You are on page 1of 27

BAB I

PENDAHULUAN
Epilepsi merupakan salah satu penyakit saraf yang sering dijumpai,
terdapat pada semua bangsa, segala usia dimana laki-laki sedikit lebih banyak dari
wanita. Insiden tertinggi terdapat pada golongan usia dini yang akan menurun
pada gabungan usia dewasa muda sampai setengah tua, kemudian meningkat lagi
pada usia lanjut.
Prevalensi epilepsI berkisar antara 0,5% - 2%. Di Indonesia penelitian
epidemiologi tentang epilepsi belum pernah di lakukan, namun bila dipakai
angka prevalensi yang dikemukakan, maka dapat diperkirakan bahwa bila pendud
uk Indonesia saat ini sekitar 220 juta akan ditemukan 1,1 sampai 4,4 juta
penderita penyandang epilepsi dan 40% masih dalam usia reproduksi.
Epilepsi berasal dari bahasa Yunani yang berarti serangan atau penyakit
yang timbul secara tiba-tiba. Epilepsi merupakan penyakit yang umum terjadi dan
penting di masyarakat. Permasalahan epilepsi tidak hanya dari segi medik tetapi
juga sosial dan ekonomi yang menimpa penderita maupun keluarganya. Dalam
kehidupan sehari-hari, epilepsi merupakan stigma bagi masyarakat. Mereka
cenderung untuk menjauhi penderita epilepsi.
Akibatnya banyak yang menderita epilepsi yang tak terdiagnosis dan
mendapat pengobatan yang tidak tepat sehingga menimbulkan dampak klinik
dan psikososial yang merugikan baik penderita maupun keluarganya.

BAB II
LAPORAN KASUS
A. Identitas Pasien
Nama
Umur
Jenis Kelamin
Alamat
Pekerjaan
Suku
Agama
Pendidikan
Status Perkawinan
No.RM
B.

: Anggreini
: 23 tahun
: Perempuan
: Nagan Raya
: Mahasiswi
: Aceh
: Islam
: SMA
: Belum Menikah
: 1-10-45-43

Anamnesis
Anamnesis dilakukan dengan autoanamnesa pada tanggal 26 Oktober 2016.
Keluhan Utama:
Pasien kontrol ulang dengan riwayat epilepsi.
Riwayat Penyakit Sekarang:
Pasien datang ke Poliklinik Neurologi untuk kontrol ulang dengan riwayat
kejang berulang. Menurut pasien, kejang dialami pasien ketika pasien terlalu
lelah dan banyak pikiran, Durasi kejang diperkirakan 15 menit. Kejang
terjadi seluruh tubuh disertai kaku dan kelojotan, pasien dalam keadaan
tidak sadar. Pada saat kejang terjadi mata pasien memandang keatas, lidah
tidak tergigit tetapi keluar lendir dari mulut pasien. Pasien juga mengaku
sebelum kejang pasien merasa seperti akan pingsan. Pasca serangan pasien
merasa lemas dan mengantuk. Kejang sudah terjadi lebih dari 2 kali dalam
seminggu ini. Terakhir kali kejang kemarin malam. Pasien mengaku sulit
tidur belakangan ini. Pasien mengaku malas minum obat rutin. Demam (-),
flu (-), batuk (-), sesak napas (-), nyeri menelan (-), nyeri perut (-),
makan/minum (+) baik, BAB (+) lancar normal, BAK (+) lancar normal.
Riwayat pengobatan sebelumnya:

Riwayat Penyakit dahulu:


Pasien riwayat kejang sejak berumur 10 tahun. Pasien sudah mengkonsumsi
obat antiepilepsi sejak 2tahun ini tetapi tidak teratur hanya saat kejang saja.
Riwayat kejang demam saat bayi pada usia 5 bulan, riwayat trauma kepala
disangkal.
Riwayat Penyakit Keluarga :
Riwayat keluarga pasien yang memiliki keluhan yang sama dengan pasien
disangkal.
Riwayat Pekerjaan, Sosial Ekonomi dan Kebiasaan :
Pasien adalah seorang mahasiswi. Pasien pertama kali kejang saat dibangku
sekolah dasar setelah pelajaran olahraga. Pasien belum berkeluarga. Riwayat
mengkonsumsi alkohol (-) dan merokok (+).
C.

Pemeriksaan Fisik
Status Generalisata
Keadaan Umum
Kesadaran
Keadaan Sakit
Tanda Vital
Tekanan Darah
Frekuensi Nadi
Pernafasan
Suhu

: E4 M6 V5
: Pasien tampak tidak sakit
: 120/70 mmHg
: 72 x/menit
: 18 x/menit
: 36,4 oC

Kepala
Normocephali. Wajah tampak simetris, tidak tampak nyeri dan tidak
tampak luka.
Mata
Pupil bulat isokor, ukuran 3mm/3mm, RCL (+/+), RCTL (+/+).
Conjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), edema palpebra (-/-),
ptosis (-/-), lagoftalmus (-/-).
Hidung
Cavitas nasal dalam batas norma, septum deviasi (-), deformitas (-/-),
sekret (-/-), darah (-/-).

