You are on page 1of 38

BAB I

PENDAHULUAN

Rhinosinusitis merupakan salah satu penyakit di bagian THT yang akan sering
kita temui dalam kehidupan sehari-hari, bahkan dianggap sebagai salah satu penyebab
gangguan kesehatan tersering di seluruh dunia.1 Menurut data dari Divisi Rinologi
Departemen THT RSCM Januari-Agustus 2005, disebutkan bahwa jumlah pasien
rinologi pada kurun waktu tersebut adalah 435 pasien, 69%nya adalah sinusitis.2
Sinusitis didefinisikan sebagai inflamasi mukosa sinus paranasal. Umumnya
disertai atau dipicu oleh rinitis sehingga sering disebut rhinosinusitis. Berbagai
macam faktor etiologi dan predisposisi antara lain ISPA akibat virus, berbagai macam
rhinitis terutama rhinitis alergi, rhinitis hormonal pada wanita hamil, polip hidung,
kelainan anatomi seperti deviasi septum atau hipertrofi konka, sumbatan kompleks
ostio-meatal (KOM), infeksi tonsil, infeksi gigi, kelainan imunologik, diskinesia silia
seperti pada sindroma Kartagener, dan di luar negeri adalah penyakit fibrosis kistik.
Faktor lain yang juga berpengaruh adalah lingkungan berpolusi, udara dingin dan
kering serta kebiasaan merokok. Keadaan ini lama-lama dapat menyebabkan
perubahan mukosa dan merusak silia. Penyakit ini dapat menjadi berbahaya karena
menyebabkan komplikasi ke orbita dan intra kranial, serta menyebabkan peningkatan
serangan asma yang sulit diobati. Untuk itulah diperlukan pengetahuan yang benar
mengenai penyebab, patofisiologi, dan gejala rhinosinusitis yang penting untuk
mendiagnosis penyakit ini dan pada akhirnya berguna untuk penatalaksanaan penyakit
ini.1
Pada makalah ini akan banyak dibahas mengenai rhinosinusitis karena
berkaitan dengan keluhan utama pasien dalam ilustrasi kasus. Selain rhinosinusitis,
dalam makalah ini akan dibahas mengenai keluhan lainnya pada pasien ini yang
mungkin berhubungan dengan keluhan utama pasien, yaitu rhinitis alergi, deviasi
septum, disfagia, dan komplikasi post radiasi karsinoma nasofaring. Komplikasi post
radiasi pada karsinoma nasofaring dibahas pada makalah ini karena pasien merupakan
penderita karsinoma nasofaring post radiasi, radiasi pada pasien ini selesai pada bulan
Maret 2005.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1. Rhinosinusitis
II.1.1. Anatomi Sinus Paranasal
Sinus paranasal merupakan salah satu organ tubuh manusia yang sulit
dideskripsi karena bentuknya sangat bervariasi pada tiap individu. Sinus paranasal
adalah rongga-rongga di dalam tulang kepala yang terletak di sekitar hidung dan
mempunyai hubungan dengan rongga hidung melalui ostiumnya, yang merupakan
hasil pneumatisasi tulang-tulang kepala. Ada empat pasang sinus paranasal, mulai dari
yang terbesar yaitu sinus maksila, sinus frontal, sinus etmoid dan sinus sfenoid kanan
dan kiri.3,7
Secara embriologik, sinus paranasal berasal dari invaginasi mukosa rongga
hidung dan perkembangannya dimulai pada fetus usia 3-4 bulan, kecuali sinus sfenoid
dan sinus frontal. Sinus maksila dan sinus etmoid telah ada saat bayi lahir, sedangkan
sinus frontal berkembang dari sinus etmoid anterior pada anak yang berusia kurang
lebih 8 tahun. Pneumatisasi sinus sfenoid dimulai pada usia 8-10 tahun dan berasal
dari bagian postero-superior rongga hidung. Sinus-sinus ini umumnya mencapai besar
maksimal pada usia antara 15-18 tahun.7

Gambar 1 Sinus Paranasal

Gambar 2 Sinus

Paranasal tampak lateral.


Sinus Maksila7
Sinus maksila merupakan sinus paranasal yang terbesar. Saat lahir sinus
maksila bervolume 6-8 ml, sinus kemudian berkembang dengan cepat dan akhirnya
mencapai ukuran maksimal, yaitu 15 ml saat dewasa. Sinus maksila berbentuk
piramid. Dinding anterior sinus ialah permukaan fasial os maksila, dinding
posteriornya adalah permukaan infra-temporal maksila, dinding medialnya adalah
dinding lateral rongga hidung, dinding superiornya adalah dasar orbita dan dinding
inferiornya adalah prosesus alveolaris dan palatum. Ostium sinus maksila berada di
2

sebelah superior dinding medial sinus dan bermuara ke hiatus semilunaris melalui
infundibulum etmoid.
Dari segi klinik yang perlu diperhatikan dari anatomi sinus maksila adalah :
1. Dasar dari anatomi sinus maksila sangat berdekatan dengan akar gigi rahang
atas, yaitu premolar (P1 dan P2), molar (M1 dan M2), kadang-kadang juga
gigi taring dan gigi molar M3, bahkan akar-akar gigi tersebut dapat menonjol
ke dalam sinus, sehingga infeksi gigi geligi mudah naik ke atas menyebabkan
rhinosinusitis,
2. Rhinosinusitis maksila dapat menimbulkan komplikasi orbita,
3. Ostium sinus maksila terletak lebih tinggi dari dasar sinus, sehingga drainase
hanya tergantung dari gerak silia, lagipula drainase juga harus melalui
infundibulum yang sempit. Infundibulum adalah bagian dari sinus etmoid
anterior dan pembengkakan akibat radang atau alergi pada daerah ini dapat
menghalangi

drainase

sinus

maksila

dan

selanjutnya

menyebabkan

rhinosinusitis.
Sinus Frontal7
Sinus frontal yang terletak di os frontal mulai terbentuk sejak bulan ke empat
fetus, berasal dari sel-sel resesus frontal atau dari sel-sel infundibulum etmoid.
Sesudah lahir, sinus frontal mulai berkembang pada usia 8-10 tahun dan akan
mencapai ukuran maksimal sebelum usia 20 tahun.
Sinus frontal kanan dan kiri biasanya tidak simetris, satu lebih besar dari pada
lainnya dan dipisahkan oleh sekat yang terletak di garis tengah. Kurang lebih 15 %
orang dewasa hanya mempunyai satu sinus frontal dan kurang lebih 5 % sinus
frontalnya tidak berkembang.
Ukuran sinus frontal adalah 2,8 cm tingginya, lebarnya 2,4 cm dan dalamnya 2
cm. Sinus frontal biasanya bersekat-sekat dan tepi sinus berlekuk-lekuk. Tidak adanya
gambaran septum-septum atau lekuk-lekuk dinding sinus pada foto Rentgen
menunjukkan adanya infeksi sinus. Sinus frontal dipisahkan oleh tulang yang relatif
tipis dari orbita dan fosa serebri anterior, sehingga infeksi dari sinus frontal mudah
menjalar ke daerah ini.
Sinus frontal berdrainase melalui ostiumnya yang terletak di resesus frontal,
yang berhubungan dengan infundibulum etmoid.

Sinus Etmoid7
Dari semua sinus paranasal, sinus etmoid yang paling bervariasi dan akhirakhir ini dianggap paling penting, karena dapat merupakan fokus infeksi bagi sinussinus lainnya. Pada orang dewasa bentuk sinus etmoid seperti piramid dengan
dasarnya di bagian posterior. Ukurannya dari anterior ke posterior 4-5 cm, tinggi 2,4
cm dan lebarnya 0,5 cm di bagian anterior dan 1,5 cm di bagian posterior.
Sinus etmoid berongga-rongga, terdiri dari sel-sel yang menyerupai sarang
tawon, yang terdapat di dalam massa bagian lateral os etmoid, yang terletak di antara
konka media dan dinding medial orbita. Sel-sel ini jumlahnya bervariasi. Berdasarkan
letaknya, sinus etmoid dibagi menjadi sinus etmoid anterior yang bermuara di meatus
medius dan sinus etmoid posterior yang bermuara di meatus superior. Sel-sel sinus
etmoid anterior biasanya kecil-kecil dan banyak, letaknya di depan lempeng yang
menghubungkan bagian posterior konka media dengan dinding lateral (lamina
basalis), sedangkan sel-sel sinus etmoid posterior bianya lebih besar dan lebih sedikit
jumlahnya dan terletak di posterior dari lamina basalis.
Di bagian terdepan sinus etmoid anterior ada bagian yang sempit, disebut
resesus frontal, yang berhubungan dengan sinus frontal. Sel etmoid yang terbesar
disebut bula etmoid. Di daerah etmoid anterior terdapat suatu penyempitan yang
disebut infundibulum, tempat bermuaranya ostium sinus maksila. Pembengkakan atau
peradangan di resesus frontal dapat menyebabkan rhinosinusitis frontal dan
pembengkakan di infundibulum dapat menyebabkan rhinosinusitis maksila.
Atap sinus etmoid yang disebut fovea etmoidalis berbatasan dengan lamina
kribosa. Dinding lateral sinus adalah lamina papirasea yang sangat tipis dan
membatasi sinus etmoid dari rongga orbita. Di bagian belakang sinus etmoid posterior
berbatasan dengan sinus sfenoid.
Sinus Sfenoid7
Sinus sfenoid terletak dalam os sfenoid di belakang sinus etmoid posterior.
Sinus sfenoid dibagi dua oleh sekat yang disebut septum intersfenoid. Ukurannya
adalah 2 cm tingginya, dalamnya 2,3 cm dan lebarnya 1,7 cm. Volumenya bervariasi
dari 5 sampai 7,5 ml. Saat sinus berkembang, pembuluh darah dan nervus di bagian
lateral os sfenoid akan menjadi sangat berdekatan dengan rongga sinus dan tampak
sebagai indentasi pada dinding sinus sfenoid.

Batas-batasnya ialah sebelah superior terdapat fosa serebri media dan kelenjar
hipofisa, sebelah inferiornya atas nasofaring, sebelah lateral berbatasan dengan sinus
kavernosus dan arteri karotis interna (sering tampak sebagai indentasi) dan di sebelah
posteriornya berbatasan dengan fosa serebri posterior di daerah pons.

Kompleks Ostio-Meatal7
Pada sepertiga tengah dinding lateral hidung yaitu di meatus medius, ada
muara-muara saluran dari sinus maksila, sinus frontal dan sinus etmoid anterior.
Daerah ini rumit dan sempit, dan dinamakan kompleks ostio-meatal (KOM), terdiri
dari infundibulum etmoid yang terdapat di belakang prosesus unsinatus, resesus
frontalis, bula etmoid dan sel-sel etmoid anterior dengan ostiumnya dan ostium sinus
maksila.

