You are on page 1of 31

Makalah Sistem Reproduksi Kasus II

KANKER SERVIKS
Diajukan untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Sistem Reproduksi I

Dosen Tutor

: Taty Hernawaty, S.Kp., M.Kep.

Tutor

: 3 (Tiga)

Chair

: Nurviana Novianti

Scribber 1

: Entri Aprilia

Scribber 2

: Lathifani Azka

Anggota Kelompok

Irma Tri Mulia

220110120003

Entri Aprilia

220110120096

Nurviana Novianti

220110120018

Tiara Nurrarchmi P

220110120101

Viska Ayu Nirani

220110120026

Era Sucia

220110120146

Tanty Yulianti

220110120028

Widya Dahlia J

220110120154

Rika Riyanti T

220110120064

Farisa Herswandani

220110120152

Rouly Rosdiani

220110120085

Lathifani Azka220110120161

FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS PADJADJARAN
2015

BAB I
TINJAUAN TEORI
1.1

Definisi
Kanker Serviks adalah tumor ganas yang tumbuh di dalam leher rahim
atau serviks yang terdapat pada bagian terendah dari rahim yang menempe
pada puncak vagina (Diananda, 2007).
Kanker Serviks adalah gangguan pertumbuhan seluler dan merupakan
kelompok penyakit yang dimanifestasikan dengan gagalnya untuk
mengontrol proliferasi dan maturasi sel pada jaringan serviks (Sarjadi,
2001).
Kanker serviks adalah salah satu kanker pada wanita yang paling
umum terjadi di seluruh dunia. Namun, biasanya kanker ini lambat
pertumbuhannya dan bila dideteksi cukup dini, dapat diterapi secara efektif.
Di negara maju, kanker serviks stadium lanjut semakin menurun sebagai
akibat dari dilakukannya skrining serviks secara luas, akan tetapi di banyak
negara berkembang, skrining tidak banyak tersedia dan kanker serviks tetap
merupakan penyebab kematian akibat kanker yang paling banyak
(Abrahams, 2014).

1.2

Etiologi
Penyebab utama kanker leher rahim adalah infeksi Human Papilloma
Virus (HPV). Saat ini terdapat 138 jenis HPV yang sudah dapat
teridentifikasi yang 40 di antaranya dapat ditularkan lewat hubungan
seksual. Beberapa tipe HPV virus risiko rendah jarang menimbulkan kanker,
sedangkan tipe yang lain bersifat virus risiko tinggi. Baik tipe risiko tinggi
maupun tipe risiko rendah dapat menyebabkan pertumbuhan abnormal pada
sel tetapi pada umumnya hanya HPV tipe risiko tinggi yang dapat memicu
kanker. Virus HPV risiko tinggi yang dapat ditularkan melalui hubungan
seksual adalah tipe 7,16, 18, 31, 33, 35, 39, 45, 51, 52, 56, 58, 59, 68, 69,
dan mungkin masih terdapat beberapa tipe yang lain. Beberapa penelitian
mengemukakan bahwa lebih dari 90% kanker leher rahim disebabkan oleh

tipe 16 dan 18. Yang membedakan antara HPV risiko tinggi dengan HPV
risiko rendah adalah satu asam amino saja. Asam amino tersebut adalah
aspartat pada HPV risiko tinggi dan glisin pada HPV risiko rendah dan
sedang (Gastout et al, 1996).
Dari kedua tipe ini HPV 16 sendiri menyebabkan lebih dari 50%
kanker leher rahim. Seseorang yang sudah terkena infeksi HPV 16 memiliki
resiko kemungkinan terkena kanker leher rahim sebesar 5%. Dinyatakan
pula bahwa tidak terdapat perbedaan probabilitas terjadinya kanker serviks
pada infeksi HPV-16 dan infeksi HPV-18 baik secara sendiri-sendiri
maupun bersamaan (Bosch et al, 2002).
Akan tetapi sifat onkogenik HPV-18 lebih tinggi daripada HPV-16
yang dibuktikan pada sel kultur dimana transformasi HPV-18 adalah 5 kali
lebih besar dibandingkan dengan HPV-16. Selain itu, didapatkan pula bahwa
respon imun pada HPV-18 dapat meningkatkan virulensi virus dimana
mekanismenya belum jelas. HPV-16 berhubungan dengan skuamous cell
carcinoma serviks sedangkan HPV-18 berhubungan dengan adenocarcinoma
serviks. Prognosis dari adenocarcinoma kanker serviks lebih buruk
dibandingkan squamous cell carcinoma. Peran infeksi HPV sebagai faktor
risiko mayor

kanker serviks telah mendekati kesepakatan, tanpa

mengecilkan arti faktor risiko minor seperti umur, paritas, aktivitas seksual
dini/prilaku seksual, dan merokok, pil kontrasepsi, genetik, infeksi virus lain
dan beberapa infeksi kronis lain pada serviks seperti klamidia trakomatis
dan HSV-2 (Hacker, 2000).
1.3

Faktor Risiko
Menurut Diananda (2007), faktor yang mempengaruhi kanker serviks yaitu:
a) Usia > 35 tahun mempunyai risiko tinggi terhadap kanker leher rahim.
Semakin tua usia seseorang, maka semakin meningkat risiko
terjadinya kanker laher rahim. Meningkatnya risiko kanker leher rahim
pada usia lanjut merupakan gabungan dari meningkatnya dan
bertambah lamanya waktu pemaparan terhadap karsinogen serta makin
melemahnya sistem kekebalan tubuh akibat usia.
b) Usia pertama kali menikah.

