You are on page 1of 20

Inkontinensia Urin

2.1. Konsep Umum


A. Definisi
Inkontinensia urin adalah kegagalan control volunter vesika urinaria dan
sfingter uretra sehingga terjadi pengeluaran urin secara involunter yang

konstan atau frekuen


Inkontinesia urin merupakan

pengeluaran

urin

secara

involunter

berlangsung konstan atau frekuen akibat kehilangan control sfingter

uretra eksterna yang bersifat sementara atau menetap


Inkontinensia urin adalah gangguan miksi (pengeluaran urin secara
involunter) yang disebabkan karena proses fisiologis dalam setiap proses
miksi tidak terpenuhi yaitu : kapasitas buli-buli (Vesica urinaria) yang
adekuat, pengosongan buli-buli (Vesica urinaria) yang sempurna, proses
pengosongan berlangsung dibawah control yang baik, serta setiap
pengisian atau pengosongan Vesica urinaria tidak berakibat buruk
terhadap saluran kemih bagian atas ginjal

B. Etiologi
Secara umum penyebab inkontinensia dapat berupa proses penuaan,
pembesaran kelenjar prostat,penurunan kesadaran, dan penggunaan obat
narkotik atau sedative. Menurut Morgan & Hamilton (2009) penyebab
inkontinensia adalah relaksasi dasar panggul (disfungsi), infeksi, atrofi, obatobatan, keluaran urine berlebihan, imobilitas, disfungsi usus.
Seiring bertambahnya usia, ada perubahan anatomi dan fungi organ kemih
antara lain : mlemahnya otot dasar panggul akibat kehamilan berkali-kali,
kebiasaan mengejan yang salah, atau batuk kronis sehingga mengakibatkan
seseorang tidak dapat menahan air seni. Selain itu, adanya kontraksi
abnormal pada dinding vesika urinaria, sehingga walaupun vesika urinaria
baru terisi sedikit sudah menimbulkan rasa ingin berkemih. Inkontinensia urin
juga terjadi akibat kegemukan (obesitas), menopause, usia lanjut, kurang
aktivitas dan operasi vagina. Dengan menurunnya kadar hormone estrogen
pada wanita menopause, akan terjadi penurunan tonus otot vagina dan
uretra.

Beberapa obat-obatan yang dapat menyebabkan inkontinensia menurut


Morgan&Hamilton () :
a. Urgensi : diuretic dan kafein
b. Sering berkemih : diuretic
c. Retensi urine : antikolinergik, narkotik, antagonis alfa dan beta adrenergic,
penyekat saluran ion kalsium
d. Inkontinensia overflow : antikolinergik dan penyekat ion kalsium
e. Inkontinensia stress : antagonis alfa adrenergic
C. Klasifikasi
Klasifikasi Inkontinensia dan penyebab yang spesifik :
a. Inkontinensia Dorongan : pengeluaran urine involunter yang disebabkan
oleh dorongan dan keinginan mendadak untuk berkemih. Hal ini berkaitan
dengan

kontraksi

detrusor

secara

involunter.

Penyebabnya

adalah

gangguan neurologic (stoke, sclerosis multiple) serta infeksi saluran kemih


b. Inkontinensia tekanan : pengeluaran urine involunter selama batuk,
bersin, tertawa, atau peningkatan tekanan intraabdomen lainnya. Paling
sering terjadi pada wanita setelah usia setengah baya (dengan kehamilan
dan

pelahiran

pervagina

berulang).

Inkontinensia

tekanan

sering

disebabkan oleh kelemahan dasar panggul dan kurangnya dukungan unit


sfingter vesikouretra. Penyebab lainnya adalah kelemahan sfingter uretra
intrinsic

seperti

akibat

mielomeningokel,

epispadia,

prostatektomi,

trauma, radiasi atau lesi medulla spinalis bagian sacral, kelebihan berat
badan
c. Inkontinensia aliran berlebih : pengeluaran urine involunter akibat distensi
vesika urinaria yang berlebihan. Bisa terdapat penetesan urin yang sering
atau berupa inkontinensia dorongan atau tekanan. Dapat disertai dengan
vesika urinaria yang kurang aktif, obstruksi jalan keluar kandung krmih
(tumor, hipertrofi prostat), obat-obatan (diuretic), impaksi feses, nefropati
diabetic, defisiensi vitamin B12, disfungsi neurologis, penyakit endokrin,
penurunan kelenturan dinding vesika urinaria
d. Inkontinensia fungsional : imobilitas, deficit kognitif, paraplegia atau daya
kembang vesika urinaria yang buruk. Keadaan inkontinensia ini ditandai
dengan tidak adanya dorongan untuk berkemih.

