You are on page 1of 67

Inspirasi Menulis dari Para Juara LMCA 2012

Cerpen 2 comments

Apa keunggulan naskah para juara lomba menulis?

Itulah pertanyaan yang sering muncul di benak kita kala membaca


pengumuman lomba menulis. Terlebih jika kita mengikuti lomba itu dan belum
terpilih sebagai pemenang. Padahal kita merasa sudah menulis sebaik
mungkin. Tulisan yang kita kirim untuk lomba mendapat pujian dari orang
sekitar kita lagi.
Lomba Menulis Cerita Anak merupakan salah lomba bergengsi yang
diselenggarakan

Kementerian

Pendidikan

dan

Kebudayaan

Republik

Indonesia. Kenapa bergengsi? Jumlah peserta ribuan dan berasal dari


seluruh

Indonesia.

Berhasil

menjadi

finalis

saja

sudah

merupakan

kemenangan tersendiri, apalagi jika berhasil menjadi juara utama.


Pada tahun 2012, ada 3 cerpen yang menjadi pemenang utama.
Juara 1: cerpen Pelangi untuk Jingga oleh Sherina Salsabila

Juara 2: cerpen Cerita Bringbun dan Chikuita oleh Nafisa Nurul Izza
Juara 3: cerpen Maafkan Aku, Kek karya Ahmad Ali Ashshidiqi

Apa saja keistimewaan 3 cerpen tersebut?


Berikut ini ulasan keitimewaan 3 cerpen pemenang Lomba Menulis Cerita
Anak 2012 berdasarkan hasil pembacaan saya di buku kumpulan cerpen 13
karya terpilih dan pengantar dewan juri yang diwakili oleh Joni Ariadinata

1. Berdasarkan Pengalaman Pribadi


Semua cerpen karya pemenang utama merupakan pengalaman pribadi
yang pernah terjadi pada para penulis. Hal itu diungkapkan Sherina dan
Nafisa pada profilnya di akhir cerpen.

Tokoh Jingga dalam cerpen Sherina benar-benar ada, namun namanya


diganti. Kisah sebatang pohon dan burung Kutilang juga merupakan hasil
pengamatan Nafisa pada lingkungan di sekitar rumahnya. Ahmad Ali
Ashshidiqi yang meraih juara 3 tidak menuturkan secara jelas bahwa ceritanya
benar-benar terjadi. Namun tokoh dalam ceritanya maupun Ahmad sendiri
sama-sama tinggal di Sorong, Provinsi Papua Barat.

Pengalaman bersama sahabat dapat menjadi inspirasi tulisan

Inspirasi dari Para Juara:

Cobalah tulis pengalaman pribadi sesuai tema


lomba.
Ceritakan apa adanya jika perlu, atau ganti nama dan keterangan tokoh
seperlunya. Tulislah seolah-olah kamu sedang menceritakan pengalamanmu
sendiri kepada seorang sahabat melalui tulisan.

2. Cerita yang Menyentuh Hati


Semua cerpen pemenang utama menyentuh hati dalam arti menimbulkan
keharuan tersendiri pada pembaca, terutama cerpen karya Sherina.
Bayangkan saja, ada anak berkebutuhan khusus, namun banyak anak dan
orangtua enggan bergaul dengannya. Kalau kamu menjadi anak
berkebuyuhan khusus itu, pasti kamu akan sedih, kan?

Untunglah, tokoh aku dalam cerpen Pelangi untuk Jingga mempunyai


orangtua yang pengasih, tidak membeda-bedakan anak biasa dan anak
berkebutuhan khusus. Orang tua seperti itu masih sedikit. Anak yang mau
berteman dengan anak berkebutuhan khusus juga tidak banyak. Sherina
mampu menuliskan hal yang tidak biasa itu ke dalam cerpen dengan apik.

Cerpen Cerita Bringbun dan Chikuita dan Maafkan Aku, Kek juga bertutur
tentang kepedulian terhadap sekitar. Nafisa peduli pada lingkungan, Ahmad
peduli pada sang kakek. Dua cerpen itu dan juga cerpen Sherina secara tidak
langsung mengingatkan pembaca pada hal penting yang mungkin sudah
mulai kita lupakan. Wajar saja jika ketiga cerpen itu terpilih sebagai
pemenang.

Menyentuh hati pembaca dengan hikmah

Inspirasi dari Para Juara:

Ajak pembaca mengingat hal penting dalam


hidup ini.
Tidak harus dituturkan seperti ceramah. Cukup tuliskan apa yang
pernah menyentuh hatimu lalu tuliskan kembali, sehingga tulisan kita
mempunyai banyak hikmah.

3. Berwawasan dan Berilmu Pengetahuan.


Semua pemenang utama Lomba Menulis Cerita Anak 2012 senang
membaca. Hasil bacaan itu menjadi pengetahuan dan wawasan bagi
seseorang untuk menulis. Ia bisa menulis dengan bekal pengetahuan, bukan
sekadar dikarang saja.

Cerpen merupakan jenis tulisan fiksi yang tidak harus dialami oleh penulis.
Namun cerita fiksi harus tetap berdasarkan kenyataan hidup sehari-hari
sehingga pembaca mudah memahaminya.

Nafisa yang menceritakan sakitnya sebatang pohon karena sering dipaku.


Pada cerpennya, Nafisa menuturkan bahwa, paku yang tertancap di batang
bisa merusak jaringan batang pohon yang pada akhirnya mengganggu proses
fotosintesis. Fotosintesis terganggu, pohon kurang makan. Cepat atau lambat
pohon akan mati.

Logika cerita yang diungkapkan Nafisa cukup ilmiah dan bisa diterima oleh

akal pembaca. Kemungkinan besar logika cerita itu diperoleh Nafisa


berdasarkan pengamatan dan pengalaman membacanya.

Membaca akan meluaskan imajinasi & pengetahuanmu

Inspirasi dari Para Juara:

Sering-seringlah membaca.
Jika kamu belum suka membaca buku pengetahuan, baca saja komik,
buku cerita bergambar atau buku dan bacaan apa saja yang kamu sukai.
Bagaimana jika hobi membaca status atau kiriman di media sosial seperti
facebook dan twitter? Boleh saja, tapi membaca buku harus diutamakan,
karena muatan informasinya lebih lengkap dan kaya, serta bebas iklan.

Itulah sedikit keistimewaan karya para juara Lomba Menulis Cerita Anak 2012.
Beberapa inspirasi menulis bisa kita petik dari karya mereka. Selamat
menulis, semoga kualitas karyamu melebihi karya para pemenang-pemenang
itu.
Cerita Bringbun dan Chikuita, Cerpen Terbaik 2 LMCA 2012
Cerpen No comments

Cerpen berjudul Cerita Bringbun dan Chikuita adalah karya Nafisa Nurul
Izza. Ia masih berusia 11 tahun saat menulis cerpen bertema peduli

lingkungan ini. Pengamatan Nafisa pada sekitarnya, terutama taman kecil di


pekarangan rumahnya adalah inspirasi menuliskan cerpen ini.

Di taman pekarangan rumah keluarga Nafisa, tumbuh pohon nangka dan


mangga. Manfaat yang sering diperoleh keluarga Nafisa dari pohon itu sering
membuatnya berkhayal agar bisa berbicara untuk berterima kasih kepada dua
pohon itu.

Cerpen ini menduduki peringkat dua dalam Lomba Menulis Cerita Anak
(LMCA) 2012 yang diadakan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Kisahnya tentang keluh kesah sebatang pohon dan seekor burung kutilang.
Silakan dibaca, semoga kamu terinspirasi untuk menulis cerita yang lebih baik
daripada cerpen ini.

Cerita Bringbun dan Chikuita

Oleh: Nafisa Nurul Izza

Kutilang. Begitu nama yang diberikan bangsa manusia kepada kami.


Sedangkan sahabat-sahabatku biasa memanggil aku Chikuita. Ya, Chikuita,
yang artinya si Kutilang yang suka bercerita.
Hobiku jalan-jalan. Aku suka pergi ke pinggiran hutan. Aku juga suka
pergi ke, persawahan, kebun, atau pepohonan rimbun di taman-taman kota
ini. Di sana aku biasanya bercerita tentang apa saja pada semua sahabatku
bangsa flora dan fauna.
Seperti itulah yang aku lakukan pagi ini. Aku mengunjungi sahabatku
Bringbun (Beringin rimbun). Bringbun tumbuh di salah satu pojok Balaikota.
Saat aku berkunjung seminggu lalu, buah Bringbun masih kecil-kecil dan
mentah. Mudah-mudahan saat ini sudah banyak yang matang. Jadi aku bisa
menikmati buahnya sambil bercerita dengan dia.
O, ya, Bringbun sahabatku ini termasuk pohon yang pintar dan tahu
banyak hal. Mungkin karena letak Bringbun di pojok Balaikota. Kata Bringbun,
setiap hari banyak sekali orang yang duduk-duduk di bawahnya. Mereka ada
yang ngobrol, ada yang berdiskusi, ada yang membaca koran, majalah, buku,

atau internet di laptop yang mereka bawa. Jadi, secara tidak sengaja Bringbun
suka mendengarkan diskusi orang-orang itu, atau menguping saat mereka
sibuk ngobrol. Bahkan, seringkali Bringbun ikut membaca buku, majalah,
koran, atau informasi-informasi yang ada di internet tersebut. Nah, karena aku
juga ingin pintar seperti dia, makanya aku sering sekali mengunjungi
Bringbun. Selain ingin mendengarkan berita-berita terbaru dari dia, aku juga
bisa menikmati buahnya yang lumayan enak.
Tidak sampai tiga puluh menit meluncur dari markasku di Taman Hutan
Raya Kota, aku sudah sampai di salah satu dahan Bringbun. Setelah
mengucapkan salam dan menanyakan kabar, aku minta ijin menikmati
buahnya yang telah matang. Sambil makan buahnya, dalam hati aku heran
dengan sikap sahabatku ini. Tidak seperti biasanya, pagi ini Bringbun sangat
pendiam. Padahal biasanya, setiap aku datang dia langsung nyerocos
bercerita tentang berbagai hal. Kini Bringbun terlihat kaku dan hanya
membisu. Salamku saat datang tadi, juga hanya dijawabnya dengan singkat
saja. Ada apa ini, kataku dalam hati.
Karena ingin tahu, aku pun bertanya kepadanya, kenapa dia seperti itu.
Tadinya Bringbun tampak ogah-ogahan bercerita. Tapi setelah aku desak,
akhirnya dia mau juga curhat kepadaku.
Tadi

malam

seseorang

hendak

membakarku,

Chikuita.

Dia

mengatakan, bahwa tak ada gunanya pohon tumbuh di sini. Untunglah ada
yang mencegah.

Syukurlah kalau begitu. Tetapi kenapa engkau masih sedih? Bukankah


engkau telah selamat?
Sahabatku Chikuita, aku sedih karena masih saja ada manusia yang
tidak mengerti. Tahukah kamu, Chikuita, bahwa selama ini kamilah bangsa
pepohonan di kota ini, yang paling menderita? tanya Bringbun.
Kenapa kau berkata seperti itu Bringbun? Aku balik bertanya.
Begini Chikuita. Tiap hari, kami bangsa pepohonan, dari pagi hingga
larut malam harus bekerja keras menyerap polusi udara. Udara-udara kotor
penuh racun itu, dikeluarkan dari berbagai kendaraan milik bangsa manusia.
Setiap hari jumlah kendaraan semakin bertambah banyak, sementara jumlah
pepohonan semakin sedikit. Padahal kami harus mengubah udara yang kotor
dan beracun tersebut, menjadi oksigen bersih yang dibutuhkan manusia,
demikian Bringbun mengawali curhatnya.
Aku hanya mengangguk-angguk, mendengarkan curhat Bringbun yang
panjang lebar. Sambil terus menikmati buahnya.
Kamu

tahu

Chikuita.

Walaupun

pekerjaan

rutin

semacam

ini

melelahkan, tapi kami tulus dan ikhlas melakukannya. Karena memang


begitulah tugas utama kami, ketika diciptakan Tuhan. Kami bahagia bisa
memberikan manfaat kepada bangsa manusia. Suara Bringbun terdengar
ditekan, seolah-olah seluruh kesedihan hendak ia tumpahkan.
Aku mengangguk setuju, dan menunggu cerita selanjutnya.

Tapi tahukah balasan apa yang kami terima? Balasan dari sebagian
besar bangsa manusia penghuni kota ini, kepada kami?
Aku terdiam dan menunggu.
Semakin padat dan kotor kota mereka, maka semakin banyak bangsa
kami dianiaya, dirusak, bahkan dibantai! kini suaranya terdengar marah dan
kesal.
Masukdmu bagaimana, Bringbun? tanyaku tidak paham.
Lihat saja, Chikuita, lihat dengan cermat. Sekarang aku akan membuka
rahasia ini. Coba engkau hitung, ada berapa ratus paku di tubuhku? Coba kau
terbang berkeliling, dan hitung satu per satu, Bringbun berhenti berbicara.
Aku sungguh terkejut mendengar hal ini.
Sekarang ini aku mulai sakit, Chikuita, kata Bringbun melanjutkan.
Paku-paku itu, lama-lama berkarat, dan mengotori aliran getahku.
Menghambat suplai makanan dari akar menuju daun. Kemarin-kemarin aku
masih bisa berusaha bertahan.
Kenapa mereka tega melakukan itu, Bringbun? aku spontan kembali
bertanya.
Karena bangsa manusia selalu meremehkan yang lain. Selalu ingin
mudah, dan murah. Mereka memasang poster, pengumuman, iklan-iklan,
bahkan bendera-bendera, dengan memaku dan memotong dahan-dahan
seenaknya.

Bahkan

memaku

tubuh-tubuh

kami

dengan

besi,

lalu

meninggalkan besi-besi itu, untuk mereka pergunakan kembali pada saat


dibutuhkan.
Aku segera menghentikan makanku, dan melihat-lihat dahan Bringbun.
O la la.., Aku hitung, hanya dalam satu dahan saja, hampir ada tiga puluhan
paku berbagai ukuran yang menancap. Belum pada batangnya, aku melihat
ratusaan paku, hingga besi-besi yang menonjol, sungguh mengerikan. Aku
bergidik dan membayangkan betapa sakitnya.Karena mungkin sudah lama,
sebagian besar paku-paku tersebut sudah berkarat.
Dengan banyaknya paku yang menancap itu, tubuhku jadi luka-luka
dan sakit. Pembuluh getahku banyak yang terputus. Akibatnya jalur saluran
makananku menjadi terhambat. Untungnya batangku cukup besar, jadi aku
masih bisa bertahan. Tapi bagaimana coba, dengan teman-temanku pohonpohon yang masih kecil itu? Kalau di tubuhnya penuh paku, dia bisa kering
dan akhirnya banyak yang mati sia-sia!, ujar Bringbun kembali terlihat marah
dan kesal.
Ya, ya, kamu benar Bringbun, kataku membenarkan.
Selain melukai kami dengan paku dan besi, tangan-tangan jahil bangsa
manusia juga tega-teganya menyayati kulit batang tubuh kami dengan belati
dan pisau kater. Mereka mencoba menuliskan namanya, atau nama gengnya,
di tubuh kami. Mereka menyayati kulit tubuh kami, tanpa berpikir bahwa
perbuatan itu membuat kami sakit. Betapa kejamnya mereka, bukan?
Dikiranya dengan melakukan hal itu, nama mereka akan terkenal. Sungguhsungguh biadab.

Ya, betul-betul biadab, aku mengamini ucapan Bringbun. Aku kini bisa
melihat bahwa Bringbun memang sakit. Ada banyak cabang pohonnya yang
kering. Lebih banyak daun Bringbun yang mulai berwarna kuning.
Masih ada satu lagi perbuatan biadab yang menyiksa. Banyak manusia
yang tidak pernah berpikir, dengan tega membakar sampah di dekat kami!
Benar-benar tidak memiliki perasaan. Alasan mereka sungguh sederhana
sekali. Hanya karena mereka tidak ingin repot membuang daun-daun kering
bangsa kami, ke tempat sampah. Mereka tega membakar daun-daun itu, di
dekat kami, kini suara Bringbun memelas dan menyayat hati.
Akibat perlakuan itu, aku dengar banyak teman-temanku di sepanjang
jalan kota ini yang mati. Daun-daunnya meranggas, batangnya melepuh, lalu
kering dan tumbang. Kalau sudah demikian, mereka dengan gembira
menjadikannya kayu bakar. Bayangkanlah Chikuita, kami pepohonan di kota
ini, yang telah banyak berjasa pada manusia, akhirnya hanya menjadi kayu
bakar, kali ini Bringbun meneteskan air mata. Aku pun jadi ikut terharu.
Aku tahu penderitaanmu, sahabatku Bringbun. Kami juga, bangsa
burung, sesungguhnya juga sangat menderita. Semakin padat dan kotor kota
ini, semakin banyak kami mengalami musibah. Kami banyak ditangkapi dan
diperjualbelikan, kataku balik bercerita kepada Bringbun.
Memang sebagian dari kami diberi sangkar, bahkan ada yang
sangkarnya sangat indah. Selain itu kami juga diberi makanan yang enakenak. Tapi apa artinya diberi sangkar yang indah, serta makanan yang enakenak, jika setiap hari kami dikurung? kataku melanjutkan cerita.

Bringbun tampak mulai tertarik mengikuti ceritaku.


Selain diperjualbelikan, kami juga ramai-ramai dibunuh. Bukan untuk
diambil dagingnya, tapi dibunuh untuk kesenangan. Kami diketapel, atau
ditembaki menggunakan senapan angin, betul-betul semata-mata hanya untuk
kesenangan saja. Padahal katanya, kami dilindungi undang-undang. Tapi
kenyataannya, para penembak, pemburu, dan penjual burung, tak pernah
mendapat hukuman. Jadi, nasib kita sesungguhnya sama, Bringbun...,
kataku.
Baru saja selesai bicara seperti itu, tiba-tiba saja dari arah bawah ada
sesuatu yang menyerempet sayap kiriku. Sedikit terasa sakit. Kemudian
kudengar Bringbun berteriak-teriak menyuruh agar aku segera terbang.
Katanya, di bawah ada dua orang remaja yang mencoba memburuku dengan
ketapelnya.
Aku jadi kaget dan panik. Belum lagi aku mencoba terbang, tiba-tiba
benda keras kembali menyerempet tubuhku.
Bringbun kembali berteriak-teriak menyuruh aku segera kabur. Bahkan,
ia kini menggoyang-goyangkan seluruh cabang, dahan dan ranting-rantingya.
Akibatnya, daun-daun kering dan debu-debu yang menempel di Bringbun
serentak berjatuhan dan membuat mata kedua pemburu itu kelilipan.
Keduanya terdengar berteriak-teriak kesakitan sambil menguceki matanya.
Bringbun kembali berteriak memintaku agar segera kabur.
Kesempatan ini tidak aku sia-siakan. Walaupun sayapku sedikit pegal,
aku segera mengambil kepak seribu. Aku pamitan dan langsung kabur

meninggalkan sahabatku Bringbun yang masih terus menggoyang-goyangkan


seluruh tubuhnya. Sedangkan di bawah Bringbun, kedua pemburu jahat itu
masih berteriak-teriak kesakitan. Karena selain keduanya matanya kelilipan,
juga tubuhnya tampak bentol-bentol akibat kejatuhan ulat bulu. Keduanya
terus berteriak-teriak dengan kedua tangannya sibuk menggaruki tubuhnya
yang gatal.
Sambil aku pulang kembali ke markasku di Taman Hutan Raya, dalam
hati aku bersyukur dan yakin bahwa masih ada Tuhan Maha Adil. Segala
perbuatan pasti akan mendapatkan balasannya. Jika kita berbuat baik akan
berbuah kebaikan, dan jika kita jahat akan berbuah keburukan pula.[*]

Maafkan Aku, Kek, Cerpen Terbaik 3 LMCA 2012


Cerpen 1 comment

Siapa yang punya kakek atau nenek dan sering jengkel dengan
kepikunan mereka? Nah, cerpen berjudul Maafkan Aku, Kek ini mengingatkan
kita agar selalu menghormati kakek dan nenek kita. Cerita karya Ahmad Ali
Ashshidiqi menduduki peringkat tiga dalam Lomba Menulis Cerita Anak
(LMCA) 2012 yang diadakan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Silakan baca dengan perlahan, serapi maknanya. Semoga kamu terinspirasi
untuk selalu berbuat baik terhadap orang tua, terutama mereka yang sudah
lanjut usia.

