You are on page 1of 10

BAB 5

I DONT KNOW

5.1 Definisi Demam Tifoid


Demam tifoid adalah penyakit infeksi sistemik bersifat akut yang disebabkan oleh
Salmonella typhi. Penyakit ini ditandai oleh panas berkepanjangan, bakterimea, dan invasi
bakteri sekaligus multiplikasi dalam sel fagosit mononuclear dari hati, limpa, kelenjar limfe
usus,dan peyer patch (Sumarmo, 2010).
Beberapa terminologi lain yang erat kaitannya adalah demam paratifoid dan
demam enterik. Demam paratifoid secara patologik maupun klinis adalah sama dengan
demam tifoid namun biasanya lebih ringan, penyakit ini disebabkan oleh spesies
Salmonella enteridis sedangkan demam enterik dipakai baik pada demam tifoid maupun
demam paratifoid . Terdapat 3 bioserotipe Salmonella enteridis yaitu bioserotipe paratyphi
A, paratyphi B, dan paratyphi C (Sumarmo, 2010).
Menurut referensi lain menyatakan demam tifoid atau tifus abdominalis adalah
suatu infeksi yang disebabkan oleh bakteri Salmonella typhii yang ditularkan melalui
makanan yang tercemar oleh tinja dan urin penderita (Depkes, 2007).
5.2 Epidemiologi
5.3 Etiologi
Penyakit demam tifoid disebabkan oleh Salmonela typhi yang merupakan bakteri
gram negatif mempunyai flagella,tidak berkapsul dan tidak membentuk spora, fakultatif
anaerob. Mempunyai tiga macam antigen yaitu :
-

Antigen O (tidak menyebar) = merupakan antigen somatik (lipopolisakarida).

Antigen H/Hauch (menyebar) = merupakan flagela dan bersifat termolabil.

Antigen Vi = merupakan kapsul yang meliputi tubuh bakteri dan melindungi antigen
O terhadap fagositosis.

Ukuran sal;monela typi(2-4)x0,6 mikrometer. Baksil ini dapat hidup sampai


beberapa minggu dialam bebas seperti didalam air, es, sampah, dan debu.
Sedangkan reservoir satu satunya adalah manusia. Ketiga antigen tersebut di
dalam tubuh manusia akan menimbulkan pembentukan antibodi (aglutinin).
Salmonella typhi juga memiliki endotoksin yang susunan mirip antigen somatik,
hanya membantu peradangan, stimulasi makrofag, memproduksi sitokin, dan
merangsang sintesis dan pelepasan zat pirogen oleh leukosit pada jaringan yang
meradang

5.4 Cara penularan


Kuman ini ditularkan melalui makanan dan minuman yang tercemar
oleh kotoran/tinja dari seseorang pengidap atau penderita tifus abdominalis.
- Bila seorang penderita tifus mengeluarkan kotoran atau urine yang mengandung
kuman dan jamban tidak memenuhi syarat maka akan memudahkan terjadinya
-

penularan.
Kuman pada kotoran dapat langsung ditularkan pada orang lain apabila melekat
pada tangan dan kemudian dimasukan ke mulut atau dipakai untuk memegang

makanan.
Kuman dapat mencemari air bila kotoran tersebut terbawa atau terkena air. Kalau
air yang tercemar tersebut dipergunakan orang untuk keperluan sehari hari tanpa
direbus atau dimasak. Misalnya untuk menggosok gigi, berkumur, atau mencuci

sayur lalap, ia dapat menulari orang tersebut dengan penyakit tifus.


Kotoran dapat dihinggapi lalat, dan bila lalat ini hinggap di makanan, akan
menyebabkan makanan itu tercemar. Penularan terjadi bila seseorang memakan

makan yang tercemar ini.


