You are on page 1of 9

DISPNEA

Pasien dengan penyakit jantung paru umumnya memiliki gejala dispnea. Dispnea
didefinisikan sebagai sensasi benapas yang tidak nyaman (an uncomfortable sensation of
breathing) atau sensasi bernapas yang tidak nyaman dan disadari bahwa hal tersebut merupakan
suatu kelainan (abnormally uncomfortable awareness of breathing). 1,2,3
Anamnesis yang lengkap sangat penting untuk memperoleh kepastian apakah pasien
benar-benar menderita dispnea. Apabila dispnea telah ditegakkan, maka sangat penting untuk
memperoleh data-data mengenai penyebab dispnea dan menilai gejala dan tanda lain yang
berhubungan dengan dispnea. Pada beberapa situasi, pasien terkadang tampak kesulitan
bernapas namun tidak mengeluhkan dispnea. Hal ini tampak pada keadaan hiperventilasi akibat
asidosis metabolik dimana jarang ditemukan bersamaan dengan dispnea. Pada keadaan lain,
pasien dengan pola napas yang normal dapat mengeluhkan dispnea. 1
KUANTITAS DISPNEA
Derajat dispnea didasarkan atas seberapa besar kegiatan/aktivitas fisik yang dibutuhkan
untuk menimbulkan sensasi. Dalam menilai derajat dispnea, dibutuhkan data-data mengenai
kondisi fisik umum pasien, riwayat pekerjaan, dan kebiasaan pasien. Sebagai contoh, dispnea
yang terjadi pada seorang pelari terlatih yang berlari sejauh 2 mi menunjukkan gangguan yang
lebih serius dibandingkan dengan dispnea pada seorang pejalan kaki yang berlari dengan jarak
yang sama. Variasi antarindividu dalam persepsi juga patut dipertimbangkan. Beberapa pasien
dengan penyakit berat mungkin hanya mengeluh dispnea ringan, sedangkan pada pasien dengan
penyakit ringan dapat mengeluhkan dispnea berat. 1
Beberapa pola dispnea tidak berhubungan langsung dengan aktivitas fisik. Dispnea saat
istirahat yang terjadi tiba-tiba dapat berkaitan dengan emboli paru, pneumotoraks spontan,
hiperkapnia sekunder terhadap penahanan napas, atau keadaan cemas. Episode nokturnal dispnea
paroksismal berat merupakan karakteristik dari gagal jantung ventrikel kiri. Dispnea saat posisi
berbaring, atau orthopnea, walaupun merupakan gejala utama gagal jantung kongestif namun
dapat pula ditemukan pada asma, obstruksi kronik saluran napas dan paralisis diafragma
bilateral. Trepopnea adalah dispnea yang terjadi hanya pada posisi lateral dekubitus, yang sering
pada pasien dengan penyakit jantung. Platypnea adalah dispnea yang terjadi hanya pada posisi
tegak. Hal yang mendasari yaitu bahwa perubahan posisi berhubungan dengan ventilasi-perfusi. 1
American Thoracic Society membuat skala yang dapat digunakan untuk menentukan derajat
dispnea.
Tabel 1. American Thoracic Society Scale of Dyspnea 2
DESCRIPTIONS
Not troubled by shortness of breath when hurrying on the
level or walking up a slight hill
Troubled by shortness of breath when hurrying on the level
or walking up a slight hill
Walks more slowly than people of the same age on the level
because of breathlessness or has to stop for breath when
walking at own pace on the level
Stops for breath after walking about 100 yards or after a few
minutes on the level