Mulut
Mukosa mulut tampak basah, uvula di tengah, lidah tidak terdapat
deviasi.
Telinga
Struktur telinga eksterna simetris, jejas (-/-), secret (-/-)
Leher
Leher tidak ada jejas, trakea lurus, tidak ada pembesaran kelenjar
getah bening dan tiroid.
Thoraks
Paru
Inspeksi
Palpasi
Perkusi
Auskultasi

: Hemithoraks simetris saat statis dan dinamis, jejas (-),


: Vokal fremitus kanan dan kiri simetris
: Sonor di seluruh lapangan baru
: Suara nafas vesikuler, ronki (-/-), wheezing (-/-)

Jantung
Inspeksi
Palpasi
Perkusi
Auskultasi

: Ictus kordis tidak terlihat


: Ictus kordis teraba 1 jari medial midclavicula ICS V
: Batas-batas jantung dalam batas normal
: BJ I > BJ II Reguler, tidak ada suara tambahan

Abdomen
Inspeksi
Auskultasi
Palpasi
Perkusi

: Dinding abdomen datar, jejas (-)


: Bising usus (+) normal
: Soepel, hepar dan lien tidak membesar
: Timpani di seluruh lapangan abdomen

Ekstremitas
Akral
Edema
Atrofi

: Hangat
: Superior (-/-), inferior (-/-)
: (-/-)

Status Neurologis
GCS : E4M6V5
Kepala : Pupil bulat isokor, ukuran 3mm/3mm, RCL (+/+), RCTL (+/+)
Tanda rangsang meningeal:
o Kaku kuduk (-)
o Bruddzinski I sign (-)
Tanda peningkatan tekanan intrakranial:

o Muntah Proyektil (-)


o Sakit Kepala Progressif (-)
Nervus Kranialis
N.I
: Dalam batas normal
N. II
: Dalam batas normal
N. III, IV, VI : Ptosis (-/-), refleks cahaya langsung (+/+), refleks cahaya
tidak langsung (+/+), pergerakan bola mata dalam batas
normal.
N.V
o Sensorik
V1 (ophtalmik) : Dalam batas normal
V2 (maksilar) : Dalam batas normal
V3 (mandibular) : Dalam batas normal
o Motorik

Mengigit
: Dalam batas normal
Membuka rahang : Dalam batas normal
N.VII
o Sensorik
Pengecapan 2/3 anterior lidah : Tidak dilakukan
o Motorik

Mengangkat alis : Dalam batas

normal
Mengerutkankan alis

Dalam batas normal


Memejamkan mata

Dalam batas normal


Meringis : Dalam batas normal
Menggembungkan pipi :
Dalam batas normal
Mencucu : Dalam batas normal

N.VIII
o Vestibule
Tes Romberg : Tidak dilakukan
o Koklear
Gesekan jari (AS/AD) : +/+

Rinne : Tidak dilakukan

Weber
: Tidak dilakukan
N.IX
o Sensorik
Pengecapan 1/3 posterior lidah : Tidak dilakukan

o Motorik
Refleks menelan : Dalam batas normal
N.X
: Inspeksi uvula dalam batas normal, refleks muntah tidak
dilakukan
N.XI : Inspeksi, palpasi dan kekuatan otot sternocleidomastoid dan
trapezius dalam batas normal
N.XII : Lidah saat didalam mulut dan saat menjulur dalam batas normal

Motorik

Sensorik
o Eksteroseptif : Rasa raba, tekan dan nyeri baik
o Propioseptif : Rasa getar dan posisi sendi baik
Fungsi Otonom
: BAB (+) dan BAK (+)
Refleks fisiologis
o Refleks Biceps ++/++ (normal)
o Refleks Triseps ++/++ (normal)
o Refleks Patella ++/++ (normal)
o Refleks Achilles ++/++ (normal)
Refleks patologis
o Refleks Babinski -/o Refleks Chaddock -/o Refleks Oppenheim -/o Refleks Gordon -/o Refleks Shaefer -/-

D.

E.

F.

5555
5555

5555
5555

Pemeriksaan Penunjang
CT Scan Kepala
EEG
Diagnosis Kerja
Diagnosis Klinis
: kejang disertai gangguan kesadaran awal kejang
Diagnosis Topis
: korteks cerebri
Diagnosis Etiologi
: Epilepsi idiopatik
Penatalaksanaan
Non Farmakologis

Edukasi :
O pasien dan anggota keluarga harus diberitahukan dengan jelas tindakan apa
yang harus diambil bila menghadapi serangan.
o Jangan memasukan sesuatu ke dalam mulut pasien atau memaksa membuka
mulut pasien.

o Tidak perlu diusahakan mengekang gerakan kejang karena hanya akan berakibat
menimbulkan cedera.
o Setelah suatu serangan pasien harus ditemani dan diberi dukungan hingga fase
bingung yang menyertainya telah hilang seluruhnya dan pasien memperoleh
kembali keseimbangannya
o Jalan nafas harus diperiksa dan diawasi

G.

