You are on page 1of 6

PENUGASAN REFERAT BIOETIK

MISTREATMENT

Oleh :
Siti Solichatul Makkiyyah

13711082

Tutorial 1

Fakultas Kedokteran
Universitas Islam Indonesia
Yogyakarta
2016
Perlakuan mistreatment pada pasien memiliki definisi yang beragam
dan belum ada definisi yang disepakati bersama (Chazawi, 2007).

Menurut kamus Longman mis- merupakan kata awalan yang dapat


diartikan sebagai buruk, secara buruk, salah, -secara salah, sedangkan
treatment

berarti

sesuatu

yang

dilakukan

untuk

menyembuhkan

seseorang yang sakit atau terluka (Longman Dictionary, 2016). Sehingga


dapat disimpulkan bahwa definisi mistreatment adalah pemberian terapi
atau perawatan pada pasien yang buruk atau salah.
Selain itu terdapat definisi lain dari mistreatment menurut (Sudhinaraset
et al., 2016) yaitu pengalaman diremehkan, kekerasan fisik dan verbal,
pengabaian dan kekurangan dalam hal fasilitas dan sistem kesehatan
lainnya. Terdapat pula definisi mistreatment menurut (Davis, 2006) yaitu
pemberian perawatan yang tidak sesuai dengan martabat manusia.
Perlakuan mistreatment ini dapat berefek secara langsung dan tidak
langsung terhadap kesehatan dan kepuasaan pasien. Terdapat pula
definisi persepsi mistreatment yaitu persepsi bahwa dirinya tidak ditangani
atau dirawat dengan baik (Northington, 2012). Definisi ini merupakan
definisi dari pihak pasien sebagai penerima layanan kesehatan, sehingga
dalam definisi ini dapat terjadi perbedaan pemahaman yaitu pasien yang
memiliki persepsi ini mungkin saja tidak benar-benar menerima terapi atau
perawatan yang salah secara kode etik dan kompetensi medis. Pada
referat ini fokus pembahasan yaitu kesalahan dalam pemberian layanan
kesehatan berupa kesalahan diagnosis dan kesalahan pemberian terapi.
Prevalensi kasus misdiagnosis dan mistreatment sangat bervariasi
bergantung kasus. Seperti pada kasus demensia alzheimer di Amerika
Serikat, menurut Hunter et al. (2015) hampir tiap satu dari enam (17%)
pasien demensia vaskuler pernah mengalami misdiagnosis demensia
alzheimer sebelumnya. Kasus ini menimbulkan kerugian bagi pasien yaitu
pasien mendapat pengobatan yang tidak sesuai karena diketahui bahwa
obat untuk penyakit demesia alzheimer tidak memiliki efek terhadap
penyakit demensia vaskuler.
Selain itu, terdapat kesalahan diagnosis apendisitis sebesar 12,7%
pada pasien yang diberi tindakan apendiktomi pada tahun 2010 di Inggris
(Gale et al., 2011). Misdiagnosis malaria terjadi di Afganistan, sebanyak

97% pasien yang diberi obat anti malaria memiliki hasil apusan darah
yang negatif (Leslie et al., 2012). Selain itu terdapat pula kasus
misdiagnosis serta mistreatment pada pasien yang mengonsumsi ACEinhibitor. ACE-inhibitor telah diketahui memiliki efek samping batuk kering.
Sebanyak 66% pasien yang mengonsumsi obat ini dan mengalami efek
samping tersebut diberi obat antitusif yang tidak diperlukan oleh pasien
(Vegter & De Jong-van den Berg, 2010).
Penegakan diagnosis suatu penyakit umumnya merupakan kesimpulan
dari hasil anamnesis, pemeriksaan fisik yang dikonfirmasi dengan
pemeriksaan penunjang. Teknologi pemeriksaan medis berkembang
sangat pesat namun sayangnya teknologi tersebut kebanyakan berada di
negara maju, sehingga umumnya penegakkan diagnosis suatu penyakit di
negara berkembang terdiri dari kumpulan gejala dan tanda yang disebut
sebagai diagnosis klinis. Menurut Hunter et al. (2015), kriteria diagnosis
klinis untuk demensia alzheimer memiliki sensitivitas 71%-87% dengan
spesifisitas 44%-71% sehingga terdapat celah misdiagnosis yang cukup
besar. Hal ini juga terjadi pada penegakan diagnosis malaria (Leslie et al.,
2012) dan apendisitis (Rymer & Watson, 2014).
Namun di samping itu, terdapat kasus misdiagnosis akibat kesalahan
penilaian klinis yang dilakukan oleh tenaga medis. Menurut Vegter & De
Jong-van den Berg (2010), meski batuk kering merupakan efek samping
obat ACE-inhibitor yang sudah sangat diketahui di dunia kedokteran
namun

