You are on page 1of 4

BAB I

PENDAHULUAN
1.1

Latar Belakang
Protein adalah salah satu bio-makromolekul yang penting perananya

dalam makhluk hidup. Fungsi dari protein itu sendiri secara garis besar dapat
dibagi ke dalam dua kelompok besar, yaitu sebagai bahan struktural dan sebagai
mesin yang bekerja pada tingkat molekular. Apabila tulang dan kitin adalah beton,
maka protein struktural adalah dinding batu-batanya. Beberapa protein struktural,
fibrous protein, berfungsi sebagai pelindung, sebagai contoh dan -keratin yang
terdapat pada kulit, rambut, dan kuku. Sedangkan protein struktural lain ada juga
yang berfungsi sebagai perekat, seperti kolagen.
Protein dapat memerankan fungsi sebagai bahan struktural karena seperti
halnya polimer lain, protein memiliki rantai yang panjang dan juga dapat
mengalami cross-linking dan lain-lain. Selain itu protein juga dapat berperan
sebagai biokatalis untuk reaksi-reaksi kimia dalam sistem makhluk hidup.
Makromolekul ini mengendalikan jalur dan waktu metabolisme yang kompleks
untuk menjaga kelangsungan hidup suatu organisme. Suatu sistem metabolisme
akan terganggu

apabila biokatalis yang berperan di dalamnya mengalami

kerusakan (Hertadi, 2008).


Keberadaan protein dalam sel tidak hanya bergantung pada kebenaran
proses transkripsi dan translasi. Untuk menjadi molekul protein yang aktif dan
memiliki fungsi fisiologis, molekul protein harus mengalami proses pelipatan atau
folding untuk mencapai konformasi tiga dimensi yang tepat (Hartl & Hayer,
2002). Folding protein membutuhkan bantuan molekul cheperone serta katalis
pelipatan. Paradigma mendasar dari molekul chaperon adalah bahwa molekul
chaperon mengenal dan mengikat bentuk protein non-natif secara selektif untuk
membentuk struktur kompleks yang stabil (Fink, 1999).
Kebanyakan rantai polipeptida yang dihasilkan ribosom memerlukan
perlindungan terhadap kondisi lingkungan, seperti heat-shock (kejutan panas) dan
stres oksidatif (Gething & Sambrook, 1992). Kondisi lingkungan di bawah

tekanan seperti itu dapat menyebabkan molekul protein tidak melipat atau bahkan
salah melipat (misfolding). Protein yang tidak melipat atau bahkan salah melipat
dapat mengalami interaksi dengan permukaan hidrofobik protein non-natif
lainnya. Hal ini dapat menyebabkan terjadinya agregasi pada protein yang
merupakan pemicu timbulnya berbagai jenis penyakit, seperti Alzheimer,
Parkinson, Amyotrophic Lateral Sclerosis (ALS) dan Huntington (Radford &
Dobson, 1999). Selain itu, misfolding juga dapat menyebabkan protein mengalami
degradasi. Degradasi protein merupakan pemicu timbulnya sejumlah penyakit,
misalnya cystic fibrois, retinitis pigmentosa dan penyakit Gaucher (Dobson,
2001).
Untuk mencegah terjadinya kesalahan dalam pelipatan atau misfolding
protein dibutuhkan sistem bernama chaperone, yang berfungsi membantu proses
pelipatan protein dan juga dapat membantu pelipatan kembali molekul protein
yang telah salah melipat (Frydman, 2001). Namun apabila kesalahan pelipatan
tidak bisa lagi diperbaiki oleh chaperone maka akan diperbaiki oleh cubiquitin.
Salah satu contoh penyakit akibat misfolding protein yang akan kita bahas
dalam makalah ini adalah penyakit Parkinson. Penyakit Parkinson adalah penyakit
neurodegeneratif yang paling lazim setelah penyakit Alzheimer. Penyakit
Parkinson merupakan salah satu golongan penyakit movement disorder yang
sering ditemukan dan mengenai 1 % populasi umum, yang mana angka
kejadiannya cenderung meningkat setelah umur 55 tahun sampai 65 tahun dan
penyakit parkinson yang sebabkan faktor genetik, kejadiannya lebih awal yaitu
umur 30 tahun sampai dengan 40 tahun dan kejadiannya lebih sering pada lakilaki daripada wanita. Penyakit ini jarang bermula sebelum usia 30 tahun atau
setelah usia 80 tahun. Kecenderungan pada laki-laki dikaitkan dengan efek
hormon estrogen pada wanita mempunyi sifat proteksi, akan tetapi saat ini masih
dalam perdebatan (Bachrudin, 2003). Penyakit Parkinson ditandai dengan
hilangnya neuron berpigmen dopaminergik dari substansia nigra pars compacta
dan kehadiran badan Lewy dan Lewy neurites.
Sampai saat ini, di Indonesia belum tersedia data nasional tentang jumlah
penderita penyakit Parkinson. Namun demikian, berdasarkan laporan Kelompok

