, dasar hidung, septum,apertura piriformis. Gerakan tidak normal akibat
fraktur ini dapat dirasakan dengan jari pada saat pemeriksaan palpasi. Garis

11

fraktur yang mengarah ke vertikal, yang biasanya terdapat pada garis tengah,
membagi muka menjadi dua bagian.

Gambar 4. fraktur

maksila Le Fort I

2) Fraktur maksila Le
Pada
(fraktur

Fort II

fraktur

maksila Le Fort II

piramid)

berjalan

melalui

tulanghidung dan diteruskan ke tulang lakrimalis, dasar orbita, pinggir infraorbita


danmenyebrang ke bagian atas dari sinus maksila juga ke arah lamina pterigoid
sampaike fossa pterigopalatina. Fraktur pada lamina kribriformis dan atap sel
etmoid dapat merusak sistem lakrimalis.

Gambar 5. fraktur maksila


Le Fort II
3) Fraktur maksila

Le Fort III

Pada fraktur maksila Le Fort III (craniofacial dysjunction) garis fraktur


berjalan melalui sutura nasofrontal diteruskan sepanjang taut etmoid melalui
fisuraorbitalis superior melintang ke arah dinding lateral ke orbita, sutura
zigomatikofrontal dan sutura temporo-zigomatik. Fraktur Le Fort III ini biasanya
bersifat kominutif yang disebut kelainan dishface. Fraktur maksila Le Fort III ini
sering menimbulkan komplikasi intrakranial seperti timbulnya pengeluaran cairan
otak melalui atap sel etmoid dan lamina kribriformis.4,6,14

12

Gambar 6. fraktur maksila Le Fort III


5. Diagnosis
a. Adanya riwayat trauma pada muka, sebuah riwayat trauma yang lengkap
dibutuhkan, mulai dari kapan kejadian, penyebab trauma, bagaimana mekanisme
kejadiannya, pertolongan pertama yang sudah dilakukan dan jumlah perdarahan.
Sebuah riwayat trauma yang lengkap akan berpengaruh terhadap jenis dan waktu
perawatan terjadi serta hasil akhirnya.
b. Tampak deformitas muka, bisa berupa :
1) Bengkak asimetri, miring disertai lecet kulit sampai luka jaringan lunak
2) Hematoma atau perdaraan di luka atau dari lubang hidung dan mulut
sebagai jalan keluar perdarahan dari sinus maxilla/fraktur.
c. Pemeriksaan fisik maksilofasial
Pemeriksaan fisik dilakukan secara menyeluruh dan terfokus pada area trauma,
dengan tetap mewaspadai luka-luka atau trauma lain yang berhubungan. Jika
perludikonsultasikan ke spesialis lain seperti THT, mata dan bedah saraf. Nilai
lokasi, panjang dan kedalaman dari robekan dari wajah. Robekan, memar,
terbakar berdampak merusak struktur yang lebih dalam. Bila ada hal
tersebut,lakukan pemeriksaan teliti terhadap regio di sekitarnya. Selalu
diasumsikan terdapatfraktur di bawah luka robekan atau memar sampai
pemeriksaan klinis dan hasil radiologis membuktikannya.7,9,10
Inspeksi :
1) Elongasi fasial
Derajat tinggi fraktur LeFort
13

2) Asimetri
Deformitas dan injuri nervus cranial
3) Udem
4) Hematoma
5) Trismus
6) Nyeri spontan
7) Maloklusi
Palpasi :
1)
2)
3)
4)
5)
6)

Tenderness
Step offs
Facial stability
Crepitus
Subacutraneous air
Cutaneous anesthesia

Periorbital and Orbital Exam


1)
2)
3)
4)
5)
6)
7)

Perform early
Lihat exophthalmos or enophthalmos
Pupil shape
Hyphema
Visual acuity
Entrapment signs
Raccoon sign

Penetrating Injuries
1) Occult globe penetration
2) Eyelid lacerations
Nose
1) Septal hematoma
2) CSF Rhinorrhea
Ears
1) Subperichondral hematoma
2) Hemotympanum
3) Battle sign
Oral and Mandibular Exam
1) Mandible deviation
2) Teeth malocclusion
3) Paresthesia
4) Tongue Blade Test
95% Sensitive
65% Specific

14

Pada

pemeriksaan

intraoral

lakukan

palpasi

regio

maksila

dan

mandibula,kemudian waspadai ada tidaknya pecahan gigi atau kehilangan gigi.


Rahang dinilaidari gerakannya ke lateral atau ke depan belakang. Rasa lunak yang
terlokalisasi atau pergerakan yang abnormal mengindikasikan adanya fraktur. Sensasi
di daerah wajah dinilai.Pemeriksaan intranasal mengidentifikasi robekan, hematoma
dan area obstruksidari dalam hidung. Mengalirnya cairan jernih dari hidung
menunjukan rhinorrhea daricairan cerebrospinal dan penting untuk kemungkinan
fraktur di fossa anterior craniumdan dapat juga mengenai daerah cribiformis.
Pemeriksaan klinis untuk masing-masing fraktur, sebagai berikut:5,6
b. Fraktur Maksila
Fraktur maksila terbagi atas fraktur Le Fort I, Le Fort II dan Le Fort III,
dimana pemeriksaan klinis pada masing-masing fraktur Le Fort tersebut berbeda.
Le Fort I
Pemeriksaan klinis pada fraktur Le Fort I dilakukan dalam dua
pemeriksaan yakni secara ekstra oral dan intra oral. Pada pemeriksaan ekstra oral,
pemeriksaan dilakukan dengan visualisasi dan palpasi. Secara visualisasi dapat
terlihat adanya edema pada bibir atas dan ekimosis. Sedangkan secara palpasi
terdapat bergeraknya lengkung rahang atas. Pada pemeriksaan intra oral,
pemeriksaan dilakukan secara visualisasi dan palpasi. Secara visualisasi dapat
terlihat adanya open bite anterior. Sedangkan secara palpasi terdapat rasa nyeri.
Selanjutnya pemeriksaan fraktur Le Fort I dilakukan dengan foto rontgen
dengan proyeksi wajah anterolateral.
Le Fort II
Pemeriksaan klinis pada fraktur Le Fort II dilakukan dalam dua
pemeriksaan yakni secara ekstra oral dan intra oral. Pada pemeriksaan ekstra oral,
pemeriksaan dilakukan dengan visualisasi dan palpasi. Secara visualisasi dapat
terlihat pupil cenderung sama tinggi, ekimosis, dan edema periorbital. Sedangkan
secara palpasi terdapat tulang hidung bergerak bersama dengan wajah tengah,
mati rasa pada daerah kulit yang dipersarafi oleh nervus infraorbitalis. Pada
pemeriksaan intra oral, pemeriksaan dilakukan secara visualisasi dan palpasi.
Secara visualisasi dapat terlihat adanya gangguan oklusi tetapi tidak separah jika
dibandingkan dengan fraktur Le Fort I. Sedangkan secara palpasi terdapat
bergeraknya lengkung rahang atas.

