You are on page 1of 25

LAPORAN PENDAHULUAN STEMI INFERIOR

A. Definisi
Infark miokard akut (IMA) merupakan salah satu diagnosis rawat inap tersering di Negara maju.
Laju mortalitas awal 30% dengan lebih dari separuh kematian terjadi sebelum pasien mencapai
Rumah sakit. Walaupun laju mortalitas menurun sebesar 30% dalam 2 dekade terakhir, sekita 1
diantara 25 pasien yang tetap hidup pada perawatan awal, meninggal dalam tahun pertama
setelah IMA (Sudoyo, 2006).
IMA dengan elevasi ST (ST elevation myocardial infarction = STEMI) merupakan bagian dari
spectrum sindrom koroner akut (SKA) yang terdiri dari angina pectoris tak stabil, IMA tanpa
elevasi ST, dan IMA dengan elevasi ST. STEMI umumnya terjadi jika aliran darah koroner
menurun secara mendadak setelah oklusi thrombus pada plak aterosklerotik yang sudah ada
sebelumnya (Sudoyo, 2006).

B. Etiologi
STEMI terjadi jika trombus arteri koroner terjadi secara cepat pada lokasi injuri
vascular, dimana injuri ini dicetuskan oleh faktor seperti merokok, hipertensi dan akumulasi
lipid.

C. Patofisiologi
STEMI umumnya terjadi jika aliran darah koroner menurun secara mendadak setelah oklusi
thrombus pada plak aterosklerotik yang sudah ada sebelumnya. Stenosis arteri koroner derajat
tinggi yang berkembang secara lambat biasanya tidak memicu STEMI karena berkembangnya
banyak kolateral sepanjang waktu. STEMI terjadi jika trombus arteri koroner terjadi secara cepat
pada lokasi injuri vascular, dimana injuri ini dicetuskan oleh faktor seperti merokok, hipertensi
dan akumulasi lipid.
Pada sebagian besar kasus, infark terjadi jika plak aterosklerosis mengalami fisur, rupture atau
ulserasi dan jika kondisi local atau sistemik memicu trombogenesis, sehingga terjadi thrombus
mural pada lokasi rupture yang mengakibatkan oklusi arteri koroner. Penelitian histology
menunjukkan plak koroner cendeeung mengalami rupture jika mempunyai vibrous cap yang tipis
dan intinya kaya lipid (lipid rich core). Pada STEMI gambaran patologis klasik terdiri dari fibrin
rich red trombus, yang dipercaya menjadi alasan pada STEMI memberikan respon terhadap
terapi trombolitik.

Selanjutnya pada lokasi rupture plak, berbagai agonis (kolagen, ADP, epinefrin, serotonin)
memicu aktivasi trombosit, yang selanjutnya akan memproduksi dan melepaskan tromboksan A2
(vasokonstriktor local yang poten). Selain itu aktivasi trombosit memicu perubahan konformasi
reseptor glikoprotein IIB/IIIA. Setelah mengalami konversi fungsinya, reseptor, mempunyai
afinitas tinggi terhadap sekuen asam amino pada protein adhesi yang larut (integrin) seperti
faktor von Willebrand (vWF) dan fdibrinogen, dimana keduanya adalah molekul multivalent
yang dapat mengikat dua platelet yang berbeda secara simultan, menghasilkan ikatan silang
platelet dan agregasi.
Kaskade koagulasi diaktivasi oleh pajanan tissue faktor pada sel endotel yang rusak. Faktor VII
dan X diaktivasi mengakibatkan konversi protombin menjadi thrombin, yang kemudian
menkonversi fibrinogen menjadi fibrin. Arteri koroner yang terlibat (culprit) kemudian akan
mengalami oklusi oleh trombosit dan fibrin.
Pada kondisi yang jarang, STEMI dapat juga disebabkan oleh oklusi arteri koroner yang
disebabkan oleh emboli koroner, abnormalitas congenital, spasme koroner dan berbagai penyakit
inflamasi sistemik.

D. Manifestasi Klinis
Pasien yang datang dengan keluhan nyeri dada perlu dilakukan anamnesa secara cermat apakah
nyeri dadanya berasal dari jantung atau dari luar jantung. Jika dicurigai nyeri dada yang berasal
dari jantung dibedakan apakah nyerinnya berasal dari koroner atau bukan. Perlu dianamnesis
pula apakah ada riwayat infark miokard sebelumnya serta faktor-faktor risiko antara lain
hipertensi, diabetes militus, dislipidemia, merokok, stress serta riwayat sakit jantung koroner
pada keluarga.
Nyeri Dada
Bila dijumpai pasien dengan nyeri dada akut perlu dipastikan secara cepat dan tepat apakah
pasien menderita IMA atau tidak. Diagnosis yang terlambat atau yang salah dalam jangka
panjang dapat menyebabkan konsekuensi yang berat.
Nyeri dada tipikal (angina) merupakan gejala cardinal pasien IMA. Gejala ini merupakan
petanda awal dalam pengelolaan pasien IMA. Sifat nyeri dada angina sebagai berikut:
Lokasi: substernal, retrosternal, dan prekordial.
Sifat nyeri: rasa sakit, seperti ditekan, rasa terbakar, ditindih benda berat, seperti ditusuk, rasa
diperas, dan diplintir.
Penjalaran ke: biasanya ke lengan kiri, dapat juga ke leher, rahang bawah, gigi,
punggung/interskapula, perut, dan juga ke lengan kanan.

