You are on page 1of 30

MITRAL STENOSIS

Disusun Oleh :
Adha Isdiyanta Putra

I4A011059

Fitri Nur Dini

I4A012005

Faisal Rahman

I4A012080

Nadia Kurniani

I4A012093

Pembimbing:
dr. Teguh Wahyu Purnomo,Sp.JP

DEPARTEMEN JANTUNG DAN PEMBULUH


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT
RSUD ULIN BANJARMASIN
2016

DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR ISI

BAB 1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
1.2 Tujuan

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA


2.1 Definisi

2.2 Etiologi.................................................................................................3

2.3 Epidemilogi

2.4 Patogenesis

2.5 Patofisiologi

2.6 Manifestasi klinis 11


2.7 Diagnosis 12
2.8 Penatalaksanaan 19
BAB III. PENUTUP.....................................................................................25
DAFTAR PUSTAKA

BAB I
PENDAHULUAN

1.1.

Latar Belakang
Mitral stenosis terjadi ketika dijumpai adanya obstruksi aliran darah
melalui katup mitral yang menghubungkan atrium kiri dan ventrikel kiri.
Obstruksi ini terjadi akibat kelainan struktural pada katup mitralyang
meningkatkan tekanan balik yang disebabkan penurunan jumlah darah yang
dipompakan keluar dari ventrikel kiri.

Demam rematik merupakan penyebab utama terjadinya mitral


stenosis. Saat ini prevalensi demam rematik ini menurun drastis pada negara
maju, namun mitral stenosis masih menyebabkan morbiditas dan mortalitas
yang signifikan di seluruh dunia.

10

Kelainan katup ini merupakan penyakit yang berlangsung seumur


hidup yang bersifat progresif dan terus-menerus. Biasanya perjalanan
penyakit yang stabil dan lambat pada awal tahun akan diikuti dengan
percepatan yang progresif beberapa tahun kemudian. Pada penderita
asimtomatik atau dengan simtom minimal, angka harapan hidup dalam 10
tahun lebih dari 80%, dengan 60% penderita tidak mengalami gejala
progresif, tetapi bila ada gejala dengan keterbatasan
angka harapan hidup dalam 10 tahun menurun
hingga 0-15%.

yang

signifikan,

1.2.

Tujuan dan Manfaat


Tujuan penulisan referat ini adalah untuk mempelajari dan
mengetahui tinjauan pustaka dan contoh kasus gagal jantung dengan
kelainan katup mitral. Selain itu, penulisan referat ini juga bertujuan untuk
memenuhi tugas kepaniteraan klinik di Departemen kardiologi dan
Kedokteran Vaskuler RSUD Ulin Banjarmasin. Laporan kasus ini
bermanfaat sebagai bahan informasi bagi pembaca mengenai mitral
stenosis.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1

Definisi
Mitral stenosis merupakan obstruksi aliran darah ke ventrikel kiri akibat

kelainan struktural pada katup mitral, yang menghambat terbukanya katup mitral
secara sempurna saat fase diastol.

2.2

Etiologi
Penyebab tersering mitral stenosis adalah demam rematik. Sekitar 50%

penderita dengan mitral stenosis menunjukkan adanya riwayat menderita demam


rematik akut kurang lebih 20 tahun sebelum gejala klinis muncul.

Kira-kira 25%

dari seluruh penyakit jantung rematik menyebabkan stenosis mitral, 40% kombinasi
antara stenosis mitral dan regurgitasi mitral. Kurang lebih 38% dari seluruh stenosis
mitral adalah multivalvuler, 35% melibatkan katup aorta dan 6% melibatkan katup
trikuspidal Terdapat teori bahwa antigen protein M yang terdapat antara

jantung dan Streptococcus hemoliticus grup A menyebabkan serangan autoimun


pada jantung dalam respon terhadap infeksi streptococcus. Faktor yang
3
menyebabkan kerentanan terhadap penyakit ini masih belum jelas. Malformasi
kongenital pada mitral stenosis jarang terjadi dan hanya dijumpai pada bayi dan
anak-anak. Penyebab obstruksi katup mitral yang terjadi seperti pada myxoma

atrium kiri, trombus katup, mukopolisakaridosis, dan kalsifikasi anular yang parah
jarang terjadi.