Maafkan Aku, Kek

Aku adalah anak bungsu dari empat bersaudara. Namaku Anggito


Wiryawan. Aku biasa dipanggil Tito. Aku dilahirkan di Sorong, 10 Februari
2001. Aku adalah siswa kelas enam di SD Al Irsyad Kota Sorong, Papua
Barat. Dua kakak perempuanku telah kuliah dan tidak tinggal serumah dengan
orangtuaku. Kakak pertama bernama Paramitha Wiryawan. Dia kuliah di STIS
Jakarta. Kakak kedua bernama Maharani Wiryawan. Dia kuliah di AMG
Jakarta. Kakak perempuan ketiga bernama Windyani Wiryawan. Dia biasa
dipanggil Windy, dan masih tinggal serumah dengan orangtuaku karena
masih kelas 2 SMA.

Ayahku bernama Wiryanto. Dia seorang pelaut yang bekerja di kapal


udang. Dia sering berlayar meninggalkan kami selama 2 3 bulan. Ibuku
bernama Wantini seorang guru di sebuah SMPN di Kota Sorong. Nama
belakangku dan kakakku adalah gabungan antara nama ayah dan nama ibu.
Selain itu tinggal pula kakek di rumahku. Dia adalah orang tua dari ayahku.
Dahulu kakek juga seorang pelaut. Dia seorang prajurit Angkatan Laut.
Sedang nenek sudah meninggal lebih dulu. Rumah kakek telah dijual oleh
anak-anaknya. Kakek tidak mempunyai rumah lagi. Kakek meminta tinggal di
rumah kami, karena rumah kamilah yang paling besar.
Seperti biasa ayah pergi berlayar dengan kapal udangnya. Suasana
rumah serasa sunyi. Jika ayah di rumah, ayah pasti orang yang sering
menegurku kalau aku terlalu lama bermain. Misalnya bermain Play Station,
Online, dan nonton televisi. Jika ayah pergi, ibu yang menegurku, tetapi tidak
sekeras ayah.
Suatu hari sepulang sekolah, ibu membawa kabar yang mengejutkan.
Ibu mengatakan, Ibu mendapat tugas untuk penataran ke Jakarta.
Aku bertanya, Berapa lama, Bu?
Hanya dua minggu, jawab ibu.
Kepalaku langsung pusing. Apa jadinya kalau dirumah tanpa ibu
selama dua minggu? tanyaku dalam hati.
Sehari sebelumnya, Kak Windy juga berangkat ke Bandung untuk
mengikuti pekan karya ilmiah. Aku bingung membayangkan harus menjaga
kakek yang telah pikun. Ingin rasanya kularang ibu agar tidak pergi, kataku

dalam hati. Tetapi tidak bisa, karena ini adalah salah satu tugas ibu sebagai
guru.
Soal makan, kamu tidak usah khawatir, kata ibu.
Ibu sudah titip Bude Ning memasak untuk kamu dan kakek, lanjutnya.
Bude Ning adalah tetangga sebelahku yang sangat dipercaya ibuku.
Bude Ning juga adalah teman SMA ibuku. Jadi, wajar jika ibu meminta tolong
pada Bude Ning.
Tiga hari kemudian, ibu berangkat ditemani oleh rekan guru dari
sekolah ibu. Aku tidak mengantar karena harus sekolah. Di sekolah, aku
berpikir bagaimana menjaga kakek yang pikun. Melihat wajahku yang
bingung, Fandi memanggilku. Fandi adalah sahabat yang sangat kupercaya
walau dia penganut agama Kristen Protestan.
Mengapa kamu melamun? tanya Fandi.
Aku ditinggal ibuku. Terpaksa aku harus menjaga kakek yang pikun.
jawabku.
Kamu harus sabar,.... kata Fandi.
Aku sedikit bingung dengan perkataan Fandi. Sepertinya masih ada
kata-kata yang akan diucapkannya.
Jam satu siang aku pulang sekolah. Setelah mengganti baju, kemudian
aku makan siang. Kulihat piring bekas kakek makan siang. Nasi putih, sayur
rebung dan ikan goreng kusantap dengan cepat karena lapar. Tiba-tiba aku
mendengar suara kakek.

Tito ambilkan piring, Kakek mau makan. kata kakek.


Aku terkejut. Bukankah Kakek sudah makan? tanyaku.
Kakek belum makan, dari tadi Kakek tidur, jawab kakek.
Aku mengambil piring dengan pikiran bingung.
Mana ikan kuah kuningnya? Kenapa kamu habiskan, itu makanan
kesukaan Kakek? tanya kakek sambil marah.
Kek, hanya ada ikan goreng, bukan ikan kuah kuning, jawabku.
Kakek tetap membantah. Kakek menyuruhku meminta di Bude Ning.
Aku menjawab, Tidak mau, aku malu. Bude kan punya tiga anak lakilaki yang sudah besar, pasti makannya juga banyak. Walaupun begitu kakek
tetap memaksaku. Aku mengalah. Aku teringat kata-kata Fandi, kita harus
sabar kepada orang tua.
Kemudian aku ke rumah Bude Ning meminta ikan kuah kuning. Tetapi
Bude Ning tidak memasaknya. Bude menyuruhku untuk membeli ikan kuah
kuning di warung. Sesampai di rumah, aku menyuruh kakek untuk makan.
Sungguh aku sangat kesal ketika kakek berkata, Kakek tidak lapar,
Kakek mau menonton televisi.
Aaaagh, sambil meletakkan mangkok berisi ikan kuah kuning
kesukaan kakek. Tiba-tiba ibu mengirim SMS. Di pesan masuk tertulis, Ibu
sedang transit di Makassar. Aku menelpon dan menceritakan kejadian tadi

kepada ibu. Ibu menasihatiku agar sabar. Ibu menyuruhku shalat dzuhur
karena waktu shalat sudah hampir habis.
Hari ini libur sekolah, karena para guru mengikuti KKG yang diadakan di
sekolahku. Setelah shalat subuh aku tidur lagi. Jam delapan pagi, kakek
membangunkanku untuk pergi sekolah.
Aku libur, Kek jawabku lalu tidur lagi. Tetapi akhirnya, aku bangun juga
karena kakek terus menepuk-nepuk punggungku.
Setelah makan pagi, aku menonton televisi. Saat itu di Trans TV sedang
ditayangkan Islam Itu Indah bersama Ustadz M. Nur Maulana yang terkenal
dengan sapaan, Jamaaah....... Alhamdulillah. Ustadz sedang membahas
masalah merawat orang tua. Beliau berkata, Merawat anak lebih mudah
daripada merawat orangtua, karena merawat anak semakin lama semakin
pintar. Sebaliknya merawat orang tua semakin lama semakin menjengkelkan.
Tetapi kalau kita sanggup dan sabar dalam merawat orangtua, maka Allah
SWT menjanjikan pahala surga.
Nyaris saja aku menitikkan air mata. Aku hampir tidak mau lagi merawat
kakek yang pikun. Aku pun berdoa kepada Allah SWT agar kakek tetap sehat
dan daya ingatnya masih baik. Aku harus membalas budi karena kakek yang
menjaga aku ketika ibu dan ayah bekerja. Aku juga berdoa, semoga anakku
dan cucuku akan merawatku dan tidak kesal jika aku sedikit pikun dan pelupa.
Kakek, maafkan kesalahanku, doaku dengan sangat khusyuk.

Tiba-tiba terdengar suara, Braak. Aku segera berlari ke kamar kakek.


Aku melihat kakek terlentang di lantai. Aku menangis dan berteriak meminta
tolong. Aku menggoyang-goyang tubuh kakek, tetapi kakek diam saja.
Suami Bude Ning, Pakde Anton, datang ke rumah. Aku melihat ia
menelpon seseorang. Beberapa saat setelah Pakde Anton menelpon
seseorang, ada mobil datang dan Pakde membawa kakek ke rumah sakit.
Aku masih menangis ketika Bude Ning datang ke rumah. Bude
menceritakan kalau kakek harus dirawat di rumah sakit. Bude berkata, Pakde
sudah menelpon ayah, mungkin besok lusa ayah baru tiba. Mas Bin akan
menemani kamu.
Dua hari kemudian ayah tiba di rumah. Ayah mengajakku ke rumah
sakit. Aku sedikit lega. Kakek terlihat lebih sehat. Ketika aku masuk, kakek
sedang berbicara dengan orang yang datang menjenguk kakek. Mungkin
teman lama kakek .
Ini cucu laki-laki saya, ganteng ya, dia selalu ranking satu, kata kakek
sambil tertawa membanggakanku Di depan teman kakek.
Dalam hati aku berkata, Ternyata kakek sangat bangga dan sayang
kepadaku. Aku jadi sedih mengingat kelakuanku pada kakek selama ini.
Walau

aku

memperlakukan

kakek

dengan

tidak

baik,

tetapi

kakek

membanggakan aku di depan teman-temannya.


Siang itu, ayah dan aku pergi ke Bandara. Kami menjemput Kak Windy
yang tiba dari Bandung. Setelah membawa koper ke rumah, kami langsung
menuju ke rumah sakit.

Di depan kamar kakek, kami mendengar kakek sedang mengaji. Kami


mengetuk pintu, lalu kami masuk. Kakek tersenyum lebar ketika melihat kak
Windy.
Apakah kamu mendapat juara? Tanya kakek.
Kak Windy menggelengkan kepala dengan lemas. Kak Windy terlihat
sangat lesu.
Tidak apa-apa, kegagalan itu biasa. Kamu harus lebih giat belajar.
Tiba-tiba aku dikejutkan dengan tepukan kakek pada bahuku, Tito juga harus
rajin belajar dan lebih sayang kepada orangtua. Hiburan boleh saja tetapi tidak
boleh berlebihan.
Kemudian kakek mengatakan kalau kakek ingin tidur. Kami pun pergi ke
warung makan karena kak Windy belum makan. Sepulang dari warung
makan, kami membawa makanan kesukaan kakek, papeda dan ikan kuah
kuning. Aku menepuk bahu kakek dengan perlahan agar kakek bangun.
Tetapi kakek tidak kunjung bangun. Wajahnya terlihat damai saat tidur.
Ayah menyuruh seorang suster agar melihat keadaan kakek. Bagai
disambar petir, ketika suster berkata kakek telah meninggal dunia.
Aku sangat menyesal. Aku merasa akulah yang menyebabkan kakek
meninggal karena kelakuanku yang tidak baik. Aku begitu sedih dan menyesal
dengan apa yang kulakukan. Air mataku terus berlinang sambil memohon
maaf kepada kakek. Maafkan Tito, ya Kek. Tito menyesal tidak berbuat baik
kepada Kakek selama ini. Ya Allah Ampunilah salah dan dosaku. Belum
sempat aku berbuat baik kepada Kakek, tetapi mengapa Engkau telah

memanggilnya? Ampuni juga dosa Kakek.Terimalah amal ibadahnya.


Tempatkanlah Kakek di surga-Mu, amiien, amiien yaa robbal alamin pintaku
dalam doa.
Beberapa hari kemudian.
Di suatu sore yang cerah, kami berempat duduk-duduk. Bunga eforbia
telihat mekar dengan indah. Aku ingat, kakek paling senang melihat bunga ini
saat mekar. Setelah aku melihat bunga eforbia, ayah mengajakku ke bandara.
Ternyata, sekarang ibu akan pulang. Kami menjemput ibu. Kulihat wajah ibu
campur aduk antara sedih dan senang. Tanpa sepengetahuanku, kak Windy
memberitahu ibu jika kakek telah meninggal. Setelah pulang dari bandara, aku
ke

ruang

keluarga,

kubuka

album

foto.

Ada

foto

kakek

sedang

menggendongku. Ada juga foto kakek bersama kakak-kakak perempuanku.


Kalau diperhatikan, wajahku mirip dengan wajah kakek.
Biasanya anak mirip dengan orangtuanya, namun aku berbeda. Aku
lebih mirip dengan kakekku daripada orangtuaku. Tidak terasa air mata telah
mengalir di pipiku. Aku harus merelakan kepergian kakek. Aku sekarang
mengerti apa yang dirasakan Fandi ketika dia menasehatiku. Ternyata kakek
Fandi juga telah meninggal.
Adzan magrib terdengar ditelingaku. Aku pun ke masjid dan berdoa
agar kakek dirahmati Allah SWT dan orangtuaku tidak meninggal begitu
cepat. Tak beberapa lama libur berakhir. Kehidupanku kembali seperti dulu,
walau kakek telah meninggal. Kita harus menjaga orangtua dengan sabar,

karena hidup mereka tidak lama lagi dan mereka bisa saja akan pikun. Katakata yang terakhir kuucapkan untuk kakek, Selamat tinggal, Kek. [*]

Pelangi untuk Jingga

Pulang sekolah siang itu, aku turun dari becak. Membayar ongkos, dan
segera membuka pintu pagar. Tiba-tiba pita rambutku ditarik oleh seseorang
dari belakang. Tapi aku sudah tidak kaget lagi, karena pastilah itu si Jingga.
Aku menoleh padanya sambil tersenyum. Jingga pun tertawa dengan girang,
sembari berlari menuju rumahnya.
Usia Jingga sebaya denganku. Seandainya dia normal, barangkali saat
ini Jingga juga telah duduk di kelas 6 sepertiku. Wajahnya cantik, dengan
mata sedikit sipit. Muka cantik itu selalu terlihat polos, apalagi kalau ia sedang
diam. Tak seorang pun akan menyangka kalau Jingga adalah anak yang
berkebutuhan khusus.
Jingga mengalami kesulitan dalam berkomunikasi. Ia hanya bisa
mengucapkan beberapa kata, dan kata yang sama selalu diucapkan berulangulang. Aku dan Jingga berkawan baik. Kami bertetangga, dan sama-sama
tinggal di komplek perumahan yang padat penduduk.
Jingga jarang keluar dari rumah. Kedua orangtuanya melarang Jingga
untuk sering bermain di luar. Karena selalu saja ia menjadi bahan olok-olok,
diejek, bahkan dijauhi. Tidak hanya anak-anak saja, bahkan para orangtua
mereka pun, seringkali tak mau anaknya bermain dengan Jingga.

Tapi tidak demikian halnya denganku. Aku selalu tetap berusaha untuk
menerima Jingga apa adanya. Bahkan Mama dan Papa sangat senang ketika
aku bisa bermain dan tertawa bersama Jingga. Kata Mama, alangkah baiknya
jika kita bisa menemani Jingga. Mengajari ia untuk mengenal hal-hal unik
diluar sana, yang mungkin belum Jingga ketahui.
Kedekatan aku dan Jingga bermula dari sebuah lukisan. Sebuah
kenangan yang tidak akan pernah aku lupakan. Ketika itu aku sedang
menyelesaikan sebuah lukisan yang akan aku ikutkan dalam sebuah
perlombaan tingkat kotamadya. Lukisan itu temanya tentang Hijaunya Alamku.
Aku mengerjakannya berhari-hari dengan penuh kesungguhan. Begitu cermat
dan teliti, dari siang sepulang sekolah, hingga tiba suara adzan Maghrib
menyapa. Dari sinilah awal kisah itu dimulai. Yakni pada sebuah Maghrib yang
hampir gelap. Saat aku berhenti sejenak dari lukisanku, untuk mandi dan
berwudhu lantaran harus menunaikan sholat.
Ketika kembali ke ruang belajar itulah, aku melihat Jingga sedang
tertawa gembira. Tak ada yang aneh dengan kebiasaan Jingga yang seperti
itu. Tapi..., seketika kakiku terasa lemas. Kepalaku langsung pusing seketika.
Lukisanku! Ya Allah, lukisan itu. Aku melihat Jingga tengah mencorat-coret
lukisanku, menyembur-nyemburkan cat air dengan kuas, sambil tertawa
gembira! Lukisan yang telah susah payah aku kerjakan beberapa hari ini,
hancur dalam sekejap. Rusak akibat goresan cat air yang ditorehkan Jingga di
atasnya....

Aku segera meraih lukisan itu, dan berlari menuju kamar Mama. Aku
berlari sambil menangis, dengan air mata tak terbendung. Jingga juga ikut
berlari dan tertawa senang di belakangku. Barangkali ia mengira aku
mengajaknya bermain petak umpet seperti biasanya.
Dalam pelukan Mama, aku menangis sejadi-jadinya. Aku mengadu
sambil memperlihatkan lukisan yang telah dirusak Jingga.
Mama menghiburku dan mengajakku untuk memperbaiki lukisan itu.
Tapi mana mungkin? Aku tak akan mungkin sanggup mengulangnya lagi dari
awal. Karena lukisan itu harus diserahkan besok pagi kepada Panitia Lomba.
Ah, percuma saja aku menghabiskan tenaga, mengeluarkan semua emosiku
berhari-hari. Kini yang tinggal hanyalah balasan tawa geli dari Jingga. Bahkan
sepertinya ia mengejek, dan ikut memberi saran mustahil, dengan
mengacung-acungkan tangannya keatas. Huhhh..., aku benar-benar sangat
kesal pada kamu, Jingga!!