Menikah pada usia kurang 20 tahun dianggap terlalu muda


untuk melakukan hubungan seksual dan berisiko terkena kanker leher
rahim 10-12 kali lebih besar daripada mereka yang menikah pada usia >
20 tahun. Hubungan seks idealnya dilakukan setelah seorang wanita
benar-benar matang. Ukuran kematangan bukan hanya dilihat dari
sudah menstruasi atau belum. Kematangan juga bergantung pada sel-sel
mukosa yang terdapat di selaput kulit bagian dalam rongga tubuh.
Umumnya sel-sel mukosa baru matang setelah wanita berusia 20 tahun
ke atas. Jadi, seorang wanita yang menjalin hubungan seks pada usia
remaja, paling rawan bila dilakukan di bawah usia 16 tahun. Hal ini
berkaitan dengan kematangan sel-sel mukosa pada serviks. Pada usia
muda, sel-sel mukosa pada serviks belum matang. Artinya, masih
rentan terhadap rangsangan sehingga tidak siap menerima rangsangan
dari luar termasuk zat-zat kimia yang dibawa sperma. Karena masih
rentan, sel-sel mukosa bisa berubah sifat menjadi kanker. Sifat sel
kanker selalu berubah setiap saat yaitu mati dan tumbuh lagi. Dengan
adanya rangsangan, sel bisa tumbuh lebih banyak dari sel yang mati,
sehingga perubahannya tidak seimbang lagi. Kelebihan sel ini akhirnya
bisa berubah sifat menjadi sel kanker. Lain halnya bila hubungan seks
dilakukan pada usia di atas 20 tahun, dimana sel-sel mukosa tidak lagi
terlalu rentan terhadap perubahan.
c) Wanita dengan aktivitas seksual yang tinggi, dan sering berganti-ganti
pasangan.
Berganti-ganti pasangan akan memungkinkan tertularnya penyakit
kelamin, salah satunya Human Papilloma Virus (HPV). Virus ini akan
mengubah sel-sel di permukaan mukosa hingga membelah menjadi
lebih banyak sehingga tidak terkendali sehingga menjadi kanker.
d) Penggunaan antiseptik.
Kebiasaan pencucian vagina dengan menggunakan obat-obatan
antiseptik maupun deodoran akan mengakibatkan iritasi di serviks yang
merangsang terjadinya kanker.
e) Riwayat penyakit kelamin seperti kutil genitalia.
Wanita yang terkena penyakit akibat hubungan seksual berisiko
terkena virus HPV, karena virus HPV diduga sebagai penyebab utama

terjadinya kanker leher rahim sehingga wanita yang mempunyai riwayat


f)

penyakit kelamin berisiko terkena kanker leher rahim.


Paritas (jumlah kelahiran).
Semakin tinggi risiko pada wanita dengan banyak anak, apalagi
dengan jarak persalinan yang terlalu pendek. Dari berbagai literatur
yang ada, seorang perempuan yang sering melahirkan (banyak anak)
termasuk golongan risiko tinggi untuk terkena penyakit kanker leher
rahim. Dengan seringnya seorang ibu melahirkan, maka akan
berdampak pada seringnya terjadi perlukaan di organ reproduksinya
yang akhirnya dampak dari luka tersebut akan memudahkan timbulnya
Human Papilloma Virus (HPV) sebagai penyebab terjadinya penyakit

kanker leher rahim.


g) Penggunaan kontrasepsi oral dalam jangka waktu lama
Penggunaan kontrasepsi oral yang dipakai dalam jangka lama yaitu
lebih dari 4 tahun dapat meningkatkan risiko kanker leher rahim 1,5-2,5
kali. Kontrasepsi oral mungkin dapat meningkatkan risiko kanker leher
rahim karena jaringan leher rahim merupakan salah satu sasaran yang
disukai oleh hormon steroid perempuan. Hingga tahun 2004, telah
dilakukan studi epidemiologis tentang hubungan antara kanker leher
rahim dan penggunaan kontrasepsi oral. Meskipun demikian, efek
penggunaan kontrasepsi oral terhadap risiko kanker leher rahim masih
kontroversional. Sebagai contoh, penelitian yang dilakukan oleh
Khasbiyah (2004) dengan menggunakan studi kasus kontrol. Hasil studi
tidak menemukan adanya peningkatan risiko pada perempuan pengguna
atau mantan pengguna kontrasepsi oral karena hasil penelitian tidak
memperlihatkan hubungan dengan nilai p > 0,05.
1.4

Manifestasi Klinis
Kebanyakan sering asimptomatik. Terdapat rabas atau perdarahan yang tak
teratur:
1.

Rabas meningkat jumlahya dan menjadi cair. Rabas ini berwarna gelap
dan berbau busuk karena nekrosis dan infeksi dari massa tumor.

2.

Perdarahan terjadi pada interval yang tak teratur antara periode atau
setelah menopause; cukup besar dibandingkan hanyak bercak yang

terdapat pada pakaian dalam, dan biasanya terlihat setelah trauma


ringan (hubungan seksual, douching, atau defekasi).
3.

Dengan berjalannya penyakit, perdarahan mungkin persisten dan


meningkat.

4.

Sejalan dengan berkembangnya kanker, jaringan di sebelah luar serviks


terserang, termasuk kelenjar limfe anterior ke sakrum. Saraf yang
terkena mengakibatkan nyeri yang sangat pada punggung dan tungkai.

5.

Tahap akhir: kurus yang ekstrem dan anemia, sering dengan demam
akibat infeksi sekunder dan abses pada massa yang mengalami ulserasi,
dan pembentukan fistula.

1.5

Klasifikasi
Histopatologi kanker serviks dibagi menjadi empat klasifikasi yaitu:
1.

Displasia
Displasia adalah pertumbuhan aktif disertai gangguan proses
pematangan epitel skuamosa yang dimulai pada bagian basal sampai ke
lapisan superfisial. Berdasarkan derajat perubahan sel epitel yang jelas
mengalami

perubahan.

Displasia

terbagi

dalam

tiga

derajat

pertumbuhan, yaitu:
-

Displasia ringan : perubahan terjadi pada sepertiga bagian basal


epidermis.

Displasia sedang : bila perubahan terjadi pada separuh epidermis.

Displasia berat : hampir tidak dapat dibedakan dengan karsinoma


in situ

Waktu Yang Diperlukan dari Displasia Menjadi Karsinoma In Situ


Tingkat Displasia

Waktu Dalam Bulan

Sangat Ringan

85 bulan

Ringan

58 bulan

Sedang

38 bulan

Berat

12 bulan

Perkembangan displasia serviks menjadi kanker serviks terjadi


secara bertahap, yang dibedakan atas 3 tahap klinis yaitu:
-

Tahap pertama adalah transisi dari displasia sedang menjadi


displasia berat yang ireversibel.