GRAD
E

DEGREE

None

Mild

Moderate

Severe

Too breahtless to leave the house; breathless on dressing or


undressing

Very severe

MEKANISME DISPNEA
Dispnea dipicu oleh stimulus terhadap reseptor yang terdapat dalam saluran napas atas,
paru, otot-otot pernapasan, dinding dada, atau kombinasi dari reseptor-reseptor tersebut. Dispnea
ditandai oleh aktivasi pusat pernapasan yang abnormal atau berlebihan dalam batang otak.
Aktivasi ini berasal dari stimulus yang ditransmisikan dari atau melalui : 1,3
1. reseptor intratoraks melalui nervus vagus
2. saraf somatic aferen, terutama dari otot pernapasan dan dinding dada, selain itu juga dari
otot rangka dan sendi lain
3. kemoreseptor di dalam otak, aorta dan badan karotis, serta semua tempat dalam sirkulasi
4. pusat kortikal yang lebih tinggi
5. serat aferen dalam nervus phrenikus
DIAGNOSIS BANDING
Obstruksi saluran napas 1
Obstruksi saluran napas dapat ditemukan pada setiap bagian mulai dari saluran napas
ekstratorakal hingga saluran napas kecil di perifer paru. Obstruksi saluran napas ekstratorakal
yang besar dapat terjadi akut seperti aspirasi makanan atau benda asing atau angioedema glotis.
Obstruksi saluran napas atas akut merupakan keadaan emergensi. Obstruksi kronik dapat
ditemukan tumor atau stenosis fibrotik pasca trakeostomi atau pasca intubasi endotrakeal yang
lama. Obstruksi akut dan kronik memiliki gejala utama berupa dispnea dengan tanda khas yaitu
adanya stridor dan retraksi fosa supraklavikula saat inspirasi.
Obstruksi saluran napas intratorakal dapat terjadi secara akut dan intermiten atau dapat
dijumpai secara kronik dan semakin parah jika terdapat infeksi. Obstruksi intermiten akut dengan
wheezing merupakan ciri khas serangan asma. Batuk kronik dengan ekspektorasi merupakan ciri
khas bronkhitis kronik dan bronkiektasis. Paling sering ditemukan adalah ekspirasi memanjang
serta suara ronkhi kasar, terdapat menyeluruh pada bronchitis kronik, dan dapat terlokalisir pada
bronkiektasis. Infeksi mengakibatkan gejala batuk semakin bertambah parah, peningkatan
pengeluaran sputum yang purulen dan dispnea yang lebih berat. Selama serangan ini, pasien
dapat mengeluhkan paroksismal nokturnal dispnea dengan wheezing yang akan berkurang
dengan batuk dan pengeluaran sputum.
Emfisema ditandai oleh gejala dispnea deffort selama bertahun-tahun yang kemudian
berkembang menjadi gejala dispnea saat istirahat. Meskipun berdasarkan definisinya emfisema
adalah penyakit parenkim paru, emfisema selalu disertai dengan obstruksi saluran napas.
Penyakit Paru Parenkimal Difus 1
Kelompok penyakit ini mencakup penyakit yang berkisar dari pneumonia akut hingga
kelainan kronik seperti sarkoidosis dan berbagai bentuk pneumokoniosis. Riwayat penyakit, hasil
pemeriksaan jasmani dan kelainan radiologi memberikan petunjuk untuk menegakkan diagnosis.
Pasien sering terlihat takipnea dengan PCO2 dan PO2 arterial dibawah nilai normal. Volume
paru menurun dan paru-paru menjadi lebih kaku yaitu penurunan compliancedibandingkan
dengan paru-paru normal.
Penyakit Vaskular Paru Oklusif 1