Sepertinya Mama memahami perasaanku pada Jingga. Dengan lembut


Mama membujuk Jingga agar menjauh dariku. Pulanglah Jingga, besok pagi
boleh bermain lagi.
Setelah Jingga pulang, aku memandang lukisan yang hampir sempurna
itu dengan perasaan hancur. Betapa tidak, di balik gunung yang berwarna
hijau bersih itu, seharusnya adalah langit biru cemerlang. Tapi kini telah
diubah oleh Jingga, menjadi warna-warni yang tak beraturan. Sedih, marah,
dan sangat kecewa.
Tak berapa lama kemudian Papa yang baru pulang dari kantor
menghampiriku. Rupanya Mama telah menceritakan semuanya pada Papa.
Dengan lembut Papa memberi semangat padaku, agar mau memaafkan
Jingga, dan menghiburku agar bisa memperbaiki lukisan itu tanpa
membuatnya dari awal lagi. Papa meyakinkanku bahwa aku pasti bisa
mengolah lukisan itu menjadi lebih indah lagi, karena kata Papa aku memiliki
jiwa seni yang bagus. Setelah mengecup keningku, Papa meninggalkan aku
diruang belajar itu sendirian.
Papa saja yakin aku bisa membuatnya jadi lebih bagus, mengapa aku
tidak? Aku menarik nafas dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan.
Lalu aku meletakkan lukisan itu diatas meja gambar, mengeluarkan peralatan
dengan lengkap, dan mulai berimajinasi dengan lukisanku. Aku melihat coretcoretan Jingga, mematut gradasi warna-warni itu..., aha...!! Aku tahu bahwa
semburat pelangi di balik bukit itu akan membuat langit biru menjadi sangat
indah. Yup.., pelangi yang indah seperti namaku, Pelangi.
Aku mengerjakan lukisanku sambil membayangkan wajah Jingga yang
sedang tersenyum manis. Huffffttttt, akhirnya selesai juga. Sekarang lukisan

itu menjadi jauh lebih hidup. Aku tersenyum puas. Kemudian memperlihatkan
lukisan itu kepada Mama dan Papa yang berada di ruang tamu. Mama memuji
karyaku, Pelangi.
Ini benar-benar jauh lebih indah dari yang tadi, Sayang..., Mama
memelukku. Papa menyambung pujian Mama, Betul sekali. Itu semua karena
ada sebuah pelangi yang cantik menghiasi langitnya. Aku pun mencium pipi
Mama dan Papa seraya berterimakasih telah memuji karyaku ini.
Aku segera masuk kamar dan tidur. Rencananya besok pagi setelah
mengirim lukisan itu ke Kantor Pos, aku akan membelikan es krim buat
Jingga. Sebagai tanda permintaan maafku padanya. Sungguh aku menyesal
telah memarahi Jingga.
***
Waktu berlalu tanpa terasa. Ketika itu aku tengah bermain bersama
Jingga. Seseorang datang, membunyikan bel dan menunggu di teras rumah.
Aku meninggalkan Jingga dan berlari menghampiri. Ternyata seorang lelaki
pengantar surat dari Kantor Pos. Ia menyodorkan sebuah amplop surat, yang
jelas tertera di sudut kanannya adalah namaku. Dengan tak sabar aku
membukanya. Dengan perasaan gemetar aku membaca isi surat, yang
ternyata adalah sebuah pemberitahuan. Ya Tuhan! Dalam surat itu tertulis
bahwa aku, menjadi pemenang Lomba Melukis Tingkat Kotamadya!! Dan
hebatnya lagi, aku menjadi juara satu.
Betapa senangnya hatiku. Aku langsung berlari menemui Mama. Mama
sangat senang sekali, dan berkata bahwa kemenanganku ini adalah berkat
andil Jingga. Aku pun memeluk sahabatku itu dengan bahagia, dan bertekad
dalam hati akan mengajari Jingga melukis.

Sejak saat itu, setiap Jingga bermain ke rumahku, aku selalu


menyediakan kertas serta krayon. Sambil menggoreskan krayon di atas
kertas, aku mengajari Jingga nama-nama warna. Juga tak lupa mengeja
warna-warna itu dalam bentuk kata. Hari demi hari berlalu bersama Jingga,
kami gembira kala menggambar dan belajar mengucapkan nama benda yang
kami warnai. Ternyata Jingga anak yang luar biasa berbakat. Lihatlah
sekarang, dia sudah tahu nama semua warna. Bahkan Jingga juga sudah
mampu mengucapkan banyak kata.
Suatu sore, hujan baru saja berhenti Jingga berlari menuju rumahku
sambil membawa peralatan gambarnya. Tapi dia tidak segera masuk seperti
biasanya, hanya berdiri di pinggir pagar rumahku. Dari sana dia berteriak dan
meloncat-loncat gembira seraya memanggilku dengan gerakan tangannya.
Aku pun keluar menemuinya.... Tahukah kamu teman, apa yang diperlihatkan
Jingga padaku?
Dia menunjuk ke arah langit dan memperlihatkan gambar yang telah
dibuatnya. Karena ia begitu heboh, beberapa teman lain di komplek itu juga
ikut mendekati kami. Lalu dengan sangat jelas Jingga berkata, P E L A N G
I..
Tidak

itu

saja,

Jingga

juga

memamerkan

suaranya

dengan

menyanyikan lagu Pelangi. Diam-diam, kesungguhan Jingga menyihir yang


lain untuk ikut serta. Teman-teman, dan juga aku, secara spontan mengikuti
irama Jingga bernyanyi. Sungguh suasana menjadi gembira. Dari kejauhan
aku melihat Mama dan ibunya Jingga berpelukan. Mereka terharu melihat
Jingga, dan terutama sikap teman-teman yang biasanya menjauhi Jingga.

Semakin hari Jingga semakin ceria. Sekarang Jingga sudah tidak lagi
seperti Jingga yang dulu, Jingga yang dijauhi dan dibenci oleh semua orang,
perlahan-lahan sirna. Kini Jingga sudah memiliki banyak teman, dan sudah
bisa bergaul dengan siapa saja.
Kegembiraan kami di sore itu meyakinkan aku akan satu hal. Bahwa
kasih dan sayang yang tulus, akan menghantarkan banyak kebahagiaan
dalam hidup kita.
Aku melihat langit. Sebuah pelangi muncul di antara deretan awan.
Indah sekali, seperti mewakili persahabatan kami. Aku dan Jingga. [*]

Cerpen Juara 1 "Janjiku Pada Ibu" karya DarwisRoland


MuhammadchiiKomring SiiyardanAleser'eustace
10 Januari 2012 pukul 1:55
Memang kadang hidup tak selamanya akan sempurna dan seindah yang kita inginkan. Tapi
apa daya kita sebagai manusia hanya bisa menerima takdir dari Tuhan dan selalu berusaha.
Cerita ini berawal dari hidup ku yang hidup dari sebuah keluarga yang sederhana. Orang tua
ku memberiku nama Putri, ayah memberi ku nama Putri karena alasan, aku adalah anak
perempuan satu-satunya dari dua bersaudara. Aku hidup di sebuah desa di daerah Sumatera
Selatan yaitu sebuah desa yang bernama Betung, ayah dan ibu adalah asli orang Komring.
Mungkin kalian banyak yang belum tau suku Komring, suku Komring adalah suku asli dari
Sumatera Selatan yang sangat kental dengan budayanya.
Memang benar kata ku sebelumnya, hidup tidaklah sempurna dan seindah yang kita inginkan.
Itu terbukti orang yang sangat aku sayang dan cinta, yaitu ibuku meninggalkan kami
sekeluarga untuk selamanya karena penyakit yang sudah bersarang lama di tubuhnya.
Memang berat rasanya untuk terima dan ikhlas dengan kematian ibuku, saat itu aku masih
duduk di kelas dua SD. Teringat semua kenangan dengan ibu yang tidak mungkin ku lupakan
terutama pesan terakhir dari ibu yang memang terasa aneh bagiku, mungkin ibu sudah
merasakan bahwa hidupnya sudah tak lama lagi.
"Menjadi perempuan bukanlah mudah, banyak yang harus kau jaga, tahu kan? Jadi jaga
dirimu dan jaga juga adikmu!" kata ibu pada ku saat itu, dan ku hanya menganggukka

n kepala.
"Dan satu lagi, ibadah adalah bekal kita nanti, jadi janganlah kau lalaikan perintah agama."
begitu lanjut ibu.
Terkenenang semua kenangan itu tanpa terasa air mata turun dari mata ku mengalir bagaikan
derasnya sungai yang membanjiri pipiku. Dalam hati ku berjanji.
"Baik bu semua pesanmu pasti akan teringat dan ku terapkan dalam hidup ku ini."
Telah seminggu sudah ibu meninggalkan kami sedih masih menyelimutiku, kala teringat pada
ibu. Terutama saat ku melihat adikku yang masih kecil, rasa iba ku pun menjadi tangis dalam
hidupku, akan kah aku bisa membahagiakanya.
"Rohman sini dulu!" panggil ku pada adiku.
"Iya kak Rohman kesitu." katanya.
"Kamu yang kuat ya sayang kakak pasti akan menjaga mu dan menjadi ibu ke-dua buat mu."
kata ku pada Rohman.
"Iya kak terima kasih, kapan ya kak kita bsa ketemu lagi dengan ibu? Rohman rindu sekali
dengan ibu." tanyanya dengan polos.
Aku yang mendengarpun semakin terpukul dan menangis sambil memeluk adikku erat-erat.
"Sebetulnya kakak juga rindu dengan ibu, tapi sekarang belum saatnya kita ketemu dengan
ibu. Tugas kita sekarang adalah menjadi anak sholeh sehingga bisa mendo'akan ibu dari sini."

Hal yang aku takutkan pun terjadi, ayah akhirnya memutuskan untuk menikah lagi dengan
perempuan pilihannya. Dengan alasan akan ada yang mengurus rumah sekaligus menjadi ibu
baru buat kami. Sempat ku merasa tidak terima dengan menikahnya ayah tapi apa daya,
semua keinginan ku pun tak mungkin akan terwujujud. Akhirnya kamipun harus
terima kalau kami punya ibu tiri. Seperti yang aku takuti dulu ternyata setelah beberapa bulan
ayah menikah dengannya, semua kejelekan dan kekejaman ibu tiri kupun terlihat semua. Aku
pun sering dimaki-maki tanpa alasan yang pasti, apalagi dia selalu menjelek-jelekan ku di
depan ayah. Ayah yang tak tau apa-apapun sudah pasti memarahiku. Hingga suatu hari ayah
memberi keputusan yang sangat ku tidak terima. Aku harus di berhentikan sekolah dengan
berbagai alasan yang saat itu sekolahku harus putus di kelas empat SD.
"Sanak bay donti, ahirna begawina dilom dapur, jadi guai api haga sekolah. Lagi pula
ekonomi kita mak sanggup haga nyekolahko niku." begitu kata ayah menggunakan bahasa
komring yang artinya
"Anak perempuan akhirnya nanti juga akan kerja didapur, jadi buat apa kau sekolah. Lagi
pula ekonomi kita tak sanggup untuk menyekolah kan mu."

Aku yang tak berdayapun hanya bisa terima kenyataan dan menangisi keadaan. Sempat ku
berpikir apakah semua ini hasutan jahat dari ibu tiri ku, tapi sudah lah nasi sudah menjadi
bubur aku harus terima semua kenyataan ini.
Hingga suatu hari merasa diriku sudah tidak berguna jika hanya diam di rumah dan hanya
akan membuatku menderita makan hati karena cacian ibu tiriku. Aku akhirnya memutuskan
untuk pergi dari rumah dan ikut nenek untuk mencari kerja di kota dimana nenek tinggal.
Memang berat rasanya apa lagi aku harus meninggalkan Rohman dirumah dengan ibu tiriku,
namun harus berani kujalani, kan akhirnya ku bekerja hasilnya untuk adiku juga, agar
nasibnya tidak akan sama dengan ku.
"Man, kakak pergi dulu ikut nenek untuk cari kerja" kataku pada rohman sambil menangis,
yang saat itu dia duduk di kelas 5 SD.
"Tapi nanti siapa yang menemani rohman, kak? " tanyanya.
"Tenang saja kan dirumah ada ayah dengan ibu ditambah sebentar lagi kita punya adik baru,
jadi kamu harus patuh dengan ayah dan ibu." lanjut ku pada Rohman.
"Tapikan jelas berbeda dengan kakak." Rohman menjawab sambil meneteskan airmatanya.
"Sudah jangan mengeluh dan menangis lagi kamu kan laki-laki jadi nggak boleh menangis.
Nanti kalau kakak pulang, kakak belikan mainan buat Rohman tapi Rohman harus janji rajin
belajar dan ibadahnya tidak boleh lalai, buat kakak bangga!" kata ku pada Rohman sambil
menangis.
"Baiklah kak tapi kakak juga tidak boleh menangis lagi dan jangan lupakan Rohman ya?"
jawab Rohman.
"Tentu saja sayang kakak akan selalu ingat dengan mu." kataku pada rohman sembari
mengusap air mata ku di pipi. Akhirnya aku meninggalkan rumah dan pamit pada ayah dan
ibu, teringat selalu wajah Rohman selama di perjalanan tanpa ku sadari air mata menetes dari
mata ku.
"Aku harus tegar demi Rohman dan menepati janjiku pada ibu." kata ku dalam hati.

Tanpa terasa, empat tahun sudah kepergian ku dari rumah untuk bekerja. Kadang ku
mengambil libur untuk menjenguk Rohman, dan tentu saja gaji yang ku hasilkan dari bekerja
ku sisihkan untuk uang sekolah Rohman. Masih teringat saat ku belikan dia mobil mainan
yang tidak seberapa harganya, terlihat senyuman kebahagiaan dari wajahnya yang
membuatku selalu menangis bila mengingatnya karena kebhagianya adalah kebahagianku
juga. Tanpa terasa pula Rohman sudah menginjak kelas tiga SMP, yang berarti dia akan
segera lulus dan akan melanjutkan sekolah ke SMA. Sempat aku mendengar percakapan ayah
dengan ibu tiriku saat aku pulang ke rumah, bahwa setelah Rohman lulus SMP nanti tidak
akan dilanjutkan sekolahnya. Dengan alasan terbatasnya ekonomi, ditambah kedua adikku
dari ayah dan ibu tiri sudah mulai mengenyam pendidikan. Jadi kemungkinan besar Rohman
tidak akan melanjutkan sekolah. Teringat ku pada janjiku dengan ibu untuk menjaga Rohman,
sehingga ku putuskan untuk menyekolahkanya kelak dengan jerih payahku sendiri.

Tanpa terasa akhirnya Rohman lulus dari SMP, mendengar kabar itu aku putuskan untuk libur
bekerja untuk beberapa hari. Sesampai di rumah aku mendengar bahwa Rohman menangis
karena tidak diijinkan untuk melanjutkan sekolah. Hati ini sangat terpukul mendengarnya,
akhirnya aku putuskan memberanikan diri untuk membawa Rohman ke kota untuk aku
sekolahkan.
"Rohman sudah jangan menangis lagi, kamu kan laki-laki jadi harus tegar dan jangan mudah
nangis!" kata ku pada Rohman yang sedang menangis dikamar.
"Iya kak tapi kan Rohman masih mau sekolah..." katanya sambil tersedu-sedu.
"Ya sudah jangan menangis lagi, nanti kamu ikut kakak ke kota dan kakak usahakan, kamu
kakak sekolahkan." kata ku pada Rohman sembari memeluknya.
"Benar ya kak? Rohman janji akan bantu kakak dan patuh dengan kakak." katanya pada ku.
"Iya tentu saja, nanti kakak yang minta ijin pada ayah." lanjut ku pada Rohman.
Akhirnya aku minta ijin pada ayah membawa Rohman kekota untuk sekolahkan, lagi pula
Rohman lulus dari SMP dengan nilai terbaik disekolahanya, jadi akan sangat rugi bila
memberhentikan rohman sekolah padahal dia sangat berbakat dan pintar.
Hingga suatu hari aku menikah dengan orang yang aku sayangi. Yang membuat ku bersedia
dia menyunting ku, karena dia juga bersedia untuk membantuku menyekolahkan Rohman.
Sebut saja namanya adalah Parlan, Parlan adalah seorang lelaki yang sangat berbeda dengan
laki-laki lain, yang lebih penting dia adalah imam yang sangat pantas buat keluarga karena
dia termasuk orang yang sholeh. Setelah dua tahun menikah kami memiliki seorang anak
laki-laki yang kami beri nama Paris. Tanpa terasa juga Rohman sudah lulus dari SMA dengan
nilai yang terbaik di Sumatera Selatan. Perasaan bangga menjadi kakaknya memang tak bisa
terhitung lagi, jerih payahku menyekolahkanya pun sudah terbayarkan dengan
keberhasilanya.
Karena nilai Rohman yang sangat baik itu, akhirnya dia mendapatkan beasiswa untuk
melanjutkan kuliah di Universitas Indonesia tanpa mengeluarkan biaya sedikit pun,
karena semuanya sudah ditanggung pemerintah Sumatra Selatan. Sehari sebelum Rohman
pergi ke Jakarta aku sempat bicara empat mata dengannya.
"Terima kasih, atas bersedianya kakak menjadi ibu ke-dua buat Rohman, sehingga Rohman
menjadi begini." kata Rohman pada ku.
"Sudahlah kakak sudah merasa terbayar dengan semua prestasi yang kau berikan ini." kataku
pada Rohman sambil meneteskan air mata.
"Tapi Rohman merasa belum seberapa, dengan apa yang kakak berikan selama ini, suatu hari
nanti setelah Rohman menjadi orang sukses, Rohman berjanji akan membahagiakan kakak
dan tidak akan ada air mata lagi di hidup kakak." kata Rohman pada ku sembari mengusap air
mataku.

Air mata ku pun mengalir membasahi pipi walau telah diusap oleh Rohman, dan ku peluk
adikku sampai hati ini merasa puas.
Hari dimana Rohman akan pergi ke-Jakarta pun tiba, sedih bercampur bangga menjadi satu,
do'a akan selalu menyertai adikku tersayang yang selamanya akan selalu begitu. Janji pada
ibu pun terasa sudah sedikit terbayar, aku harap kelak Rohman dan anakku Paris menjadi
orang yang sukses dan hidupnya selalu bahagia. Aku tidak mau, bila nasib orang yang aku
sayangi, terutama anakku kelak sama nasibnya sepertiku yang selalu dihantui oleh
penderitaan.
DIA YANG KEMBALI TERSENYUM: Cerpen Pemenang Lomba ROHTO
Riawani Elyta, anggota BAW juga pernah memenangkan lomba ROHTO lho. Baca
yuk cerpennya yang keren ini, siapa tahu besok kamu mau ikutan lombanya juga
:-)

Oleh : Riawani Elyta

Wajah dibalik cermin itu kembali datang mengusik. Menyeringai lebar namun tak
seperti serigala. Merintih pelan namun sama sekali tak mirip anak kucing yang
mencari puting susu induknya. Melainkan lebih mirip anjing letih. Lidahnya
menjulur, nafasnya terengah. Dan kedua bola matanya sayu saat memandangku.
Tenanglah, penderitaanmu tak akan lama lagi. Bisikku, seraya mengelusnya.
Elusan yang terhalang oleh lima milimeter kaca cermin. Bibir yang semula
menyeringai itu kini mengerucut, panjang ke depan, seperti menanggung
segunung kesal yang terkunci rapat di ujung bibir.

Kulepaskan jemariku, lalu melangkah mundur. Wajah itu ikut mundur. Bedanya,
jika aku tersenyum, ia justru merengut. Tatapannya bertambah sayu. Dan gerak
nafasnya melambat.
Aku masih tersenyum. Sampai kakiku menyentuh permukaan lembut seprei
ranjang. Lalu merebahkan tubuh. Wajah itu berusaha untuk rebah juga. Namun
entah kenapa wajah itu tak kunjung terpejam. Gelisah. Saat ku terjaga kulihat ia

masih terjaga. Menanggung perihnya seorang diri.


