You are on page 1of 15

1.

2 LAPORAN PENDAHULUAN DAN KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN


KELUARGA PADA KLIEN DENGAN PENYAKIT MORBUS HANSEN
A. Pengertian
Kusta termasuk salah satu penyakit tertua di dunia. Kata kusta berasal dari bahasa
India 'kustha', yang dikenal 1400 sebelum masehi sebagai penyakit menular tidak
fatal yang mengenai kulit, sistem saraf tepi, saluran pernapasan bagian atas, mata, dan
buah zakar. Kusta dikenal juga sebagai lepra, yang disebut dalam Alkitab berasal dari
bahasa Hebrew,'zaraath', yang sebetulnya mencakup berbagai penyakit kulit lainnya.
Nama lain untuk penyakit ini adalah penyakit Hansen, yang merupakan nama penemu
bakteri penyebab kusta (Mycobaterium leprae): G.A. Hansen.
Penyakit kusta adalah penyakit kronik yang disebabkan oleh Mycobacterium
lepra (M. leprae) yang pertama kali menyerang saraf tepi, selanjutnya dapat
menyerang kulit, mukosa (mulut), saluran napas bagian atas, sistim retikuloendotelia,
mata, otot, tulang dan testis (Amirudin dalam Harahap, 2000)
Kusta

adalah

penyakit

infeksi

kronis

yang

disebabkan

oleh

bakteri Mycobacterium leprae yang bersifat intraselular obligat, artinya: bakteri


tersebut harus berada di dalam sel makhluk hidup untuk dapat berkembang biak.
Kusta merupakan penyakit yang ditakuti karena dapat menyebabkan luka
bergaung yang sukar sembuh, perubahan bentuk anggota gerak dan wajah, dan
kerusakan saraf dan otot.

B. Klasifikasi
Klasifikasi penyakit kusta berdasarkan spektrum klinik, guna menentukan
penatalaksanaan dan penentuan prediksi terjadinya kecacatan, dapat digunakan
klasifikasi sebagai berikut :
1. Klasifikasi Madrid
Klasifikasi Madrid merupakan klasifikasi yang paling sederhana yang
ditentukan atas dasar kriteria klinik, bakteriologik, dan histopatologik. Ini sesuai
dengan rekomendasi Internasional Leprosy Association di Madrid tahun 1953

(Sekula, B.S, 2003). Klasifikasi Madrid tersebut memutuskan bahwa penyakit


kusta dibagi atas : tipe indeterminate, tipe tuberkuloid, tipe lepromatosa dan tipe
borderline (dimorphous).
2. Klasifikasi Ridley & Jopling
Klasifikasi penyakit kusta ini lebih dikaitkan dengan spektrum klinik kusta
yang sangat lebar rentangnya. Bisa dari kekebalan paling rendah seorang
penderita sampai pada kekebalan yang tinggi. (lihat gambar 2.4). Maka klasifikasi
ini didasarkan gejala klinik, bakteriologik, histopatologik, dan imunologik (Mittal
RR & Gopta K, 1997). Menurut klasifikasi ini terdapat 5 (lima) tipe klinik
penyakit kusta yang erat hubungannya dengan sistem kekebalan yaitu tipe polat
tuberkuloid (TT), tipe borderline tuberkuloid (BT), tipe mid borderline
Lepromatous (BL) dan tipe polar lepromatous (LL).
Konsep ini dapat digunakan untuk menentukan keadaan imunitas yang stabil
dan keadaan imunitas yang labil, dimana pada tipe polar tuberkuloid dan polar
lepromatosa merupakan keadaan imunitas yang stabil sedangkan tipe borderline
lepromatosa, mide lepromatosa dan bordeline tuberkuloid merupakan keadaan
imunitas yang lebih.
3. Klasifikasi WHO
Sejak program eliminasi kusta dilaksanakan secara merata di seluruh dunia
oleh WHO dengan memperkenalkan MDT, maka klasifikasi kusta perlu ada
standarisasi dengan lebih disederhanakan, oleh karena itu WHO menyepakati
untuk membagi menjadi 2 (dua) tipe yaitu :(Norihisa Ishii, 2003).