Gambar 3. Kompleks Osteo-Meatal


Sistem Mukosiliar3,7
Hidung dan sinus paranasal seperti juga bagian traktus respiratorius lainnya,
dilapisi oleh mukosa yang terdiri dari epitel toraks berlapis semu bersilia dan di
antaranya terdapat sel-sel goblet penghasil lendir. Di bawahnya terdapat tunika
propria yang mengandung kelenjar seromukosa. Sekresi sel goblet dan kelenjar ini
membentuk palut lendir yang menutupi permukaan epitel. Silia dan palut lendir pada
hidung dan sinus merupakan sistem yang berfungsi untuk proteksi dan melembabkan
udara inspirasi dan disebut sebagai sistem mukosiliar. Di dalam sinus silia bergerak
secara teratur untuk mengalirkan lendir untuk dibuang, dari hidung ke arah posterior
dan dari sinus-sinus menuju ostium alamiahnya dengan jalur yang sudah tertentu
polanya.
5

Pada dinding lateral hidung terdapat dua aliran transpor mukosiliar dari sinus.
Lendir yang berasal dari kelompok sinus anterior yang bergabung di infundibulum
etmoid dialirkan ke nasofaring di depan muara tuba Eustachius. Lendir yang berasal
dari kelompok sinus posterior bergabung di resesus sfenoetmoidalis, dialirkan ke
nasofaring di postero-superior muara tuba. Inilah sebabnya pada sinusistis didapati
sekret pasca-nasal (post nasal drip), tetapi belum tentu ada sekret di rongga hidung.

II.1.2. Definisi dan Klasifikasi


Sinusitis didefinisikan sebagai inflamasi mukosa sinus paranasal. Umumnya
disertai atau dipicu oleh rinitis sehingga sering disebut rhinosinusitis. Bila mengenai
beberapa sinus disebut multisinusitis, sedangkan bila mengenai semua sinus paranasal
disebut pansinusitis.1
Mengenai pembagian rhinosinusitis, mengikuti konsensus internasional yang
diputuskan pada International Conference on Sinus Disease 1993 yang membagi
rhinosinusitis menjadi akut dan kronik.5
Tabel 1. Pembagian rhinosinusitis menurut International Conference on Sinus
Disease 1993.5
Kriteria Pembagian
1. Lama Penyakit
2. Jumlah episode serangan
akut
3. Reversibilas mukosa

Rhinosinusitis Akut
< 8 minggu
< 4 kali pertahun

Rhinosinusitis Kronik
>8 minggu
>4 kali pertahun

Mukosa kembali normal

Mukosa abnormal
menetap

Konsensus tahun 2004 membagi menjadi akut dengan batas sampai 4 minggu,
subakut antara 4 minggu sampai 3 bulan dan kronik jika lebih dari 3 bulan.1,5
Selain itu untuk rhinosinusitis yang disebabkan oleh jamur dapat dibagi
menjadi rhinosinusitis bentuk invasif dan non-invasif, dimana kedua bentuk tersebut
memiliki subtipe masing-masing. Rhinosinusitis bentuk invasif terdapat 2 macam,
yaitu rhinosinusitis jamur akut (fulminan) dan rhinosinusitis jamur kronik (indolen),
sedangkan rhinosinusitis bentuk non-invasif juga terdapat 2 macam, yaitu
misetoma/fungus ball dan rhinosinusitis alergi jamur.1,3

II.1.3. Etiologi dan Faktor Predisposisi


Ada berbagai faktor yang merupakan predisposisi atau penyebab terjadinya
rhinosinusitis, antara lain :
1. penyumbatan saluran sinus sehingga terjadi bendungan sekret di dalam sinus yang
akan mempermudah terjadinya infeksi yang disebabkan oleh
a. kelainan anatomi seperti deviasi septum atau hipertrofi konka,
b. sumbatan kompleks osteo-meatal (KOM),
c. polip, tumor, hipertrofi adenoid,
d. rinolit/benda asing di dalam rongga hidung,
2. infeksi saluran napas atas yang terutama disebabkan oleh virus, tetapi dapat juga
oleh bakteri atau jamur,
3. diskinesia silia seperti sindrom Kartagener,
4. infeksi apeks akar gigi dan sekitarnya, dan
5. lingkungan berpolusi, udara dingin dan kering serta kebiasaan merokok.
Menurut berbagai penelitian, patogen yang paling sering ditemukan pada
rhinosinusitis akut adalah Streptococcus pneumoniae (30-50 %), Haemophilus
influenzae (20-40 %) dan Moraxella catarrhalis (4 %), ditemukan pada 76 % pasien
dewasa. Pada anak, M. catarrhalis

lebih banyak ditemukan (20 %). Sedangkan

Staphylococcus aureus dan bakteri gram negatif lain ditemukan dalam jumlah
sedikit.1,4,5 Pada penyelidikan di sub bagian Rinologi THT FKUI tahun 1998 terhadap
30 pasien rhinosinusitis akut dan subakut didapati kuman-kuman positif dan negatif
Gram yang lebih kurang seimbang. Kuman positif Gram adalah Staphylococcus
epidermidis, Streptococcus pneumoniae, dan Streptococcus anhemolitikus, sedangkan
kuman negatif Gram adalah Pseudomonas sp.,

E, aerogenes, E. cloacae, A.

calcoaceticus, K. pneumoniae, dan P. mirabilis.5


Pada rhinosinusitis kronik, faktor predisposisi yang lebih berperan seperti
alergi, kelainan anatomis atau disfungsi imunitas, tetapi umumnya bakteri yang ada
lebih condong ke arah bakteri negatif gram dan anaerob. 3,4 Nina Irawati dalam
penelitiannya di sub bagian Rinologi bagian THT FKUI/RSCM, menemukan berbagai
varietas stafilokokus, bakteri negatif Gram dan anaerob sebagai penyebab
rhinosinusitis kronik.8
Selain itu, jamur juga dapat menyebabkan rhinosinusitis dimana terdapat 2
jenis yaitu yang invasif dan non invasif. Jamur yang menyebabkan rhinosinusitis non
invasif, antara lain Aspergillus sp., Pseudallescheria boydii, Schizophyllum commune,
7

dan Alternaria sp. Sedangkan rhinosinusitis invasif disebabkan oleh jamur


Aspergillus sp., Candida sp., dan Mucor sp.6
Angka kejadian rhinosinusitis jamur mulai meningkat dengan meningkatnya
pemakaian antibiotik, kortikosteroid, obat-obat imunosupresan dan radioterapi.
Rhinosinusitis jamur ini biasanya dapat terjadi pada pasien imunokompromais, seperti
diabetes melitus, neutropenia, penyakit AIDS.1,3,4,6
II.1.4. Patogenesis
Patogenesis rhinosinusitis itu multifaktor yang melibatkan interaksi antara
mekanisme pertahanan host dan organisme penyebab. Kunci dari patogenesis
rhinosinusitis adalah sistem transpor mukosiliar dan patensi ostium sinus.
Hidung dan sinus paranasal dilapisi oleh epitel kolumnar lapis bersilia. Sel
epitel goblet dan kelenjar seromukus submukosa menghasilkan lapiran sekret yang
memiliki dua komponen yaitu lapisan mukus pada permukaan dan lapisan akueus
dibawahnya. Sistem mukosilia akan memindahkan lapisan mukus ke ostium dan
kemudian ke nasofaring. Transpor mukosilia ini juga berfungsi sebagai pertahanan
terhadap infeksi dengan mengeluarkan bakteri dan partikel yang terinhalasi dari
hidung dan sinus. Selain itu lapisan akueus mengandung imunoglobulin seperti sIgA,
IgG, IgM dan molekul lainnya. Perubahan pada fungsi silia atau kualitas sekret
menyebabkan terganggunya sistem transpor dan memicu terjadinya rhinosinusitis.
Faktor lain yaitu patensi ostium sinus. Organ-organ yang membentuk KOM
letaknya berdekatan dan bila terjadi edema, mukosa yang saling berhadapan akan
saling bertemu sehingga silia tidak dapat bergerak dan ostium tersumbat. Ostium yang
tersumbat, baik sebagian atau total, menghasilkan stagnasi sekret, penurunan pH, dan
berkurangnya tekanan oksigen di dalam sinus yang menyebabkan terjadinya
transudasi, mula-mula serosa. Perubahan ini merupakan media yang baik untuk
pertumbuhan bakteri. Stagnasi sekret dan infeksi bakteri menyebabkan perubahan
pada epitel mukosa dan silia, yang dapat disebabkan oleh enzim proteolitik yang
dikeluarkan oleh leukosit. Hal ini memperparah sumbatan pada ostium, yang dapat
juga disebabkan oleh kentalnya sekret, sehingga tekanan oksigen di dalam sinus
semakin menurun hingga nol, yang dapat memicu pertumbuhan bakteri anaerob dan
fakultatif. Tekanan oksigen yang nol menurunkan mekanisme pertahanan lokal
melalui radikel bebas oksigen. Hal tersebut akan memperparah pembengkakan
mukosa dan ini merupakan rantai siklus yang terus berputar hingga akhirnya
8

perubahan mukosa menjadi kronik yaitu hipertrofi, polipoid atau pembentukan polip
dan kista.1,3,6
II.1.5 Gejala Klinis
Pada rhinosinusitis akut, gejala subjektif yang dirasakan ialah hidung
tersumbat disertai nyeri/rasa tekanan dan ingus purulen dan kental, yang seringkali
turun ke tenggorok (post nasal drip), dapat disertai gejala sistemik seperti demam dan
lesu. Pada rhinosinusitis maksila, nyeri ini dirasakan di pipi atau di gigi dan kadangkadang ada nyeri alih di dahi atau depan telinga. Pada rhinosinusitis etmoid, nyeri
terasa di pangkal hidung dan di medial mata, dan nyeri alih di pelipis. Pada
rhinosinusitis frontal terasa nyeri di dahi atau kepala bagian atas. Pada rhinosinusitis
sfenoid terasa nyeri di puncak atau bagian belakang kepala, di belakang bola mata
atau di daerah mastoid. Gejala lain adalah sakit kepala, hiposmia/anosmia, halitosis,
post nasal drip yang menyebabkan batuk dan sesak pada anak.
Pada rhinosinusitis subakut, tanda-tanda akut sudah berkurang dan rasa nyeri
tidak begitu terasa lagi.
Keluhan rhinosinusitis kronik tidak khas sehingga sulit didiagnosis. Keluhan
biasanya berupa hidung tersumbat dan mengeluarkan ingus yang kental dan berwarna
kuning atau hijau dan kadang-kadang menyebabkan nafas berbau disertai adanya
ingus yang turun ke tenggorok. Sering disertai gangguan indera penciuman dan iritasi
kronis pada tenggorok yang menyebabkan batuk yang tidak sembuh-sembuh.
Biasanya tidak ada rasa nyeri tetapi ada sakit kepala yang lokasinya tergantung sinus
yang terkena, dan sakit kepala ini lebih berat dirasakan pada pagi hari sewaktu bangun
tidur dan berkurang setelah melakukan aktivitas sehari-hari. Penderita rhinosinusitis
kronis terutama pada anak-anak dapat mengalami gangguan pendengaran karena
muara tuba Eustachiusnya tertutup oleh ingus yang mengalir ke belakang, dan
mukopus yang tertelan dapat menyebabkan gastroenteritis.1,3
Sedangkan untuk rhinosinusitis jamur biasanya seperti rhinosinusitis bakterial,
tetapi sekret hidungnya kental dengan bercak-bercak kehitaman untuk bentuk invasif
kronis. Rhinosinusitis jamur non-invasif biasanya gejala klinis menyerupai
rhinosinusitis kronis berupa rinore purulen, post nasal drip, dan napas bau.1
II.1.6. Diagnosis

Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan klinis dan


pemeriksaan penunjang.
Pada pemeriksaan klinis dengan rinoskopi anterior pada rhinosinusitis akut
tampak konka yang edema dan mukosanya hiperemis. Tanda khas ialah adanya pus di
meatus medius (pada rhinosinusitis maksila dan etmoid anterior dan frontal) atau di
meatus superior (pada rhinosinusitis etmoid posterior dan sfenoid). Pada anak sering
ada pembengkakan dan kemerahan di daerah kantus medius.1,3,6
Selain itu dapat dipikirkan diagnosis ke arah rhinosinusitis berdasarkan
anamnesis dengan memperhatikan faktor mayor dan minor, dimana mengarah ke
rhinosinusitis bila ditemukan 2 faktor mayor dan 1 faktor minor, atau 1 faktor mayor
dan 2 faktor minor.
Tabel 2. Faktor Mayor dan Minor dalam Diagnosis Rhinosinusitis Akut.4
Faktor Mayor
Nyeri atau nyeri tekan pada wajah
Kongesti wajah atau rasa penuh
Obstruksi hidung
Rinore dengan sekret purulen atau PND
Hiposmia atau anosmia
Sekret purulen di kavum nasi
Demam (hanya pada rinorhinosinusitis akut)
Faktor Minor
Sakit kepala
Demam (pada rhinosinusitis kronik)
Halitosis
Fatique
Nyeri gigi
Batuk
Nyeri telinga, rasa penuh atau tekanan
Dikutip dari Lanza DC et al: Adult rhinorhinosinusitis defined. Otolaryngol Head and
Neck Surg 1997:117:S1.
Pemeriksaan penunjang yang paling sederhana adalah transluminasi, yang
hanya dapat untuk menilai sinus maksila dan sinus frontal. Selain itu, dapat dilakukan
pemeriksaan radiologi seperti foto polos, CT-Scan, dan MRI. Posisi pada saat foto
polos yaitu posisi Waters, anteroposterior, dan lateral. Gambaran spesifik
rhinosinusitis pada foto polos adalah adanya perselubungan, penebalan mukosa lebih
dari 3 mm, dan batas udara-cairan (air fluid level). Tetapi foto polos buruk dalam
menvisualisasikan daerah kompleks osteomeatal dan sinus etmoid anterior.1,6
10

CT-Scan merupakan gold standard diagnosis rhinosinusitis karena mampu


menilai anatomi hidung dan sinus, adanya penyakit dalam sinus secara keseluruhan
dan perluasannya. Indikasi dilakukannya pemeriksaan CT scan adalah rhinosinusitis
refrakter kronik, rhinosinusitis dengan komplikasi, atau kemungkinan keganasan, dan
evaluasi pre operatif.1
Diagnosis juga dapat ditegakkan dengan melakukan pungsi sinus maksila, bila
keluar pus dari lubang pungsi ini membuktikan bahwa ada rhinosinusitis. Biasanya
pungsi juga dengan pengambilan sekret untuk pemerksaan mikrobiologi dan sekaligus
dilanjutkan dengan irigasi untuk penunjang pengobatan.
II.1.7. Terapi
Tujuan utama terapi rhinosinusitis adalah memulihkan fungsi normal sinus.
Terapi harus mampu meningkatkan drainase dan ventilasi sinus. Pada rhinosinusitis
akut adalah dengan eradikasi kuman agar inflamasi mukosa khususnya di ostium dan
sekitarnya reda sehingga drainase dan ventilasi sinus pulih.5,8
Pilihan antibiotik adalah empirik. Laporan bagian mikrobiologi RSCM tahun
1999 menunjukkan bahwa mikroba golongan -laktam hampir semuanya resisten
Penisillin. Pada pemberian bersama penghambat enzim -laktamase, maka kepekaan
ampisilin dan amoksisilin meningkat tajam. Sebagai antibiotik empirik lini pertama
dianjurkan pemberian amoksisilin 3x500 mg atau kotrimoksazol 2x480 mg.
Sedangkan antibiotik lini kedua yaitu amoksisilin klavulanat 3x625 mg atau ampisilin
sulbaktam atau sefalosporin generasi kedua antara lain cefuroxime 2x250 mg,
cefaclor 3x250 mg, cefixime 2x400 mg, cefradine, cefprozil, cefotiam. Antibiotik
alternatif adalah makrolid dan linkosamid. Durasi terapi adalah 10-14 hari.8
Selain pemberian antibiotik, pada rhinosinusitis akut juga dapat diberikan
dekongestan, mukolitik, kortikosteroid, irigasi hidung dan antral lavage. Dekongestan
merupakan obat -adrenergik yang memiliki efek vasokonstriksi. Pemberian dapat
melalui topikal ataupun sistemik. Penggunaan topikal harus dibatasi maksimal 5 hari
karena memiliki efek samping rinitis medikamentosa. Preparat yang tersedia untuk
dekongestan topikal antara lain nafazolin HCl, oksimetazolin HCl. Sedangkan
preparat oral antara lain efedrin HCl, pseudoefedrin HCl, fenilpropanolamin HCl, dan
fenilefrin.1,3,4,6,8

11

Mukolitik untuk mengurangi viskositas sekret. Preparat yang tersedia antara


lain preparat Iodida yang dapat meningkatkan aktivitas silia, memecah mukoprotein,
dan mungkin menstimulasi penghancuran fibrin, dan guanefesin.6
Irigasi hidung dapat membantu untuk mengeluarkan sekret yang tebal melalui
kavum nasi yang dapat dilakukan beberapa kali sehari.
Sedangkan pada rhinosinusitis kronis, kegunaan terapi medik terbatas.
Kecenderungan terjadi obstruksi sinus, inilah yang lebih berperan dan harus
diperbaiki. Pengobatan medik dasar adalah antibiotik jangka lama, dekongestan dan
kortikosteroid topikal.5,6
Pilihan antibiotika yaitu amoksisilin klavulanat atau ampisilin sulbaktam,
sefalosporin generasi kedua. Jika ada perbaikan, antibiotik diteruskan mencapai 10-14
hari atau lebih jika diperlukan. Jika tidak ada perbaikan dapat dipilih antibiotika
alternatif seperti makrolid, klindamisin, golongan kuinolon, atau sesuai dengan kultur.
Jika diduga ada bakteri anaerob dapat diberi metronidazol.8
Rhinosinusitis kronik yang tidak sembuh setelah pengobatan medik adekuat
dan optimal serta adanya kelainan mukosa menetap merupakan indikasi tindakan
bedah. Selain itu pasien dengan abnormalitas kompleks osteomeatal juga merupakan
indikasi tindakan pembedahan.4,6,8 Ada beberapa macam tindakan bedah sinus mulai
dari antrostomi meatus inferior, Caldwel-Luc, etmoidektomi intra dan ekstranasal,
trepanasi sinus frontal dan bedah sinus endoskopi fungsional.5
II.1.8 Komplikasi
Komplikasi ini biasanya terjadi pada kasus rhinosinusitis akut atau
rhinosinusitis kronis dengan eksaserbasi akut. Komplikasi rhinosinusitis sudah
semakin jarang setelah adanya pengobatan antibiotik. Tetapi pada masyarakat dengan
tingkat sosio-ekonomi rendah yang kurang gizi dan tidak terjangkau oleh fasilitas
kesehatan, komplikasi rhinosinusitis lebih sering terjadi dan dapat berakibat buruk
misalnya sampai menjadi buta atau bahkan kematian.3
Komplikasi yang terjadi dapat berupa kelainan pada orbita, kelainan
intrakranial, tulang, terbentuknya kista di dalam sinus, dan kelainan paru.
Kelainan pada orbita disebabkan oleh sinus paranasal yang berdekatan dengan
mata (orbita). Yang paling sering ialah rhinosinusitis etmoid, kemudian rhinosinusitis
frontal dan maksila. Penyebaran dapat melalui perkontinuitatum atau melalui sistem
vena yang tidak berkatup.1,3 Sinus etmoid yang paling sering terkena karena pembatas
12

antara sinus etmoid dengan orbita hanya lamina papirasea, yang tipis. Selain itu
sistem vena oftalmika tidak memiliki katup dan berhubungan dengan vena etmoid,
yang mempermudah jalan masuk untuk penyebaran infeksi ke orbita. 4 Kelainan yang
dapat ditimbulkan berupa edema palpebra, selulitis orbita, selulitis periorbita, abses
subperiosteal, abses orbita dan trombosis sinus kavernosus.1,3,4 Gejala yang dapat
terlihat sebagai pembengkakan kelopak mata, atau edema merata di seluruh orbita,
atau gangguan gerakan bola mata dan gangguan visus sampai jelas adanya abses yang
mengeluarkan pus.
Kelainan intrakranial dapat berupa meningitis, abses subdural, abses epidural,
abses otak, trombosis sinus kavernosus atau trombosis sinus sagitalis superior.
Rongga sinus frontal, etmoid dan sfenoid hanya dipisahkan dengan fosa kranii
anterior oleh dinding tulang yang tipis sehingga infeksi dapat meluas secara langsung
melalui erosi pada tulang. Penyebaran infeksi dapat juga melalui sistem vena.
Rhinosinusitis maksila karena infeksi gigi sering menyebabkan abses intrakranial.
Bila ada komplikasi intrakranial gejalanya dapat terlihat sebagai kesadaran yang
menurun atau kejang-kejang.3 Gejala okular pada trombosis sinus kavernosus yaitu
kemosis, menurunnya refleks pupil, oftalmoplegi, dan kebutaan yang biasanya
bilateral.4
Osteomielitis dan abses subperiosteal paling sering timbul akibat rhinosinusitis
frontal dan biasanya ditemukan pada anak-anak. Akan terlihat pembengkakan dahi
dan kelopak mata disertai rasa nyeri. Osteomielitis sinus maksila dapat menyebabkan
fistula oroantral atau fistula pada pipi atau pembengkakan pada pipi dan kelopak mata
bawah disertai rasa nyeri.1,3
Bila saluran keluar sinus tersumbat dapat timbul mukosil. Sering timbul di
sinus frontal meskipun dapat juga terjadi di sinus maksila, etmoid atau sfenoid. Di
dalam kista terjadi pengumpulan lendir yang steril yang kemudian menjadi kental.
Kista menjadi besar dan mendesak organ disekitarnya terutama orbita. Mukosil
menimbulkan gejala sakit kepala dan pembengkakan di atas sinus yang terkena.
Keluhan menjadi lebih hebat bila ada infeksi sehingga lendir berubah menjadi pus dan
disebut piosil.
Kelainan paru yang dapat terjadi seperti bronkitis kronik sampai bronkiektasis.
Rhinosinusitis kronis juga dapat menyebabkan kambuhnya asma bronkial yang sukar
hilang bila rhinosinusitisnya belum disembuhkan. 3

