You are on page 1of 11

DIAGNOSIS DAN MANAJEMEN INFEKSI KULIT DAN

JARINGAN LUNAK DI UNIT GAWAT DARURAT (ICU)


Jason P. Burnham, John P. Kirby and Marin H. Kollef
2016 Springer-Verlag Berlin Heidelberg and ESICM
ABSTRAK
Tujuan : Untuk mengulas poin-poin penting tentang diagnosis dan
manajemen infeksi pada kulit dan jaringan lunak yang sering
terjadi/skin and soft tissue infections (SSTI). Ulasan ini
memfokuskan pada SSTI akut yang memerlukan perhatian di ICU,
termasuk sindrom syok toksik, mionekrosis/gas gangrene, dan
necrotizing fasciitis.
Metode : Garis pedoman, pandangan dari pakar, dan kebijakan
institusi lokal yang telah ditinjau.
Hasil : SSTI akut sering terjadi dan memerlukan manajemen yang
kompleks karena variasi pada patogen predominan infeksi dan
adanya resistensi terhadap antimikrobial, serta variasi pada respons
imun pada penderita. Aspek unik pada perawatan SSTI di ICU
yang telah didiskusikan termasuklah peran alat-alat prostetik,
faktor resiko bakterimia, dan urgensi konsultasi pembedahan.
Diagnosis banding SSTI, peran konsultasi dermatologis, dan ciri
khas pada penderita yang imunokompromise juga telah dideskripsi.

Konklusi : Kami menyediakan rekomendasi pada klinisi untuk


manajemen SSTI yang optimal di ICU.
Kata kunci : infeksi pada kulit dan jaringan lunak di ICU,
Necrotizing fasciitis, Gas gangrene

PENDAHULUAN
Infeksi pada kulit dan jaringan lunak (SSTI), juga dikenal sebagai
infeksi akut disebabkan bakteri pada struktur kulit, merupakan
alasan yang sering diberikan oleh pasien rawat inap atau rawat
jalan. Di US, SSTI merupakan keluhan 14 juta pasien rawat jalan
setiap tahun, [1], dan penyebab 900,000 pasien yang dirawat inap.
[2]. SSTI menjadi masalah yang berat di seluruh Eropa, walaupun
teradapat variasi di setiap daerah dari aspek patogen predominan,
bentuk resistensi terhadap antimikroba, durasi hospitalisasi, dan
tingkat rekurensi infeksi pada penderita [37]. Isolasi patogen dari
SSTI terbatas karena diagnostik yang kurang tersedia, dan
dipengerahi oleh faktor host dan geografis, menjadikan pemilihan
terapi empirik semakin rumit [4, 8, 9]. Pada ulasan ini, kami
merangkum poin-poin penting berakitan diagnosis dan perawatan
SSTI, dengan fokus pada manajemen SSTI yang diperlukan di
ICU.

Infeksi ICU-spesifik
SSTI bernanah, selulitis, piomiositis, dan SSI menyebabkan
penyakit yang bersifat akut, tetapi bentuk SSTI yang paling akut
adalah sindrom syok toksik, gas gangrene, dan necrotizing
fasciitis.
Sindrom Syok Toksik/Toxic shock syndrome (TSS)
Sindrom ini disebabkan oleh infeksi Gram positif
fulminan,biasanya karena S. aureus atau S. pyogenes, walaupun
beberapa diantaranya disebabkan oleh streptococci grup B, C, dan
G, serta spesies Clostridium. Insidens TSS karena staphlococcus
(SaTSS) setiap tahunnya adalah ~0.5/100,000 dan ~0.4/100,000
untuk TSS disebabkan streptococcus (SeTSS), walaupun jumlah di
setiap tempat bervariasi [27]. Tingkat kematian adalah <5 %
disebabkan SaTSS dan 30-70% disebabkan SeTSS[27]. Syok
toksik disebabkan Clodtridium jarang terjadi. [28, 29]. Ketika
seseorang diduga TSS, maka terapi empirik harus bisa mengatasi
infeksi yang resisten dengan obat-obatan. Berdasarkan studi
retrospektif dan data in vitro, pakar berpendapat vankomisin,
klindamisin, atau linezolid bisa menjadi regimen pengobatan
pilihan [3033]. Nafsilin atau oksasilin adlah pilihan yang bagus
untuk TSS disebabkan stafilokokus yang sensitif terhadap
metisilin, tetapi obat ini harus digunakan dalam bentuk kombinasi
dengan klindamisin karena nafsilin sendiri bisa meningkatkan
produksi toksin [32]. Klindamisin atau linezolid diperlukan dalam
perawatan karena bisa mengurangi produksi superantigen pada
pasien dengan TSS yang disebabkan oleh stafilokokus dan
streptokokus [3133]. Ketika terdapat kerentanan terhadap infeksi,
kadar antibiotik yang diberi hendaklah diturunkan tetapi masih
memnggunakan agen yang dapat mensupresi produksi toksin.Pada
TSS disebabkan klostridium, walaupun insidennya jarang,
klindamisin dan penisilin harus digunakan. Imunoglobulin