Nyeri membaik atau hilang dengan istirahat, atau obat nitrat.


Faktor pencetus: latihan fisik, stress emosi, udara dingin, dan sesudah makan.
Gejala yang menyertai: mual, muntah, sulit bernafas, keringat dingin, cemas dan lemas.
Diagnosis banding nyeri dada STEMI antara lain perikarditis akut, emboli paru, diseksi aorta
akut, kostokondritis dan gangguan gastrointestinal, Nyeri dada tidak selalu ditemukan pada
STEMI. STEMI tanpa nyeri lebih sering dijumpai pada diabetes militus dan usia lanjut.
Sebagian besar pasien cemas dan tidak bisa istirahat (gelisah). Seringkali ekstremitas pucat
disertai keringat dingin. Kombinasi nyeri dada substernal >30 menit dan banyak keringat
dicurigai kuat adanya STEMI. Sekitar seperempat pasien infark anterior mempunyai manifestasi
hiperaktivitas saraf simpatis (takikardi dan atau hipotensi). Tanda fisis lain pada disfungsi
fentrikular adalah S4 dan S3 gallop, penurunan intensitas bunyi jantung pertama dan split
paradoksikal bunyi jantung kedua. Dapat ditemukan murmur midsistolik atau late sistlik apical
yang bersifat sementara karena disfungsi apparatus katup mitral dan pericardial friction rub.
Peningkatan suhu sampai 38C dapat dijumpai dalam minggu pertama pasca STEMI.
Diagnosis IMA dengan elevasi ST ditegakkan berdasarkan anamnesis nyeri dada yang khas dan
gambaran EKG adanya elevasi ST 2mm, minimal pada 2 sandapan prekordial yang
berdampingan atau 1mm pada 2 sandapan ekstremitas. Pemeriksaan enzim jantung, terutama
troponin T yang meningkat, memperkuat diagnosis, namun keputusan memberikan terapi
revaskularisasi tak perlu menunggu hasil pemeriksaan enzim, mengingat dalam tatalaksana IMA,
prinsip utama Penatalaksanaan adalah time is muscle.
Pemeriksaan EKG 12 sandapan harus dilakukan pada semua pasien dengan nyeri dada atau
keluhan yang dicurigai STEMI. Pemeriksaan ini harus dilakukan segera dalam 10 menit sejak
kedatangan di IGD. Pemeriksaan EKG di IGD merupakan senter dalam menentukan keputusan
terapi karena bukti kuat menunjukkan gambaran elevasi segmen ST dapat mengidentifikasi
pasien yang bermanfaat untuk dilakukan terapi perfusi. JIka pemeriksan EKG awal tidak
diagnostic untuk STEMI tetapi pasien tetap simtomatik dan terdapat kecurigaan kuat STEMI,
EKG serial dengan interval 5-10 menit atau pemantauan EKG 12 sandapan secara continue harus
dilakukan untuk mendeteksi potensi perkembangan elevasi segmen ST. Pada pasien dengan
STEMI inferior, EKG sisi kanan harus diambil untuk mendeteksi kemungkinan infark pada
ventrikel kanan.
Sebagian besar pasien dengan presentasi awal elevasi segmen ST mengalami evlolusi menjadi
gelombang Q pada EKG yang akhirnya infark miokard gelombang Q. Sebagian kecil menetap
menjadi infark miokard gelombang non Q. Jika obstruksi thrombus tidak total, obstruksi bersifat
sementara atau ditemukan banyak kolateral, biasanya tidak ditemukan elevasi segmen ST. Pasien
tersebut biasanya mengalami angina pectoris tak stabil atau non STEMI. Pada bagian pasien
tanpa elevasi ST berkembang tanpa menunjukkan gelombang Q disebut infark non Q.

Sebelumnya istilah infark miokard transmural digunakan jika EKG menunjukkan gelombang Q
atau hilangnya gelombang R dan infark miokard miokard non transmural jika EKG hanya
menunjukkan perubahan sementara segmen ST dan gelombang T, namun ternyata tidak selalu
ada korelasi gambaran patologis EKG dengan lokasi infark (mural/transmural) sehingga
terminology IMA gelombang Q dan non Q menggantikan IMA mural/nontransmural.
E. Pemeriksaan Diagnostik
Pemeriksaan laboratorium harus dilakukan sebagai bagian dalam tatalaksana pasien STEMI
namun tidak boleh menghambat implementasi terapi repefusi.
Petanda (Biomarker) Kerusakan Jantung
Pemeriksaan yang dianjurkan adalah Creatinin Kinase (CK)MB dan cardiac specific troponin
(cTn)T atau cTn1 dan dilakukan secara serial. cTn harus digunakan sebagai petanda optimal
untuk pasien STEMI yang disertai kerusakan otot skeletal, karena pada keadaan ini juga akan
diikuti peningkatan CKMB. Pada pasien dengan elevasi ST dan gejala IMA, terapi reperfusi
diberikan segera mungkin dan tidak tergantung pada pemeriksaan biomarker. Pengingkatan nilai
enzim di atas 2 kali nilai batas atas normal menunjukkan ada nekrosis jantung (infark miokard).
CKMB: meningkat setelah 3 jam bila ada infark miokard dan mencapai puncak dalam 10-24 jam
dan kembali normal dala 2-4 hari. Operasi jantung, miokarditis dan kardioversi elektrik dapat
meningkatkan CKMB.
cTn: ada 2 jenis yaitu cTn T dab cTn I. Enzi mini meningkat setelah 2 jam bila ada infark
miokard dan mencapai puncak dalam 10-24 jam dan cTn T masih dapat dideteksi setelah 5-14
hari, sedangkan cTn I setelah 5-10 hari.
2. Pemeriksaan enzim jantung yang lain yaitu:
Mioglobin: dapat dideteksi satu jam setelah infark dan mencapai puncak dalam 4-8 jam.
Creatinin Kinase (CK): Meningkat setelah 3-8 jam bila ada infark miokard dan mencapai puncak
dalam 10-36 jam dan kembali normal dalam 3-4 hari.
Lactic dehydrogenase (LDH): meningkat setelah 24 jam bila ada infark miokard, mencapai
puncak 3-6 hari dan kembali normal dalam 8-14 hari.
Garis horizontal menunjukkan upper reference limit (URL) biomarker jantung pada laboratorium
kimia klinis. URL adalah nilai mempresentasikan 99th percentile kelompok control tanpa
STEMI.
Reaksi non spesifik terhadap injuri miokard adalah leikositosis polimorfonuklear yang dapat
terjadi dalam beberapa jam setelah onset nyeri dan menetap selama 3-7 hari. Leukosit dapat
mencapai 12.000-15.000/u1.