13

II.1.9. Prognosis
Prognosis rhinosinusitis akut baik, dengan perkiraan 70 % pasien dapat sembuh tanpa
pengobatan. Antibiotik mungkin dapat memendekkan keluhan pasien. Rhinosinusitis
kronis lebih memiliki prognosis yang bervariasi. Jika kelainan anatomi ditemukan dan
diatasi dengan pembedahan, memiliki prognosis yang baik. Lebih dari 90 % pasien
memiliki perkembangan yang baik dengan intervensi pembedahan. Bagaimanapun,
tetap cenderung akan relaps, sehingga regimen preventif diperlukan.4
II.2. Rhinitis Alergi
II.2.1. Definisi9
Definisi rhinitis alergi menurut WHO ARIA (Allergic Rhinitis and Its Impact
on Asthma) tahun 2001 adalah kelainan pada hidung dengan gejala bersin-bersin,
rinore, rasa gatal dan tersumbat setelah mukosa hidung terpapar alergen yang
diperantarai oleh IgE.
II.2.2. Patofisiologi9
Rinitis alergi merupakan kelainan pada hidung yang diinduksi oleh inflamasi
diperantarai oleh immunoglobulin E (IgE) pada membran yang melapisi hidung
setelah paparan alergen. Individu yang alergik menjadi tersensitisasi dan membentuk
antibody IgE dengan alergen seperti pollen, dust mites, kutu, dan spora jamur. Antigen
spesifik IgE berikatan dengan reseptor afinitas tinggi pada sel mast jaringan. Pada
paparan selanjutnya terhadap alergen spesifik, antigen berikatan dengan antibody IgE
pada sel mast, kemudian terjadi degranulasi sel mast, yang menyebabkan pelepasan
mediator kimia.
Respon alergi segera terhadap antigen disebut respon fase cepat, yang
berlangsung sejak kontak dengan alergen sampai 1 jam setelahnya. Mediator yang
terlepas selama fase ini meliputi histamine, kinin, protease, sitokin (seperti tumor
necrosis factor ) dan bermacam-macam interleukin. Aktivasi sel mast juga
menyebabkan produksi leukotrien dan prostaglandin dari asam arachidonic. Mediatormediator ini menghasilkan gejala-gejala rhinitis alergi, yaitu rinorea, bersih, dan gatal
dalam waktu beberapa menit setelah paparan.
Hal ini kemudian diikuti beberapa jam kemudian oleh respon fase lambat,
berlangsung 2-4 jam dengan puncak 6-8 jam setelah pemaparan dan dapat
berlangsung sampai 24-48 jam. Fase ini melibatkan infiltrasi sel inflamasi dan
14

pelepasan mediator ke mukosa nasal. Gejala-gejalanya mirip seperti respon fase cepat,
terutama hidung tersumbat.
Pada kontak pertama dengan alergen atau tahap sensitisasi, makrofag atau
monosit yang berperan sebagai sel penyaji (Antigen Presenting Cell/APC) akan
menangkap alergen yang menempel di permukaan mukosa hidung. Setelah diproses,
antigen akan membentuk fragmen pendek peptide dan bergabung dengan molekul
HLA kelas II membentuk komplek peptide MHC kelas II yang kemudian
dipresentasikan pada sel T helper (Th0). Kemudian sel penyaji akan melepas sitokin
seperti interleukin 1 (IL1) yang akan mengaktifkan Th0 untuk berproliferasi menjadi
Th1 dan Th2.
Th2 akan menghasilkan berbagai sitokin seperti IL3, IL4, IL5, dan IL13 dapat
diikat oleh reseptornya di permukaan sel limfosit B menjadi aktif dan akan
memproduksi imunoglobuli E (IgE). IgE di sirkulasi darah akan masuk ke jaringan
dan diikat oleh reseptor IgE di permukaan sel mastosit atau basofil (sel mediator)
sehingga kedua sel ini menjadi aktif. Proses ini disebut sensitisasi yang menghasilkan
sel mediator yang tersensitisasi. Bila mukosa yang sudah tersensitisasi terpapar
dengan alergen yang sama, maka kedua rantai IgE akan mengikat alergen spesifik dan
terjadi degranulasi mastosit dan basofil dengan akibat terlepasnya mediator kimia
yang sudah terbentuk terutama histamine. Selain histamine juga dikeluarkan Newly
Formed Mediators antara lain prostaglandin D2, Leukotrien D4, Leukotrien C4,
bradikinin, Platelet Activating Factor, dan berbagai sitokin.
Histamin akan merangsang reseptor H1 pada ujung saraf vidianus sehingga
menimbulkan rasa gatal pada hidung dan bersin-bersin. Histamin juga akan
menyebabkan hipersekresi kelenjar mukosa dan sel goblet dan permeabilitas kapiler
meningkat sehingga terjadi rinore. Gejala lain adalah hidung tersumbat akibat
vasodilatasi sinusoid. Selain itu, histamine juga menyebabkan perangsangan mukosa
hidung sehingga terjadi pengeluaran Inter Cellular Adhesion Molecule 1 (ICAM 1)
Pada RAFC, sela mastosit juga akan melepaskan molekul kemotaktik yang
menyebabkan akumulasi sel eosinofil dan netrofil di jaringan target. Gejala akan
berlanjut dan mencapai puncak 6-8 jam setelah pemaparan. Pada RAFL ini ditandai
dengan penambahan jenis dan jumlah sel inflamasi seperti eosinofil, limfosit, netrofil,
basofil, dan mastosit di mukosa hidung serta peningkatan sitokin seperti IL3, IL4,
IL5, GM-CSF, dan ICAM 1 pada secret hidung. Timbulnya gejala hipereaktif atauy
hiperesponsif hidung adalah akibat peranan eosinofil dengan mediator inflamasi dari
15

granulnya. Pada fase ini, selain faktor spesifik, iritasi oleh faltor nonspesifik dapat
memperberat gejala seperti asap rokok, bau yang merangsang, perubahan cuaca, dan
kelembaban udara yang tinggi.
Diagnosis rhinitis alergi memerlukan anamnesis yang detail dan akurat,
pemeriksaan fisik, dan investigasi alergi untuk membantu mengelompokkan pasien
dan identifikasi faktor pemicu. Anamnesis juga harus meliputi riwayat alergi pada
pasien dan keluarga, termasuk eczema, asma dan rhinitis alergi, serta lingkungan
tempat tinggal dan pekerjaan pasien. Gejala klasik rhinitis alergi yang biasanya ada
berupa hidung gatal, hidung iritatif, rinorea, dan gejala pada mata kadang dapat juga
ditemukan pada infeksi virus atau rhinitis vasomotor. Sebaliknya, tidak adanya gejala
ini tidak menyingkirkan rhinitis alergi. Pemeriksaan fisik harus difokuskan pada
hidung, tenggorokan, mata, telinga, dan bila perlu fungsi paru.
Pemeriksaan alergi dilakukan untuk menentukan adanya alergen spesifik IgE.
Hal ini dapat dilakukan dengan Prick test atau tes radioallergosorbent. Alergen dipilih
sesuai kemungkinan berdasarkan anamnesis. Tes positif harus sesuai dengan gejala
klinis rhinitis alergi untuk memastikan diagnosis.
II.2.3. Klasifikasi9
Klasifikasi rhinitis alergi dahulu berdasarkan waktu pajanan alergen, yaitu rhinitis
alergi musiman (seasonal) dan rhinitis alergi sepanjang tahun (perennial). Sistem
klasifikasi lebih baru, diajukan oleh Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma
(ARIA) pada tahu 2001, mengklasifikasikan rhinitis alergi menurut waktu gejala
muncul, yaitu rhinitis alergi intermiten dan rhinitis alergi persisten.
Tabel 1. Klasifikasi Rinitis Alergi
Waktu gejala timbul
Gejala timbul :
Intermiten

Kurang dari 4 hari seminggu, atau

Kurang dari 4 minggu


Gejala timbul :

Persisten

Lebih dari 4 hari seminggu, dan

Lebih dari 4 minggu


16

Keparahan dan kualitas hidup


Tidak ada gangguan tidur, aktivitas sehari-hari, olahraga, sekolah,
Ringan
atau kerja.
Tidak ada gejala yang mengganggu
Satu atau lebih gejala berikut:

Sedang
berat

Gangguan tidur

Gangguan aktivitas sehari-hari, olahraga

Gangguan sekolah atau bekerja

Gejala yang mengganggu

II.2.4. Penatalaksanaan Rinitis Alergi10,11,12


Tujuan penatalaksanaan rhinitis alergi adalah untuk mendapatkan gejala terkontrol
secara optimal. Tujuan ini dapat dicapai bergantung pada kondisi pemicu, gejala yang
ada, dan keparahan gejala.
Penghindaran alergen
Pendekatan pertama yang harus dipertimbangkan adalah meminimalkan paparan
terhadap faktor lingkungan pemicu. Pendekatan ini relatif tidak berbahaya. Meskipun
dua meta-analisis dari penghindaran alergen melalui reduksi antigen house dust mite
menunjukkan tidak bermakna, kedua peneliti menyatakan perlunya penelitian lain
yang lebih sesuai dengan praktik klinis. Tindakan penghindaran secara biologis
bermakna dan banyak klinisi menganggap tindakan ini bermakna. Hidung cukup
responsive terhadap penghindaran alergen daripada saluran nafas bawah.
Farmakoterapi
Pilihan obat-obat yang digunakan untuk pengobatan sendiri meliputi antihistamin,
kortikosteroid intranasal, dan dekongestan. Dari pilihan obat-obat ini, kortikosteroid
intranasal merupakan obat yang paling efektif dan dianggap terapi lini pertama untuk
rhinitis alergi persisten dan rhinitis alergi sedang berat pada dewasa. Pada metaanalisis, kortikosteroid intranasal menunjukkan lebih superior daripada antihistamin