Stress inkontinensia dapat dibedakan menjadi 4 jenis, yaitu:

1. Tipe 0 : pasien mengeluh adanya kebocoran namun tidak dapat


dibuktikanmelalui pemeriksaan
2. Tipe 1 : inkontinensia urin dapat terjadi dengan pemeriksaan manuver
stress danada sedikit penurunan uretra pada leher vesica urinaria
3. Tipe 2 : inkontinensia urin terjadi pada pemeriksaan dengan penurunan
uretra pada leher vesica urinaria 2 cm atau lebih
4. Tipe 3 : uretra terbuka (lead peep) dan area leher vesica urinaria
tampak kontraksi
D. Epidemiologi
Di Indonesia, survey Inkontinensia urin yang dilakukan oleh Divisi Geriatri
Bagian Ilmu Penyakit Dalam Rumah Sakit Umum Dr. Cipto Mangunkusumo
pada 208 orang usia lanjut di lingkungan Pusat Santunan Keluarga di Jakarta
(2002) mendapatkan angka kejadian Inkontinensia urin tipe stress sebesar
32,2%. Sedangkan penelitian yang dilakukan di Poli Geriatri RS Dr. Sardjito
didapatkan angka prevalensi Inkontinensia urin sebesar 14,47%.
Berdasarkan data dari Canadian Community Health Survey (CCHS) ditemukan
prevalensi wanita dengan inkontinensia urin yang mengalami depresi sebesar
15,5%. Menurut Melville et a; (2005) angka atau tingkat prevalensi depresi
yang terjadi pada wanita dengan inkontinensia urin itu berbeda-beda
tergantung pada tipe dan derajat keparahannya, 2,1% untuk derajat ringan,
5,7% untuk derajat sedang, dan 8,3% untuk derajat berat. Sedangkan
menurut tipenya sebesar 4,7% untuk inkontinensia urin tipe stress dan 6,6%
untuk tipe urge.
E. Patofisiologi
Inkontinensia urin berkaitan erat dengan anatomi dan fisiologi juga dipengaruhi oleh
faktor fungsional, psikologis dan lingkungan. Pada tingkat yang paling dasar, proses
berkemih diatur oleh reflek yang berpusat di pusat berkemih di sacrum. Jalur aferen
membawa informasi mengenai volume kandung kemih di medula spinalis (Darmojo,
2000). Pengisian kandung kemih dilakukan dengan cara relaksasi kandung kemih
melalui penghambatan kerja saraf parasimpatis dan kontraksi leher kandung kemih
yang dipersarafi oleh saraf simpatis serta saraf somatik yang mempersarafi otot
dasar panggul (Guyton, 1995).
Pengosongan kandung kemih melalui persarafan kolinergik parasimpatis yang
menyebabkan kontraksi kandung kemih sedangkan efek simpatis kandung kemih

berkurang. Jika kortek serebri menekan pusat penghambatan, akan merangsang


timbulna berkemih. Hilangnya penghambatan pusat kortikal ini dapat disebabkan
karena usia yang lanjut sehingga sering mengalami inkontinensia urin. Karena
dengan kerusakan dapat mengganggu koordinasi antara kontraksi kandung kemih
dan relaksasi uretra yang mana gangguan kontraksi kandung kemih akan
menimbulkan inkontinensia.

F. Faktor resiko
Beberapa faktor risiko yang telah diteliti dapat meningkatkan kejadian stres
inkontinensia urin pada wanita pasca persalinan adalah usia, paritas, cara
melahirkan, berat bayi lahir, ruptur perineum spontan, ekstrasi vakum dan
forsep, dan riwayat stres inkontinensia urin saat hamil
a. Kehamilan
Stress inkontinensia urin pada wanita sering dihubungkan dengan
kehamilan.