Tahap kedua adalah pertumbuhan invasif.

Tahap ketiga adalah transformasi dari mikro kanker menjadi lebih


luas. (Yantiningsih, 2000).

2. Karsinoma In Situ (KIS)


Perubahan sel epitel yang terdapat di karsinoma in situ terjadi pada
seluruh lapisan epidermis menjadi karsinoma skuamosa namun
membrana basalis dalam keadaan utuh (Yantiningsih, 2000).
3. Karsinoma mikroinvasif
Lingkup kelainannya dari displasia hingga neoplasia, pada
karsinoma mikroinvasif terjadinya perubahan derajat sel meningkatkan
sel tumor menembus membran basalis, biasanya tumor asimtomatik dan
hanya ditemukan pada penyaringan kanker atau ditemukan bertepatan
dengan pemeriksaab penyakit lain di serviks. Pada pemeriksaan fisik
tidak terlihat perubahan pada porsio, tetapi dengan pemeriksaan
kolposkopi dapat diprediksi adanya prakarsinoma (Yatiningsih,2000)
4. Karsinoma invasif
Derajat pertumbuhan sel menonjol, besar dan bentuk dari sel
bervariasi. Inti gelap, kromatin berkelompok tidak merata dan susunan
sel semakin tidak teratur, sekelompok atau lebih sel tumor menginvasi
membran basalis dan tumbuh infiltratif ke dalam stroma. Karsinoma
invasif dibagi dalam 3 subtipe yaitu karsinoma sel skuamosa dengan
kreatin, karsinoma sel skuamosa tanpa kreatin dan karsinoma sel kecil.
Pada tahap ini kanker telah menyebar luas sehingga penyembuhan
menjadi lebih sulit (Yantiningsih, 2000)
1.6

Komplikasi

Komplikasi pada kanker serviks dapat muncul akibat efek samping


pengobatan atau karena stadium kanker serviks yang sudah pada stadium
lanjut. Adapun dampak biopsikososiospiritual pada penderita sebagai
komplikasi dari kanker serviks. Berikut uraiannya:
a.

Efek samping pengobatan kanker serviks


Penatalaksanaan medis untuk menangani kanker dibagi menjadi tiga,

yaitu:
1. Operasi
Komplikasi yang dapat terjadi akibat tindakan operasi adalah
fistula uretra, disfungsi kandung kemih, menopause dini, emboli
pulmonal, limfosit, infeksi pelvis, obstruksi usus besar dan fistula
rektovaginal.
2. Terapi radiasi
Komplikasi yang dapat terjadi akibat tindakan radiasi adalah reaksi
kulit, menopause dini, sistisis radiasi dan enteritis.
3. Kemoterapi
Komplikasi yang dapat terjadi akibat kemoterapi adalah supresi
sumsum tulang, mual dan muntah.
b.

Akibat dari kanker serviks stadium lanjut


1. Rasa sakit akibat penyebaran kanker
Rasa sakit yang parah akan muncul ketika kanker sudah menyebar
ke saraf, tulang, atau otot.
2. Pendarahan berlebih
Pendarahan berlebih bisa terjadi jika kanker menyebar hingga ke
vagina, usus, atau kandung kemih. Pendarahan bisa muncul di
rektum atau di vagina. Bisa juga terjadi pendarahan saat buang air
kecil.

3. Penggumpalan darah setelah pengobatan


Seperti kanker lainnya, kanker serviks bisa membuat darah
menjadi lebih lengket atau kental dan cenderung membentuk

gumpalan. Risiko penggumpalan darah juga meningkat setelah


menjalani kemoterapi dan istirahat pasca operasi. Munculnya
tumor yang besar bisa menekan pembuluh darah pada panggul. Hal
inilah

yang

memperlambat

aliran

darah

dan

akhirnya

mengakibatkan penggumpalan di kaki.


4. Gagal ginjal
Pada beberapa kasus kanker serviks lanjut, kanker bisa menekan
ureter. Ini menyebabkan terhalangnya aliran urin untuk keluar dari
ginjal. Terkumpulnya urin di ginjal lebih dikenal dengan istilah
hidronefrosis. Kondisi ini bisa menyebabkan ginjal membengkak
dan meregang. Hidronefrosis parah bisa merusak ginjal sehingga
kehilangan seluruh fungsinya. Kondisi inilah yang disebut sebagai
gagal ginjal.
5. Produksi cairan vagina yang tidak normal
Cairan vagina bisa berbau aneh dan tidak sedap akibat dari kanker
serviks stadium lanjutan.
6. Fistula
Fistula adalah terbentuknya sambungan atau saluran abnormal
antara dua bagian dari tubuh. Pada kasus kanker serviks, fistula
bisa terbentuk antara kandung kemih dan vagina. Ini bisa
mengakibatkan pengeluaran cairan tanpa henti dari vagina.
Terkadang fistula bisa terjadi antara vagina dan rektum. Fistula
termasuk komplikasi yang tidak umum. Hanya terjadi pada 2
persen kasus kanker serviks lanjutan.
c.

Dampak emosional pada penderita


Secara emosi, penderita kaker serviks akan merasa sangat lelah dan
lemah. Misalnya pada pasien dengan stadium awal akan merasa sedih
saat didiagnosis dan merasa senang setelah kanker diangkat. Tapi pasien
kembali merasa sedih saat menghadapi efek samping pengobatan.
Penderita juga akan menganggap dirinya tidak berdaya, sehingga
membutuhkan bantuan dan dukungan dari orang disekitartermasuk
perawat. Pada pasien degan stadium lanjut, mereka semakin merasa

dekat dengan kematian. Sehingga mereka akan lebih mendekatkan diri


dengan Tuhan nya dan peran perawat sangat dibutuhkan untuk
membantu klien dalam memenuhi kebutuhan spiritualnya. Jika dampak
emosi pada klien tidak segera ditangani, maka hal ini yang bisa memicu
terjadinya depresi. Tanda-tanda depresi adalah merasa sedih, putus
harapan, dan tidak menikmati hal-hal yang biasanya disukai.