intravena/ intravenous immunoglobulin (IVIG) mengikat dan


menginaktivasi superantigen, sehingga membatasi pengeluaran
sitokin, walaupun keuntungan klinisnya masih kontroversial. Uji
kontrol terkendali (randomized controlled trials) terhadap IVIG
sulit dilaksanakan karena kasus TSS yang masih jarang [34]. Studi
prospektif observasional baru-baru ini mendapatkan bahwa jumlah
mortalitas pasien SeTSS berkurang setelah mendapatkan IVIG atau
klindamisin [35]. IVIG bisa menjadi pertimbangan untuk pasien
dengan TSS, walaupun dosis spesifik regimen tersebut masih
belum diteliti.
Nekrosis kulit dan infeksi jaringan lunak : gas gangrene/
mionecrosis dan necrotizing fasciitis
Nekrosis kulit dan infeksi jaringan lunak sulit untuk disembuhkan
dan memerlukan tindakan debridemen yang agresif, antimikroba
spektrum luas, dan perawatan intensif. Tabel 2,3, dan gambar 3
menyajikan faktor-faktor yang berhubungan dengan peningkatan
infeksi nekrosis, patogen tersering penyebab infeksi, dan algoritma
tatalaksana pembedahan. Sumber infeksi penyakit ini sangat
banyak dan biasanya memerlukan tindakan debridemen yang
berulang. Frekuensi dan jumlah debridemen yang diperlukan
bervariasi tergantung pada keagresifan infeksi tersebut, tetapi
biasanya pasien harus kembali ke ruang operasi untuk tindakan
debridemen setiap 24--48 jam sampai tidak ada lagi nekrosis
jaringan lunak atau kulit yang progresif. Balutan luka harus ditukar
setiap hari untuk melihat ada atau tidaknya infeksi yang
berkelanjutan (cth : bula, devitalisasi jaringan, penyebaran eritema)
yang memerlukan debridemen berulang. Selain luka, deteriorasi
klinis berdasarkan peningkatan kebutuhan perawatan intensif atau
parameter laboratorium menunjukkan infeksi yang memburuk
(cth : gagal ginjal kronik, leukositosis, asam laktat meningkat)
harus cepat dilakukan debridemen secara berulang.

Pengendalian infeksi secara pembedahan penting karena difusi


antimikroba ke jaringan target terbatas disebabkan oleh edema
jaringan yang signifikan, nekrosis, inflamasi, dan trombosis[37].
Suasana yang anaerob memicu proliferasi spesies Clostridium pada
penyakit gas gangrene/ mionekrosis dan anaerob di necrotizing
fasciitis tipe I.
Tambahan pula, bakteri dapat menyerang dinding pembuluh darah,
sehingga bisa terjadi luka vaskuler direk yang memperburuk
perfusi jaringan. Pada necrotizing fasciitis tipe II, superantigens
dari streptokokus menyebabkan kaskade sitokin yang memicu vaso
dilasi dan inflamasi, sehingga terjadi hipoksia jaringan yang
menghalangi konsentrasi antimikrobial yang efektif pada jaringan.
Gas gangrene/mionkrosis
Gas gangrene atau mionekrosis disebabkan oleh spesies
Clostridium. Clostridium perfringens biasanya berasosiasi dengan
luka traumatik; C. septicum pada pasien dengan neutropenia atau
keganasan atau abnormalitas gastrointestinal; C. sordellii pada
kelahiran dan aborsi provokatus; dan C. perfringens, C. novyi, dan
C. sordellii pada pengguna narkoba yang menginjeksi dengan
metodeskin pop [3841]. Gas gangrene dan mionekrosis adalah
penyakit yang memerlukan pembedahan dan perlu ditatalaksana
segera, dengan kombinasi antibiotik spektrum luas sambil
menunggu hasil kultur pasien selesai. Infeksi Clostridium sordellii
relatif jarang, dengan hanya 45 kasus yang ditemukan di literatur
pada tahun 2006 [41]. Walaupun jarang, infeksi C. sordelli penting
untuk diketahui karena bisa berasosiasi dengan toxic-shock like
syndrome,terutama pada pasien yang baru melahirkan atau abortus
[28, 29, 42]. Sindrom syok toksis berasosiasi dengan infeksi
klostridium dimediasi oleh dua sitotoksin klostridium, sehingga

patofisiologi TSS klostridium berbeda dengan TSS disebabkan


oleh streptokokus atau stafilokokus, yang mana keduanya
dimediasi oleh superantigen [28, 29, 42].
Necrotizing fasciitis
Necrotizing fasciitis (lihat gambar 1) adalah SSTI yang jarang
ditemui dan melibatkan fasia dalam dan selalu memerlukan
intervensi bedah dan antimkroba spektum luas secara intravena.
Tingkat necrotizing fasciitis bervariasi berdasarkan