banyak

penelitian

menunjukkan

banyaknya

keterlambatan

diagnosis yang tepat pada kasus ini, kebanyakan akibat ketidaktahuan


atau kekurangtahuan tenaga medis.
Pada kasus misdiagnosis akibat rendahnya ketepatan kriteria diagnosis
klinis, terdapat dilema etik dari sisi medis dan sosio-ekonomi yang umum
terjadi. Indonesia merupakan negara berkembang yang memiliki cukup
banyak warga negara dengan sosio-ekonomi menengah ke bawah,
sehingga pelayanan kesahatan harus dilaksanakan dengan efektif dan
efisien. Sehingga banyak penegakan diagnosis yang diterapkan di
Indonesia menggunakan kriteria diagnosis klinis dengan konfirmasi

pemeriksaan

penunjang

yang

terbatas.

Sedangkan

pemeriksaan

penunjang lanjutan untuk beberapa penyakit seringkali membutuhkan


biaya yang besar. Selain itu belum meratanya fasilitas kesehatan di
berbagai daerah di Indonesia juga menjadi salah satu penyebab.
Standar profesi kedokteran berisi salah satunya yaitu kemampuan ratarata yang harus dimiliki oleh seorang dokter. menurut Penjelasan pasal 5
UU No.29/2004 kemampuan tersebut yaitu (1) kemampuan dalam
pengetahuan, (2) kemampuan dalam keterampilan, (3) kemampuan dalam
perilaku profesional (Chazawi, 2007). Dokter tetaplah manusia, sehingga
akibat berbagai faktor seperti terlalu lelah, tekanan kerja dan faktor lain,
dokter dapat melakukan suatu kelalaian. Jika kelalaian tidak menimbulkan
kerugian atau cedera bagi pasien dan pasien dapat menerimanya maka
kelalaian disini bukanlah suatu pelanggaran. Namun jika kelalaian yang
dilakukan termasuk ke dalam kelalaian berat (culpa lata) maka dokter
tersebut dapat ditindak secara hukum (Hanafiah & Amir, 1999).
Dilema etik kasus ini menurut perspektif Islam menurut Anita (2009)
diantaranya adalah beberapa penjelasan dibawah ini, yaitu:

Artinya : Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan


kesanggupannya (Q. s. al-Baqarah [2] : 286). Rasulullah Saw bersabda :
Barang siapa menjadi dokter padahal dia tidak mengetahui ilmu
pengobatan sebelum itu, maka dia harus bertanggungjawab. Serta
sebagaimana tertuang dalam al-Quran surat An-Nisaa ayat 92 yang
Artinya : Dan barang siapa membunuh seorang yang beriman karena
tersalah (hendaklah) dia memerdekakan seorang hamba sahaya yang
beriman serta (membayar) tebusan yang diserahkan kepada keluarganya
(si terbunuh itu), kecuali jika mereka (keluarga terbunuh) membebaskan
pembayaran. Q. S. An-Nisa, 4 : 92. Para Fuqaha bersepakat apabila
seorang tabib atau dokter lalai (culpa) dalam tindakannya, maka ia harus
membayar diyat.

