You are on page 1of 41

ANESTESI REGIONAL

A. Definisi
Anestesi regional adalah hambatan impuls nyeri suatu bagian tubuh
sementara pada impuls saraf sensorik, sehingga impuls nyeri dari satu bagian
tubuh diblokir untuk sementara (reversibel). Fungsi motorik dapat
terpengaruh sebagian atau seluruhnya. Tetapi pasien tetap sadar.
B. Pembagian Anestesi/Analgesia Regional
1.

Blok sentral (blok neuroaksial), yaitu meliputi blok spinal, epidural, dan
kaudal. Tindakan ini sering dikerjakan.

2.

Blok perifer (blok saraf), misalnya anestesi topikal, infiltrasi lokal, blok
lapangan, dan analgesia regional intravena.

Secara kimia, anestesi lokal digolongkan sebagai berikut :


1. Senyawa ester
Adanya ikatan ester sangat menentukan sifat anestesi lokal sebab pada
degradasi dan inaktivasi di dalam tubuh, gugus tersebut akan dihidrolisis.
Karena itu golongan ester umumnya kurang stabil dan mudah mengalami
metabolisme dibandingkan golongan amida. Contohnya: tetrakain, benzokain,
kokain, prokain dengan prokain sebagai prototip.
2. Senyawa amida
Contohnya senyawa amida adalah dibukain, lidokain, mepivakain dan
prilokain.

Tabel 1. Perbandingan golongan ester dan golongan amida


1

Klasifikasi

Potensi

Mula kerja

Lama kerja

Toksisitas

Ester
Prokain

1 (rendah)

Cepat

45-60

Rendah

Kloroprokain

3-4 (tinggi)

Sangat cepat

30-45

Sangat
rendah

Tetrakain

8-16 (tinggi)

Lambat

60-180

Sedang

Lidokain

1-2 (sedang)

Cepat

60-120

Sedang

Etidokain

4-8 (tinggi)

Lambat

240-480

Sedang

Prilokain

1-8 (rendah)

Lambat

60-120

Sedang

Mepivakain

1-5 (sedang)

Sedang

90-180

Tinggi

Bupivakain

4-8 (tinggi)

Lambat

240-480

Rendah

Ropivakain

4 (tinggi)

Lambat

240-480

Rendah

Levobupivakain 4 (tinggi)

Lambat

240-480

Amida

Tabel 2. Sifat beberapa anestetik lokal amida


Agen

Waktu-Paruh
Distribusi
(menit)

Eliminasi t1/2
(jam)

Vdss (L)

B (L/menit)

Bupivakain

28

3,5

72

0,47

Lidokain

10

1,6

91

0,95

Mepivakain

1,9

84

0,78

Prilokain

1,5

261

2,84

Ropivakain

23

4,2

47

0,44

B= bersihan, Vdss= volume distribusi pada keadaan stabil

Absorbsi obat:
2

- Absorbsi melewati mukosa, tapi tidak dapat melewati kulit yang utuh, harus
disuntik kejaringan subkutis.
- Obat vasokonstriktor yang ditambahkan pada larutan analgetik lokal
memperlambat absorbsi sistemik dengan akibat memperpanjang masa kerja
dan mempertinggi dosis maksimum.
- Mempengaruhi semua sel tubuh, dengan pedileksi khusus memblokir
hantaran saraf sensorik
- Kecepatan detoksikasi tergantung jenis obat berlangsung dengan pertolongan
enzim dalam darah dan hat. Sebagian dikeluarkan dalam bentuk bahan-bahan
degradasi dan sebagian dalam bentuk asal melalui ginjal (urin)
- Untuk daerah yang diperdahari oleh arteri buntu (end artery) seperti jari dan
penis dilarang menambah vasokonstriktor. Penambahan vasokonstriktor
hanya dilakukan untuk daerah tanpa arteri buntu umumnya digunakan
adrenalin dengan konsentrasi 1:200 000.

C. Keuntungan Anestesia Regional


1.

Alat minim dan teknik relatif sederhana, sehingga biaya relatif lebih
murah.

2.

Relatif aman untuk pasien yang tidak puasa (operasi emergency, lambung
penuh) karena penderita sadar.

3.

Tidak ada komplikasi jalan nafas dan respirasi.

4.

Tidak ada polusi kamar operasi oleh gas anestesi.

5.

Perawatan post operasi lebih ringan.

D. Kerugian Anestesia Regional


1.

Tidak semua penderita mau dilakukan anestesi secara regional.

2.

Membutuhkan kerjasama pasien yang kooperatif.

3.

Sulit diterapkan pada anak-anak.

4.

Tidak semua ahli bedah menyukai anestesi regional.

5.

Terdapat kemungkinan kegagalan pada teknik anestesi regional.

E. Persiapan Anestesi Regional


3

Persiapan anestesi regional sama dengan persiapan anestesi umum karena


untuk mengantisipasi terjadinya reaksi toksik sistemik yg bisa berakibat fatal,
perlu persiapan resusitasi. Misalnya: obat anestesi spinal/epidural masuk ke
pembuluh darah kolaps kardiovaskular sampai cardiac arrest. Juga untuk
mengantisipasi terjadinya kegagalan, sehingga operasi bisa dilanjutkan dg anestesi
umum.
PEMBAHASAN BLOK SENTRAL
Spinal dan Epidural Anestesi
Neuroaksial blok (spinal dan epidural anestesi) akan menyebabkan blok simpatis,
analgesia sensoris dan blok motoris (tergantung dari dosis, konsentrasi dan
volume obat anestesi lokal).
Terdapat perbedaan fisiologis dan farmakologis bermakna antara keduanya.
Tabel.3. Perbedaan Spinal Anestesi dan Epidural Anestesi

Blok neuroaksial akan menyebabkan blok simpatis, analgesia sensoris dan blok
motoris (tergantung dari dosis, konsentrasi, dan volume obat anestesi lokal).
4

I.

Anastesi Spinal

1. DEFINISI
Anestesi blok subaraknoid atau biasa disebut anestesi spinal adalah tindakan
anestesi dengan memasukan obat analgetik ke dalam ruang subaraknoid di daerah
vertebra lumbalis yang kemudian akan terjadi hambatan rangsang sensoris mulai dari
vertebra thorakal 4.[1][3]
2. INDIKASI
Untuk pembedahan,daerah tubuh yang dipersyarafi cabang T4 kebawah
(daerah papila mamae kebawah ). Dengan durasi operasi yang tidak terlalu lama,
maksimal 2-3 jam. [1][3]
3. KONTRA INDIKASI
Kontra indikasi pada teknik anestesi subaraknoid blok terbagi menjadi dua
yaitu kontra indikasi absolut dan relatif.
Kontra indikasi absolut :

Infeksi pada tempat suntikan. : Infeksi pada sekitar tempat suntikan bisa

menyebabkan penyebaran kuman ke dalam rongga subdural.


Hipovolemia berat karena dehidrasi, perdarahan, muntah ataupun diare. :

Karena pada anestesi spinal bisa memicu terjadinya hipovolemia.


Koagulapatia atau mendapat terapi koagulan.
Tekanan intrakranial meningkat. : dengan memasukkan obat kedalam
rongga subaraknoid, maka bisa makin menambah tinggi tekanan

intracranial, dan bisa menimbulkan komplikasi neurologis


Fasilitas resusitasi dan obat-obatan yang minim : pada anestesi spinal
bisa terjadi komplikasi seperti blok total, reaksi alergi dan lain-lain, maka

harus dipersiapkan fasilitas dan obat emergensi lainnya


Kurang pengalaman tanpa didampingi konsulen anestesi. : Hal ini dapat
menyebabkan kesalahan seperti misalnya cedera pada medulla spinalis,

keterampilan dokter anestesi sangat penting.


Pasien menolak.

Kontra indikasi relatif :

Infeksi sistemik : jika terjadi infeksi sistemik, perlu diperhatikan apakah


diperlukan

pemberian

antibiotic.

Perlu

dipikirkan

kemungkinan

penyebaran infeksi.
Infeksi sekitar tempat suntikan : bila ada infeksi di sekitar tempat

suntikan bisa dipilih lokasi yang lebih kranial atau lebih kaudal.
Kelainan neurologis : perlu dinilai kelainan neurologis sebelumnya agar
tidak membingungkan antara efek anestesi dan deficit neurologis yang

sudah ada pada pasien sebelumnya.