No.
1.

Kelainan kulit &


hasil pemeriksaan
Bercak (makula)
-

Pause Basiler

Multiple Basiler

Jumlah
Ukuran
Distribusi
Konsistensi
Batas
kehilangan rasa
pada bercak
kehilangan
berkemampuan
-

- Banyak
- Kecil-kecil
1-5
Kecil dan besar - Bilateral, simetris
Unilateral atau - Halus, berkilat
- Kurang tegas
bilateral
- Biasanya tidak jelas, jika
asimetris
ada terjadi pada yang
Kering
dan
sudah lanjut
kasar
- Bercak
masih
Tegas
berkeringat, bulu tidak
Selalu ada dan

berkeringat,ber
bulu

rontok

jelas
Bercak

rontok
tidak

berkeringat, ada

pada bercak

bulu

rontok

pada bercak
2.

Infiltrat
-

Kulit
membrana

Tidak ada
- Ada,kadang-kadang
Tidak
pernah
tidak ada
ada
- Ada,kadang-kadang
tidak ada

mukosa
tersumbat
perdarahan
dihidung
3.

Ciri hidung

central

healing a. punched out lession

penyembuhan
ditengah

b. medarosis
c. ginecomastia
d. hidung pelana
e. suara sengau

4.

Nodulus

5.

Penebalan

Tidak ada

Kadang-kadang ada

saraf Lebih sering terjadi Terjadi pada yang lanjut

tepi

dini, asimetris

biasanya lebih dari 1 dan


simetris

6.

7.

Deformitas cacat

Apusan

Biasanya asimetris Terjadi

pada

terjadi dini

lanjut

BTA negatif

BTA positif

stadium

Untuk para petugas kesehatan di lapangan, bentuk klinis penyakit kusta cukup
dibedakan atas dua jenis yaitu:
1. Kusta bentuk kering (tipe tuberkuloid)
a. Merupakan bentuk yang tidak menular

b. Kelainan kulit berupa bercak keputihan sebesar uang logam atau lebih,
jumlahnya biasanya hanya beberapa, sering di pipi, punggung, pantat, paha
atau lengan. Bercak tampak kering, perasaan kulit hilang sama sekali,
kadang-kadang tepinya meninggi
c. Pada tipe ini lebih sering didapatkan kelainan urat saraf tepi pada, sering
gejala kulit tak begitu menonjol tetapi gangguan saraf lebih jelas
d. Komplikasi saraf serta kecacatan relatif lebih sering terjadi dan timbul lebih
awal dari pada bentuk basah
e. Pemeriksaan bakteriologis sering kali negatif, berarti tidak ditemukan adanya
kuman penyebab
f. Bentuk ini merupakan yang paling banyak didapatkan di indonesia dan
terjadi pada orang yang daya tahan tubuhnya terhadap kuman kusta cukup
tinggi
2. Kusta bentuk basah (tipe lepromatosa)
a. Merupakan bentuk menular karena banyak kuman dapat ditemukan baik di
selaput lendir hidung, kulit maupun organ tubuh lain
b. Jumlahnya lebih sedikit dibandingkan kusta bentuk kering dan terjadi pada
orang yang daya tahan tubuhnya rendah dalam menghadapi kuman kusta
c. Kelainan kulit bisa berupa bercak kamarahan, bisa kecil-kecil dan tersebar
diseluruh badan ataupun sebagai penebalan kulit yang luas (infiltrat) yang
tampak mengkilap dan berminyak. Bila juga sebagai benjolan-benjolan
merah sebesar biji jagung yang sebesar di badan, muka dan daun telinga
d. Sering disertai rontoknya alis mata, menebalnya cuping telinga dan kadangkadang terjadi hidung pelana karena rusaknya tulang rawan hidung
e. Kecacatan pada bentuk ini umumnya terjadi pada fase lanjut dari perjalanan
penyakit
f. Pada bentuk yang parah bisa terjadi muka singa (facies leonina)
g. Diantara kedua bentuk klinis ini, didapatkan bentuk pertengahan atau
perbatasan (tipe borderline) yang gejala-gejalanya merupakan peralihan
antara keduanya. Bentuk ini dalam pengobatannya dimasukkan jenis kusta
basah.
C. Etiologi
Penyebab kusta adalah kuman Mycobacterium leprae, merupakan bakteri
berbentuk batang yang tahan asam. Bakteri ini perlu sel inang untuk dapat
berkembang biak, berukuran lebar 0,3 hingga 1 mikrometer dan panjan 1 hingga 8
mikrometer. Bakteri ditemukan pada manusia, binatang armadilo, dan pada tempat-