2.3 Epidemiologi
Stenosis mitral (SM) saat ini masih merupakan kelainan katup yang cukup
sering ditemui terutama di negara-negara berkembang yang sebagian besar akibat
demam reumatik, yang diawali dengan radang tenggorokan yang disebabkan oleh
kuman streptokokkus hemolitikus group A yang selanjutnya akan
menimbulkan respon inflamasi sistemik termasuk didaerah katup. Respon
inflamasi kemudian menimbulkan kerusakan hingga terjadi stenosis katup mitral.
Insiden demam reumatik akut di Negara-negara berkembang diperkirakan sekitar
50 sampai 200 / 100.000 per tahun1, dimana serangan pertama demam reumatik
akut terjadi paling sering antara umur 6 sampai 15 tahun.1
Penyebab stenosis mitral paling sering adalah demam rematik, kemudian
dapat juga disebabkan oleh gangguan katup kongenital, kalsifikasi anular katup
yang masif, ataupun penyakit sistemik lainnya seperti karsinoid, SLE, arthritis

rematik, dan mukopolisakaridosis.2 Kurang lebih 60% pasien dengan katup mitral
rematik tidak memberikan riwayat adanya demam rematik. Hampir 50% dari
karditis rematik akut belum memberikan dampak signifikan pada katup.3 Kirakira 25% dari seluruh penyakit jantung rematik menyebabkan stenosis mitral,
40%
kombinasi antara stenosis mitral dan regurgitasi mitral. Kurang lebih 38% dari
seluruh stenosis mitral adalah multivalvuler, 35% melibatkan katup aorta dan 6%
melibatkan katup trikuspidal. Katup pulmonal jarang terkena. Dua pertiga dari
seluruh kasus rematik adalah wanita. Interval waktu terjadinya kerusakan katup
akibat demam rematik bervariasi dari beberapa tahun sampai lebih dari 20 tahun.4
Kejadian stenosis mitral semakin meningkat di kawasan Asia seiring
dengan peningkatan penyakit demam rematik. Carapentis memperkirakan 15,6
juta penduduk dunia menderita penyakit jantung rematik, dengan kasus baru
demam rematik akut 470 ribu penduduk dan 233 ribu orang meninggal
demam rematik akut dan penyakit jantung rematik.4

2.4 Patogenesis

akibat

Setelah terinfeksi, proses reumatik menyebabkan inflamasi pada seluruh


lapisan jantung yaitu endokardium, miokardium, dan perikardium. Walaupun
demikian, penyakit ini terutama menyerang endokardium yang menyebabkan
inflamasi dan terbentuknya jaringan parut pada katup jantung. Meskipun proses
ini terjadi pada episode akut demam rematik, inflamasi kronik dan jaringan parut
ini terjadi terus-menerus, bahkan setelah serangan terakhir yang menyebabkan
kerusakan katup yang berat beberapa tahun kemudian. Mekanisme terjadinya
proses kronik ini masih menjadi perdebatan dan diperkirakan karena proses
reumatik ringan yang masih berlanjut atau stress hemodinamik pada katup yang
terkena. Tingginya kadar C-reactive protein, indikasi adanya inflamasi yang
berlanjut, hal ini banyak ditemukan pada penderita dengan mitral stenosis.
Walaupun seluruh katup jantung dapat terlibat dalam proses reumatik, hanya
katup mitral yang secara menonjol sering terinfeksi pada kebanyakan kasus.
Stenosis katup mitral ini terjadi akibat penebalan kalsifikasi katup, perlekatan
komisura, dan pemendekan serta perlekatan korda.

2.4

Patofisiologi
Pada awal diastol jantung normal, katup mitral akan terbuka dan darah

mengalir bebas dari atrium kiri ke ventrikel kiri, dengan mengabaikan perbedaan
tekanan antara ke dua ruang jantung. Pada mitral stenosis, adanya obstruksi aliran
darah melewati katup mitral sehingga pengosongan atrium kiri terhalangi serta
adanya gradien tekanan yang abnormal antara atrium kiri dan ventrikel kiri.
Akibatnya, tekanan atrium kiri lebih tinggi dari normal, hal ini diperlukan