17

dalam mengontrol gejala hidung pada rhinitis alergi. Selain itu, kortikosteroid
intranasal lebih cost-effective daripada antihistamin oral.
Kortikosteroid intranasal cukup ditoleransi dan dapat digunakan jangka
panjang tanpa atrofi mukosa nasal. Efek samping paling sering berupa iritasi lokal.
Penelitian pada dewasa menunjukkan efek samping minimal dengan penggunaan
steroid nasal pada dosis yang direkomendasikan. Selain itu, penelitian pada preparat
steroid baru, bahkan pada dosis relative tinggi, menunjukkan tidak ada efek steroid
sistemik pada aksis hipotalamik-pituitari-adrenal, dinilai berdasarkan konsentrasi
kortisol, stimulasi cosyntropin dan ekskresi kortisol bebas pada urin 24 jam.
Tidak terdapat bukti yang jelas bahwa satu preparat lebih efektif daripada yang
lain. Bioavailabilitas adalah persentase obat secara sistemik terdapat dalam darah
untuk kerja farmakologis setelah pemberian topical. Bioavailabilitas ini merefleksikan
absorpsi melalui mukosa nasal (lebih besar untuk obat-obat larut dalam air seperti
budesonide), absorpsi obat yang tertelan, dan derajat obat diinaktivasi oleh
metabolisme jalur pertama di hati.
Pilihan kortikosteroid intranasal tergantung pada kondisi individu, harga, dan
ketersediaan obat. Untuk anak dan semua pasien yang juga mendapatkan preparat
oral, inhalasi, atau sistemik, harus dipilih obat dengan availabilitas rendah
(flutikasone propionate, mometasone furoate), dan dosis kortikosteroid yang dipilih
harus disesuaikan dengan kortikosteroid total yang masuk.
Antihistamin yang masih tersedia dan digunakan secara ekstensif dengan
kombinasi dekongestan oral untuk pilek dan flu. Antihistamin ini biasanya
menyebabkan efek sistem saraf pusat seperti somnolen, sedasi, mengantuk, fatig,
hilang perhatian, dan gangguan psikomotor, demikian juag efek antikolinergik seperti
berkemih, impotensi, konstipasi, dan gejala gastrointestinal lain. Karena efek sedative,
obat-obat ini dikontraindikasikan untuk pasien yang memiliki aktivitas mengendarai
kendaraan. Obat ini bukan merupakan obat pilihan untuk anak-anak. Antihistamin
generasi kedua memiliki efek samping yang lebih baik.
Terapi efektif lain juga perlu perhatian dalam penggunaannya. Pada beberapa
kasus kongesti hidung berat, dekongestan intranasal dapat digunakan untuk 2-3 hari
untuk meningkatkan akses mukosa nasal untuk kortikosteroid intranasal, tetapi
penggunaan yang berlebihan dapat menyebabkan rhinitis medikamentosa.
Dekongestan oral berguna untuk kasus spesifik (sebagai contoh, jika pasien
akan bepergian dengan menggunakan pesawat). Akan tetapi, penggunaannya
18

dikontraindikasikan pada beberapa kelompok, meliputi pasien dengan hipertensi atau


penyakit arteri koroner, dan obat ini harus digunakan dengan hati-hati pada pasien
dengan

penyakit

jantung,

hipertiroidisme,

peningkatan

tekanan

intraokuler,

pembesaran prostate, atau disfungsi kandung kemih. Efek samping yang umum
melibatkan stimulasi sistem saraf pusat dan meliputi gugup, eksitasi, dan insomnia.
Obat tetes mata antialergi merupakan terapi adjuvant yang efektif ketika gejala
mata menetap di luar terapi. Mast-cell stabilisers dan cromones aman untuk
penggunaan jangka menengah atau jangka panjang, tetapi memerlukan penggunaan
yang teratur dan sering untuk mendapatkan hasil yang optimal.
Untuk pasien yang memiliki gejala yang tidak terkontrol dengan terapi over
the counter, pengobatan yang memerlukan resep harus tersedia, meliputi
kortikosteroid tertentu. Steroid sistemik hanya digunakan pada keadaan tertentu
dengan jangka pendek.
Pilihan pengobatan yang baru, seperti leukotriene-receptor antagonists (seperti
montelukast) sedang dievaluasi untuk menangani rhinitis alergi. Akan tetapi, hasil
untk diperoleh diperkirakan tidak lebih efektif daripada kortikosteroid intranasal.

Penatalaksanaan rhinitis alergi pada pasien remaja dan dewasa (WHO ARIA 2000)

19

DIAGNOSIS RINITIS ALERGI


(Anamnesis, pemeriksaan fisik, tes kulit atau IgE sp.)

Penghindaran alergen

Intermiten

Ringan

Persisten

Sedang/berat

-AH oral/
-AH topical/
-AH +
dekongestan oral

Ringan

Sedang/berat

-AH oral/topical/
-AH + dekongestan oral/
-KS topical

KS topikal

Terapi selama
2-4 minggu

Rinitis persisten
dievaluasi 2-4 minggu

Jika gagal : turun 1 tingkat


Jika membaik : terapi
diteruskan selama 1 bulan

Membaik
Terapi naik 1 tingkat dan
teruskan selama 1 bulan

Pertimbangan
imunoterapi

Dosis terapi
KS topical
dinaikkan

Gatal/ bersin
KS topical
+ AH oral

Rinore
menetap
+
Ipratropium
Bromida

Gagal
-Penilaian ulang diagnosis
-Penilaian kepatuhan
-Kelainan anatomi, infeksi
-Paparan alergen sangat tinggi

Sumbatan hidung
+ Dekongestan topical/
KS oral (jangka pendek
3-5 hari)
Gagal
Operasi

Imunoterapi (desensitisasi)
Efek yang menguntungkan dari imunoterapi spesifik alergen pada gejala dan kualitas
hidup pasien dengan rhinitis alergi telah diterima secara luas. Pasien dengan rhinitis
alergi dapat dipertimbangkan untuk imunoterapi berdasarkan keparahan gejala,
20

kegagalan

strategi

pengobatan

sebelumnya,

kemauan

untuk

menghindari

ketergantungan pada farmakoterapi, dan keberadaan komorbid.


Indikasi imunoterapi pada rhinitis alergi meliputi adanya riwayat yang
menunjukkan paparan terhadap alergen pencetus tertentu dan mengakibatkan
penyakit, terdapat sensitivitas terhadap aeroallergen yang relevan secara klinis,
paparan terhadap alergen selanjutnya tidak dapat dihindari atau hanya dapat sebagian
kecil dikurangi, dan respon yang jelek pada farmakoterapi sebelumnya untuk rhinitis
alergi.
Kontraindikasi imunoterapi pada rhinitis alergi meliputi gejala asma yang
tidak stabil, adanya penyakit lain seperti penyakit paru dan kardiovaskuler, kehamilan,
dan pasien yang mengkonsumsi beta-bloker.
II.3 Deviasi septum
Bentuk septum normal adalah lurus di tengah rongga hidung tetapi pada orang
dewasa biasanya septum nasi tidak lurus sempurna di garis tengah. Deviasi septum
yang ringan tidak akan mengganggu, akan tetapi bila deviasi itu cukup berat
menyebabkan penyempitan pada satu sisi hidung. Dengan demikian dapat
mengganggu fungsi hidung dan menyebabkan komplikasi.13
II.3.1. Etiologi
Penyebab yang paling sering adalah trauma. Trauma dapat terjadi sesudah lahir, pada
waktu partus, atau bahkan pada masa janin intauterin.
Penyabab lainnya adalah ketidakseimbangan pertumbuhan. Tulang rawan septum nasi
terus tumbuh, meskipun batas superior dan inferior terus menetap. Dengan demikian
terjadilah septum deviasi pada septum nasi itu.13
II.3.2. Bentuk Deformitas
Bentuk deformitas septum adalah:
1.

Deviasi, biasanya berbentuk huruf C atau S

2.

Dislokasi, yaitu bagian bawah kartilago septum ke luar dari krista maksila dan
masuk ke dalam rongga hidung

3.

Penonjolan tulang atau tulang rawan septum, bila memanjang dari depan ke
belakang disebut krista, dan bila sangat runcing disebut spina

21

4.

Bila deviasi atau krista septum bertemu dan melekat dengan konka
dihadapannya disebut sinekia. Bentuk ini akan menambah beratnya
obstruksi.13

II.3.3. Gejala Klinik


Keluhan yang paling sering pasa deviasi septum adalah sumbatan hidung. Sumbatan
biasa unilateral, dapat pula bilateral, sebab pada sisi deviasi terdapat konka hipotrofi,
sedangkan pada sisi sebelahnya terjadi konka yang hipertrofi sebagai akibat
mekanisme kompensasi.
Keluhan lainnya ialah rasa nyeri di kepala dan di sekitar mata. Selain itu penciuman
bisa terganggu, apabila terdapat deviasi pada bagain atas septum.
Deviasi septum dapat menyumbat ostium sinus sehingga merupakan faktor
predisposisi terjadinya rhinosinusitis.13
II.3.4. Terapi13
Bila gejala tidak ada atau keluhan sangat ringan, tidak perlu dilakukan tindakan
koreksi septum. Ada 2 jenis operatif yang dapat dilakukan pada pasien dengan
keluhan yang nyata yaitu reseksi submukosa dan septoplasti.
1. Resesi submukosa (Submucous Septum Resection / SMR)
Pada operasi ini mukosa perikondrium kedua sisi dilepaskan dari tulang rawan
dan tulang septum. Bagian tulang atau tulang rawan dari septum kemudian
diangkat, sehingga mukoperikondrium dan mukoperiosteum sisi kiri dan
kanan akan langsung langsung bertemu di garis tengah.
Reseksi submukosa dapat menyebabkan komplikasi seperti terjadinya hidung
pelana (saddle nose) akibat turunnya puncak hidung, oleh karena bagian atas
tulang rawan septum terlalu banyak diangkat.
2. Septoplasti atau reposisi septum
Pada operasi ini tulang rawan yang bengkok direposisi. Hanya bagian yang
berlebihan saja yan dikeluarkan. Dengan cara operasi ini dapat dicegah
komplikasi yang mungkin timbul pada operasi reseksi submukosa, seperti
terjadinya perforasi septum dan hidung pelana.

