You are on page 1of 4

Antara Dinamika Parpol dan Mahasiswa

Masyarakat demokratis yang perlahan mulai bisa melihat dari pandangan masing-masing tidak
lagi melihat ideology atau latar belakang sebagai sebuah pertimbangan penting dalam memilih,
mereka lebih cenderung melihat citra, terlepas apakah itu memang sejatinya seorang tokoh atau
hanya kreasi media semata. Seorang pakar marketing, Hermawan Kertajaya, menyatakan bahwa
pergeseran politik dari ideology kepada personalisasi merupakan bagian integral dari sebuah
tatanan dunia baru yang terwujud hari ini.
Tetapi, jika dilihat lagi ini masih merupakan sebuah politik semu. Kita hanya memilih sebagian
konsekuensi dari demokrasi tetapi juga menolak yang lain. Biarpun banyak pemuda dan
mahasiswa yang berperan aktif dalam sebuah pemilihan dan mengaku tidak lagi apolitis,
mayoritas dari mereka tetap antipati terhadap sesuatu yang bernama partai politik. Sebenarnya
bila dilihat, sama halnya dengan pemilu, partai politik merupakan sebuah konsekuensi atau
sebuah bagian penting dari kegiatan demokrasi.
Mahasiswa yang mulai jenuh mengenai dinamika politik yang terus terjadi dalam perebutan
kekuasaan organisasi kampus. Seperti beragam kepentingan yang terjadi antara organisasi yang
seolah-olah disusupi kepentingan partai politik.
Sebenarnya sungguh disayangkan ketidak sesuaian kepemimpinan seorang pemimpin kampus,
atau gerakan yang terlalu fokus hanya kepada sebuah isu tertentu, membuat mahasiswa
merasakan kejenuhan dengan hal yang berbau politik dan membuat meraka terpaksa untuk
melihat latar belakang para pemimpinnya, tentunya yang membuat mereka menjadi takut dan
menaruh curiga kepada partai politik atau organisasi apapun yang berasal dari luar kampus
karena mengaitkan dengan kejadian yang terjadi di organisasi kemahasiswaan. Jika dilihat
mahasiswa saat ini lebih teknokratis. Tidak bisa dibilang apatis tetapi lebih cenderung seperti
berpegang hanya kepada kebenaran ilmiah dan objektif semu belaka. Keraguan yang di tunjukan
untuk keberpihakan dalam pemikiran kepada kubu tertentu dan atas nama netralitas kita
mengambil jarak, salah satunya dengan partai politik.
Partai politik mengambil peran utama sebagai faktor mahasiswa, pemuda, dan masyarakat pada
umunya, enggan menaruk kepercayaan. Fakta-fakta ini bisa dilihat dari tahun 2009 yang lalu
yang mana tingkat kepercayaan terhadap partai politik masih cukup tinggi, yang menurut
Lembaga survei Indonesia (LSI), tingkat kepercayaan public terhadap partai politik masih
sangatlah tinggi hingga mencapai 60 persen. Tetapi LSI mencatat untuk saat ini, fungsi partai
politik sebagai saluran aspirasi publik yang dinilai negatif. Saluran aspirasi publik dinilai negatif.
Parpol lebih banyak memperjuangkan kepentingan sendiri dan kelompoknya ketimbang
kepentingan rakyat.
Problematika di atas membuat sebuah jarak yang terbentang antara kita dan partai politik cukup
melebar, bahkan lebih jauh antara mahasiswa denagan partai politik itu sendiri, pada akhirnya