F. Penatalaksanaan
Tatalaksana IMA dengan elevasi ST saat ini mengacu pada data-data dari evidence based
berdasarkan penelitian randomized clinical trial yang terus berkembnag ataupun konsesus dari
para ahli sesuai pedoman (guideline).
Tujuan utama tatalaksana IMA adalah diagnosis cepat, menghilangkan nyeri dada, penilaian dan
implementasi strategi perfusi yang mungkin dilakukan, pemberian antitrombotik dan terapi
antiplatelet, pemberian obat penunjang dan tatalaksana komplikasi IMA. Terdapat beberapa
pedoman (guidelie) dalam tatalaksana IMA dengan elevasi ST yaitu dari ACC/AHA tahun 2004
dan ESC tahun 2003. Walaupun demikian perlu disesuaikan dengan kondisi sarana/fasilitas di
tempat masing-masing senter dan kemampuan ahli yang ada (khususnya di bidang kardiologi
Intervensi).
Tatalaksana Awal
Tatalaksana Pra Rumah Sakit
Prognosis STEMI sebagian besar tergantung adanya 2 kelompok komplikasi umum yaitu:
komplikasi elektrikal (aritmia) dan komplikasi mekanik (pump failure). Sebagian besar
kematian di luar Rumah Sakit pada STEMI disebabkan adanya fibrilasi ventrikel mendadak,
yang sebagian besar terjadi dalam 24 jam pertama onset gejala. Dan lebih dari separuhnya terjadi
pada jam pertama. Sehingga elemen utama tatalaksana prahospital pada pasien yang dicurigai
STEMI antara lain:
Pengenalan gejala oleh pasien dan segera mencari pertolongan medis.
Segera memanggil tim medis emergensi yang dapat melakukan tindakan resusitasi.
Transportasi pasien ke Rumah Sakit yang mempunyai fasilitas ICCU/ICU serta staf medis dokter
dan perawat yang terlatih.
Melakukan terapi perfusi.
Keterlambatan terbanyak yang terjadi pada penanganan pasien biasanya bukan selama
transportasi ke Rumah Sakit, namun karena lama waktu mulai onset nyeri dada sampai
keputusan pasien untuk meminta pertolongan. Hal ini bisa di tanggulangi dengan cara edukasi
kepada masyarakat oleh tenaga professional kesehatan mengenai pentingnya tatalaksana dini.
Pemberian fibrinolitik pra hospital hanya bisa dikerjakan jika ada paramedic di ambulans yang
sudah terlatih untuk menginterpretasi EKG dan tatalaksana STEMI dan kendali komando medis
online yang bertanggung jawab pada pemberian terapi. Di Indonesia saat ini pemberian
trombolitik pra hospital ini belum bisa dilakukan.

Panel A: Pasien dibawa oleh EMS setelah memanggil 9-1-1: Reperfusi pada pasien STEMI dapat
dilakukan dengan terapi farmakologis (fibrinolisis) atau pendekatan kateter (PCI primer).
Implementasi strategi ini bervariasi tergantung cara transportasi pasien dan kemampuan
penerimaan rumah sakit. Sasaran adalah waktu iskemia total 120 menit. Waktu transport ke
rumah sakit bervariasi dari kasus ke kasus lainnya, tetapi sasaran waktu iskemik total adalah 120
menit. Terdapat 3 kemungkinan:
JIka EMS mempunyai kemampuan memberikan fibrinolitik dan pasien memennuhi syarat tetapi,
fibrinolisis pra rumah sakit dapat dimulai dalam 30 menit sejak EMS tiba.
Jika EMS tidak mampu memberikan fibrinolisis sebelum ke rumah sakit dan pasien dibawa ke
rumah sakit yang tak tersedia sarana PCI, hospital door-needle time harus dalam 30 menit untuk
pasien yang mempunyai indikasi fibrinolitik.
Jika EMS tidak mampu memberikan fibrinolisis sebelum ke rumah sakit dan pasien dibawa ke
rumah sakit dengan sarana PCI, hospital-door-to-balloon time harus dalam waktu 90 menit.