Tabel 2 Karakterisitik yang berasosiasi dengan peningkatan infeksi


nekrosis
Parameter klinis

Parameter laboratorium

Pain out proportion


examination
Bula
Lunak
di
eritema

to Serum Na <135 mmmol/L


Jumlah sel darah
>15,400 sel/mm3

area

Krepitus
Anestesi kutan

putih

sekitar Gagal ginjal


Asidosis laktat progresif

Selulitis refrakter terhadap


terapiantibiotik
Selulitis progresif
Kulit kehitaman
Toksisitas sistemik
daerah (0.1815.5 per 100,000) dan angkanya semakin meningkat
[43, 44]. Necrotizing fasciitis tipe 1 bersifat polimikroba,
disebabkan baik organisme aerob maupun anaerob. Necrotizing
fasciitis tipe II biasanya disebabkan oleh S. pyogenes, walaupun
juga bisa disebabkan oleh S. aureus. Vibrio vulnificus dan
Aeromonas hydrophila merupakan penyebab pada penyakit ini
walaupun insidennya jarang. Vibrio vulnificus merupakan
penyebab necrotizing fasciitis pada pasien di bagian pesisir pantai
hangat (terutama Teluk Meksiko), mendapatkan sumber infeksi
dari makanan laut yang tidak dimasak atau kurang masak. Setelah
diidentifikasi melalui kultur, pengobatan V. vulnificus yang paling
baik adalah dengan doksisilin dan seftriakson atau sefotaksim.
Necrotizing fasciitis disebabkan oleh Aeromonas hydrophila terjadi
karena pendedahan luka terhadap air tawar atau air asin atau tanah
yang terkontaminasi. Penggunaan lintah juga menyebabkan infeksi
disebabkan A. hydrophila. Pengobatan biasanya menggunakan
doksisilin plus siprofloksasi, walalupun terdapat kasus resistensi
siprofloksasin, sehingga diperlukan terapi empirik yaitu sefepim
sampai resistensi tersebut diatasi (Table 1 Bahan Elektronik
Tambahan). Terdapat beberapa macam kasus yang dilaporkan
berkaitan jenis agen penyebab necrotizing fasciitis, sehingga
dokter sadar bahwa tindakan debridemen, kultur bakteri dengan
kombinasi antimikroba spektrum luas diperlukan sebagai terapi lini
pertama [45, 46].

Walaupun ajaran lama mengatakan bahwa pada pemeriksaan fisik


pasien dengan necrotizing fasciitis, penting untuk diingat bahwa
saraf superfisial bisa mengalami nekrosis, sehingga penderita
terasa kebas pada daerah yang terkena infeksi. Memperoleh
riwayat penyakit menjadi sulit karena tingkat keparahan penyakit
dan perubahan alat sensoris pada tubuh manusia memerlukan
kecurigaan terhadap necrotizing SSTI yang sangat tinggi. Oleh
karena sensitivitas yang rendah terhadap penyakit ini maka teknik
pencitraan tidak bisa menyingkirkan diagnosis necrotizing fasciitis
dan mungkin menghambat intervensi pembedahan, sehingga
memberikan prognosis yang buruk [47]. Namun begitu, pada
pasien yang stabil, MRI dapat membedakan antara infeksi karena
nekrosis dan infeksi yang non-nekrosis [48]. Necrotizing fasciitis
biasa nya mengenai ekstremitas bawah dan lokalisasi ini
disebabkan oleh beberapa faktor predisposisi diabetes,
abnormalitas pada pembuluh balik atau insufisiensi arteri, dan
penggunaan narkoba secara intravena. Oleh karena insidens
penyakit ini relatif jarang, terdapat berbagai macam penyebab
mikrobiologi dan tingkat keparahan penyakit yang bervariasi,
maka tidak ada uji klinis yang bisa menjadi pedoman untuk durasi
terapi, walaupun terdapat pedoman berdasarkan opini dari pakar
yang menganjurkan terapi berkelanjutan terhadap organisme yang
dikultur selama 46-72 jam setelah pasien stabil dan tidak
memerlukan intervensi bedah lagi setelahnya [9].
Bakteremia
Probabilitas penyebab SSTI karena bakteremia lebih besar
berbanding karena infeksi pada alat prostetik atau pendedahan
terhadap alat-alat kesehatan lainnya, dan umur yang terlalu tua
[26]. Skor resiko dapat memprediksi jika resiko bakteremia sangat
tinggi pada penderita SSTI (Tabel 2 Alat Elektronik Tambahan)
[26]. Bakteremia sekunder yang didapat di ICU, menyebabkan