1.7

Patofisiologi

1.8

Deteksi Dini
1. Tes HPV
Menggunakan teknik pemeriksaan molekular, DNA yang terkait
dengan HPV diuji dari sebuah contoh sel yang diambil dari leher rahim.
2. Tes Pap / Pap Smear
Pemeriksaan sitologis dari apusan sel-se yang diambil dari leher
rahim. Slide diperiksa oleh teknisi sitologi atau dokter ahli patologi
untuk melihat perubahan sel yang mengindikasikan terjadinya
inflamasi, displasia atau kanker.

Untuk pemeriksaan pap smear sebaiknya ibu dalam keadaan tidak


haid, dan tidak berhubungan badan 1-2 hari sebelum pemeriksaan
dilakukan. Pada saat pemeriksaan, ibu akan diminta untuk berbaring
dan memposisikan tubuh seperti pada saat pemasangan spiral. Petugas
kesehatan akan memasang alat spekulum ke dalam leher rahim agar
seluruh leher rahim dapat dilihat. Dengan alat spatula dan sikat khusus
diambil sel-sel dari leher rahim, kemudian oleskan di kaca objek untuk
dikirim ke laboratorium dan dibaca para ahli. Hasil akan didapat kurang
lebih satu minggu sampai satu bulan kemudian, oleh karena itu ibu
harus membuat janji dengan petugas kesehatan untuk pertemuan
berikutnya.
3. Tes IVA
Pemeriksaan inspeksi visual dengan mata telanjang (tanpa
pembesaran) seluruh permukaan leher rahim dengan bantuan asam
asetat / cuka yang diencerkan .Asam asetat merubah warna sel-sel
abnormal menjadi lebih putih dan lebih menonjol dibandingkan dengan
permukaan sel sehat. Hasilnya dapat diketahui pada saat pemeriksaan,
sehingga apabila diperlukan pengobatan dapat segera dilakukan.
Pemeriksaan dilakukan tidak dalam keadaan hamil maupun sedang
hamil.
Dibandingkan dengan penapisan menggunakan tes Pap, yang
membutuhkan biaya lebih mahal dan sarana prasarana (laboratorium)
yang biasanya hanya terdapat di kota besar serta tenaga ahli khusus, dan
hasil dapat diterima beberapa minggu kemudian. Sehingga ibu yang
bersangkutan harus datang kembali untuk mendapatkan hasil dan
dilakukan tindakan bila dibutuhkan. Keadaan tersebut dapat menjadi
masalah di daerah dengan sumber daya terbatas dan terpencil, dimana
ibu yang telah diperiksa dan tidak segera mengetahui hasilnya
kemungkinan tidak kembali ke klinik untuk menerima hasil
pemeriksaan sehingga akan kehilangan kesempatan untuk mendapatkan
pengobatan apabila dibutuhkan.
Bila hasil tes IVA positif, belum berarti bahwa seseorang menderita
kanker, hasil positif menunjukan adanya lesi prakanker , yang jika tidak

diobati, kemungkinan akan menjadi kanker dalam waktu 3-17 tahun


yang akan datang.
4. Servikologi
Kamera khusus digunakan untuk memfoto leher rahim. Film
dicetak dan foto diinterpretasi oleh petugas terlatih. Pemeriksaan ini
terutama digunakan sebagai tambahan dari deteksi dini dengan
menggunakan IVA, tetapi dapat juga sebagai metode penapisan primer.
5. Kolposkopi
Pemeriksaan visual bertenaga tinggi (pembesaran) untuk melihat
leher rahim, bagian luar dan kanal bagian dalam leher rahim. Biasanya
disertai biopsi jaringan ikat yang tampak abnormal. Terutama
digunakan untuk mendiagnosa.
1.9

Pemeriksaan Diagnostik
1.

Kolposkopi: Dokter menggunakan kolposkop untuk melihat leher


rahim. Kolposkop menggunakan cahaya terang dan lensa pembesar
untuk membuat jaringan lebih mudah dilihat. Alat ini tidak dimasukkan
ke dalam vagina. Kolposkopi biasanya dilakukan di tempat praktek

2.

dokter atau klinik.


Biopsi: Dengan bius lokal, sampel jaringan di sekitar mulut rahim
diambil. Lalu seorang ahli patologi memeriksa jaringan di bawah

3.

mikroskop untuk memeriksa adanya sel-sel abnormal.


Punch Biopsi: Dokter menggunakan alat yang tajam untuk menjumput

4.

sampel kecil jaringan serviks.


Endoservikal kuret: Dokter menggunakan kuret (alat, kecil berbentuk
sendok) untuk mengikis sampel jaringan dari leher rahim. Beberapa

5.

dokter mungkin menggunakan kuas tipis lembut, bukan kuret.


Conization: Dokter mengambil sebuah sampel jaringan berbentuk
kerucut. Sebuah conization, atau biopsi kerucut, memungkinkan ahli
patologi melihat apakah ada sel-sel abnormal dalam jaringan di bawah
permukaan leher rahim. Para dokter mungkin melakukan tes ini di

6.

rumah sakit dengan anestesi / bius total.


Sinar X dada: sinar X sering bisa menunjukkan apakah kanker telah
menyebar ke paru-paru.

7.

CT scan: Sebuah mesin x-ray yang dihubungkan ke komputer


mengambil serangkaian gambar detil dari organ-organ pasien. Sebuah
tumor di hati, paru-paru, atau di tempat lain dalam tubuh dapat terlihat
pada CT scan. Pasien mungkin menerima bahan kontras melalui
suntikan di lengan atau tangan, melalui mulut, atau dengan enema.

8.

Bahan kontras membuat daerah abnormal lebih mudah untuk dilihat.


MR I: Sebuah magnet kuat yang dihubungkan ke komputer digunakan
untuk membuat gambar rinci panggul dan perut. Dokter dapat melihat
gambar di monitor dan dapat mencetak mereka pada film. MRI dapat
menunjukkan apakah kanker telah menyebar. Kadang-kadang bahan

9.

kontras membuat daerah abnoal muncul lebih jelas pada gambar.