Penderita yang baru tertular juga dapat menularkan lagi pada orang lain dan
lingkungan sekitarnya, dan seterusnya, merupakan lingkaran yang tidak putus
putusnya.
Kemudian kuman masuk melalui mulut dan terbawa ke saluran pencernaan.
Apabila kuman masuk ke dalam tubuh manusia, tubuh akan berusaha untuk

mengeliminasi kuman dengan berbagai cara. Namun, bila kuman dapat bertahan
dan jumlah yang masuk cukup banyak, maka kuman akan berhasil mencapai usus
halus dan berusaha masuk ke dalam tubuh. Akibatnya, kuman akan ikut serta
aliran darah dan mencapai organ hati dan selanjutnya berkembang biak di dalam
sel makrofag, salah satu jenis sel darah putih (SDP).
Hal ini kemudian diikuti oleh masa inkubasi, biasanya sekitar 7 (3-60) hari.
Jika kuman dapat bertahan dan berkembang, maka akhirnya akan masuk ke
jaringan sekitar, serta merangsang SDP lain untuk mengeluarkan zat interleukin,
yang merangsang terjadinya gejala demam. Kuman yang keluar dari SDP di
jaringan tubuh juga akan dapat masuk kembali ke sirkulasi darah, serta menyebar
ke organ tubuh yang lainnya.

Gambar 5.3 Cara Penularan Salmonella Thypii


-

5.5 Sumber sumber penularan


Kuman Salmonella typhi ditularkan melalui makanan atau minuman yang
tercemar oleh kotoran/tinja dari seorang pengidap atau penderita tifus abdominalis.
Kuman ini akan masuk melalui mulut dan hanyut ke saluran pencernaan. Kuman
yang keluar bersama tinja penderita atau pengidap kronis dapat bertahan di alam
dan akan menjadi sumber penularan bagi subyek manusia yang lain. Oleh karena

hal ini, maka penting untuk menjaga penderita, karier/pengidap kuman serta
higiene sanitasi perseorangan dan lingkungan
5.6 Patofisiologi
5.7 Gejala klinis
Manifestasi klinis pada anak umumnya bersifat lebih ringan, lebih
bervariasi bila dibandingkan dengan penderita dewasa. Masa inkubasi rata-rata
bervariasi antara 7-20 hari, dengan masa inkubasi terpendek 3 hari dan terpanjang
60 hari. Dikatakan bahwa masa inkubasi mempunyai korelasi dengan jumlah
kuman yang ditelan, keadaan umum/ status gizi serta status imunologis penderita
(Rampengan, 2008).
Walaupun gejala tifus abdominalis pada anak lebih bervariasi, secara garis
besar gejala-gejala yang timbul dapat dikelompokkan:
1. Panas lebih dari 7 hari, biasanya mulai dengan sumer yang semakin hari semakin
meninggi (step ladder pattern), sehingga pada minggu ke-2 panas tinggi terus
menerus terutama pada malam hari.
2. Gejala gastrointestinal dapat berupa obstipasi, diare, mual, muntah, dan kembung,
hepatomegali, splenomegali, dan lidah kotor tepi hiperemi.
Sifat bakteri yang menyerang saluran cerna menyebabkan gangguan penyerapan
cairan yang akhirnya terjadi diare, tetapi dalam beberapa kasus justru terjadi
konstipasi (sulit buang air besar). Tinja dapat berwarna hitam karena bercampur
darah. Bakteri Salmonella typhii berkembang biak di hati dan limpa. Akibatnya,
terjadi pembengkakan dan akhirnya menekan lambung, sehingga terjadi rasa
mual. Dikarenakan mual yang berlebihan, akhirnya makanan tak bisa masuk
secara sempurna dan biasanya keluar lagi lewat mulut. Bagian tengah berwarna
putih dan pinggirnya merah. Biasanya anak akan merasa lidahnya pahit.
3. Gejala saraf sentral berupa delirium, apatis, somnolen, sopor, bahkan sampai
koma (PDT, 2008). Penderita umumnya lebih merasakan nyaman dengan
berbaring tanpa banyak pergerakan, namun dengan kondisi yang parah seringkali
terjadi gangguan kesadaran.