agar darah dapat dipompa melewati katup yang obstruksi. Area cross- sectional
2
normal untuk orifisium katup mitral adalah 4-6cm2. Gejala hemodinamik mitral
2
2
stenosis menjadi jelas bila orifisium katup <2,5 cm . Area katup mitral >1,5 cm
biasanya tidak menunjukkan gejala pada saat istirahat. Namun, jika terjadi
peningkatan aliran transmitral atau penurunan masa pengisian diastol, maka akan
meningkatkan tekanan atrium kiri dan menimbulkan gejala. Sehingga, gejala
pertama sesak nafas pada penderita dengan mitral stenosis ringan biasanya dipicu
oleh aktifitas, stress emosional, infeksi, kehamilan, atau fibrilasi atrium dengan
4
repon ventrikular yang cepat. Walaupun tekanan ventrikel kiri biasanya normal
pada mitral stenosis, kerusakan pengisian ruang jantung melewati katup mitral
2

yang menyempit dapat menurunkan stroke volume dan cardiac output.

Tingginya tekanan atrium kiri pada mitral stenosis diteruskan secara pasif ke
sirkulasi pulmonal, mengakibatkan tingginya tekanan kapiler dan vena pulmonal.
Tekanan

hidrostatik

yang

meningkat

dalam

sirkulasi

pulmonal

dapat

menyebabkan transudasi plasma ke jaringan interstitial paru dan alveoli. Penderita


kemudian akan merasakan sesak nafas dan gejala gagal jantung kongestif lainnya.
Pada kasus yang berat, peningkatan tekanan vena pulmonal yang signifikan akan
menyebabkan terbukanya saluran kolateral antara vena pulmonal dan bronkial.
Kemudian, tingginya tekanan pembuluh pulmonal dapat merobek vena bronkial
ke parenkim paru, menyebabkan batuk darah atau hemoptisis.

Peningkatan tekanan atrium kiri pada mitral stenosis dapat menyebabkan 2


bentuk hipertensi pulmonal yang berbeda yaitu pasif dan reaktif. Sebagian besar
penderita dengan mitral stenosis mengalami hipertensi pulmonal pasif yang
berkaitan dengan transmisi ke belakang dari tingginya tekanan atrium kiri ke
sirkulasi pulmonal. Ini menyebabkan tingginya tekanan arteri pulmonal sebagai
kompensasi tekanan atrium kiri dan vena pulmonal yang meningkat. Selain itu,
kira-kira 40% penderita mitral stenosis menunjukkan adanya hipertensi pulmonal
reaktif dengan hipertrofi medial dan fibrosis intima pada arteriol pulmonal.
Hipertensi pulmonal reaktif dapat menguntungkan karena peningkatan resistensi
arteriol mencegah aliran darah menuju kapiler pulmonal yang membengkak dan
menurunkan tekanan hidrostatik kapiler sehingga mencegah lebih tingginya
tekanan kapiler pulmonal. Keadaan ini hanya menguntungkan bila aliran darah
menuju sirkulasi pulmonal menurun dengan akibat peningkatan tekanan jantung
kanan ketika ventrikel kanan memompa darah melawan

resistensi

yang

meningkat. Tingginya tekanan ventrikel kanan yang berlangsung kronik dapat


menyebabkan hipertrofi dan dilatasi pada ruang jantung dan terjadi gagal jantung
kanan.

Tekanan atrium kiri yang tinggi yang berlangsung kronik akibat

overload

pada mitral stenosis dapat menyebabkan pembesaran atrium kiri. Dilatasi atrium
kiri ini akan meregangkan serat konduksi atrium dan dapat merusak integritas dari
sistem konduksi jantung yang menyebabkan fibrilasi atrium (ritme jantung yang
ireguler dan cepat). Fibrilasi atrium menyebabkan cardiac output semakin

menurun karena meningkatnya denyut jantung memperpendek fase diastole. Ini


akan mengurangi waktu yang diperlukan agar darah dapat mengalir melalui katup
mitral

yang mengalami obstruksi

untuk

mengisi

ventrikel

kiri

dan

menyebabkan tekanan atrium kiri yang semakin tinggi. Terhentinya aliran darah
pada dilatasi atrium kiri pada mitral stenosis, terjadi ketika disertai dengan
fibrilasi atrial yang memicu terbentuknya trombus intra atrium. Tromboemboli
pada organ perifer dapat terjadi dan menyebabkan komplikasi seperti oklusi
serebrovaskuler (stroke). Kemungkinan terjadinya komplikasi tromboemboli
sistemik pada penderita mitral stenosis berhubungan dengan usia penderita dan
dimensi bagian atrium kiri. Penderita dengan

fibrilasi

atrium

mempunyai

resiko tinggi menderita stroke dan memerlukan terapi antikoagulan.