Kehamilan

dapat

merusak

pelvik

disebabkan

karena

perubahan hormonal dan penekanan kepala bayi. Vesika urinaria akan


lebih cenderung berada di abdomen daripada di pelvik. Hormone estrogen
akan meningkatkan kapasitas vesika urinaria pada saat penurunan kepala
bayi.
b. Cara persalinan
I.
Persalinan pervaginam
Partus pervaginam merupakan faktor resiko yang dapat menyebabkan
terjadinya inkontinensia urin pada 3 bulan post partum
Kelahiran merusak dasar panggul sebagai konsekuensi

dari

regangan dan melemahnya otot dan jaringsn ikat selama proses

melahirkan
Kerusakan yang dapat ditimbulkan oleh laserasi dan episiotomy
menyebabkan pergeseran dan posisi organ pelvik dari tempat yang

seharusnya
Regangan selama partus pervaginam dapat merusak saraf pudendus
dan saraf-saraf di pelvik sehingga bersamaan rusaknya otor dan
II.

jaringan ikat menyebabkan kontraksi penutupan uretra tidak adekuat


Persalinan perabdominan
Seksio sesaria merupakan faktor yang protektif terhadap stress
inkontinensia urin pasca persalinan pada masa nifas tetapi tidak untuk
5 tahun post partum. Hal ini hanya terbatas pada wanita yang

menjalani seksio sesaria sebanyak satu atau dua kali saja. Hal ini
disebabkan oleh denervasi dari vesika urinaria saat operasi.
c. Berat bayi lahir
Faktor resiko obstetric seperti bayi melahirkan besar >4000 gram
mempunyai faktor resiko yang meningkat terhadap kejadian stress
inkontinensia urin pada usia gestasi 16 minggu jika dibandingkan dengan
melahirkan bayi <4000 gram
d. Ekstrasi vakum atau forsep
Faktor resiko penggunaan vakum saat melahirkan mempunyai hubungan
dengan kejadian stress inkontinensia urin 5 tahun berikutnya, persalinan
dengan ektrasi lebih ringan jika dibandingkan dengan foresep.
e. Paritas
Regangan pada otot-otot dasar panggul yang terjadi saat persalinan
f.

pervaginam dapat menyebabkan stress inkontinensia urin


Rupture perineum
Rupture perineum dapat merusak sebgaian otot dasar panggul yaitu otot

Transversal perinea.
g. Riwayat stress inkontinensia urin saat hamil
Studi prospektif selama 5 tahun, risiko jangka panjang terhadap stress
inkontinensia urin berhubungan dengan onset dan lama dari kejadian
stress inkontinensia setelah kehamilan pertama dan kelahiran. Risiko
jangka panjang berhubungan dengan waktu timbulnya onset dan lama
dari stress inkontinensia urin serta kehamilan dan kelahiran anak pertama
G. Manifestasi klinis
a. Inkontinensia urgensi :
Tidak dapat menahan miksi
Frekuensi >7kali/hari
Pengeluaran urine dalam jumlah banyak
Bangun pada malam hari untuk berkemih
b. Inkontinensia stress
Kebocoran urin saat aktivitas fisik
Jumlah urine yang keluar sedikit
Kesulitan mencapai toilet tepat pada waktunya, mengikuti desakan
untuk berkemih
c. Inkontinensia kombinasi : beberapa gejala baik inkontinensia stress dan
inkontinensia urgensi
H. Pemeriksaan diagnostic
a. Kultur urin : untuk menyingkirkan infeksi
b. IVU : untuk menilai saluran bagian atas dan obstruksi atau fistula
c. Urodinamik

Uroflowmetri
: mengukur kecepatan aliran
Sistometri
: menggambarkan kontraktur detrusor
Sistrometri video
: menunjukkan kebocorsn urin saaat

mengeden pada pasuen dengan inkontinensia stress


Flowmetri tekanan uretra :mengukur tekanna uretra dan vesika

urinaria saat istirahat dan selama berkemih


d. Sistoskopi : jika dicurigai terdapat batu atau neoplasma vesika urinaria,
perubahan strukturvesika urinaria yang dapat menimbulkan inkontinensia
e. Pemeriksaan speculum vagina sistogram jika dicurigai terdapat fistula
f.

vesikovagina (At a Glance)