tempat tertentu seperti pada tumbuhan sphagnum moss. Bakteri memproduksi racun
yang tidak diketahui dan dapat beradaptasi untuk menembus dan hidup di dalam sel
darah putih manusia yang berfungsi dalam memakan kuman dan dapat hidup di luar
tubuh manusia selama berbulan-bulan.
Cara penularan belum diketahui pasti, tetapi yang paling mungkin adalah
penularan dari udara pernapasan. Cara ini lebih dipercaya karena bakteri dapat hidup
beberapa hari dalam droplet (butiransekret saluran napas). Cara lain yang banyak
diduga selama ini adalah kontak dari kulit ke kulit. Hal ini banyak diduga dari
penelitian yang menemukan bahwa lokasi kelainan kulit pada penyakit kusta pada
anak-anak paling sering ditemukan di bokong dan paha, yang diduga didapat dari
kontak langsung dengan tanah yang mengandung bakteri Mycobacterium leprae. Di
Texas dan Louisiana Amerika Serikat, 15% binatang armadilo terinfeksi
bakteri Mycobacterium

leprae dan

kontak

dengan

binatang

armadilo

dapat

menyebabkan kusta pada manusia.


Penularan berhubungan dengan kemiskinan, tempat tinggal di pedesaan dan
kepadatan penduduk. Kebanyakan orang secara alami kebal terhadap infeksi kusta
dan tidak menunjukkan gejala penyakit setelah terinfeksi. Puncak dimulainya
penyakit kusta biasanya pada dekade kedua dan ketiga kehidupan. Bentuk kusta yang
parah (Lepromatous Leprosy) lebih sering ditemukan pada pria dibandingkan dengan
wanita, dan jarang sekali ditemukan pada anak-anak. Bentuk kusta yang ditemukan di
Asia Tenggara adalah 50 % Tuberculoid Leprosy dan 50 % Lepromatous Leprosy
Kusta

bukan

penyakit

keturunan.

Bakteri

dapat

ditemukan

pada

kulit, folikel rambut, air susu ibu, kelenjar keringat, dan jarang pada air kemih. Kusta
dapat menyerang semua usia, meskipun memang anak-anak lebih rentan
dibandingkan orang dewasa.
Timbulnya penyakit kusta bagi seseorang tidak mudah dan tidak perlu ditakuti
tergantung dari beberapa faktor antara lain :
1. Faktor Kuman kusta
Dari hasil penelitian dibuktikan bahwa kuman kusta yang masih utuh (solid)
bentuknya, lebih besar kemungkinan menyebabkan penularan daripada