Menurut Pasal 51 huruf a UU Praktik Kedokteran dan Pasal 53 ayat (2)


UU Kesehatan mewajibkan dokter untuk mengikuti standar profesi dan
standar prosedur operasional dalam menjalankan profesinya (Chazawi,
2007). Sehingga meskipun jika diteliti lebih lanjut diagnosis yang
ditegakkan oleh seorang dokter adalah belum tepat, namun jika standar
profesi dan standar prosedur operasional telah dipenuhi oleh dokter
tersebut maka keputusan dokter tersebut tidak dapat dipermasalahkan
secara hukum.
Selain itu menurut saya, sebagai tenaga medis terutama seorang
dokter kita memang harus menguasai standar profesi kedokteran yang
telah ditetapkan oleh dokter itu sendiri. Dokter harus menguasai baik
keilmuan, ketrampilan maupun attitude dan senantiasa diharapkan untuk
memperbaharui kemampuannya sesuai update keilmuan terbaru sehingga
dapat memberikan pelayanan kesehatan yang paripurna.
Dari pembahasan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa standar
profesi dan standar kompetensi kedokteran merupakan acuan yang harus
dipenuhi oleh seorang dokter dalam menjalankan praktik layanan
kesehatan. Meskipun suatu kelalaian dapat terjadi akibat berbagai faktor
namun usaha terbaik sesuai prosedur standar harus senantiasa
diusahakan dalam tiap pelayanan kesehatan yang diberikan pada pasien.

DAFTAR PUSTAKA
Hanafiah, M.J. & Amir, A. 1999. Etika Kedokteran & Hukum Kesehatan.
Jakarta: EGC.
Anita, W. Tinjauan Hukum Islam terhadap Pidana Malpraktik Kedokteran.
Skripsi. Jurusan Siyasah Jinayah, Fakultas Syariah, Institut Agama
Islam Negeri Walisongo, 2009.
Chazawi, H. A. 2007. Malpraktik Kedokteran: Tinjauan Norma dan Doktrin
Hukum. Malang: Bayumedia Publishing.
Longman dictionary. Dapat diakses pada: www.ldoceonline.com/dictionary
[diakses pada tanggal 15 Desember 2016].
Sudhinaraset, M., Treleaven, E., Melo, J., Singh, K., Diamond-Smith, N.
Womens Status and Experience of Mistreatment during Childbirth in
Uttar Pradesh: A Mixed Methods Study Using Cultural Health Capital
Theory. BMC Pregnancy and Childbirth. 2016, 16(332): 1-12.
Davis, G.G. Malpractice in Pathology. Arch Pathol Lab Med. 2006, 130:
975-978.
Northington, D.J. Attributions for Interpersonal Healthcare Mistreatment
and Continuity of Care. Loma Linda University Electronic Theses &
Dissertations. Paper 89, 2012.
Hunter, C.A., Kirson, N.Y., Desai, U., Cummings, A.K.G., Faies, D.E.,
Bimbaum, H.G. Medical Costs of Alzheimers Disease Misdiagnosis
among US Medicare Beneficiaries. Alzheimer & Dementia. 2015, 11:
887-895.
Gale, M., Seng, D., Grant, A. Has the Increasing Use of Diagnostic Tools
Reduced the Negative Appendicectomy Rate?. Internat J of Surg. 2011,
9: 547-582.
Leslie, T., Mikhail, A., Mayan, I. Anwar, M., Bakhtash, S., Nader, M.,
Chandler, C., Whitty, C.J.M., Rowland, M. Overdiagnosis and
Mistreatment of Malaria among Febrile Patients at Primary Healthcare
Level in Afghanistan: Observational Study. BMJ. 2012: 1-13.
Vegter, S. & De Jong-van den Berg, L.T.W. Misdiagnosis and Mistreatment
of A Common Side-Effect Angiotensin Converting Enzyme Inhibitor
Induced Cough. Br J Clin Pharmacol. 2010, 69(2): 200-203.
Rymer, B. & Watson, M. Re-Admission Following Appendicectomy: The
Role of Misdiagnosis. Internat J of Surg. 2014, 12: 13-17.

You might also like