Kelainan psikis
Bedah lama : Masa kerja obat anestesi local adalah kurang lebih 90-120
menit, bisa ditambah dengan memberi adjuvant dan durasi bisa bertahan

hingga 150 menit.


Penyakit jantung : perlu dipertimbangkan jika terjadi komplikasi kea rah

jantung akibat efek obat anestesi local.


Hipovolemia ringan : sesuai prinsip obat anestesi, memantau terjadinya

hipovolemia bisa diatasi dengan pemberian obat-obatan atau cairan


Nyeri punggung kronik : kemungkinan pasien akan sulit saat diposisikan.
Hal ini berakibat sulitnya proses penusukan dan apabila dilakukan
berulang-ulang, dapat membuat pasien tidak nyaman.

4. STRUKTUR ANATOMI VERTEBRA


Gambar 1 : Kolumna Vertebralis

Tulang vertebra terdri dari 33 tulang: 7 buah tulang servikal, 12 buah tulang
torakal, 5 buah tulang lumbal, 5 buah tulang sakral. Tulang servikal, torakal dan
lumbal masih tetap dibedakan sampai usia berapapun, tetapi tulang sakral dan
koksigeus satu sama lain menyatu membentuk dua tulang yaitu tulang sakum dan
koksigeus.
Kolumna vertebralis mempunyai lima fungsi utama, yaitu: (1) menyangga
berat kepala dan dan batang tubuh, (2) melindungi medula spinalis, (3)
memungkinkan keluarnya nervi spinalis dari kanalis spinalis, (4) tempat untuk
perlekatan otot-otot, (5) memungkinkan gerakan kepala dan batang tubuh
Tulang vertebra secara gradual dari cranial ke caudal akan membesar sampai
mencapai maksimal pada tulang sakrum kemudian mengecil sampai apex dari
tulang koksigeus. Struktur demikian dikarenakan beban yang harus ditanggung
semakin membesar

dari cranial hingga caudal sampai kemudian beban tersebut

ditransmisikan menuju tulang pelvis melalui articulatio sacroilliaca.


Korpus vertebra selain dihubungkan oleh diskus intervertebralis juga oleh
suatu persendian sinovialis yang memungkinkan fleksibilitas tulang punggung,
kendati hanya memungkinkan pergerakan yang sedikit untuk mempertahankan
stabilitas kolumna vertebralis guna melindungi struktur medula spinalis yang
8

berjalan di dalamnya. Stabilitas kolumna vertebralis ditentukan oleh bentuk dan


kekuatan masing-masing vertebra, diskus intervertebralis, ligamen dan otot-otot.[4]
Hal penting yang perlu diperhatikan dalam melakukan anestesi subaraknoid
adalah lokasi medulla spinalis didalam kolumna vertebralis. Medulla spinalis
berjalan mulai dari foramen magnum kebawah hingga menuju ke konus medularis
(segmen akhir medulla spinalis sebelum terpecah menjadi kauda equina). Penting
diperhatikan bahwa lokasi konus medularis bervariasi antara vertebra T12 hingga L1.
Memperhatikan susunan anatomis dari vertebra, ada beberapa landmark yang
lazim digunakan untuk memperkirakan lokasi penting pada vertebra, diantaranya
adalah :
1. Vertebra C7 : Merupakan vertebra servikal dengan penonjolan yang
paling terlihat di daerah leher.
2. Papila Mamae : Lokasi ini kurang lebih berada di sekitar vertebra torakal
3-4
3. Epigastrium : Lokasi ini kurang lebih berada di sekitar vertebra torakal 56
4. Umbilikus : Lokasi ini berada setinggi vertebra torakal 10
5. Krista Iliaka : Lokasi ini berada setinggi kurang lebih vertebra lumbalis 45
Gambar 2 : Perjalanan Medulla Spinalis pada Kolumna Vertebralis

Berikut adalah susunan anatomis pada bagian yang akan dilakukan anestesi spinal.

Kutis
9

Subkutis : Ketebalannya berbeda-beda, akan lebih mudah mereba ruang

intervertebralis pada pasien yang memiliki lapisan subkutis yang tipis.


Ligamentum Supraspinosum: Ligamen yang menghubungkan ujung procesus

spinosus.
Ligamentum interspinosum
Ligamentum flavum : Ligamentum flavum cukup tebal, sampai sekitar 1 cm.
Sebagian besar terdiri dari jaringan elastis. Ligamen ini berjalan vertikal dari
lamina ke lamina. Ketika jarum berada dalam ligamen ini, akan terasa sensasi
mencengkeram dan berbeda. Sering kali bisa kita rasakan saat melewati

ligamentum dan masuk keruang epidural.


Epidural : Ruang epidural berisi pembuluh darah dan lemak. Jika darah yang
keluardari jarum spinal bukan CSF, kemungkinan vena epidural telah

tertusuk. Jarum spinal harus maju sedikit lebih jauh.


Duramater : Sensasi yang sama mungkin akan kita rasakan saat menembus

duramater seperti saat menembus epidural.


Subarachnoid : merupakan tempat kita akan menyuntikkan obat anestesi
spinal. Pada ruangan ini akan dijumpai likuor sereberospinalis (LCS) pada
penusukan.
Gambar 3 : Susunan Anatomi ligament vertebra

5. PERSIAPAN ANESTESI SPINAL


Persiapan yang diperlukan untuk melakukan anestesi spinal lebih sederhana
dibanding melakukan anestesi umum, namun selama operasi wajib diperhatikan
karena terkadang jika operator menghadapi penyulit dalam operasi dan operasi
10

menjadi lama, maka sewaktu-waktu prosedur secara darurat dapat diubah menjadi
anestesi umum.
Persiapan yang dibutuhkan untuk melakukan anestesi spinal adalah ;

Informed consent : Pasien sebelumnya diberi informasi tentang tindakan ini


(informed consent) meliputi tindakan anestesi, kemungkinan yang akan

terjadi selama operasi tindakan ini dan komplikasi yang mungkin terjadi.
Pemeriksaan fisik : Pemeriksaan fisik dilakukan meliputi daerah kulit
tempat penyuntikan untuk menyingkirkan adanya kontraindikasi seperti
infeksi. Perhatikan juga adanya gangguan anatomis seperti scoliosis atau
kifosis,atau pasien terlalu gemuk sehingga tonjolan processus spinosus tidak

teraba.
Pemeriksaan laboratorium anjuran: Pemeriksaan laboratorium yang perlu
dilakukan adalah penilaian hematokrit, Hb , masa protrombin (PT) dan masa
tromboplastin parsial (PTT) dilakukan bila diduga terdapat gangguan
pembekuan darah.

Persiapan yang dibutuhkan setelah persiapan pasien adalah persiapan alat dan
obat-obatan. Peralatan dan obat yang digunakan adalah :
1. Satu set monitor untuk memantau tekanan darah, Pulse oximetri, EKG.
2. Peralatan resusitasi / anestesia umum.
3. Jarum spinal. Jarum spinal dengan ujung tajam (ujung bambu runcing,
quincke bacock) atau jarum spinal dengan ujung pinsil (pencil point
4.
5.
6.
7.
8.

whitecare), dipersiapkan dua ukuran. Dewasa 26G atau 27G


Betadine, alkohol untuk antiseptic.
Kapas/ kasa steril dan plester.
Obat-obatan anestetik lokal.
Spuit 3 ml dan 5 ml.
Infus set.
Gambar 4 : Jenis Jarum Spinal

11

6. OBAT-OBATAN PADA ANESTESI SPINAL


Obat-obatan pada anestesi spinal pada prinsipmnya merupakan obat anestesi
local. Anestetik local adalah obat yang menghambat hantaran saraf bila dikenakan
pada jaringan saraf dengan kadar cukup. Paralisis pada sel saraf akibat anestesi local
bersifat reversible.
Obat anestesi local yang ideal sebaiknya tidak bersifat iritan terhadap
jaringan saraf. Batas keamanan harus lebar, dan onset dari obat harus sesingkat
mungkin dan masa kerja harus cukup lama. Zat anestesi local ini juga harus larut
dalam air.
Terdapat dua golongan besar pada obat anestesi local yaitu golongan amid
dan golongan ester. Keduanya hampir memiliki cara kerja yang sama namun hanya
berbeda pada struktur ikatan kimianya. Mekanisme kerja anestesi local ini adalah
menghambat pembentukan atau penghantaran impuls saraf. Tempat utama kerja obat
anestesi local adalah di membrane sel. Kerjanya adalah mengubah permeabilitas
membrane pada kanal Na+ sehingga tidak terbentuk potensial aksi yang nantinya
akan dihantarkan ke pusat nyeri.
Berat jenis cairan cerebrospinalis pada 37 derajat celcius adalah 1.003-1.008.
Anastetik local dengan berat jenis sama dengan LCS disebut isobaric. Anastetik local
dengan berat jenis lebih besar dari LCS disebut hiperbarik. Anastetik local dengan
berat jenis lebih kecil dari LCS disebut hipobarik. Anastetik local yang sering
digunakan adalah jenis hiperbarik diperoleh dengan mencampur anastetik local
dengan dextrose. Untuk jenis hipobarik biasanya digunakan tetrakain diperoleh
dengan mencampur dengan air injeksi.
Berikut adalah beberapa contoh sediaan yang terdapat di Indonesia dan umum
digunakan.