Studi (Pokdi) Movement Disorder Perhimpunan Dokter Saraf Seluruh Indonesia


(Perdossi, 2013), diperkirakan pertambahan jumlah pasiennya mencapai 10 orang
per 100.000 penduduk per tahun, dan estimasi sementara terdapat 200.000400.000 penderita, dimana perbandingan antara jumlah pasien laki laki dan
perempuan adalah 3:2. Data dari Rumah Sakit Dr. M. Djamil Padang
menyebutkan bahwa angka kunjungan rawat jalan pasien Parkinson ke poliklinik
penyakit saraf pada tahun 2011 adalah sebanyak 320 orang (Rekam Medis RS Dr.
M. Djamil, 2011) dan pada tahun 2012 sebanyak 232 orang (Rekam Medis RS Dr.
M.

Djamil,

2012). Sedangkan untuk rawat inap, pada tahun 2011 terdapat

sebanyak 12 kasus penyakit Parkinson (Rekam Medis RS Dr. M. Djamil, 2011)


dan di tahun 2012 terdapat 17 kasus (Rekam Medis RS Dr. M. Djamil Padang,
2012). Data-data tersebut di atas menunjukkan adanya peningkatan jumlah kasus
penyakit

Parkinson dari waktu ke waktu, baik berdasarkan laporan Perdossi

maupun RS Dr. M. Djamil Padang.


Penelitian yang dilakukan oleh para ahli sampai saat ini masih belum
berhasil menemukan etiologi pasti dari penyakit Parkinson. Penyakit ini sering
dikaitkan dengan proses penuaan, faktor genetik dan lingkungan dalam
mempengaruhi kerentanan sel-sel neuron dopaminergik di substansia nigra
parskompakta untuk mengalami kerusakan yang akan berakibat pada penurunan
kadar dopamin. Kadar dopamin yang rendah dianggap memiliki peranan penting
dalam patofisiologi penyakit ini. Apabila neuron dopaminergik tersebut telah
mengalami kerusakan kurang lebih 80% dan produksi dopamin mengalami
penurunan drastis hingga 60%, maka akan muncul berbagai gejala klinis penyakit
Parkinson (Waters, 1999).
Pada 1997, di sebuah kota kecil di Italia selatan, dilakukan penelitian
terhadap sejumlah keluarga yang mewariskan penyakit parkinson dari orang tua
kepada anaknya (pewarisan dominan). Ditemukan gen yang menyebabkan
pewarisan penyakit parkinson dan mengkode protein yang disebut -synuclein.
Pada studi terhadap otak penderita parkinson yang telah meninggal, ditemukan
akumulasi protein yang disebut Lewy Bodies. Penelitan menunjukkan bahwa ada
sejumlah protein -synuclein di Lewy Bodies penderita parkinson tak terwariskan

sebaik pada otak penderita parkinson terwariskan. Hal ini menyatakan bahwa synuclein berperan penting di semua jenis penyakit parkinson.
Dalam beberapa tahun semenjak penemuan ini, -synuclein telah menjadi
fokus utama para peneliti penyakit Parkinon sebagai dasar untuk mengetahui
peran protein -synuclein pada terjadinya penyakit Parkinson dan potensinya
sebagai sasaran neuroprotektif terapi. Terdapat bukti dari hasil studi mengenai
penyakit Parkinson bahwa -synuclein berperan dalam mutasi gen yang dapat
bersifat menurun pada keluarga. Seseorang yang memiliki turunan penyakit
Parkinson cenderung menghasilkan -synuclein yang terlalu banyak sebagai
bentuk dari proteinnya menjadi abnormal. Produksi -synuclein yang terlalu
banyak ini dapat bersifat sebagai racun di otak sehingga menyebabkan disfungsi
neuron. Selain itu, adanya agregasi protein juga dianggap berpengaruh terhadap
terjadinya penyakit Parkinson. Namun, di dalam protein juga terdapat molekul
chaperon yang dapat mencegah terjadinya misfolding protein dan agregasi.
Molekul chaperon ini bertugas untuk menemukan konformasi struktur nativ dari
protein. Sehingga dapat mencegah terjadinya misfolding protein.
Berdasarkan uraian diatas, dalam makalah ini akan dibahas lebih lanjut
mengenai penyakit parkinson dan chaperon yang dapat mencegah misfolding
protein. Selain itu juga akan dibahas lebih mendetail mengenai adanya misfolding
atau kesalahan pelipatan pada protein -synuclein.
1.2

Rumusan Masalah
a. Bagaimana mutasi pada -synuclein dapat menyebabkan penyakit
Parkinson?
b. Bagaimana peran chaperon dalam mencegah misfolding protein

1.3

dan agregasi protein?


Tujuan
a. Untuk mengetahui mekanisme mutasi -synuclein yang dapat
menyebabkan penyakit Parkinson.
b. Bagaimana peran chaperon dalam mencegah misfolding protein
dan agregasi protein

You might also like