You are on page 1of 8

Asuhan Keperawatan Sindrom Koroner Akut (SKA)

Definisi
Andra (2006) mengatakan Sindrom Koroner Akut (SKA) adalah kejadian kegawatan pada
pembuluh darah koroner.
Harun (2007) mengatakan istilah Sindrom Koroner Akut (SKA) banyak digunakan saat ini
untuk menggambarkan kejadian kegawatan pada pembuluh darah koroner. Sindrom Koroner
Akut (SKA) merupakan satu sindrom yang terdiri dari beberapa penyakit koroner yaitu,
angina tak stabil (unstable angina), infark miokard non-elevasi ST, infark miokard dengan
elevasi ST, maupun angina pektoris pasca infark atau pasca tindakan intervensi koroner
perkutan. Sindrom Koroner Akut (SKA) merupakan keadaan darurat jantung dengan
manifestasi klinis rasa tidak enak di dada atau gejala lain sebagai akibat iskemia miokardium.
Wasid (2007) menambahkan bahwa Sindrom Koroner Akut (SKA) adalah suatu fase akut dari
Angina Pectoris Tidak Stabil/ APTS yang disertai Infark Miocard Akut/ IMA gelombang Q
(IMA-Q) dengan non ST elevasi (NSTEMI) atau tanpa gelombang Q (IMA-TQ) dengan ST
elevasi (STEMI) yang terjadi karena adanya trombosis akibat dari ruptur plak aterosklerosis
yang tak stabil.

Etiologi
Menurut Cowie MR, Dar O (2008), penyebab gagal jantung dapat diklasifikasikan dalam
enam kategori utama:

Kegagalan yang berhubungan dengan abnormalitas miokard, dapat disebabkan oleh


hilangnya miosit (infark miokard), kontraksi yang tidak terkoordinasi (left bundle
branch block), berkurangnya kontraktilitas (kardiomiopati).

Kegagalan yang berhubungan dengan overload (hipertensi).

Kegagalan yang berhubungan dengan abnormalitas katup.

Kegagalan yang disebabkan abnormalitas ritme jantung (takikardi).

Kegagalan yang disebabkan abnormalitas perikard atau efusi perikard (tamponade).

Kelainan kongenital jantung.

Wasid (2007) menambahkan mulai terjadinya Sindrom Koroner Akut (SKA) dipengaruhi
oleh beberapa keadaan, yakni:

Aktivitas/latihan fisik yang berlebihan (tak terkondisikan)

Stress emosi, terkejut

Udara dingin, keadaan-keadaan tersebut ada hubungannya dengan peningkatan


aktivitas simpatis sehingga tekanan darah meningkat, frekuensi debar jantung
meningkat, dan kontraktilitas jantung meningkat.

Faktor Resiko
Faktor-faktor resiko penyakit jantung koroner dibagi dua yaitu faktor resiko yang dapat
dimodifikasi dan factor resiko yang tidak dapat dimodifikasi.
Faktor resiko yang dapat dimodifikasi antara lain:

Hipertensi

Diabetes

Hiperkolesterolemia

Merokok

Kurang latihan

Diet dengan kadar lemak tinggi

Obesitas

Stress

Faktor resiko yang tidak dapat dimodifikasi antara lain:

Riwayat PJK dalam keluarga

Usia di atas 45 tahun

Jenis kelamin laki-laki > perempuan

Etnis tertentu lebih besar resiko terkena PJK

Patofisiologi

Gangguan kontraktilitas miokardium ventrikel kiri yang menurun pada Sindrom Koroner akut
akan mengganggu kemampuan pengosongan ventrikel, sehingga volume residu ventrikel
menjadi meningkat akibat berkurangnya stroke volume yang diejeksikan oleh ventrikel kiri
tersebut. Dengan meningkatnya EDV (End Diastolic Volume), maka terjadi pula peningkatan
LVEDP (Left Ventricle End Diastolic Pressure), yang mana derajat peningkatannya
bergantung pada kelenturan ventrikel. Oleh karena selama diastol atrium dan ventrikel
berhubungan langsung, maka peningkatan LVEDP akan meningkatkan LAP( Left Atrium
Pressure ), sehingga tekanan kapiler dan vena paru-paru juga akan meningkat. Jika tekanan
hidrostatik di kapiler paru-paru melebihi tekanan onkotik vaskular, maka akan terjadi
transudasi cairan ke interstitial dan bila cairan tersebut merembes ke dalam alveoli, terjadilah
edema paru-paru.
Peningkatan tekanan vena paru yang kronis dapat meningkatkan tekanan arteri paru yang
disebut dengan hipertensi pulmonal, yang mana hipertensi pulmonal akan meningkatkan
tahanan terhadap ejeksi ventrikel kanan. Bila proses yang terjadi pada jantung kiri juga terjadi
pada jantung kanan, akhirnya akan terjadi kongesti sistemik dan edema.
Menurut Laksono S (2009), ada beberapa mekanisme patofisiologi sindrom koroner akut :
1. Mekanisme neurohormonal : Pengaturan neurohormonal melibatkan sistem saraf
adrenergik (aktivasi sistem saraf simpatis akan meningkatkan kadar norepinefrin),
sistem renin-angiotensin, stres oksidatif (peningkatan kadar ROS/reactive oxygen
species), arginin vasopressin (meningkat), natriuretic peptides, endothelin,
neuropeptide Y, urotensin II, nitric oxide, bradikinin, adrenomedullin (meningkat),
dan apelin (menurun).
2. Remodeling ventrikel kiri : Remodeling ventrikel kiri yang progresif berhubungan
langsung dengan memburuknya kemampuan ventrikel di kemudian hari.
3. Perubahan biologis pada miosit jantung :Terjadi hipertrofi miosit jantung, perubahan
komplek kontraksi-eksitasi, perubahan miokard, nekrosis, apoptosis, autofagi.
4. Perubahan struktur ventrikel kiri : Perubahan ini membuat jantung membesar,
mengubah bentuk jantung menjadi lebih sferis mengakibatkan ventrikel
membutuhkan energi lebih banyak, sehingga terjadi peningkatan dilatasi ventrikel
kiri, penurunan cardiac output, dan peningkatan hemodynamic overloading.
Manifestasi Klinis
Rilantono (1996) mengatakan gejala sindrom koroner akut berupa keluhan nyeri ditengah
dada, seperti: rasa ditekan, rasa diremas-remas, menjalar ke leher,lengan kiri dan kanan, serta
ulu hati, rasa terbakar dengan sesak napas dan keringat dingin, dan keluhan nyeri ini bisa
merambat ke kedua rahang gigi kanan atau kiri, bahu,serta punggung. Lebih spesifik, ada
juga yang disertai kembung pada ulu hati seperti masuk angin atau maag.
Tapan (2002) menambahkan gejala kliniknya meliputi:

Terbentuknya thrombus yang menyebabkan darah sukar mengalir ke otot jantung dan
daerah yang diperdarahi menjadi terancam mati .

Rasa nyeri, rasa terjepit, kram, rasa berat atau rasa terbakar di dada (angina). Lokasi
nyeri biasanya berada di sisi tengah atau kiri dada dan berlangsung selama lebih dari
20 menit. Rasa nyeri ini dapat menjalar ke rahang bawah, leher, bahu dan lengan serta
ke punggung. Nyeri dapat timbul pada waktu istirahat. Nyeri ini dapat pula timbul
pada penderita yang sebelumnya belum pernah mengalami hal ini atau pada penderita
yang pernah mengalami angina, namun pada kali ini pola serangannya menjadi lebih
berat atau lebih sering.

Selain gejala-gejala yang khas di atas, bisa juga terjadi penderita hanya mengeluh seolah
pencernaannya terganggu atau hanya berupa nyeri yang terasa di ulu hati. Keluhan di atas
dapat disertai dengan sesak, muntah atau keringat dingin.

Asuhan Keperawatan Sindrom Koroner Akut (SKA)


Pengkajian

Pemeriksaan Fisik

1. Tampilan Umum
Pasien tampak pucat, berkeringat, dan gelisah akibat aktivitas simpatis berlebihan.
Pasien juga tampak sesak. Demam derajat sedang (< 380 C) bisa timbul setelah 12-24 jam
pasca infark
2. Denyut Nadi dan Tekanan Darah
Sinus takikardi (100-120 x/mnt) terjadi pada sepertiga pasien, biasanya akan
melambat

dengan

pemberian

analgesic

yang

adekuat.