15

Pemeriksaan selanjutnya dilakukan dengan pemeriksaan dengan foto


rontgen proyeksi wajah anterolateral, foto wajah polos dan CT scan.
Le Fort III
Pemeriksaan klinis pada fraktur Le Fort III dilakukan secara ekstra oral.
Pada pemeriksaan ekstra oral, pemeriksaan dilakukan dengan visualisasi. Secara
visualisasi dapat terlihat pembengkakan pada daerah kelopak mata, ekimosis
periorbital bilateral. Usaha untuk melakukan tes mobilitas pada maksila akan
mengakibatkan pergeseran seluruh bagian atas wajah.
Pemeriksaan selanjutnya dilakukan dengan pemeriksaan dengan foto
rontgen proyeksi wajah anterolateral, foto wajah polos dan CT scan.
6. Diagnosis
a. Foto AP: Walaupun garis patah kadang tidak jelas, dengan membandingkan sisi
kontralateral, bias ditemui diskontinuitas tulang secara radiologis. Perhatikan
pengisian sinus oleh darah yang menyebabkan pengaburan gambar sinus.
b. CT Scan bisa melihat garis patah yang tidak nampak dalam foto radiologis biasa.
CT Scan 3-dimensi akan menggambarkan bentuk tulang muka keseluruhan fan
lubang tulang yang patah atau melesak dapat dikenali dengan lebih jelas,
dikerjakan atas indikasi khusus. CT scan pada potongan axial maupun coronal
merupakan gold standard pada pasien dengan kecurigaan fraktur zigoma, untuk
mendapatkan pola fraktur, derajat pergeseran, dan evaluasi jaringan lunak orbital.
Secara spesifik CT scan dapat memperlihatkan keadaan dari midfasial, seperti
nasomaxillary,

zygomaticomaxillary,

infraorbital,

zygomaticofrontal,

zygomaticosphenoid, dan zygomaticotemporal.


c. Penilaian radiologis dari foto polos dapat menggunakan foto waters, caldwel,
submentovertek dan lateral. Dari foto waters dapat dilihat pergeseran pada tepi
orbita inferior, maksila, dan zigoma. Foto caldwel dapat menunjukkan region
frontozigomatikus danarkus zigomatikus. Foto submento vertek menunjukkan
arkus zigomatikus.12,13
7. Penatalaksanaan

16

Perawatan fraktur ditujukan pada penempatan ujung tulang yang fraktur pada
hubungan yang benar sehingga ujung tulang tersebut bersentuhan dan
dipertahankan pada posisi tersebut sampai penyembuhan terjadi.2,3,11
Reposisi/reduksi fraktur ada 3 cara :
a) Close reduction
Banyak terdapat cara reposisi. Cara yang mudah adalah reposisi tertutup yaitu
manipulasi tulang dengan tarikan yang dilakukan di bawah kulit yang intact
sampai fraktur berada pada posisi yang benar. fraktur yang dapat dilakukan
reposisi tertutup, bila garis fraktur simpe1, posisi cukup baik dan terjadinya
fraktur masih baruReduksi yang dilakukan pada fraktur dengan cara
manipulasi. Cara ini dilakukan pada fraktur yang masih baru dan mudah
dikembalikan pada tempat semula.
Caranya :
Kita raba permukaan tulang yang patah melalui intra dan ekstra oral, lalu kita
perhatikan oklusinya. Setelah kawat fiksasi dipasang, baru reduksi dikerjakan
yaitu dengan manipulasi bagian-bagian tulang yang patah itu sampai
kedudukannya seperti semula.
b) Reduksi dengan tarikan
Yang paling sering dipakai yaitu intermaxillary traction yaitu penarikan rahang
bawah dan rahang atas. Cara ini dilakukan bila displacement sukar
dimanipulasi pada tempat-tempat yang diinginkan yang mungkin oleh karena
adanya spasmus otot dan fraktur yang sudah lama sehingga terjadi malunion
yang sukar dikembalikan ke keadaan semula.
c) Open reduction (dengan cara operasi)
Cara ini dipakai jika reduksi tertutup tidak dapat dikerjakan, lebih sering
dikerjakan untuk fiksasi dari pada untuk reduksi fraktur.
Fiksasi dan Immobilisasi
Pada fraktur yang dilakukan reposisi tertutup ketika tulang rahang dan gigi sudah
terletak pada posisi yang tepat, maka dapat dipertahankan dengan menggunakan
kawat Arch Bar, membebat gigi, pita elastic atau kawat yang menghubungkan

17

mandibula dan maksila. Fiksasi dapat dilakukan langsung pada gigi atau otot-otot
sekitar rahang, sehingga dapat dibagi menjadi : 1,6
a) Indirect dental fixation
Mengikat rahang atas dan rahang bawah bersama-sama dalam keadaan oklusi
dengan mempergunakan pengikat atau elastic band. Pada fiksasi harus
diperhatikan oklusi gigi atas dan bawah harus baik.
Ada 2 macam cara :

Kombinasi wiring dengan intermaxillary fixaton menurut cara Gilmer.

Kombinasi arch bar dengan intermaxillary fixation.

Macam-macam arch bar : Jelenko, Erich, Winter


b) Direct Dental Fixation
Immobilisasi dari fragmen-fragmen dengan menggunakan splint bar atau wire di
antara dua atau lebih gigi pada daerah fraktur.
Wiring merupakan cara yang paling mudah. Tekniknya : Mengelilingi dua gigi
yang berdekatan kemudian menuju garis fraktur dengan sepotong kawat dengan
mengikatnya kuat-kuat. Cara ini kurang stabil dan tidak dapat dipertanggungjawabkan sehingga jarang dipakai.

c) Indirect Skletal Fixation


Yang termasuk cara ini :

Denture atau gurting splint dengan head bandage

Circumferential wiring

External fixation

B. VULNUS
1. Definisi Luka
Luka adalah terputusnya kontinuitas atau hubungan anatomis jaringan sebagai
akibat dari ruda paksa. Luka dapat merupakan luka yang sengaja dibuat untuk tujuan
tertentu, seperti luka insisi pada operasi atau luka akibat trauma seperti luka akibat
kecelakaan.
18

2. Jenis Jenis Luka


Luka sering digambarkan berdasarkan bagaimana cara mendapatkan luka itu
dan menunjukan derajat luka.
a. Berdasarkan waktu penyembuhan
1) Luka akut
Luka akut adalah luka trauma yang biasanya segera mendapat penanganan dan
biasanya dapat sembuh dengan baik bila tidak terjadi komplikasi. Kriteria luka
akut adalah luka baru, mendadak dan penyembuhannya sesuai dengan waktu
yang diperkirakan. Contohnya adalah luka sayat, luka bakar, luka tusuk.
2) Luka kronis
Luka akut adalah luka yang berlangsung lama atau sering timbul kembali
(rekuren) atau terjadi gangguan pada proses penyembuhan yang biasanya
disebabkan oleh masalah multi faktor dari penderita. Pada luka kronik luka
gagal sembuh pada waktu yang diperkirakan, tidak berespon baik terhadap terapi
dan punya tendensi untuk timbul kembali. Contohnya adalah ulkus tungkai,
ulkus vena, ulkus arteri (iskemi), penyakit vaskular perifer ulkus dekubitus,
neuropati perifer ulkus dekubitus (Bryant, 2007).
b. Berdasarkan derajat kontaminasi
1)

Luka bersih
Luka bersih adalah luka yang tidak terdapat inflamasi dan infeksi, yang
merupakan luka sayat elektif dan steril dimana luka tersebut berpotensi untuk
terinfeksi. Luka tidak ada kontak dengan orofaring,traktus respiratorius maupun
traktus genitourinarius. Dengan demikian kondisi luka tetap dalam keadaan
bersih. Kemungkinan terjadinya infeksi luka sekitar 1% - 5%.