*******
Kenapa tidak sarapan, hanya minum? Ibu menatapku heran. Aku meneguk jus
jeruk dengan terburu. Membiarkan setangkup roti bakar berlapis selai kacang,
telur setengah matang bertabur serbuk merica, juga segelas susu beraroma
vanilla, diam di tempatnya.
Maaf, bu, aku sudah telat.
Kalau begitu dibungkus saja. Nanti jam istirahat jangan lupa dimakan. Dan
tanpa menunggu persetujuanku, ibu telah memasukkan roti bakar ke dalam
kotak bekalku.
Aku ingin protes. Namun detak jam di dinding menjadi pengingatku. Wajah itu
muncul lagi, saat langkahku melintasi cermin berbingkai jati yang tergantung di
ruang tamu. Tapi kali ini, ia mencoba untuk tersenyum.
Huh. Aku mendengus. Cepat aku menuju halte. Sedikit pusing saat melompat ke
dalam bis. Wajah itu masih mencoba untuk tersenyum, saat sekilas kutatap ia
yang memantul di kaca spion bis. Aku menggeram.
*******
Di, ke kantin yuk, Maaf, aku di kelas saja. Aku bawa bekal, tolakku pada
ajakan Hanna saat bel istirahat berbunyi. Tidak apa-apa, bawa saja bekalmu ke
kantin. Mana? Biar kuambilkan. Tukas Hanna seraya membuka tasku.
Aku tak bisa mengelak. Saat kotak bekal itu sudah berada di tangan Hanna lalu
dengan tangannya yang lain menggandeng lenganku menuju kantin.
Mau pesan apa, Di? tanya Hanna saat kami tiba di kantin.
Air putih saja.
Kenapa cuma air putih?
Kan aku sudah bawa bekal? Aku balik bertanya.
Maksudku, ya kenapa cuma air putih? Kenapa bukan es teh? Atau syrup?
Bukankah air putih paling baik untuk kesehatan? Tidak baik membiasakan diri
minum yang manis-manis. Lama-lama bisa kena kencing manis.
*******
Ia hanya menyantap separuh roti bakarnya saat jam istirahat tadi. Ketika Hanna
memergokinya yang tengah menyimpan sisa roti bakar dalam kotak bekalnya ia
mengatakan kalau roti bakar itu sudah dingin dan liat. Ketika Hanna
menawarinya untuk memesan menu lain di kantin ia menjawab sudah kenyang.
Ia memang bodoh.
*******
Wajah itu kian nelangsa. Seperti anak kucing yang berhari-hari tak menemukan
sebutir remah pun untuk dimakan, setelah berhari-hari juga ia terpisah dari

puting susu induknya. Ia bahkan tak mampu lagi menjulurkan lidahnya.


Sepasang mata yang menatap sayu kini sesekali terpejam. Mungkin ia
mengantuk.
Aku tersenyum lebar. Aku tak peduli pada wajah itu. Melainkan pada tubuh yang
berada dibawahnya. Tubuh itu tak lagi sama. Namun satu yang kusadari bahwa
akhir-akhir ini wajah diatas tubuh itu telah kian pilu.
Maukah kau untuk sejenak bersabar? Aku tak mengelus wajah itu, sebaliknya
mengelus sesuatu dibalik piyamaku. Sesuatu yang kini terasa hampa. Tipis. Rata
seperti papan namun permukaannya lembut seperti kain.
Aku memejam mata. Merasakan sensasi aneh saat jemariku terus mengelus.
Sensasi yang hanya berisi tiga kata, kepuasan, kepuasan, dan kepuasan. Setelah
dulu entah kapan, malas untuk mengingatnya lagi permukaan yang kuelus itu
kerap memancing air mataku. Berulang kali mengenakan pakaian untuk
kemudian melepaskannya kembali saat apapun jenis pakaian yang kupakai tetap
gagal menutupi permukaannya yang mirip tonjolan bukit kecil. Hampir
menyerupai tonjolan pada perut ibu yang sedang mengandung. Dan aku akan
langsung menangis jika ada yang mengatakan bahwa permukaan itu memang
mirip perut ibu yang sedang mengandung.
Ahh ! Aku tersentak. Gerakan mengelus sontak berubah menjadi cengkeraman
yang benar-benar rapat dan kuat. Saat dari balik permukaan itu tiba-tiba saja
muncul gerakan gemuruh. Seperti gunung yang tak tahan untuk segera
memuntahkan laharnya.
Tidak. Ini tak akan berlangsung lama. Aku perlahan bergerak mundur. Mundur.
Tanpa menatap lagi wajah diatas tubuh itu. Entah masih pilu. Atau mungkin telah
terisak.
*******
Hari ini kamu harus sarapan, Diandra. Tapi.
Tidak ada tapi-tapi. Tidak ada alasan telat sekolah lagi. Kamu sudah terlalu
kurus. Lihat, baju dan rokmu sudah longgar semua.
Tapi kalau telat aku dimarahi, bu.
Biar ibu mengantarmu hari ini. Kalau dimarahi, ibu yang akan bilang pada
gurumu kenapa kamu terlambat
Kenapa? Karena aku harus sarapan dulu? Astaga, bu! Aku bukan anak kecil lagi!
Nanti aku malah ditertawakan!
Siapa yang akan menertawakanmu? Teman-temanmu? Coba saja kalau mereka
berani menertawakanmu.
Kali ini aku tak bisa melawan kehendak ibu. Ibu bahkan mengancam tak
memberiku uang saku kalau aku menolak untuk sarapan.
Sejak hari itu ibu mulai ketat mengawasi sarapan pagiku. Karena hanya pada
saat sarapan ibu bisa menemaniku. Selebihnya, ibu harus bekerja sampai larut

malam demi menghidupi kami berdua sepeninggal ayahku.


Kini setiap pagi ibu meluangkan lebih banyak waktu untuk menyiapkan sarapan
ekstra. Nasi goreng komplit dengan irisan telur, sosis, dan parutan wortel. Atau
bubur ayam bertabur daging suwir, seledri, bawang goreng lengkap dengan
kaldu ayam kental.
Pada awalnya aku merengut, namun setiap kali pula aku tak kuasa menolak
untuk menyisakan sarapan buatan ibu yang rasanya memang sangat lezat.
Namun akhir-akhir ini, entah kenapa aku malas tersenyum. Aku juga mulai malas
melihat cermin, karena wajah itu belakangan ini tampak mencoba untuk kembali
tersenyum. Aku tak suka melihatnya tersenyum. Antara ia dan aku, memang
sudah lama tak pernah sepakat.
Pagi ini aku kembali menemui ibu di meja makan. Ibu yang menyambutku
dengan senyum lebar dan sepaket sarapan komplit : bubur kacang hijau, susu
vanilla, telur setengah matang, dan sebutir tablet multivitamin. Bunyi dengusan
pelan dari arah pintu samping membuatku sejenak menoleh. Ah. Si Manis kucing
tetangga rupanya. Ia mendengus-dengus. Kepalanya tertunduk-tunduk. Dan dari
celah mulutnya, terluah cairan pekat.
Aneh. Aku tak merasa jijik. Aku tersenyum.
*******
Wanita itu tersenyum. Hanna juga tersenyum. Semua yang mengenalnya ikut
tersenyum. Gadis itu telah kembali seperti dulu. Gadis yang dulunya mencintai
apapun yang bisa memuaskan lambungnya. Sampai kemudian ia bertemu
Ronald. Sampai kemudian ia menjadi rajin membeli majalah remaja yang
didalamnya terdapat lembaran formulir.
Awalnya aku juga masih hobi tersenyum. Sampai tiba suatu masa dimana hanya
ia saja yang mampu melakukannya. Tak hanya senyumku yang ia renggut. Tapi
juga senyum ibunya. Senyum Hanna. Senyum sahabat-sahabatnya.
Jadi sekarang, tidak aku heran saat melihat mereka kembali tersenyum. Hanya
satu-satunya yang tak bisa gadis itu lakukan. Ia belum kembalikan senyumku.
*******
Wah, kamu hebat ya sekarang. Hebat apanya? Dulu makanmu sedikit,
sekarang banyak, tapi tubuhmu tetap langsing. Apa sih rahasianya? Aku hanya
tersenyum. Melirik pada Hanna yang juga ikut tersenyum.
Hari ini aku makan di kantin. Padahal di rumah, sebenarnya aku sudah sarapan.
Menghabiskan sarapan yang dihidangkan ibu tanpa sisa, sebaliknya menyisakan
senyum lebar di wajah ibu sebelum ia berangkat bekerja.
Saat meninggalkan kantin, mendadak jantungku berdebar-debar. Dalam jarak
lima meter didepanku, cowok tampan itu berdiri memandangku, terus
memandangku, dan ia masih disana, meski aku telah berlalu dari hadapannya.
*******

Ia berhasil mendapatkannya. Senyum yang paling ia dambakan diantara semua


senyum. Bahkan sampai tengah malam pun ia masih tersenyum-senyum. Dalam
apapun yang ia lakukan ia tetap tersenyum. Lalu ia tertidur. Seraya mendekap
foto Ronald, juga formulir di majalah yang baru saja ia gunting.
*******
Ibu menatap hidangan di meja makan seraya tersenyum puas. Hari ini ulang
tahun Diandra. Dan ibu yakin kalau Diandra tidak ingat. Buktinya sampai tadi
malam Diandra tidak bilang apa-apa. Mungkin anak gadisnya itu terlalu sibuk.
Sebentar lagi dia akan ujian semester. Namun tentu saja ibu tak pernah lupa.
Dalam hidupnya ia hanya mengingat tiga hari dan tanggal ulang tahun. Ulang
tahun Diandra, ulang tahun suaminya, dan ulang tahunnya sendiri. Karena
suaminya telah meninggal, maka ia tak pernah lagi menyiapkan apa-apa pada
saat tanggal itu tiba, selain hanya memanjat doa agar segala dosa suaminya
diampuni dan kelak mereka akan dipertemukan di syurga.
Dan hari ini adalah hari ulang tahun Diandra. Sejak beberapa hari lalu ibu telah
sibuk menyiapkan segala sesuatunya. Berbelanja di swalayan, memesan kue
ulang tahun rasa coklat bertabur irisan strawberry, juga membeli hadiah spesial
untuk Diandra.
Ibu ingin merayakan ulang tahun Diandra yang ke tujuh belas berdua saja
dengan anak gadisnya itu. Dan ia pun tak berniat menghalangi andai Diandra
ternyata sudah punya rencana sendiri untuk merayakan ulang tahunnya. Apa
yang penting baginya adalah bahwa momen istimewa itu dapat ia rayakan
bersama Diandra dalam satu-satunya waktu yang mampu ia bagi. Waktu
sarapan pagi.
Diandra! Buka pintunya, nak! Kita sarapan sama-sama! serunya
lantang seraya mengetuk pintu kamar Diandra. Tak ada jawaban. Ibu tunggu
dibawah ya! Cepatlah kau mandi dan berpakaian! Serunya lagi, lalu bergegas
kembali ke ruang makan. Begitu khawatirnya ia bahwa masih ada menu yang
terlupa disiapkan ataupun kucing tetangganya yang nakal itu tiba-tiba saja
nyelonong masuk lalu naik ke atas meja makan dan mengacaukan segalanya.
Ibu menunggu dengan gelisah. Berkali-kali melirik arloji namun Diandra tak juga
muncul. Padahal jam weker dari kamar Diandra telah beberapa kali berdering.
Mustahil kalau Diandra tak mendengarnya.
Ibu mulai memanggil-manggil. Jarak antara ruang makan dan kamar Diandra
hanya terpaut empat meter. Tidak mungkin Diandra tak mendengar suaranya
kecuali kalau gadis itu memang masih pulas tertidur.
Sampai menit ke sepuluh bergeser dari arloji ibu bangkit dari duduknya. Ia baru
saja hendak menuju ke kamar Diandra ketika ekor matanya menangkap sosok si
Manis dari arah pintu samping. Kucing itu berhenti tak jauh dari pintu. Dan ia
mulai mendengus. Ibu telah hafal kebiasaan kucing yang sama sekali tidak manis
itu. Selain nakal dan suka mencuri, kucing itu juga sangat jorok. Jika sudah
mendengus-dengus seperti itu maka sebentar lagi ia pasti akan muntah.

Ibu meraih gagang sapu lalu mendekati si Manis. Pergi! Jangan muntah disini,
kucing jorok! Si Manis memandang wajah ibu. Lidahnya terjulur. Hey, kau tidak
dengar ya? Ayo pergi sebelum ku. Ibu belum lagi menuntaskan ancamannya.
Sepasang matanya telah tertarik ke sepetak tanah tak jauh dari kaki si Manis.
Juga parit kecil yang mampet di sebelahnya. Disana, ibu melihat genangan
cairan berwarna kuning, butiran-butiran nasi, potongan-potongan telur dadar,
daun-daun sawi, gumpalan serupa coklat leleh yang belum membeku sempurna.
Jumlahnya banyak.banyak sekali. Sepertinya, benda-benda itu belum lama ada
disana.
Ibu ternganga. Terbeliak. Saat menolehkan kepala baru disadarinya bahwa si
Manis telah raib. Entah kapan kucing itu beranjak dari situ. Ibu menoleh lagi.
Pada genangan kotoran dan parit yang tersumbat. Seketika, teringat ia akan
menu sarapan yang ia siapkan kemarin pagi.
*******
Wajah itu datang lagi. Menatap Diandra yang masih terpejam. Masih memeluk
foto Ronald, juga guntingan formulir dari majalah. Hanya kali ini gadis itu benarbenar pulas. Saking pulasnya hingga gelombang dadanya pun tiada. Aliran darah
segar yang seharusnya merona, juga tiada.
Wajah itu tak lagi tampak letih, putus asa dan memohon belas. Ia tersenyum.
Sumber: Riawani Elyta

Search this w

Langganan
Pos

20 JUTA
PERBULAN
DENGAN MODAL
95 RIBU, MAU?
KUNJUNGI
WWW.GAJIONLIN
E.COM
http://gajionline.com

Semua Komentar

Labels

10 besar
CERMIN
INDOSIAR
2008 (4)

PETUNJUK
BLOG INI
Selamat membaca
dan belajar. Blog ini
berisi kumpulan
cerpen yang sudah
menjuarai berbagai
lomba maupun
pernah nongol di
koran terkenal
(JAWAPOS,DLL)
Ingat! anda dilarang
menyalahgunakan
cerpen2 ini.
Bagi yang tdk
berkenan cerpennya
dimuat dlm blog ini
silahkan melapor ke
email kami maka
akan segera dihapus
Namun sebaliknya
jika ingin
mengirimkan karya
yg tlh menjuarai
lomba untuk
berbagi bersama
para penulis pemula
silahkan kirim
naskah anda ke
email
cerpeninspirasi@gm
ail.com

Categories

10 besar
CERMIN
INDOSIAR

2008 (4)

My Blog List
DAFTAR 95 RIBU, KERJA 2 JAM DAPET 500 RIBU, MAU?
TERBATAS UTK 20 ORANG, KHUSUS HARI INI
http://gajionline.com
MAU GAJI 20 JUTA ? KERJA 2 JAM MODAL CUMA 95 RIBU
KUNJUNGI WWW.GAJIONLINE.COM
http://gajionline.com
Cara CERDAS Bisnis Online Dari Rumah!
Di era digital, kini siapapun bisa hasilkan uang dari r
http://www.produkabe.com/ibnusakdan

Ads Powered
by:KumpulBlogger.com

Jumlah Pengunjung

Cerpen Cerpen Juara Inspirasi Teladan


JAWA POS Minggu, 07 Desember 2008 KATEGORI
BUDAYA oleh Joni Ariadinata
komentar (0)
Filed under:

19.17

[ Minggu, 07 Desember 2008 ]


Kambing
Di pintu surga nanti, ia adalah kambing yang sial. Daging memang gemuk-gempal, bulu putih
mulus, tanduk melingkar kokoh, harapan hidup dan masa depan gemilang --ya ya, memang
begitu, semua ihwal tentang syarat masuknya ''surga para kambing'' (seperti yang dikatakan
Tuhan dalam kitab-Nya) telah tercukupi. Maka ketika roh baiknya dicabut, ia tersenyum. Di
saat liang nafasnya ngorok lantaran sekarat, kamu bayangkanlah itu: ''darah ini muncrat
melesat dari jantung muda dan sehat!'' Maka ia teramat ikhlas. Di kala lehernya yang mulus
itu digorok dengan bismillah, lalu tulang penyangga leher itu ditebas paksa dengan suara
''krak!'' hingga menggelindinglah kepalanya dengan sukses (disertai sorak sorai anak-anak),
ia masih begitu gembira. Lalu kakinya yang kokoh dipotong-potong, kulitnya yang mulus
disayat-sayat, dagingnya diiris-iris, jerohan diobrak-abrik, hati dan jantung dicabut, tulangbelulang dicacah dirajang dipisah-pisah....
Maka rohnya yang suci dan penuh harapan pun terbang menuju pintu surga. Surga yang
dijaga para malaikat (malaikat yang menyerupai kambing-kambing dengan ketampanan tak
tertandingi). Lalu, pada saat itulah ia tahu bahwa ia adalah kambing yang sial. Seorang
malaikat penjaga dengan tegas berkata: ''Tuhan telah berkata kepadamu, lewat perantara aku,
bahwa kamu ditolak untuk memasuki surga.''
Demikianlah maka ia menggerutu tentang sebab-sebab nasib yang celaka.
Kampung Darjeling, itulah kampung para pencari surga yang ingin ia ceritakan. Di bawah
terob deklit plastik saat seutas tali gantungan terpancang hebat, menjulur mengayun-ayun.
Orang-orang menatap kagum, para lelaki, perempuan-perempuan, anak-anak, menantikan
sesuatu. Berderet, bergimbung, ada yang pura-pura sibuk, menggobrol, menunjuk-nunjuk.
Langit cerah. Angin sejuk. Di bawah deklit tali gantungan semakin hebat. Lalu meledak suara
riuh: ''Mereka datang!'' Load speaker merek Toa dibunyikan: ''Sodara-sodara, binatang sudah
datang. Harap bertepuk tangan!!''
''Semua takbir! Ayo, yang bisa takbiran, semua ikut takbir! Mumpung hari raya kurban. Yang
hanya bisa ngomongin orang saja, kali ini diam! Ibu-ibu jangan cerewet. Cukup kalian lihat.