Denyut jantung yang rendah mengindikasikan adanya sinus tau blok jantung sebagai
komplikasi dari infark.
Peningkatan tekanan darah moderat merupakan akibat dari pelepasan kotekolamin.
Sedangkan jika terjadi hipotensi maka hal tersebut merupakan akibat dari aktivitas vagus
berlebih, dehidrasi, infark ventrikel kanan, atau tanda dari syok kardiogenik.
3. Pemeriksaan jantung
Terdangar bunyi jantung S4 dan S3 , atau mur-mur. Bunyi gesekan perikard jarang
terdengar hingga hari kedua atau ketiga atau lebih lama lagi (hingga 6 minggu) sebagai
gambatan dari sindrom Dressler.
4. Pemeriksaan paru

Ronkhi akhir pernafasan bisa terdengar, walaupun mungkin tidak terdapat gambaran
edema paru pada radiografi. Jika terdapat edema paru, maka hal itu merupakan komplikasi
infark luas, biasanya anterior.
Pemeriksaan Penunjang
1 EKG (Electrocardiogram)
Pada EKG 12 lead, jaringan iskemik tetapi masih berfungsi akan menghasilkan
perubahan gelombang T, menyebabkan inervasi saat aliran listrik diarahkan menjauh dari
jaringan iskemik, lebih serius lagi, jaringan iskemik akan mengubah segmen ST
menyebabkan

depresi

ST.

Pada infark, miokard yang mati tidak mengkonduksi listrik dan gagal untuk repolarisasi
secara normal, mengakibatkan elevasi segmen ST. Saat nekrosis terbentuk, dengan
penyembuhan cincin iskemik disekitar area nekrotik, gelombang Q terbentuk. Area nekrotik
adalah jaringan parut yang tak aktif secara elektrikal, tetapi zona nekrotik akan
menggambarkan perubahan gelombang T saat iskemik terjadi lagi. Pada awal infark miokard,
elevasi ST disertai dengan gelombang T tinggi. Selama berjam-jam atau berhari-hari
berikutnya, gelombang T membaik. Sesuai dengan umur infark miokard, gelombang Q
menetap dan segmen ST kembali normal.
Gambaran spesifik pada rekaman EKG
Daerah infark Perubahan EKG

Anterior Elevasi segmen ST pada lead V3 -V4, perubahan resiprokal (depresi ST)
pada lead II, III, aVF.

Inferior Elevasi segmen T pada lead II, III, aVF, perubahan resiprokal (depresi ST) V1
V6, I, aVL.

Lateral Elevasi segmen ST pada I, aVL, V5 V6.

Posterior Perubahan resiprokal (depresi ST) pada II, III, aVF, terutama gelombang R
pada V1 V2.

Ventrikel kanan Perubahan gambaran dinding inferior

2. Tes Darah

Selama serangan, sel-sel otot jantung mati dan pecah sehingga protein-protein tertentu
keluar masuk aliran darah.

Kreatinin Pospokinase (CPK) termasuk dalam hal ini CPK-MB terdetekai setelah 6-8
jam, mencapai puncak setelah 24 jam dan kembali menjadi normal setelah 24 jam
berikutnya.

LDH (Laktat Dehidrogenisasi) terjadi pada tahap lanjut infark miokard yaitu setelah
24 jam kemudian mencapai puncak dalam 3-6 hari. Masih dapat dideteksi sampai
dengan 2 minggu.

Iso enzim LDH lebih spesifik dibandingkan CPK-MB akan tetapi penggunaan
klinisnya masih kalah akurat dengan nilai Troponin, terutama Troponin T.

Seperti yang kita ketahui bahwa ternyata isoenzim CPK-MB maupun LDH selain
ditemukan pada otot jantung juga bisa ditemukan pada otot skeletal.

Troponin T & I protein merupakan tanda paling spesifik cedera otot jantung, terutama
Troponin T (TnT)

Tn T sudah terdeteksi 3-4 jam pasca kerusakan miokard dan masih tetap tinggi dalam
serum selama 1-3 minggu.

Pengukuran serial enzim jantung diukur setiap selama tiga hari pertama;

peningkatan bermakna jika nilainya 2 kali batas tertinggi nilai normal.

3. Coronary Angiography
Coronary angiography merupakan pemeriksaan khusus dengan sinar X pada jantung
dan pembuluh darah. Sering dilakukan selama serangan untuk menemukan letak sumbatan
pada arteri koroner.
Kateter dimasukkan melalui arteri pada lengan atau paha menuju jantung. Prosedur ini
dinamakan kateterisasi jantung, yang merupakan bagian dari angiografi koroner
Zat kontras yang terlihat melalui sinar X diinjeksikan melalui ujung kateter pada
aliran darah. Zat kontras itu pemeriksa dapat mempelajari aliran darah yang melewati
pembuluh darah dan jantung
Jika ditemukan sumbatan, tindakan lain yang dinamakan angioplasty, dapat dilakukan
untuk memulihkan aliran darah pada arteri tersebut. Kadang-kadang akan ditempatkan stent
(pipa kecil yang berpori) dalam arteri untuk menjaga arteri tetap terbuka.

