You are on page 1of 7

LAPORAN PRAKTIKUM FARMAKOLOGI

ANALGETIKA

KELOMPOK 4
NI KOMANG AYU TRISNA ASIH
NI PUTU ARSANI ANGANDARI
NI MADE MEGA MELIAWATI
KOMANG ERRY SEDHANA ATMAJA
YASA KARYADA
I WAYAN ELVA DARMA PUTRA
I PUTU SUDIATMIKA PUTRA
IDA BAGUS PUTU SURYA DHARMA
NI MADE DWI SUKMA DANISWARI
I GST. AYU MADE NURSINTA DEWI
I GST AYU DESI MARIANI

151079
151080
151081
151082
151083
151084
151085
151086
151087
151088
151090

AKADEMI FARMASI SARASWATI DENPASAR


2016

ANALGETIKA
I.

TUJUAN PRAKTIKUM
Percobaan ini bertujuan untuk melihat dan memahami respon analgesik setelah
pemberian analgetika.

II.

DASAR TEORI
Obat analgesik adalah obat yang dapat mengurangi atau menghilangkan rasa nyeri

dan akhirnya akan memberikan rasa nyaman pada orang yang menderita. Nyeri adalah perasaan
sensoris dan emosional yang tidak nyaman,berkaitan dengan ancaman kerusakan jaringan. Rasa nyeri
dalam kebanyakan halhanya merupakan suatu gejala yang berfungsi sebagai isyarat bahaya tentangadanya
gangguan di jaringan seperti peradangan, rematik, encok atau kejang otot . Rasa Nyeri yang
disebabkan oleh rangsangan mekanis, kimiawi atau fisis dapat menimbulkan kerusakan pada
jaringan. Rangsangan tersebut memicu pelepasan zat-zat tertentu yang disebut mediator nyeri.
Mediator nyeri antara lain dapat mengakibatkan reaksi radang dan kejang-kejang yang
mengaktivasi reseptor nyeri di ujung saraf bebas di kulit, mukosa dan jaringan lain. Nocireseptor
ini terdapat diseluruh jaringan dan organ tubuh, kecuali di SSP. Dari sini rangsangan di salurkan
ke otak melalui jaringan lebat dari tajuk-tajuk neuron dengan amat benyak sinaps via
sumsumtulang belakang, sumsum lanjutan, dan otak tengah. Dari thalamus impuls kemudian
diteruskan ke pusat nyeri di otak besar, dimana impuls dirasakan sebagai nyeri (Tjay, 2007).
Berdasarkan aksinya, obat-abat analgetik dibagi menjadi 2 golongan yaitu : (Tjay, 2007).
a. Analgesik Nonopioid/Perifer (Non-Opioid Analgesics)
Secara farmakologis praktis dibedakan atas kelompok salisilat (asetosal, diflunisal) dan non
salisilat. Sebagian besar sediaansediaan golongan non salisilat ternmasuk derivat as.
Arylalkanoat.
b. Analgesik Opioid/Analgesik Narkotika
Analgesik opioid merupakan kelompok obat yang memiliki sifat-sifat seperti opium atau
morfin. Golongan obat ini terutama digunakan untuk meredakan atau menghilangkan rasa nyeri.
Tetap semua analgesik opioid menimbulkan adiksi/ketergantungan.
Mekanisme Kerja Obat Analgesik
a. Analgesik Nonopioid/Perifer (Non-Opioid Analgesics)