kuman yang tidak utuh lagi. Mycobacterium leprae bersifat tahan asam,
berbentuk batang dengan panjang 1-8 mikron dan lebar 0,2-0,5 mikron,
biasanya berkelompok dan ada yang tersebar satu-satu, hidup dalam sel
terutama jaringan yang bersuhu dingin. Kuman kusta dapat hidup di luar
tubuh manusia antara 1 sampai 9 hari tergantung suhu atau cuaca dan
diketahui hanya kuman kusta yang utuh (solid) saja dapat menimbulkan
penularan (Depkes RI, 2002).
2. Faktor Imunitas
Sebagian manusia kebal terhadap penyakit kusta (95%). Dari hasil penelitian
menunjukan bahwa dari 100 orang yang terpapar, 95 orang yang tidak
menjadi sakit, 3 orang sembuh sendiri tanpa obat dan 2 orang menjadi sakit.
Hal ini belum lagi mempertimbangkan pengaruh pengobatan (Depkes RI,
2002.
3. Faktor Keadaan Lingkungan
Keadaan rumah yang berjejal yang biasanya berkaitan dengan kemiskinan,
merupakan faktor penyebab tingginya angka kusta. Sebaliknya dengan
meningkatnya taraf hidup dan perbaikan imunitas merupakan faktor utama
mencegah munculnya kusta.
4. Faktor Umur
Penyakit kusta jarang ditemukan pada bayi. Incidence Rate penyakit ini
meningkat sesuai umur dengan puncak pada umur 10 sampai 20 tahun dan
kemudian menurun. Prevalensinya juga meningkat sesuai dengan umur
dengan puncak umur 30 sampai 50 tahun dan kemudian secara perlahanlahan menurun.
5. Faktor Jenis Kelamin
Insiden maupun prevalensi pada laki-laki lebih banyak dari pada wanita,
kecuali di Afrika dimana wanita lebih banyak dari pada laki-laki. Faktor
fisiologis seperti pubertas, monopause, Kehamilan, infeksi dan malnutrisi
akan mengakibatkan perubahan klinis penyakit kusta.

Upaya Pencegahan Penyakit Kusta


Hingga saat ini tidak ada vaksinasi untuk penyakit kusta. Faktor pengobatan
adalah amat penting dimana kusta dapat dihancurkan, sehingga penularan dapat
dicegah.
Pengobatan kepada penderita kusta adalah merupakan salah satu cara
pemutusan mata rantai penularan. Kuman kusta diluar tubuh manusia dapat hidup
24-48 jam dan ada yang berpendapat sampai 7 hari, ini tergantung dari suhu dan
cuaca diluar tubuh manusia tersebut. Makin panas cuaca makin cepatlah kuman
kusta mati. Jadi dalam hal ini pentingnya sinar matahari masuk ke dalam rumah
dan hindarkan terjadinya tempat-tempat yang lembab.
Penting sekali kita mengetahui atau mengerti beberapa hal tentang penyakit
kusta ini, bahwa :
1.
2.
3.
4.

Ada obat yang dapat menyembuhkan penyakit kusta.


Sekurang-kurangnya 80 % dari semua orang tidak mungkin terkena kusta.
Enam dari tujuh kasus kusta tidaklah menular pada orang lain.
Kasus-kasus menular tidak akan menular setelah diobati kira-kira 6 bulan
secara teratur.

D. Manifestasi Klinis
Gambaran klinik yang jelas berupa kekakuan tangan dan kaki, clawing pada jari
kaki, pemendekan jari, bahkan mudah terjadi perdarahan dan adanya makula dengan
hilangnya rasa tusukan. (lihat gambar 2.3) (Bhopal, 2002). Keadaan tersebut
merupakan penderita yang sudah lanjut dan sudah dipastikan lepra tanpa pelaksanaan
diagnostik yang cukup.
Bentuk keluhan bervariasi mulai dari keluhan anestesi di kulit, anesthesi pada
tangan dan kaki. Kelainan pada kulit bisa berupa bercak kulit yaitu macula
anaesthetica, penebalan kulit (papula atau plakat), nodula maupun ulcer. Pada saraf
tepi biasanya timbul penebalan saraf yang disertai peradangan (neuritis).
Umumnya ditemukan dalam 2 (dua) bentuk Pause basiler (PB) dan Multi basiler
(MB) dan menurut WHO untuk menentukan kusta perlu adanya 4 (empat) kriteria
yaitu :

1.
2.
3.
4.

Ditemukannya lesi kulit yang khas.


Adanya gangguan sensasi kulit.
Penebalan saraf tepi.
BTA positif dari sediaan sayatan kulit.