Tatalaksana di Ruang Emergensi


Tujuan tatalaksana di IGD pada pasien yang dicurigai STEMI mencakup:
mengurangi/menghilangkan nyeri dada, identifikasi cepat pasien yang merupakan kandidat terapi
perfusi segera, triase pasien risiko rendah ke ruangan yang tepat di rumah sakit dan menghindari
pemulangan cepat pasien dengan STEMI.
Tatalaksana Umum
Oksigen
Suplemen oksigen harus diberikan pada pasien dengan saturasi oksigen arteri <90%. Pada semua
pasien STEMI tanpa komplikasi dapat diberikan oksigen selama 6 jam pertama.
Nitrogliserin (NTG)
Nitrogliserin sublingual dapat diberikan dengan aman dengan dosis 0,4 mg dan dapat diberikan
sampai 3 dosis dengan Intervensi 5 menit. Selain mengurangi nyeri dada, NTG juga dapat
menurunkan kebutuhan oksigen miokard dengan menurunkan preload dan meningkatkan suplai
oksigen miokard dengan cara dilatasi pembuluh koroner yang terkena infark atau pembuluh
kolateral. Jika nyeri dada terus berlangsung dapat diberikan NGT intravena. NGT intravena juga
diberikan untuk mngendalikan hipertensi atau edema paru.
Terapi nitrat harus dihindari pada pasien dengan tekanan darah sistolik <90mmHg atau pasien
yang dicurigai menderita infark ventrikel kanan (infark inferior pada EKG, JVP meningkat, paru
bersih dan hipotensi). Nitrat juga harus dihindari pada pasien yang menggunakan

phosphodiesterase-5 inhibitor sildenafil dalam 24 jam sebelumnya karena dapat memicu efek
hipotensi nitrat.
Mengurangi/menghilangkan nyeri dada
Mengurangi atau menghilangkan nyeri dada sangat penting, karena nyeri dikaitkan dengan
aktivasi simpatis yang menyebabkan vasokonstriksi dan meningkatkan beban jantung.
Morfin
Morfin sangat efektif mengurangi nyeri dada dan merupakan analgesic pilihan dalam tatalaksana
nyeri dada pada STEMI. Morfin diberikan dengan dosis 2-4 mg dan dapat diulang dengan
interval 5-15 menit sampai dosis total 20 mg. Efek samping yang perlu diwaspadai pada
pemberian morfin adalah konstriksi vena dan arteriolar melalui penurunan simpatis, sehingga
terjadi pooling vena yang akan mengurangi curah jantung dan tekanan arteri. Efek hemodinamik
ini dapat diatasi dengan elevasi tungkai pada kondisi tertentu diperlukan penambahan cairan IV
dengan NaCl 0,9%. Morfin juga dapat menyebabkan efek vagotonik yang menyebabkan
bradikardia atau blok jantung derajat tinggi, terutama pasien dengan infark posterior. Efek ini
biasanya dapat diatasi dengan pemberian atropine 0,5 mgIV.
Aspirin
Aspirinmerupakan tatalaksana dasar pada pasien yang dicurigai STEMI dan efektif pada
spectrum sindrom koroner akut. Inhibisi cepat siklooksigenase trombosit yang dilanjutkan
reduksi kadar tromboksan A2 dicapai dengan absorbsi aspirin bukkal dengan dosis 160-325 mg
di ruang emergensi. Selanjutnya aspirin diberikan oral dengan dosis 75-162 mg.
Penyekat Beta
Jika morfin tidak berhasil mengurangi nyeri dada, pemberian penyekat beta IV, selain nitrat
mungkin efektif. Regimen yang bias adiberikan adalah metoprolol 5 mg setiap 2-5 menit sampai
total 3 dosis, dengan syarat frekuensi jantung >60 menit, tekanan darah sistolik >100 mmHg,
interval PR <0,24 detik dan ronchi tidak lebih dari 10 cm dari diafragma. Lima belas menit
setelah dosis IV terakhir dilanjutkan dengan metoprolol oral dengan dosis IV terakhir dilanjutkan
dengan metoprolol oral dengan dosis 50 mg tiap 6 jam dan dilanjutkan 100 mg tiap 12 jam.
Terapi Reperfusi
Reperfusi dini akan memeperpendek lamaoklusi koroner, meminimlakan derajat disfungsi dan
dilatasi ventrikel dan mengurangi kemungkinan pasien STEMI berkembang menjadi pump
failure atau takiaritmia ventricular yang maligna.
Sasaran terapi perfusi pada pasien STEMI adalah door-to-needle (atau medical contact-toneedle) time untuk memulai terapi fibrinolitik dapat dicapai dalam 30 menit atau door-to-ballon)
time untuk PCI dapat dicapai dalam 90 menit.

i.