Urethrosistografi : dapat memperlihatkan keadaan uretra, vesika urinaria,
dan sudut antara urethra dan vesica urinaria untuk memicu etiologi

inkontinensia urin
g. USG : untuk melihat kelainan pada vesica urinaria
Pemeriksaan penunjang
a. Pemeriksaan Q-tip test adalah tes diagnostic

yang

menunjukkan

hipermobilitas dari urethrovesical junction yang sering terjadi pada


wanita. Bila terdapat penyimpangan lebih daei 30 o maka penderita
kemungkinan mengalami stress inkontinensia urin
b. Bony test : penekanan uretra dengan dua jari, bila vesika urinaria terisi,
penderita disuruh batuk maka urin tidak akan keluar dari uretra
sedangkan kalau tidak ditekan urin akan keluar
c. Pemeriksaan pad test
Penderita disuruh minum sebanyak 500cc kemudian dalam waktu 30
menit penderita disurug naik tangga, jalan dan batuk-batuk. Lima belas
menit kemudian penderita disuruh duduk berdiri sebanyak 10 kali dan
batuk yang kuat serta mengambil barang yang jatuh di lantai. Enam puluh
menit setelah tes ini selesai (lama tes 60menit). Pad ditimbang dengan
hasil

kemungkinan pertambahan pad :


2 gram, berarti tidak ada stress inkontinensia urin
2-10 gram disebut stress inkontinensia urin derajat ringan
10-20gram disebut stress inkontinensia derajat sedang
20-40 gram disebut stress inkontinensia derajat berat
40-50 gram disebut stress inkontinensia derajat sangat berat

I. Penatalaksanaan medis
Menurut Graber,Mark.dkk. 2006
a. Pelatihan vesika urinaria : memerlukan edukasi dan berkemih yang
terjadwal. Tindakan menghambat berkemih harus dilakukan sampai suatu
waktu tertentu, dan jumlah waktu yang ditentukan ini harus ditingkatkan

secara progresif. Mulai dengan 2 sampai 3 jam dan ditingkatkan. Paling


baik dilakukan pada inkontinensia dorongan tapi dapat bermanfaat juga
pada inkontinensia tekanan
b. Pelatihan kebiasaan : dorongan pasien untuk berkemih di saat yang
normal seperti di pagi hari, sebelum tidur, setelah makan dll
c. Latihan dasar panggul (senam Kegel) : terutama berguna

pada

inkontinensia tekanan. Angka kesembuhan 16% dan 54% membaik


d. Obat-obatan untuk inkontinensia tekanan adalah :
Fenilpropanolamin 25-100 mg dalam bentuk lepas-lambat 2x/hari
Pseudoefedrin 30-60mg sampai 4x/hari (atau preparat kerja-lama).
Berguna pada sfingter inkompeten
1. Farmakoterapi
Farmakologi pengobatan stress inkontinensia bertujuan meningkatkan
kekuatan penutupan intrauteral dengan meningkatkan kontraksi otot
halus dan lurik uretra.

Penggunaan terapi hormonal


Estrogen membantu menjaga kesehatan jaringan (otot sphincter, jaringan
urotheliumn dan pembuluh darah/ yang penting untuk transmisi tekanan
normal didalam uretra. Estrogen pengganti (sintesis) telah dipromosikan
sebagai

solusi

untuk

inkontinensia

urin

pada

wanita

menopause,

meskipun tujuan utamanya belum jelas


2. Terapi fisik
a. Latihan otot-otot dasar panggul
Program rehabilitasi dasar panggul ditujukan untuk memperkuat otototot dasar panggul. Otot-otot ini termasuk kelompok levator ani,
sfingter anal eksternal, dan lurik sfingter uretra. Penilaian terhadap
kekuatan otot-otot dasar panggul dengan pemeriksaan dubur dan

vagina digital idealnya harus dilakukan selama penilaian sebelum


memulai pelatihan dasar otot panggul. Focus dari pelatihan ini adalah
untuk membangun kekuatan, daya tahan, dan koordinasi otot-otot
dasar panggul. Direkomendasikan bahwa pasien melakukan 8-12
kontraksi maksimal dengan lambat dan berkelanjutan selama 6-8 detik
masing-masing sebanyak tiga kali sehari, seolah-olah pasien sedang
menahan kencing. Pelatihan otot-otot dasra panggul harus dilanjutkan
selama 3-4 bulan sebelum menilai hasil
b. Terapi magnetic
Terapi magnetic bertujuan untuk merangsang otot-otot dasar panggul
dan atau akar sacral dengan menempatkan mereka dalam medan
elektromagnetik.