Ke mana Usthaadd Mariot, he?'' Haji Dulroji sinis menyebut kata ''ustad'' dengan ''usthaadd''
lantaran kedudukannya di mata Tuhan lebih baik. Lalu tiga lelaki tua, peot, dan mungkin
hampir mati, mengerti: mereka tertawa. Lalu seorang di antara yang tua, peot, dan mungkin
hampir mati itu bilang: ''Usthaadd Mariot tak kelihatan. Tak datang. Dia pasti malu.''
''Apa perlu disusul?''
''Tak perlu,'' Haji Dulroji merebut mikropon yang dipegang Solsoleh. Solsoleh tentu
bersikeras mempertahankan mikropon seperti membela nyawanya sendiri lantaran ''dalam
rapat panitia besar, ia ditetapkan secara resmi menjadi pembawa acara''. Solsoleh memberi
sumbangan untuk binatang sebanyak 20 ribu, itulah kenapa ia mendapat kehormatan sebagai
pembawa acara. Sementara Kaji Dulroji (ia menyebut kata ''haji'' dengan ''kaji'' semata-mata
lantaran benci), cuman menyumbang 5 ribu. Tapi demi Tuhan Yang Maha Penyayang (karena
melihat bagaimana mata Kaji Dulroji melotot), ia ngeri, dan menyerahkan mikropon segera.
''Aku hanya pinjam mikroponnya sebentar, Solsoleh!''
''Nah, sodara-sodara,'' teriak speaker Toa dari mulut Haji Dulroji, ''sehubungan karena
Usthaaaadddd Mariot tak datang (hadirin tertawa), maka kita mulai saja penyembelihan
binatang. Tak perlu pake doa bahasa Arab untuk memulai pembunuhan binatang, karena
hanya Usthaaadd Mariot yang biasanya suka pamer, pura-pura ngerti bahasa Arab (hadirin
tertawa lagi). Tuhan tidak bodoh. Dia pasti ngerti bahasa kita. Setuju?''
''Setuju!''
Orang-orang bersorak. Bergimbung berkeliling. Membentuk lingkaran. Binatang yang baru
datang (diiringi sorak sorai) digiring ke tengah naungan deklit, di bawah tali gantungan hebat.
Ia adalah binatang, seekor kambing gemuk yang gagah. Ia yang sesungguhnya dididik oleh
tangan gembala jujur. Dengan makanan rumput halal yang selalu dijemput dengan bismillah.
Hingga pada sebuah pagi (sebuah pagi yang ia rasakan sebagai puncak kemudaan dan
kegagahan), tubuhnya yang perkasa itu digiring menuju pasar hewan. Lalu seorang saudagar
bernama Juragan Imron menaksirnya dengan penuh kekaguman. Pada saat bersamaan,
muncul Lelaki Berpakaian Santri membawa segepok recehan terdiri dari uang logam ratusan,
seribuan, lima ribuan, dan sepuluh ribuan dengan ukuran fantastik: satu kantong plastik
kresek. Demikian Lelaki Berpakaian Santri mengatakan: ''Uang hasil patungan warga
Kampung Darjeling untuk satu ekor kambing gemuk!'' Gembala jujur menerima uang dari
Juragan Imron tujuh ratus dua puluh ribu. Lelaki Berpakaian Santri membeli kambing gemuk
dari Juragan Imron seharga delapan ratus dua puluh ribu, dengan pesan penting (didahului
oleh ucapan assalamu'alaikum) sebagai berikut: ''Dalam kuitansi, catat harganya sembilan
ratus lima puluh dua ribu!'' Tentu, Juragan Imron mengatakan dengan bijak: ''Biasa lah
sodara, kita sama-sama maklum. Tambah dua puluh ribu untuk menaikkan angka kuitansi.
Bagaimana?'' Kedua-duanya mengangguk. Kedua-duanya tertawa. Lelaki Berpakaian Santri
menyeret binatang dengan impian bisa membelikan anaknya pakaian, sekaligus ''jatah daging
paling banyak''. Sementara Juragan Imron melepas binatang dengan lega sambil menjawab
ucapan salam yang berbunyi, ''Wa'alaikum salam warahmatullahi wabarokaatuh.''
Maka demikianlah binatang paling beruntung di hari raya kurban itu diseret menuju tiang tali
gantungan. Haji Dulroji berkenan untuk tetap merebut mikropon dari Solsoleh, mengatakan
dengan khidmat: ''Sodara-sodara, seperti kita ketahui bahwasanya Usthaaadd Mariot tidak
datang karena malu. Kenapa karena malu? Karena sodara-sodara, seperti kita ketahui, dia
tidak setuju dengan adanya kurban patungan. Nah, sehubungan dengan itu, saya minta sodara

yang biasa membunuh binatang supaya maju menggantikan Usthaaadd Mariot!''


''Kalo dia tidak setuju kurban patungan, kenapa dia tidak kurban saja sendirian?''
''Nah, betul apa katamu Murod! Dia bilang, kurban patungan itu tidak sah. Nah, apa
pendapatmu Murod? Seperti kita ketahui bersama, sodara-sodara, kurban itu yang penting
adalah binatang. Binatang itu sekarang sudah ada, yaitu hasil patungan kita, warga yang
beriman. Untuk itu, marilah sebelum kita bunuh, kita berdoa pake bahasa kita! Nah, sodara
Murod, apakah kamu pernah membunuh binatang?''
''Saya pernah membunuh babi hutan.''
''Sebentar Pak Haji, apa perlu para penyumbang patungan itu diumumkan?'' seseorang
menyela.
''Tidak perlu!!'' buru-buru Haji Dulroji mengelak dengan galak, tentu ia yang akan malu
lantaran nilai patungannya cuman lima ribu. Ketika Ustad Mariot menuding pada saat rapat
besar kampung, seminggu yang lalu, ia masih bisa mengelak dengan mengatakan: ''Sebagai
haji, tentu aku sudah berniat berkurban. Tapi karena anakku mendadak minta dibelikan
sepeda balap, maka niat itu terpaksa kutunda. Tahun depan aku pasti berkurban. Nah, sodara
Ustad Mariot, daripada tidak ada yang berkurban sama sekali, bukankah lebih baik patungan?
Nah, kurban itu yang paling penting adalah ada binatang, nah, bla-bla-bla...."
''Sodara Murod, apakah sudah siap membunuh binatang?'' kembali Haji Dulroji memberi
perintah. ''Tak usah diumumkan. Tuhan toh sudah tahu siapa yang beriman dan siapa yang
tidak.''
''Sebentar Pak Haji, ada surat dari Kepala Dusun!'' seseorang menyeruak maju. Haji Dulroji
kembali mangkel. ''Surat apa, heh?''
''Katanya amanat. Penting.''
Haji Dulroji menggerutu. Ia menerima amanat penting dan membacanya dalam hati: ''Kepada
Haji Dulroji, ulama kepala panitia kurban. Sehubungan saya mendengar akan ada perayaan
yang di dalamnya ada menyembelih kambing. Maka sehubungan istri saya hamil dan tadi
malam nyidam dan ada permintaan perihal daging kambing. Maka harap setelah selesai
penyembelihan, dikirim buntut dan satu paha kanan belakang untuk kepentingan nyidam
dimaksud. Harap diteruskan kepada yang berwenang membagikan daging kambing. Sekian
dan terima kasih. Tertanda Ngadimin Basir Kepala Dusun.''
Haji Dulroji komat-kamit tak jelas. Hadirin mendekat tak sabar, merubung hingga Haji
Dulroji sontak marah: ''Yang tidak berkepentingan bubar! Coba, panitia inti berkumpul. Kita
rapat darurat!'' Tentu, mendengar kata rapat darurat (yang artinya adalah pasti gawat), 23
orang panitia inti yang terdiri dari 7 sesepuh sebagai koordinator setiap seksi, serta 16
anggota tetap langsung mendekat. Rapat bisik-bisik. Surat amanat kembali dibaca bisik-bisik.
Tegang. Seseorang sesepuh bilang tak apa. Yang lain usul jangan paha kanan, buntut dan kaki
kanan saja. Hus, lelaki ketua RT yang adalah masih famili Kepala Dusun menggerutu.
Sukarim, ketua seksi undangan yang sejak awal memang gelisah, bilang dengan malu,
''Sebetulnya saya kepingin terus terang, istri saya kurang darah, tentu saja kalau boleh saya
mau minta hatinya, dan juga jatah daging tentu, yah... begitulah yang namanya penyakit, saya

pikir semua pasti setuju, yah...'' Demi mendengar hal-hal kegawatan soal penyakit, tiba-tiba
semua wajah mendadak cerah. Sepertinya telah datang ilham-ilham yang baik. Haji Dulroji
berkata jujur, ia kena asam urat, maka untuk jatahnya tak boleh tercampur usus, ''harus
daging semua''. 10 orang langsung mengatakan setuju, sambil mengatakan bahwa akhir-akhir
ini mereka juga merasa darah rendah, ''kalau berdiri suka agak pusing,'' katanya. Walhasil,
bagi yang mengatakan darah rendah, jatahnya harus ditambah. Ada yang usul secara istimewa
bahwa sudah seminggu ini dua anaknya bertengkar terus, harus dikasih torpedo katanya, biar
rukun. ''Maksud sodara Sali, dikasih kontol kambing? Itu memang baik untuk merukunkan
dua saudara yang bertengkar, baik, nanti kita tambah jatahnya dengan torpedo.'' Semua
tertawa. Lucu. Akhirnya rapat darurat ditutup dengan kesimpulan-kesimpulan yang
mengagumkan. Seluruh panitia inti bisa bernafas lega, sampai ketika tiba-tiba Ahmad Masri
bertanya: ''Bagaimana dengan jatah Ustad Mariot?''
Panitia inti yang nyaris bubar dengan tertawa, tiba-tiba hening. Menatap Haji Dulroji dengan
tegang.
''Tak usah dikasih! Dia kan tidak setuju,'' Haji Dulroji berkata tegas.
''Tapi bagaimanapun dia imam di surau. Dan juga sering ngisi pengajian di kampung sebelah.
Bagaimana kalau dia terus ngomongkan fitnah di kampung sebelah?'' Nah, ini dia muncul
persoalan, dan baru terpikir oleh semua, bahwa Ustad Mariot bermulut tipis, nyinyir, dan
ceriwis. Maka, demi melihat kegawatan muka-muka panitia inti yang mendadak terdiam,
dengan bijak akhirnya Haji Dulroji mengambil keputusan penting. Sebuah keputusan yang
diyakini semua pihak berdasarkan ilham yang datang dari Tuhan.
''Kalau begitu, kita kirim kepala kambing!''
Rapat bubar. Di bawah tali gantungan yang hebat, Murod komat-kamit berdoa, dengan
gobang berkilat. Siap membunuh.
Adalah kambing sial, yang seluruh jiwa dan raganya telah dipasrahkan pada kehendak takdir.
Di bawah naungan deklit. Angin sejuk. Matahari yang cerah. Kegembiraan orang-orang.
Sesungguh-sungguhnyalah ia adalah kambing gemuk perkasa, yang dibesarkan oleh tangan
gembala jujur. Dengan rumput halal yang senantiasa dijemput dengan bismillah. Maka ketika
rohnya tercerabut, ia terbang dengan penuh keyakinan menuju pintu surga. Terbang diiringi
gema takbir bersama jutaan roh-roh binatang suci yang datang dari berbagai penjuru.
Demikian ia tak pernah paham, bahwa keputusan Tuhan atas nasibnya yang gemilang,
lantaran terhalang oleh kemarahan seorang lelaki. Begitulah malaikat penjaga surga itu
menceritakan, tentang seorang lelaki miskin yang tiba-tiba beringas. ''Ia adalah lelaki miskin
yang menenteng kepala kambing penuh darah dari pintu rumahnya. Lelaki itu kemudian
berteriak dan menyebut kepala kambing itu dengan sebutan ''kepala kambing haram''. Dan
dengan bengis melemparkannya ke tengah orang-orang.''
Jogjakarta, Desember 2008
Cerpen Joni Ariadinata
Copyright @2008 IT Dept. JAWA POS
Jl. Ahmad Yani 88, Surabaya 60234 Jawa Timur - Indonesia
Phone. (031) 8283333 (Hunting), Fax. (031) 8285555

JAWA POS Minggu, 14 Desember 2008 KATEGORI


BUDAYA
komentar (0)
Filed under:

05.04

[ Minggu, 14 Desember 2008 ]


Laki-Laki Ke-5
Pertanyaan pertama: apakah kau perempuan?
Pertanyaan kedua: apakah orientasi seksualmu hetero?
Bila kedua jawaban tersebut adalah ''ya'', maka inilah pertanyaan ketiga: pernahkah berpikir
untuk menghitung berapa laki-laki yang berkelindan di dalam hidupmu?
Bila ada salah satu yang terjawab ''tidak'', maka tidak ada pertanyaan lanjutan. Pembacaan ini
boleh saja dilanjutkan, atau bisa saya dihentikan. Terserah opsi mana yang terpilih.
Ini sama sekali bukan sebuah uji statistik, bukan pula sebuah pikiran iseng yang mendatangi
ketika keadaan diri sedang atau kosong tanpa berkegiatan. Tiba-tiba saja pertanyaan itu
menghampiriku suatu ketika --tanpa merasa perlu untuk menjelaskan alasan yang
melatarinya-- dan menggandengku untuk menelusuri jalur perjalanan masa silam dengan
sosok laki-laki di beberapa perhentiannya.
Banyak laki-laki kutemui di sepanjang perjalanan, tidak semuanya mampu membuatku untuk
benar-benar berhenti dan singgah dalam kehidupan mereka.
Di antara yang menghentikanku itu, tidak setiap kali kumaksudkan perhentianku sebagai
sekadar singgah. Ada beberapa di antaranya yang membuatku ingin menetap. Membuatku
tidak ingin pergi lagi. Bukan karena aku terlalu lelah untuk meneruskan perjalanan,
melainkan lebih karena merasa telah menemukan sebuah ''rumah'' yang tepat, yang
membuatku selalu merasa ingin berada di dalamnya.

Tapi agaknya dinamika kehidupan tidak selalu terwujud seperti yang kita inginkan. Banyak
hal mengondisikanku untuk tidak menetap, melainkan hanya singgah untuk kemudian
melanjutkan perjalanan. Dengan atau tanpa keinginan. Meninggalkan luka atau sekaligus
membawa kepahitan. Beberapa luka itu tersembuhkan dengan cepat, namun di antaranya ada
yang memiliki sayatan begitu dalam sehingga meski di permukaan nampak pulih, namun
sesungguhnya luka di dalamnya masih menyimpan kepedihan yang terbawa ke mana pun.
Luka dalam ingatan yang tak beranjak pergi meski dihantam dengan antibiotik dosis tinggi
sekalipun.
Persinggahan pertama itu tidak akan pernah kulupa.
Seorang berbeda iman, namun melakukan satu hal untukku yang melekat dalam ingatan
hingga hari ini.
''Pukul berapa ibadahmu besok?'' tanyanya pada suatu akhir pekan
''Entahlah,'' jawabku ringan. ''Belum kutahu akan kupilih pagi atau sore hari.''
Namun ternyata aku bangun terlalu pagi hari itu hingga kusiapkan diri untuk mengikuti
ibadah pertama.
Lalu kutemukan dirinya di depan pintu diam-diam menunggu untuk mengantarku beribadah.
Pagi begitu muda ketika itu, bahkan kabut masih berserak di beberapa tempat dengan dingin
yang menebar. Namun alangkah hangat perhatian yang disentuhkannya padaku.
Pagi itu aku merasa sangat dicintai, sekaligus sangat mencintainya. Ketika berada di
boncengan motornya, alangkah ingin aku memeluknya. Namun aku terlalu rikuh untuk
melakukannya, maka hanya kusandarkan diri pada punggungnya. Punggung yang hangat,
yang menghadang angin menerpaku.
Sandaranku yang pertama.
Sampai suatu ketika dia absen beberapa lama dari kampus dan seorang teman tanpa
prasangka memberitahu bahwa dia harus pulang kampung karena tunangannya sakit.
Tunangan?
Aku gemetar ketika itu, apalagi saat kudapati jawaban yang tanpa beban.
''Apa istimewanya pertunangan? Janur belum melengkung, aku masih punya hak untuk
berganti pilihan, dan aku akan memilihmu,'' katanya tenang, meyakinkanku.
Namun tidak ada keyakinan di dalam diriku bahwa pilihannya padaku akan bertahan selama
yang kuinginkan. Andai pun janur telah melengkung untukku, bisa terjadi akan dimilikinya
dalih untuk menegakkan janur itu kembali demi mengesahkan hasrat untuk berganti pilihan.
Maka, aku memilih untuk tidak terpilih.
Aku berkemas dan beranjak pergi dari sandaran hangat itu, sembari membawa kepedihanku.

Sayatan lukaku yang pertama.


***
Laki-laki yang kedua adalah seseorang yang pada mulanya menjadi sahabat.
Seorang dengan kecerdasan terbaik yang pernah kukenal, sekaligus memiliki nilai-nilai moral
yang sedemikian lurus. Sedemikian rupa kelurusan itu teguh mengakar di dalam dirinya
sehingga membuatnya terlalu keras pada diri sendiri dan orang lain.
Digariskannya satu keyakinan bahwa perempuan selayaknya tidak hanya mengoleksi indeks
prestasi tinggi pada rapor hidupnya, melainkan juga keahlian meracik bumbu di dapur
sekaligus melahap banyak literatur.
Sementara kutemukan di dalam diriku bahwa aktivitasku di dapur hanyalah merebus air atau
telur. Indeks prestasi kumulatifku selalu tidak lebih dari 3 (dengan skala 4). Dan literatur
yang kulahap hanyalah fiksi roman.
Maka, aku merasa menyusuri lorong labirin. Teduh lorong itu dengan dinding yang kuat.
Mengamankan aku dari ancaman cuaca atau sergapan bahaya apa pun. Aku tak akan
terhantam oleh angin, hujan, panas apalagi dingin. Setiap jengkal dinding bisa kusandari
dengan rasa aman yang meyakinkan.
Namun sekaligus itu adalah labirin yang melelahkan, yang memberikan tekanan pada setiap
langkah untuk menjadi sebagai seseorang dengan kualitas yang memenuhi standar-standar
terpancang, sementara tidak kumiliki cukup daya untuk mencapai standar itu.
Maka aku menyerah.
Lalu dibukanya pintu dan dilepasnya aku pergi. Tanpa saling melukai atau menyimpan sakit
hati. Kesepakatan bersama lebih karena terlalu banyak hal yang mesti dipertimbangkan demi
keselarasan.
Namun ternyata kami tak pernah benar-benar saling pergi. Selalu ada kesempatan untuk
saling mengunjungi beranda masing-masing, mengunyah remah-remah kedekatan yang
tersisa. Meneguk minuman pertemanan yang tidak selalu manis dan hangat, melainkan
terkadang pahit dan bahkan membuat tersedak. Namun keping persahabatan selalu tersedia
dan tersimpan rapi di dalam stoples benak kami masing-masing. Jalinan persahabatan yang
tak usai hingga kini.
***
Laki-laki ketiga adalah seorang anak bungsu yang mendapatkan limpahan kasih sayang dan
perhatian penuh dari seluruh keluarga, terutama ibunya. Sedemikian rupa perhatian itu
menguasainya sehingga dia mengira akan mendapatkan hal yang sama dari semua orang.
Bahkan merasa berhak untuk menuntut apa yang diinginkannya.
Ketika itu aku sedang dalam masa awal meniti karir, sehingga sedemikian bergairah
mengerjakan tugas-tugas kantor, bahkan membawa pulang kertas-kertas kerja untuk lembur
di rumah. Suatu ketika kertas kerja itu membuatku tidak terlalu mempedulikan

kedatangannya. Maka, begitu saja direbutnya kertas kerjaku dan dihamburkannya berserak.
Kemarahan yang sama sekali tak terduga. Sangat mengejutkanku. Namun, kemarahan itu
ternyata segera mereda dengan belaian dan kecupan yang kuberikan. Sama persis dengan
seorang anak yang mereda tangis dan rengekannya ketika mendapatkan permen atau mainan
yang diinginkannya.
Tidak sulit sebetulnya mengendalikan tipikal laki-laki semacam itu, yang diperlukan hanya
kesabaran. Tapi, masalahnya tidak kumiliki persediaan kesabaran yang memadai.
Suatu kali aku dikejar oleh deadline sebuah tugas yang sangat mendesak. Kukerjakan tugas
itu di dalam mobil sementara dia mengemudi. Kupikir tugas itu bisa selesai sebelum kami
sampai di tujuan sehingga acara kami tidak akan terganggu, sekaligus tugasku selesai dengan
rapi tepat waktu.
Tapi, mendadak kemudian direnggutnya kertas-kertasku, dirobek, dibuang, dan diusirnya aku
dari mobilnya. Aku turun dengan segera, tanpa sempat terkejut dan mengejar lembaran
kertasku yang terbuang. Aku tidak ingin kehilangan kertas-kertas itu karena tidak ada waktu
lagi untuk mengulang mengerjakannya. Lalu kucari angkutan umum, meski dia memohon
padaku untuk kembali ke mobilnya.
Tidak. Aku tidak hanya tidak kembali masuk dalam mobilnya, melainkan pergi dari seluruh
kehidupannya. Kuyakinkan pada diri sendiri bahwa tidak kumiliki kesabaran seorang ibu,
apalagi pengabdian seorang pengasuh.
Benar bahwa suatu kali nanti aku akan menjadi ibu dan akan kuasuh anak-anakku dengan
kesabaran dan kasih sayang. Tapi aku tidak akan menjadi ibu dan pengasuh bagi seorang lakilaki berumur seperempat abad yang selayaknya menjadi sandaranku.
***
Lalu, perkembangan karirku menyita hari-hariku hingga bertahun-tahun kemudian. Seakan
kujejaki dunia baru yang membuatku sedemikian bergairah, memberiku kecukupan dalam
banyak hal dan tidak memberi jeda untuk mencari hal-hal yang menggelisahkan sekaligus
merepotkan semacam laki-laki.
Hingga kemudian kutemukan laki-laki keempat itu.
Seseorang yang membawaku kembali pada dunia dan komunitas yang lama kutinggalkan.
Seorang laki-laki bukan bujangan yang bertahun kemudian masih mengingat gaun yang
kukenakan kala pertama kali bertemu dengannya. Seorang laki-laki yang pada pertemuan
kedua telah menempatkan aku di dalam pelukannya. Pelukan yang mengembalikan ingatanku
tentang kenyamanan rasa bersandar. Rasa yang telah terlupa dan seakan tak kuperlukan lagi.
Seorang laki-laki yang keberadaannya membuatku harus melakukan permainan serupa
layang-layang. Tarik ulur lambungan rasa antara kangen dan dirindui serta perasaan
terhempas ketika terjauhi.
Permainan yang sesungguhnya mengasyikkan, memicu adrenalin sekaligus membimbangkan
ketika ingatan pada etika moral memberikan peringatan. Berapa lama permainan semacam ini