Farmakologis
Obat Anti-Epilepsi (OAE):
Kutoin (2x100mg)
Asam folat (1x1mg)
Depakote ER (1x500mg)

Prognosis
Quo ad vitam
: Dubia ad bonam
Quo ad functionam : Dubia ad bonam
Quo ad sanactionam : Dubia ad bonam

BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

Epilepsi berasal dari perkataan Yunani yang berarti "serangan" atau


penyakit yang timbul secara tiba-tiba. Epilepsi merupakan penyakit yang umum
terjadi dan penting di masyarakat. Permasalahan epilepsi tidak hanya dari segi
medik tetapi juga sosial dan ekonomi yang menimpa penderita maupun
keluarganya.1 Dalam kehidupan sehari-hari, epilepsi merupakan stigma bagi
masyarakat. Mereka cenderung untuk menjauhi penderita epilepsi. 2 Akibatnya
banyak yang menderita epilepsi yang tak terdiagnosis dan mendapat pengobatan
yang tidak tepat sehingga menimbulkan dampak klinik dan psikososial yang
merugikan baik bagi penderita maupun keluarganya.3
Epilepsi adalah keadaan yang ditandai oleh bangkitan epilepsi berulang
yang berlangsung lebih dari 24 jam dan timbul tanpa provokasi. Bangkitan
epilepsi merupakan manifestasi yang disebabkan oleh aktivitas listrik yang
abnormal dan berlebihan dari sekelompok neuron di otak. Epilepsi adalah suatu
kelainan di otak yang ditandai adanya bangkitan
(lebih

dari

League Against

Bureau for Epilepsy (IBE)


yaitu

predisposisi
neurobiologis,

yang

berulang

satu episode).1

International
epilepsi

epileptik

suatu

yang

kognitif,

dan International

pada tahun 2005 merumuskan kembali definisi

kelainan
dapat

Epilepsy (ILAE)

otak

yang

mencetuskan
psikologis,

ditandai
bangkitan

oleh

adanya faktor

epileptik, perubahan

dan adanya konsekuensi sosial yang

diakibatkannya. 1
Untuk menentukan faktor penyebab dapat diketahui dengan melihat
usia serangan pertama kali. Misalnya : usia dibawah 18 tahun kemungkinan
faktor penyebabnya ialah trauma perinatal, kejang demam, radang susunan
saraf

pusat,

struktural,

penyakit

metabolik, keadaan

toksik,

penyakit

sistemik, penyakit trauma kepala, dan lain-lain.1


Insidens epilepsi pada anak dilaporkan dari berbagai negara dengan variasi
yang luas, sekitar 4-6 per 1000 anak, tergantung pada desain penelitian dan
kelompok umur populasi. Di Indonesia terdapat paling sedikit 700.000-1.400.000
kasus epilepsi dengan pertambahan sebesar 70.000 kasus baru setiap tahun dan
diperkirakan 40%-50% terjadi pada anak-anak. Sebagian besar epilepsi bersifat
idiopatik, tetapi sering juga disertai gangguan neurologi seperti retardasi mental,

palsi serebral, dan sebagainya yang disebabkan kelainan pada susunan saraf
pusat.2
Epilepsi dapat terjadi pada laki-laki maupun wanita, tanpa memandang
umur dan ras. Jumlah penderita epilepsi meliputi 1 - 2 % populasi, secara umum
diperoleh gambaran bahwa insidens epilepsi menunjukkan pola bimodal, puncak
insiden terdapat pada golongan anak dan lanjut usia. 3
World Health Organization menyebutkan, insidens epilepsi di negara maju
berkisar 50 per 100.000 penduduk, sedangkan di negara berkembang 100 per
100.000 ribu. Salah satu penyebab tingginya insidens epilepsi di negara
berkembang adalah suatu kondisi

yang dapat menyebabkan kerusakan otak

permanen. Kondisi tersebut di antaranya: infeksi, komplikasi prenatal, perinatal,


serta post natal.3 Oleh karena itu, pada tinjauan kepustakaan ini akan dijabarkan
tentang definisi, epidemiologi,

etiologi, klasifikasi, patofisiologi, gejala,

diagnosis, dan terapi epilepsi.