Terapi

stimulasi

magnetic

disampaikan

melalui

perangkat portable untuk pengobatan inkontinensia urin selama 8


minggu. Dalam studi pertama, pada wanita dengan inkontinensia
stress, urgensi, atau campuran secara signifikan memperlihatkan
banyak perempuan dalam kelompok terapi magnet melaporkan
perbaikan gejala
3. Alat mekanis
a. Tampon : dapat
kebocoran

hanya

membantu
terjadi

inkontinensia

intermiten

misal

stress
pada

terutama
waktu

bila

latihan.

Penggunaan teru-menerus dapat menyebabkan vagina kering/luka.


b. Edward spring : dipasang intravagina. Terdapat 70% perbaikan pada
penderita dengan inkontinensia stress denganpengobatan 5 bulan.
Kerugian terjadi ulserasi vagina
c. Bonnass Device : terbuat dari bhan lateks yang dapat ditiup. Bila
ditiup dapat mengangkat sambungan urethrovesikal dan urethra
proksimal
d. Kateter sementara yang merupakan alat rutin digunakan untuk
mengosongkan vesika urinaria namun beresiko menimbulkan infeksi
pada saluran kemih
4. Penanganan operasi untuk inkontinensia stress
a. Operasi untuk menambah penutupan sfingter. Prosedur dibagian ini
meliputi suntikan agen bulking uretra dan implant yang bertujuan
untuk menyumbat uretra
b. Suspensi abdominal leher vesika urinaria, misalnya colposuspension,
Marshall Marchetti Krantz (MMK)
c. Metode sling seperti ension freevaginal tape (TVT), Alridge sling
d. Periurethral injectable

e. Endoscopic bladder neck suspension


f. Anterior repair
g. Artificial urinary sphincter
Farmakologi menurut Morgan&Hamilton (2009) :
a. Estrogen : digunakan untuk memperbaik keadaan estrogen di uretra.
Namun belum jelas mengatasi inkontinensia urgensi
b. Agonis adrenergic-alfa seperti pseudoefedrin menghasilkan kontraksi otot
polos, memperbaiki tekanan penutupan uretra yang maksimal. Obat ini
efektif untuk mengatasi inkontinensia stress
c. Obat antikolinergik :
Ditropan atau Ditropan XL (oksibutin) mencegah kontraksi detrusor
spontan. Memiliki efek samping mulut kering, iritabilitas, ansietas

dan retensi urine


Detrol atau Detrol LA (tolterodin) memiliki afinitas selektif yang
tinggi

terhadap

reseptor

muskarinik

di

vesika

urinaria.

Kontraindikasi pada pasien penderita glaucoma, retensi urine atau

gastrik
Antidepresan trisiklik seperti imipiramin mengatasi inkontinensia
stress atau urgensi. Obat ini memiliki efek antikolinergik dan alfa-

adrenergik
Agens antimuskarinik

digunakan

untuk

vesika

urinaria

yang

hiperaktif karena tidak langsung berlawanan dengan saraf simpatis


yang merelaksasikan otot polos.
J. Komplikasi
Inkontinensia urin dapat menimbulkan komplikasi yaitu :
infeksi saluran kemih
lecet pada area gluteus sampai dengan ulkus decubitus karena selalu

lembab
infeksi kulit daerah genital
masalah psikososial
dehidrasi karena umumnya pasien mengurangi asupan cairan agar
tidak terjadi inkontinensia urin

II.2. Asuhan Keperawatan


TRIGGER 1 (INKONTINENSIA URINE)
Seorang perempuan usia 66 tahun datang ke poliklinik dengan keluhan sering
berkemih secara tiba-tiba dan tidak terkontrol ketika klien tertawa, batuk,

atau bersin. Keluhan tersebut dirasakannya sejak tiga bulan yang lalu. Klien
merasa tidak nyaman dan takut karena menganggap penyakitnya tidak
kunjung sembuh. Pasien memiliki riwayat penyakit jantung sehingga rutin
mengkonsumsi obat-obatan digoxin 1x0,125 mg dan furosemide 2x40 mg.
Dari pemeriksaan fisik diketahui TB 144 cm, BB 70 kg, TD 140/90 mmHg, N
84x/menit, RR 20x/menit, S 36,8oC. Hasil pemeriksaan penunjang sebagai
berikut: Q-tip test diketahui penyimpangan >35o, ureum 20 mg/dl, kreatinin
1 mg/dl. Saat ini perawat sedang menyusun asuhan keperawatan pada klien.