Dispnea berulang saat istirahat sering terjadi akibat emboli paru yang berulang. Adanya
sumber emboli seperti phlebitis pada ekstremitas bagian bawah atau pelvis sangat membantu
dalam mendiagnosis. Pemeriksaan gas darah arteri umumnya abnormal, tetapi volume paru
seringkali normal atau hanya didapat kelainan minimal.
Penyakit Dinding Dada atau Otot Respirasi 1
Pemeriksaan fisik dapat menegakkan keberadaan penyakit dinding dada seperti
kifoskoliosis berat, pectus ekskavatum dan spondilitis. Walaupun secara keseluruhan tiga
deformitas ini dapat disertai dengan gejala dispnea, hanya kifoskoliosis berat yang selalu
mengganggu respirasi dengan intensitas cukup berat hingga terjadi cor pulmonale kronik dan
gagal napas. Kelemahan dan paralisis otot-otot pernapasan dapat menimbulkan dispnea dan
gagal napas.
Penyakit Jantung 1
Pada penyakit jantung, dispnea deffort terjadi sebagai akibat dari peningkatan tekanan
kapiler paru yang dapat disebabkan oleh penurunan compliance ventrikel kiri dan stenosis mitral.
Kenaikan tekanan hidrostatik pada pulmonary vascular bed mengganggu keseimbangan Starling
sehingga terjadi transudasi cairan ke dalam rongga interstisial, mengurangicompliance paru dan
merangsang reseptor J (jukstakapilaris) dalam rongga interstisial alveoli. Jika terjadi dalam
jangka waktu lama, hipertensi vena paru akan mengakibatkan penebalan dinding pembuluh darah
kecil paru, meningkatkan sel perivaskular dan jaringan ikat sehingga mengakibatkan penurunan
compliance paru lebih lanjut. Kompetisi antara pembuluh darah, saluran napas, dan peningkatan
cairan dalam ruang interstitial akan meningkatkan resistensi saluran napas. Penurunan
compliance dan peningkatan resistensi saluran napas meningkatkan kerja pernapasan. Pada gagal
jantung kongestif lanjut, umumnya melibatkan tekanan vena paru dan vena sistemik, sehingga
dapat timbul hidrotoraks yang akan memperberat dispnea. Pada pasien dengan gagal jantung dan
curah jantung yang sangat menurun, dispnea dapat juga dikaitkan dengan kelelahan otot respirasi
sebagai akibat perfusi yang menurun
Ortopnea, yaitu dispnea pada posisi berbaring, terjadi akibat perubahan gaya gravitasi
ketika pasien berbaring sehingga akan meningkatkan tekanan vena dan kapiler paru. Ortopnea
mengakibatkan redistribusi cairan dari abdomen dan ekstremitas bawah ke toraks sehingga
meningkatkan tekanan kapiler paru, dikombinasikan juga dengan elevasi diafragma.
Paroksismal nocturnal dyspnea, dikenal dengan asma kardiak, ditandai dengan serangan
sesak napas yang berat yang umumnya terjadi pada malam hari dan membangunkan pasien dari
tidur. Serangan tersebut dicetuskan oleh stimulus yang memperburuk kongesti paru yang telah
ada sebelumnya. Volume total darah menjadi lebih besar di malam hari karena reabsorbsi edema
dari ekstremitas ketika pasien berbaring.
Dua bentuk nokturnal dispnea yang harus dibedakan dari gagal jantung adalah bronkitis
kronik dan asma. Bronkitis kronik dikarakterisasikan dengan hipersekresi mukus. Setelah tidur
beberapa jam, terjadi akumulasi sekret, timbul dispnea dan wheezing, dan akan membaik dengan
batuk dan pengeluaran sputum. Pasien asma dapat membangunkan pasien dengan sensasi
dispnea berat dan wheezing. Inhalasi bronkodilator umumnya memperbaiki gejala dengan cepat.
Pada dispnea kardiak dapat ditemukan riwayat infark miokard, suara jantung ketiga serta
keempat dan atau terdapat bukti yang menunjukkan pembesaran ventrikel kiri, distensi vena
jugularis leher serta edema perifer. Pada foto thoraks terdapat tanda gagal jantung yang
menunjukkan edema interstisial, redistribusi vaskuler pulmonalis dan penumpukan cairan di

daerah septal serta kavitas pleura. Ekokardiografi terutama berguna untuk menegakkan diagnosis
anatomi penyakit jantung yang dapat menjadi penyebab terjadinya dispnea.
Perbedaan antara Dispnea Kardiak dengan Dispnea Pulmonal 1
Pada sebagian besar pasien dispnea terbukti klinis adanya penyakit jantung atau pada
paru.. Seperti halnya dispnea kardiak, PPOK juga dapat terbangun di malam hari karena sesak
napas, tetapi gejala ini biasanya disertai dengan produksi sputum dan gejala dispnea akan mereda
setelah pasien berhasil mengeluarkan sputumnya.
Pada pasien dengan etiologi dispnea yang tidak jelas, sebaiknya dilakukan tes faal paru
karena tes ini dapat membantu menentukan apakah dispnea tersebut ditimbulkan oleh penyakit
jantung, penyakit paru, kelainan dinding dada ataukah oleh kecemasan. Pengukuran fraksi ejeksi
pada saat istirahat dan sewaktu melakukan latihan jasmani melalui pemeriksaan ekokardiografi
atau radionukletida ventrikulography amat membantu dalam menentukan etiologi. Fraksi ejeksi
ventrikel kiri akan menurun pada gagal ventrikel kiri, sedangkan pada penyakit paru yang berat
fraksi ejeksi ventrikel kanan dapat rendah pada saat istirahat atau menurun sewaktu melakukan
latihan jasmani. Pada dispnea akibat cemas atau malingering, kedua fraksi ejeksi tersebut normal
saat istirahat dan sewaktu melakukan latihan jasmani. Observasi yang cermat selama tes
treadmill membantu mengidentifikasi pasien cemas dan malingering. Pada kedua keadaan ini,
pasien biasanya mengeluh sesak napas, tetapi tampak bernapas irregular atau tanpa tenaga.
Pemeriksaan jantung paru meliputi penilaian kapasitas fungsional maksimal exercise
pasien saat dilakukan pengukuran elektrokardiogram, tekanan darah, konsumsi oksigen, saturasi
arteri (oksimetri), dan ventilasi, membantu dalam membedakan dispnea kardiak dan pulmonal.
Tabel 2. Kelainan pada uji exercise jantung paru 1
Kelainan kardiovaskular
Kelainan respirasi
- denyut jantung > 85% prediksi
maksimum
- ambang anaerobik rendah
- penurunan konsumsi oksigen maksimal
- penurunan tekanan darah dengan latihan
(exercise)
- aritmia atau perubahan iskemi pada EKG
- tidak mencapai ventilasi prediksi
maksimal

