Professional Documents
Culture Documents
adalah
penyakit
infeksi
kronis
yang
disebabkan
oleh
B. Klasifikasi
Klasifikasi penyakit kusta berdasarkan spektrum klinik, guna menentukan
penatalaksanaan dan penentuan prediksi terjadinya kecacatan, dapat digunakan
klasifikasi sebagai berikut :
1. Klasifikasi Madrid
Klasifikasi Madrid merupakan klasifikasi yang paling sederhana yang
ditentukan atas dasar kriteria klinik, bakteriologik, dan histopatologik. Ini sesuai
dengan rekomendasi Internasional Leprosy Association di Madrid tahun 1953
No.
1.
Pause Basiler
Multiple Basiler
Jumlah
Ukuran
Distribusi
Konsistensi
Batas
kehilangan rasa
pada bercak
kehilangan
berkemampuan
-
- Banyak
- Kecil-kecil
1-5
Kecil dan besar - Bilateral, simetris
Unilateral atau - Halus, berkilat
- Kurang tegas
bilateral
- Biasanya tidak jelas, jika
asimetris
ada terjadi pada yang
Kering
dan
sudah lanjut
kasar
- Bercak
masih
Tegas
berkeringat, bulu tidak
Selalu ada dan
berkeringat,ber
bulu
rontok
jelas
Bercak
rontok
tidak
berkeringat, ada
pada bercak
bulu
rontok
pada bercak
2.
Infiltrat
-
Kulit
membrana
Tidak ada
- Ada,kadang-kadang
Tidak
pernah
tidak ada
ada
- Ada,kadang-kadang
tidak ada
mukosa
tersumbat
perdarahan
dihidung
3.
Ciri hidung
central
penyembuhan
ditengah
b. medarosis
c. ginecomastia
d. hidung pelana
e. suara sengau
4.
Nodulus
5.
Penebalan
Tidak ada
Kadang-kadang ada
tepi
dini, asimetris
6.
7.
Deformitas cacat
Apusan
pada
terjadi dini
lanjut
BTA negatif
BTA positif
stadium
Untuk para petugas kesehatan di lapangan, bentuk klinis penyakit kusta cukup
dibedakan atas dua jenis yaitu:
1. Kusta bentuk kering (tipe tuberkuloid)
a. Merupakan bentuk yang tidak menular
b. Kelainan kulit berupa bercak keputihan sebesar uang logam atau lebih,
jumlahnya biasanya hanya beberapa, sering di pipi, punggung, pantat, paha
atau lengan. Bercak tampak kering, perasaan kulit hilang sama sekali,
kadang-kadang tepinya meninggi
c. Pada tipe ini lebih sering didapatkan kelainan urat saraf tepi pada, sering
gejala kulit tak begitu menonjol tetapi gangguan saraf lebih jelas
d. Komplikasi saraf serta kecacatan relatif lebih sering terjadi dan timbul lebih
awal dari pada bentuk basah
e. Pemeriksaan bakteriologis sering kali negatif, berarti tidak ditemukan adanya
kuman penyebab
f. Bentuk ini merupakan yang paling banyak didapatkan di indonesia dan
terjadi pada orang yang daya tahan tubuhnya terhadap kuman kusta cukup
tinggi
2. Kusta bentuk basah (tipe lepromatosa)
a. Merupakan bentuk menular karena banyak kuman dapat ditemukan baik di
selaput lendir hidung, kulit maupun organ tubuh lain
b. Jumlahnya lebih sedikit dibandingkan kusta bentuk kering dan terjadi pada
orang yang daya tahan tubuhnya rendah dalam menghadapi kuman kusta
c. Kelainan kulit bisa berupa bercak kamarahan, bisa kecil-kecil dan tersebar
diseluruh badan ataupun sebagai penebalan kulit yang luas (infiltrat) yang
tampak mengkilap dan berminyak. Bila juga sebagai benjolan-benjolan
merah sebesar biji jagung yang sebesar di badan, muka dan daun telinga
d. Sering disertai rontoknya alis mata, menebalnya cuping telinga dan kadangkadang terjadi hidung pelana karena rusaknya tulang rawan hidung
e. Kecacatan pada bentuk ini umumnya terjadi pada fase lanjut dari perjalanan
penyakit
f. Pada bentuk yang parah bisa terjadi muka singa (facies leonina)
g. Diantara kedua bentuk klinis ini, didapatkan bentuk pertengahan atau
perbatasan (tipe borderline) yang gejala-gejalanya merupakan peralihan
antara keduanya. Bentuk ini dalam pengobatannya dimasukkan jenis kusta
basah.