PET (Positron Emission Tomography) scan : Pasien menerima
suntikan dari sejumlah kecil gula radioaktif. Sebuah mesin membuat
gambar terkomputerisasi gula yang digunakan oleh sel dalam tubuh
anda. Sel-sel kanker menyerap gula lebih cepat dari sel normal, dan
area kanker terlihat terang pada gambar.

1.10 Pencegahan
1.

Pencegahan utama adalah tidak berperilaku seksual beresiko untuk


terinfeksi HPV seperti tidak berganti-ganti pasangan seksual dan tidak
melakukan hubungan seksual pada usia dini (kurang dari 18 tahun).

2.

Selain itu juga menghindari faktor resiko lain yang dapat memicu
terjadinya kanker seperti paparan asap rokok , menindak lanjuti hasil
pemeriksaan pap smear dan IVA dengan hasil positif , dan
meningkatkan daya tahan tubuh dengan mengkonsumsi makanan gizi
seimbang dan banyak mengandung vitamin C, A dan asam folat.

3.

Melakukan skrining atau penapisan untuk menentukan apakah mereka


telah terinfeksi HPV atau mengalami lesi prakanker yang harus
dilanjutkan dengan dengan pengobatan yang sesuai bila ditemukan lesi .

4.

Melakukan vaksinasi HPV yang saat ini telah dikembangkan untuk


beberapa tipe yaitu bivalea (tipe 16 dan 18) atau kuadrivalen (tipe 6, 11,
16, 18).

1.11 Penatalaksanaan
a. Pembedahan
Pembedahan histerektomi ekstrafasial bila kanker mikroinvasif < 5
mm dan tidak terdapat sel tumor pada jaringan pembuluh
darah/limfe.
Pembedahan radikal + limfadektomi pelvis dilakukan pada stadium
I-IIA, bila tidak ada kontraindikasi.
b. Radiasi
Merupakan cara pengobatan kanker dengan menggunakan bahan
radioaktif. Radioterapi adalah terapi local dimana berpengaruh pada
lapangan terbatas saja. Oleh karena itu, dalam terapi kanker serviks
digunakan radiasi eksterna dan brakiterapi. Radiasi terdiri dari 2
macam yakni:
Radiasi intrakaviter
Radiasi ini ditujukan pada tumor primer serviks. Ada 2 metode
yang digunakan yaitu metode konvensional (digunakan radiaktif
radium atau cesium yang dipasang pada pasien secara langsung) dan
metode after loading (aplikator kosong dipasang terlebih dahulu pada
pasien kemudian diperiksa posisinya dengan sinar tembus, bahan
radioaktif dimasukkaan dengan alat pengendali jarak jauh.
Radiasi eksternal/brachytherapy
Berupa pemberian penyinaran pada daerah kelenjar getah bening
pelvis dan parametrium yang terkena penjalaran tumor. Radiasi
diberikan bertahap 200 rad setiap hari, 5x seminggu sebanyak 25 kali
untuk stadium IIB ke atas.
Radiasi biasanya dilakukan bersamaan dengan kemoterapi.
Terdapat 5 siklus kemoradiasi dengan 1 siklusnya berupa 1x
kemoterapi dan 5x radiasi.
Pembagian golongan tumor berdasarkan sensitivitasnya terhadap
radiasi:
1. Tumor ganas yang radiosensitif (mudah dihancurkan dengan
dosis penyinaran kira-kira 3000-4000) contohnya adalah
disgerminoma.
2. Tumor ganas yang radioresponsif (dapat dihancurkan dengan
dosis lebih tinggi sekitar 4000-5000 rad dalam 4-5 minggu)
contohnya adalah karsinoma sel squamosa.

3. Tumor ganas yang radioresisten (sukar untuk dihancurkan


karena itu dosis yang diberikan tinggi yaitu melebihi 6000 rad,
dosis ini telah melebihi batas toleransi jaringan sehat
sekitarnya sehingga menimbulkan kerusakan sel jaringan
sehat) kelompok tumor ini yaitu fibrosarkoma, osteosarcoma,
miosarkoma, adenokarsinoma, melanosarkoma.
c. Kemoterapi
Merupakan cara pengobatan terhadap kanker dengan menggunakan
obat-obat anti kanker yang lazim disebut sitostatika. Tujuan
kemoterapi ada 3 yaitu sebagai kemoterapi penyembuhan,tepai
kemoterapi tambahan (diberikan pasca bedah untuk mencapai

1.
2.
3.
4.
5.

penyembuhan yang sempurna) dan kemoterapi paliatif.


Syarat dilakukannya kemoterapi:
Keadaan umum pasien cukup baik
Pasien siap secara psikologis dengan efek samping
Faal ginjal dan hati baik
Kanker cukup sensitive terhadap sitostatika
Laboratorium: Hb > 10gr%, Leukosit > 5000/mm, Trombosit >
150.000/mm.

Tabel penyesuaian dosis kemoterapi berdasarkan gambaran darah tepi


Leukosit

Trombosit

Dosis

> 5.000

> 150.000

100%

4.000-5.000

100.000-150.000

75%

3.000-4.000

75.000-100.000

50%

2.000-3.000

50.000-75.000

Selang waktu pemberian


diperpanjang 1 minggu

< 2.000

berikut

Jangan diberikan sitostatika dulu,


berikan
kortikosteroid
sampai
gambaran darah tepi membaik, baru
berikan kemoterapi.

d. Kombinasi, antara: pembedahan, kemoterapi, radiasi.


e. Pengobatan konservatif diantaranya:
Krioterapi (pembekuan menggunakan nitrous oxide)
Laser therapy

Loop electrosurgical excision procedure (LEEP)


Konisasi, merupakan pengeluaran sebagian serviks sedemikian rupa
sehingga bagian yang dikeluarkan berbentuk kerucut (konus), dan kanalis
servikalis

menjadi

sumbu

kerucut.

Biopsi

kerucut

dilakukan

dengan

menggunakan pisau bedah, duatermi berlubang atau sinar laser.