2) Luka bersih terkontaminasi


Luka bersih terkontaminasi adalah luka pembedahan dimana saluran
pernafasan, saluran pencernaan dan saluran perkemihan dalam kondisi
terkontrol. Proses penyembuhan luka akan lebih lama namun luka tidak

19

menunjukkan tanda infeksi. Kemungkinan timbulnya infeksi luka sekitar 3% 11%.


3) Luka terkontaminasi
Luka terkontaminasi adalah luka yang berpotensi terinfeksi, dan dapat
ditemukan pada luka terbuka karena trauma atau kecelakaan (luka laserasi),
fraktur terbuka maupun luka penetrasi. Kemungkinan infeksi luka 10% - 17%.
4) Luka kotor
Luka kotor adalah luka lama, luka kecelakaan yang mengandung jaringan
mati dan luka dengan tanda infeksi seperti cairan purulen. Luka ini bisa sebagai
akibat pembedahan yang sangat terkontaminasi. Bentuk luka seperti perforasi
visera, abses dan trauma lama.
c. Berdasarkan penyebab
1) Vulnus ekskoriasi atau luka lecet/gores adalah cedera pada permukaan epidermis
akibat bersentuhan dengan benda berpermukaan kasar atau runcing. Luka ini
banyak dijumpai pada kejadian traumatik seperti kecelakaan lalu lintas, terjatuh
maupun benturan benda tajam ataupun tumpul.
2) Vulnus scissum adalah luka sayat atau iris yang di tandai dengan tepi luka berupa
garis lurus dan beraturan. Vulnus scissum biasanya dijumpai pada aktifitas seharihari seperti terkena pisau dapur, sayatan benda tajam ( seng, kaca ), dimana
bentuk luka teratur .
3) Vulnus laseratum atau luka robek adalah luka dengan tepi yang tidak beraturan
atau compang camping biasanya karena tarikan atau goresan benda tumpul. Luka
ini dapat kita jumpai pada kejadian kecelakaan lalu lintas dimana bentuk luka
tidak beraturan dan kotor, kedalaman luka bisa menembus lapisan mukosa hingga
lapisan otot.
4) Vulnus punctum atau luka tusuk adalah luka akibat tusukan benda runcing yang
biasanya kedalaman luka lebih dari pada lebarnya. Misalnya tusukan pisau yang
menembus lapisan otot, tusukan paku dan benda-benda tajam lainnya.
Kesemuanya menimbulkan efek tusukan yang dalam dengan permukaan luka
tidak begitu lebar.
20

5) Vulnus morsum adalah luka karena gigitan binatang. Luka gigitan hewan
memiliki bentuk permukaan luka yang mengikuti gigi hewan yang menggigit.
Dengan kedalaman luka juga menyesuaikan gigitan hewan tersebut.
6) Vulnus combutio adalah luka karena terbakar oleh api atau cairan panas maupun
sengatan arus listrik. Vulnus combutio memiliki bentuk luka yang tidak beraturan
dengan permukaan luka yang lebar dan warna kulit yang menghitam. Biasanya
juga disertai bula karena kerusakan epitel kulit dan mukosa.
3. Penyembuhan Luka
a. Tahapan penyembuhan luka
Tanpa memandang penyebab, tahapan penyembuhan luka terbagi atas :
1) Fase koagulasi : Koagulasi merupakan respon yang pertama terjadi sesaat setelah
luka terjadi dan melibatkan platelet. Pengeluaran platelet akan menyebabkan
vasokonstriksi. Proses ini bertujuan untuk homeostatis sehingga mencegah
perdarahan lebih lanjut. Proses ini diikuti oleh proses selanjutnya yaitu fase
inflamasi.
2) Fase inflamasi : Fase inflamasi mempunyai prioritas fungsional yaitu menggalakkan
hemostasis, menyingkirkan jaringan mati, dan mencegah infeksi oleh bakteri patogen
terutama bakteria. Pada fase ini platelet yang membentuk klot hematom mengalami
degranulasi, melepaskan faktor pertumbuhan seperti platelet derived growth factor
(PDGF) dan transforming growth factor (TGF), granulocyte colony stimulating
factor (G-CSF), C5a, TNF, IL-1 dan IL-8. Fase inflamasi memungkinkan
pergerakan leukosit (utamanya neutrofil). Neutrofil selanjutnya

memfagosit dan

membunuh bakteri dan masuk ke matriks fibrin dalam persiapan pembentukan


jaringan baru. Terjadi deposit matriks fibrin yang mengawali proses penutupan luka.
Proses ini terjadi pada hari 2-4.
3) Fase proliperatif : Apabila tidak ada infeksi atau kontaminasi pada fase inflamasi,
maka proses penyembuhan selanjutnya memasuki tahapan Proliferasi atau
rekonstruksi. Fase proliperatif terjadi dari hari ke 4-21 setelah trauma. Keratinosit
disekitar luka mengalami perubahan fenotif. Regresi hubungan desmosomal antara
keratinosit pada membran basal menyebabkan sel keratin bermigrasi kearah lateral.
21

Keratinosit bergerak melalui interaksi dengan matriks protein ekstraselular


(fibronectin,vitronectin dan kolagen tipe I). Faktor proangiogenik dilepaskan oleh
makrofag,

vascular

endothelial

growth

factor

(VEGF)

sehingga

terjadi

neovaskularisasi dan pembentukan jaringan granulasi.


Tujuan utama dari fase ini adalah:

Proses granulasi (untuk mengisi ruang kosong pada luka).

Angiogenesis (pertumbuhan kapiler baru).


Secara klinis akan tampak kemerahan pada luka. Angiogenesis terjadi bersamaan
dengan fibroplasia. Tanpa proses angiogenesis sel-sel penyembuhan tidak dapat
bermigrasi, replikasi, melawan infeksi dan pembentukan atau deposit komponen
matrik baru.