A. Pengkajian Dasar Keperawatan


Identitas Klien
Nama
:
Usia
: 66 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Status Kesehatan Saat Ini
a. Keluhan Utama
: sering berkemih secara tiba-tiba dan tidak

terkontrol saat klien tertawa, batuk, atau bersin


b. Lama Keluhan
: 3 bulan yang lalu
c. Kualitas keluhan
:
d. Faktor pencetus
: tertawa, batuk, dan bersin
e. Faktor pemberat
:
f. Upaya yang telah dilakukan :
g. Diagnosa Medis
: Inkontinensia Urin Stress
Riwayat kesehatan saat ini
Klien sering berkemih secara tiba-tiba dan tidak terkontrol ketika klien
tertawa, batuk, atau bersin. Keluhan tersebut dirasakannya sejak tiga
bulan

yang

lalu.

Klien

merasa

tidak

nyaman

dan

takut

menganggap penyakitnya tidak kunjung sembuh.


Riwayat Kesehatan Terdahulu
a. Penyakit yang pernah dialami
Penyakit kronis : penyakit jantung
b. Obat-obatan yang digunakan
Digoxin 1x0,25 mg dan furosemide 2x40 mg
Pemeriksaan Fisik
a. Keadaan umum :
Kesadaran : Komposmentis
Tanda-tanda vital :
TD
: 140/90 mmHg
RR
: 20x/menit
N
: 84x/menit
suhu : 36,8oC
Tinggi badan : 144cm
Berat badan : 70kg

karena

BMI : 33,7 (obesitas)


Hasil pemeriksaan penunjang
Q-tip test penyimpangan >35o : inkontinensia
Ureum 20 mg/dl : normal
Kratinin : 1 mg/dl : normal

B. Analisa Data
Data

Etiologi

Ds :
Klien mengeluh sering

Usia bertambah

Produksi estrogen menurun

Tonus otot vagina dan uretra

berkemih secara tibatiba dan tidak


terkontrol ketika klien
tertawa, batuk, atau
bersin sejak 3 bulan
yang lalu. Klien

menurun

Posisi V.U prolap

Tekanan intraabdominal

penyakit jantung dan

meningkat

Tonus elevator ani tidak

riutin mengkonsumsi

dapat menahan tekanan

digoksin serta

kebawah (batuk, bersin,

furosemide

tertawa)

Inkontinensia Urin Stres

mempunyai riwayat

DO:
-TB : 144cm, BB: 77 kg
(obesitas)
- TD : 140/90 mmHg
- Q-tip test
menyimpang >35o

Masalah
Keperawatan
Inkontinensia
Stres

Urin

Data
Ds :
Klien mengeluh sering
berkemih secara tibatiba dan tidak
terkontrol ketika klien
tertawa, batuk, atau
bersin sejak 3 bulan
yang lalu. Klien merasa
tidak nyaman dan
takut karena
menganggap
penyakitnya tidak
kunjung sembuh
DO:
-TB : 144cm, BB: 77 kg
(obesitas)
- TD : 140/90 mmHg
- Q-tip test
menyimpang >35o

Etiologi
Inkontinensia Stres

Tonus elevator ani tidak


dapat menahan tekanan
kebawah (batuk, bersin,
tertawa)

Vesika urinaria bocor

Pengeluaran urin saat batuk,


bersin, tertawa

Defisiensi pengetahuan

Masalah
Keperawatan
Defisiensi
pengetahuan

Data
Ds :
Klien mengeluh sering
berkemih secara tibatiba dan tidak
terkontrol ketika klien
tertawa, batuk, atau
bersin sejak 3 bulan
yang lalu. Klien merasa
tidak nyaman dan
takut karena
menganggap
penyakitnya tidak
kunjung sembuh
DO:
-TB : 144cm, BB: 77 kg
(obesitas)
- TD : 140/90 mmHg
- Q-tip test
menyimpang >35o

Etiologi
Inkontinensia Stres

Tonus elevator ani tidak


dapat menahan tekanan
kebawah (batuk, bersin,
tertawa)

Vesika urinaria bocor

Pengeluaran urin saat batuk,


bersin, tertawa

Defisiensi Pengetahuan

Gangguan rasa nyaman

Masalah
Keperawatan
Gangguan
Nyaman

Rasa

DAFTAR PRIORITAS DIAGNOSA KEPERAWATAN


Nama:
No Reg
NO
`1.