1.12 Prognosis
Prognosis kanker serviks ditentukan ketika dimulainya penyakit
tersebut dan sangat tergantung dari tingkat stadium. Semakin dini terdeteksi,
semakin baik ketahanan hidupnya. Prognosis untuk kanker serviks stadium
awal sangat baik dengan 5 tahun kelangsungan hidup antara 80 hingga 95%.
Namun untuk kanker serviks stadium lanjut, kelangsungan hidup 5 tahun
menurun hingga kurang dari 40%. (Otto, 2005).
Tingkat kesembuhan berdasarkan Stadium Kanker Serviks
Stadium
Stadium IA

Kesembuhan
100%

Stadium IB
Stadium IIA
Stadium IIB
Stadium III
Stadium IV

87% - 90%
68% - 83%
62% - 68%
33% - 48%
14%

BAB II
ASUHAN KEPERAWATAN
PASIEN DENGAN KANKER SERVIKS
KASUS
Ny. T 38 tahun dirawat di ruang Kemuning Lantai 3. Pasien dating ke RS dengan
keluhan keluar darah disertai nyeri saat setelah melakukan hubungan suami istri,
sejak 3 bulan yang lalu. Awalnya keluar keputihan yang encer, keputihan seperti
cream, tidak gatal, kemudian menjadi pink kecoklatan dan sangat berbau busuk
dan sampai tercium seisi rumah.
Hasil pengkajian, ibu lemah dan pucat, tidak mau makan, murung, sedih dan
bingung dengan penyakitnya. Dokter hanya menjelaskan jika ibu harus
kemoterapi. Ibu didampingi oleh anaknya, karena suami harus bekerja sebagai
pelaut yang pulang hanya satu tahun sekali. Ibu takut ditinggalkan suami karena
peyakitnya.
Rencananya akan dilakukan kemoterapi 3 siklus, radioterapi eksternal dan
brahiterapi.
Pemeriksaan diagnostik, Hb 8, TD 90/60, Akral dingin, CRT 4 detik. Hasil USG
sudah mengilfiltrasi parametrium.
PENGKAJIAN
A. Indentitas Ibu
1.

Inisial

: Ny. T

2.

Umur

: 38 tahun

3.

Suku

:-

4.

Agama

:-

5.

Pendidikan

:-

6.

Pekerjaan

:-

7.

Lamanya menikah : -

8.

Alamat

:-

B. Data Biologis / Fisiologis


1. Keluhan Utama: keluar darah disertai nyeri saat setelah melakukan
hubungan suami istri sejak 3 bulan lalu
2. Riwayat Keluhan Utama
-

Mulai timbulnya: dirasakan sejak 3 bulan lalu.

Sifat keluhan

Lokasi keluhan

Faktor pencetus

Keluhan lain: nafsu makan kurang.

Pengaruh keluhan terhadap aktifitas/fungsi tubuh: kurang melakukan


aktifitas..

Usaha klien untuk mengatasi keluhan

C. Riwayat Kesehatan Lalu


1.

Penyakit yang pernah diderita : tidak ada

2.

Riwayat opname (kapan/alasan) : tidak ada

3.

Riwayat trauma (kapan/alasan) : tidak ada.

4.

Riwayat operasi (kapan/alasan) :


a.

Uterus

: tidak pernah

b.

Abdominal

: tidak pernah

5.

Riwayat transfusi darah (kapan/alasan) : tidak ada

6.

Riwayat alergi (makanan/obat/dan lain-lain) : tidak ada

7.

Riwayat indikasi (obat/rokok/alkohol) : tidak ada

8.

Kebiasaan spesifik (makanan/minuman) : tidak ada

D. Riwayat Keluarga
1.

Riwayat penyakit menular : tidak ada

2.

Riwayat penyakit keturunan : (lampiran genogram)

3.

Pengaruh lingkungan psikososial serumah :

E. Riwayat Reproduksi
Riwayat Haid

F.

a.

Menarche

b.

Siklus haid

c.

Durasi Haid

d.

Perlangsungan Haid

Dismenore

: tidak ada

Polimenore

: tidak ada

Oligomenore

: tidak ada

Menometroragia

: tidak ada

Amenore

: tidak ada

Riwayat Aktivitas Sehari-hari :


1.

Kebutuhan Nutrisi :

2.

Kebiasaan: Nafsu makan menurun

3.

Kebutuhan Istirahat/tidur:

4.

Peranan keluarga dalam membantu ibu istirahat : baik.

G. Pemeriksaan Fisik
1.

Penampilan ibu : lemah dan pucat

2.

Kesadaran : compos mentis

3.

Tinggi/berat badan :

4.

Tanda vital :
-

Tekanan darah

: 90/60 mmHg

Hb

:8

CRT

: 4 detik

akral

: dingin

5. Kepala dan rambut :


-

Keadaan rambut

Kebersihan rambut :

6. Wajah/muka :

Edema wajah/muka :

Ekspresi wajah

: murung

7. Mata :
-

Kebersihan

Sekret hidung

Sclera

8. Hidung :
-

Kesimetrisan

Sekret hidung

9. Mulut :
-

Mukosa bibir

Lidah

Karies

10. Inspeksi telinga :


- Kebersihan telinga :
- Sekret telinga

- Keadaan telinga luar :


11. Leher
-

Pembesaran kelenjar gondok

Pembesaran vena jugularis

Pembesaran arteri karotis

12. Dada/perut:
a.

Payudara

Kesimetrisan buah dada

Bentuk buah dada

Ukuran buah dada

Kesimetrisan putting

Retraksi putting

Nyeri tekan

b. Jantung :
-

Letus cordis

Bunyi tambahan

c. Paru:
-

Bunyi pernapasan

Bunyi tambahan

:
:

d. Abdomen:
-

Pembesaran

Bentuk

Massa

Nyeri tekan :

Konsistensi :

Batas pinggir

Striae/scar

Dilatasi vena

13. Panggul/vagina/serviks:
Dengan inspekulo
-

Keadaan dinding vagina

Prolapsus uterus

Keadaan serviks

14. Genitalia (vulva/anus)


-

Kebersihan

Fluor Albus

Varises

Kondilomata

15. Pemeriksaan rektal:


-

Massa antara rectum/vagina

Lesi antara rectum/vagina

16. Tungkai bawah:


-

Kesimetrisan

Edema pretibial

Varises

17. Pemeriksaan laboratorium (hasil. Tgl):


-

USG: sudah menginfiltrasi parametrium

H. Data Psikologi/Sosiologis
Reaksi emosional setelah diagnose penyakit diketahui:
1. Respon ibu: ibu lemah dan pucat, murung, sedih dan bingung tentang
penyakitnya, ibu takut ditinggal suami karena penyakitnya

I.