Gambar 2.1. Patofisiologi Mitral Stenosis

11

2.5

Manifestasi Klinis
Angka kelangsungan 50 - 60% pada penderita yang tidak diobati setelah

gejala klinis muncul adalah 10 tahun. Kelangsungan hidup melebihi 80% pada
penderita asimtomatik atau simtom minimal dalam 10 tahun kemudian.
Panjangnya harapan hidup berkurang pada penderita dengan gejala berat dan
terbatas pada penderita dengan hipertensi pulmonal yang signifikan dengan ratarata harapan hidup <3 tahun.

Gambaran klinis mitral stenosis tergantung pada derajat penurunan area


katup. Semakin berat stenosis, semakin besar gejala yang berkaitan dengan
peningkatan tekanan atrium kiri dan vena pulmonal. Manifestasi awalnya berupa
sesak nafas dan penurunan kapasitas aktivitas jantung dan paru. Pada mitral
stenosis ringan, sesak nafas tidak dijumpai pada istirahat, walaupun muncul pada
keadaan ketika tekanan atrium kiri meningkat dengan adanya aktifitas yang
memicu peningkatan aliran darah melalui jantung dan denyut jantung yang
semakin cepat (contohnya, penurunan waktu pengisian jantung pada saat diastol).
Kondisi dan aktifitas lain yang meningkatkan denyut jantung dan aliran darah
jantung, dan mengakibatkan gejala eksaserbasi pada mitral stenosis adalah
demam,

anemi, hipertiroid, kehamilan, aritmia cepat seperti fibrilasi atrium,

olahraga, stress emosional, dan aktifitas seksual.

Dengan mitral stenosis yang lebih berat (contohnya, area katup yang
mengecil), sesak nafas dapat terjadi saat istirahat. Lelah yang berlebihan dan tanda
kongesti pulmonal yang lebih berat, seperti ortopnoe dan paroxysmal nocturnal

12

dyspnea, dapat terjadi. Mitral stenosis dan hipertensi pulmonal yang parah dapat
mengakibatkan tanda-tanda gagal jantung kanan, termasuk distensi vena jugular,
2
hepatomegali, asites, dan edema perifer. Kompresi pada saraf laringeal rekuren
karena pembesaran arteri pulmonal atau atrium kiri dapat menyebabkan suara
serak (sindrom Ortners).

2.6

Diagnosis
Penegakan diagnosis mitral stenosis harus berdasarkan anamnesis,

pemeriksaan fisik, foto toraks, elektrokardiografi, dan ekokardiografi.

Pada

pemeriksaan fisik, palpasi pada toraks anterior sinistra menunjukkan adanya


ketukan ventrikel kanan pada penderita dengan peningkatan tekanan ventrikel
kanan. Dari auskultasi dijumpai tingginya suara jantung S1 (berkaitan dengan
penutupan katup mitral) pada awal penyakit. Tingginya S1 diakibatkan oleh
peningkatan gradien tekanan antara atrium dan ventrikel yang membuka katup
mitral selama diastole; ketika onset fase sistol, kontraksi ventrikel menyebabkan
katup yang terbuka tersebut tutup secara tiba-tiba yang mengakibatkan suara
penutupan yang keras. Pada tahap akhir penyakit, intensitas S1 mungkin normal
atau berkurang karena penebalan katup, kalsifikasi dan immobilitas.

13

Ciri khas pada auskultasi mitral stenosis adalah adanya opening snap (OS)
yang bernada tinggi yang mengikuti S2. OS ini diakibatkan tegangan yang terjadi
tiba-tiba pada korda tendina dan katup stenosis saat pembukaan katup. Interval
antara S2 dan OS berkaitan secara terbalik dengan keparahan mitral stenosis.
Semakin parah mitral stenosis, semakin tinggi tekanan atrium kiri dan semakin
cepat katup tersebut dibuka paksa saat diastol. Ini juga diikuti dengan murmur
decresendo frekuensi rendah (dinamakan diastolik murmur) yang disebabkan
turbulensi aliran melalui katup stenosis saat diastol. Durasi dari murmur diastolik
berkaitan dengan keparahan mitral stenosis. Semakin berat stenosis, semakin lama
dibutuhkan pengosongan atrium kiri dan semakin lama waktu yang diperlukan
untuk mengurangi perbedaan gradien tekanan antara atrium kiri dan ventrikel kiri.
Saat mendekati akhir diastol, kontraksi dari atrium kiri menyebabkan