2.1. Definisi
Kejang merupakan manifestasi berupa pergerakan secara mendadak dan
tidak terkontrol yang disebabkan oleh kejang involunter saraf otak.4
Menurut International League Against Epilepsy (ILAE) dan International
Bureau for Epilepsy (IBE) pada tahun 2005 epilepsi didefinisikan sebagai suatu
kelainan otak yang ditandai oleh adanya faktor predisposisi yang dapat
mencetuskan kejang epileptik, perubahan neurobiologis, kognitif, psikologis dan
adanya konsekuensi sosial yang diakibatkannya. Definisi ini membutuhkan
sedikitnya satu riwayat kejang epilepsi sebelumnya. 5
Status epileptikus merupakan kejang yang terjadi > 30 menit atau kejang
berulang tanpa disertai pemulihan kesadaran kesadaran diantara dua serangan
kejang.5
2.2. Epidemiologi
Epilepsi merupakan salah satu kelainan otak yang serius dan umum terjadi,
sekitar lima puluh juta orang di seluruh dunia mengalami kelainan ini. Angka
epilepsi lebih tinggi di negara berkembang. Insiden epilepsi di negara maju
9

ditemukan sekitar 50/100,000 sementara di negara berkembang mencapai


100/100,000.7
Di negara berkembang sekitar 80-90% diantaranya tidak mendapatkan
pengobatan apapun.8 Penderita laki-laki umumnya sedikit lebih banyak
dibandingkan dengan perempuan. Insiden tertinggi terjadi pada anak berusia di
bawah 2 tahun (262/100.000 kasus) dan uisa lanjut di atas 65 tahun (81/100.000
kasus). 9 Menurut Irawan Mangunatmadja dari Departemen Ilmu Kesehatan Anak
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) Rumah Sakit Cipto
Mangunkusumo (RSCM) Jakarta angka kejadian epilepsi pada anak cukup tinggi,
yaitu pada anak usia 1 bulan sampai 16 tahun berkisar 40 kasus per 100.000. 10
2.3. Etiologi
Ditinjau dari penyebab, epilepsi dapat dibagi menjadi 3 golongan yaitu11:
Epilepsi idiopatik merupakan epilepsi yang penyebabnya tidak diketahui,
meliputi 50% dari penderita epilepsi anak dan

umumnya mempunyai

predisposisi genetik, awitan biasanya pada usia >3 tahun. Dengan berkembangnya
ilmu pengetahuan dan ditemukannya alat alat diagnostik yang canggih
kelompok ini makin kecil.
Epilepsi

simptomatik

merupakan

epilepsi

yang

disebabkan

oleh

kelainan/lesi pada susunan saraf pusat. Misalnya : post trauma kapitis, infeksi
susunan saraf pusat (SSP), gangguan metabolik, malformasi otak kongenital,
asphyxia neonatorum, lesi desak ruang, gangguan peredaran darah otak, toksik
(alkohol,obat), kelainan neurodegeneratif.
Epilepsi kriptogenik dianggap simtomatik tetapi penyebabnya belum
diketahui, termasuk disini adalah sindrom West, sindron Lennox-Gastaut dan
epilepsi mioklon.

2.4. Klasifikasi
Klasifikasi Internasional Kejang Epilepsi menurut International League
Against Epilepsy (ILAE) 1981: 12
I.

Kejang Parsial (fokal)


10

A. Kejang parsial sederhana (tanpa gangguan kesadaran)


1. Dengan gejala motorik
2. Dengan gejala sensorik
3. Dengan gejala otonomik
4. Dengan gejala psikik
B. Kejang parsial kompleks (dengan gangguan kesadaran)
1.

Awalnya parsial sederhana, kemudian diikuti gangguan kesadaran

a. Kejang parsial sederhana, diikuti gangguan kesadaran

b. Dengan automatisme
2. Dengan gangguan kesadaran sejak awal kejang

a. Dengan gangguan kesadaran saja


b. Dengan automatisme
C. Kejang umum sekunder/ kejang parsial yang menjadi umum

(tonik-

klonik, tonik atau klonik)


1.

Kejang parsial sederhana berkembang menjadi kejang umum

2.

Kejang parsial kompleks berkembang menjadi kejang umum

3.

Kejang parsial sederhana berkembang menjadi parsial kompleks,


dan berkembang menjadi kejang umum

II.

Kejang umum (konvulsi atau non-konvulsi)

A. lena/ absens
B. mioklonik
C. tonik
D. atonik
E. klonik
F. tonik-klonik
III.

Kejang epileptik yang tidak tergolongkan


11

Epilepsi kemudian diklasifikasikan kembali berdasarkan syndrome menurut


ILAE 1989:
I.