Proses kontraksi (untuk menarik kedua tepi luka agar saling berdekatan).
Menurut Hunt (2003) kontraksi adalah peristiwa fisiologi yang menyebabkan
terjadinya penutupan pada luka terbuka. Kontraksi terjadi bersamaan dengan sintesis
kolagen. Hasil dari kontraksi akan tampak dimana ukuran luka akan tampak semakin
mengecil atau menyatu.

4) Fase remodeling : Remodeling merupakan fase yang paling lama pada proses
penyembuhan luka,terjadi pada hari ke 21-hingga 1 tahun. Terjadi kontraksi luka,
akibat pembentukan aktin myofibroblas dengan aktin mikrofilamen yang
memberikan kekuatan kontraksi pada penyembuhan luka. Pada fase ini terjadi juga
remodeling kolagen. Kolagen tipe III digantikan kolagen tipe I yang dimediasi
matriks metalloproteinase yang disekresi makrofag, fibroblas, dan sel endotel. Pada
masa 3 minggu penyembuhan, luka telah mendapatkan kembali 20% kekuatan
jaringan normal (Hunt,2003; Mann ,dkk;2001, Ting,dkk;2008).

22

1. Tipe Penyembuhan Luka


Terdapat 3 macam tipe penyembuhan luka, dimana pembagian ini
dikarakteristikkan dengan jumlah jaringan yang hilang.
a.

Primary Intention Healing (penyembuhan luka primer) yaitu penyembuhan yang


terjadi segera setelah diusahakan bertautnya tepi luka biasanya dengan jahitan.
Penutupan ini akan merapatkan jaringan yang terputus dengan bantuan benang, klip
dan verban perekat. Setelah beberapa waktu, maka sintesis, penempatan dan
pengerutan jaringan kolagen akan memberikan kekuatan dan integritas pada jaringan
tersebut. Pertumbuhan kolagen tersebut sangat penting pada tipe penyembuhan ini.
Pada penutupan primer tertunda, perapatan jaringan ditunda beberapa hari setelah
luka di buat atau terjadi. Penundaan penutupan luka ini bertujuan mencegah infeksi
pada luka-luka yang jelas terkontaminasi oleh bakteri atau yang mengalami trauma
jaringan yang hebat. Fase-fase dalam intention primer :

1) Fase inisial berlangsung 3-5 hari


2) Sudut insisi merapat, migrasi sel-sel epitel,mulai pertumbuhan sel
3) Fase granulasi (5 hari 4 mg)

23

Fibroblas bermigrasi kedalam bagian luka dan mensekresi kolagen. Selama fase
granulasi luka berwarna merah muda dan mengandung pembuluh darah. Tampak
granula-granula merah. Luka beresiko dehiscence dan resisten terhadap infeksi.
Epitelium pada permukaan tepi luka mulai terlihat. Dalam beberapa hari lapisan
epithelium yang tipis akan bermigrasi menyebrangi permukaan luka. Epitel menebal
dan mulai matur dan luka mulai merapat. Pada luka superficial, reepitelisasi terjadi
3-5 hari.
4) Fase kontraktur scar (7 hari beberapa bulan)
Serabut-serabut kolagen terbentuk dan terjadi proses remodeling. Pergerakan
miofibroblast yang aktif menyebabkan kontraksi area penyembuhan, menutup defek
dan membawa ujung kulit tertutup bersama-sama. Skar yang matur selanjutnya
terbentuk. Skar yang matur tidak mengandung pembuluh darah dan pucat, serta lebih
terasa nyeri dari pada fase granulasi.
b.

Secondary Intention Healing (penyembuhan luka sekunder) yaitu luka yang


tidak mengalami penyembuhan primer. Tipe ini dikarakteristikkan oleh adanya luka
yang luas dan hilangnya jaringan dalam jumlah besar. Proses penyembuhan terjadi
lebih kompleks dan lebih lama. Luka jenis ini biasanya tetap terbuka.

c.

Tertiary Intention Healing (penyembuhan luka tertier) yaitu luka yang dibiarkan
terbuka selama beberapa hari setelah tindakan debridement. Setelah diyakini bersih,
tepi luka dipertautkan (4-7 hari). Luka ini merupakan tipe penyembuhan luka yang
terakhir (Mansjoer,2000; InETNA, 2004:4).

Primary Intention Healing

24

Secondary Intention Healing

Delayed Primary Intention Healing

7. Faktor yang Mempengaruhi Penyembuhan Luka


a. Faktor yang mempercepat penyembuhan luka terdiri dari:
1) Pertimbangan perkembangan
Anak dan orang dewasa lebih cepat lebih cepat penyembuhan luka daripada
orang tua. Orang tua lebih sering terkena penyakit kronis, penurunan fungsi hati yang
dapat mengganggu sintesis dari faktor pembekuan darah (Kozier, 1995).
2) Nutrisi
Penyembuhan menempatkan penambahan pemakaian metabolisme pada
tubuh. Klien memerlukan diit kaya Protein, Karbonhidrat, Lemak, Vitamin dan
Miniral (Fe, Zn) Bila kurang nutrisi diperlukan waktu untuk memperbaiki status
nutrisi setelah pembedahan jika mungkin. Klien yang gemuk meningkatkan resiko
infeksi luka dan penyembuhan lama karena supply darah jaringan adipose tidak
adekwat (Taylor, 1997).
3) Infeksi
Ada tidaknya infeksi pada luka merupakan penentu dalam percepatan
penyembuhan luka. Sumber utama infeksi adalah bakteri. Dengan adanya infeksi
maka fase-fase dalam penyembuhan luka akan terhambat.

25

4) Sirkulasi dan Oksigenasi


Sejumlah kondisi fisik dapat mempengaruhi penyembuhan luka. Saat kondisi
fisik lemah atau letih maka oksigenasi dan sirkulasi jaringan sel tidak berjalan lancar.
Adanya sejumlah besar lemak subkutan dan jaringan lemak yang memiliki sedikit
pembuluh darah berpengaruh terhadap kelancaran sirkulasi dan oksigenisasi jaringan
sel.
Pada orang gemuk penyembuhan luka lambat karena jaringan lemak lebih
sulit menyatu, lebih mudah Infeksi dan lama untuk sembuh. Aliran darah dapat
terganggu pada orang dewasa yang mederita gangguan pembuluh darah prifer,
hipertensi atau DM. Oksigenasi jaringan menurun pada orang yang menderita anemia
atau gangguan pernafasan kronik pada perokok.
5) Keadaan luka
Keadaan khusus dari luka mempengaruhi kecepatan dan efektifitas
penyembuhan luka. Beberapa luka dapat gagal untuk menyatu dengan cepat.
Misalnya luka kotor akan lambat penyembuhannya dibanding dengan luka bersih.
6) Obat
Obat antiinflamasi (seperti aspirin dan steroid), heparin dan antineoplasmik
mempengaruhi penyembuhan luka. Penggunaan antibiotik yang lama dapat membuat
tubuh seseorang rentan terhadap Infeksi luka. Dengan demikian pengobatan luka
akan berjalan lambat dan membutuhkan waktu yang lebih lama.
b. Faktor yang memperlambat penyembuhan luka
Tidak adanya penyembuhan luka akibat dari kerusakan pada satu atau lebih
dari proses penyembuhan normal. Proses ini diklasifikasikan menjadi faktor intrinsik
dan ekstrinsik
1) Faktor Intrinsik
Ketika

luka

terinfeksi,

respon

inflamatori

berlangsung

lama

dan

penyembuhan luka terlambat. Luka tidak akan sembuh selama ada infeksi. Infeksi
dapat berkembang saat pertahanan tubuh lemah. Diagnosa dari infeksi jika nilai
kultur luka melebihi nilai normal. Kultur memerlukan waktu 24-48 jam dan selama
menunggu pasien di beri antibiotika spektrum luas. Kadang-kadang benda asing
dalam luka adalah sumber infeksi.
26