C. Etiologi
Penyebab kusta adalah kuman Mycobacterium leprae, merupakan bakteri
berbentuk batang yang tahan asam. Bakteri ini perlu sel inang untuk dapat
berkembang biak, berukuran lebar 0,3 hingga 1 mikrometer dan panjan 1 hingga 8
mikrometer. Bakteri ditemukan pada manusia, binatang armadilo, dan pada tempat-
tempat tertentu seperti pada tumbuhan sphagnum moss. Bakteri memproduksi racun
yang tidak diketahui dan dapat beradaptasi untuk menembus dan hidup di dalam sel
darah putih manusia yang berfungsi dalam memakan kuman dan dapat hidup di luar
tubuh manusia selama berbulan-bulan.
Cara penularan belum diketahui pasti, tetapi yang paling mungkin adalah
penularan dari udara pernapasan. Cara ini lebih dipercaya karena bakteri dapat hidup
beberapa hari dalam droplet (butiransekret saluran napas). Cara lain yang banyak
diduga selama ini adalah kontak dari kulit ke kulit. Hal ini banyak diduga dari
penelitian yang menemukan bahwa lokasi kelainan kulit pada penyakit kusta pada
anak-anak paling sering ditemukan di bokong dan paha, yang diduga didapat dari
kontak langsung dengan tanah yang mengandung bakteri Mycobacterium leprae. Di
Texas dan Louisiana Amerika Serikat, 15% binatang armadilo terinfeksi
bakteri Mycobacterium
leprae dan
kontak
dengan
binatang
armadilo
dapat
bukan
penyakit
keturunan.
Bakteri
dapat
ditemukan
pada
kulit, folikel rambut, air susu ibu, kelenjar keringat, dan jarang pada air kemih. Kusta
dapat menyerang semua usia, meskipun memang anak-anak lebih rentan
dibandingkan orang dewasa.
Timbulnya penyakit kusta bagi seseorang tidak mudah dan tidak perlu ditakuti
tergantung dari beberapa faktor antara lain :
1. Faktor Kuman kusta
Dari hasil penelitian dibuktikan bahwa kuman kusta yang masih utuh (solid)
bentuknya, lebih besar kemungkinan menyebabkan penularan daripada
kuman yang tidak utuh lagi. Mycobacterium leprae bersifat tahan asam,
berbentuk batang dengan panjang 1-8 mikron dan lebar 0,2-0,5 mikron,
biasanya berkelompok dan ada yang tersebar satu-satu, hidup dalam sel
terutama jaringan yang bersuhu dingin. Kuman kusta dapat hidup di luar
tubuh manusia antara 1 sampai 9 hari tergantung suhu atau cuaca dan
diketahui hanya kuman kusta yang utuh (solid) saja dapat menimbulkan
penularan (Depkes RI, 2002).
2. Faktor Imunitas
Sebagian manusia kebal terhadap penyakit kusta (95%). Dari hasil penelitian
menunjukan bahwa dari 100 orang yang terpapar, 95 orang yang tidak
menjadi sakit, 3 orang sembuh sendiri tanpa obat dan 2 orang menjadi sakit.
Hal ini belum lagi mempertimbangkan pengaruh pengobatan (Depkes RI,
2002.
3. Faktor Keadaan Lingkungan
Keadaan rumah yang berjejal yang biasanya berkaitan dengan kemiskinan,
merupakan faktor penyebab tingginya angka kusta. Sebaliknya dengan
meningkatnya taraf hidup dan perbaikan imunitas merupakan faktor utama
mencegah munculnya kusta.
4. Faktor Umur
Penyakit kusta jarang ditemukan pada bayi. Incidence Rate penyakit ini
meningkat sesuai umur dengan puncak pada umur 10 sampai 20 tahun dan
kemudian menurun. Prevalensinya juga meningkat sesuai dengan umur
dengan puncak umur 30 sampai 50 tahun dan kemudian secara perlahanlahan menurun.
5. Faktor Jenis Kelamin
Insiden maupun prevalensi pada laki-laki lebih banyak dari pada wanita,
kecuali di Afrika dimana wanita lebih banyak dari pada laki-laki. Faktor
fisiologis seperti pubertas, monopause, Kehamilan, infeksi dan malnutrisi
akan mengakibatkan perubahan klinis penyakit kusta.
D. Manifestasi Klinis
Gambaran klinik yang jelas berupa kekakuan tangan dan kaki, clawing pada jari
kaki, pemendekan jari, bahkan mudah terjadi perdarahan dan adanya makula dengan
hilangnya rasa tusukan. (lihat gambar 2.3) (Bhopal, 2002). Keadaan tersebut
merupakan penderita yang sudah lanjut dan sudah dipastikan lepra tanpa pelaksanaan
diagnostik yang cukup.