12

Lidokaine 5% dalam dextrose 7.5%: berat jenis 1.003, sifat hyperbaric, dosis
20-50mg(1-2ml).

Bupivakaine 0.5% dlm air: berat jenis 1.005, sifat isobaric, dosis 5-20mg.

Bupivakaine

0.5%

dlm

dextrose

8.25%:

berat

jenis

1.027,

sifat

hiperbarik,dosis 5-15mg(1-3ml).
Tabel 4. Jenis anestesi lokal
Prokain

Lidokain

Bupivakain

Golongan

Ester

Amida

Amida

Mula kerja

2 menit

5 menit

15 menit

Lama kerja

30-45 menit

45-90 menit

2-4 jam

Metabolisme

Plasma

Hepar

Hepar

Dosis maksimal
(mg/kgBB)

12

Potensi

15

Toksisitas

10

Tabel 5. Anestetik lokal yang paling sering digunakan


Anestetik lokal

Berat jenis

Sifat

Dosis

Lidokain
2% plain

1.006

Isobarik

20-100 mg (2-5 ml)

5% dalam
dekstrosa 7,5%

1.033

Hiperbarik

20-50 mg (1-2 ml)

0.5% dalam air

1.005

Isobarik

5-20 mg (1-4 ml)

0.5% dalam
dekstrosa 8.25%

1.027

Hiperbarik

5-15 mg (-3 ml)

Bupivakain

Obat Anestesi local memiliki efek tertentu di setiap system tubuh manusia. Berikut
adalah beberapa pengaruh pada system tubuh yang nantinya harus diperhatikan saat
melakukan anesthesia spinal.
13

1. Sistem Saraf : Pada dasarnya sesuai dengan prinsip kerja dari obat anestesi
local, menghambat terjadinya potensial aksi. Maka pada system saraf akan
terjadi paresis sementara akibat obat sampai obat tersebut dimetabolisme.
2. Sistem Respirasi : Jika obat anestesi local berinteraksi dengan saraf yang
bertanggung jawab untuk pernafasan seperti nervus frenikus, maka bisa
menyebabkan gangguan nafas karena kelumpuhan otot nafas.
3. Sistem Kardiovaskular : Obat anestesi local dapat menghambat impuls saraf.
Jika impuls pada system saraf otonom terhambat pada dosis tertentu, maka
bisa terjadi henti jantung. Pada dosis kecil dapat menyebabkan bradikardia.
Jika dosis yang masuk pembuluh darah cukup banyak, dapat terjadi aritmia,
hipotensi, hingga henti jantung. Maka sangat penting diperhatikan untuk
melakukan aspirasi saat menyuntikkan obat anestesi local agar tidak masuk
ke pembuluh darah.
4. Sistem Imun : Karena anestesi local memiliki gugus amin, maka
memungkinkan terjadi reaksi alergi. Penting untuk mengetahui riwayat alergi
pasien. Pada reaksi local dapat terjadi reaksi pelepasan histamine seperti
gatal, edema, eritema. Apabila tidak sengaja masuk ke pembuluh darah, dapat
menyebabkan reaksi anafilaktik.
5. Sistem Muskular : obat anestetik local bersifat miotoksik. Apabila
disuntikkan langsung kedalam otot maka dapat menimbulkan kontraksi yang
tidak teratur, bisa menyebabkan nekrosis otot.
6. Sistem Hematologi : obat anestetik dapat menyebabkan gangguan pembekuan
darah. Jika terjadi perdarahan maka membutuhkan penekanan yang lebih
lama saat menggunakan obat anestesi local.
Dalam penggunaan obat anestesi local, dapat ditambahkan dengan zat lain atau
adjuvant. Zat tersebut mempengaruhi kerja dari obat anestesi local khususnya pada
anestesi spinal. Tambahan yang sering dipakai adalah :
1. Vasokonstriktor : Vasokonstriktor sebagai adjuvant pada anestesi spinal dapat
berfungsi sebagai penambah durasi. Hal ini didasari oleh mekanisme kerja
obat anestesi local di ruang subaraknoid. Obat anestesi local dimetabolisme
lambat di dalam rongga subaraknoid. Dan proses pengeluarannya sangat
bergantung kepada pengeluaran oleh vena dan saluran limfe. Penambahan
obat vasokonstriktor bertujuan memperlambat clearance obat dari rongga
subaraknoid sehingga masa kerja obat menjadi lebih lama.
14

2. Obat Analgesik Opioid : digunakan sebagai adjuvant untuk mempercepat


onset terjadinya fase anestetik pada anestesi spinal. Analgesic opioid
misalnya fentanyl adalah obat yang sangat cepat larut dalam lemak. Hal ini
sejalan dengan struktur pembentuk saraf adalah lemak. Sehingga penyerapan
obat anestesi local menjadi semakin cepat. Penelitian juga menyatakan bahwa
penambahan analgesic opioid pada anestesi spinal menambah efek anestesi
post-operasi.
3. Klonidin : Pemberian klonidin sebagai adjuvant pada anestesi spinal dapat
menambah durasi pada anestesi. Namun perlu diperhatikan karena klonidin
adalah obat golongan Alfa 2 Agonis, maka harus diwaspadai terjadinya
hipotensi akibat vasodilatasi dan penurunan heart rate.
Dosis obat anestesi regional yang lazim digunakan untuk melakukan anestesi spinal
terdapat pada table dibawah ini.
Tabel.6. Dosis Obat Untuk Anestesi Spinal

7. TEKNIK ANESTESI SPINAL


Posisi duduk atau posisi tidur lateral dekubitus dengan tusukan pada garis tengah
ialah posisi yang paling sering dikerjakan. Biasanya dikerjakan di atas meja
operasi tanpa dipindah lagi dan hanya diperlukan sedikit perubahan posisi pasien.
1. Pasang IV line. Berikan Infus Dextrosa/NaCl/Ringer laktat sebanyak
500 - 1500 ml (pre-loading).
2. Oksigen diberikan dengan kanul hidung 2-4 L/Menit
15

3. Setelah dipasang alat monitor, pasien diposisikan dengan baik. Dapat


menggunakan 2 jenis posisi yaitu posisi duduk dan berbaring lateral.
4. Raba krista. Perpotongan antara garis yang menghubungkan kedua
krista iliaka dengan tulang punggung ialah L4 atau L4-L5.
5. Palpasi di garis tengah akan membantu untuk mengidentifikasi
ligamen interspinous.
6. Cari ruang interspinous cocok. Pada pasien obesitas anda mungkin
harus menekan cukup keras untuk merasakan proses spinosus.
7. Sterilkan tempat tusukan dengan betadine atau alkohol.
8. Beri anastesi lokal pada tempat tusukan,misalnya dengan lidokain 12% 2-3ml
9. Cara tusukan adalah median atau paramedian. Untuk jarum spinal
besar 22G, 23G atau 25G dapat langsung digunakan. Sedangkan
untuk jarum kecil 27G atau 29G dianjurkan menggunakan penuntun
jarum (introducer), yaitu jarum suntik biasa yaitu jarum suntik biasa
10cc.

Jarum

akan

menembus

kutis,

subkutis,

ligamentum

supraspinosum, ligamentum interspinosum, ligamentum flavum,


epidural, duramater, subarachnoid. Setelah mandrin jarum spinal
dicabut, cairan serebrospinal akan menetes keluar. Selanjutnya
disuntikkan obat analgesik ke dalam ruang arachnoid tersebut.