SSTI sebanyak ~4 % [4]. Secara umum, kultur darah tidak


direkomendasikan untuk pasien SSTI, tetapi pada pasien SSTI
dengan sakit kritis dan imunokompromise harus melakukan kultur
darah.
Peran alat-alat prostetik
Riwayat bedah dan penggunaan alat prostetik meningkatkan resiko
infeksi padapasen dengan perawatan intensif. Pasien dengan sirat
sintetis digunakan setelah pembedahan abdomen mempunyai
resiko yang lebih tinggi terkena SSI[49]. Alat bantu ventrikular
berasosiasi dengan tingkat infeksi yang tinggi menyebabkan SSTI
[50]. SSTI bisa ditemukan pada alat elektronik kardiovaskuler
implan/ Cardiac implantable electronic devices (CIED). Tingkat
infeksi pada CIED bervariasi berdasarkan jenis alat, tetapi secara
umum jumlah insidennya meningkat [51]. Selain menyebabkan
septikemia, kateter intravaskuler juga menyebabkan selulitis atau
abses ketika insersi atau disepanjang daerah kateter. Pedoman baru
sedang dibuat, tetapi secara umum, jika terdapat infeksi pada
kateter maka kateter tersebut harus dilepas segera dari pasien [52].
Temuan dermatologis dan konsultasi dermatologi
Konsultasi dermatologi penting untuk diagnosis temuan
dermatologi pada pasien dengan sakit kritis dan mengurangi
penggunaan antimikroba pada kondisi non-infeksi [53, 54].
Kondisi dermatologis memiliki ciri yang sama dengan infeksi,
namun pakar dermatologis bisa membedakannya ; termasuklah
pioderma gangrenosum dengan pustular psoriasis (Tabel 4) [55].
Pioderma gangrenosum terjadi ketika luka yang tidak sembuh
mengalami nekrosis yang progresif setiap kali dilakukan tindakan
debridemen, terutama pada pasien dengan kondisi autoimun atau
keganasan. Temuan dermatologis bisa ditemukan pada 42% pasien
yang memerlukan rawatan intensif, walaupun hanya ~0,5%
menjadi penyebab pasien harus dirawat di ICU [56, 57]. Infeksi

merupakan penyebab predominan pada perubahan kulit yang


terjadi di ICU [5659].
Pengobatan
Perimbangan umum dan pembedahan
Untuk semua pasien SSTI yang memerlukan rawatan di ICU,
terapi resusitasi harus dilakukan berdasarkan protokol masingmasing institusi untuk manajemen sepsis dan syok sepsis. Kontrol
sumber infeksi salah satunya adalah dengan tindakan debridemen,
pelepasan alat invasif, atau pemeriksaan vagina pada TSS
menstrual. Konsultasi pembedahan dan tindakan debridemen perlu
segera dilakukan. Untuk SSTI nekrosis, diperlukan debridemen
setiap 24-48 jam sapai tidak ada nekrosis lagi dan tercapai
stabilitas klinis . Pada semua kasus infeksi jaringan lunak yang
nekrosis, salah satu tujuan pembedahan adalah untuk mencari
portal masuk bakteri yang menyebabkan infeksi, baik dari alat itu
sendiri atau lingkungan luar/ benda asing, atau dari organ lain (cth
sistem gastrointestianl dan genitourinarius). Semakin lama
dilakukannya intervensi bedah setelah pertama penyakit
didiagnosis, mortalitas semakin meningkat [47]. Berdasarkah hasil
survei dokter-dokter di Eropa, penundaan diagnosis infeksi aringan
lunak disertai nekrosis menjadi faktor resiko paling tinggi dalam
penundaan intervensi bedah [60]. Penutupan luka mungkin dapat
menyembuhkan infeksi[61]. Untuk kasus infeksi disertai nekrosis
yang melibatkan perineum atau daerah lain yang berpotensi
terkena kontaminasi tinja, kolostomi sementara diperlukan untuk
membantuk penyembuhan luka. Tingkat amputasi pada ekstremitas
bawah pasien necrotizing fasciitis bervariasi dari 15 hingga 72 %
berdasarkan komorbiditas, dengan diabetes sebagai faktor resiko
utama dilakukannya amputasi [62]. Walaupun amputasi bisa

menyelamatkan nyawa, namun juga berasosiasi terhadap


terbatasnya kerja fungsional tubuh setelah pengobatan [63].

You might also like