- tidak mencapai 85% denyut jantung


prediksi maksimal
- stabil atau peningkatan rasio dead space
terhadap volume tidal
- bronkospasme dengan penurunan FEV1
- tidak ada perubahan iskemik pada EKG
- mencapai / melebihi prediksi ventilasi
maksimal
- desaturasi bermakna (<90%)

- tidak memiliki desaturasi bermakna


Ansietas1
Dispnea yang dialami oleh seseorang dengan ansietas merupakan gejala yang sulit untuk
dievaluasi. Keluhan dan gejala hiperventilasi akut serta kronik tidak dapat dipakai untuk
membedakan antara ansietas dan proses lainnya. Situasi lain yang dapat membingungkan terlihat
ketika nyeri dada dan perubahan gambaran EKG menyertai sindroma hiperventilasi. Jika
ditemukan dan ada kaitannya dengan kondisi ini, yang sering disebut astenia neurosirkulatorik,

gejala nyeri dada yang dikeluhkan acapkali terasa menusuk, berpindah-pindah di berbagai lokasi
dan perubahan gambaran EKG paling sering terlihat selama repolarisasi. Respirasi yang sering
disertai dengan tarikan napas panjang dan pola pernapasan yang tidak beraturan merupakan
petunjuk yang membantu penegakkan diagnosis. Seringkali pola pernapasan tersebut akan
kembali normal sewatu pasien tidur. Cemas dan depresi yang berhubungan dengan penyakit paru
atau jantung dapat menambah berat gejala sesak napas.
EDEMA PARU
Edema paru terjadi akibat adanya akumulasi cairan di paru-paru. Edema paru dapat
diakibatkan oleh kelainan pada jantung (edema paru kardiogenik) atau kelainan di luar jantung
(edema paru non kardiogenik)
Mekanisme Edema Paru
Terdapat dua mekanisme terjadinya edema paru : 1,4,5
1. Membran kapiler alveoli
Edema paru terjadi jika perpindahan cairan dari darah ke ruang interstitial atau ke alveoli
melampaui pengembalian cairan ke dalam darah dan aliran cairan ke sistem pembuluh limfe.
Dalam keadaan normal terjadi pertukaran cairan dari pembuluh darah ke ruang interstitial.
2. Sistem limfe
Sistem limfe berperan dalam pemindahan cairan dari ruang interstitial. Bila kapasitas
saluran limfe dilampaui, akan terjadi edema. Diperkirakan pada pasien dengan berat 70 kg pada
keadaan istirahat kapasitas sistem limfe kira-kira 20 ml/jam. Pada percobaan, didapatkan
kapasitas sistem limfe bisa mencapai 200 ml/jam pada orang dewasa dengan ukuran rata-rata.
Jika terjadi peningkatan tekanan atrium kiri kronik, sistem limfe akan mengalami hipertrofi dan
mempunyai kemampuan mentransportasi filtrat kapiler dalam jumlah yang lebih besar sehingga
dapat mencegah terjadinya edema. Sedangkan bila terjadi peningkatan tekanan kapiler paru yang
tiba-tiba dapat berakibat fatal pada pasien yang tidak mengalami penambahan aliran limfe
sebelumnya.
Studi ekperimental membuktikan bahwa mekanisme edema paru menerapkan pula
hukum Starling.
Q (iv-int) = Kf {(Piv Pint) t(IIiv IIint)}- Qlimf
Q = kecepatan transudasi dari pembuluh darah ke ruang interstitial
Piv =
Pint =
IIiv =
IIint =
t=
Kf =