gradien

tekanan meningkat kembali, sehingga murmur secara singkat menjadi lebih


keras (presystolic accentuation). Pada atrial fibrilasi, murmur pada akhir diastol
tersebut tidak terjadi karena tidak ada kontraksi atrium yang bermakna pada
kondisi tersebut. Murmur yang disebabkan oleh lesi katup lainnya sering dijumpai
bersamaan dengan penderita mitral stenosis. Contohnya, mitral regurgitasi sering
terjadi bersamaan dengan mitral stenosis. Selain itu, gagal jantung kanan yang
disebabkan mitral stenosis berat dapat memicu trikuspid regurgitasi sebagai akibat
pembesaran ventrikel kanan.

14

Hasil elektrokardiogram pada mitral stenosis menunjukkan adanya


pembesaran atrium kiri dan jika hipertensi pulmonal terjadi, dapat dijumpai
hipertrofi ventrikel kanan. Dari foto toraks dada, dapat dijumpai adanya
pembesaran atrium kiri, redistribusi pembuluh pulmonal, dan edema interstitial.
Dalam perkembangan hipertensi pulmonal, pembesaran ventrikel kanan dan
penonjolan arteri pulmonal dapat dijumpai.

Foto thoraks pada mitral stenosis

15

Gambaran EKG pada mitral stenosis

16

Gambaran Echo pada mitral stenosis


Alat diagnostik yang tepat untuk evaluasi penderita dengan mitral stenosis
adalah ekokardiografi. Ekokardiografi merupakan metode utama yang digunakan
untuk menilai keparahan dan konsekuensi dari mitral stenosis, serta menilai
seberapa luas lesi anatominya.

Gambaran morfologi dari katup mitral dapat

dinilai dengan ekokardiografi 2-D berupa mobilitas katup, ketebalan katup,


kalsifikasi katup, perlengketan subvalvular yang abnormal, dan gambaran
komisura katup saat diastol. Pemeriksaan ini penting untuk mempertimbangkan
waktu dan jenis tindakan yang akan dilakukan. Selain itu, ukuran ruang jantung
dan fungsi serta adanya kelainan pada struktur katup, otot jantung

dan

17

perikardium perlu dinilai.

Jika terdapat pembesaran atrium kiri, maka dapat

dijumpai adanya trombus intra atrium.

Ekokardiografi Doppler digunakan untuk menilai keparahan hemodinamik


akibat obstruksi. Gradien transmitral rata-rata dapat dinilai secara akurat dengan
sinyal Doppler gelombang kontinu yang melewati katup mitral dengan persamaan
Bernoulli yang dimodifikasi dan area katup mitral dapat dinilai secara non invasif
dengan metode waktu paruh diastol atau persamaan kontinuitas. Tapi metode
waktu paruh tersebut tidak akurat pada penderita dengan kelainan compliance
atrium kiri atau ventrikel kiri, keadaan yang berhubungan dengan regurgitasi aorta
dan

valvotomi

katup

mitral

sebelumnya.

Kemudian

penderita

dapat

diklasifikasikan ke dalam kelompok keparahan penyakit berdasarkan area katup


2
mitral.Orifisium katup mitral yang normal berkisar antara 4-6 cm . Penurunan
2
area katup mitral 2 cm berkaitan dengan mitral stenosis ringan, dan area katup
antara 1-1,5 cm

berkaitan dengan mitral stenosis sedang. Dikatakan mitral

2
stenosis berat bila area katup 1 cm . Pemeriksaan ini juga perlu dilakukan untuk
menilai tekanan arteri pulmonal saat sistolik dari kecepatan sinyal trikuspid
regurgitasi dan menilai keparahan mitral regurgitasi atau aorta regurgitasi yang
menyertainya. Tes latihan hemodinamik formal dapat dilakukan secara non invasif
dengan sepeda supine atau upright treadmill yang disertai rekaman Doppler untuk
menilai kecepatan transmitral dan trikuspid. Pemeriksaan ini dapat menilai

18

gradien tekanan transmitral dan arteri pulmonal saat sistol pada keadaan istirahat
dan beraktivitas.