Suplai darah yang adekuat perlu bagi tiap aspek penyembuhan. Suplai darah
dapat terbatas karena kerusakan pada pembulu darah jantung/paru. Hipoksia
mengganggu aliran oksigen dan nutrisi pada luka, serta aktifitas dari sel pertumbuhan
tubuh. Neutropil memerlukan oksigen untuk menghasilkan oksigen peroksida untuk
membunuh patogen. Demikian juga fibroblast dan fagositosis terbentuk lambat. Satusatunya aspek yang dapat meningkatkan penyembuhan luka pada keadaan hipoksia
adalah angio genesis.
2) Faktor ekstrinsik
Faktor ektrinsik dapat memperlambat penyembuhan luka meliputi malnutrisi,
perubahan

usia

dan

penyakit

seperti

diabetes

melitus.

Malnutrisi

dapat

mempengaruhi beberapa area dari proses penyembuhan. Kekurangan protein


menurunkan sintesa dari kolagen dan leukosit. Kekurangan lemak dan karbonhidrat
memperlambat semua fase penyembuhan luka karena protein di rubah menjadi energi
selama malnutrisi. Kekurangan vitamin menyebabkan terlambatnya produksi dari
kolagen, respon imun dan respon koagulasi.
Pasien

tua

yang

mengalami

penurunan

respon

inflamatari

yang

memperlambat proses penyembuhan. Usia tua menyebabkan penurunan sirkulasi


migrasi sel darah putih pada sisa luka dan fagositasis terlambat. Ditambah pula
kemungkinan Pasien mengalami gangguan yang secara bersamaan menghambat
penyembuhan luka seperti Diabetes Melitus.
Diabetes Melitus adalah gangguan yang menyebabkan banyak pasien
mengalami kesulitan dalam proses penyembuhan karena gangguan sintesa kolagen,
angiogenesis dan fagositosis. Peningkatan kadar glucosa mengganggu transport sel
asam askorbat kedalaman bermacam sel termasuk fibroblast dan leukosit.
Hiperglikemi juga menurunkan leukosit kemotaktis, arterosklerosis, kususnya
pembuluh darah kecil, juga pada gangguan suplai oksigen jaringan.
Neuropati diobotik mrupakan gangguan penyembuhan lebih lanjut dengan
mengganggu komponen neurologis dari penyembuhan. Kontrol dari gulu darah
setelah operasi memudahkan penyembuhan luka secara normal.
Merokok adalah gangguan Vaso kontriksi dan hipoksia karena kadar CO2
dalam rokok serta membatasi suplai oksigen ke jaringan. Merokok meningkatkan
27

arteri sklerosis dan platelet agregasi. Lebih lanjut kondisi ini membatasi jumlah
oksigen dalam luka.
Penggunaan steroid memperlambat penyembuhan dengan menghambat
kologen sintesis, Pasien yang minum steroid mengalami penurunan strenght luka,
menghambat kontraksi dan menghalangi epitilisasi.
Untungnya Vitamin A ada untuk meningkatkan penyembuhan luka yang
terhambat karena gangguan atau penggunaan steroid.
8. Komplikasi Penyembuhan Luka
Meliputi Infeksi, pendarahan, dehiscence dan evicerasi
1)

Infeksi
Invasi bakteri pada luka dapat terjadi pada saat trauma, selama pembedahan atau
setelah pembedahan. Gejala dari Infeksi sering muncul dalam 2-7 hari setelah
pembedahan.gejalanya berupa infeksi termasuk adanya purulent, peningkatan
drainage, nyeri, kemerahan dan bengkak di sekeliling luka, peningkatan suhu, dan
peningkatan leukosit.

2)

Pendarahan
Dapat menunjukkan suatu pelepasan jahitan, sulit membeku pada garis jahitan,
infeksi atau erosi dari pembuluh darah oleh benda asing (seperti darain).
Hipovolemia mungkin tidak cepat tampak, sehingga balutan jika mungkin harus
sering di lihat selama 48 jam pertama setelah pembedahan dan tiap 8 jam setelah itu.
Jika terjadi perdarahan yang berlegihan, penambahan tekanan luka steril mungkin
diperlukan. Pemberian cairan & intervensi pembedahan mungkin diperlukan.

3)

Dehiscence dan Eviscerasi


Dehiscence dan Eviscerasi adalah komplikasi post operasi yang serius. Dehiscence
yaitu terbukanya lapisan luka partial. Eviscerasi yaitu keluarnya pembuluh kapiler
melalui daerah irisan. Sejumlah faktor meliputi ; kegemukan, kurang nutrisi, multiple
trauma, gagal untuk menyatu, bentuk yang berlebihan, muntah dan dehidrasi dapat
mempertinggi resiko klien mengalami dehiscence luka. Ketika dehiscence &
eviscerasi terjadi luka, harus segera ditutup dengan balutan steril yang lebar kompres
dengan normal saline. Klien disiapkan untuk segera dilakukan perbaikan pada daerah
luka.
28