akan bertahan?
Lalu pada suatu ketika kuputuskan untuk mengakhiri permainan itu. Kurenggangkan tali dari
genggaman, dan kurasakan benang bergerak perlahan menelusuri telapak tangan dan akhirnya
terlepas, mengikuti gerak layang-layang melayang pergi terbawa arah angin. Tak ada
kesedihan ketika itu, serupa melepas kertas melayang tak berarti.
Sampai kemudian pemilik layang-layang itu datang dan memberiku sebuah buku cerita
dengan tokoh utama memiliki nama yang sama persis dengan nama lahirku, sekaligus tahi
lalat pada posisi yang serupa dengan yang kupunya. Itu adalah tahi lalat air mata. Setitik
bercak hitam persis di bawah garis mata sebelah kanan. Dan, nama lahir itu, adalah nama
lahir yang tidak lagi kupakai dan sangat sedikit orang mengetahuinya. Laki-laki itu tidak
termasuk di antara yang sedikit itu.
Barangkali itu hanya semacam kebetulan. Namun alangkah mengharukan ''kebetulan'' itu
bagiku.
Maka, kemudian kutemukan sesuatu yang berserak di dalam diriku. Serakan serupa kepingan
yang berasal dari patahan bernama hati. Patahan yang senantiasa memunculkan luka. Maka
kupungut kepingan berserak itu, bukan untuk disusun kembali -karena niscaya akan terlalu
banyak retakannya- melainkan untuk disimpan sebagai kenangan.
Kepatahan yang memicu kesendirian, yang menghampiri dan menggigitku dengan ketajaman
taring-taringnya. Untuk pertama kalinya aku merasa gentar menghadapi kesendirian, yang
selama ini kunikmati bahkan kucari dengan gagah berani. Kali ini aku gentar, oleh suatu
kesadaran betapa getir kesendirian itu sesungguhnya.
Lalu rasa takut itu merayapiku, dan menggerakkanku untuk menemukan laki-laki kelima,
yang suatu kali pernah kuabaikan.
Serupa menemukan plester penutup luka, aku tahu bahwa seseorang ini akan mengatasi
lukaku untuk sementara. Sementara, karena aku tahu dengan pasti laki-laki itu memiliki
banyak hal yang tidak kusuka. Tipikal pemberontak yang tak pernah memiliki basa-basi,
namun menyimpan koleksi puisi yang memabukkan.
Tanpa basa-basi apalagi permisi, laki-laki itu menyergapku pada sebuah dini hari dengan
sebuah pagutan. Pagutan yang sangat telak sekaligus kurang ajar. Namun justru
menjadikannya sebagai pagutan menggetarkan yang membekas lama dalam ingatan.
Lalu, ditemukannya kemulusanku yang menakjubkannya, dan kemudian dijelajahinya tanpa
mampu kucegah.
''Kau milikku dan aku akan menjadi laki-laki pertama yang menelanjangimu,'' katanya
sepenuh keyakinan.
Sangat kurang ajar.
Namun yang kudapati pada diriku bukan rasa marah, melainkan rasa tertaklukkan. Sebuah
rasa yang tak pernah kupunya. Kini aku mencecapnya, menikmatinya dan bahkan
menghendakinya kembali pada suatu ketika. Dominasi laki-laki itu atasku menjejakkan

sebuah rasa yang tak pernah kupunya. Dominasi itu entah bagaimana, tidak terasa menjajah,
namun justru melenakan.
Alangkah ambigunya perempuan.
Selalu tidak ingin dianggap lemah, kerapkali merasa dilecehkan, namun pada sisi yang lain
muncul keinginan untuk ditaklukkan, mencari sebuah dekapan yang mampu membuat diri
ingin menyerah pasrah.
Tapi mengapa aku harus menyerah oleh karena sebuah interaksi yang bahkan tidak
melibatkan cinta di dalamnya, selain hanya ketakjuban sesaat? Namun pada saat yang sama
aku juga tidak ingin kehilangan, sekaligus pula aku bukan pula seorang yang bisa sungguhsungguh menyerah. Kontradiksi yang membimbangkan, memicu segala gerak yang tanggung.
Dengan segera penyerahanku yang tanggung membuatnya gusar.
''Kau perempuan paling tidak jelas yang pernah kutemui,'' katanya habis sabar. Lalu pergi.
Apakah kalian tahu rasanya ditinggalkan?
Itu adalah perasaan yang membuatmu serupa jerami, batang padi yang kosong tak berguna
setelah masa panen. Merasa sia-sia setelah dieksplorasi tuntas selama masa pertumbuhan.
Maka, aku tidak mau ditinggalkan.
Aku hanya mau meninggalkan.
Aku tidak sudi ditinggalkan, apalagi oleh seseorang yang telah menelusuri sudut-sudut
terjauh di dalam diriku.
Tapi, laki-laki itu berlalu dariku.
Aku diam, sendirian, dengan perasaan tersayat. Lalu lelatu, bunga api dendam mulai
memercikkan api yang melayang ....
Tidak mudah menyingkirkan seseorang dari ingatan. Otak manusia tidak terkonfigurasi
serupa perangkat komputer bertombol delete, yang akan menunaikan tugasnya menghapus
sebuah file, ketika tombol itu ditekan atau diklik. Program ingatan di benak manusia
memiliki sistem tak terjelaskan untuk mengingat atau melupakan sesuatu atau seseorang.
Aku tidak menghendaki seorang yang telah meninggalkanku, berdiam di dalam ingatanku,
sementara tombol delete itu tidak kupunya dan ingatan tidak selalu menaati kehendakku.
Maka, cara terbaik menyingkirkan laki-laki itu adalah dengan membunuhnya. Itu cara tepat
menyingkirkan seseorang dari duniaku, meski belum tentu akan terenyah dari ingatan.
Ya, laki-laki itu harus kubunuh.
Kuhembuskan napas panjang. Kureguk sisa kopi di cangkir.

Baiklah, akan kupikirkan beberapa alternatif cara terbaik untuk membunuh laki-laki ke-5 itu,
dalam beberapa hari ini. Sebuah cara membunuh yang elegan, rapi, dan tak berjejak.
Lalu, kumatikan laptop dengan satu sentuhan.
Aku yakin redaksi yang baik hati itu akan sabar menungguku menemukan cara membunuh
yang terbaik.
Deadline surat kabar itu masih beberapa hari lagi. (*)
Cerpen Sanie B. Kuncoro
Copyright @2008 IT Dept. JAWA POS
Jl. Ahmad Yani 88, Surabaya 60234 Jawa Timur - Indonesia
Phone. (031) 8283333 (Hunting), Fax. (031) 8285555
Cerpen JAWA POS kategori Pelajar 28 Juli 2008
komentar (0)
Filed under:

04.42

[ Senin, 28 Juli 2008 ]


Impian Besar Sumirah
Oleh Yoyok Hariyanto

Sumirah masih saja diam, menatap tajam bulan keemasan yang cahayanya menyiram segala
penjuru Desa Watu Itheng. Sebuah desa paling timur di Kecamatan Pulung. Desa itu
bernaung jauh dari keramaian Kota Ponorogo, yang moncer oleh seni reog. Desa yang masih

asing tersentuh oleh pembangunan. Desa yang masih kental menjunjung tradisi animisme dan
dinamisme. Walaupun sebenarnya, masyarakatnya sudah mengenal dan memeluk agama
Islam. Desa yang seakan terlupakan. Terlupakan oleh kemegahan dan kemajuan zaman.
Malam itu, cahaya bulan hinggap di atas lembaran-lembaran daun dan celah ranting pohon
cengkih. Pohon yang menyembunyikan Watu Itheng jika dilihat dari kejauhan. Pohon
penunggu Watu Itheng yang setia. Di bibir jendela kamar, Sumirah melemparkan tatapan
mata dari bulan ke kunang-kunang yang bertebaran di sekeliling rumahnya. Rumah yang
sebagian dindingnya terbuat dari glugu, sebagian lagi gedhek. Kunang-kunang itu menarinari diiringi orkestra musik merdu yang mencengangkan pendengaran dan tata lampu yang
membius penglihatan. Orkestra musik suara serangga-serangga malam dan tata lampu alami
cahaya bulan purnama. Berjuta kunang-kunang itu seakan berusaha menghibur hati Sumirah
yang sedang gundah.
Sumirah termenung. Matanya yang bulat mulai jernih dan berkaca, meneteskan butiranbutiran air mata kecil, kemudian mengalir semakin deras. Melewati pipinya yang hitam
berminyak, lalu ke dagunya yang mungil. Menetes membasahi lantai kamarnya yang
sepenuhnya tanah, kering, dan berdebu. Namun, sangat lembap di musim penghujan.
Sumirah terpaut memikirkan nasib yang menimpanya. Nasib buruk yang menggadaikan masa
remajanya. Keinginannya untuk melanjutkan sekolah ke SMU harus dia kubur dalam-dalam.
Terkubur bersama dalamnya akar pohon cengkih di tanah Watu Itheng. Ada sesuatu hal yang
mengurung keinginannya itu. Apalagi impiannya untuk menjadi sarjana sudah tak mungkin
lagi. Terpaksa keiginan tersebut harus dia gugurkan. Gugur seiring daun kering preng kuning
yang kerap rontok mengotori genting rumahnya. Lalu, sesekali terlihat burung gelatik
membawa terbang daun kering itu untuk membuat sarang di atas celah pinus ireng yang
menjulang tinggi.
Kehidupan ekonomi di desa memang tak selamanya menentu. Masyarakat dihadapkan pada
dua pilihan yang sangat mencekik. Hal itulah yang menjadi kendala impian Sumirah. Tetap
hidup di desa dengan segala kemiskinan dan keterpurukannya atau bekerja merantau ke
negeri orang sebagai TKW atau TKI. Begitulah tradisi yang berlaku bagi gadis seusianya.
Mereka harus rela menggadaikan masa remaja demi menyulap kehidupan. Menyulap
kemiskinan. Sementara itu, keberhasilan wanita-wanita Desa Alas Cendhek yang bekerja
sebagai TKW cukup memengaruhi wanita Watu Itheng untuk mengikuti jejaknya. Ditambah
lagi, para calo TKW sudah menjalar di desa itu. TKW seakan dianggap sebagai sebuah
tradisi.
***
Malam bergulir menjadi pagi. Cahaya fajar dan kabut putih merambahi desa yang seolah sisa
dinginnya malam lenyap berganti hangat tersiram sinar mentari pagi. Seperti biasanya,
Sumirah bergegas mengambil seikat sapu lidi, kemudian setengah lari menuju halaman
rumah. Membersihkan daun-daun kering yang mengotori halamannya itu.
"Inikah hukuman yang menimpa desa ini? Kemiskinan semakin terpuruk. Apakah ini akibat
penduduknya kurang mengenal-Mu, Tuhan?" pikir Sumirah ketika sejenak terhenti dari
ayunan sapunya.
"Sum... Sumirah, Sum.....!"

Lamunan Sumirah seketika putus, kemudian menolehkan arah matanya pada sumber suara
yang memanggil namanya. Dari kejauhan, di balik titik-titik embun pagi, tampak Marmi
sedang berlari kecil menuju tempat Sumirah berpijak.
"Sum, rajin bener we," sapa Marmi memulai pembicaraan dengan setengah terputus-putus
karena kehabisan tenaga setelah berlari.
''Ah, biasa saja, Mar. Ada apa kok seperti ono sing penting?"
''Itu Sum, teman-teman kita di SMP Pulung dulu sudah habis, Minah, Parmiaten, Minten,
Ratna, Kitri, bahkan temanmu sebangku dulu, Jumayah, sekarang sudah di kota. Katanya,
sepasar lagi terbang ke Arab. Tepatnya, Kemis legi depan. Ya, kata orang tua dulu Kamis
yang jatuh pada hitungan legi merupakan hari baik untuk memulai usaha. Tepatnya disebut
lawang rezeki".
''Mengapa to mereka harus menjadi TKW ke Arab, Abu Dabhi, kalau keselamatan
dipertaruhkan? Lihat saja Bulek Ndari tahun lalu pulang dengan membawa anak, lalu Mbak
Tumi yang baru sebulan di Arab langsung dipulangkan akibat dianiaya majikannya, apa itu
yang dikatakan perlindungan?" sahut Sumirah setengah marah, seketika keningnya ikut
mengerut.
"Ya, aku sih tak tahu Sum. Tetapi, apa lagi yang harus kita perbuat, apa kita harus tetap di
desa dengan segala kemiskinan kita? Kau kan juga tahu Sum, biaya sekolah sekarang mahal.
Aku tahu dari Novianti. Dia kan teman kita satu-satunya yang melanjutkan sekolah ke kota.
Ya, mungkin lantaran dia anak Pak Lurah Lenjeng. Katanya, harus membayar dua juta,
berapa lebihnya sih kurang jelas. Katanya juga buat otonomi komite sekolah begitu. Orang
kecil seperti kita mana sanggup. Apalagi panen cengkih juga tak seberapa. Memangnya
otonomi karo komite sekolah itu opo to Sum?"
Sumirah hanya menggeleng. Diam. Diam begitu lama.
"Ah, terserah padamu Sum, aku sudah didaftarkan simbokku pada Pak Prayitno, itu penyalur
TKW di Alas Cendhek. Aku terserah saja Sum pada hidup ini. Mungkin inilah takdir, nasib,
nasib jadi orang cilik. Toh, dadi wong urip iku kudu biso nerimo, syukur karo sing gawe urip.
Kehidupan yang bagaimanapun pasti akan musnah, Sum. Ora ono sing adiluhung. Tak ada
yang abadi. Tak terkecuali kehidupan kita. Kekayaan, kemiskinan itu sudah ada yang
mengatur. Aku pasrah Sum," sudut Marmi dengan tatapan kosong.
***
Pernyataan Marmi semakin membuat hati Sumirah tercengang penuh cemas. Akankah temantemannya akan menganut tradisi itu? Tradisi yang berujung pada hasil yang tak pasti. Seperti
seekor semut hitam di atas batu hitam di malam hari yang gelap gulita. Sangat sulit dilihat.
Sulit pula ditebak. Sumirah takut kekhawatiran yang dia rasakan akan terjadi.
Sumirah bertanya-tanya. Apakah tradisi TKW akan tetap mereka anut selamanya? Apakah
desanya akan tetap begini selamanya? Apakah anak remaja seusianya akan bernasib sama
seperti anak remaja Watu Itheng atau Alas Cendhek? Remaja yang seakan terkurung di dalam
sangkar tradisi. Budaya yang menjerat sayap cita dan asa sang remaja untuk terbang. Terbang

mewujudkan cita dan harapan.


Begitu lama Sumirah berpikir dan diam. Seketika muncul cahaya harapan di lubuk
sanubarinya. Kecemasan lenyap bagai terserang bom atom yang menghancurkan segala
kecemasan itu menjadi keping-keping harapan. Dalam hati Sumirah berdesis, "Aku harus
bangkit. Bangkit dari segala tradisi buruk yang mengikatku. Aku ingin melanjutkan sekolah,
bukan menjadi TKW. Akan kusampaikan pada pohon cengkih dan preng kuning yang seakan
kesepian ini bahwa aku ingin kembali. Kembali menjadi remaja yang dapat menggantungkan
cita dan harapan pada hari ke depan. Aku harus menebarkan cahaya kemajuan di desaku ini.
Entah apa yang kulakukan esok. Yang terpenting adalah menentukan jalan hidupku terlebih
dahulu".
Senja datang memeluk erat malam. Angin bersemilir mengelilingi tubuh Sumirah. Angin itu
seakan mengubah pola pikirnya. Dia sadar bahwa hidupnya tidak sebatas ditentukan tradisi.
Jalan hidupnya hanya ditentukan oleh dirinya sendiri dan tentu saja atas kehendak Tuhan.
Sumirah tak sabar menunggu fajar merambahi desanya esok pagi. Seiring itu, dia ayunkan
langkah baru bersama mentari esok pagi. Di atas langit-langit rumahnya, dia menuliskan asa
dengan tinta harapan.
"Akulah Sumirah. Gadis desa yang akan menyalakan cahaya kemajuan di desa ini. Tradisi tak
dapat mengurung cita dan asaku. Aku ingin berlari sekencang angin. Angin yang membawa
jalan kehidupanku. Tersenyum riang menyongsong masa depan. Memburu cita seperti
layaknya teman-temanku yang lain di seluruh dunia."
Penulis adalah siswa SMAN 1 Ponorogo
Copyright @2008 IT Dept. JawaPos
Jl. Ahmad Yani 88, Surabaya 60234 Jawa Timur - Indonesia
Phone. (031) 8283333 (Hunting), Fax. (031) 8285555
Cerpen Finalis (10 Besar) CERMIN INDOSIAR 2008 oleh
Fatimah, Imazahra
komentar (1)
Filed under: 10 besar CERMIN INDOSIAR 2008

04.18

Episode Ibunda guru Amiroh


Aku berasal dari pulau Kalimantan, yang SD nya saja sekarang telah rata dengan tanah.
Namun aku punya mimpi ingin sekolah setinggi-tingginya! Aku menggenggam bara asa
walau duka lara silih berganti menyapa. Alasan yang sangat klasik tapi nyata, kemiskinan
membelitku seperti remukan ular kobra! Kepapaan dan tanggung jawabku sebagai anak
pertama juga pernah membuatku berhenti ingin menaklukkan dunia!