TANGGAL
6 Juni 2014

PRIORITAS
Inkontinensia Urin Stres b.d.
perubahan degenerative pada otootot pelvik d.d. melaporkan
rembesan involunter sedikit urine
pada saat batuk, melaporkan
rembesan involunter sedikit urine
pada saat bersin, melaporkan
rembesan involunter sedikit urine
pada saat tertawa, penyimpangan

2.

6 Juni 2014

Q-tip test >35o


Gangguan Rasa nyaman b.d gejala
terkait penyakit (pengeluaran urin
involunter) d.d ansietas, takut,

3.

6 Juni 2014

melaporkan perasaan tidak nyaman


Defisiensi pengetahuan b.d. kurang
pajanan d.d. pengungkapan masalah

PARAF

Rencana Asuhan Keperawatan


Diagnosa Keperawatan No. 1
Dx

: Inkontinensia Urin Stres b.d. perubahan degenerative pada otot-otot pelvik

d.d. melaporkan rembesan involunter sedikit urine pada saat batuk, bersin dan
tertawa, penyimpangan Q-tip test >35o
Tujuan

: setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam,

pengeluaran urin involunter klien dapat berkurang


KH

: saat dilakukan evaluasi didapatkan skor 4 dari NOC

NOC

: Urinary continence

No

Indikator

1.

Mengidentifikasi medikasi yang

mengganggu control urin


2.

Kebocoran urin antara pengosongan

3.

Kebocoran urin dengan meningkatkan

tekanan abdomen (batuk, bersin, tertawa)


4.

Pakaian basah saat siang

Keterangan Penilaian :
1.
2.
3.
4.
5.

Konsisten terjadi
Sering terjadi
Kadang-kadang terjadi
Jarang terjadi
Tidak pernah terjadi

Intervensi NIC : Urinary Bladder Training


1.
2.
3.
4.

Tentukan kemampuan untuk mengenali desakan berkemih


Dorong pasien untuk menjaga jadwal berkemih
Tetapkan interval dari jadwal toileting, bergantung pada bentuk berkemih
Tentukan interval dari toileting tidak kurang dari 1 jam dan lebih baik tidak

kurang dari 2 jam


5. Ingatkan pasien untuk berkemih sesuai interval yang sudah diberikan
6. Kurangi interval toileting satu setengah jam jika lebih dari episode
inkontinensia dalam 24 jam
7. Ajarkan pasien untuk menahan urin secara sadar sampai waktunya toileting
Urinary Catheterization : Intermittent
1. Lakukan pengkajian komperhensif urin focus pada penyebab inkontinensia
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.

(urinary output, fungsi kognitif)


Ajarkan pasien dan keluarga tujuan, metode, dan rasional kateter intermiten
Ajarkan pasien dan keluarga teknik membersihkan kateter intermiten
Demonstrasikan prosedur dan ulangi prosedur
Pasangkan alat kateter yang diperlukan
Gunakan teknik steril untuk kateterisasi
Tentukan jadwal kateterisasi berdasarkan pengkajian komperhensif urinary
Sesuaikan frekuensi kateterisasi untuk mempertahankan pengeluaran yaitu

300cc atau kurang pada dewasa


9. Pertahankan perekaman yang detail mengenai jadwal kateterisasi, asupan
cairan, dan pengeluaran

Diagnosa Keperawatan No. 2


Dx

: Gangguan Rasa nyaman b.d gejala terkait penyakit (pengeluaran urin

involunter) d.d ansietas, takut, melaporkan perasaan tidak nyaman


Tujuan

: Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam,

klien dapat menunjukan rasa nyaman


Kriteria Hasil

NOC

: saat dilakukan evaluasi didapatkan skor 4 dari NOC

: Discomfort level

No

Indikator

1.

Ansietas

2.

Ketakutan

3.