Gambar 5 : Posisi Lateral pada Spinal Anestesi

16

Gambar 6 : Posisi Duduk pada Spinal Anestesi

Teknik penusukan bisa dilakukan dengan dua pendekatan yaitu median dan
paramedian. Pada teknik medial, penusukan dilakukan tepat di garis tengah dari
sumbu tulang belakang. Pada tusukan paramedial, tusukan dilakukan 1,5cm lateral
dari garis tengah dan dilakukan tusukan sedikit dimiringkan ke kaudal.
Gambar 7 : Tusukan Medial dan Paramedial

17

Setelah melakukan penusukan, tindakan berikutnya adalah melakukan monitoring.


Tinggi anestesi dapat dinilai dengan memberikan rangsang pada dermatom di kulit.
Penilaian berikutnya yang sangat bermakna adalah fungsi motoric pasien dimana
pasien merasa kakinya tidak bisa digerakkan, kaki terasa hangat, kesemutan, dan
tidak terasa saat diberikan rangsang.

Hal yang perlu diperhatikan lagi adalah

pernapasan, tekanan darah dan denyut nadi. Tekanan darah bisa turun drastis akibat
spinal anestesi, terutama terjadi pada orang tua yang belum diberikan loading cairan.
Hal itu dapat kita sadari dengan melihat monitor dan keadaan umum pasien. Tekanan
darah pasien akan turun, kulit menjadi pucat, pusing, mual, berkeringat.
8. FAKTOR YANG MEMPENGARUHI ANESTESI SPINAL
Anestesia spinal dipengaruhi oleh beberapa factor. Diantaranya adalah :
Volume obat analgetik lokal: makin besar makin tinggi daerah
analgesia
Konsentrasi obat: makin pekat makin tinggi batas daerah analgesia
Barbotase: penyuntikan dan aspirasi berulang-ulang meninggikan
batas daerah analgetik.
Kecepatan: penyuntikan yang cepat menghasilkan batas analgesia
yang tinggi. Kecepatan penyuntikan yang dianjurkan: 3 detik untuk 1
ml larutan.

18

Maneuver

valsava:

mengejan

meninggikan

tekanan

liquor

serebrospinal dengan akibat batas analgesia bertambah tinggi.


Tempat pungsi: pengaruhnya besar pada L4-5 obat hiperbarik
cenderung berkumpul ke kaudal (saddle blok) pungsi L2-3 atau L3-4
obat cenderung menyebar ke cranial.
Berat jenis larutan: hiperbarik, isobarik atau hipobarik
Tekanan abdominal yang meningkat: dengan dosis yang sama didapat
batas analgesia yang lebih tinggi.
Tinggi pasien: makin tinggi makin panjang kolumna vertebralis makin
besar dosis yang diperlukan.(BB tidak berpengaruh terhadap dosis
obat)
Waktu: setelah 15 menit dari saat penyuntikan, umumnya larutan
analgetik sudah menetap sehingga batas analgesia tidak dapat lagi
diubah dengan posisi pasien.
9. MASALAH KLINIS PADA ANESTESI SPINAL
Pada praktik sehari-hari dapat ditemukan masalah saat melakukan anestesi
spinal, berikut adalah pendekatan dari beberapa masalah yang lazim ditemukan saat
melakukan anestesi spinal :
1. Jarum terasa sudah menembus bagian yang seharusnya tetapi belum ada
cairan yang keluar : Saat menemukan situasi seperti ini, tunggu kurang lebih
30 detik, kemudian coba putar 90 derajat jarum tersebut. Jika masih belum
didapatkan LCS, dapat dilakukan injeksi udara 1cc untuk mendorong jika ada
sumbatan pada jarum.
2. Terdapat darah yang keluar melalui jarum : tunggu sesaat, jika perdarahan
berhenti, lanjutkan prosedur. Jika darah terus menetes, kemungkinan saat
penusukan mengenai vena epidural. Jarum harus digerakkan lebih kedalam,
atau diarahkan sedikit lebih medial.
3. Pasien merasa nyeri tajam di kaki : kemungkinan jarum mengenai radiks
saraf. Segera cabut jarum dan ulang tusukan dengan arah lebih ke medial dari
tempat tusukan awal.
4. Jarum terasa menusuk tulang : perhatikan kembali posisi pasien apakah saat
dilakukan penusukan, pasien kurang melakukan fleksi tubuh sehingga celah
19

menjadi sempit. Perlu juga menenangkan pasien karena umumnya pasien


melakukan ekstensi saat menahan nyeri tusukan saat awal jarum mengenai
kulit.

10. KOMPLIKASI TINDAKAN ANESTESI SPINAL


Saat melakukan anestesi spinal ada beberapa komplikasi yang harus
diperhatikan. Sesuai dengan kerja obat dan pengaruhnya pada siste tubuh seperti.
Beberapa komplikasi tersebut diantaranya adalah :
1. Komplikasi Kardiovaskular
Insiden terjadi hipotensi akibat anestesi spinal adalah 10-40%. Hipotensi
terjadi karena vasodilatasi, akibat blok simpatis, yang menyebabkan terjadi
penurunan tekanan arteriola sistemik dan vena, makin tinggi blok makin berat
hipotensi. Cardiac output akan berkurang akibat dari penurunan venous
return. Hipotensi yang signifikan harus diobati dengan pemberian cairan
intravena yang sesuai dan penggunaan obat vasoaktif seperti efedrin atau
fenilefedrin. Cardiac arrest pernah dilaporkan pada pasien yang sehat pada
saat dilakukan anestesi spinal. Henti jantung bisa terjadi tiba-tiba biasanya
karena terjadi bradikardia yang berat walaupun hemodinamik pasien dalam
keadaan yang stabil. Pada kasus seperti ini,hipotensi atau hipoksia bukanlah
penyebab utama dari cardiac arrest tersebut tapi ia merupakan dari
mekanisme reflek bradikardi dan asistol yang disebut reflek Bezold-Jarisch.
Pencegahan hipotensi dilakukan dengan memberikan infuse cairan kristaloid
(NaCl, Ringerlaktat) secara cepat sebanyak 10-15ml/kgbb dalam 10 menit
segera setelah penyuntikan anesthesia spinal. Bila dengan cairan infuse cepat
tersebut masih terjadi hipotensi harus diobati dengan vasopressor seperti
efedrin intravena sebanyak 19 mg diulang setiap 3-4 menit sampai mencapai
tekanan darah yang dikehendaki. Bradikardia dapat terjadi karena aliran
darah balik berkurang atau karena blok simpatis,dapat diatasi dengan sulfas
atropine 1/8-1/4mg IV.
2. Blok Tinggi atau Total

20

Anestesi spinal tinggi atau total terjadi karena akibat dari kesalahan
perhitungan dosis yang diperlukan untuk satu suntikan. Komplikasi yang bisa
muncul dari hal ini adalah hipotensi, henti nafas, penurunan kesadaran,
paralisis motor, dan jika tidak diobati bisa menyebabkan henti jantung. Akibat
blok simpatetik yang cepat dan dilatasi arterial dan kapasitas pembuluh darah
vena, hipotensi adalah komplikasi yang paling sering terjadi pada anestesi
spinal. Hal ini menyebabkan terjadi penurunan sirkulasi darah ke organ vital
terutama otak dan jantung, yang cenderung menimbulkan sequel lain.
Penurunan sirkulasi ke serebral merupakan faktor penting yang menyebabkan
terjadi henti nafas pada anestesi spinal total. Walau bagaimanapun, terdapat
kemungkinan pengurangan kerja otot nafas terjadi akibat dari blok pada saraf
somatic interkostal. Aktivitas saraf phrenikus biasanya dipertahankan.
Berkurangnya aliran darah ke serebral mendorong terjadinya penurunan
kesadaran. Jika hipotensi ini tidak di atasi, sirkulasi jantung akan berkurang
seterusnya menyebabkan terjadi iskemik miokardiak yang mencetuskan
aritmia jantung dan akhirnya menyebakan henti jantung. Pengobatan yang cepat
sangat penting dalam mencegah terjadinya keadaan yang lebih serius, termasuk
pemberian cairan, vasopressor, dan pemberian oksigen bertekanan positif.
Setelah tingkat anestesi spinal berkurang, pasien akan kembali ke kedaaan
normal seperti sebelum operasi. Namun, tidak ada sequel yang permanen
yang disebabkan oleh komplikasi ini jika diatasi dengan pengobatan yang cepat dan
tepat.
3. Komplikasi Sistem Respirasi
Beberapa hal yang perlu diperhatikan dari system respirasi saat melakukan
anestesi spinal adalah :

Analisa gas darah cukup memuaskan pada blok spinal tinggi, bila
fungsi paru-paru normal.