Berkaitan dengan letak fokus

A. Idiopatik
1. Benign childhood epilepsy with centrotemporal spikes
2. Childhood epilepsy with occipital paroxysm
B. Simptomatik

1. Lobus temporalis
2. Lobus frontalis
3. Lobus Oksipitalis
4. Lobus temporalis
II.

Epilepsi Umum
A. Idiopatik
1. Benign neonatal familial convulsions, benign neonatal convulsions.
2. Benign myoclonic epilepsy in infancy
3. Childhood absence epilepsy
4. Juvenile absence epilepsy
5. Juvenile myoclonic epilepsy (impulsive petit mal)
6. Epilepsy with grand mal seizures upon awakening
7. Other generalized idiopathic epilepsies

B. Epilepsi Umum Kriptogenik atau Simtomatik


1. Wests syndrome (infantile spasms)
2. Lennox gastaut syndrome
3. Epilepsy with myoclonic astatic seizures

12

4. Epilepsy with myoclonic absences


C. Simptomatik
1. Etiologi non spesifik
2. Early myoclonic encephalopathy
3. Specific disease states presenting with seizures
2.5. Patofisiologi
Dasar serangan epilepsi ialah gangguan fungsi neuron-neuron otak dan
transmisi pada sinaps. Ada dua jenis neurotransmitter, yakni neurotransmitter
eksitasi yang memudahkan depolarisasi atau lepas muatan listrik dan
neurotransmitter inhibisi (inhibitif terhadap penyaluran aktivitas listrik saraf
dalam sinaps) yang menimbulkan hiperpolarisasi sehingga sel neuron lebih stabil
dan tidak mudah melepaskan listrik. Di antara neurotransmitter-neurotransmitter
eksitasi dapat disebut glutamate, aspartat, norepinefrin dan asetilkolin sedangkan
neurotransmitter inhibisi yang terkenal ialah gamma amino butyric acid (GABA)
dan glisin. Jika hasil pengaruh kedua jenis lepas muatan listrik dan terjadi
transmisi impuls atau rangsang. Dalam keadaan istirahat, membran neuron
mempunyai potensial listrik tertentu dan berada dalam keadaan polarisasi. Aksi
potensial akan mencetuskan depolarisasi membran neuron dan seluruh sel akan
melepas muatan listrik.
Oleh berbagai faktor, diantaranya keadaan patologik, dapat merubah atau
mengganggu fungsi membran neuron sehingga membran mudah dilampaui oleh
ion Ca dan Na dari ruangan ekstra ke intra seluler. Influks Ca akan mencetuskan
letupan depolarisasi membran dan lepas muatan listrik berlebihan, tidak teratur
dan terkendali. Lepas muatan listrik demikian oleh sejumlah besar neuron secara
sinkron merupakan dasar suatu serangan epilepsi. Suatu sifat khas serangan
epilepsi ialah bahwa beberapa saat serangan berhenti akibat pengaruh proses
inhibisi. Diduga inhibisi ini adalah pengaruh neuron-neuron sekitar sarang
epileptic. Selain itu juga sistem-sistem inhibisi pra dan pasca sinaptik yang
menjamin agar neuron-neuron tidak terus-menerus berlepas muatan memegang

13

peranan. Keadaan lain yang dapat menyebabkan suatu serangan epilepsi terhenti
ialah kelelahan neuron-neuron akibat habisnya zat-zat yang penting untuk fungsi
otak.13

Silbernagl S. Color Atlas of Pathophysiology. New York: Thieme. 2000

2.6 Gejala

Kejang parsial simplek


Seranagan di mana pasien akan tetap sadar. Pasien akan mengalami gejala
berupa:

14

deja vu: perasaan di mana pernah melakukan sesuatu yang sama

sebelumnya.
Perasaan senang atau takut yang muncul secara tiba-tiba dan tidak dapat

dijelaskan.
Perasaan seperti kebas, tersengat listrik atau ditusuk-tusuk jarum pada

bagian tubih tertentu.


Gerakan yang tidak dapat dikontrol pada bagian tubuh tertentu.
Halusinasi
Kejang parsial (psikomotor) kompleks
Serangan yang mengenai bagian otak yang lebih luas dan biasanya bertahan
lebih lama. Pasien mungkin hanya sadar sebagian dan kemungkinan besar
tidak akan mengingat waktu serangan. Gejalanya meliputi:
Gerakan seperti mencucur atau mengunyah.
Melakukan gerakan yang sama berulang-ulang atau memainkan
-

pakaiannya.
Melakukan gerakan yang tidak jelas artinya, atau berjalan berkeliling

dalam keadaan seperti sedang bingung.