Tanda-tanda penyakit kusta bermacam-macam, tergantung dari tingkat atau tipe


dari penyakit tersebut yaitu:
1. Adanya bercak tipis seperti panu pada badan/tubuh manusia.
2. Pada bercak putih ini pertamanya hanya sedikit, tetapi lama-lama semakin
melebar dan banyak.
3. Adanya pelebaran syaraf terutama pada syaraf ulnaris, medianus,
4.
5.
6.
7.

aulicularis magnus serta peroneus.


Kelenjar keringat kurang kerja sehingga kulit menjadi tipis dan mengkilat.
Adanya bintil-bintil kemerahan (leproma, nodul) yang tersebar pada kulit.
Alis rambut rontok.
Muka berbenjol-benjol dan tegang yang disebut facies leomina (muka
singa).

Gejala-gejala umum pada kusta / lepra, reaksi :


1.
2.
3.
4.
5.
6.

Panas dari derajat yang rendah sampai dengan menggigil.


Noreksia.
Nausea, kadang-kadang disertai vomitus.
Cephalgia.
Kadang-kadang disertai iritasi, Orchitis dan Pleuritis.
Kadang-kadang
disertai
dengan
Nephrosia,
Nepritis

dan

hepatospleenomegali.
7. Neuritis.
E. Patofisiologi
Kuman

Mycobacterium leprae

masuk

ke

dalam

tubuh

melalui

saluran pernafasan ( SelSchwan ) dan kulit yang tidak utuh. Sumber penularan
adalah penderita kusta yang banyak mengandung kuman ( tipe multibasiler ) yang
belum diobati. Kuman masuk ke dalam tubuh menuju tempat predileksinya yaitu saraf
tepi. Saat Mycobacterium leprae masuk ke dalam tubuh, perkembangan penyakit
kusta bergantung pada kerentanan seseorang. Respons tubuh setelah masa tunas
dilampaui tergantung pada derajat sistem imunitas selular ( cellular mediatedimmune )
pasien, bila sistem imunitas selular tinggi, penyakit berkembang kearah tuber kuloid
dan bila rendah, berkembang kearah lepromatosa. Mycrobacterium leprae berprediksi
di daerah yang relatif lebih dingin, yaitu daerah akral dengan vaskularisasi yang

sedikit. Derajat penyakit tidak selalu sebanding dengan derajat infeksi karena respons
imun pada tiap pasien berbeda. Gejala klinis lebihsebanding dengan tingkat reaksi
selular dari pada intensitas infeksi. Oleh karenaitu penyakit kusta dapat disebut.
F. Komplikasi
Komplikasi dan gejala yang dapat timbul pada penyakit kusta lanjut adalah sebagai
berikut:
1. Anggota gerak
Komplikasi pada anggota gerak merupakan konsekuensi dari kelainan saraf
yang menyebabkan mati rasa dan kelainan otot. Pasien tidak dapat merasakan
sentuhan, nyeri, dan suhu tetapi perasa posisi dan getaran masih dapat berfungsi.
Saraf yang paling sering terkena pada anggota gerak adalah saraf pada lengan yang
menyebabkan jari keempat dan kelima melekuk seperti cakar. Saraf lainnya di
lengan bila terkena dapat mengganggu fungsi ibu jari dan fungsi menggenggam.
Saraf

lainnya

yang

juga

terdapat

pada

lengan

bila

terserang

dapat

menyebabkan wristdrop, yaitu tangan lemas dan menekuk ke bawah tidak ada
tenaga. Pada telapak kaki dapat ditemukan luka bergaung dan bernanah. Kerusakan
saraf