Diagnosa Keperawatan dan Intervensi Keperawatan


1. Nyeri dada b.d. penurunan suplay oksigen ke miokard sekunder terhadap IMA
Tujuan :

Klien dapat beradaptasi dengan nyeri setelah mendapat perawatan 1x24 jam
Nyeri berkurang setelah intervensi selama 10 menit
Kriteria hasil :
a. Skala nyeri berkurang
b. Klien mengatakan keluhan nyeri berkurang
c. Klien tampak lebih tenang
Intervensi :
1. Anjurkan klien untuk istirahat
(R: istirahat akan memberikan ketenangan sebagai salah satu relaksasi klien sehingga rasa
nyeri yang dirasakan berkurang, selain itu dengan beristirahat akan mengurangi O2 demand
sehingga jantung tidak berkontraksi melebihi kemampuannya)
2. Motivasi teknik relaksasi nafas dalam
(R: relaksasi napas dalam adalah salah satu teknik relaks dan distraksi, kondisi relaks akan
menstimulus hormon endorfin yang memicu mood ketenangan bagi klien)
3. Kolaborasi analgesik ASA 1 x 100 mg
(R: Analgesik akan mengeblok nosireseptor, sehingga respon nyeri klien berkurang)
4. Evaluasi perubahan klien: Nadi, TD, RR, skala nyeri, dan klinis
(R: mengevaluasi terapi yang sudah diberikan)
2. Penurunan curah jantung
Tujuan: Curah jantung meningkat setelah untervensi selama 1 jam
Kriteria hasil :
a. TD normal, 100/80 -140/90
b. Nadi kuat, reguler
Intervensi :
1. Berikan posisi kepala (lebih tinggi dari ekstrimitas)
(R: posisi kepala lebih tinggi dari ekstremitas (30 o) memperlancar aliran darah balik ke
jantung, sehingga menghindari bendungan vena jugular, dan beban jantung tidak bertambah
berat)
2. Motivasi klien untuk istirahat (bed rest)
(R: beristirahat akan mengurangi O2 demand sehingga jantung tidak berkontraksi melebihi
kemampuannya)
3. Berikan masker non reservoir 8 lt/mnt
(R: pemberian oksigen akan membantu dalam memenuhi kebutuhan oksigen dalam tubuh)
4. Kolaborasi medikasi: Pemberian vasodilator captopril, ISDN, Pemberian duretik furosemid
(R: vasodilator dan diuretic bertujuan untuk mengurangi beban jantung dengan cara
menurunkan preload dan afterload)
5. Evaluasi perubahan: TD, nadi, dan klinis
(R: mengevaluasi terapi yang sudah diberikan dan sebagai perbaikan intervensi selanjutnya)
3. Gangguan keseimbangan elektrolit : hipokalemia
Tujuan : Terjadi keseimbangan elektrolit setelah intervensi 1 jam

Kriteria hasil :
a TD normal (100/80 140/90 mmHg)
b Nadi kuat
c Klien mengatakan kelelahan berkurang
d Nilai K normal (3,8 5,0 mmmo/L)
Intervensi :
1. Pantau TD dan nadi lebih intensif
(R: penurunan Kalium dalam darah berpengaruh pada kontraksi jantung, dan hal ini
mempengaruhi Td dan nadi klien, sehingga dengan memantau lebih intensif akan lebih
waspada)
2. Anjurkan klien untuk istirahat
(R: beristirahat akan mengurangi O2 demand sehingga jantung tidak berkontraksi melebihi
kemampuannya)
3. Kolaborasi pemberian kalium : Kcl 15 mEq di oplos dengan RL (500 cc/24 jam) dan
Pantau kecepatan pemberian kalium IV
(R: koreksi Kalium akan membantu menaikkan kadar Kalium dalam darah)
4. Evaluasi perubahan klien: TD, nadi, serum elektrolit, dan klinis
(R: untuk mengevaluasi terapi yang sudah diberikan dan untuk program intervensi
selanjutnya)
ADS

You might also like