Pada kasus tertentu dapat ditemukan penyebaran bercak merah muda yang
disebut roseola atau rose spot. Roseola merupakan suatu nodul kecil sedikit menonjol
dengan diameter 2-4 mm, berwarna merah pucat serta hilang pada penekanan.
Roseola ini merupkan emboli kuman yang di dalamnya mengandung kuman
Salmonella, dan terutama didapatkan di daerah perut, dada, kadang-kadang di bokong,
ataupun bagian fleksor lengan atas (Rampengan, 2008)

5.8 Diagnosa
5.8.1. Diagnosa klinis
Diagnosa klinis adalah kegiatan anamnesis dan pemeriksaan fisik untuk mendapatkan
sindrom klinis demam tifoid. Diagnosa klinis adalah diagnosis kerja yang berarti penderita
telah mulai dikelola sesuai dengan manajemen tifoid. Sindrom klinis adalah kumpulan
gejala-gejala tifoid seperti demam, nyeri kepala, kelemahan, nausea, nyeri abdomen,
anoreksia, muntah, gangguan gastrointestinal, hepatomegali, splenomegali, penurunan
kesadaran, bradikardi relatif, kesadaran berkabut, feses berdarah.
Diagnosa klinis tifoid diklasifikasikan atas 2 :
1. Suspek demam tifoid (Suspect Case)
Dengan anamnesa, pemeriksaan fisik didapatkan gejala demam, gangguan saluran
cerna dan petanda gangguan kesadaran jadi sindrom tifoid didapatkan belum lengkap.
Diagnosis suspek tifoid hanya dibuat pada pelayanan kesehatan dasar.
2. Demam tifoid klinis (Probable Case)
Telah didapatkan gejala klinis yang lengkap atau hampir lengkap, serta didukung oleh
gambaran laboratorium yang menunjukkan tifoid.
Diagnosa Banding
Pada tahap diagnosis klinis, beberapa penyakit dapat emnjadi diagnose banding
demam tifoid, diantaranya: dengue, pneumonia, hepatitis akut, influenza, tuberculosis,
leptospirosis, dll
5.8.2. Diagnosa Etiologik

Diagnosa etiologic merupakan kegiatan untuk mendeteksi basil Salmonella dari


dalam darah atau sumsum tulang. Bila basil ditemukan maka pasien sudah pasti
menderita demam tifoid. (Demam tifoid konfirmasi = Confirm case). Ada 3 cara untuk
diagnosis etiologik:
1. Biakan Salmonella typhii
Pembiakan ini adalah satu-satunya cara yang dapat dilaksanakan oleh
laboratorium sampai ke daerah-daerah. Setiap penatalaksanaan kasus demam
tifoid, biakan ini harus dilakukan
2. Pemeriksaan pelacak DNA Salmonella typhi dengan PCR (Polymerase Chain
Reaction)
DNA basil di identifikasidengan tehnik hibridisasi asam nukleat atau
amplifikasi DNA. Kelemahan tes ini tidak bisa menunjukkan infeksi akut,
karena PCR tidak dapat membedakan basil yang hidup dengan yang mati.
Oleh karena pemeriksaaan ini mahal maka tidak dianjurkan untuk pelayanan
rutin.
Bila hasil biakan tidak tumbuh, maka dapat dibantu dengan hasil widal dengan
kenaikan titer 4 kali lipat pada pemeriksaan widal II, 5-7 hari kemudian.
5.8.3. Diagnosa Komplikasi
Diagnosa untuk komplikasi tifoid adalah secara klinis, dibantu oleh pemeriksaan
penunjang seperti laboratorium dan radiologi. Monitor selama perawatan harus terlaksana
dengan baik, agar komplikasi dapat terdeteksi secara dini.
*Tifoid toksik
Tifoid toksik adalah diagnosis klinis. Penderita dengan sindrom demam tifoid dengan panas
tinggi yang disertai dengan kekacauan mental hebat, kesadaran menurun, mulai dari
delirium sampai koma

*Syok septik
Penderita dengan sindrom tifoid, panas tinggi serta gejala-gejala toksemia yang berat.
Didapatkan gejala gangguan hemodinamik seperti tensi turun, nadi lemah dan cepat,
berkeringat, dan akral yang dingin.