D. Pengkajian Luka
1. Lokasi
Lokasi luka dapat mempengaruhi penyembuhan luka, dimana tidak semua
lokasi tubuh mendapatkan peredaran darah yang sama. Ditinjau dari prinsip
fisiologis, pada bagian tubuh yang memiliki pembuluh darah yang banyak akan
mendapatkan aliran darah yang banyak. Hal ini akan mendukung penyembuhan luka
lebih cepat dibandingkan dari bagian tubuh yang lebih sedikit mendapat aliran darah.
2. Ukuran luka
Diukur panjang, lebar dan diameternya bila bentuk luka bulat dengan
sentimeter, gambarkan bentuk luka tersebut dengan lembar transparan yang telah
dicatat berpola kotak-kotak berukuran sentimeter.
3. Kedalaman luka
Kedalaman luka dapat diukur dengan kapas lidi steril yang sudah
dilembabkan dengan normal saline, masukan dengan hati-hati kedalam luka dengan
posisi tegak lurus (90o) hingga kedasar luka. Beri tanda pada lidi sejajar dengan
permukaan kulit disekitar luka. Ukur dengan sentimeter.
4. Goa atau terowongan
Goa dan terowongan dapat diketahui denga melakukan palpas jaringan
disekeliling pinggir luka, dimana akan teraba tenderness/perlukan. Masukan saline
melalui mulut lubang ke dasar luka/ujung terowongan. Beri tanda pada lidi sejajar
dengan permukaan kulit disekitar luka. Beri tekanan /palpasi dengan hati-hati dan
kaji saluran yang abnormal tersebut.
Jangan pernah menggunakan kekuatan dorongan yang berlebilan bila
menggunakan kapas lidi. Ukur lokasi dan kedalaman lubang/penetrasi. Untuk
penentuan lokasi ditetepkan dengan pola arah jarum jam dengan pusat pada tengah
luka dan jam 12 sesuai garis anatomis sumbu tubuh manusia. Misalnya lokasi mulut
lubang terdapat pada posisi jam 8 dengan kedalaman 5 cm atau dapat dibuatkan
gambar jam dengan tanda pada posisi jam 8.
5. Warna dasar luka

29

Warna dasar luka sangat penting dikaji karena berhububungan dengan


penentuan terapi topikal dan jenis balutan luka. Ada beberapa macam warna dasar
luka yang membutuhkan perlakuan spesifik terhadap masing-masing sesuai warna
dasar tersebut.
a) Nekrotik
Biasanya warna dasar hitam, tampak kering dan keras disebut keropeng.
Kering tidak berarti jaringan dibawahnya tidak terinfeksi atau tidak ada sksudat, ini
tidak dapat dipastikan tanpa dilakukan palpasi terlebih dahulu. Dengan melakukan
palpasi dapat dirasakan ada tenderness atau tidak dibawah jaringan keropang tersebut
dan disekitar luka teraba panas dan tampak tanda radang disekelilingnya yang perlu
diperhatikan. Dan juga tidak terlepas dari keluhan penderita apakah merasa nyeri
berdenyut dibawah jaringan nekroit tersebut. Untuk luka seperti ini membutuhkan
suasana yang lembab sehingga nekrotik yang kering tersebut dapat lepas dengan
sendirinya. Jenis balutan yang baik adalah hidrogel. Diatasnya diletakan kasa dan
balutan transparan.
b) Sloughy
Warna dasar luka ini tampak kekuningan, sangat eksudatif atau tampak
berair/basah. Sloughy ini harus diangkat dari permukaan luka karena jaringan ini juga
sedang mengalami nekrotik, dengan demikian pada dasar luka akan tumbuh jaringan
granulasi buntuk proses penyembuahan. Untuk luka seperti ini dibutuhkan hydrogen
untuk melepas jaringan nekroit. Gunakan hydrofiber untuk menyerap eksudat yang
berlebihan sehingga tercipta lingkungan yang konduksif. (moist/lembab) untuk
proses panyembuhan luka. Bila luka mudah berdarah lebih baik digunakan calcium
alginate. Hydrofiber yang mengandung calcium alginato dapat menghentikan
pendarahan dengan segera.
c) Granulasi
Warna dasar luka ini adalah merah. Perlu diketahui bahwa ini merupakan
pertumbuhan jaringan yang baik, namun tidak dapay dibiarkan tanpa pambalut. Tetap
harus diberi pelindung sebagai pengganti kulit utuk mencegah kontaminasi dari dunia
luar dan menciptakan kondisi lingkungan luka yang baru untuk pertumbuhan sel
granulasi tersebut. Biasanya luka ini sangat mudah berdarah. Boleh diberikan balutan
30

hydrogen dan apabila eksudat banyak dapat digunakan hydrofiber yang mengandung
calcium alginate labih efektif.
d) Epitelisasi
Warna dasarnya adalah pink, kadang-kadang sebagian luka ini masih dalam
proses glanulasi. Untuk itu perlu pemilihan balutan yang dapat mendukung mutasi
sel yaitu douderm tipis

extra thin). Balutan ini berbentuk wafer/padat, tidak

berbentuk seruk, namun cukup lunak dan nyaman diletakan diatas permukaan luka
dan tidak menimbulkan trauma terghadap luka, dapat juga menyetap eksudut yang
minimal melindungi luka dari kontaminasi.
e) Infeksi
Luka ini banyak warna dasarnya, umumnya ada pada ke empat warna diatas.
Untuk luka ini balutan balutan dapat dikombinasi. Bila cendrung berdarah dapat
ditutup dengan calciun alginate diatas bagian yang berdarah tersebut. Untuk eksudat
yang banyak dapat dipilih hydrofiber dan untuk bau yang tidak enak dapat diberikan
Carboflex. Kemudian tutup denga balutan transparan untuk memantau kondisi dari
luar tanpa membuka balutan
f) Funging malodours
Warna luka berfariasi, luka ini sangat kompleks biasanya dialami oleh penderita
kangker, terutama kanker mammae dimana sebagian permukaan luka sangat mudah
berdarah, eksudat banyak, bau tidak enak, ukurannya besar dan lokasinya dekat
dengan hidung. Untuk menentukan balutan yang efektif dapat dilakukan sesuatu
dengan petunjuk pada luka yang terinfeksi yang telah ditulis sebelumnya.
C. FRAKTUR ORBITA
1. Definisi
Fraktur dinding orbital adalah terputusnya kontinuitas antara jaringan-jaringan
pada dinding orbital dengan atau tanpa penglibatan tulang-tulang di daerah
sekitarnya.22
2. Etiologi
Faktor penyebab bervariasi. Kecelakaan lalu lintas merupakan faktor etiologi
yang dominan yang bertanggung jawab menyebabkan terjadinya fraktur dinding
orbital. Faktor lain fraktur dinding orbital adalah akibat perkelahian. Selain itu, bisa
juga diakibatkan karena senjata yang tumpul atau tajam. Faktor etiologi lain yang
31

mengakibatkan fraktur dinding orbital adalah kecelakaan pekerjaan, contohnya jatuh