tekanan hidrostatik intravaskular


tekanan hidrostatik interstitial
tekanan osmotik koloid intravaskular
tekanan osmotik koloid interstitial
koefesien refleksi protein / makromolekul
konduktans hidrolik (berbanding lurus dengan area permukaan membran dan berbanding
terbalik dengan ketebalan membran)
Qlimf = aliran limfe
Klasifikasi edema paru berdasarkan mekanisme pencetus dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
Tabel 1. Klasifikasi edema paru berdasarkan mekanisme pencetusnya 1,4

I. Gangguan keseimbangan gaya Starling


A. Peningkatan tekanan kapiler pulmonalis
1. Peningkatan tekanan vena pulmonalis tanpa gagal ventrikel kiri (misalnya pada
stenosis mitral)
2. Peningkatan tekanan vena pulmonalis yang terjadi sekunder akibat gagal
ventrikel kiri
3. Peningkatan tekanan tekanan kapilerpulmonalis yang terjadi sekunder akibat
peningkatan tekanan arterial pulmonalis (keadaan ini disebut sebagai edema
paru karena overperfusi)
B. Penurunan tekanan osmotik
1. Hipoalbuminemia
C. Peningkatan negativitas pada tekanan interstisial
1. Pengosongan pnemotoraks yang cepat dengan diberikan tekanan negatif yang
besar (unilateral)
2. Tekanan pleura negatif yang besar akibat obstruksi saluran napas saja dengan
peningkatan volume akhir-ekspirasi (asma)
II. Berubahnya permeabilitas membran alveoli-kapiler (acute respiratory distress
syndrome)
1. Pneumonia infeksius bakterial, viral, parasit
2. Toksin yang terinhalasi (fosgen,ozon,klorin, asap teflon,nitrogen dioksida, asap api)
3. Zat asing yang beredar dalam darah (racun ular, endotoksin bakteri)
4. Aspirasi isi lambung
5. Pneuminitis radiasi akut
6. Zat-zat vasoaktif endogen (misalnya histamin, kinin)
7. Koagulasi intravaskular diseminata
8. Immunologi pneumonitis hipersensitivitas, obat-obatan (nitrofurantoin),
leukoglutinin
9. Syok paru yang berkaitan dengan trauma nontorakal
10. Pankreatitis hemoragik akut
III. Insufisiensi limfatik
1. Setelah transplantasi paru
2. Karsinomatosis limfangitik
3. Limfangitis fibrosing (misalnya, silikosis)
IV. Tidak diketahui atau hanya dipahami sebagian
1. Edema paru di tempat tinggi
2. Edema paru neurogenik
3. Overdosis narkotika
4. Emboli paru
5. Eklamsia
6. Setelah kardioversi
7. Setelah anastesi
8. Setelah operasi pintas (bypass) kardiopulmoner
Edema Paru Kardiogenik