Tingkat keparahan pada mitral stenosis


Transtorakal ekokardiografi memberikan informasi yang cukup untuk
evaluasi secara komplit pada kebanyakan kasus. Sedangkan transesofageal
ekokardiografi direkomendasi hanya bila transtorakal ekokardiografi memberikan
kualitas yang buruk, atau untuk mendeteksi adanya trombosis atrium kiri sebelum
tindakan

percutaneous mitral commissurotomy atau setelah episode emboli.


Tabel 2.1. Indikasi Ekokardiografi pada Mitral Stenosis

Kelas 1

Ekokardiografi diindikasikan pada keadaan:


a. Diagnosis mitral stenosis, menilai keparahan, menilai lesi katup
penyerta, dan menilai morfologi katup (untuk menentukan
kemungkinan dilakukannya percutaneous mitral balloon valvotomy
(PMBV)).
b. Evaluasi ulang pada penderita dengan mitral stenosis dan adanya
perubahan tanda atau gejala.
c. Penilaian respon hemodinamik dengan aktivitas dengan
menggunakan ekokardiografi Doppler ketika terdapat perbedaan
hasil ekokardiografi Doppler saat istirahat, temuan klinis, tanda dan
gejala.

19

Transesofageal ekokardiografi diindikasikan pada keadaan:


a. Penilaian ada tidaknya trombus pada atrium kiri dan keparahan
mitral regurgitasi pada penderita yang dipertimbangkan untuk
PMBV.
b. Penilaian morfologi katup mitral dan hemodinamik ketika
transtorakal ekokardiografi tidak memberikan data yang optimal.

2.7

Kelas 2a

1. Ekokardiografi dilakukan untuk evaluasi ulang penderita asimtomatik


dengan mitral stenosis dan temuan klinis yang stabil untuk menilai
tekanan arteri pulmonal (untuk mitral stenosis berat setiap tahun,
sedang setiap 1-2 tahun, dan ringan setiap 3-5 tahun)

Kelas 3

1. Transesofageal ekokardiografi tidak diindikasikan pada penderita


mitral stenosis untuk evaluasi rutin morfologi dan hemodinamik
katup mitral ketika data komplit transtorakal memuaskan.

Penatalaksanaan
Karena demam rematik merupakan penyebab utama mitral stenosis,

antibiotik profilaksis terhadap demam rematik direkomendasikan. Endokarditis


infektif jarang terjadi namun dijumpai pada isolated mitral stenosis sehingga
profilaksis endokarditis yang sesuai perlu diberikan. Restriksi garam dan
pemberian diuretik atau nitrat kerja panjang diberikan untuk mengobati gejala
kongesti

vaskular

atau

dispnu.

Jika

fibrilasi

atrium

terjadi

dapat

diberikan digoksin untuk menurunkan kecepatan laju ventrikel dan akan


meningkatkan pengisian ventrikel kiri saat diastol. Beta bloker, atau antagonis
kanal kalsium merupakan alternatif yang efektif untuk menurunkan denyut
jantung yang dapat meningkatkan toleransi terhadap aktivitas fisik. Terapi
antikoagulan

(mencegah

tromboemboli)

dengan

target

INR

>2-3

direkomendasikan untuk penderita mitral stenosis dengan fibrilasi atrium

20

permanen atau paroksismal. Pada penderita dengan sinus ritme, antikoagulan


diindikasikan jika sebelumnya telah terjadi episode emboli, atau adanya trombus
pada atrium kiri dan perlu dipertimbangkan bila transesofageal ekokardiografi
menunjukkan adanya kontras echo

yang

tebal dan spontan atau adanya

2 2,6
pembesaran atrium kiri (volume atrium kiri >60ml/m ).
Pada penderita asimtomatik dengan mitral stenosis yang signifikan yang
belum dilakukan intervensi, perlu dipantau setiap tahun dengan pemeriksaan
klinis dan ekokardiografi dan pada stenosis yang tidak terlalu berat dengan
6
interval pemeriksaan 2-3 tahun sekali. Jika gejala mitral stenosis menetap setelah
pemberian diuretik dan mengontrol kecepatan denyut jantung, maka koreksi
mekanis untuk stenosis perlu dilakukan.