Penderita PPOM atau COPD merupakan kontra indikasi untuk blok


spinal tinggi.

Apnoe dapat disebabkan karena blok spinal yang terlalu tinggi atau
karena hipotensi berat dan iskemia medulla.

21

Kesulitan bicara, batuk kering yang persisten, sesak nafas,


merupakan tanda-tanda tidak adekuatnya pernafasan yang perlu
segera ditangani dengan pernafasan buatan.[2]

4. Komplikasi Gastointestinal
Nausea dan muntah karena hipotensi, hipoksia, tonus parasimpatis
berlebihan, pemakaian obat narkotik, reflek karena traksi pada traktus
gastrointestinal serta komplikasi delayed, pusing kepala pasca pungsi lumbal
merupakan nyeri kepala dengan ciri khas terasa lebih berat pada perubahan
posisi dari tidur ke posisi tegak. Mulai terasa pada 24 - 48 jam pasca pungsi
lumbal, dengan kekerapan yang bervariasi. Pada orang tua lebih jarang dan
pada kehamilan meningkat. Untuk menangani komplikasi ini dapat diberikan
obat tambahan yaitu ondansetron atau diberikan ranitidine.
5. Nyeri Kepala (Puncture Headache)
Komplikasi yang paling sering dikeluhkan oleh pasien adalah nyeri
kepala. Nyeri kepala ini bisa terjadi selepas anestesi spinal atau tusukan pada
dural pada anestesi epidural. Insiden terjadi komplikasi ini tergantung
beberapa faktor seperti ukuran jarum yang digunakan.Semakin besar ukuran
jarum semakin besar resiko untuk terjadi nyeri kepala. Selain itu, insidensi
terjadi nyeri kepala juga adalah tinggi pada wanita muda dan pasien yang
dehidrasi. Nyeri kepala post suntikan biasanya muncul dalam 6 48 jam
selepas suntikan anestesi spinal. Nyeri kepala yang berdenyut biasanya
muncul di area oksipital dan menjalar ke retroorbital, dan sering disertai
dengan tanda diplopia, mual, dan muntah. Tanda yang paling signifikan nyeri
kepala spinal adalah nyeri makin bertambah bila pasien dipindahkan atau
berubah posisi dari tiduran/supinasi ke posisi duduk, dan akan berkurang atau
hilang total bila pasien tiduran. Terapi konservatif dalam waktu 24 48 jam
harus dicoba terlebih dahulu seperti tirah baring, rehidrasi (secara cairan oral
atau intravena), analgesic, dan suport yang kencang pada abdomen. Tekanan
pada vena cava akan menyebabkan terjadi perbendungan dari plexus vena
pelvik dan epidural, seterusnya menghentikan kebocoran dari cairan
serebrospinal

dengan

meningkatkan

tekanan

extradural.

Jika

terapi
22

konservatif tidak efektif, terapi yang aktif seperti suntikan salin ke dalam
epidural untuk menghentikan kebocoran. [2][6][7]
6. Komplikasi Sistem Respirasi
Komplikasi yang kedua paling sering adalah nyeri punggung akibat
dari tusukan jarum yang menyebabkan trauma pada periosteal atau ruptur dari
struktur ligament dengan atau tanpa hematoma intraligamentous. Nyeri
punggung akibat dari trauma suntikan jarum dapat di obatisecara simptomatik
dan akan menghilang dalam beberapa waktu yang singkat saja.
7. Komplikasi Sistem Respirasi
Insidensi defisit neurologi berat dari anestesi spinal adalah rendah.
Komplikasi neurologik yang paling benign adalah meningitis aseptik.
Sindrom ini muncul dalam waktu 24 jam setelah anestesi spinal ditandai
dengan demam, rigiditas nuchal dan fotofobia. Meningitis aseptic hanya
memerlukan pengobatan simptomatik dan biasanya akan menghilang dalam
beberapa hari. Sindrom cauda equina muncul setelah regresi dari blok
neuraxial. Sindrom ini mungkin dapat menjadi permanen atau bisa regresi
perlahan-lahan setelah beberapa minggu atau bulan. Ia ditandai dengan defisit
sensoris pada area perineal, inkontinensia urin dan fekal, dan derajat yang
bervariasi pada defisit motorik pada ekstremitas bawah. Komplikasi
neurologic yang paling serius adalah arachnoiditis adesif. Reaksi ini biasanya
terjadi beberapa minggu atau bulan setelah anestesi spinal dilakukan.
Sindrom ini ditandai oleh defisit sensoris dan kelemahan motorik pada
tungkai yang progresif. Pada penyakit ini terdapat reaksi proliferatif dari
meninges dan vasokonstriksi dari vasculature korda spinal. Iskemia dan
infark korda spinal bisa terjadi akibat dari hipotensi arterial yang lama.
Penggunaan epinefrin didalam obat anestesi bisa mengurangi aliran darah ke
korda spinal. Kerusakan pada korda spinal atau saraf akibat trauma tusukan
jarum pada spinal maupun epidural, kateter epidural atau suntikan solution
anestesi lokal intraneural sangat jarang, tapi tetap mungkin terjadi.
Perdarahan subaraknoid yang terjadi akibat anestesi regional sangat
jarang berlaku karena ukuran yang kecil dari struktur vaskular mayor didalam
ruang subaraknoid. Hanya pembuluh darah radikular lateral merupakan
23

pembuluh darah besar di area lumbar yang menyebar keruang subaraknoid


dari akar saraf. Sindrom spinal-arteri anterior akibat dari anesthesia adalah
jarang. Tanda utamanya adalah kelemahan motorik pada tungkai bawah
karena iskemia pada 2/3 anterior bawah korda spinal. Kehilangan fungsi
sensoris tidak merata adalah efek sekunder dari nekrosis iskemia pada akar
posterior saraf dan bukan akibat dari kerusakan didalam korda itu sendiri.
Terdapat tiga penyebab terjadinya sindrom spinal-arteri: kekurangan suplai
darah ke arteri spinal anterior karena terjadi gangguan suplai darah dari arteriarteri yang terganggu oleh operasi, kekurangan aliran darah dari arteri karena
hipotensi yang berlebihan, dan gangguan aliran darah sama ada dari kongesti
vena mahu pun obstruksi aliran.
Anestesi regional merupakan penyebab yang mungkin yang menyebabkan
terjadinya sindrom spinal-arteri anterior oleh beberapa faktor. Contohnya
anestesi spinal menggunakan obat anestesi lokal yang dicampurkan dengan
epinefrin. Jadi kemungkinan epinefrin yang menyebabkan vasokonstriksi
pada arteri spinal anterior atau pembuluh darah yang memberikan bekalan
darah. Hipotensi yang kadang timbul setelah anestesi regional dapat
menyebabkan kekurangan aliran darah.
Infeksi spinal sangat jarang kecuali dari penyebaran bakteri secara
hematogen yang berasal dari fokal infeksi di tempat lain. Jika anestesi spinal
diberikan kepada pasien yang mengalami bakteriemia, terdapat kemungkinan
terjadi penyebaran bakteri ke medulla spinalis. Maka penggunaan anestesi
spinal padapasien dengan bakteremia merupakan kontra indikasi relatif.
Jika infeksi terjadi di dalam ruang subaraknoid, akan menyebabkan
araknoiditis. Tanda yang paling menonjol pada komplikasi ini adalah nyeri
punggung yang berat, nyeri lokal, demam, leukositosis, dan rigiditas nuchal.
Oleh karena itu, tidak diperbolehkan jika menggunakan anestesi regional
pada pasien yang mengalami infeksi kulit lokal pada area lumbal atau yang
menderita selulitis. Pengobatan bagi komplikasi ini adalah dengan pemberian
antibiotik dan drainase jika perlu.
8. Komplikasi Traktus Urinarius
Disfungsi kandung kemih dapat terjadi selepas anestesi umum
maupun regional. Fungsi kandung kencing merupakan bagian yang fungsinya
24

kembali paling akhir pada analgesia spinal, umumnya berlangsung selama 24


jam. Kerusakan saraf pemanen merupakan komplikasi yang sangat jarang
terjadi.
Pencegahan

Pakailah jarum lumbal yang lebih halus (no. 23 atau no. 25).

Posisi jarum lumbal dengan bevel sejajar serat duramater.

Hidrasi adekuat, minum/infuse 3L selama 3 hari.

Pengobatan

Posisi berbaring terlentang minimal 24 jam

Hidrasi adekuat.

Hindari mengejan.