22

II.4. Disfagia14
Keluhan sulit menelan (disfagia), merupakan salah satu gejala kelainan atau penyakit
di orofaring dan kan otot-otot menelan dan gangguan transportasi makanan dari
rongga mulut ke lambung. Disfagia dapat disertai dengan keluhan lainnya seperti
odinofagia (rasa nyeri saat menelan), rasa panas di dada, muntah, regurgitasi,
hematemesis, melena, anoreksia, hipersaliva, batuk dan berat-badan yang semakin
berkurang. Manifestasi klinisnya sensasi makanan uang tersangkut di daerah leher
atau dada ketika menelan (sering).
Berdasarkan penyebabnya:
1. Disfagia mekanik
Penyebab utamanya adalah sumbatan lumen esophagus oleh massa tumor dan
benda asing, peradangan mukosa esophagus, striktur lumen esophagus, serta
akibat penekanan lumen esophagus dari luar, misalnya pembesaran kelenjar
bening di mediastinum, pembesaran jantung, dan elongasi aorta. Letak a.
subklavia dekstra yang abnormal disebut disfagia Lusoria. Disfagia mekanik
timbul jika ada penyempitan lumen esophagus (dilatasi tidak mencapai 2,5 cm,
normalnya 4 cm).
2. Disfagia motorik
Disebabkan kelainan neuromuscular yang beroeran dalam proses menelan.
Lesi di pusat menelan di batang otak, kelainan saraf otak n V, VII, IX, X, dan
XII, kelumpuhan otot faring dan lidah serta gangguan peristaltic esophagus
dapat menyebabkan disfagia.
Kelainan otot polos esophagus yang dipersarafi oleh komponen parasimpatik
n. vagus dan neuron nonkolinergik pasca ganglion di dalam ganglion
mienterik, menyebabkan gangguan kontraksi dinding esophagus dan relaksasi
sfingter esophagus bagian bawah.
Penyebab utama dari disfagia motorik adalah akalasia, spasme difus
esophagus, kelumpuhan otot faring dan scleroderma esophagus.
3. Disfagia oleh gangguan emosi
Disebut globus histerikus, jika terdapat gangguan emosi atau tekanan jiwa
yang berat.
II.4.1. Patogenesis disfagia
Keberhasilan mekanisme menelan bergantung pada:
a. Ukuran bolus makanan
b. Diameter lumen esophagus yang dilalui bolus
c. Kontraksi peristaltic esophagus
23

d. Fungsi sfingter esogagus bagian atas dan bagian bawah


e. Kerja otot-otot rongga mulut dan lidah
Integrasi fungsional yang sempurna jika system neuromuscular mulai dari SSP, batang
otak, persarafan sensorik dinding faring dan uvula, persarafan ekstrinsik serta
persarafan intrinsic otot-otot esophagus bekerja dengan baik, sehingga aktivitas
motorik berjalan lancar. Kerusakan pada pusat menelan menyebabkan kegagalan
aktivitas komponen orofaring, otot lurik esophagus dan sfingter esophagus bagian atas
juga mendapat persarafan dari inti motor n. vagus, maka aktivitas peristaltic
esophagus masih tampak pada kelainan di otak. Relaksasi sfingter esophagus bagian
bawah akibat peregangan langsung dinding esophagus.
Fisiologi menelan
1.
2.
3.
4.
5.

Pembentukan bolus makanan dengan ukuran dan konsistensi yang baik


Upaya sfingter mencegah terhamburnya bolus ini dalam fase-fase menelan.
Mencegah masuknya bolus makanan ke dalam faring pada saat respirasi.
Mencegah masuknya makanan dan minuman ke dalam nasofaring dan laring.
Kerjasama yang baik dari otot rongga mulut untuk mendorong makanan

masuk ke lambung.
6. Usaha untuk membersihkan kembali esophagus.
Semua proses di atas terjadi secara berkesinambungan. Dan proses menelan dibagi ke
dalam tiga fase, yaitu fase oral, fase faringeal dan fase oral.
Fase oral
Fase oral terjadi secara sadar. Pada fase ini terjadi kontraksi otot intrinsik lidah yaitu
m. levator veli palatine dan beberapa otot lainnya yaitu m. palatoglossus, m.
palatofaring. Makanan yang dikunyah akan bercampur dengan liur dan membentuk
bolus makanan. Bolus kemudian bergerak melalui dorsum lidah, yang terletak di
tengah lidah, akibat kontraksi otot m. levator veli palatine ketika otot ini berkontraksi
maka rongga pada lekukan dorsum lidah menjadi lebih luas, palatum mole terangkat,
dan Passavants ridge (dinding posterior faring) akan terangkat pula dan bolus
terdorong masuk ke dalam faring. Kemudian kontrakasi otot m. levator veli palatine
dan mengakibatkan penutupan nasofaring. Selanjutnya kontraksi m. palatoglosus
akan menyebabkan ismus fausium tertutup dan selanjutnya terjadi kontraksi m.
palatoglossus yang mencegah bolus makanan tidak akan berbalik kembali ke rongga
mulut.
24

Fase faringeal
Berbeda dengan fase oral yang terjadi secara sedar, fase faringeal terjadi secara
refleks. Pada fase faringeal terjadi perpindahan bolus makanan dari faring ke
esophagus. Pada fase faringeal terjadi beberapa hal sebagai berikut, yaitu:
1. Faring dan laring bergerak ke atas oleh kontraksi m. stilofaring, m.
salfingofaring, m. tirohioid, m. palatofaring.
2. Aditus laring tertutup oleh epiglotis.
3. Ketiga sfingter laring, yaitu plika ariepiglotika, plika ventrikularis, plika
vokalis akan tertutup karena kontraksi m. ariepiglotika dan m. aritenoid
obliqus.
4. Pada saat ini juga terjadi penghentian aliran udara ke laring (akibat refleks
penghambat pernafasan) sehingga bolus makanan tidak masuk ke dalam
saluran nafas.
5. Valekula dan sinus piriformis berada dalam keadaan lurus dan makanan
meluncur ke esophagus.

Fase esofagal
Pada fase ini terjadi perpindahan makanan dari esophagus ke lambung. Pada fase
akhir fase faringeal maka m. krikofaring akan berelaksasi sehingga introitus yang
menutup menjadi terbuka sehingga bolus kemudian masuk ke dalam lambung. Ketika
bolus berhasil lewat, kontraksi esophagus yang terjadi akan semakin kuat dengan
tujuan menghindari refluks. Pada awalnya kontraksi esophagus yang terjadi
diakibatkan oleh kontraksi m. konstriktor faring inferior selanjutnya kontraksi yang
terjadi akibat gerakan peristaltic esophagus. Dalam keadaan istirahat sfingter
esophagus selalu tertutup dengan tekanan rata-rata 8 mmHg lebih tinggi daripada
tekanan di lambung. Pada akhir fase esophagus, sfingter esophagus akan kembali
membuka ketika dimulainya sfingter esophagus servikal untuk medorong makanan ke
distal. Selanjutnya sfingter ini akan kembali menutup ketika makanan telah masuk ke
lambung.
II.4.2. Diagnosis
Anamnesis

25

Pada anamnesis perlu dibedakan apakah disfagia yang terjadi adalah disfagia mekanik
atau disfagia motorik. Pasien disfagia akan ditemukan riwayat makan makanan yang
dapat menyebabkan disfagia. Pada disfagia mekanik kesulitan menelan mula-mula
hanya untuk menelan makanan padat. Sedangkan pada disfagia motorik terjadi
kesulitan menelan makanan padat dan cair pada saat bersamaan. Disfagia yang terjadi
selamam beberapa hari saja dapat disebabkan oleh peradangan. Kesulitan menelan
yang terjadi selama berbulan-bulan dan penurunan berat badan perlu dicurigai sebagai
keganasan di esophagus. Dan bila terjadi kesulitan menelan selama bertahun-tahun
dapat dicurigai sebagai kelainan jinak di esophagus distal (lower esophageal
muscular ring). Adanya rasa sumbatan di daerah dada dapat menunjukkan kelainan
esophagus di bagian torakal, tetapi bila sumbatan terjadi di leher maka kelainnannya
dapat terjadi di faring atau esophagus servikal. Terdapat gejala lain yang menyertai
seperti masuknya cairan ke dalam hidung yang menandakan kelumpuhan otot faring.
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik yang dilakukan, antara lain:
1. Pemeriksaan daerah leher untuk menemukan massa tumor atau perbesaran
kelenjar limfa.
2. Pemriksaan rongga mulut yang dilakukan untuk menemukan tanda peradangan
orofaring dan tonsil, serta massa tumor, kelumpuhan otot lidah dan arcus
faring yang disebabkan oleh gangguan pada pusat menelan di otak maupun
n.V, n.VII, n.IX, n.X, n.XII.
3. Pemeriksaan toraks yang dilakukan untuk menemukan adanya perbesaran
jantung kiri, elongasi aorta, tumor bronkus kiri, perbesaran kelenjar limfa
mediastinum.

Pemeriksaan Radiologi
Pemeriksaan yang dapat dilakukan untuk menegakkan penyebab disfagia antara lain:
1. Foto polos esophagus dengan zat kontras.
2. Pemeriksaan kontras ganda dapat memperlihatkan adanya karsinoma stadium
dini.
3. Pemeriksaan fluoroskopi untuk melihat kelenturan dinding esophagus, ada
tidaknya gangguan peristaltik, penekanan lumen esophagus dari luar, isi lumen
esophagus dan kadang kelainan mukosa esophagus.
26

4. Tomogram dan CT scan dapat digunakan jntuk mengevaluasi bentuk


esophagus dan jaringan disekitarnya.
5. MRI untuk mengamati adanya kelainan di otak yang menyebabkan disfagia
motorik.
6. Rekaman cine film atau video tape untuk merekam adanya kelainan
esophagus.

Pemeriksaan esofagoskopi
Tujuan esofagoskopi adalah untuk melihat langsung isi lumen esophagus dan keadaan
mukosanya.terdapat dua jenis alat yang dibufuhkan untuk melakukan tindakan ini
yaitu rigid esophagoscope atau flexible fibreoptic esophagoscope. Risiko tindakan ini
adalah perdarahan dan perforasi pasca biopsi.
Pemeriksaan manometrik
Pemeriksaan ini bertujuan untuk menilai fungsi motorik esophagus. Dilakukan dengan
mengukur tekanan intralumen esophagus dan tekanan sfingter esophagus dapat dinilai
gerakan peristaltic secara kualitatif dan kuantitatif.
II.5. Disfagia Orofaring15
Disfagia dapat meningkatkan resiko terjadi aspirasi pneumonia, malnutrisi, dehidrasi,
penurunan berat badan dan sumbatan jalan nafas. Paling serius adalah aspirasi
pneumonia dapat terjadi pada setiap kelainan yang mengenai organ yang berperan
pada fase oral dan fase faringal dan gangguan pertahanan paru. Hygene mulut yang
buruk juga berperan dalam terjadinya aspirasi pneumonia karena sekresi mulut
mengandung bakteri anaerob yang ikut teraspirasi bersama dengan makanan. Terjadi
pada usia lanjut karena fungsi menelan yang menurun, penyakit pada system saraf
pusat seperti stroke, trauma kepala, serebral palsi, penyakit Parkinson, multiple
sklerosis, dan penyakit neuromuscular seperti poliomyelitis, dermatomiosis,
Myastenia Gravis, muscular dystrofi, Myotonic Muscular Dystrophy, Limb Girdle
syndrome, Duchenne Muscular dystrophy, penyakit motor neuron (amyotropic lateral
sclerosis, congenital spinal muscular athrophy, dan post polio syndrome), tumor
kepala leher dan keganasan yang telah menjalani operasi, radiasi, dan kemoterapi.
Komplikasi radioterapi pada keganasan nasofaring dapat mempengaruhi fungsi