21

22

Gambar 2.2. Managemen Mitral Stenosis

Pada percutaneous mitral commissurotomy (PMC), keberhasilan teknik dan


komplikasi tergantung dari pilihan pasien dan pengalaman operator. Hasil inisial yang
2
memuaskan, dengan area katup >1,5 cm tanpa mitral regurgitasi, dijumpai pada 80%
kasus. Komplikasi mayor termasuk kematian akibat prosedur tindakan 0,5-4%,
hemoperikardium 0,5-10%, embolisme 0,5-5%, dan regurgitasi berat
emergensi jarang diperlukan (<1%).

2-10%. Operasi

``Data follow-up klinis menunjukkan angka kelangsungan hidup setelah 10- 20


tahun berkisar 30-70%, tergantung dari karakteristik penderita.Ketika hasilnya tidak
memuaskan, maka tindakan operasi diperlukan sesudahnya.Sebaliknya, setelah
keberhasilan PMC, hasil jangka panjang cukup bagus pada kebanyakan kasus dan dapat
diprediksi dengan karakteristik anatomi dan klinis sebelum operasi, dan kualitas dari
hasilnya.Jika

gangguan

fungsional

muncul, biasanya berkaitan dengan stenosis

berulang.Keberhasilan PMC juga mengurangi resiko emboli.

Karakteristik yang tidakmenguntungkan untuk tindakan PMC yaitu:6


- Karakteristik klinis : usia tua, riwayat komisurotomi, NYHA kelas IV, fibrilasi
atrium permanen, hipertensi pulmonal yang berat.
- Karakteristik anatomis : kalsifikasi katup mitral, area katup mitral yang sangat
kecil, regurgitasi trikuspid yang berat.
Kontraindikasi tindakan PMC yaitu:
2
- Area katup mitral >1,5 cm

- Trombus atrium kiri


-

Regurgitasi mitral yang berat


-

Kalsifikasi komisura yang berat

Tanpa perlengketan komisura

Penyakit penyerta katup aorta yang berat, atau kombinasi stenosis trikuspid dan
regurgitasi yang berat.
PMC merupakan prosedur yang dipilih jika terdapat kontraindikasi operasi.Karena

adanya resiko terhadap tindakan ini, penderita yang asimtomatik tidak menjadi kandidat
untuk prosedur ini, kecuali pada kasus dimana terdapat tingginya resiko tromboemboli
atau dekompensasi hemodinamik.Pada pasien seperti ini, PMC hanya dilakukan jika
terdapat karakteristik yang menguntungkan dan dilakukan oleh operator yang
berpengalaman.

Manajemen penderita setelah keberhasilan PMC

sama dengan penderita

asimtomatik. Namun perlu berhati-hati bila terjadi stenosis berulang yang asimtomatik.
Jika PMC tidak berhasil dan gejela menetap, perlu dipertimbangkan tindakan operatif
kecuali jika terdapat kontraindikasi.

Pada penderita asimtomatik dengan mitral stenosis, tindakan operasi hanya


dilakukan pada resiko tinggi terjadinya komplikasi dan kontraindikasi tindakan PMC
seperti trombosis atrium kiri. Tindakan operasi yang sering digunakan yaitu open mitral
commissurotomy yang menggunakan kardiopulmoner bypass. Pada sebagian besar
penderita usia muda, hasil jangka panjang biasanya bagus dengan angka operasi ulang

untuk penggantian katup sebesar 0-7% dalam 36-53 bulan dan angka harapan hidup 10
tahun berkisar 81-90%.
Pada praktik sekarang, tindakan operasi untuk mitral stenosis sebagian besar berupa
penggantian katup jantung akibat tingginya penderita usia tua dan karakteristik yang
tidak menguntungkan untuk perbaikan katup. Angka mortalitas akibat tindakan operasi
penggantian katup jantung berkisar 3-10% dan berhubungan dengan usia, functional
class, hipertensi pulmonal, dan adanya penyakit jantung koroner. 10

Tabel 2.2.Indikasi PMC pada Mitral Stenosis dengan Area Katup 1,5 Cm
Kelas
PMC diindikasikan pada penderita
karakteristik yang menguntungkan.

Level
simtomatis

dengan I

PMC diindikasikan pada penderita simtomatis dengan I


kontraindikasi atau resiko tinggi untuk tindakan operasi.