Gerakan menendang atau meninju yang berulang-ulang.
Berbicara tidak jelas seperti menggumam.
Kejang tonik klonik (epilepsy grand mal).
Merupakan tipe kejang yang paling sering, di mana terdapat dua tahap: tahap
tonik atau kaku diikuti tahap klonik atau kelonjotan. Pada serangan jenis ini
pasien dapat hanya mengalami tahap tonik atau klonik saja. Serangan jenis ini
biasa didahului oleh aura. Aura merupakan perasaan yang dialami sebelum
serangan dapat berupa: merasa sakit perut, baal, kunang-kunang, telinga
berdengung. Pada tahap tonik pasien dapat: kehilangan kesadaran, kehilangan
keseimbangan dan jatuh karena otot yang menegang, berteriak tanpa alasan
yang jelas, menggigit pipi bagian dalam atau lidah. Pada saat fase klonik:
terjaadi kontraksi otot yang berulang dan tidak terkontrol, mengompol atau
buang air besar yang tidak dapat dikontrol, pasien tampak sangat pucat,
pasien mungkin akan merasa lemas, letih ataupun ingin tidur setelah serangan
semacam ini.14

15

2.7. Diagnosis
Diagnosis epilepsi didasarkan atas anamnesis dan pemeriksaan fisik dengan
hasil pemeriksaan EEG dan radiologis. 15
1. Anamnesis
Anamnesis harus dilakukan secara cermat, rinci dan menyeluruh.
Anamnesis menanyakan tentang riwayat

trauma kepala dengan kehilangan

kesadaran, meningitis, ensefalitis, gangguan metabolik, malformasi vaskuler dan


penggunaan obat-obatan tertentu.
Anamnesis (auto dan aloanamnesis), meliputi:
- Pola / bentuk serangan
- Lama serangan
- Gejala sebelum, selama dan paska serangan
- Frekueensi serangan
- Faktor pencetus
- Ada / tidaknya penyakit lain yang diderita sekarang

16

- Usia saat serangan terjadinya pertama


- Riwayat kehamilan, persalinan dan perkembangan
- Riwayat penyakit, penyebab dan terapi sebelumnya
- Riwayat penyakit epilepsi dalam keluarga
2. Pemeriksaan fisik umum dan neurologis
Melihat adanya tanda-tanda dari gangguan yang berhubungan dengan
epilepsi, seperti trauma kepala, infeksi telinga atau sinus, gangguan kongenital,
gangguan neurologik fokal atau difus. Pemeriksaan fisik harus menepis sebabsebab terjadinya serangan dengan menggunakan umur dan riwayat penyakit
sebagai pegangan. Pada anak-anak pemeriksa harus memperhatikan adanya
keterlambatan perkembangan, organomegali, perbedaan ukuran antara anggota
tubuh dapat menunjukkan awal gangguan pertumbuhan otak unilateral.
3. Pemeriksaan penunjang
a. Elektro ensefalografi (EEG)
Pemeriksaan EEG harus dilakukan pada semua pasien epilepsi dan
merupakan pemeriksaan penunjang yang paling sering dilakukan untuk
rnenegakkan diagnosis epilepsi. Akan tetapi epilepsi bukanlah gold standard untuk
diagnosis. Hasil EEG dikatakan bermakna jika didukung oleh klinis. Adanya
kelainan fokal pada EEG menunjukkan kemungkinan adanya lesi struktural di
otak, sedangkan adanya kelainan umum pada EEG menunjukkan kemungkinan
adanya kelainan genetik atau metabolik. Rekaman EEG dikatakan abnormal.
1. Asimetris irama dan voltase gelombang pada daerah yang sama di kedua
hemisfer otak.
2. Irama gelombang tidak teratur, irama gelombang lebih lambat dibanding
seharusnya misal gelombang delta.
3. Adanya gelombang yang biasanya tidak terdapat pada anak normal, misalnya
gelombang tajam, paku (spike) , dan gelombang lambat yang timbul secara
paroksimal.
b. Rekaman video EEG
17

Rekaman EEG dan video secara simultan pada seorang penderita yang
sedang mengalami serangan dapat meningkatkan ketepatan diagnosis dan lokasi
sumber serangan. Rekaman video EEG memperlihatkan hubungan antara
fenomena klinis dan EEG, serta memberi kesempatan untuk mengulang kembali
gambaran klinis yang ada. Prosedur yang mahal ini sangat bermanfaat untuk
penderita yang penyebabnya belum diketahui secara pasti, serta bermanfaat pula
untuk kasus epilepsi refrakter. Penentuan lokasi fokus epilepsi parsial dengan
prosedur ini sangat diperlukan pada persiapan operasi.
c. Pemeriksaan Radiologis
Pemeriksaan yang dikenal dengan istilah neuroimaging bertujuan untuk
melihat struktur otak dan melengkapi data EEG. Bila dibandingkan dengan CT
Scan maka MRl lebih sensitif dan secara anatomik akan tampak lebih rinci. MRI
bermanfaat untuk membandingkan hipokampus kanan dan kiri serta untuk
membantu terapi pembedahan.