SELEKSI STRATEGI REPERFUSI

Beberapa hal haru dipertimbangkan dalam seleksi jenis terapi reperfusi antara lain:
Waktu onset gejala
Waktu onset gejala untuk terapi fibrinolitik merupakan predictor penting luas infark dan outcome
pasien. Efektivitas obat fibrinolisis dalam menghancurkan thrombus sangat tergantung dengan
waktu. Terapi fibrinolisis yang diberikan dalam 2 jam pertama (terutama dalam jam pertama)
terkadang menghentikan infark miokard dan secara dramatis menurunkan angka kematian.
Sebaliknya, kemampuan memperbaiki arteri yang mengalami infark menjadi paten, kurang
banyak tergantung pada lama gejala pasien yang menjalani PCI. Beberapa laporan menunjukkan
tidak ada pengaruh keterlambatan waktu terhadapa laju mortalitas jika PCI dikerjakan setelah 2
sampai 3 jam setelah gejala.
The Task Force on the Management of Acute Myocardial Infraction of the European Society of
Cardiology dan ACC/AHA merekomendasikan target medical contact-to-balloon atau door-ttoballoon time dalam waktu 90 menit.
Risiko STEMI
Beberapa model telah dikembangkan yang membantu dokter dalam menilai risiko mortalitas
pada pasien STEMI. JIka estimasi mortalitas dengan fibrinolisis sangat tinggi, seperti pada
pasien renjatan kardiogenik, bukti klinis menunjukkan strategi PCI lebih baik.
Risiko Perdarahan
Penilaian terapi reperfusi juga melibatkan risiko perdarahan pada pasien. Jika terapii reperfusi
bersama-sama tersedia PCI dan fibrinolisis, semakin tinggi risiko perdarahan dengan terapi
fibrinolisis, semakin kuat keputusan untuk memilih PCI. Jika PCI tidak tersedia, manfaat terapi
reperfusi farmakologis harus mempertimbangkan mafaat dan risiko.
Waktu yang Dibutuhkan untuk Transport ke Laboratorium PCI
Adanya fasilitas kardiologi Intervensi merupakan penentu utama apakah PCI dapat dikerjakan.
Untuk fasilitas yang dapat mengerjakan PCI, penelitian menunjukkan PCI lebih superior dari
reperfusi farmakologis. Jika composite end point kematian, infark miokard rekuren non fatal atau
strok dianalisis, superioritas PCI terutama dalam hal penurunan laju infark miokard non fatal
berkurang.
Langkah-langkah Penilaian dalam Memilih Terapi Reperfusi pada Pasien STEMI:
Langkah 1: Nilai waktu dan risiko
Waktu sejak onset gejala

Risiko STEMI
Risiko fibrinolisis
Waktu yang dibutuhkan untuk transportasi ke laboratorium PCI yang mampu
Langkah 2: Tentukan apakah firinolisis atau strategi invasif lebih disukai. Jika presentasi kurang
dari 3 jam dan tidak ada keterlambatan untuk strategi invasive, tidak ada preferensi untuk strategi
lain.

Fibinolisis umumnya lebih disukai jika:


Presentasi awal <3 jam atau kurang dari onset gejala dan keterlambatan ke strategi invasive.
Strategi invasive bukan merupakan pilihan.
Laboratorium kateterisasi belum tersedia
Kesulitan akses vascular.
Tidak ada akses ke laboratorium PCI yang mampu.
Terlambat untuk strategi invasive:
-

Transport jauh

(Door-to-balloon)-(Door-to-needle) time lebih dari 1 jm

Medical contact-to-balloon atau door-to-balloon time lebih dari 90 menit.

Strategi invasive umumnya lebih disukai jika:


Laboratorium PCI yang mampu tersedia dengan backup surgical medical contact to balloon atau
door to ballon time <90 menit. (Door to ballon)-(Door to needle) time <1 jam.
Risiko tinggi STEMI
- Syok kardiogenik
- Klas Killip lebih atau sama dengan 3
Kontraindikasi fibrinolisis, termasuk meningkatnya risiko perdarahan dan perdarahan
intracranial.
Presentasi terlambat. Onset gejala > 3 jam yang lalu.

G. TERAPI FARMAKOLOGIS
Antitrombotik
Penggunaan terapi antilatetlet dan antitrombin selama fase awal STEMI berdasarkan bukti klinis
dan laboratories bahwa thrombosis mempunyai peran penting dalam pathogenesis. Tujuan primer
pengobatan adalah untuk mementapkan dan memepertahankan potensi arteri kororner yang
terkait infark. Tujuan sekunder adalah menurunkan tendensi pasien menjadi thrombosis. Aspirin
merupakan antiplatelet standar pada STEMI dapat dilihat pada Antiplatelets Trialists
Collaboration. Data dari hampir 20.000 pasien dengan infark miokard yang berasal dari 15
randomised trial dikumpulkan dan menunjukkan penurunan relative laju mortalitas sebesar 27%
dari 14,2% pada kelompok control dibandingkan 10,4% pada pasien yang mendapat antiplatelet.
PAda penelitian ISIS-2 pemberian aspirin menurunkan mortalitas vascular sebesar 23% dan
infark nonfatal sebesar 49%.
Inhibitor glikoprotein menunjukkan manfaat untuk mencegah komplikasi thrombosis pada pasien
STEMI yang menjalani PCI. Penelitian ADMIRAL membandingkan abciximab dan stenting
dengan placebo dan stenting. Hasilnya menunjukkan penurunan kematian, reinfark atau
revaskularisasi segera dan 20 hari dan 6 bulan pada kelompok abciximab dan stent.
Obat antitrombin standar yang digunakan dalam praktek klinis adalah infractionated heparin.
Pemberian UFHIV segera sebagai tambahan terapi regimen aspirin dan obat trombolitik spesifik
fibrin relative (tPA, rPA atau TNK) membantu trombolisis dan memantapkan serta
mempertahankanpatensi arteri yang terkait infark. Dosis yang direkomendasi adlah bolus 60U/kg
(maksimum 4000U) dilanjutkan infuse inisial 12U/kg perjam (maksimum 1000 U/jam).
Activated partial thromboplastin time selama terapi pemeliharaan harus mencapai 1,5-2 kali.
Antikoagulan alternative pada pasien STEMI adalah low molecular weight heparin (LMWH).
Pada penelitian ASSENT-3 enoksaparin dengan tenekteplase dosis penuh memperbaiki
mortalitas reinfark di Rumah Sakit dan iskemik refrakter di Rumah Sakit.
Pasien dengan infark anterior, disfungsi ventrikel kiri berat, gagal jantung kongestif, riwayat
emboli, thrombus mural pada ekokardiografi 2 dimensi atau fibrilasi atrial merupakan risiko
tinggi tromboemboli paru terapeutik penuh (UFH atau LMWH) selama dirawat, dilanjutkan
sekurang-kurangnya 3 bulan.
Penyekat Beta
Manfaat penyekat beta pada pasien STEMI dapat dibagi menjadi: yang terjadi segera jika obat
diberikan secara akut dan yang diberikan dalam jangka panjang jika obat diberikan untuk
pencegahan sekunder setelah infark. Pemberian penyekat beta akut IV memperbaiki hubungan
suplai dan kebutuhan oksigen miokard, mengurangi nyeri, mengurangi luasnnya infark dan
menurunkan risiko kejadian aritmia ventrikel yang serius.