pada

tungkai

dapat

menyebabkan footdrop dimana

kaki

lemas

dan

mengganggu fungsi berjalan. Hilangnya jari-jari terutama pada ruas buju jari paling
ujung disebabkan karena hilangnya kepekaan indra perasa,trauma pada jari atau
infeksi sekunder yang mekanismenya masih belum jelas dan diduga ada proses
kerusakan tulang pada jari.
2. Hidung
Pada Lepromatous Leprosy, bakteri yang menyerang selaput lendir hidung dapat
menyebabkan hidung tersumbat dalam waktu lama dan kadang-kadang mimisan.
Bila penyakit kusta pada pasien tersebut tidak diterapi, akan menyebabkan rusaknya
tulang rawan hidung dan akhirnya menyebabkan perubahan bentuk hidung atau
rusaknya indra penciuman.
3. Mata
Kelainan pada mata disebabkan karena kerusakan saraf kepala. Gejala yang
timbul yaitu kelopak mata tidak dapat menutup sempurna dan kornea mata tidak
peka terhadap rangsangan. Hal tersebut dapat menyebabkan infeksi yang bila tidak
diterapi dapat menyebabkan kerusakan kornea dan kebutaan.

4. Buah zakar
Bakteri Mycobacterium leprae yang menyerang buah zakar dapat menyebabkan
gangguan pada testis, yaitu gangguan hormonal yang menyebabkan penurunan
jumlah sperma sampai tidak adanya sperma. Gangguan hormon tersebut juga dapat
menyebabkan impotensi.

5. Saraf
Pada pasien Tuberculoid Leprosy, dapat terjadi pengumpulan nanah pada saraf
yang infeksinya dapat menjalar sampai ke kulit. Tampak bengkak dan sangat nyeri di
daerah saraf tersebut.
G. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan Bakteriologis
Ketentuan pengambilan sediaan adalah sebagai berikut:
a. Sediaan diambil dari kelainan kulit yang paling aktif.
b. Kulit muka sebaiknya dihindari karena alasan kosmetik kecuali tidak ditemukan
lesi ditempat lain.
c. Pemeriksaan ulangan dilakukan pada lesi kulit yang sama dan bila perlu ditambah
dengan lesi kulit yang baru timbul.
d. Lokasi pengambilan sediaan apus untuk pemeriksaan mikobakterium leprae ialah:
- Cuping telinga kiri atau kanan
- Dua sampai empat lesi kulit yang aktif ditempat lain
e. Sediaan dari selaput lendir hidung sebaiknya dihindari karena:
- Tidak menyenangkan pasien
- Positif palsu karena ada mikobakterium lain
- Tidak pernah ditemukan mikobakterium leprae pada selaput lendir hidung
-

apabila sedian apus kulit negatif.


Pada pengobatan, pemeriksaan bakterioskopis selaput lendir hidung lebih

dulu negatif dari pada sediaan kulit ditempat lain.


f. Indikasi pengambilan sediaan apus kulit:
- Semua orang yang dicurigai menderita kusta
- Semua pasien baru yang didiagnosis secara klinis sebagai pasien kusta
- Semua pasien kusta yang diduga kambuh (relaps) atau karena tersangka
kuman resisten terhadap obat
- Semua pasien MB setiap 1 tahun sekali
g. Pemerikaan bakteriologis dilakukan dengan pewarnaan tahan asam, yaitu ziehl
neelsen atau kinyoun gabett
h. Cara menghitung BTA dalam lapangan mikroskop ada 3 metode yaitu cara zig
zag, huruf z, dan setengah atau seperempat lingkaran. Bentuk kuman yang

mungkin ditemukan adalah bentuk utuh (solid), pecah-pecah (fragmented),


granula (granulates), globus dan clumps.
2. Indeks Bakteri (IB)
Merupakan ukuran semikuantitatif kepadatan BTA dalam sediaan hapus. IB
digunakan untuk menentukan tipe kusta dan mengevaluasi hasil pengobatan.
Penilaian dilakukan menurut skala logaritma RIDLEY sebagai berikut:
a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.

bila tidak ada BTA dalam 100 lapangan pandang


bila 1-10 BTA dalam 100 lapangan pandang
bila 1-10 BTA dalam 10 lapangan pandang
bila 1-10 BTA dalam rata-rata 1 lapangan pandang
bila 11-100 BTA dalam rata-rata 1 lapangan pandang
bila 101-1000 BTA dalam rata-rata 1 lapangan pandang
bila >1000 BTA dalam rata-rata 1 lapangan pandang

3. Indeks Morfologi (IM)


Merupakan persentase BTA bentuk utuh terhadap seluruh BTA. IM digunakan
untuk mengetahui daya penularan kuman, mengevaluasi hasil pengobatan, dan
membantu menentukan resistensi terhadap obat.