Obat-obatan dalam kelompok ini memiliki target aksi pada enzim, yaitu enzim
siklooksigenase (COX). COX berperan dalam sintesis mediator nyeri, salah satunya adalah
prostaglandin. Mekanisme umum dari analgetik jenis ini adalah mengeblok pembentukan
prostaglandin dengan jalan menginhibisi enzim COX pada daerah yang terluka dengan demikian
mengurangi pembentukan mediator nyeri . Mekanismenya tidak berbeda dengan NSAID dan
COX-2 inhibitors. Efek samping yang paling umum dari golongan obat ini adalah gangguan
lambung usus, kerusakan darah, kerusakan hati dan ginjal serta reaksi alergi di kulit. Efek
samping biasanya disebabkan oleh penggunaan dalam jangka waktu lama dan dosis besar.
(Goodman and Gilman, 2007)
b. Analgesik Opioid/Analgesik Narkotika
Mekanisme kerja utamanya ialah dalam menghambat enzim sikloogsigenase dalam
pembentukan prostaglandin yang dikaitkan dengan kerja analgesiknya dan efek sampingnya.
Kebanyakan analgesik OAINS diduga bekerja diperifer . Efek analgesiknya telah kelihatan
dalam waktu satu jam setelah pemberian per-oral. Sementara efek antiinflamasi OAINS telah
tampak dalam waktu satu-dua minggu pemberian, sedangkan efek maksimalnya timbul
berpariasi dari 1-4 minggu. Setelah pemberiannya peroral, kadar puncaknya NSAID didalam
darah dicapai dalam waktu 1-3 jam setelah pemberian, penyerapannya umumnya tidak
dipengaruhi oleh adanya makanan. Volume distribusinya relatif kecil (< 0.2 L/kg) dan
mempunyai ikatan dengan protein plasma yang tinggi biasanya (>95%). Waktu paruh
eliminasinya untuk golongan derivat arylalkanot sekitar 2-5 jam, sementara waktu paruh
indometasin sangat berpariasi diantara individu yang menggunakannya, sedangkan piroksikam
mempunyai waktu paruh paling panjang (45 jam).(Goodman dan Gilman, 2007)
Mekanisme kerja asam mefenamat :
Asam mefenamat merupakan kelompok anti inflamasi non steroid, bekerja dengan
menghambat sintesa prostaglandin dalam jaringan tubuh dengan menghambat enzim
siklooksigenase, sehingga mempunyai efek analgesik, anti inflamasi dan antipiretik. Cara Kerja
Asam mefenamat adalah seperti OAINS (Obat Anti-Inflamasi Non-Steroid atau NSAID) lain
yaitu menghambat sintesa prostaglandin dengan menghambat kerja enzim cyclooxygenase
(COX-1 & COX-2). Asam mefenamat mempunyai efek antiinflamasi, analgetik (antinyeri) dan
antipiretik. Asam mefenamat mempunyai khasiat sebagai analgesik dan antiinflamasi. Asam

mefenamat merupakan satu-satunya fenamat yang menunjukan kerja pusat dan juga kerja perifer.
Dengan mekanisme menghambat kerja enziim sikloogsigenase ( Goodman dan Gilman, 2007 ).
Mekanisme kerja Paracetamol :
Parasetamol menghambat siklooksigenase sehingga konversi asam arakhidonat menjadi
prostaglandin terganggu. Setiap obat menghambat siklooksigenase secara berbeda (Wilmana,
1995). Parasetamol menghambat siklooksigenase pusat lebih kuat dari pada aspirin, inilah yang
menyebabkan parasetamol menjadi obat antipiretik yang kuat melalui efek pada pusat
pengaturan panas. Parasetamol hanya mempunyai efek ringan pada siklooksigenase perifer
(Dipalma, 1986). Inilah yang menyebabkan parasetamol hanya menghilangkan atau mengurangi
rasa nyeri ringan sampai sedang. Parasetamol tidak mempengaruhi nyeri yang ditimbulkan efek
langsung prostaglandin, ini menunjukkan bahwa parasetamol menghambat sintesa prostaglandin
dan bukan blokade langsung prostaglandin. (Wilmana, 1995).

III.

ALAT DAN BAHAN

1. Alat yang digunakan

Hot plate
Spuit injeksi
Sonde oral modifikasi
Stop watch

Beaker glass
Gelas ukur
Mortir dan stemper

2. Bahan yang digunakan


Paracetamol 500 mg
Aquadest

IV.

CARA KERJA

1. Disiapkan alat dan bahan yang akan digunakan


2. Hewan coba diperlakukan dengan baik agar tenang dan tidak berontak
3. Sebelum tikus diberikan obat analgetika, diamati diameter pupil mata tikus, diamati ada
tidaknya sekresi saliva dan di hitung frekuensi denyut nadi dan pernapasan tikus
permenitnya. Dicatat hasilnya.
4. kemudian tikus diberikan paracetamol sebagai obat analgesik sesuai dengan dosis yang
telah ditentukan,

5. Tikus didiamkan selama 15 menit untuk memberikan kesepatan distribusi obat ke dalam
tubuh tikus.
6. Selanjutnya tikus diuji dengan meletakannya di atas hot plate dengan suhu 55 0C
7. Dicatat waktu munculnya respon nyeri pada tikus yaitu saat pertama kali tikus menjilat

V.

kakinya.
HASIL PENGAMATAN DAN PERHITUNGAN
1. Hasil pengamatan sebelum dan sesudah pemberian paracetamol
Perlakuan

Saliva

Sebelum
-

Sesudah
Ada

Pupil Mata

Melebar

Menyempit

Denyut nadi

110/menit

120/menit

Pernapasan

143/menit

124/menit

2. Perhitungan Dosis Paracetamol untuk hewan coba tikus


Obat analgetika yang digunakan = paracetamol 500 mg
Faktor konversi Tikus = 0,018
Dosis untuk tikus = 500 mg x 0,018 = 9 mg/kg BB tikus.
BB tikus yang di uji = 67,3 gram
Dosis yang dianjurkan 50mg/kgBB tikus
Dosis untuk tikus yang di uji 50 mg/1000 gram BB = x / 67,3 gram BB tikus uji = 3,365
mg/67,3 gr BB tikus uji.
cara pemberian
sebanyak 10,095 mg atau dibulatkan menjadi 10,10 mg paracetamol, dilarutkan kedalam
3 ml aquadest. Kemudian di ambil 1 ml menggukan spuit injeksi dan diberikan ke tikus
dengan menggunakan sonde yang dimodifikasi.