Terapi penyekat beta pasca STEMI bermanfaat untuk sebagian besar pasien termasuk yang
mendapat terapi inhibitor ACE. Kecuali pada pasien dengan kontraindikasi (pasien dengan gagl
jantung atau fungsi sistolik kiri sangat menurun, blok jantung, hipotensi ortostatik atau riwayat
asma).
Inhibitor ACE
Inhibitor ACE menurunkan mortalitas pasca STEMI dan manfaat terhadap mortalitas bertambah
dengan penambahan aspirin dan penyekat beta. Penelitian SAVE, AIRE, dan TRACE
menunjukkan manfaat inhibitor ACE yang jelas. Manfaat maksimal tampak pada pasien dengan
risiko tinggi (pasien usia lanjut atau infark anterior, riwayat infark sebelumnya, dan atau fungsi
ventrikel kiri menurun global). Namun bukti menunjukkan manfaat jangka pendek terjadi jika
inhibitor ACE diberikan pada semua pasien dengan haemodinamik stabil pada STEMI pasien
dengan tekanan darah sistolik >100 mmHg. Mekanisme yang mengakibatkan mekanisme
remodeling ventrikel pasca infark berulang juga leibh rendah pada pasien yang mnedapat
inhibitor ACE menahun pasca infark.
Inhibitor ACE harus diberikan dalam 2 jam pertama pasien STEMI. Pemberian inhibitor ACE
harus dilanjutkan tanpa batas pada pasien dengan bukti klinis gagal jantung, pada pasien dengan
pemeriksaan imaging menunjukkan penurunan fungsi ventrikel kiri secara global atau terdapat
abnormalitas gerakan dinding global atau pasien hipertensif. Penelitian klkinis dalam tatalaksana
pasien gagal jantung termasuk data dari penelitian klinis pada pasien STEMI menunjukkan
bahwa angiotensin receptor blockers (ARB) mungkin bermanfaat pada pasien dengan fungsi
ventrikel kiri menurun atau gagal jantung klinis yang tak toleran terhadapa ACE inhibitor.
2.7 Algoritma STEMI

Klien merasakan nyeri dada akibat iskemia


Lakukan penanganan :
Monitor ABCs klien, persiapkan untuk melakukan CPR dan defibrilasi
Beri oksigen, aspirin, nitrogliserin, dan morfin jika diperlukan
Jika tersedia lakukan perekaman EKG lead 12. Jika ada elevasi ST :
-

segera hubungi rumah sakit terdekat

mulai untuk memeriksa fibrilasi

Rujuk klien ke rumah sakit


Lakukan pemeriksaan ED (<10menit)

Periksa tanda-tanda vital. Evaluasi saturasi oksigen


Pasang IV line
Lakukan pemeriksaan EKG lead 12
Evaluasi
Lakukan pemeriksaan fibrilasi
Lakukan pemeriksaan elektrolit dan koagulasi
Lakukan foto thoraks
Lakukan perawatan ED :
Beri oksigen 4L/min, pertahankan saturasi >90%
Aspirin 160-325 mg (jika tidak diberikan oleh EMS)
Nitrogliserin subligual, spray, IV
Morfin IV jika nyeri tidak hilang dengan nitrogliserin