*Perdarahan dan Perforasi


Komplikasi perdarahan di tandai dengan hematochesia. Dapat juga diketahui dengan
pemeriksaan laboratorium terhadap feses (occult blood test). Komplikasi perforasi ini
ditandai dengan gejala-gejala akut abdomen dan peritonitis. Didapatkan gas bebas dalam
rongga perut yang dibantu dengan pemeriksaan klinis bedah dan foto polos abdomen 3
posisi.
*Hepatitis Tifosa
Adalah diagnose klinis dimana didapatkan kelainan yakni ikterus, hepatomegali dan
kelainan tes fungsi hati.
*Pankreatitis Tifosa
Adalah diagnose klinis dimana didapatkan petanda pancreatitis akut dengan peningkatan
enzim lipase dan amylase. Dapat dibantu dengan USG atau CT-scan
*Pneumonia
Juga didiagnosa klinis dimana didapatkan tanda pneumonia. Diagnosa dapat dibantu
dengan foto polos toraks.

Lanjut ketikan gita 1


Vera 1
Deo 1

ASPEK PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN TIFOID


Pencegahan selalu lebih baik daripada mengobati dan dengan pengobatan yang baik
berarti melaksanakan pencegahan yang baik pula. Bila pengobatan tifoid terlaksana dengan
sempurna, maka dapat mencegah karier yang merupakan sumber penularan di masyarakat.

Pencegahan adalah segala upaya yang dilakukan agar setiap anggota masyarakat tidak
tertular oleh basil salmonella. Ada 3 pilar strategis yang menjadi program pencegahan:
1. Mengobati secara sempurna pasien dan karier tifoid
2. Mengatasi faktor-faktor yang berperan terhadap rantai penularan
3. Perlindungan diri agar tidak tertular
Pengendalian adalah kegiatan yang bersifat mengelola, mengatur, dan mengawasi agar
tifoid tidak bermasalah lagi bagi masyarakat. Aspek pencegahan dan pengendalian tifoid
diantaranya:
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.

Langkah-langkah strategis pencegahan karier, relaps, dan resistensi tifoid


Perbaikan sanitasi lingkungan
Peningkatan hygiene makanan dan minuman
Peningkatan hygiene perorangan
Pencegahan dengan imunisasi
Surveilans
Definisi kasus
Sistem pencatatan dan pelaporan
Penanggulangan KLB

1. Langkah-langkah Pencegahan Karier, Relaps dan Resistensi Tifoid


Masalah yang timbul sehubungan penanganan kasus tifoid yang tidak optimal
adalah karier, relaps, dan resistensi. Karier adalah orang yang selalu mengandung basil
salmonella typhi sehingga menjadi sumber infeksi (penular) untuk orang lain. Karier akan
terjadi bila penderita tidak diterapi dengan adekuat atau ada faktor predisposisi pada
penderita sehingga basil sulit dimusnahkan dari tubuh. Di katakan karier bila hasil kultur
feses atau urin masih positif sampai 3 bulan setelah sakit dan disebut karier kronik bila
basil masih ada sampai 1 tahun atau lebih. Insidensi karier dilaporkan 5-10% dan <3%
menjadi karier kronik.
Relaps adalah kambuh kembali gejala-gejala klinis demam tifoid setelah 2
minggu masa penyembuhan. Relaps terjadi sehubungan dengan pengobatan yang tidak
adekuat, baik dosis atau lama pemberian antibiotika. Relaps dapat timbul dengan gejala
klinis lebih ringan atau lebih berat.
Resistensi adalah basil yang tidak peka lagi dengan anti mikroba yang lazim
dipakai. Resisten timbul akibat adanya perubahan atau mutasi genetika kuman, tanpa
perubahan patogenitas dan virulensinya. Resisten terhadap kloramfenikol sering sebagai
standar karena merupakan obat pilihan utama untuk tifoid. Resisten makin berkembang
dengan antimikroba lain seperti ampisilin, kotrimoksazol, dan quinolone (Multi Drug
Resistance Salmonella Typhi). Beberapa faktor yang menunjang kejadian resistensi:
1. Pemakaian antibiotic yang bebas oleh masyarakat (tanpa resep)

2.
3.
4.
5.
6.