VI.

PEMBAHASAN
pada praktikum yang kami laksankan bertujuan untuk melihat dan mengetahui efek

analgesic setelah pemerian obat analgetika non narkotik. Adapun bahan-bahan yang
digunakan adalah obat paracetamol tablet(500 mg) dan aquadest dan hewan coba yang

digunakan yaitu tikus (Rattus norvegicus). Pertama-tama hewan coba dikondisikan


terlebh dahulu agar tidak berontak.
Sebelum diberikan pemberian obat diamati kondisi fisik hewan coba meliputi saliva,
pupil mata, denyut nadi, pernapasan. Hasil pengamatan yang kami peroleh adalah pada
hewan coba tidak ditemukan adanya saliva, karena hewan coba sebelumnya dipuasakan.
Pada pupil hewan coba mengalami pelebaran, denyut nadi hewan coba adalah 110/ menit,
dan frekuensi pernapasan hewan coba adalah 143/menit.
Setelah pengamatan fisik hewan coba ditimbang, berat badan yang diperoleh adalah
67,3 gram. Kemudian hewan coba diberikan obat dengan dosis 3,365 mg/ 1 ml secara per
oral menggunakan sonde, untuk memperoleh dosis tersebut dilakukan dengan cara
paracetamol ditimbang sebanyak tiga kali dari hasil koversi yakni 3,364 mg x 3 = 10,1
mg yang dilarutkan dengan 3 ml aquadest. Dari arutan tersebut diambil 1 ml
menggunakan spuit. Tujuan pembuatan larutan sebnyak 3 ml adalah untuk mencegah
terjadinya kekuranan bahan pada saat pengambilan dengan spuit.
Setelah pemberian obat tersebut hewan coba didiamkan selama 15 menit, untuk
memberikan waktu agar obat dapat tersebar dalam tubuh hewan coba dengan baik.
Setelah 15 menit hewan coba diletakkan dalam hotplate dengan suhu 55 o C kemudian
dimati dan dicatat waktu yang diperlukan untuk tikus sampai menimbulkan respon nyeri
sampai tikus menjilati kakinya.
Dari hasil pengamatan waktu yang diperlukan tikus untuk memberikan respon nyeri
yaitu 2,26 menit. Penyebab timbulnya respon nyeri adalah meningkatnya produksi
prostaglandin akibat kerusakan sel.
Setelah itu kembali diamati kondisi hewan coba hasilnya adalah produksi saliva
meningkat, pupil mata hewan coba mengecil (miosis) denyut jantung meningkat dari 110
menjadi 120 per menit sedangkan pernapasan hewan coba menurun 143/menit menjadi
124/menit.
Adanya perubahan kondisi fisik antara sebelum dan sesudah pemberian obat
kemungkinan bkan pengaruh dari paracetamol melainkan kondisi lingkungan sekitar

hewan coba karena paracetamol merupakan obat nalgesik non narkotik yang tidak
mempengaruhi system saraf maka seharusnya aktifitas tubuh yang dipengaruhi oleh
system saraf misalnya sekresi saliva, kondisi pupil, denyut nadi dan penafasan tidak
dipengruhi oleh paracetamol.

VII. KESIMPULAN
Dari praktikum yang kami laksanakan dapat kami simpulkan sebagai berikut:
1. Salah satu metode yang sangat efektif untuk menguji aktifitas analgesic adalah
dengan metode panas menggunakan hotplate pada suhu 55o
2. Respon nyeri pada tikus dapat diketahui ketika tikus menjilat kakinya.
3. Waktu yang diperlukan untuk tikus memberikan respon nyeri adlah 2,26 menit.
4. Respon nyeri timbul akibat peningkatan produksi prostaglandin, tikus dapat
menahan rasa nyeri selama 2,26 menit dikarenakan efek dari paracetamol yaitu
menghambat sintesis prostaglandin.

VIII. DAFTAR PUSTAKA


1. Tjay,Tan Hoan dan K. Rahardja. 2007. Obat-obat Penting. PT Gramedia: Jakarta.
2. Goodman and Gilman. 2007. Dasar Farmakologi Terapi. Edisi 10. diterjemahkan
oleh Amalia. Penerbit Buku Kedokteran EGC : Jakarta.
3. Sunaryo, Wilmana. 1995. Farmakologi dan Terapi. Edisi 4. Jakarta: Penerbit FK
UI: 224-33

You might also like