H. Penatalaksanaan Medis
1. Terapi Medik
Tujuan utama program pemberantasan kusta adalah penyembuhan pasien kusta
dan mencegah timbulnya cacat serta memutuskan mata rantai penularan dari
pasien kusta terutama tipe yang menular kepada orang lain untuk menurunkan
insiden penyakit.
Program Multi Drug Therapy (MDT) dengan kombinasi rifampisin,
klofazimin, dan DDS dimulai tahun 1981. Program ini bertujuan untuk mengatasi
resistensi dapson yang semakin meningkat, mengurangi ketidaktaatan pasien,
menurunkan angka putus obat, dan mengeliminasi persistensi kuman kusta dalam
jaringan.
Rejimen pengobatan MDT di Indonesia sesuai rekomendasi WHO 1995
sebagai berikut:
a. Tipe PB ( PAUSE BASILER)
Jenis obat dan dosis untuk orang dewasa :
- Rifampisin 600mg/bln diminum didepan petugas
- DDS tablet 100 mg/hari diminum di rumah

Pengobatan 6 dosis diselesaikan dalam 6-9 bulan dan setelah selesai


minum 6 dosis dinyatakan RFT meskipun secara klinis lesinya masih
aktif. Menurut WHO(1995) tidak lagi dinyatakan RFT tetapi
menggunakan istilah Completion Of Treatment Cure dan pasien tidak
lagi dalam pengawasan.
b. Tipe MB ( MULTI BASILER)
Jenis obat dan dosis untuk orang dewasa:
- Rifampisin 600mg/bln diminum didepan petugas
- Klofazimin 300mg/bln diminum didepan petugas dilanjutkan dengan
-

klofazimin 50 mg /hari diminum di rumah


DDS 100 mg/hari diminum dirumah
Pengobatan 24 dosis diselesaikan dalam waktu maksimal 36 bulan
sesudah selesai minum 24 dosis dinyatakan RFT meskipun secara klinis
lesinya masih aktif dan pemeriksaan bakteri positif. Menurut WHO
(1998) pengobatan MB diberikan untuk 12 dosis yang diselesaikan

dalam 12-18 bulan dan pasien langsung dinyatakan RFT.


c. Dosis untuk anak
- Klofazimin:
Umur dibawah 10 tahun :
Bulanan 100mg/bln
Harian 50mg/2kali/minggu
Umur 11-14 tahun
Bulanan 100mg/bln
Harian 50mg/3kali/minggu
- DDS:1-2mg /Kg BB
- Rifampisin:10-15mg/Kg BB
d. Pengobatan MDT terbaru
Metode ROM adalah pengobatan MDT terbaru. Menurut WHO(1998),
pasien kusta tipe PB dengan lesi hanya 1 cukup diberikan dosis tunggal
rifampisin 600 mg, ofloksasim 400mg dan minosiklin 100 mg dan pasien
langsung dinyatakan RFT, sedangkan untuk tipe PB dengan 2-5 lesi
diberikan 6 dosis dalam 6 bulan. Untuk tipe MB diberikan sebagai obat
alternatif dan dianjurkan digunakan sebanyak 24 dosis dalam 24 jam.
e. Putus obat
Pada pasien kusta tipe PB yang tidak minum obat sebanyak 4 dosis dari
yang seharusnya maka dinyatakan DO, sedangkan pasien kusta tipe MB
dinyatakan DO bila tidak minum obat 12 dosis dari yang seharusnya.
2. Perawatan Umum

Perawatan pada morbus hansen umumnya untuk mencegah kecacatan.