27

menelan seperti terjadinya xerostomia, trismus, karies dentis, neuropatik motorik dan
sensorik, fibrosis leher, pembentukan striktur dan nekrosis jaringan dan serebral.
Fase oral
Aktivitasnya adalah persiapan untuk memulai proses menelan. Saliva merupakan
stimulus proses menelan. Pada fase persiapan oral merupakan fase pertama, makanan
akan dikunyah dan dimanipulasi menjadi bolus kohesif bercampur dengan saliva dan
dilanjutkan dengan fase transportasi oral berupa pendorongan bolus yang telah
terbentuk ke belakang (hipofaring) melewati pilar anterior, refleks menelan akan
timbul dan makanan masuk ke faring.
Ketidak normalan fase oral berdampak:
1. Keluar air liur (drooling=sialorrhea) yang disebabkan gangguan sensori dan
motorik pada lidah, bibir, dan wajah.
2. Ketidaksanggupan membersihkan residu makanan di mulut dapat disebabkan
oleh defisiensi sensori pada rongga mulut dan atau gangguan motorik lidah.
3. Karies gigi yang mengakibatkan gangguan distribusi saliva dan meningkatkan
sensitivitas gigi terhadap panas, dingin dan rasa manis.
4. Hilangnya rasa pengecapan dan penciuman akibat keterlibatan langsung dari
saraf cranial.
5. Gangguan proses mengunyah dan ketidaksanggupan memanipulasi bolus
6. Gangguan mendorong bolus ke faring
7. Aspirasi cairan sebelum proses menelan dimulai yang terjadi karena gangguan
motorik dari fungsi lidah sehingga cairan akan masuk ke faring sebelum
refleks menelan muncul
8. Rasa tersedak oleh batuk pada saat fase faring

Fase faringeal
Dimulai pada saat refleks menelan muncul setelah akhir fase oral. Terjadinya fase ini
tidak dapat timbul secara volunteer dan tidak dapat berlangsung bila tidak timbul
refleks menelan. Keadaan yang penting dalam menjaga keamanan fase faring adalah:
1. Proteksi saluran napas yang adekuat selama proses menelan sehingga
makanan tidak masuk ke jalan napas.
2. Penyelesaian satu seri proses menelan berlangsung cepat sehingga pernapasan
dapat segera dimulai

28

Fase faringeal terbagi 3 tahap:


I. Dimulai segera setelah timbul refleks menelan berupa:
1. Kontraksi pilar
2. Elevasi palatum mole
3. Kontraksi otot konstriktor faring superior yang menimbulkan
penonjolan pada dinding faring atas.
Fungsi: membantu bolus masuk ke faring dan mencegah masuknya bolus ke
nasofaring atau kembali ke mulut.
II. Terjadi proses fisiologis berupa:
1. Kontraksi otot faring dengan peregangan ke atas
2. Penarikan pangkal lidah kea rah depan untuk mempermudah pasase
bolus
3. Elevasi laring karena kontraksi otot hyoid tepat dibawah penonjolan
pangkal lidah.
4. Adduksi pita suara asli dan palsu
5. Penutupan epiglottis kearah pita suara
Fungsi: menarik bolus kearah faring sehingga dapat menyebar masuk ke valekula
yang terlaetak di atas epiglottis sebelum didorong oleh gerakan peristaltic. Proses
jalan napas terjadi pada 3 tempat:
1. Pintu masuk laring (aryepiglottic folds)
2. Pita suara palsu dan pita suara asli
3. Penutupan epiglottis
Bolus akan melewati dan mengelilingi epiglottis, turun dan masuk ke sfingter
krikofaring dilanjutkan dengan pergerakan os hyoid dan elevasi laring kea rah atas
dan lekukan tiroid.
III. Bolus akan terdorong melewati sfingter krikofaring dalam keadaan relaksasi
dan masuk ke esophagus
Proses fisiologis berupa:
1. Peristaltic faring
2. Relaksasi sfingter krikofaring
Peristaltic faring terjadi karena relaksasi otot dinding faring yang terletak di depan
bolus, dilanjutkan dengan kontraksi otot di belakang bolus, yang akan mendorong
bolus dengan gerakan seperti gelombang.
Sfingter krikofaring selalu dalam keadaan kontraksi untuk mencegah masuknya udara
ke dalam lambung. Bila makanan telah melewati sfingter krikofaring, fase esofagal

29

dimulai dan otot faring, velum, laring dan hyoid akan relaksasi, saluran napas terbuka
dan dilanjutkan dengan proses pernapasan.
Ketidak normalan pada fase faringal terjadi choking, coughing dan aspirasi, terjadi
bila:
1. Refleks menelan gagal teraktivasi sehingga fase faring tidak berlangsung,
akibat gangguan neurologi di medulla atau saraf cranial sehingga terjadi
ketidakstabilan saat menelan ludah dan timbul pengeluaran air liur serta
penumpukan sekresi.
2. Refleks menelan terlambat, sehingga terjadi aspirasi sebelum proses menelan
dimulai.
3. Proteksi laring tidak adekuat
4. Silent aspiration yaitu aspirasi yang tidak disadari tanpa gejala batuk yang
terjadi karena hilangnya/ oenurunan sensasi di laring.
5. Peristaltic faring yang lemah atau tidak timbul mengakibatkan aspirasi setelah
proses menelan berlangsung karena residu makanan yang menetap dapat
masuk ke dalam saluran napas yang terbuka.
6. Sfingter krikofaring gagal berelaksasi. Aspirasi dapat terjadi karena
penumpukan bahan/ makanan pada sfingter yang tertutup sehingga dapat
masuk ke jalan napas sedang mulai terbuka.

Pemeriksaan penunjang
1. Videofluoroskopi Swallow Assesment (VFSS)
Dikenal juga Modified Barium Swallow (MBS) adalah pemeriksaan yang
sering dilakukan dalam mengevaluasi disfagia dan aspirasi. Pemeriksaan ini
menggambarkan struktur dan fisiologi menelan pada rongga mulut, faring,
laring,

dan esophagus

bagian

atas.

Pemeriksaan

dilakukan

dengan

menggunakan bolus kecil dengan berbagai konsistensi yang dicampur dengan


barium. VFSS untuk panduan dalam terapi menelan dengan memberikan
bermacam bentuk makanan pada berbagai posisi kepala dan melakukan
beberapa maneuver untuk mencegah aspirasi untuk memperoleh kondisi
optimal dalam proses menelan.
2. FEES (Flexible Endoskopy Evaluation of Swallowing)
Menggunakan nasofaringoskop serat optic lentur. Pasien diberikan berbagai
jenis konsistensi makanan dari jenis makanan cair sampai padat dan dinilai
kemampuan pasien dalam proses menelan. Tahap pemeriksaan:
30

Pemeriksaan sebelum pasien menelan untuk menilai fungsi muscular dari

oromotor dan mengetahui kelainan fase oral


Pemeriksaan langsung dengan memberikan berbagai konsistensi menakan,
dinilai kemampuan pasien dan diketahui konsistensi apa uang paling aman

untuk pasien.
Pemeriksaan terapi dengan mengaplikasi berbagai maneuver dan posisi
kepala untuk menilai apakah terdapat peningkatan kemampuan menelan.

FEES dinilai 5 proses fisiologi dasar:


1. Sensitivitas pada daerah orofaring dan hipofaring yang sangat berperan dalam
terjadinya aspirasi
2. Spillange (preswallowing leakage): masuknya makanan ke dalam hipofaring
sebelum refleks menelan dimulai sehingga mudah terjadi aspirasi.
3. Residu: menumpuknya sisa makanan pada daerah valekula, sinus piriformis
kanan dan kiri, postkrikoid dan dinding faring posterior sehingga makanan
tersebut akan mudah masuk ke jalan napas pada saat proses menelan terjadi
ataupun sesudah proses menelan.
4. Penetrasi: masuknya makanan ke vestibulum laring tetapi belum melewati pita
suara, sehingga menyebabkan mudah masuknya makanan ke jalan napas saat
inhalasi.
5. Aspirasi: masuknya makanan ke jalan napas melewati pita suara yang sangat
berperan dalam terjadi komplikasi paru
II.6. Komplikasi post-radiasi karsinoma nasofaring
Komplikasi umum yang sering terjadi pada pasien post-radiasi karsinoma
nasofaring adalah rhinosinusitis. Rhinosinustis terjadi akibat rusaknya mukosa
sinonasal dan terganggunya klirens mukosiliaris akibat radiasi. 16 Seperti yang kita
ketahui, kesehatan sinus sangat dipengaruhi oleh ostium-ostium sinus dan lancarnya
klirens mokusiliar di dalam KOM.1
Pada pasien post radiasi karsinoma nasofaring juga dapat terjadi mulut terasa
kering akibat kerusakan kelenjar liur mayor maupun minor tertentu sewaktu
penyninaran. Gangguan lain adalah mukositis rongga mulut karena jamur, rasa kaku
di leher karena fibrosis jaringan akibat penyinaran, sakit kepala, kehilangan nafsu
makan, dan kadang-kadang muntah atau rasa mual.17 Komplikasi lainnya yang
dilaporkan namun lebih jarang yaitu kelumpuhan saraf kranial, yang tersering yaitu n.
XII, diikuti oleh kelumpuhan nervus vagus dan nervus laryngeal. Fibrosis leher akibat
radiasi dan perjalanan nervus tersebut yang melewati leher, mungkin merupakan
31

faktor resiko penting terjadinya kelumpuhan saraf kranial. Penyebab lainnya adalah
kerusakan vaskuler dan adanya kerusakan saraf langsung tetapi mungkin lebih jarang
terjadi. Diagnosis bisa ditegakkan jika kemungkinan kelumpuhan-akibat tumor dan
kelumpuhan idiopatik bisa disingkirkan.18

BAB III
ILUSTRASI KASUS

Nama: Tn. M
Umur: 40 tahun
Jenis kelamin: laki-laki
02-12-09
KU: Hidung kanan tersumbat yang makin memburuk sejak 3 bulan yang lalu.
RPS: Pasien datang dengan keluhan hidung tersumbat sejak 1 tahun yang lalu.
Keluhan hidung tersumbat semakin memburuk sejak 3 bulan yang lalu, terasa lebih
berat pada hidung kanan. Bersin (+), bertambah sering bila udara dingin dan terkena
debu, muncul 2-3 hari dalam seminggu. Ingus (+), kental, kadang bening, kadang
kuning kehijauan. Sumbatan hidung tidak mengganggu tidur. Mimisan (-). Gangguan
penghidu (-). Rasa lendir mengalir ke tenggorokan (+). Sakit kepala (+) memberat
jika membungkuk. Demam (-). Nyeri pada wajah (+) terutama di pipi kanan.
Telinga kanan terasa penuh (+), nyeri telinga (-), berdenging (-), keluar cairan
sebelumnya (-), riwayat mengorek telinga (-).