dari tempat yang tinggi atau alat yang jatuh ke kepala, atau kecelakaan ketika
berolahraga terutamanya olahraga seperti tinju, kriket, hoki serta sepak bola,
tembakan serta gigitan hewan.22
3. Anatomi
a. Dasar orbita
Dasar orbita terdiri atas os maksila, os zygomaticus, dan os palatina. Merupakan
dinding terpendek, yaitu sekitar 35-44 mm. Dasar orbita berbatasan dengan sinus
maksilaris dibagian posterior. Dasar orbita berada di dekat proksimal dari muskulus
rectus inferior. Sulcus, kanalis, dan foramen infraorbitalis yang berada pada os
maksila , dilalui oleh cabang nervus trigeminus (N.V) yang menginervasi dasar
orbita bagian ipsilateral dan pertengahan wajah. Arteri infraorbita, arteri maksilaris,
dan vena infraorbita melalui sulcus infraorbita dan keluar dari kanalis infraorbitalis.
Disfungsi nervus infraorbita biasanya menjadi keluhan utama yang menyertai fraktur
dasar orbita. 22
b. Dinding medial
Dinding medial terdiri atas processus frontalis os maksila, os lakrimale, facies
orbitalis os ethmoid, dan corpus sphenoid. Daerah yang paling mudah mengalami
kerusakan adalah pada lamina papyracea (ketebalan 0.2-0.4 mm), yang memisahkan
orbita dari sinus etmoidalis. Saccus lacrimalis berada di anterior dari dinding medial
dan berada dalam sulcus lakrimalis yang dibentuk oleh os maksila dan os lakrimale.
Dinding medial dan atas orbita dihubungkan oleh foramen etmoidalis di anterior dan
posteriornya. Dari foramen ini berjalan arteri dan nervus etmoidalis posterior.
Struktur ini mudah mengalami trauma langsung dan ahli bedah harus memperhatikan
lokasi ini untuk menghindari perdarahan intraoperatif. Pada dinding medial, terdapat
muskulus rectus medialis, yang jika mengalami kerusakan akibat fraktur dinding
medial akan dapat menyebabkan gangguan pergerakan bola mata. Di bagian ini juga
terdapat struktur lain yang penting, yaitu trochlea, canthal tendon, dan sistem
drainase lakrimalis.22
c. Dinding lateral

32

Terutama disusun oleh os zygomaticus. Selama pembedahan pada fraktur


zygomaticus, cabang temporal dan zygomaticus dari nervus facialis (N.VII) dan
cabang zygomaticotempiral dan zygomaticofacial dari nervus trigeminus (N.V) harus
dihindari untuk mencegah komplikasi paresis dan parestesi. Muskulus yang melekat
pada arkus zygomaticus adalah muskulus masseter, muskulus zygomaticus mayor
dan fascia temporalis.22,23

4. Diagnosis
a. Anamnesis
Dari anamnesis dapat ditentukan mekanisme trauma yang menyebabkan fraktur,
seperti pukulan benda keras yang melebihi diameter rima orbita biasanya
berhubungan dengan fraktur blow out. Biasanya daerah yang terkena paling sering
mengalami fraktur adalah dasar orbita. Penyebab dari fraktur ini adalah peningkatan
tekanan intraorbita yang menyebabkan tulang orbita menjadi rusak. Teori lain
berpendapat bahwa kompresi rima orbita inferior menyebabkan kerusakan dasar
orbita secara langsung.22
Fraktur menimbulkan nyeri yang hebat. Pada daerah yang mengalami fraktur
muncul pembengkakan akibat adanya akumulasi darah dan cairan. Akumulasi darah
biasanya menyebabkan daerah yang membengkak tampak biru atau ungu (memar).
Terkadang dapat terjadi perdarahan pada hidung.22
Penglihatan dapat terganggu jika kelopak mata juga ikut membengkak dan
menutup pandangan, atau pada kasus tertentu dimana terjadi kerusakan pada bola
mata, atau jika darah terakumulasi di belakang bola mata dan menekan saraf optik.22
Fraktur juga bisa mempengaruhi fungsi otot-otot yang menggerakkan mata,
sehingga dapat terjadi penglihatan ganda (diplopia) atau menghalangi pergerakan
mata ke kanan, kiri, atas, atau bawah. Terkadang gangguan penglihatan dan
gangguan pergerakan bola mata dapat disebabkan oleh adanya pecahan tulang yang
menekan atau memotong saraf, pembuluh darah atau otot di sekitar mata. Pada
fraktur blow-out terkadang menyebabkan adanya penglihatan ganda, bola mata pada
sisi yang terjadi fraktur dapat tenggelam (sunken), bola mata hanya dapat melihat ke
bawah, penurunan sensasi terhadap sentuhan dan nyeri di sekitar pipi dan bibir atas
(akibat cedera saraf di bawah orbita), atau akumulasi udara pada jaringan di bawah

33

kulit (emfisema subkutis). Emfisema subkutis terjadi jika fraktur pada dasar orbita
menyebabkan udara dari hidung atau sinus masuk ke jaringan di sekitar mata,
terutama jika penderita menghembuskan udara dari hidung dengan kuat.22
b. Pemeriksaan fisik
Hal yang perlu dinilai pertama kali adalah adanya trauma multisistem,
melakukan primary survey (airway, breathing, circulation). Setelah itu dilakukan
juga pemeriksaan pada bola mata. Pasien dengan trauma periorbita seringkali
menampakkan gangguan visual, terdapat iritis traumatik, abrasi kornea, hifema,
glaukoma akut, ablasio retina, serta neuropati traumatik optik. Penurunan visus,
warna, dan defek papilary afferent dapat mengakibatkan neuropati traumatik optik. 22
1) Dasar orbita
Saat terjadi fraktur dasar orbita, pemeriksaan dapat menunjukkan adanya edema
periorbita dan ekimosis periorbita. Terdapat pula keluhan nyeri jika dilakukan
palpasi. Dapat pula terjadi disetesia, hipestesia, atau hiperalgesia.dapat juga menilai
apakah terdapat proptosis atau enophtalmos.22
2) Dinding medial
Pada fraktur dinding medial, dapat terjadi perdarahan subkonjungtiva, epistaksis, dan
rhinorrhea. Fraktur ini juga dapat mengakibhatkan kerusakan sistem drainase
nasolakrimalis dan ligamen canthal media. 22
3) Dinding lateral
Fraktur pada dinding lateral (terutama os zygomaticus) dapat dinilai adanya nyeri
tekan. Terdapat

pula parestesia nervus

infraorbita,

zygomaticofacial,

dan

zygomaticotemporal.pergeseran posterior dari fragmen fraktur dapat mengganggu


fungsi mastikasi.23
c. Pemeriksaan penunjang (radiologi)
Pada fraktur orbita, pemeriksaan radiologi piulihan adalah dengan CT Scan
melalui proyeksi axial dan koronal. 24,25
5.