Tertatih-tatih aku lawan kejamnya dunia kapitalis. Aku pastikan diri, kemiskinan tidak akan
membuatku berhenti sekolah. Meski Abah menentang dan memintaku pulang. Saat itu aku
duduk di bangku kelas tiga tsanawiyah di jantung Jogja. Sepucuk surat jatuh ke pangkuanku,
Nak, pulanglah! lulus tsanawiyah sudah cukup untukmu. Saat ini. kebangkrutan mendera
Abah, menghabiskan segalanya, seperti kobaran api yang membakar rumput kering di musim
kemarau. Abah sudah tidak punya apa-apa lagi. Bahkan video tua barang peninggalan dari
Saudi sudah dijual untuk mengganjal perut. Alangkah egois jika kamu memilih bertahan di
Jogja, sementara ading-adingmu di rumah membanting tulang membantu orang tua. Kalau
kamu di sana Abah tidak tahu kamu bisa makan atau tidak, tapi kalau kamu di sini, makan
tidak makan, kita hidup bersama. Intinya, Abah menginginkanku pulang ke Banjarmasin.
Berkumpul dengan keluarga berbagi derita miskin bersama-sama.
Waktu itu darah mudaku menggelegak. Aku memilih bertahan. Mengabaikan permintaan
Abah. Walau aku belum tahu, kepada siapa aku bisa minta tolong?
Ketika aku menghadap ibu guru BP yang sholihah, Ibu Amiroh, pertahananku jebol. Aku
tersedu-sedu di sudut ruang BP, menangis di pangkuan beliau atas pahitnya kefakiran yang
ingin merenggutku dari bangku sekolah. Sampai kemudian beliau menjanjikan sesuatu,
Nak, kalau kamu berhasil meraih ranking 1 paralel (nilai tertinggi di antara peraih juara 1
dari kelas 1 tsanawiyah s/d kelas 3 Aliyah), ibu akan usahakan agar kamu diberi beasiswa
bebas SPP tahun ajaran selanjutnya. Walau saat ini kamu baru berhasil meraih rangking 3 dan
2 di semester-semester sebelumnya, ibu yakin kamu bisa! Sambil mengucapkan kata-kata
penyemangat itu, beliau menatap mataku lekat!
Masih kuingat, saat itu aku langsung menggenggam tangan beliau kuat-kuat. Seakan-akan
aku tegaskan pada beliau, kemiskinan ini tidak akan membuatku berhenti! Kemiskinan ini
malah akan menjadi bara abadi, bahwa aku bisa mengalahkannya dengan pendidikan
setinggi-tingginya!
Sejak itu, siang malam aku belajar seperti orang gila. Aku kesetanan ingin membuktikan
kalau aku juga bisa menjadi juara 1 paralel! Meski dalam sejarah pesantrenku selama belasan
tahun, belum pernah ada juara 1 paralel dari pulau Kalimantan.
Akhir tahun ajaran tiba. Setelah sekian pengumuman dibacakan, tiba-tiba namaku dipanggil
ke atas panggung di acara anugerah juara-juara kelas yang disaksikan oleh ribuan santri dari
seluruh penjuru tanah air. Saat itu kakiku seperti tidak menapak tanah,
Ananda Fatimah binti Chairi, dari kelas III B meraih juara 1 kelas IIIB daaan Juara 1
Paralel. Kepada Ananda, kami persilahkan ke depan menerima penghargaan! Suara bariton
Pak Rusydi hampir-hampir tenggelam oleh sorak sorai teman-teman dari daerah Kalimantan.
Semua mengelu-elukan aku. Mataku pun basah. Beliau berhasil menghidupkan kembali
harapanku sekaligus menyelamatkanku dari putus sekolah.
Belakangan aku baru tahu, bahwa beliaulah yang mengusulkan pembebasan SPP selama satu
tahun penuh untukku di hadapan sidang dewan guru dan pembina Madrasah. Beliau ternyata
tidak hanya menyemangati saja, tapi sungguh-sungguh membela masa depanku.
***
Episode Teh Merlyna Lim

Setiap tahun aku tepati janji pada motivatorku, Ibu guru Amiroh. Aku nikmati masa-masa
sekolah berasrama penuh prestasi, bahkan aku menjadi ketua OSIS.. Biarpun kemiskinan
belum menjauh, Ibu Amiroh telah membukakan pintu untukku: Berprestasi dalam pendidikan
adalah senjata ampuh melawan cengkeraman kemiskinan!
Lulus dari Madr. Muallimaat, aku bulat hati melanjutkan ke bangku kuliah, walau tanpa
dukungan finansial memadai dari orang tua. Tersendat-sendat kujalani kuliah.
Di saat temanku menikmati kiriman bulanan dari orang tua mereka, aku berjibaku. Mulai
menjadi guru TK sampai berdagang kue dan batik kulakoni asal halal.
Sampai pada sebuah titik, aku kehabisan energi! Aku bahkan terdesak mengemis belas
kasihan temanku karena waktu itu aku kelaparan dan sudah dua hari tidak makan.
Pada sahabatku aku mengeluh, Rasanya belitan kemiskinan ini menakdirkanku untuk tidak
berhasil meraih gelar sarjana. Aku seperti pungguk merindukan bulan!
Aku mengalami musibah dan kekecewaan beruntun di tahun 2000. Aku mempertanyakan
keadilan Tuhan. Aku lelah dan ingin menyerah. Kalah. Pulang ke Banjarmasin meski tidak
membawa gelar sarjana adalah pilihan paling realistis saat itu. Apalagi banyak lulusan sarjana
disekitarku malah nganggur!
Hingga suatu ketika, aku temukan tulisan-tulisan moderator yang menggawangi milis
Beasiswa yang menampar jiwaku! Seri tulisannya singkat tapi menyentuh relung-relung
kesadaran. Mengingatkan janjiku pada Ibunda guru Amiroh: kemiskinan harus dilawan
dengan prestasi! Membangunkanku kembali pada mimpi terbesarku. Meraih pendidikan
setinggi-tingginya, sebagai salah satu kunci menghentikan kemiskinan yang menderaku.
Di milis teh Merlyna membagikan ilmunya yang sangat berharga. Tips dan triks dalam
melamar beasiswa sekaligus memenangkannya. Ribuan jam kuhabiskan mengubek-ubek isi
milis, ketika aku baru selesai Kuliah Kerja Nyata di Gunung Kidul.
Nama Merlyna Lim sangat tersohor di dunia maya karena ia salah satu moderator milis yang
cepat tanggap atas pertanyaan dan kesulitan membernya. Hebatnya lagi, itu semua
dilakukannya ditengah-tengah jam kuliah dan penelitiannya yang padat antara Belanda,
Hawaii dan Bandung!
Dari milis, aku beranjak mencari tahu tentang dirinya dengan meng-google namanya.
Ratusan link muncul menunjukkan siapa dirinya. Luar biasa, Teh Merlyna adalah achiever
sejati! Dia telah meraih aneka penghargaan nasional dan internasional dan saat itu dia sedang
menempuh program Doktoral di Twente University, Belanda dengan beasiswa internasional
yang sangat prestisius. Academic papernya juga telah dipresentasikan di puluhan negara. Aku
terbius!
Semenjak itu boleh dibilang aku terobsesi sekaligus iri padanya. Jika dia bisa menempuh
pendidikan setinggi itu gratis dengan beasiswa, kenapa aku tidak bisa? Kehebatannya di
bidang akademik juga menyuntikkan bara: aku harus selesaikan pendidikan S1 ku, sesulit dan
seberat apapun tantangan yang kuhadapi. Aku tidak akan bisa mendapatkan beasiswa S2
kalau aku belum menyelesaikan S1 ku!

Terminal Leuwi Panjang, Bandung


Hari itu aku berjanji untuk bertemu dengan Merlyna Lim! Setelah sekian lama aku hanyalah
muridnya di dunia maya. Di email kuceritakan, aku mengagumi prestasinya yang mendunia
di websitenya: http://www.merlyna.org/bio. Aku ingin menyedot langsung energi positif
darinya.
Jelang keberangkatannya kembali ke Belanda, disela-sela kesibukannya mengurus penelitian
doktoralnya, dia sisihkan waktu untukku, yang bukan siapa-siapa.
Sekitar setengah jam aku menunggu seperti anak ayam yang hilang karena gak tau Bandung.
Akhirnya dari jauh kulihat seorang perempuan keluar dari mobil merah. Putih, cantik,
menarik, sederhana dan ramah!
Sambil bersalaman, teteh menarik tanganku, Ayo Ima, langsung naik mobil, kita cari caf
yang enak. Aku tidak tahu mau dibawa kemana, tapi yang pasti, aku langsung menyukainya!
Kami tiba di caf Atmosphere yang nyaman sekali. Pemandangan yang terhampar
disekeliling bukan main indahnya. Angin Bandung sepoi-sepoi perlahan mengeringkan
keringatku.
Gemetar kubuka obrolan sambil menyalakan tape recorder pinjaman. Dia bercerita tentang
keluarganya, hobbynya, kenangan masa kecilnya yang lucu dan penuh semangat. ITB dan
paduan suara kampusnya, penelitian-penelitiannya dan cintanya pada ilmu pengetahuan. Juga
kisah travelingnya yang seru! Meski sudah membaca blog travelingnya,
http://merlynatravel.blogspot.com, tetap saja mendengarkan langsung itu asik! Dia bahkan
membawakan foto backpackingnya keliling dunia, yang sudah menjangkau hampir 30 negara
lebih!
Dia salah satu perempuan cerdas tapi tidak sombong yang pernah kukenal. Dia pompakan
jutaan gigabyte semangat untukku! Mulai siang itu, dia kudaulat menjadi inspiratorku,
selain Ibunda guru Amiroh!
Dia balik bertanya. Dia ingin tahu hidupku. Malu-malu kuceritakan siapa aku dan mimpimimpiku yang tertatih-tatih kuraih. Dia besarkan hatiku, Coba terus, Dik, kamu tidak akan
pernah tahu batas kemampuanmu kalau kamu sendiri tidak mencobanya, kita moderator di
milis Beasiswa, siap membantu.
Dia Mengajariku Membagi Ilmu
Dia membuktikannya! Ketika berulang kali aku mengontak dia untuk urusan applikasi
beasiswa S2 ku ke berbagai lembaga, berulang-ulang juga emailnya datang memberikan
masukan-masukan yang sangat berharga. Bahkan ketika dia sedang sibuk dan di ujung dunia
paling jauh sekalipun!
Di penghujung tahun 2003, aku mendapatkan kepastian: memperoleh beasiswa S2 ke Inggris
dari Ford Foundation. Pendidikan tak hanya memerdekakanku dari kemiskinan harta dan
ilmu, tapi juga mengantarkanku ke berbagai negara, seperti inspiratorku!
Dia mengajariku satu hal yang sangat penting, kita tidak akan pernah kekurangan sekali pun
kita membagi yang kita punyai. Sebaliknya kita malah akan semakin kaya karena memberi.
Seperti pesan Nabi Mulia, Al Yadul ulya khairun minal yadis sufla. Tangan di atas (jauh
lebih) mulia dibanding tangan yang di bawah.

Cerpen Finalis (10 Besar) CERMIN INDOSIAR 2008 oleh


Rosalia Raesita Rabu
komentar (0)
Filed under: 10 besar CERMIN INDOSIAR 2008

03.58

Perempuan ini menyimpan banyak kepahitan di dalam hatinya. Terlahir sebagai anak pertama
dari empat bersaudara, menjadikan perempuan ini kuat memikul semua beban yang
dipercayakan Papi dan Maminya, agar adik-adiknya bisa bersekolah hingga urusan
menikahkan adik-adiknya. Nama perempuan ini Josephin. Umurnya sudah berkepala tiga.
Adikku akan menikah minggu depan. Satu lagi tugas berat menanti, ujar Josephin padaku.
Ditariknya nafas dalam-dalam.
Aku memandangnya, tak mengerti dengan ucapannya. Memangnya tugas berat apa, Kak?
Biasalah, utang sana sini untuk keperluan pesta, jawab Josephin.
Aku harus menyiapkan banyak hal dari urusan adat, gaun pengantin, make-up, gedung
resepsi, acara, hingga menu pestanya, kata Josephin. Terbayang rumitnya mengurusi itu
semua. Aku menganggukkan kepala membenarkan alasannya menyebut pesta ini sebagai
suatu tugas berat.
Kalau butuh bantuan, hubungi saja aku, kataku sambil tersenyum. Josephin memandangku
dan tertawa.
Berbicara tentang Josephin seakan tak ada habisnya. Josephin merupakan pegawai senior di
kantor kami. Pertama kali berkenalan dengannya membuatku berpikir hidupnya nyaris
sempurna. Wajahnya yang manis, dengan pekerjaan bagus sebagai acoounting di kantor kami,
membuat Josephin tidak hanya beruntung dalam karirnya.
Seorang anak laki-laki tampan yang berumur 3 tahun dengan kulit putih bersih dan bulu mata
lentik membuat semua terkagum-kagum begitu memandang Gerald, anak semata wayangnya
itu. Dan tentang suaminya? Begitu sempurna. Reynold nama lelaki itu, bertubuh atletis
dengan postur tubuh tinggi dan wajah tampan. Keluarga yang sempurna.
Namun bannyak hal yang tidak kuketahui tentang keluarga Josephin. Dari isu yang
berhembus, ternyata perempuan mungil ini sering mendapat perlakuan kasar dari suaminya.
Dia menyimpan rapat-rapat hal ini dari aku. Namun tanteku yang kebetulan bertetangga
dengannya sering bercerita tentang ini. Hingga di suatu siang, aku terkejut ketika melihatnya
baru tiba di kantor hampir pukul 12 siang. Namun bukan waktu terlambat masuk kantor yang
membuatku terperangah, tapi pada wajahnya. Tepatnya pada lebam di wajahnya.
Kak, ada apa Kak? aku mulai bertanya ketika Josephin menangis tersedu-sedu di meja
kerjanya. Dia menatapku dan kembali menangis. Aku membiarkannya menangis.
Ada apa Kak? tanyaku lagi.

Semalam Reynold memukulku. Dia bahkan hampir membunuhku.


Aku terkejut. Bayangan tentang sebuah keluarga sempurna kontan runtuh dari pandanganku.
Keduanya semalam bertengkar hebat. Rupanya sang suami takut Josephin yang menjadi
event organizer akan bertemu dengan mantan pacarnya yang kebetulan juga diundang ke
pesta itu. Josephin awalnya tak pernah menyangka hal ini terjadi.
Kupandangi sekujur tubuh Josephin. Bola mata kanannya berwarna merah darah. Kaki
kanannya penuh dengan bekas lebam berwarna hitam kebiru-biruan. Aku terperangah ketika
dia menggulung lengan kanan bajunya dan menunjukkan sesuatu padaku. Sebuah luka memar
menganga.
Dari cerita Josephin aku jadi tahu penyebab luka dan memar di sekujur tubuhnya itu.
Beberapa hari yang lalu suaminya mendapat kabar bahwa David, mantan pacar Josephin juga
diundang ke pesta itu. David merupakan teman kerja adik Josephin.. Namun Reynold
beranggapan lain. Dia curiga Josephin sengaja mengundang David untuk bisa bertemu lagi
dengan mantan pacarnya itu. Semalam hal itu ditanyakan pada Josephin. Josephin tersenyum
dan menjelaskan pada Reynold bahwa David memang diundang tapi oleh adik Josephin,
bukan oleh dirinya.
Ah, ternyata hal ini membuat Reynold naik pitam. Kaki kanannya secepat kilat menendang
perut perempuan ini hingga terjatuh. Dengan segera telapak kakinya menginjak lengan kanan
Josephin berulang kali. Josephin bereteriak keras menahan sakit. Di saat itu, ibunda Reynold
yang rumahnya bersebelahan dengan mereka mendatangi Josephin. Melihat menantunya
diperlakukan seperti itu, orang tua itu mencoba menarik anaknya menjauhi Josephin.
Reynold tak menghiraukan ibunya. Dia berlari ke arah dapur dan mengambil sebilah pisau
dapur. Baru saja pisau itu akan diayunkan ke tubuh Josephin, tiba-tiba pisau itu terlepas dari
gagangnya. Mungkin ini campur tangan Tuhan, yang tak ingin agar kisah hidup Josephin
berakhir seperti ini. Namun Reynold semakin kesetanan. Tangan kanannya yang kuat itu
dikepalkan dan dihantamkan pada bola mata kanan isterinya.
Di saat itu tetangga mulai berdatangan. Josephin dilarikan ke rumah sakit sedangkan Reynold
diamankan di rumah tetangganya. Gerald yang melihat perkelahian orang tuanya itu
menangis sekuat-kuatnya. Semuanya menjadi mimpi buruk bagi Josephin, dan tentunya juga
bagi Gerald.
Aku terdiam memandangi Josephin. Kuingat benar beberapa hari lalu aku dan dia telah
membeli sebuah gaun cantik berwarna biru berlengan pendek untuk dikenakan Josephin pada
pernikahan adiknya. Namun melihat Josephin dengan kondisi sepert ini membuatnya nyaris
cacat dengan gaun barunya. Aku memandangnya lagi.
Tak kuasa kubayangkan tubuh mungil isterinya ini dihantam dengan kekuatan penuh lelaki
atletis yang setiap hari kerjannya hanya fitness. Tapi tunggu dulu.Tiba-tiba aku teringat satu
hal.
Kak Reynold bekerja dimana Kak? Kita laporkan masalah ini pada atasannya, kataku.
Dia pengangguran, jawab Josephin sambil tertunduk.
Aku terdiam. Pantas saja. Kekerasan dipakai sebagai senjata untuk menaklukkan isterinya,
membuat perempuan ini tidak berdaya. Rasa cemburu yang berlebihan membuat Reynold tak
segan-segan memperlakukan isterinya dengan kejam. Laki-laki yang tidak bekerja seringkali

merasa takut dikuasai oleh isterinya yang bekerja sehingga kekerasan dianggap cara lumrah
untuk menekan sang isteri.
Aku tak pernah peduli jika dia tak punya pekerjaan tetap. Apapun pekerjannya aku selalu
menghormatinya. Walau sekarang dia pengangguran toh aku selalu menghargainya sebagai
seorang suami. Namun dia sama sekali tak pernah menyadari hal ini. Penampilannya juga tak
mau kalah dengan laki-laki lain yang punya pekerjaan. Pakaian, sepatu, perhiasan hingga
suplemen termahal selalu aku berikan padanya. Aku mencintainya tapi tak pernah jadi isteri
yang baik di matanya, Josephin menangis lagi.
Mama, mama...., tanpa kami sadari, Gerald, anak Josephin sudah berada didekat kami.
Rupanya dia diantar pembantu.
Mama menangis? tanya Gerald sambil menghapus air mata ibunya dengan tangannya yang
mungil. Kalau Gerald sudah besar, Gerald bunuh Papa nanti. Mama diam yah? hibur anak
kecil itu.
Aku memandanganya. Kekerasan dalam rumah tangga menjadi momok yang menakutkan.
Namun di tempat kami orang sering melihatnya sebagai sebuah urusan rumah tangga biasa,
sebuah masalah privat yang tidak boleh dicampuri. Tiba-tiba aku teringat sesuatu.
Seminggu kemudian ketika Josephin sedang sibuk dengan urusan pernikahan adiknya, aku
pun sedang sibuk dengan sebuah urusan lain. Kisah Josephin menghantarkan aku ke
Solidaritas Perempuan Flores atau SPF yang konsen menangani masalah kekerasan terhadap
perempuan. Kasus kekerasan dalam rumah tangga merupakan yang tertinggi ditangani oleh
lembaga ini. Aku tahu akan ada berita baik buat Josephin.
Bagaimana, sukses dengan acara pernikahan? tanyaku pada Josephin suatu hari.
Syukurlah, semuanya lancar, kulihat senyum mengembang pada wajahnya. Matanya masih
menyisakan nanar yang belum sembuh benar.
Kak, mau tidak jadi relawan di SPF? tanyaku.
SPF? kening Josephin menyimpan tanya.
SPF itu Solidaritas Perempuan Flores. Lembaga ini memperjuangakan hak-hak perempuan
dan anak khususnya dalam kasus kekerasan terhadap perempuan. Letaknya langsung
bersebelahan dengan rumah Kakak, kataku.
Josephin terdiam.
Bilang sama Kak Reynold. Sekali lagi dia memukul Kakak seperti tempo hari kami akan
menghadapi dia, kataku sambil tersenyum.
Kini Josephin tak pernah mengeluhkan lagi perbuatan kasar suaminya. Rupanya kehadiran
SPF yang berada tepat disebelah rumahnya merupakan momok yang menakutkan buat
Reynold. Namun sebaliknya bagi Josephin dan aku sendiri, SPF mengajarkan kami bahwa
kekerasan terhadap perempuan bukan suatu bentuk pengajaran bagi perempuan. Karena cinta
tidak membutuhkan kekerasan sebagai pelajaran bukan?
Cerpen Finalis (10 Besar) CERMIN INDOSIAR 2008 oleh
Fien Prasetyo
komentar (0)
Filed under: 10 besar CERMIN INDOSIAR 2008