Peningkatan tekanan vena paru yang akan menimbulkan kongesti pada pembuluh darah
paru, sering ditemukan pada sebagian besar kasus dispnea yang menyertai gagal jantung
kongestif. Paru menjadi kurang compliance, tahanan pada pembuluh napas yang kecil
meningkat, dan terdapat kenaikan aliran limfe yang berfungsi mempertahankan volume cairan
ektravaskular paru yang konstan. Pada keadaan ini biasanya terdapat takipnea ringan. Bila
keadaan ini berlanjut maka peningkatan intravaskular akan mengakibatkan penumpukan cairan
di ruangan ekstravaskular sehingga timbul edema interstitial. Pada saat ini maka gejala
memburuk, takipneu meningkat, penurunan pertukaran gas lebih lanjut, dan terdapat perubahan
radiologi seperti garis Kerley B dan hilangnya batas vaskular yang jelas. Pada stadium ini, taut
antarsel endotel kapiler melebar dan dapat dilewati makromolekul ke interstisium.
Kenaikan lebih lanjut tekanan intravaskular mengakibatkan disrupsi hubungan antara
sel-sel lapisan alveoli, sehingga timbul edema alveoli dengan cairan yang mengandung sel darah
merah dan makro molekul. Dengan disrupsi membrana alveoli kapiler yang semakin hebat,
cairan edematous akan menggenangi alveoli dan saluran napas. Pada saat ini akan terjadi edema
paru yang full blown, secara klinis pasien tampak cemas dan mengeluarkan keringat dingin,
sputumnya berbuih dan mengandung bercak darah, terdengar ronki basah bilateral sedangkan
pada foto thoraks tampak gambaran paru yang berkabut dengan peningkatan densitas pada hilus
proksimal. Gangguan pertukaran gas semakin bertambah berat dengan keadaan hipoksia yang
memburuk. Tanpa penanganan yang efektif akan terjadi asidemia progresif, hiperkapnia dan
henti pernapasan. Urutan akumulasi cairan yang diuraikan diatas mengkuti hukum Starling,
dimana aliran limfe (Qlimf) juga turut berperan dalam mengurangi edema yaitu mengikuti rumus
akumulasi cairan = Kf {(Piv Pint) t(IIiv IIint)}- Qlimf . 1,4
Edema Paru NonKardiogenik
Beberapa keadaan klinis yang disertai edema paru terjadi karena ketidakseimbangan gaya
Starling dan bukan terutama melalui peningkatan tekanan pulmonalis. Meskipun berkurangnya
tekanan onkotik plasma pada keadaan hipoalbuminemia (misalnya penyakit hepar yang berat,
sindroma nefrotik, protein losing enteropathy) diperkirakan menimbulkan edema paru, namun
keseimbangan berbagai tekanan biasanya sangat mendukung resobsi cairan sehingga pada
keadaan ini diperlukan peningkatan tekanan kapiler sebelum terjadi edema interstisial.
Peningkatan negativitas tekanan interstisial terjadi pada edema paru unilateral sesudah
pengeluaran secara cepat pada pneumotoraks. Dalam situasi ini, temuan tersebut mungkin hanya
terlihat pada pemeriksaan radiografi, tetapi terkadang pasien mengalami dispnea dengan kelainan
jasmani yang terlokalisir pada paru yang edema. Timbulnya tekanan intrapleura negatif yang
besar selama serangan asma berat yang akut dapat disertai dengan timbulnya edema interstisial.
Hambatan aliran cairan limfe yang terjadi sekunder akibat penyakit fibrotik dan inflamatorik atau
karsinomatosis limfangitik dapat menimbulkan edema interstisial. Pada kasus semacam itu, baik
manifestasi klinis maupun radiologik didominasi oleh proses penyakit yang mendasarinya.
Keadaan lain yang juga ditandai adanya peningkatan cairan interstisial di dalam paru
namun dimulai bukan dengan terjadinya gangguan keseimbangan tekanan kapiler ataupun oleh
perubahan dalam aliran cairan limfe, tetapi timbul karena adanya disrupsi membran alveolikapiler. Keadaan ini timbul pada keadaan toksis karena faktor lingkungan ataupun terjadi
spontan, termasuk infeksi paru difus, aspirasi dan syok. Edema paru yang terjadi difus dan tidak
disebabkan karena hemodinamik. Keadaan ini dapat menimbulkan acute respiratory distress
syndrome (ARDS). 1,4

Table 2. Perbedaan edema paru kardiogenik dan edema paru non kardiogenik1,4
Edema paru kardiogenik Edema paru nonkardiogenik
Anamnesis
Acute cardiac event

(+)

Jarang, Penyakit dasar tabel I


B-C,II, IV

Pemeriksaan fisik
Perifer

low flow state (dingin)

S3 gallop /
kardiomegali

(+)

high flow state (hangat, nadi


kuat)
(-)

JVP
Ronki
Penyakit dasar
nonkardiak (misal
peritonitis)