2.

Respon suami:

3.

Respon anak:

4.

Peranan ibu dalam keluarga:

5.

Pengambilan keputusan:

6.

Konsultasi kesehatan:

7.

Penentuan diet dan makan pantang:

Data Spiritual
1.

Usaha ibu berdoa terhadap penyakitnya:

2.

Pantangan menurut keyakinan ibu selama di RS:

3.

Keharusan menurut keyakinan ibu selama di RS:

Analisis Data
NO

DATA
DS :
Keluar darah serta
nyeri
setelah
berhubungan
suami istri sejak
3 bulan lalu
Keputihan berbau
DO:
Lemah dan pucat
Tidak nafsu makan
Hb 8
TD 90/60
Akral dingin
CRT 4 detik

ETIOLOGI
perubahan fisiologis
metaplasia
zona transformasi
proliferasi sel epitel
displasia
infiltrasi stroma serviks
iritasi mukosa vagina
dan vulva
nyeri

MASALAH
gangguan
perfusi
jaringan

nyeri progresif
perdarahan
gangguan perfusi jaringan
DS :
Nyeri

perubahan fisiologis
setelah
berhubungan
suami istri sejak
3 bulan lalu

nyeri

metaplasia
zona transformasi
proliferasi sel epitel

DO:
-

displasia
infiltrasi stroma serviks
iritasi mukosa vagina
dan vulva
nyeri

DS :
Keluar darah serta
nyeri
setelah
berhubungan
suami istri sejak
3 bulan lalu
Keputihan berbau

perubahan fisiologis

DO:
Lemah dan pucat
Tidak nafsu makan
Sedi dan bingung
dengan
penyakitnya
Ibu takut ditinggal
suami
karena
penyakitnya

displasia

metaplasia
zona transformasi
proliferasi sel epitel

infiltrasi stroma serviks


iritasi mukosa vagina dan
vulva
nyeri

resiko kecemasan

nyeri saat berhubungan,


keputihan bau,
perdarahan
bingung, sedih, murung
resiko kecemasan

DIAGNOSA KEPERAWATAN DAN INTERVENSI


1.

Gangguan perfusi jaringan (anemia) b.d perdarahan masif intra cervikal


Tujuan :
Setelah diberikan perawatan selama 1 X 24 jam diharapkan perfusi jaringan
membaik
Kriteria hasil :
-

Perdarahan intra servikal sudah berkurang

Konjunctiva tidak pucat

Mukosa bibir basah dan kemerahan

Ektremitas hangat

Hb 11-15 gr %

- Tanda vital 120-140 / 70 - 80 mm Hg, Nadi : 70 - 80 X/mnt, S : 36-37


Derajat C, RR : 18 - 24 X/mnt.
Intervensi :

2.

1.

Observasi tanda-tanda vital

2.

Observasi perdarahan ( jumlah, warna, lama )

3.

Cek Hb

4.

Cek golongan darah

5.

Beri O2 jika diperlukan

6.

Pemasangan vaginal tampon.

7.

Therapi IV

Nyeri Akut berhubungan dengan agen injuri fisik

NOC: Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 5X24jam pasien mampu


untuk:
1.

Mengontrol nyeri, dengan indikator:


-

Mengenal faktor-faktor penyebab nyeri

Mengenal onset nyeri

Melakukan tindakan pertolongan non-analgetik

Menggunakan analgetik

Melaporkan gejala-gejala kepada tim kesehatan

Mengontrol nyeri
Keterangan:
1 = tidak pernah dilakukan
2 = jarang dilakukan
3 =kadang-kadang dilakukan
4 =sering dilakukan
5 = selalu dilakukan pasien

2.

Menunjukan tingkat nyeri


Indikator:
-

Melaporkan nyeri

Melaporkan frekuensi nyeri

Melaporkan lamanya episode nyeri

Mengekspresi nyeri: wajah

Menunjukan posisi melindungi tubuh

kegelisahan

perubahan respirasi rate

perubahan Heart Rate

Perubahan tekanan Darah

Perubahan ukuran Pupil

Perspirasi

Kehilangan nafsu makan


Keterangan:
1 : Berat
2 : Agak berat

3 : Sedang
4 : Sedikit
5 : Tidak ada Manajemen Nyeri
Intervensi:
1.

Kaji

secara

komphrehensif

tentang

nyeri,

meliputi:

lokasi,

karakteristik dan onset, durasi, frekuensi, kualitas, intensitas/beratnya


nyeri, dan faktor-faktor presipitasi
2.

Observasi isyarat-isyarat non verbal dari ketidaknyamanan, khususnya


dalam ketidakmampuan untuk komunikasi secara efektif

3.

Berikan analgetik sesuai dengan anjuran

4.

Gunakan komunikiasi terapeutik agar pasien dapat mengekspresikan


nyeri

5.

Kaji latar belakang budaya pasien

6.

Tentukan dampak dari ekspresi nyeri terhadap kualitas hidup: pola


tidur, nafsu makan, aktifitas kognisi, mood, relationship, pekerjaan,
tanggungjawab peran

7.

Kaji pengalaman individu terhadap nyeri,

keluarga dengan nyeri

kronis
8.

Evaluasi tentang keefektifan dari tindakan mengontrol nyeri yang


telah digunakan

9.

Berikan dukungan terhadap pasien dan keluarga

10.

Berikan informasi tentang nyeri, seperti: penyebab, berapa lama


terjadi, dan tindakan pencegahan

11.