Bila cara diatas tidak berhasil pertimbangkan pemberian epidural


blood patch yakni penyuntikan darah pasien sendiri 5-10 ml ke
dalam ruang epidural. Cara ini umumnya memberikan hasil yang
nyata/segera (dalam waktu beberapa jam) pada lebih dari 90% kasus.

25

II.

Anestesia Epidural
Anestesia atau analgesia epidural adalah blokade saraf dengan
menempatkan obat di ruang epidural. Ruang ini berada di antara
ligamentum flavum dan duramater. Kedalaman ruang ini rata-rata 5 mm dan
di bagian posterior kedalaman maksimal pada daerah lumbal.
Obat anestetik lokal di ruang epidural bekerja langsung pada akar
saraf spinal yang terletak di lateral. Awal kerja anestesi epidural lebih
lambat dibanding anestesi spinal, sedangkan kualitas blokade sensorikmotorik juga lebih lemah.
Gambar 8 : Anestesi Epidural

Keuntungan epidural dibandingkan spinal :

Bisa segmental

Tidak terjadi headache post op

Hipotensi lambat terjadi

Kerugian epidural dibandingkan spinal :

Teknik lebih sulit

Jumlah obat anestesi lokal lebih besar

Reaksi sistemis

26

Komplikasi anestesi / analgesi epidural :


1. Blok tidak merata
2. Depresi kardiovaskular (hipotensi)
3. Hipoventilasi (hati-hati keracunan obat)
4. Mual muntah
Indikasi analgesia epidural:
1. Untuk analgesia saja, di mana operasi tidak dipertimbangkan. Sebuah
anestesi epidural untuk menghilangkan nyeri (misalnya pada persalinan)
kemungkinan tidak akan menyebabkan hilangnya kekuatan otot, tetapi
biasanya tidak cukup untuk operasi.
2. Sebagai tambahan untuk anestesi umum. Hal ini dapat mengurangi
kebutuhan pasien akan analgesik opioid. Ini cocok untuk berbagai macam
operasi, misalnya histerektomi, bedah ortopedi, bedah umum (misalnya
laparotomi) dan bedah vaskuler (misalnya perbaikan aneurisma aorta
terbuka).
3. Sebagai teknik tunggal untuk anestesi bedah. Beberapa operasi, yang
paling sering operasi caesar, dapat dilakukan dengan menggunakan
anestesi epidural sebagai teknik tunggal. Biasanya pasien akan tetap
terjaga selama operasi. Dosis yang dibutuhkan untuk anestesi jauh lebih
tinggi daripada yang diperlukan untuk analgesia.
4. Untuk analgesia pasca-operasi, di salah satu situasi di atas. Analgesik
diberikan ke dalam ruang epidural selama beberapa hari setelah operasi,
asalkan kateter telah dimasukkan.
5. Untuk perawatan sakit punggung. Injeksi dari analgesik dan steroid ke
dalam ruang epidural dapat meningkatkan beberapa bentuk sakit
punggung.
6. Untuk mengurangi rasa sakit kronis atau peringanan gejala dalam
perawatan terminal, biasanya dalam jangka pendek atau menengah.
Ada beberapa situasi di mana resiko epidural lebih tinggi dari biasanya :
1. Kelainan anatomis, seperti spina bifida, meningomyelocele, atau skoliosis
2. Operasi tulang belakang sebelumnya (di mana jaringan parut dapat
menghambat penyebaran obat)
27

3. Beberapa masalah sistem saraf pusat, termasuk multiple sclerosis


4. Beberapa masalah katup jantung (seperti stenosis aorta, di mana
vasodilatasi yang diinduksi oleh obat bius dapat mengganggu suplai darah
ke jantung)
Anestesi epidural sebaiknya dilakukan pada:
1. Kurangnya persetujuan
2. Gangguan pendarahan (koagulopati) atau penggunaan obat antikoagulan
(misalnya warfarin)
3. Risiko hematoma
4. Kompresi tulang belakang
5. Infeksi dekat titik penyisipan
6. Hipovolemia
Penyebaran obat pada anestesi epidural bergantung :
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.

Volume obat yg disuntikan


Usia pasien
Kecepatan suntikan
Besarnya dosis
Ketinggian tempat suntikan
Posisi pasien
Panjang kolumna vetebralis

Teknik anestesia epidural :


Pengenalan ruang epidural lebih sulit dibanding dengan ruang subarakhnoid.
1. Posisi pasien saat tusukan seperti pada analgesia spinal.
2. Tusukan jarum epidural biasanya dilakukan pada ketinggian L3-4.
3. Jarum yang digunakan ada 2 macam, yaitu:
a)

jarum ujung tajam (Crawford)

b)

jarum ujung khusus (Tuohy)


Gambar 9 : Jarum Anestesi Epidural

28

4. Untuk mengenal ruang epidural digunakan banyak teknik. Namun yang


paling populer adalah teknik hilangnya resistensi dan teknik tetes
tergantung.
a) Teknik hilangnya resistensi (loss of resistance)

Teknik ini menggunakan semprit kaca atau semprit plastik rendah


resistensi yang diisi oleh udara atau NaCl sebanyak 3ml. Setelah
diberikan anestetik lokal pada tempat suntikan, jarum epidural ditusuk
sedalam 1-2 cm. Kemudian udara atau NaCl disuntikkan perlahan dan
terputus-putus. Sembari mendorong jarum epidural sampai terasa
menembus jaringan keras (ligamentum flavum) yang disusul
hilangnya resistensi. Setelah yakin ujung jarum berada dalam ruang
epidural, lakukan uji dosis (test dose)
b) Teknik tetes tergantung (hanging drop)

Persiapan sama seperti teknik hilangnya resistensi, tetapi pada teknik


ini menggunakan jarum epidural yang diisi NaCl sampai terlihat ada
tetes Nacl yang menggantung. Dengan mendorong jarum epidural
perlahan secara lembut sampai terasa menembus jaringan keras yang
kemudian disusul oleh tersedotnya tetes NaCl ke ruang epidural.
Setelah yakin, lakukan uji dosis (test dose)
5. Uji dosis (test dose)
Uji dosis anestetik lokal untuk epidural dosis tunggal dilakukan setelah
ujung jarum diyakini berada dalam ruang epidural dan untuk dosis
29

berulang (kontinyu) melalui kateter. Masukkan anestetik lokal 3 ml yang


sudah bercampur adrenalin 1:200.000.
Tak ada efek setelah beberapa menit, kemungkinan besar letak jarum
sudah benar
Terjadi blokade spinal, menunjukkan obat sudah masuk ke ruang
subarakhnoid karena terlalu dalam.
Terjadi peningkatan laju nadi sampai 20-30%, kemungkinan obat
masuk vena epidural.
6. Cara penyuntikan: setelah yakin posisi jarum atau kateter benar, suntikkan
anestetik lokal secara bertahap setiap 3-5 menit sampai tercapai dosis total.
Suntikan terlalu cepat menyebabkan tekanan dalam ruang epidural
mendadak tinggi, sehingga menimbulkan peninggian tekanan intrakranial,
nyeri kepala dan gangguan sirkulasi pembuluh darah epidural.
7. Dosis maksimal dewasa muda sehat 1,6 ml/segmen yang tentunya
bergantung pada konsentrasi obat. Pada manula dan neonatus dosis
dikurangi sampai 50% dan pada wanita hamil dikurangi sampai 30%
akibat pengaruh hormon dan mengecilnya ruang epidural akibat ramainya
vaskularisasi darah dalam ruang epidural.
8. Uji keberhasilan epidural
Keberhasilan analgesia epidural :
a. Tentang blok simpatis diketahui dari perubahan suhu.
b. Tentang blok sensorik dari uji tusuk jarum.
c. Tentang blok motorik dari skala bromage
Melipat Lutut
Melipat Jari
Blok tak ada
++
++
Blok parsial
+
++
Blok hampir lengkap
+
Blok lengkap
Tabel 7. Skala bromage untuk Blok Motorik
Anestetik lokal yang digunakan untuk epidural
1.

Lidokain (Xylokain, Lidonest)


Umumnya digunakan 1-2%, dengan mula kerja 10 menit dan relaksasi
otot baik.
0.8% blokade sensorik baik tanpa blokade motorik.
30

1.5% lazim digunakan untuk pembedahan.


2% untuk relaksasi pasien berotot.
2.

Bupivakain (Markain)
Konsentrasi 0.5% tanpa adrenalin, analgesianya sampai 8 jam. Volum
yang digunakan <20ml.