2.8. Terapi
Status epileptikus merupakan kondisi kegawatdaruratan yang memerlukan
pengobatan yang tepat untuk meminimalkan kerusakan neurologik permanen
maupun kematian . Definisi dari status epileptikus yaitu serangan lebih dari 30
menit, akan tetapi untuk penanganannya dilakukan bila sudah lebih dari 5-10
meni

Algoritme manajemen status epileptikus

18

Tujuan terapi epilepsi adalah tercapainya kualitas hidup optimal untuk


pasien. Prinsip terapi farmakologi epilepsi yakni:

OAE mulai diberikan bila diagnosis epilepsi sudah dipastikan, terdapat


minimal dua kali bangkitan dalam setahun, pasien dan keluarga telah
mengetahui tujuan pengobatan dan kemungkinan efek sampingnya.

Terapi dimulai dengan monoterapi

19

Pemberian obat dimulai dari dosis rendah dan dinaikkan bertahap sampai
dosis efektif tercapai atau timbul efek samping; kadar obat dalam plasma
ditentukan bila bangkitan tidak terkontrol dengan dosis efektif.

Bila dengan pengguanaan dosis maksimum OAE tidak dapat mengontrol


bangkitan, ditambahkan OAE kedua. Bila OAE kedua telah mencapai
kadar terapi, maka OAE pertama diturunkan bertahap perlahan-lahan.

Penambahan OAE ketiga baru dilakukan setelah terbukti bangkitan tidak


dapat diatasi dengan pengguanaan dosis maksimal kedua OAE pertama.
Pasien dengan bangkitan tunggal direkomendasikan untuk dimulai terapi

bila kemungkinan kekambuhan tinggi , yaitu bila: dijumpai fokus epilepsi yang
jelas pada EEG, terdapat riwayat epilepsi saudara sekandung, riwayat trauma
kepala disertai penurunan kesadaran, bangkitan pertama merupakan status
epileptikus. 16
Prinsip mekanisme kerja obat anti epilepsi :

Meningkatkan neurotransmiter inhibisi (GABA)

Menurunkan eksitasi: melalui modifikasi kponduksi ion: Na+, Ca2+, K+,


dan Cl- atau aktivitas neurotransmiter.

Penghentian pemberian OAE


Pada anak-anak penghentian OAE secara bertahap dapat dipertimbangkan
setelah 2 tahun bebas serangan .
Syarat umum menghentikan OAE adalah sebagai berikut:

Penghentian OAE dapat didiskusikan dengan pasien atau keluarganya


setelah minimal 2 tahun bebas bangkitan

Harus dilakukan secara bertahap, pada umumnya 25% dari dosis semula,
setiap bulan dalam jangka waktu 3-6 bulan

Bila digunakan lebih dari satu OAE, maka penghentian dimulai dari satu
OAE yang bukan utama

20

Obat ezogabine merupakan obat baru dan memiliki mekanisme kerja


sebagai pembuka saluran kalium, mengaktivasi gerbang saluran kalium di otak.
Akan tetapi mekanisme unik ini memiliki beberapa efek toksik yang biasanya
tidak terdapat pada obat kejang lainnya seperti retensi urin.Hal inilah yang
menyebabkan

US

Food

and

Drug

Administration's

(FDA's)

masih

mempertimbangkan obat ini.17


Pemilihan OAE pada pasien anak berdasarkan bentuk bangkitan dan sindrom

Mekanisme kerja OAE

21

Obat epilepsi untuk anak

22

23

BAB VI
PMBAHASAN
Pasien datang ke Poliklinik Neurologi untuk kontrol ulang dengan
riwayat kejang berulang dan sering terjadi secara tia-tiba. Hal ini sesuai
dengan pengertian dari epilepsi yang berarti "serangan" atau penyakit yang
timbul secara tiba-tiba. Epilepsi merupakan penyakit yang umum terjadi dan
penting di masyarakat. Kejang terjadi seluruh tubuh disertai kaku dan
kelojotan,pasien dalam keadaan tidak sadar. Pada saat kejang terjadi mata
pasien memandang keatas, lidah tidak tergigit tetapi lendir berbusa dari mulut
pasien, perasaan hoyong ketika akan kejang. Pada umumnya hal ini tejadi
diakibakan adanya aura yag biasa muncul sebelum datangnya seragan kejang.
Hal ini sesuai denga teori yang mengatakan bahwa kejang tonik klonik tipe
kejang yang paling sering, di mana terdapat dua tahap: tahap tonik atau kaku
diikuti tahap klonik atau kelonjotan. Pada serangan jenis ini pasien dapat
hanya mengalami tahap tonik atau klonik saja. Serangan jenis ini biasa
didahului oleh aura. Aura merupakan perasaan yang dialami sebelum
serangan dapat berupa: merasa sakit perut, baal, kunang-kunang, telinga
berdengung. Pada tahap tonik pasien dapat: kehilangan kesadaran, kehilangan
keseimbangan dan jatuh karena otot yang menegang, berteriak tanpa alasan
yang jelas, menggigit pipi bagian dalam atau lidah. Pada saat fase klonik:
terjaadi kontraksi otot yang berulang dan tidak terkontrol, mengompol atau
buang air besar yang tidak dapat dikontrol, pasien tampak sangat pucat,
pasien mungkin akan merasa lemas, letih ataupun ingin tidur setelah serangan
semacam ini.
Pasien merupakan seorang laki-laki yang berusia 33 tahun. Penderita lakilaki umumnya sedikit lebih banyak dibandingkan dengan perempuan. Pasie
mengalami kejang pertama kali saat usianya 6 tahun. Insiden tertinggi terjadi pada