Kontrol faktor-faktor lingkungan yang dapat mempengaruhi respon


pasien terhadap ketidaknyamanan

(seperti: temperatur ruangan,

penyinaran, dll)
12.

Anjurkan pasien untuk memonitor sendiri nyeri

13.

Ajarkan penggunaan teknik non-farmakologi (seperti: relaksasi,


guided imagery, terapi musik, distraksi, aplikasi panas-dingin,
massase)

14.

Evaluasi keefektifan dari tindakan mengontrol nyeri

15.

Modifikasi tindakan mengontrol nyeri berdasarkan respon pasien

16.

Tingkatkan tidur/istirahat yang cukup

17.

Anjurkan pasien untuk berdiskusi tentang pengalaman nyeri secara


tepat

18.

Beritahu dokter jika tindakan tidak berhasil atau terjadi keluhan

19.

Informasikan kepada tim kesehatan lainnya/anggota keluarga saat


tindakan nonfarmakologi dilakukan, untuk pendekatan preventif

20.

Monitor kenyamanan pasien terhadap manajemen nyeri

21.

Kolaborasi : Pemberian Analgetik

22.

Tentukan lokasi nyeri, karakteristik, kualitas,dan keparahan sebelum


pengobatan

23.

Berikan obat dengan prinsip 5 benar

24.

Cek riwayat alergi obat

25.

Libatkan pasien dalam pemilhan analgetik yang akan digunakan

26.

Pilih analgetik secara tepat /kombinasi lebih dari satu analgetik jika
telah diresepkan

27.

Tentukan pilihan analgetik (narkotik, non narkotik, NSAID)


berdasarkan tipe dan keparahan nyeri

28.

Monitor tanda-tanda vital, sebelum dan sesuadah pemberian analgetik

29.

Monitor reaksi obat dan efek samping obat

30.

Dokumentasikan respon setelah pemberian analgetik dan efek


sampingnya

31.

Lakukan tindakan-tindakan untuk menurunkan

efek analgetik

(konstipasi/iritasi lambung)
3.

Ansietas b.d terdiagnosa kanker serviks, kurangnya pengetahuan


tentang kanker serviks, penanganan dan prognosisnya
Tujuan :
Setelah diberikan tindakan selama 1 X 30 menit klien mendapat informasi
tentang penyakit kanker yang diderita, penanganan dan prognosenya.
Kriteria hasil :
-

Klien mengetahui diagnose kanker yang diderita

Klien mengetahui tindakan - tindakan yang harus dilalui klien.

- Klien tahu tindakan yang harus dilakukan di rumah untuk mencegah


komplikasi.
-

Sumber-sumber koping teridentifikasi

Ansietas berkurang

Klien mengutarakan cara mengantisipasi ansietas.

Intervensi :
1.

Berikan kesempatan pada klien dan klien mengungkapkan persaannya.

2.

Dorong diskusi terbuka tentang kanker, pengalaman orang lain, serta


tata cara mengentrol dirinya.

3.

Identifikasi mereka yang beresiko terhadap ketidak berhasilan


penyesuaian. ( Ego yang buruk, kemampuan pemecahan masalah tidak
efektif, kurang motivasi, kurangnya sistem pendukung yang positif).

4.

Tunjukkan adanya harapan

5.

Tingkatkan aktivitas dan latihan fisik

DAFTAR PUSTAKA
Abrahams, Peter. 2014. Panduan Kesehatan Wanita. Jakarta: Binarupa Aksara.
Baughman, Diane C. 2000. Keperawatan Medikal-Bedah: Buku saku untuk
Brunner dan Suddarth. Terjemahan Yasmin Asih dalam Handbook for
Brunner and Suddarths textbook of medical-surgical nursing. Jakarta: EGC
Bosch, F.X., Lorincz A., Munoz, N., et al. 2002. The Causal Relation between
Human Papillomavirus and Cervical Cancer. J. Clin. Pathol, 55: 244-265.
Direktorat Pengendalian Penyakit Tidak Menular Direktorat Jenderal PP& PL .
2009. Buku Saku Pencegahan Kanker Leher Rahim & Kanker Payudara.
DEPKES RI
Diananda, Rama. 2007. Mengenal Seluk Beluk Kanker. Yogyakarta: Katahati.
Fatimah, An Nur. 2009. Studi Kualitatif. FKM Universitas Indonesia
Gastout, B.S., Podratz, K.C., Mc Govern, R.M., et al. 1996. HLA Association with
cervical cancer. J. Gynecol. Oncol, 62: 415-416.
GlaxoSmithKline. 2007. Cervical Cancer. Royal College of Nursing
Hacker, F.N. 2000. Cervical Cancer. In: Berek, S. J., Hacker, F. N., editors.
Practical Gynecologic Oncology, 3rd Ed. Lippincott Williams & Wilkins. pp
345-356.
Ibrahim. 2005. Psikologi Wanita. Bandung: Pustaka Hidayah
Johnson, Joyce Y. 2000. Handbook for Brunner and Suddarths Textbook Of
Medical-Surgical Nursing. Lippincott Williams & Wilkins.
Prodia, (2006), dalam Cegah Kanker Leher Rahim, Lakukan Skrining Rutin,
Sebelum Kanker Leher Rahim Menghampiri
Santoso, dkk. 2013. Sinopsis Organ System Reproduksi. Tangerang: Karisma
Publishing Group.
Sarjadi. 2001. Patologi Ginekologi. Jakarta: Hipokrates.
Tim Kanker-Serviks.net. 2010. Paduan Lengkap Menghadapi Bahaya Kanker
Serviks.

Available

at

http://www.kanker-serviks.net/wp-

content/downloads/547375398HGIHGJHGLH848740tiaojaJTAEF9FAJjoefjj
99/eb_pand_ks.php
Wijayanegara, dkk. 1998. Pedoman Diagnosis dan Terapi Obstetri dan Ginekologi
RSUP Dr. Hasan Sadikin. FK UNPAD.

Yantiningsih. 2000. dalam Epidemiologi dan Pengendalian Kanker Serviks.

You might also like