H. Komplikasi STEMI
Disfungsi Ventrikular
Setelah STEMI, ventrikel kiri mengalami serial perubahan dalam bentuk, ukuran dan ketebalan
pada segmen yang mengalami infark dan non infark. Proses ini disebut remodeling ventricular
dan umumnya mendahuluai berkembangnya gagal jantung secara klinis dalam hitungan bulan
atau tahun pasca infark. SEgera setetlah infark ventrikel kiri mengalami dilatasi. Secara akut,
hasil ini berasala dari ekspansi infark al: slippage serat otot, disrupsi sel miokardial normal dan
hilangnya jaringan dalam zona nekrotik. Selanjutnya terjadi pula pemanjangan segmen
noninfark, mengakibatkan penipisan yang disproporsional dan elongasi zona infark. Pembesaran
ruang jantung secara keseluruhan yang terjadi dikaitkan ukuran dan lokasi infark, dengan dilatasi
terbesar pasca infark pada apeks ventrikel kiri yang mengakibatkan penurunan hemodinamik
yang nyata, lebih sering terjadi gagal jantung dan prognosis lebih buruk Progresivitas dilatasi dan
knsekuensi klinisnya dapat dihambat dengan terapi inhi bitot ACE dan vasodilator lain. PAda
pasien dengan fraksi ejeksi <40%, tanpa melihat ada tidaknya gagal jantung, inhibitore ACE
harus diberikan.
Gangguan Hemodinamik

Gagal pemompaan (pump failure) merupakan penyebab utama kematian di rumah sakit pada
STEMI. Perluasan nekrosis iskemia mempunyai korelasi yang baik dengan tingkat gagal pompa
dan mortalitas, baik pada awal (10 hari infark) dan sesudahnya. Tanda klinis yang tersering
dijumpai adalah ronki basah di paru dan bunyi jantung S3 dan S4 gallop. Pada pemeriksaan
rontgen sering dijumpai kongesti paru.
c. Komplikasi Mekanik
Ruptur muskulus papilaris, rupture septum ventrikel, rupture dinding vebtrikel. Penatalaksanaan:
operasi.
I.

Prognosis

Kelangsungan hidup kedua pasien STEMI dan NSTEMI selama enam bulan setelah
serangan jantung hampir tidak berbeda. Hasil jangka panjang yang ditingkatkan dengan
kepatuhan hati-hati terhadap terapi medis lanjutan, dan ini penting bahwa semua pasien yang
menderita serangan jantung secara teratur dan terus malakukan terapi jangka panjang dengan
obat-obatan seperti:
ASPIRIN
clopidrogel
statin (cholesterol lowering) drugs
beta blockers (obat-obat yang memperlambat denyut jantung dan melindungi otot jantung)
ACE inhibitors (obat yang meningkatkan fungsi miokard dan aliran darah)
Kerusakan pada otot jantung tidak selalu bermanifestasi sebagai rasa sakit dada yang khas,
biasanya berhubungan dengan serangan jantung. Bahkan jika penampilan karakteristik EKG ST
elevasi tidak dilihat, serangan jantung mengakibatkan kerusakan otot jantung, sehingga cara
terbaik untuk menangani serangan jantung adalah untuk mencegah mereka.
Tabel 2.7.1: Risk Score untuk Infark Miokard dengan Elevasi ST (STEMI)
Faktor Risiko (Bobot)
Skor Risiko/Mortalitas 30 hari(%)
Usia 65-74 tahun (2 poin)
0 (0,8)
Usia > 75 tahun (3 poin)
1 (1,6)

Diabetes mellitus/hipertensi atau angina (1 poin)


2 (2,2)
Tekanan darah sistolik < 100 mmHg (3 poin)
3 (4,4)
Frekuensi jantung > 100 mmHg (2 poin)
4 (7,3)
Klasifikasi Killip II-IV (2 poin)
5 (12,4)
Berat < 67 kg (1 poin)
6 (16,1)
Elevasi ST anterior atau LBBB (1 poin)
7 (23,4)
Waktu ke perfusi > 4 jam (1 poin)
8 (26,8)
Skor risiko = total poin ( 0-14 )
>8 (35,9)

DOWNLOAD : WOC ASKEP IMA STEMI

ASUHAN KEPERAWATAN TEORITIS

A. Pengkajian
Data Demografi/ identitas
Nama : Tn. AHMAD BIN USUP
Umur : 50 Tahun
Alamat: Perak 73 Surabaya
Keluhan Utama
Rasa tertimpa beban berat pada dada kiri.
Riwayat Penyakit Sekarang
Tn. H datang ke RS dengan keluhan nyeri dada juga dirasakan sangat nyeri seperti rasa terbakar
dan ditindih benda berat. Keluhan dirasakan menjalar ke lengan kiri tetapi keluhan agak
berkurang jika OS istirahat.
paru Vesikuler +/+, jantung : Bunyi SI-S2 reguler, cardiomegali (-), bising sistolik (-), dari
pemeriksaan penunjang EKG didapatkan ST elevasi : V1 V5 , ST depresed : II, III, AVF, V6
Riwayat Penyakit Keluarga
Ibu memiliki penyakit riwayat penyakit hipertensi.
Keadaan Umum
Suhu

: 36,5C

Nadi

: 68x/menit

Tekanan Darah: 80/50 mmHg


RR

: 30x/menit

Breathing
Gejala : napas pendek
Pemeriksaan fisik :
Tanda : dispnea, inspirasi mengi, takipnea, pernapasan dangkal.

Blood
Gejala : penyakit jantung congenital
Tanda : takikardia, disritmia, edema.
Brain
Gejala : nyeri pada dada anterior (sedang sampai berat/tajam) diperberat oleh inspirasi
Tanda : Gelisah
Bowel
Normal
Bladder
Normal
Bone
Gejala: kelelahan, kelemahan.
Tanda : takikardia, penurunan tekanan darah, dispnea dengan aktivitas
Terapi
Terapi yang diberikan untuk pasien ini berupa O2 3 4 liter/menit, posisi duduk, diit jantung
I, infus D 5% Lini 16 tetes/menit, Captopril 3 x 6.25 mg (ACE inhibitor), Aspilet 2 x 80 mg (anti
platelet), ranitidin 2 x 150 mg (antagonis reseptor H2), Inj, ISDN diberikan secara sub lingual
bila dada terasa nyeri (Vasodilator).