PMC perlu dipertimbangkan sebagai terapi inisial pada penderita IIa


simtomatis dengan anatomi yang menguntungkan tetapi tanpa
karakteristik klinis yang tidak menguntungkan.

PMC perlu dipertimbangkan pada penderita asimtomatik tanpa IIa


karakteristik yang menguntungkan dan resiko tinggi
tromboemboli (riwayat emboli sebelumnya, kontras tebal dan
spontan pada atrium kiri, fibrilasi atrium paroksismal) dan atau
Resiko tinggi dekompensasi hemodinamik (tekanan pulmonal

sistolik >50 mmHg saat istirahat, memerlukan tindakan operasi besar


selain jantung, kehamilan)

26

BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Jantung merupakan organ vital pada sistem organ manusia. Fungsi
jantung yaitu untuk memompa darah yang mengandung oksigen dan nutrien
keseluruh tubuh. Jantung terdiri dari beberapa ruang yang dibatasi oleh beberapa
katub diantaranya adalah katub atrioventrikuler dan katub semilunar. Gangguan
pada katub-katub tersebut diantaranya ialah stenosis mitral dan insufisiensi
mitral.
Stenosis mitral ialah terhambatnya aliran darah dalam jantung akibat
perubahan struktur katub mitral yang menyebabkan tidak membukanya katub
mitral secara sempurna pada saat diastolik. Stenosis mitral merupakan kelaianan
katup yang paling sering diakibatkan oleh penyakit jantung rheumatik
(endokarditis reumatika),akibat reaksi yang progresif dari demam reumatik oleh
infeksi streptokokus. Penyebab lainya walaupun jarang dapat juga stenosis mitral
kongenital,

deformitas

erythematosus(SLE),

parasut

karsinosis

mitral,

sistemik,

vegetas
deposit

systemic

amiloid,

akibat

lupus
obat

fenfluramin/phentermin, rheumatoid arthritis (RA), serta kalsifikasi annulus


maupun daun katup pada usia lanjut akibat proses degeneratif.
Gejala-gejala yang timbul pada pasien mitral stenosis antara lain dispnea,
orthopnea, paroxysmal nocturnal dyspnea, hemoptisis, palpitasi, lelah, oedem kaki

27

dan nyeri dada. Gejala-gejala yang muncul tergantung dari derajat MS(mitral
stenosis). Stenosis mitral akan menyebabkan bronkopneumonia, hipertensi arteri
pulmonalis, hipertensi ventrikel kanan sehingga dapat mengakibatkan gagal
jantung kanan.

28

DAFTAR PUSTAKA

1. Bonow RO, Carabello BA, Chatterjee K, dkk. 2008 Focused


UpdateIncorporatedInto the ACC/AHA 2006 Guidelines for the
Management of Patients With Valvular Heart Disease. American Heart
Association, 2008.118:e523-e661.
2. Edwards MM, Gara PT, Lily LS. Valvular Heart Disease in Pathophysiology
of Heart Disease. Lippincott Williams & Wilkins. Edisi 4. 2007. 197-224.
3. Carabello BA. Modern Management of Mitral Stenosis. American Heart
Association, 2005. 112:432-437.
4. Bonow RO, Carabello BA, Leon AC, dkk. Guidelines for the Management
of Patients With Valvular Heart Disease. American Heart Association, 1998.
98:1949-1984.
5. Rahimtoola SH, Durairaj A, Mehra A, dkk. Current Evaluation and
Management of Patients With Mitral Stenosis. American Heart Association,
2002. 106:1183-1188.
6. Vahanian A, Alfieri O, Andreotti F, dkk. Guidelines on the Management of
Valvular Heart Disease. European Heart Journal, 2012. 33:2451-2496.
7. Baumgartner H, Hung J, Bermejo J, dkk. Echocardiographic Assessment of
Valve Stenosis. European Journal of Echocardiography, 2009. 10:1-25.
8. Bonow RO, Carabello BA, Chatterjee K, dkk. Management of Patients with
Valvular Heart Disease. American Heart Association, 2006.
9. Carabello BA, Chatterjee K, Leon AC, dkk. Guidelines for the Management
of Patients with Valvular Heart Disease. Journal of the American College of
Cardiology, 2006. 48(3):598-675.
10. Vahanian A, Baumgartner H, Vienna, dkk. Guidelines on the Management
of Valvular Heart Disease. European Heart Journal, 2007. 28:230-268.

You might also like