Inkontinensia urin

1.
2.
3.
4.
5.

parah
berat
sedang
ringan
tidak ada

Intervensi NIC :
Urinary Incontinence
Care
1. Identifikasi penyebab dari inkontinensia (pengeluaran urin, fungsi kognitif,
2.
3.
4.
5.
6.

medikasi)
Sediakan privasi untuk eliminasi
Diskusikan prosedur dan hasil yang diharapkan dengan pasien
Monitor eliminasi urin : frekuensi, konsistensi, odor, volume, dan warna
Bersihkan area kulit genital pada interval yang teratur
Berikan feedback yang positif pada setiap pengurangan episode

inkontinensia
7. Instruksikan pasien untuk minum sedikitnya 1500cc perhari
8. Kurangi makanan atau minuman yang dapat mengiritasi bladder (cola, kopi,
the)

Diagnosa Keperawatan No. 3


Dx

: Defisiensi pengetahuan b.d. kurang pajanan d.d. pengungkapan

masalah
Tujuan

: Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam,

klien dapat memahami tentang penyakitnya


Kriteria Hasil
NOC

: saat dilakukan evaluasi didapatkan skor 4 dari NOC


: Disease process

No

Indikator

Proses penyakit spesifik

1.

Penyebab dan faktor yang

2.

berkontribusi

3.

Faktor resiko

4.

Strategi untuk meminimalkan pregres

5.

penyakit

Keterangan
Penilaian :
1.
2.
3.
4.
5.

Tidak tahu
Terbatas
Sedang
Besar
Luas

Keuntungan manajemen penyakit


Intervensi NIC : Teaching: Disease process
1.
2.
3.
4.

Nilai tingkat pengetahuan klien mengenai proses penyakit


Review pengetahuan pasien mengenai kondisinya
Gambarkan tanda dan gejala yang sering pada peyakit
Eksplore dengan pasien apa yang sudah dilakukan untuk manajemen

gejalanya
5. Gambarkan proses penyakit
6. Sediakan informasi tentang kondisi pasien
7. Identifikasi perubahan kondisi fisik pada pasien
8. Sediakan informasi pada keluarga mengenai perkembangan pasien
9. Instruksikan pasien untuk mengurangi gejala
10.Instruksikan pasien tanda dan gejala mana yang perlu dilaporkan pada
tenaga kesehatan

BAB III
Penutup

3.1. Kesimpulan

Inkontinensia urin adalah pengeluaran urin secara involunter akibat dari


ketidakseimbangan proses fisiologis dalam proses miksi (pengosongan
maupun pengisian Vesika Urinaria) yang disebabkan oleh relaksasi dasar
panggul (disfungsi), infeksi, atrofi, obat-obatan, keluaran urine berlebihan,
imobilitas, disfungsi usus. Inkontinensia terdiri dari 4 jenis yaitu Inkontinensia
tekanan (Stress), Inkontinensia dorongan (Urgensi), Inkontinensia aliran berlebih
(Overflow) dan Inkontinensia fungsional. Penatalaksanaan dari Inkontinensia
meliputi farmakoterapi, Terapi fisik yaitu melatih otot-otot dasar panggul (senam
kegell) dan juga terapi pembedahan.
3.2. Saran
Edukasi mengenai pentingnya melaporkan kejadian inkontinensia urin ini perlu
ditingkatkan

agar

pasien

segera

mendapatkan

kesehatan dan mencegah timbulnya komplikasi

Daftar Pustaka

penanganan

dari

tenaga

Adryanto,

Wisnu.

Inkontinensia

Urin

dalam

Kehamilan.

http://www.academia.edu/3780431/IKONTINENSIA_URIN_DALAM_KEHAMILAN.
[Diakses tanggal 9 Desember 2014]
Graber, Mark., dkk. 2006. Buku Saku Dokter Keluarga. Ed.3. Jakarta: EGC
Grace & Borley. 2006. At a Glance Ilmu Bedah. Ed.3. Jakarta: Erlangga
Jaya dan Rahmadi. 2009. Inkontinensia Urin. http://pustaka.unpad.ac.id/wpcontent/uploads/2013/12/Pustaka_Unpad_INKONTINENSIA_-URIN.pdf.pdf.
[Diakses tanggal 9 Desember 2014]
Morgan & Hamilton. 2009. Obstetri & Ginekologi: Panduan Praktik. Ed.2. Jakarta:
EGC
Santoso,

Budiman.

2004.

Definisi,

Klasifikasi,

dan

Inkontinensia

Panduan

Tatalaksana
Urine.

http://staff.ui.ac.id/system/files/users/budi.iman/material/definisiklassifikasiink
ontinensia.pdf. [Diakses tanggal Desember 2014]

You might also like