Bentuk keluhan bervariasi mulai dari keluhan anestesi di kulit, anesthesi pada
tangan dan kaki. Kelainan pada kulit bisa berupa bercak kulit yaitu macula
anaesthetica, penebalan kulit (papula atau plakat), nodula maupun ulcer. Pada saraf
tepi biasanya timbul penebalan saraf yang disertai peradangan (neuritis).
Umumnya ditemukan dalam 2 (dua) bentuk Pause basiler (PB) dan Multi basiler
(MB) dan menurut WHO untuk menentukan kusta perlu adanya 4 (empat) kriteria
yaitu :
1.
2.
3.
4.
dan
hepatospleenomegali.
7. Neuritis.
E. Patofisiologi
Kuman
Mycobacterium leprae
masuk
ke
dalam
tubuh
melalui
saluran pernafasan ( SelSchwan ) dan kulit yang tidak utuh. Sumber penularan
adalah penderita kusta yang banyak mengandung kuman ( tipe multibasiler ) yang
belum diobati. Kuman masuk ke dalam tubuh menuju tempat predileksinya yaitu saraf
tepi. Saat Mycobacterium leprae masuk ke dalam tubuh, perkembangan penyakit
kusta bergantung pada kerentanan seseorang. Respons tubuh setelah masa tunas
dilampaui tergantung pada derajat sistem imunitas selular ( cellular mediatedimmune )
pasien, bila sistem imunitas selular tinggi, penyakit berkembang kearah tuber kuloid
dan bila rendah, berkembang kearah lepromatosa. Mycrobacterium leprae berprediksi
di daerah yang relatif lebih dingin, yaitu daerah akral dengan vaskularisasi yang
sedikit. Derajat penyakit tidak selalu sebanding dengan derajat infeksi karena respons
imun pada tiap pasien berbeda. Gejala klinis lebihsebanding dengan tingkat reaksi
selular dari pada intensitas infeksi. Oleh karenaitu penyakit kusta dapat disebut.
F. Komplikasi
Komplikasi dan gejala yang dapat timbul pada penyakit kusta lanjut adalah sebagai
berikut:
1. Anggota gerak
Komplikasi pada anggota gerak merupakan konsekuensi dari kelainan saraf
yang menyebabkan mati rasa dan kelainan otot. Pasien tidak dapat merasakan
sentuhan, nyeri, dan suhu tetapi perasa posisi dan getaran masih dapat berfungsi.
Saraf yang paling sering terkena pada anggota gerak adalah saraf pada lengan yang
menyebabkan jari keempat dan kelima melekuk seperti cakar. Saraf lainnya di
lengan bila terkena dapat mengganggu fungsi ibu jari dan fungsi menggenggam.
Saraf
lainnya
yang
juga
terdapat
pada
lengan
bila
terserang
dapat
menyebabkan wristdrop, yaitu tangan lemas dan menekuk ke bawah tidak ada
tenaga. Pada telapak kaki dapat ditemukan luka bergaung dan bernanah. Kerusakan
saraf
pada
tungkai
dapat
kaki
lemas
dan
mengganggu fungsi berjalan. Hilangnya jari-jari terutama pada ruas buju jari paling
ujung disebabkan karena hilangnya kepekaan indra perasa,trauma pada jari atau
infeksi sekunder yang mekanismenya masih belum jelas dan diduga ada proses
kerusakan tulang pada jari.
2. Hidung
Pada Lepromatous Leprosy, bakteri yang menyerang selaput lendir hidung dapat
menyebabkan hidung tersumbat dalam waktu lama dan kadang-kadang mimisan.
Bila penyakit kusta pada pasien tersebut tidak diterapi, akan menyebabkan rusaknya
tulang rawan hidung dan akhirnya menyebabkan perubahan bentuk hidung atau
rusaknya indra penciuman.
3. Mata
Kelainan pada mata disebabkan karena kerusakan saraf kepala. Gejala yang
timbul yaitu kelopak mata tidak dapat menutup sempurna dan kornea mata tidak
peka terhadap rangsangan. Hal tersebut dapat menyebabkan infeksi yang bila tidak
diterapi dapat menyebabkan kerusakan kornea dan kebutaan.
4. Buah zakar
Bakteri Mycobacterium leprae yang menyerang buah zakar dapat menyebabkan
gangguan pada testis, yaitu gangguan hormonal yang menyebabkan penurunan
jumlah sperma sampai tidak adanya sperma. Gangguan hormon tersebut juga dapat
menyebabkan impotensi.
5. Saraf
Pada pasien Tuberculoid Leprosy, dapat terjadi pengumpulan nanah pada saraf
yang infeksinya dapat menjalar sampai ke kulit. Tampak bengkak dan sangat nyeri di
daerah saraf tersebut.
G. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan Bakteriologis
Ketentuan pengambilan sediaan adalah sebagai berikut:
a. Sediaan diambil dari kelainan kulit yang paling aktif.
b. Kulit muka sebaiknya dihindari karena alasan kosmetik kecuali tidak ditemukan
lesi ditempat lain.
c. Pemeriksaan ulangan dilakukan pada lesi kulit yang sama dan bila perlu ditambah
dengan lesi kulit yang baru timbul.
d. Lokasi pengambilan sediaan apus untuk pemeriksaan mikobakterium leprae ialah:
- Cuping telinga kiri atau kanan
- Dua sampai empat lesi kulit yang aktif ditempat lain
e. Sediaan dari selaput lendir hidung sebaiknya dihindari karena:
- Tidak menyenangkan pasien
- Positif palsu karena ada mikobakterium lain
- Tidak pernah ditemukan mikobakterium leprae pada selaput lendir hidung
-
H. Penatalaksanaan Medis
1. Terapi Medik
Tujuan utama program pemberantasan kusta adalah penyembuhan pasien kusta
dan mencegah timbulnya cacat serta memutuskan mata rantai penularan dari
pasien kusta terutama tipe yang menular kepada orang lain untuk menurunkan
insiden penyakit.
Program Multi Drug Therapy (MDT) dengan kombinasi rifampisin,
klofazimin, dan DDS dimulai tahun 1981. Program ini bertujuan untuk mengatasi
resistensi dapson yang semakin meningkat, mengurangi ketidaktaatan pasien,
menurunkan angka putus obat, dan mengeliminasi persistensi kuman kusta dalam
jaringan.
Rejimen pengobatan MDT di Indonesia sesuai rekomendasi WHO 1995
sebagai berikut:
a. Tipe PB ( PAUSE BASILER)
Jenis obat dan dosis untuk orang dewasa :
- Rifampisin 600mg/bln diminum didepan petugas
- DDS tablet 100 mg/hari diminum di rumah
luka, melepuh
Perlu direndam setiap hari dengan air dingin selama lebih kurang
setengah jam
- Keadaan basah diolesi minyak
- Kulit yang tebal digosok agar tipis dan halus
- Jari bengkok diurut agar lurus dan sendi-sendi tidak kaku
- Tangan mati rasa dilindungi dari panas, benda tajam, luka
c. Perawatan kaki yang mati rasa
- Penderita memeriksa kaki tiap hari
- Kaki direndam dalam air dingin lebih kurang jam
- Masih basah diolesi minyak
- Kulit yang keras digosok agar tipis dan halus
- Jari-jari bengkok diurut lurus
- Kaki mati rasa dilindungi
d. Perawatan luka
- Luka dibersihkan dengan sabun pada waktu direndam
- Luka dibalut agar bersih
- Bagian luka diistirahatkan dari tekanan
- Bila bengkak, panas, bau bawa ke puskesmas
Tanda penderita melaksanakan perawatan diri:
a.
b.
c.
d.
Arikunto, Suharsini, (1998) Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, Rineka Cipta,
Jakarta
Andrianto Petrus, (1989), Dermanto Venerologi, EGC, Jakarta
Djuanda, Adhi (2000), Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin, Jilid III, Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia, Jakarta.
Depkes RI, (1995), Buku Pedoman Pemberantasan Penyakit Kusta, DITJEN PPM & PLP,
Jakarta
Depkes RI, (1997), Perawatan Kesehatan Masyarakat Petunjuk Teknis Kesehatan Masyarakat
Pada Sasaran Individu dan Keluarga, Jakarta.
Depkes RI, (1999), Buku Pedoman Kusta Nasional Untuk Sentinel Surveilans, DITJEN PPM
& PLP, Jakarta.
Depkes RI, (2005), Buku Pedoman Eliminasi Kusta, DITJEN PPM & PLP, Jakarta.
Depkes RI, (2005), Buku Pedoman Nasional Pemberantasan Penyakit Kusta, Cetakan XVII,
DITJEN PPM & PLP, Jakarta
Depkes RI, (2006), Model pelatihan Program P2 Kusta Bagi UPK, DITJEN PPM & PLP,
Jakarta.
Harahap, Mawardi (2000), Penyakit Kulit, Hipokrates, Jakarta.
Friedman (1998), Perawatan Keluarga, Jakarta : EGC
Notoatmodjo, S, (1993), Metodologi Penelitian Kesehatan Cetakan 2, Rineka Cipta, Jakarta.
Nursalam, (2001), Metodologi Riset Keperawatan, Cetakan 1, Info Medika, Jakarta
Nursalam, (2003), Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan, Salemba
Medika, Jakarta
Suprayitno, (2004), Asuhan Keperawatan Keluarga Aplikasi Dalam Praktek , Jakarta : EGC
Sutedja Endang dkk, (2003), Kusta, Edisi II Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,
Jakarta.