32

Sakit leher (+) sejak 1 tahun yang lalu hingga mengganggu tidur, terasa kencang dan
kaku pada leher (+).
Suara sengau (+) sejak 8 bulan lalu. Bicara pelo (+) sejak 3 bulan yang lalu. Jika
minum tidak hati-hati sering keluar lewat hidung.
RPD: Pasien dengan KNF stadium III pada tahun 2004, pasca kemoradiasi tahun
2005. Pernah dilakukan endoskopi dan FEES pada 9 Juni 2009 dengan diagnosis
disfagia neurogenik fase orofaringeal dengan resiko aspirasi.
O: CM, TSS
Hidung:

KND

KNS

KN

lapang

lapang

Septum

deviasi (+) spina, kontak dengan KI (+)

deviasi (+)

KI

hipertrofi

hipertrofi

KM

eutrofi

eutrofi

MM

terbuka

, sekret (+) bening

terbuka, sekret (+)

bening
Telinga:
AD: LT lapang, MT intak, RC (+)
AS: LT lapang, MT intak, RC (+)
Tenggorok:
Arkus faring simetris, uvula di tengah, tonsil T1-T1, dinding faring posterior tenang.
Telah dilakukan pemeriksaan di poli alergi imunologi Prick test: tungau (+4)
A:

Septum deviasi dengan contact headache

Rhinosinusitis kronik

Rhinitis alergi intermiten ringan

Oklusi muara tuba eustachius AD

KNF pasca radiasi selesai Maret 2005


33

Suspek parese N. XII sinistra

Disfagia neurogenik fase orofaringeal dengan resiko aspirasi.

Inflamid

Pro septoplasti

Persiapan operasi

Avoidance alergen

Konsul Departemen Neurologi

P:

Lampiran:
CT scan 4 Maret 2009
Kesimpulan: CT scan nasofaring dalam batas normal, tak tampak massa/ SOL
maupun residif tumor, sinusitis maksilaris kanan.
Endoskopi 09-06-09
S: pasien KNF pasca kemoradiasi terakhir maret 2005, suara sengau (+) sejak 2 bulan
ini, regurgitasi nasal (+) bila minum, riwayat tersedak makan makanan yang keras (+),
rasa tersangkut makanan (+), batuk (-), gatal di tenggorok (+)
O: CM, TSS
Dilakukan pemeriksaan FEES:
-

Terdapat kekakuan di otot sternocleidomastoideus


Otot lidah dan buccal baik
Uvula ditengah
Tonsil T1-T1
Otot sfingter velofaring melemah pada bagian kanan, terdapat gap saat fonasi
Standing secretion pada valekula dan sinus piriformis
Tes puree, gastric rice, havermouth terdapat residu minimal di sinus piriformis
kanan dan valekula, tetapi hilang dengan gerakan chin tuck,gerakan menelan
ulang, dan dibilas dengan air, aspirasi (-), refleks batuk cukup adekuat.

A: disfagia neurogenik fase orofaringeal dengan resiko aspirasi yang dapat diatasi
dengan gerakan chin tuck, gerakan menelan berulang dan, KNF pasca kemoradiasi,
VPI, kekakuan otot sternocleidomastoideus
P: konsul rehab medik, konsul gizi, kembali ke tumor THT
34

FEES 09-06-09
Kesimpulan:
-

disfagia neurogenik fase orofaringeal dengan resiko aspirasi yang dapat diatasi
dengan gerakan chin tuck, gerakan menelan berulang dan

KNF pasca kemoradiasi

VPI

Kekakuan otot sternocleidomastoideus

Saran:
-

Makan peroral dengan gerakan chin tuck , dan menelan berulang, dan dibilas
dengan air

Konsul ke gizi

Konsul rehabilitasi medik


BAB IV
PEMBAHASAN KASUS
Pasien Tn. M, laki-laki, 40 tahun datang dengan keluhan utama hidung kanan

tersumbat yang makin memburuk sejak 3 bulan yang lalu. Penegakkan diagnosis pada
pasien ini dilakukan berdasarkan data dari anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang. Dari anamnesis diketahui bahwa pasien sudah mengalami
gejala hidung tersumbat sejak 1 tahun yang lalu, namun menjadi bertambah berat
sejak 3 bulan terutama di hidung kanan. Terdapat sekret kental berwarna bening atau
kuning kehijauan, tidak ada gangguan penghidu, dan terasa lendir mengalir ke
tenggorokan. Pasien mengeluhkan sakit kepala yang memberat jika membungkuk dan
nyeri wajah terutama bagian pipi kanan. Hasil pemeriksaan hidung menunjukkan
adanya deviasi septum di kavum nasi dekstra dan sinistra. Bahkan pada kavum nasi
dekstra, septum kontak dengan konka inferior. Terdapat hipertrofi konka inferior,
sekret di meatus medius berwarna bening. Hasil pemeriksaan CT scan tanggal 4 Maret
2009 juga menunjukkan adanya sinusitis maksilaris kanan. Dari anamnesis dan hasil
pemeriksaan tersebut, ditegakkan diagnosis rhinosinusitis kronik.
Pasien juga mengeluhkan bersin yang akan bertambah parah bila udara dingin
dan terkena debu. Gejala ini timbul 2-3 hari dalam seminggu. Dengan demikian, perlu
35

dipikirkan kemungkinan adanya rhinitis alergi. Kemudian dilakukan Prick test pada
pasien yang menunjukkan hasil positif untuk tungau. Dari data tersebut ditegakkan
diagnosis rhinitis alergi intermitten ringan karena kurang dari 4 hari dalam seminggu
dan tidak mengganggu tidur.
Deviasi septum terutama di kavum nasi kanan cukup berat hingga terdapat
kontak dengan konka inferior. Hal ini dapat memicu terjadinya sakit kepala yang
dikeluhkan pasien. Deviasi septum dan rhinitis alergi merupakan faktor predisposisi
terjadinya rhinosinusitis. Hal tersebut akan menyebabkan gangguan pada proses
drainase mukus sehingga menimbulkan gejala hidung tersumbat. Adanya faktor
infeksi dapat memperparah gejala, ditandai dengan sekret berwarna kuning kehijauan
yang kemungkinan disebabkan oleh infeksi bakteri. Jika terapi tidak diberikan secara
adekuat, ditambah dengan faktor predisposisi (deviasi septum dan rhinitis alergi) yang
tidak diatasi, maka proses inflamasi akan berlanjut sehingga mukosa semakin
membengkak. Hal-hal tersebut menyebabkan rhinosinusitis menjadi kronik.
Rhinosinusitis kronik dapat menyebabkan terjadinya sumbatan pada muara
tuba eustachius yang menghubungkan telinga tengah dengan nasofaring. Sumbatan
tersebut akan mengganggu fungsi tuba eustachius yang menjaga agar tekanan udara di
telinga tengah sama dengan tekanan udara luar. Oleh karena itu, pasien ini
mengeluhkan adanya rasa penuh di telinga kanan. Pada pemeriksaan juga didapatkan
refleks cahaya pada membran timpani positif menurun. Hal tersebut semakin
menguatkan diagnosis adanya oklusi muara tuba eustachius.
Pasien pernah didiagnosis karsinoma nasofaring stadium III pada tahun 2004,
pasca terapi kemoradiasi tahun 2005. Hal ini juga berhubungan dengan rhinosinusitis
yang dikeluhkan pasien. Komplikasi umum yang sering terjadi pada pasien postradiasi karsinoma nasofaring adalah rhinosinusitis. Rhinosinustis terjadi akibat
rusaknya mukosa sinonasal dan terganggunya klirens mukosiliaris akibat radiasi,
padahal kesehatan sinus sangat dipengaruhi oleh ostium-ostium sinus dan lancarnya
klirens mokusiliar di dalam KOM.
Gangguan lain akibat kemoradiasi pada pasien ini adalah rasa kaku di leher
karena fibrosis jaringan akibat penyinaran dan sakit kepala. Komplikasi lainnya yang
mungkin terjadi pada pasien ini yaitu kelumpuhan saraf kranial, yang tersering yaitu
n. XII, diikuti oleh kelumpuhan nervus vagus dan nervus laryngeal. Hal tersebut dapat
menyebabkan keluhan bicara pelo dan disfagia neurogenik pada Tn. M. Fibrosis leher
akibat radiasi dan perjalanan nervus tersebut yang melewati leher, mungkin
36

merupakan faktor resiko penting terjadinya kelumpuhan saraf kranial. Penyebab


lainnya adalah kerusakan vaskuler dan adanya kerusakan saraf langsung tetapi
mungkin lebih jarang terjadi. Diagnosis ini bisa ditegakkan jika kemungkinan
kelumpuhan akibat tumor dan kelumpuhan idiopatik bisa disingkirkan.
Penatalaksanaan pada pasien ini adalah dengan mengurangi faktor predisposisi
rhinosinusitis, yaitu septoplasti untuk mengoreksi deviasi septum dan avoidance
(penghindaran) alergen untuk rhinitis alergi. Sebelum melakukan tindakan septoplasti,
diperlukan persiapan operasi yaitu pemeriksaan laboratorium dan rontgen thoraks
untuk mengetahui kondisi sistemik pasien. Oleh karena pasien meminta penundaan
jadwal operasi, pasien diberikan anti-inflamasi berupa Inflamid sebagai pengobatan
simptomatik untuk mengurangi gejala. Pasien ini juga dikonsulkan pada Departemen
Neurologi karena kemungkinan adanya kelumpuhan saraf kranial.
Prognosis quo ad vitam pada pasien adalah dubia ad bonam. Prognosis quo ad
functionam adalah dubia ad malam. Sementara prognosis quo ad sanactionam adalah
dubia ad malam.

37

BAB V
PENUTUP
Pasien, Tn. M, laki-laki, 40 tahun didiagnosis septum deviasi dengan contact
headache, rhinosinusitis kronik, rhinitis alergi intermiten ringan, oklusi muara tuba
eustachius AD, KNF pasca radiasi selesai Maret 2005, suspek parese N. XII sinistra,
serta disfagia neurogenik fase orofaringeal dengan resiko aspirasi.
Penatalaksanaan pada pasien ini adalah pro septoplasti dengan persiapan
operasi sebelumnya untuk mengoreksi septum deviasi, penghindaran (avoidance)
alergen untuk rhinitis alergi, Inflamid untuk mengurangi inflamasi sementara karena
pasien meminta penundaan operasi hingga pertengahan Desember, serta konsul ke
Departemen Neurologi karena terdapat kemungkinan kelumpuhan saraf kranial.

38

You might also like