Klasifikasi
Secara umum, fraktur orbital dibagi kepada dua kategori yang luas.
Yang pertama merupakan fraktur yang secara relatif eksternal dan melibatkan
orbital

rim serta tulang-tulang yang berdekatan, sebagai contoh fraktur pada


34

nasoethmoid (naso-orbital) dan fraktur malar. Yang kedua adalah fraktur

yang

melibatkan tulang secara internal di dalam kavitas orbital. Fraktur ini terjadi
tanpa (atau sedikit) penglibatan orbital rim.25,26
Fraktur seperti ini biasanya disebut fraktur blow-out atau blow-in. Istilah
blow-out ini digunakan oleh Converse dan Smith (1950) untuk menggambarkan
fraktur pada dinding inferior orbital yang mengarah ke bawah dan memasuki
sinus maksilaris. Sebaliknya, blow-in merupakan fraktur yang mengarah ke atas,
memasuki orbita.25
Tanpa penglibatan orbital rim, fraktur ini dipanggil pure blow-out. Jika orbital
rim terlibat, maka ianya dikenali sebagai impure blow-out. Dalam kasus ini,
lemak orbital dan otot masuk ke dalam sinus maksilaris, menghasilkan
enophthalmus. Jika otot rektus inferior dan oblique inferior juga terlibat dalam
hal ini, pergerakan bola mata akan menjadi terbatas. Ini dikenal sebagai diplopia.25
6. Penatalaksanaan
a. Medikamentosa
Pasien harus disarankan untuk menghindari meniup hidungnya untuk beberapa
minggu setelah trauma untuk mencega emfisema dan gangguan visual. Spray
dekongestan nasal seringkali dugunakan. Antibiotik profilaksis juga digunakan untuk
mencegah selulitis orbital akibat bakteri jika fraktur menciptakan hubungan antara
orbita dengan sinus. Jika edema orbita berat, steroid dapat digunakan untuk
menurunkan edema.22,27,28
b. Pembedahan
Pembedahan dilakukan terutama jika terdapat disfungsi pada mata seperti adanya
diplopoa, enophtalmus (lebih dari 2 mm), serta fraktur yang melibatkan lebih dari
setengah dasar orbita.22,29

35

DAFTAR PUSTAKA
1. Auerbach SM, Laskin DM, Kiesler DJ, et al; Psychological factors associated with respo
nse to

maxillofacial injury and its treatment. J Oral Maxillofac Surg. 2008 Apr

66(4):75561.
2. Glynn SM, Shetty V, ElliotBrown K, et al; Chronic posttraumatic stress disorder after faci
al injury: a 1year

prospective cohort study. J Trauma. 2007 Feb

;62(2):410-

8; discussion 418.
3. Devauchelle B, Badet L, Lengele B, et al; First human face allograft: early report. Lancet.
2006 Jul 15;368(9531):2039. 2014 Jul;58(3):497521. doi: 10.1016/j.cden.2014.03.001.
4. Ceallaigh PO, Ekanaykaee K, Beirne CJ, et al; Diagnosis and management of common m
axillofacialinjuries in the emergency department. Part 1: Advanced trauma life support. E
merg Med J. 22006 Oct;23(10):7967.
5. Strong EB; Frontal sinus fractures: current concepts. Craniomaxillofac Trauma Reconstr.
2009 Oct;2(3):16175. doi: 10.1055/s00291234020.

36

6. Singh V, Malkunje L, Mohammad S, et al; The maxillofacial injuries: A study. Natl J Ma


xillofac Surg. 2012 Jul;3(2):16671. doi: 10.4103/09755950.111372.
7. Alvi A, Doherty T, Lewen G; Facial fractures and concomitant injuries in trauma patients
. Laryngoscope. 2003 Jan;113(1):1026.
8. Rocchi G, Fadda MT, Marianetti TM, et al; Craniofacial trauma in adolescents: incidence
, etiology, and prevention. J Trauma. 2007 Feb;62(2):4049.
9. Brookes CN; Maxillofacial and ocular injuries in motor vehicle crashes. Ann R Col
Surg Engl. 2004 May;86(3):14955.
10. Eggensperger NM, Danz J, Heinz Z, et al; Occupational maxillofacial fractures: a 3year s
urvey in central Switzerland. J Oral Maxillofac Surg. 2006 Feb;64(2):2706.
11. Patrick DG, van Noort R, Found MS; Scale of protection and the various types of sports
mouthguard. Br J Sports Med. 2005 May;39(5):27881.
12. Winengar BA, Murillo H, Tantiwongki; Spectrum of Critical Imaging Findings In
Complex Facial Skeletal Trauma. Trauma/ Urgency Radiology. 2013 January-February;
33:3-19.
13. Casto AL, Priolo GD, Gafuri A, et al ; Imaging Evaluation of Facial Complex Strut
Fractures. Elsevier.2012. 33:396-409.
14. Moe KS ; Facial Trauma, Maxillary and Le Fort Fractures. Department of
Otolaryngology-Head and Neck Surgery, University of Washington School of Medicine;
Clinical Associate Professor of Surgery, Division of Head and Neck Surgery, University
of California, San Diego. 2009 December.
15. Bryant, Ruth. (2007). Acute & Chronic Wounds; Current Manangement Concept
Philadelphia : Mosby Elsevier.
16. Hunt KT. Wound Healing. In: Doherty MG. Current Surgical Diagnosis and Treatment.
12th Ed., McGraw-Hills, USA. 2003; p75-87
17. Knottenbelt Dereck. (2003). Hand Book Of Equine Wound Management. UK : Elsevier
Science Limited.
18. Mann A, Breuhahn

K,

Schirmacher

P,

Blessing

M.

Keratinocyte-Drived

GranulocyteMacrophage Colony Stimulating Factor Accelerates Wound Healing:


Stimulation of Keratinocyte Proliferation, Granulation Tissue Formation, and
Vascularization. JInvest Dermatol.2001; 117:1382-1390
19. Ting EA, Mays RW, Frey RM, Hof vW, Madicetty S, Deans R . Therapeutic Pathway of
Adult Stem Cells Repair. Critical Review in Oncology and Hematology., Elsevier,
Ireland.2008; p.81-93
20. WHO. (2010). Wound and Limphoedema Management. Diunduh tanggal 25 April 2016
dari http://whqlibdoc.who.int/publications/2010/9789241599139_eng.pdf
37

21. Gabbiani. The myofibroblast in wound healing and fibrocontractive diseases. Journal of
Pathology. 2003; 500-503.
22. Joseph JMI, Glavas P. Orbital fractures: A review. Clinical ophtalmology, 2011; 5:95-100
23. Alsuhaibani AH. Orbital Fracture: Significance of lateral wall. Saudi Journal of
Ophthalmology, 2010; 24:4955
24. Kunz C, Audig L, Cornelius CP, Tllez CHB, Rudderman R, Prein J. The
Comprehensive AOCMF Classification System: Orbital Fractures - Level 3 Tutorial.
Craniomaxillofac Trauma Reconstruction, 2014; 7(1):S92S102
25. Reyes JM, Vargas MFG, Rosenvasser J, Arocena MA, Medina AJ, Funes J. Classification
and epidemiology of orbital fractures diagnosed by computed tomography. Rev. Argent.
Radiol., 2013;77(2):139-145
26. Caranci F, Cicala D, Cappabianca S, Briganti F, Brunese L, Fonio P. Orbital Fractures:
Role of Imaging. Semin Ultrasound CT MRI, 2012; 33:385-391
27. Ellis E. Orbital Trauma. Oral Maxillofacial Surg Clin N Am., 2012; 24:629648
28. Boswell KA. Management of Facial Fractures. Emerg Med Clin N Am., 2013; 31:539
551
29. Boyette JR, Pemberton JD, Velez JB. Management of orbital fractures: Challenges and

solutions. Clinical Ophthalmology, 2015; 9:21272137

38

You might also like