24

anak berusia di bawah 2 tahun (262/100.000 kasus) dan uisa lanjut di atas 65
tahun (81/100.000 kasus). Menurut Irawan Mangunatmadja dari Departemen Ilmu
Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) Rumah Sakit
Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta angka kejadian epilepsi pada anak cukup
tinggi, yaitu pada anak usia 1 bulan sampai 16 tahun berkisar 40 kasus per
100.000.
Ditinjau dari penyebab, epilepsi dapat dibagi menjadi 3 golongan yaitu:
Epilepsi idiopatik merupakan epilepsi yang penyebabnya tidak diketahui,
meliputi 50% dari penderita epilepsi anak dan

umumnya mempunyai

predisposisi genetik, awitan biasanya pada usia >3 tahun. Pasien mengaku tidak
pernah mengalami trauma kepala saat usia anak-anak, hanya saja pasien pernah
mengalami kejang saat usia 5 bulan. Kejang hanya terjadi satu kali dan tidak
pernah berulang. Kemudian saat usia pasien 6 tahun kejang kembali muncu
pertama ki diakibatkan pasien mengalami stress.
Pasien mengaku tidak perah meakukan pemeriksaan rekam kepala atau
dalam bahasa medis dikataan pemerikaan elektro ensefalografi (EEG).
Pemeriksaan EEG harus dilakukan pada semua pasien epilepsi dan merupakan
pemeriksaan penunjang yang paling sering dilakukan untuk rnenegakkan
diagnosis epilepsi. Akan tetapi epilepsi bukanlah gold standard untuk diagnosis.
Hasil EEG dikatakan bermakna jika didukung oleh klinis. Adanya kelainan fokal
pada EEG menunjukkan kemungkinan adanya lesi struktural di otak, sedangkan
adanya kelainan umum pada EEG menunjukkan kemungkinan adanya kelainan
genetik atau metabolik. Rekaman EEG dikatakan abnormal.

25

DAFTAR PUSTAKA

1. Zainuddin AA, Oendari A, Putri A, Pamungkas A, Natsir B, Hartono D,


et al. Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter Di Fasilitas Pelayanan
Kesehatan Primer. 2014. IDI : Jakarta
2. http://www.epilepsy.ca/eng/content/sheet.html
3. http://www.searo.who.int/LinkFiles/Technical_documents_Ment134.pdf
4. Tjahjadi,P.,Dikot,Y,Gunawan,D. Gambaran Umum Mengenai Epilepsi.
In : Kapita Selekta Neurologi. Yogyakarta : Gadjah Mada University
Press. 2005. p119-127.
5. Heilbroner, Peter. Seizures, Epilepsy, and Related Disorder, Pediatric
Neurology: Essentials for General Practice. 1st ed. 2007
6. http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/15816939
7. Octaviana F. Epilepsi. In: Medicinus Scientific

Journal

of

pharmaceutical development and medical application. Vol.21 Nov-Des


2008. p.121-2.
8. http://www.who.int/mental_health/neurology/epilepsy_atlas_introdion.p
df
9. http://www.epilepsyfoundation.org/about/statistics.cfm
10. http://epilepsiindonesia.com/pengobatan/epilepsi-dan-anak/pahamigejala-epilepsi-pada-anak-2
11. http://www.epilepsysociety.org.uk/AboutEpilepsy/Whatisepilepsy/Caus
esofepilepsy
12. Shorvon SD. HANDBOOK OF Epilepsy Treatment Forms, Causes and
Therapy in Children and Adults.2nd ed. America: Blackwell Publishing
Ltd. 2005
13. Price dan Wilson. 2006. Patofisiologi: Konsep Klinis Prose-Proses
Penyakit. Ed: 6. Jakarta: EGC
14. Aminoff MJ dkk. Clinical Neurology. 6th ed. New York: McGraw-Hill.
15. Wilkinson I. Essential neurology. 4th ed. USA: Blackwell Publishing.
2005
16. PERDOSSI. Pedoman Tatalaksana Epilepsi. Ed. 3. Jakarta. 2008
17. http://www.medscape.com/viewarticle/726809
26

18. Kliegman. Treatment of Epilepsy.Nelson Textbook of Pediatrics.


Philadelphia: Saundres Elsevier. 2008. 593(6)

27

You might also like