Pemakaian antibiotika oleh dokter yang tanpa pedoman dan tanpa kontrol
Pilihan antibiotika lini pertama yang kurang tepat
Dosis yang tidak tepat
Lama pemberian yang kurang tepat
Ada penyakit lain yang menurunkan imunitas serta kelainan yang merupakan
predisposisi untuk karier tifoid

Kegiatan strategis yang merupakan pilar pertama dalam program pencegahan:


1. Terlaksananya monitor dan kontrol yang ketat terhadap pemakaian antibiotika yang
bebas oleh masyarakat
2. Setiap rumah sakit atau institusi kesehatan lain yang merawat pasien, memiliki standar
medis penatalaksanaan tifoid (Pedoman tatalaksana klinis) dan konsisten
mengimplementasinya
3. Setiap RS memiliki aturan pemakaian antibiotika yang terpola dengan baik. Memiliki
pola kepekaan yang dibuat secara berkala serta tetap menetapkan antibiotika yang
dipergunakan sebagai terapi empiris lini pertama dan kedua, baik untuk dewasa maupun
untuk anak.
4. Terhadap kasus tifoid, yaitu bisa terlaksananya program perawatan secara akurat dan
adekuat, pilihan antibiotika dengan efikasi dan daya pencegahan karier yang terbaik,
dosis dan lama pemberian yang tepat
5. Terlaksananya monitor terhadap kemungkinan karier dengan biakan feses secara serial.
Sekurang-kurangnya pada saat pulang, 4 minggu dan 3 bulan kemudian dilaksanakan
biakan lanjutan untuk mendeteksi karier
6. Bila ada kasus karier : terapi dengan quinolone selama 4 minggu (siprofloksasin
2x750mg atau norfofloksasin 2x400mg). Evaluasi dan atasi terhadap faktor predisposisi
karier seperti koledokholitiasis dan urolitiasis.
7. Bila ada resistensi terhadap obat lini pertama, maka terapi antibiotika selanjutnya lebih
baik menurut hasil uji kepekaan namun tetap dipilih dari antibiotika yang dikenal
sensitif untuk tifoid serta mempunyai daya penetrasi jaringan yang baik seperti
seftriakson dari sefalosporin generasi ke 3.
Deo 2
Vera 3
PENGOLAHAN DAN ANALISIS DATA
Menentukan dan Menghitung Rates
Rate adalah suatu probabilitas suatu kejadian. Biasa dinyatakan dalam formula sbb:
(x/y) k
X = numerator, adalah jumlah kali kejadian selama kurun waktu tertentu
Y = denominator, jumlah populasi dari mana komponen yang mengalami kejadian tersebut
berasal selama kurun waktu yang sama
K = angka bulat yang dapat membantu agar rates dapat mudah dibaca (100, 1000 atau 10.000).

Kurun waktu harus jelas dan sama antara numerator dan denominator sehingga rates tersebut
mempunyai arti.
Macam rates yang dipakai dalam surveilans demam tifoid adalah insiden. Insiden adalah jumlah
kasus baru dari suatu penyakit yang timbul dalam satu kelompok populasi tertentu dalam kurun
waktu tertentu pula.
Pada sarana kesehatan yang dapat dilakukan hanya menghitung proporsi yaitu jumlah kasus yang
ada dibandingkan dengan jumlah pasien yang dirawat dalam kurun waktu yang sama. Dengan
membandingkan data kasus suspek, kasus probable, dan kasus pasti dengan proporsi kasus
biakan positif terhadap jumlah sampel yang diperiksa maka dapat didapatkan gambaran tifoid
yang sebenarnya di masyarakat.
Data tersebut dapat digunakan untuk :
1. Membandingkan insiden menurut wilayah domisili pasien
2. Membandingkan insiden menurut waktu
3. Menentukan adanya kejadian luar biasa (KLB) atau wabah
Diseminasi Pelaporan
Demam tifoid tercantum dalam undang-undang No.6 tahun 1962 tentang wabah, oleh
karena itu tifoid wajib dilaporkan ke pusat dalam hal ini Departemen Kesehatan RI. Konsekuensi
dari peraturan ini sebenarnya setiap unit pelayanan kesehatan harus melaksanakan diagnosis
pasti setiap kasus suspek tifoid dengan pemeriksaan mikrobiologis (kultur), sehingga tahu secara
pasti berapa angka prevalensi atau insiden penyakit ini didaerah pelayanan kesehatan tersebut.
Deo

You might also like