Komplikasi:
1.
2.
3.
4.

Blok tidak merata


Depresi kardiovaskuler (hipotensi)
Hipoventilasi (hati-hati keracunan obat)
Mual-muntah

Tabel 8. Obat Anestesi Epidural

III. Anestesia Kaudal


Anestesi kaudal sebenarnya sama dengan anestesi epidural, karena
kanalis kaudalis adalah kepanjangan dari ruang epidural dan obat
ditempatkan di ruang kaudal melalui hiatus sakralis. Hiatus sakralis ditutup
oleh ligamentum sakrokoksigeal tanpa tulang yang analog dengan gabungan
antara

ligamentum

supraspinosum,

ligamentum

interspinosum,

dan
31

ligamentum flavum. Ruang kaudal berisi saraf sakral, pleksus venosus,


felum terminale dan kantong dura.
Indikasi : Bedah daerah sekitar perineum, anorektal misalnya hemoroid,
fistula paraanal.
Kontra indikasi : Seperti analgesia spinal dan analgesia epidural.
Teknik anestesia kaudal :
1. Posisi pasien terlungkup dengan simfisis diganjal (tungkai dan kepala
lebih rendah dari bokong) atau dekubitus lateral, terutama wanita hamil.
2. Dapat menggunakan jarum suntik biasa atau jarum dengan kateter vena
ukuran 20-22 pada pasien dewasa.
3. Untuk dewasa biasa digunakan volum 12-15 ml (1-2 ml/ segmen)
4. Identifikasi hiatus sakralis dengan menemukan kornu sakralis kanan dan
kiri dan spina iliaka superior posterior. Dengan menghubungkan ketiga
tonjolan tersebut diperoleh hiatus sakralis.
5. Setelah dilakukan tindakan a dan antisepsis pada daerah hiatus sakralis,
tusukkan jarum mula-mula 90o terhadap kulit. Setelah diyakini masuk
kanalis sakralis, ubah jarum jadi 45 0-600 dan jarum didorong sedalam 1-2
cm. Kemudian suntikan NaCl sebanyak 5 ml secara agak cepat sambil
meraba apakah ada pembengkakan di kulit untuk menguji apakah cairan
masuk dengan benar di kanalis kaudalis.

32

Gambar 10 : Anestesi Kaudal


IV. Anestesi Spinal Total
Anestesi spinal total ialah anestesi spinal intratekal atau epidural
yang naik sampai di atas daerah servikal. Anestesi ini biasanya tidak
disengaja, pasien batuk-batuk, dosis obat berlebihan, terutama pada
analgesia epidural dengan posisi pasien yang tidak menguntungkan.
Tanda-tanda klinis:
1. tangan kesemutan
2. lidah kesemutan
3. napas berat
4. mengantuk kemudian tidak sadar
5. bradikardi dan hipotensi berat
6. henti napas
7. pupil midriasi.
Walaupun saraf phrenikus mungkin terkena blokade namun henti
napas lebih disebabkan oleh hipoperfusi pusat kendali napas. Kejadian ini
timbul segera setelah tindakan atau setelah 30-45 menit kemudian. Kejadian
ini

bersifat

sementara

namun

apabila

tidak

ditanggulangi

dapat

mengakibatkan henti jantung yang dapat merenggut nyawa pasien.


Pengenalan dini anestesia spinal total ini amat penting agar pertolongan
dapat segera dilakukan.
Tindakan terhadap anestesi spinal total ini adalah dengan menaikkan
curah jantung, infus cairan koloid 2-3 L, menaikkan kedua tungkai,
kendalikan pernapasan dengan O2 100% kalau perlu dengan intubasi dan
intubasi ini dapat dilakukan dengan mudah karena telah terjadi relaksasi otot
maksimal, beri atropin untuk melawan bradikardi dan beri efedrin untuk
melawan hipotensi.
Efek Fisiologis Blok Neuroaksial
1. Efek Kardiovaskuler:
-

Akibat dari blok simpatis, akan terjadi penurunan tekanan darah (hipotensi).
Efek simpatektomi tergantung dari tinggi blok. Pada spinal, 2-6 dermatom di
33

atas level blok sensoris, sedangkan pada epidural, terjadi blok pada level yang
sama.
Hipotensi dapat dicegah dengan pemberian cairan (pre-loading) untuk
mengurangi hipovolemia relatif akibat vasodilatasi sebelum dilakukan
spinal/epidural anestesi, dan apabila telah terjadi hipotensi, dapat diterapi
dengan pemberian cairan dan vasopressor seperti efedrin.
-

Bila terjadi spinal tinggi atau high spinal (blok pada cardioaccelerator fiber
di T1-T4), dapat menyebabkan bradikardi sampai cardiac arrest.

2. Efek Respirasi:
-

Bila terjadi spinal tinggi atau high spinal (blok lebih dari dermatom T5)
mengakibatkan hipoperfusi dari pusat nafas di batang otak dan menyebabkan
terjadinya respiratory arrest.

Bisa juga terjadi blok pada nervus phrenicus sehingga menyebabkan


gangguan gerakan diafragma dan otot perut yg dibutuhkan untuk inspirasi
dan ekspirasi.

3. Efek Gastrointestinal:
-

Mual muntah akibat blok neuroaksial sebesar 20%, sehingga menyebabkan


hiperperistaltik gastrointestinal akibat aktivitas parasimpatis dikarenakan oleh
simpatis yg terblok. Hal ini menguntungkan pada operasi abdomen karena
kontraksi usus dapat menyebabkan kondisi operasi maksimal.

PEMBAHASAN BLOK PERIFER


Anestesi Lokal
Anestesi lokal adalah obat yang menghambat hantaran saraf bila digunakan
secara lokal pada jaringan saraf dengan kadar yang cukup. Obat bius lokal bekerja
pada tiap bagian susunan saraf.
Anestesi lokal ialah obat yang menghasilkan blokade konduksi atau blokade
lorong natrium pada dinding saraf secara sementara terhadap rangsang transmisi
sepanjang saraf, jika digunakan pada saraf sentral atau perifer.
34

Anestetik lokal setelah keluar dari saraf diikuti oleh pulihnya konduksi saraf
secara spontan dan lengkap tanpa diikuti oleh kerusakan struktur saraf.
Persyaratan obat yang boleh digunakan sebagai anestesi lokal:
1. Tidak mengiritasi dan tidak merusak jaringan saraf secara permanen
2. Batas keamanan harus lebar
3. Efektif dengan pemberian secara injeksi atau penggunaan setempat pada
membran mukosa
4. Mulai kerjanya harus sesingkat mungkin dan bertahan untuk jangka waktu
yang yang cukup lama
5. Dapat larut air dan menghasilkan larutan yang stabil, juga stabil terhadap
pemanasan.
Anestesi lokal sering kali digunakan secara parenteral (injeksi) pada
pembedahan kecil di mana anestesi umum tidak perlu atau tidak diinginkan. Di
Indonesia, yang paling banyak digunakan adalah lidokain dan bupivakain.
Mekanisme kerja
Obat bekerja pada reseptor spesifik pada saluran natrium (sodium-channel),
mencegah peningkatan permeabilitas sel saraf terhadap ion natrium dan kalium
sehingga tidak terjadi depolarisasi pada selaput saraf dan hasilnya, tidak terjadi
konduksi saraf.
Potensi dipengaruhi oleh kelarutan dalam lemak, makin larut makin poten.
Ikatan dengan protein (protein binding) mempengaruhi lama kerja dan konstanta
dissosiasi (pKa) menentukan awal kerja.
Konsentrasi minimal anestetika lokal (analog dengan MAC, minimum
alveolar concentration) dipengaruhi oleh:
1. Ukuran, jenis dan mielinisasi saraf
2. pH (asidosis menghambat blokade saraf)
3. Frekuensi stimulasi saraf
Mula kerja bergantung beberapa faktor, yaitu:

35

1. pKa mendekati pH fisiologis sehingga konsentrasi bagian tak terionisasi


meningkat dan dapat menembus membrane sel saraf sehingga menghasilkan
mula kerja cepat
2. Alkalinisasi anestetika lokal membuat awal kerja cepat
3. Konsentrasi obat anestetika lokal
Lama kerja dipengaruhi oleh:
1. Ikatan dengan protein plasma karena reseptor anestetika lokal adalah protein
2. Dipengaruhi oleh kecepatan absorpsi
3. Dipengaruhi oleh banyaknya pembuluh darah perifer di daerah pemberian
Efek samping terhadap sistem tubuh
Sistem kardiovaskular:
a. Depresi automatisasi miokard
b. Depresi kontraktilitas miokard
c. Dilatasi arteriolar
d. Dosis besar dapat menyebabkan disritmia/kolaps sirkulasi
Sistem pernafasan:
a. Relaksasi otot polos bronkus
b. Henti nafas akibat paralisis saraf frenikus
c. Paralisis interkostal
d. Depresi langsung pusat pengaturan nafas
Sistem saraf pusat:
a. Parestesia lidah
b. Pusing
c. Tinitus
d. Pandangan kabur
e. Agitasi
f. Depresi pernafasan
g. Tidak sadar
h. Konvulsi
i. Koma
Imunologi : reaksi alergi
36

Sistem muskuloskeletal : miotoksik (bupivakain > lidokain > prokain)


Komplikasi obat anestesi lokal
Obat anestesi lokal, melewati dosis tertentu merupakan zat toksik, sehingga
untuk tiap jenis obat anestesi lokal dicantumkan dosis maksimalnya. Komplikasi
dapat bersifat lokal atau sistemik
Komplikasi lokal
1. Terjadi ditempat suntikan berupa edema, abses, nekrosis dan gangrene.
2. Komplikasi infeksi hampir selalu disebabkan kelainan tindakan asepsis dan
antisepsis.
3. Iskemia jaringan dan nekrosis karena penambahan vasokonstriktor yang
disuntikkan pada daerah dengan end-artery.
Komplikasi sistemik
1. Manifestasi klinis umumnya berupa reaksi neurologis dan kardiovaskuler.
2. Pengaruh pada korteks serebri dan pusat yang lebih tinggi adalah berupa
perangsangan sedangkan pengaruh pada pons dan batang otak berupa
depresi.
3. Pengaruh kardiovaskuler adalah berupa penurunan tekanan darah dan
depresi miokardium serta gangguan hantaran listrik jantung.
A. Infiltrasi Lokal
Penyuntikan larutan analgetik lokal langsung diarahkan sekitar tempat lesi
B. Blok Lapangan (Field Block)
Infiltrasi sekitar lapangan operasi (contoh, untuk ekstirpasi tumor kecil)
C. Analgesia Permukaan (Topikal)
Obat analgetika lokal dioles atau disemprot di atas selaput mukosa
D. Analgesia Regional Intravena (Bier Block)
37

Anestesi jenis ini dapat dikerjakan untuk bedah singkat sekitar 45 menit
pada lengan atau tungkai. Biasanya dikerjakan untuk orang dewasa dan pada
lengan.
Teknik analgesia regional intravena:
1. Pasang kateter vena (venocath) pada kedua punggung tangan. Pada sisi
tangan atau lengan yang akan dibedah digunakan untuk memasukkan obat
anestetik lokal, sedangkan sisi lain untuk memasukkan obat-obat yang
diperlukan seandainya terjadi kegawatan atau diperlukan cairan infus.
2. Eksanguinasi (mengurangi darah) pada sisi lengan yang akan dibedah
dengan menaikkan lengan dan peraslah lengan secara manual atau dengan
bantuan perban elastik (eshmark bandage) dari distal ke proksimal.
Tindakan ini untuk mengurangi sirkulasi darah dan tentunya dosis obat.
3. Pasang pengukur tekanan darah pada lengan atas seperti akan mengukur
tekanan darah biasa dengan torniket atau manset ganda dan bagian proksimal
dikembangkan dahulu sampai 100 mmHg di atas tekanan sistolik supaya
darah arteri tidak masuk ke lengan dan tentunya juga darah vena tidak akan
masuk ke sistemik. Perban elastik dilepaskan.
4. Suntikkan lidokain atau prilokain 0,5% 0,6 ml/kg (bupivakain tidak
dianjurkan karena toksisitasnya besar) melalui kateter di punggung tangan
dan kalau untuk tungkai lewat vena punggung kaki dosis 1-1,2 ml/kg.
Analgesia tercapai dalam waktu 5-15 menit dan pembedahan dapat dimulai.
5. Setelah 20-30 menit atau kalau pasien merasa tak enak atau nyeri pada
torniket, kembangkan manset distal dan kempiskan manset proksimal.
6. Setelah pembedahan selesai, deflasi manset dilakukan secara bertahap, buka
tutup selang beberapa menit untuk menghindari keracunan obat. Pada bedah
sangat singkat, untuk mencegah keracunan sistemik, torniket harus tetap
dipertahankan selama 30 menit untuk memberi kesempatan obat keluar vena
menyebar dan melekat ke seluruh jaringan sekitar. Untuk tungkai jarang
dikerjakan karena banyak pilihan lain yang lebih mudah dan aman seperti
blok spinal, epidural, atau kaudal.
Beberapa anastetik lokal yang sering digunakan :
1. Kokain dalam bentuk topikal semprot 4% untuk mukosa jalan nafas atas.
Lama kerja 2-30 menit.
38

2. Prokain untuk infiltrasi larutan: 0,25-0,5%, blok saraf: 1-2%, dosis


15mg/kgBB dan lama kerja 30-60 menit.
3. Lidokain konsentrasi efektif minimal 0,25%, infiltrasi, mula kerja 10
menit, relaksasi otot cukup baik. Kerja sekitar 1-1,5 jam tergantung
konsentrasi larutan.
4. Bupivakain konsentrasi efektif minimal 0,125%, mula kerja lebih lambat
dibanding lidokain, tetapi lama kerja sampai 8 jam.

39

DAFTAR PUSTAKA

Medscape Reference [Internet] Subarachnoid Spinal Block [Updated on Aug, 5,


2013] Available at http://emedicine.medscape.com/article/2000841-overview.
Accessed on 2013 Oct 15
S, Kristanto, Anestesia Regional; Anestesiologi.- Bagian Anestesiologi dan Terapi
Intensif, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Jakarta : CV.
Infomedika, 2004; 123
S, Kristanto, Anestesia Regional; Anestesiologi.- Bagian Anestesiologi dan Terapi
Intensif, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Jakarta : CV.
Infomedika, 2004; 125-8
Netter, H Franks, Interactive Digital Atlas Anatomy [Digital E-Book], Vertebral
Column, Section. Icon Learning System, Rochester : Section #146.
Netter, H Franks, Interactive Digital Atlas Anatomy [Digital E-Book], Vertebral
Column, Section. Icon Learning System, Rochester : Section #154A
NYSORA New York School of Regional Anesthesia, [Internet] Subarachnoidal
Block

[Last

Update

Oct

2013],

Available

at

http://www.nysora.com/techniques/neuraxial-and-perineuraxialtechniques/landmark-based/spinal-epidural-cse/3423-spinal-anesthesia.html,
Accessed on 2013, Oct 15
University of Pittsburgh Online Reference [Internet] Subarachnoid spinal block
anesthesia.

[Last

Update

Jan

2013].

Available

at

http://www.pitt.edu/~regional/Spinal/Spinal.htm. Accessed on 2013, Oct, 15


Gan Gunawan, Sulistya et al. Farmakologi dan Terapi Edisi 5. Departemen
Farmakologi dan Terapeutik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,
Jakarta; Balai Penerbit FKUI, 259-72.
Khangure, Nicole in TOTW Anesthesia.- World Federation of Societies of
Anesthesiologist [Internet Journal] Neuraxial Anesthesia Adjuvant [Last
Update on July 4 2011] Available at .http://totw.anaesthesiologists.org/wpcontent/uploads/2011/07/230-Neuraxial-adjuvants.pdf
Christiansson, Lennart in Periodicum Biologorum; Update on Adjuvant in Regional
Anesthesi; UDC 57:61, CODEN PDBIAD, 2009, VOL. 111, No 2, 16170.
G. Edward Morgan, Jr., Maged S. Mikhail, Michael J. Murray. Clinical
Anesthesiology 4th Edition [Digital E-Book] Section Spinal, Epidural and
Caudal Anesthesia; Appleton and Lange, 2005. California: McGraw-Hill
Publishing.
40

Latief, Said. Analgesia Regional. Dalam: Petunjuk Praktis Anestesiologi edisi II.
Jakarta: Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FKUI. 2009
Dobson, M. B. dkk. Penuntun Praktis Anestesi. Jakarta: EGC. 1994
Werth, M. Pokok-pokok Anestesi. Jakarta: EGC. 2010
Morgan, Edward dkk. Clinical Anesthesiology Fourth Edition. McGraw-Hill
Companies. 2006

41

You might also like