03.55

Dulu kupikir bapak sudah tidak mencintai ibu lagi. Selang dua tahun sejak ibu meninggal,
bapak memutuskan untuk menikah lagi. Jelas, bagiku, kala itu bapak sudah mengkhianati
mendiang ibu. Sudah seperempat abad lebih ibu menemani bapak dengan setia dan tanpa
mengeluh, tiba-tiba kini dengan mudahnya bapak melupakan ibu dengan menikahi seorang
perempuan bernama Rina.
Perempuan berjilbab itu masih tergolong muda, 40 tahun dan bapak 55 tahun. Meski janda
tanpa anak, penampilannya masih seperti gadis saja. Pantas saja bapak seperti terlena dengan
dia. Yang aku tak habis pikir, bagaimana mungkin perempuan itu mau dinikahi bapak yang
sudah tua dan punya empat orang anak ?
Sempat terbersit bahwa perempuan itu hanya mengincar harta bapak. Maklum, di kampung
kami bapak memang tergolong orang yang cukup mapan. Tapi segera kutepis pikiran itu dan
selanjutnya aku hanya bisa diam menyaksikan ijab Kabul kedua bapak itu.
Hari itu, hari pertama kali ada perempuan asing dalam rumah kami. Kami berempat cuma
bisa terdiam melihat bapak dan perempuan itu terlihat begitu suka cita. Amarah dan sakit
hatiku semakin memuncak ketika malam mulai larut. Bagaimana tidak, perempuan itu tidur
dalam satu kamar dan satu ranjang dengan bapak. Seharusnya ibu yang ada disisi bapak,
bukan dia. Lagi-lagi aku hanya bisa diam dan sedikit terisak dalam kamar, hingga tertidur
Pagi hari, pukul 05.00 kudengar di dapur telah bising oleh suara orang memasak. Dengan
sedikit masih mengantuk kucoba melihat apa yang telah terjadi di dapur. Sebab sejak ibu
tiada, tak pernah ada lagi acara memasak di pagi hari. Masing-masing disibukkan dengan
dirinya sendiri sehingga urusan sarapan pagi kami beli sendiri-sendiri di warung.
Aku terkesiap, beberapa jenis masakan telah tersedia di meja makan. Dan perempuan itu
dengan sumringah menyapaku. Udah bangun Fin ?
Aku tak menjawab, hanya berlalu.
Sholat subuh dulu Fin sambungnya kemudian.
Lagi-lagi aku tak menyahut.
Begitulah hari-hari kami sejak ada perempuan itu. Memang sedikit teratur, tapi tetap saja
kuanggap itu cuma bentuk usaha dia untuk memikat hati kami, anak-anak bapak, terutama
aku. Paling-paling hanya satu bulan pertama saja seperti itu, selanjutnyaah !
Satuduatigaempatlima bulan berlalu. Perempuan itu tetap konsisten menjalankan
roda rumah tangga dengan baik. Mulai dari menyiapkan makan, mencuci, menyetrika, bersihbersih rumah hingga mencari uang dengan menjalankan usaha berdagang baju-baju muslim.
Memang, teman-temannya cukup banyak. Silih berganti datang ke rumah untuk melihat dan
membeli baju-baju muslim yang diambilnya dari jawa tengah. Setiap hari, kalau tidak ada
jadwal kuliah, aku sering mengintip dari balik jendela kamar yang memang berseberangan

dengan ruang tamu. Perempuan itu begitu ramah dan telaten dalam melayani pembeli.
Senyum merekah tak henti-hentinya tersungging dari bibirnya. Dan kulihat orang-orang itu
begitu senang dengan bu Rina, begitulah terakhir aku memanggilnya. Tidak tampak di
wajahnya rasa letih dan lelah. Padahal aku tahu, sejak dari sebelum subuh, bu Rina sudah
bangun, memasak, mencuci, menyapu, mengepel, hingga menyiapkan segala kebutuhan
bapak dan kami sebelum berangkat beraktifitas.
Hingga pernah, pada suatu hari, saat dirumah sepi, hanya ada aku dan bu Rina, ia bertanya
padaku. Fin, kalo lulus kuliah mau kerja apa ?
Aku menggeleng, malas menanggapinya.
Pasti kerja kantoran ya ? Ibu lihat Fifin suka menulis di komputer.
Aku masih diam.
Atau mau gak bisnis kayak ibu ? tanyanya kali ini dengan nada bercanda
Nggak. Jawabku cepat
Bu Rina tertawa kecil, Iya, kalau bisa raih cita-cita yang lebih tinggi lagi yafifin kan udah
kuliah, harusnya bisa jadi yang lebih dari sekadar berjualan baju kayak ibu. Ibu dulu kan
nggak kuliah, cuma tamatan SMP, jadi ya mana mungkin kerja di kantoran. Bisanya ya jualan
gini aja. Tapi alhamdulillah, hasilnya lumayan juga lo
Seketika hatiku menciyut. Sedikit ada rasa kagum pada bu Rina.
Dulu, ibu juga ingin jadi orang pintar, kerja di kantoran. Tapi sayang kondisi keuangan
keluarga pada waktu itu gak memungkinkan untuk ibu bisa sekolah tinggi. Tapi ibu dulu
bertekad ingin mandiri meski berbekal pendidikan yang minim. Makanya, Fifin sekarang
udah enak tuh, biaya sekolah ada, jadi jangan sampai semua itu terbuang sia-sia. Manfaatkan
kesempatan yang ada dengan baik. Sebenarnya jadi apapun gak masalah, yang penting tidak
bertentangan dengan agama dan dijalani dengan penuh tanggungjawab. Ibu doakan besok Fin
jadi orang sukses ya.
Sederhana saja apa yang dikatakannya, tapi entah kenapa, tiba-tiba batinku bergejolak.
Seperti tengah mendorong-dorong semangatku untuk bangkit. Apalagi saat ia katakan akan
mendoakan aku untuk sukses...memang, sejak ibu meninggal, seperti hilang gairah hidupku.
Parahnya lagi, tidak ada yang memberiku semangat. Bapak sibuk bekerja, sementara saudarasaudara kandungku pun tak pernah ada waktu untuk berbagi.
Aku seperti menemukan tempat berlabuh, tempat bersandar. Seketika ingin rasanya aku
menumpahkan segala isi hatiku yang selama ini terpasung dalam kesepian tanpa ibu. Katakata dan suara lembut bu Rina sanggup membiusku untuk terlena dalam dekapannya. Dan,
kala itu aku memang jatuh dipelukannya dan menangis membasahi jilbabnya putihnya. Hari
itu aku merasakan belaian yang begitu tulus. Meski tak dapat mengalahkan ibu, tapi aku
cukup tenang bersamanya.
Bu Rina, ibu tiriku. Tak sanggup aku memanggilnya ibu seperti aku memanggil ibuku. Tapi
aku dan juga ia tak pernah peduli. Kasih dan cinta tak hanya sebatas sebutan ibu. Sudah
cukup bagiku petuah dan limpahan doa yang bu Rina berikan padaku menjadi oase yang
selama ini sempat hilang dari hidupku.
Kini, aku telah berumah tangga dan memiliki seorang puteri kecil berusia satu tahun. Dan
kini aku menganggap bu Rina bukan saja sebagai ibu, tapi juga guruku dalam berkarya,

temanku dalam suka, dan pelipur laraku dalam duka. Aku juga berdagang baju muslim dan
bahkan memiliki langganan yang lebih besar dari bu Rina. Ah, bangganya aku. Tapi ternyata
bu Rina lebih bangga padaku.
Bu Rina tak pernah lelah dan lalai menemani bapak, menapaki usia yang semakin senja. Kini
aku lega, ibu di surga pasti juga bahagia, karena bu Rina menjadi pengganti peran ibu yang
tulus. Satu hal yang sampai detik ini menjadi pembelajaran untukku dari bu Rina.
Bagaimana bu Rina begitu berbesar hati saat dulu aku tak pernah mempedulikannya,
bagaimana bu Rina begitu tabah menjalani hari-hari bersama bapak yang sempat sakitsakitan, bagaimana juga bu Rina begitu bertanggungjawab menjalankan setiap tugas dan
kewajibannya dalam mengurus rumah tangga dan kerjaan. Dan satu lagi bagaimana bu Rina
begitu tulus menyayangi bapak, aku, dan saudara-saudaraku.
Seorang bu Rina telah membuka mata hatiku, bagaimana aku harus bisa menjadi perempuan
mandiri dan kuat dalam mengarungi hidup. Tak harus menjadi kejam, otoriter, angkuh,
ataupun keras hati untuk bisa mandiri dan kuat. Tapi justru kelembutan, kesabaran, serta
keikhlasan akan membawa kita menjadi perempuan yang tak terkalahkan.***
Cerpen Finalis (10 Besar) CERMIN INDOSIAR 2008 oleh
Lingga Permesti
komentar (0)
Filed under: 10 besar CERMIN INDOSIAR 2008

03.48

Jamuujamunya Mbak...! teriakan Mbok jamu selalu kudengar tepat pukul sembilan pagi.
Aku terperanjat kaget mendengarnya, suaranya yang lantang itu memecah konsentrasiku
yang sedang menghapal bahan ujian untuk besok. Berisik sekali pikirku, mbok jamu itu
seperti tidak punya tatakrama saja, berteriak keras-keras, seolah-olah tidak akan ada yang
merasa terganggu. Pada mulanya aku tidak menanggapi kejadian yang terus berulang ini,
tetapi lama kelamaan aku dibuat kesal olehnya.
Aku lihat dari balik kaca jendela orang yang mengganggu belajarku itu, seorang wanita usia
lima puluh tahunan, menggendong satu baku jamu dan membawa ember kecil di tangan
kirinya. Kebaya lusuhnya itu berwarna biru tua dengan jahitan tambalan di sekitar lengan
kebaya itu.
Tak lupa pula kuperhatikan bakul besar yang ia bawa, mungkin beratnya sekitar lima kilo,
atau mungkin lebih. Di dalamnya berisi macam-macam jamu, dari jamu penyegar badan
hingga jamu kuat untuk para pria. Kulihat ia membenarkan letak selendang jamunya,
selendang yang ia gunakan untuk membawa bakul itu. Badannya yang kecil hampir tertutupi
oleh bakul jamunya yang besar dan berat.
Sempat terbersit rasa kasihan padanya, tetapi apa yang ia lakukan tidak dapat membayar

semua ini, membayar kekeruhan otakku yang diganggu oleh suaranya yang seperti ingin
memecahkan gendang telingaku. Akhirnya kusudahi saja belajarku dan pergi mandi, tetapi
tetap saja hatiku mengumpat-ngumpat pada ibu tua itu, si penjual jamu.
Setelah beberapa hari ini, tidak kudengar lagi teriakan mbok jamu yang biasa dipanggil Mbok
Nah itu. Entah apa yang terjadi padanya hingga tidak ada selama beberapa hari ini. Atau
mungkin, ia telah insaf mengganggu orang-orang yang beraktivitas dan membutuhkan
konsentrasi yang besar, seperti aku ini. Aku sengaja memilih kost yang agak jauh dari
kampus supaya mendapatkan ketenangan dalam belajar, tetapi ternyata, keputusan yang
kupilih ini tidak sesuai apa yang aku inginkan, terutama, suara Mbok Nah yang mengganggu.
Ah, sungguh senangnya tidak ada teriakan tak bersahabat di telingaku akhir-akhir ini.
***
Kuliahku akhir-akhir ini berantakan, entah mengapa. Mungkin karena permasalahanku yang
tidak kunjung selesai menarik kasih sayang kedua orang tuaku. Energi mereka sepertinya
habis untuk bekerja, mencari uang yang banyak agar anak-anaknya bahagia. Tetapi aku tidak
sebahagia yang mereka bayangkan. Okelah aku diberi fasilitas yang memadai, aku tidak
kekurangan materi sama sekali, aku hidup enak, dan aku mampu membeli apa saja.
Namun, seakan-akan mereka lupa ada seseorang yang rindu ditanya sudah makan atau belum,
bagaimana kuliahnya hari ini, atau satu kalimat saja yang ingin aku dengarkan, Mama dan
Papa kangen kamu, Nak..!.
Tidak, semua tidak ada dalam hidupku. Mereka hanya bekerja dan bekerja. Aku seperti
menjadi orang asing di keluargaku sendiri. Setiap aku pulang apabila ada libur kuliah, mereka
tidak ada di rumah, mereka sibuk dengan urusannya masing-masing. Aku sudah mencoba
untuk mengerti tetapi tak kumengerti hingga saat ini. Aku coba memahami, tetapi
jawabannya hanya bisu, aku seorang diri.
Lamunanku dibuyarkan oleh teriakan Mbok Nah. Ternyata ibu tua itu masih datang saja
kesini, aku kira ia sudah tidak punya nyali datang ke sini setelah kucoba untuk menegurnya
sebelum ia menghilang beberapa hari lalu. Sepertinya percuma saja aku menegurnya waktu
lalu, ia mendengar teguran itu seperti angin lalu saja.
Aku memcoba menegurnya sekali lagi, Mbok, tolong teriakannya diperkecil, saya
terganggu...! Mungkin tetangga lain juga terganggu! ungkap saya padanya sambil
kuperhatikan rambutnya yang lepek terkena sinar matahari, sungguh lelah pikirku. Sejenak
aku bersimpati kepadanya, tetapi Mbok Nah seperti tak mendengar omonganku, ia
menurunkan bakul jamunya kemudian mengambil satu gelas kecil.
Ditumpahkan jamu campuran kunyit, asam dan jahe kemudian ia sodorkan padaku, Jamunya
Mbak! Biar pintar! pintanya padaku. Entah mengapa aku lupa telah menegurnya sehingga
langsung saja aku ambil jamu itu dan kuteguk cepat-cepat. Tubuhku serasa segar dan
semangat seolah-olah aku menjadi orang yang baru.
Aku hanya berdiam diri memperhatikannya, kulihat mata Mbok Nah seperti menusukku.
Matanya seperti sudah mengalami perjalanan hidup yang panjang, tetapi mata itu senantiasa
memberi kasih sayang orang-orang di sekitarnya. Pantas saja warga di sini tidak banyak
terganggu oleh kehadirannya. Marahku sepertinya sudah terlunturkan oleh senyumnya yang
mengembang manis di depanku. Aku mungkin terlalu naif untuk menilai orang dari luarnya
saja karena entah mengapa kutemukan kehangatan dalam dirinya, kehangatan yang tidak

kutemui dari orang tuaku.


Aku memberinya selembar lima ribuan kemudian ia keluarkan dompet kecilnya dan
mengembalikan tiga ribuan, murah pikirku. Murah untuk lelahnya ia berjalan dari satu desa
ke desa lain, sangat murah untuk keringatnya yang bercucuran dari pukul setengah enam
pagi, murah untuk senyumnya yang ia berikan untukku. Begitupula warga di sekitar
lingkungan kost ini yang merasakan ketulusan senyumnya. Senyum Mbok Nah seperti
menampar hatiku yang dingin dan benar kata orang, senyum dapat merubah sikap seseorang
dan itulah aku.
Setiap hari kini aku menunggunya, menunggu Mbok Nah yang bersuara lantang itu. Walau
suaranya lantang, lain hal dengan sikapnya. Sikapnya sangat lemah lembut dan aku
merasakan sikapnya itu sampai ke hatiku. Aku seperti terkena candu jamu pintar yang ia buat.
Tak tahu mengapa disebut jamu pintar, ada-ada saja Mbok Nah.
Aku kini sering menunggunya dan ingin mengobrol banyak dengannya. Aku patut
mengangkat topi akan semangatnya, dan tahukah, alasan selama beberapa hari lalu ia tidak
berjualan jamunya karena ia menghadiri wisuda anaknya yang paling bungsu. Aku tersentak
mendengarnya, bagaimana bisa seorang penjual jamu dapat menyekolahkan keempat anaknya
yang kini sudah sarjana semua. Aku merasa di tengah himpitan ekonomi seperti ini Mbok
Nah bisa bertahan saja sudah luar biasa apalagi dapat menyekolahkan anak-anaknya.
Yang penting ikhlas to Mbak, kalo gak ikhlas ya gak jalan, yang di atas juga gak redo
ungkapnya padaku dengan logat jawanya yang kental. Sampai saat ini pun ia masih berjualan
jamu kendati anak-anaknya telah lulus dan bekerja. Aku tanyakan padanya untuk apa ia
melakukan semua itu ia pun berkata sambil tertawa renyah padaku, La wong kalo si mbok
liat orang minum jamu mbok ngerasa bahagia, gak tau kenapa ya Mbak sambil
dimasukannya botol-botol jamu itu ke dalam bakul dan mencuci gelas yang kupakai untuk
minum jamu tadi.
Terbersit dalam pikirku, mungkin itulah yang dilakukan kedua orang tuaku, membuat
anaknya bahagia walau mereka jarang memperhatikan aku. Aku seperti menyia-nyiakan
energiku untuk memperoleh kasih sayang mereka. Seharusnya akulah yang memberi kasih
sayang terhadap ayah dan ibu. Aku tersadar karena melihat perjuangan Mbok Nah,
berkeliling desa hingga kulitnya seperti melepuh terbakar sinar matahari. Aku pun menyadari
seberkas rumus pintar yang ia berikan secara tak langsung padaku.
Rumus pintar agar melakukan semua kegiatanku dengan ikhlas tanpa mengharapkan sesuatu
dari orang lain. Aku pun tak tahu bentuk ikhlas itu sendiri seperti apa, yang aku tahu aku
belajar banyak dari Mbok Nah agar bisa bahagia dengan membahagiakan orang lain dan aku
tahu rumus ini akan mengiringi dalam setiap perjalanan hidupku.
***
Perkuliahanku kini sudah semester delapan, semakin dekat kulihat kelulusan di depan
mataku. Aku berhasil melewati semua karena rumus pintar yang diberikan Mbok Nah
padaku. Tetapi aku agak sedih karena sudah tidak pernah melihatnya lagi berkeliling dari satu
kost ke kost lain untuk menjual jamu pintarnya. Katanya ia sudah pensiun dari pekerjaan itu.
Mungkin keempat anaknya meminta ia untuk berhenti menjual jamu.
Walaupun aku sempat merindukannya, aku merasa bahagia karena Mbok Nah bahagia.
Terima kasih untuk jamu dan rumus pintarnya Mbok Nah...! Akhirnya kuselesaikan cerita ini

dengan mengambil nafas panjang dan berkata, Aku ingin bahagia dan orang di sekitarku
bahagia... sekali lagi terima kasih Mbok Nah, terima kasih..
Beranda
Langganan: Entri (Atom)

2008 Cerpen Cerpen Juara Inspirasi Teladan


Design by Templates4all
Converted to Blogger Template by BloggerTricks.com

You might also like