meningkat
basah
umumnya tidak ada

Pemeriksaan
penunjang
EKG

iskemia/infark

Foto thoraks

distribusi perihiler

Enzim kardiak

bisa meningkat

Tekanan kapiler paru

>18 mm Hg

Shunt intrapulmonal

sedikit

Protein cairan edema

< 0,5

tidak meningkat
kering
ada

biasanya normal
distribusi perifer
biasanya normal
< 18 mmHg
hebat
> 0,7

Bentuk Edema Paru lainnya 1,4


Ada tiga bentuk edema paru yang belum jelas berhubungan dengan peningkatan
permeabilitas, aliran limfe yang tidak adekuat atau pun dengan gangguan keseimbangan Starling
sehingga dengan demikian mekanisme terjadinya edema masih belum diketahui. Bentuk edema
tersebut yaitu pada overdosis narkotika, pemajanan tempat yang tinggi (high altitude pulmonary
edema / HAPE), dan edema paru neurogenik.
Pada overdosis narkotika diperkirakan tejadi perubahan permeabilitas alveolus dan
membran kapiler. Mekanisme timbulnya edema pada high altitude masih belum jelas, dan studi
yang ada masih kontroversi antara terjadinya konstriksi vena pulmonal dan konstriksi arteriolar
paru. Hipoksia sendiri tidak mengubah permeabilitas membran alveolar-kapiler. Peningkatan
curah jantung dan tekanan arterial paru pada exercise dikombinasikan dengan konstriksi
arteriolar paru akibat hipoksia dipikirkan menjadi sebab timbulnya edema paru.
Edema paru neurogenik ditemukan pada pasien dengan kelainan sistem saraf pusat dan
tanpa diawali disfungsi ventrikel. Peningkatan masif aktivitas saraf adrenergik mencetuskan
vasokonstriksi perifer dengan peningkatan tekanan darah dan perpindahan darah ke sirkulasi
sentral. Kemungkinan dapat pula disebabkan adanya penurunan compliance ventrikel kiri yang
mengakibatkan perubahan hemodinamik sehingga terjadi edema paru. Beberapa penelitian

memperkirakan bahwa stimulasi reseptor adrenergik meningkatkan permeabilitas kapiler secara


langsung, namun efek ini mempengaruhi relatif sedikit bila dibandingkan dengan
ketidakseimbangan hukum Starling.
Pengobatan Edema Paru 1
Edema paru akut merupakan suatu keadaan yang emergensi. Tindakan yang dapat diberikan
berupa:
1. Morfin diberikan secara intravena dan berulang-ulang sesuai kebutuhan, dengan dosis 2-4
mg. Obat ini dapat menurunkan kecemasan, stimulus vasokontriktor adrenergik membrane
artelior dan vena. Naloxone harus tersedia untuk antisipasi terjadinya depresi pernapasan
2. Pemberian O2 100%, dan lebih dianjurkan dengan tekanan yang positif. Hal ini
meningkatkan tekanan intraalveolar, mengurangi transudasi cairan dari kapiler alveoli,
mengurangi venous return ke toraks, dan mengurangi tekanan kapiler paru.
3. Posisi pasien dipertahankan pada posisi duduk dengan posisi kaki menggelantung pada sisi
tempat tidur, diharapkan terjadi penurunan venous return
4. Diuretik intravena seperti furosemide bertujuan untuk meningkatkan diuresis, mengurangi
volumer darah sirkulasi, sehingga gejala edema paru dapat berkurang.
5. Penurunan afterload jantung dengan sodium nitroprusside pada pasien dengan tekanan
sistolik lebih dari 100 mmHg.
6. Pemberian inotropik dengan dopamine atau dobutamine
7. Aminophylline intravena kadangkala cukup efektif untuk mengurangi bronkokonstriksi,
meningkatkan aliran darah renal dan ekskresi natrium, dan meningkatkan kontraktilitas
miokard.
DAFTAR PUSTAKA
1. Ingram RH, Braunwauld JE. Dyspnea and pulmonary edema. In: Kasper, Braunwauld, Fauci,
Hauser, Longo, Jameson. Harrisons Principles of Internal Medicine. 16th edition. Mc Graw Hill;
2005: 201-5
2. Braunwauld. Examination of the patient. In: Braunwauld. Heart Disease. A textbook of
cardiovascular medicine. 6th edition. WB Saunders; 2001: 28-30
3. Manning HL, Schwartzstein. Patophysiology of Dyspnea. N Engl J Med. Vol 333; 1995: 154753. http://www.nejm.com. Diakses tanggal 20 Oktober 2004
4. Braunwauld. Clinical aspect of heart failure: high output failure; pulmonary edema. In:
Braunwauld. Heart Disease. A textbook of cardiovascular medicine. 6th edition. WB Saunders;
2001: 553-7
5. Harun S. Edema paru akut. In: Sudoyo A, Markum, Setiati S. Naskah Lengkap Penyakit
Dalam PIT 98. Jakarta; 1998: 97-101
Gambar 2.Algoritma evaluasi pasien dengan dispnea.
Keterangan: CHF = congestif heart failure, DVT= deep vein thrombosis, DLCO =diffusing
capacity of the lung for carbon monoxide

You might also like