kita memilih untuk terus menjaga jarak, yang mana pada ujungnya memutuskan untuk golput
dalam ajang pemilihan.
Baguskah partai politik masuk kampus?
Mari kita mengambil contoh dari dalam negeri kita, layaknya seperti presiden pertama kita,
Soekarno, yang meskipun baru medirikan PNI setahun setelah kelulusannya dari ITB (pada
waktu itu THS), Soekarno merumuskan pandangan politiknya sejak masih menjadi mahasiswa.
Kemudian juga seperti Semaun, yang meskipun tidak meneruskan pendidikannya hingga bangku
kuliah, ia memisahkan dirinya dari Serikat Islam dan mendirikan Partai Komunis Indonesia pada
usia 21 tahun. Tentunya tidak jauh berbeda dengan Muhammad Hatta. Bagaimanapun
Perhimpunan Indonesia yang ia pimpin keitka berkuliah di belanda bukan sekedar organisasi
sosial, tetapi juga merupakan organisasi politik.
partai sendiri adalah suatu entitas yang mengorganisasikan ide dan perbuatan. Sudah seharusnya
partai menjadi sarana kaderisasi untuk golongan muda untuk tumbuh menjadi negarawan di
kemudian hari. Partai juga seharusnya menjadi konsekuensi dari demokrasi, partai politik
menjadi momok utama bagi masyarakat itu sendiri untuk menyuarakan ide dan gagasan agar
diterapkan dalam sistem kepemerintahan.
Oleh karena itu, menjadi suatu pilihan bagi siapa saja yang menjadi orang yang punya pengaruh
suatu perubahan sosial di dalam satu kelompok masyarakat untuk berpartisipasi dalam segala
aktivitas partai politik atau yang mana paling tidak menitipkan sebuah aspirasi kepada partai
politik, termasuk di dalamnya mahasiswa.
Tentu saja setiap mahasiswa harus menjadi anggota partai politik, dan tentunya itu hanya suatu
pilihan setiap individu. Bukan pula merupakan suatu keharusan yang harus dikejar-kejar, dan
kebebasan institusi kampus dijadikan untuk memihak kepada satu partai politik atau figur politik
tertentu. Lebih secara institusional, kampus adalah suatu institusi yang harus tetap mejaga
indepedensinya.
Namun, tidak terlepas dari berbagai kejadian affair Politik yang terus menerpa partai politik
(seperti korupsi, inkpabilitas kader, skandal seks para pengurusnya), sangat di sayangkan apabila
kejadian ini dijadikan sebuah acuan yang membuat kita harus menjaga jarak dengan partai
politik.
Tentunya tidak ada yang namanya netral, meskipun beberapa menyatkan dirinya netral. Persepsi
pemikiran kita tentunya didukung oleh kerangka berpikir yang membuat memihak kepadanya,
yang bisa berupa ideologi yang bersifat kepercayaan, humanisme, liberal, pancasila, sosialisme,
atau sebagainya. Menempatkan diri ke dalam kubu netral sebenarnya secara tidak sadar sama
dengan membuat partai baru dan tentunya merugikan diri sendiri tanpa di sadari.

Sebenarnya kata netral itu sendiri seharusnya tidak dipakai, namun mungkin kita bisa mamkai
kata bijak dalam bersikap. Ketika kita memiliki suatu kecendrungan tertentu kepada beberapa
kubu tertentu, yang pasti kita harus siap untuk tetap terbuka terhadap pemikiran lain, apalagi
ketika memegang amanah sebagai pemimpin sebuah organisasi kampus. Suatu pandangan
terhadap politik tentunya jangan kita tunjukan secara eksplisit. Perbedaan dengan individu yang
punya keberpihakan, institusi harus tetap mejaga indepedensinya. Jangan sampai konsistensi
fungsional sosial kontrol menjadi pilah-pilih, lantang bersuara terhadap satu isu tertentu tetapi
hanya menjadi pendengar pasif atas isu lain yang dianggap merugikan afiliasi sikap politiknya.
Seharusnya sudah saatnya mahasiswa menghancurkan tembok anatara dirinya dengan partai
politik, atau dengan bau politik. Tentunya ada waktunya ketika kita memiliki perbedaan
pandangan politik dan preferensi berbeda dalam memilah partai politik, yang mana jika dilihat
itu bukanlah suatu masalah.

Nama

: Roiyan

Nama Pena

: Roiyan Watson

No.KTP

: 1173022509950001

Tempat/tgl

: Lhoskeumawe, 25 September 1995

Alamat

: Jl.panglateh, Keude Aceh, Lhokseumawe.

Email

: watsonroiyan@gmail.com

Alamat URL Facebook : https://www.facebook.com/roiyanbest


No.Hp

: 082267001995

Pekerjaan

: Mahasiswa

Jenis Kelamin

: Laki-laki

Rubrik Tulisan

: Pilkada, Politik, Mahasiswa.

Jenis Tulisan

: Opini

Profil Singakat
Penulisa merupakan salah satu mahasiswa Ilmu Komunikasi (konsentrasi Jurnalistik) Universitas
Mallikussaleh yang saat ini masih berada di semester 5.

You might also like