Terjadinya cacat pada kusta disebabkan oleh kerusakan fungsi saraf tepi, baik
karena kuman kusta maupun karena peradangan sewaktu keadaan reaksi netral.
a. Perawatan mata dengan lagophthalmos
- Penderita memeriksa mata setiap hari apakah ada kemerahan atau
kotoran
- Penderita harus ingat sering kedip dengan kuat
- Mata perlu dilindungi dari kekeringan dan debu
b. Perawatan tangan yang mati rasa
- Penderita memeriksa tangannya tiap hari untuk mencari tanda- tanda
-

luka, melepuh
Perlu direndam setiap hari dengan air dingin selama lebih kurang

setengah jam
- Keadaan basah diolesi minyak
- Kulit yang tebal digosok agar tipis dan halus
- Jari bengkok diurut agar lurus dan sendi-sendi tidak kaku
- Tangan mati rasa dilindungi dari panas, benda tajam, luka
c. Perawatan kaki yang mati rasa
- Penderita memeriksa kaki tiap hari
- Kaki direndam dalam air dingin lebih kurang jam
- Masih basah diolesi minyak
- Kulit yang keras digosok agar tipis dan halus
- Jari-jari bengkok diurut lurus
- Kaki mati rasa dilindungi
d. Perawatan luka
- Luka dibersihkan dengan sabun pada waktu direndam
- Luka dibalut agar bersih
- Bagian luka diistirahatkan dari tekanan
- Bila bengkak, panas, bau bawa ke puskesmas
Tanda penderita melaksanakan perawatan diri:
a.
b.
c.
d.

Kulit halus dan berminyak


Tidak ada kulit tebal dan keras
Luka dibungkus dan bersih
Jari-jari bengkak menjadi kaku

I. Konsep Dasar Asuhan Keperawatan Keluarga Dengan Penyakit Morbus Hansen


1. Pengkajian Keperawatan Keluarga
2. Diagnosa Keperawatan
3. Perencanaan Keperawatan Keluarga
4. Pelaksanaan Keperawatan Keluarga
5. Evaluasi Keperawatan Keluarga

Arikunto, Suharsini, (1998) Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, Rineka Cipta,
Jakarta
Andrianto Petrus, (1989), Dermanto Venerologi, EGC, Jakarta
Djuanda, Adhi (2000), Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin, Jilid III, Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia, Jakarta.
Depkes RI, (1995), Buku Pedoman Pemberantasan Penyakit Kusta, DITJEN PPM & PLP,
Jakarta
Depkes RI, (1997), Perawatan Kesehatan Masyarakat Petunjuk Teknis Kesehatan Masyarakat
Pada Sasaran Individu dan Keluarga, Jakarta.
Depkes RI, (1999), Buku Pedoman Kusta Nasional Untuk Sentinel Surveilans, DITJEN PPM
& PLP, Jakarta.
Depkes RI, (2005), Buku Pedoman Eliminasi Kusta, DITJEN PPM & PLP, Jakarta.
Depkes RI, (2005), Buku Pedoman Nasional Pemberantasan Penyakit Kusta, Cetakan XVII,
DITJEN PPM & PLP, Jakarta
Depkes RI, (2006), Model pelatihan Program P2 Kusta Bagi UPK, DITJEN PPM & PLP,
Jakarta.
Harahap, Mawardi (2000), Penyakit Kulit, Hipokrates, Jakarta.
Friedman (1998), Perawatan Keluarga, Jakarta : EGC
Notoatmodjo, S, (1993), Metodologi Penelitian Kesehatan Cetakan 2, Rineka Cipta, Jakarta.
Nursalam, (2001), Metodologi Riset Keperawatan, Cetakan 1, Info Medika, Jakarta
Nursalam, (2003), Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan, Salemba
Medika, Jakarta
Suprayitno, (2004), Asuhan Keperawatan Keluarga Aplikasi Dalam Praktek , Jakarta : EGC
Sutedja Endang dkk, (2003), Kusta, Edisi II Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,
Jakarta.

You might also like