B. Analisa Data
Data
Etiologi
Masalah Keperawatan
DS: Klien mengeluh nyeri pada bagian anterior, diperberat oleh inspirasi, gerakan menelan.
DO: Gelisah, pucat
Vaskularisasi terganggu

Aliran darah ke arteri koronari terganggu


Iskemia
As Laktat
Nyeri akut
Nyeri akut
DS: Disritmia
DO: riwayat penyakit jantung konginetal
Kontraktilitas jantung menurun
Gagal jantung
Penurunan CO
Penurunan Cardiac Output
DS: Pasien mengeluh lemah karena hipoksia
DO: Pasien terlihat lemah dan pucat karena O2 jaringan menurun.
Rupture dalam pembuluh darah
Obstruksi pembuluh darah
Aliran darah ke jaringan terganggu
Perubahan perfusi jaringan
Perubahan perfusi jaringan
DS: Klien mengeluh sesak, nafas pendek.
DO: dispnea, inspirasi mengi, takipnea, pernapasan dangkal.
Perubahan perfusi jaringan
O2 dalam darah menurun
Kongesti pulmonalis
Sesak nafas

Ketidakefektifan pola nafas


Pola nafas tidak efektif
DS: Pasien mengeluh lemah
DO:Pasien terlihat lemah karena hipoksia
Perubahan perfusi jarigan
O2 dalam darah menurun
Hipoksia
Kelemahan
Intoleransi aktivitas
Intoleransi aktivitas

C. Diagnosa dan Intervensi


1. Nyeri akut berhubungan dengan iskemia jaringan miokardium.
Kriteria hasil: Mengidentifikasi metode yang dapat menghilangkan nyeri,melaporkan nyeri
hilang atau terkontrol.
Intervensi :
Intervensi
Rasional
Kolaboratif
Berikan obat-obatan sesuai indikasi:
Agen non steroid, mis: indometasin(indocin);, ASA(aspirin)
Antipiretik mis: ASA/asetaminofen (tylenol)
Steroid
Oksigen 3-4 liter/menit

Dapat menghilangkan nyeri, menurunkan respon inflamasi.


Untuk menurunkan demam dan meningkatkan kenyamanan.
Diberikan untuk gejala yang lebih berat.
Memaksimalkan ketersediaan oksigen untuk menurunkan beban kerja jantung dan menurunkan
ketidaknyamanan karena iskemia.
Mandiri
Selidiki keluhan nyeri dada, memperhatikan awitan, faktor pemberat atau penurun

Mengetahui lokasi dan derajat nyeri. Pada iskemia miokardium nyeri dapat memburuk dengan
inspirasi dalam, gerakan atau berbaring dan hilang dengan duduk tegak atau membungkuk.
Memberikan lingkungan yang tenang dan tidakan kenyamanan. Mislanya merubah posisi,
menggunakan kompres hangat, dan menggosok punggung
Tindakan ini dapat meningkatkan kenyamanan fisik dan emosional pasien.

2. Resiko terhadap penurunan curah jantung berhubungan dengan penurunan konstriksi fungsi
ventrikel, degenerasi otot jantung.
Kriteria hasil: Menurunkan episode dispnea, angina dan disritmia. Mengidentifikassi perilaku
untuk menurunkan beban kerja jantung.
Intervensi :
Intervensi
Rasional
Mandiri
Pantau irama dan frekuensi jantung
Auskultasi bunyi jantung. Perhatikan jarak / tonus jantung, murmur, gallop S3 dan S4.
Dorong tirah baring dalam posisi semi fowler
Berikan tindakan kenyamanan misalnya perubahan posisi dan gosokan punggung, dan aktivitas
hiburan dalam toleransi jantung

Dorong penggunaan teknik menejemen stress misalnya latihan pernapasan dan bimbingan
imajinasi
Evaluasi keluhan lelah, dispnea, palpitasi, nyeri dada kontinyu. Perhatikan adanya bunyi napas
adventisius, demam

Takikardia dan disritmia dapat terjadi saat jantung berupaya untuk meningkatkan curahnya
berespon terhadap demam. Hipoksia, dan asidosis karena iskemia.
Memberikan deteksi dini dari terjadinya komplikasi misalnya GJK, tamponade jantung.
Menurunkan beban kerja jantung, memaksimalkan curah jantung
Meningkatkan relaksasi dan mengarahkan kembali perhatian
Perilaku ini dapat mengontrol ansietas, meningkatkan relaksasi dan menurunkan kerja jantung
Manifestasi klinis dari GJK yang dapat menyertai endokarditis atau miokarditis
Kolaboratif
Berikan oksigen komplemen
Berikan obat obatan sesuai dengan indikasi misalnya digitalis, diuretik
Antibiotic/ anti microbial IV
Bantu dalam periokardiosintesis darurat
Siapkan pasien untuk pembedahan bila diindikasikan
Meningkatkan keseterdian oksigen untuk fungsi miokard dan menurunkan efek metabolism
anaerob,yang terjadi sebagai akibat dari hipoksia dan asidosis.
Dapat diberikan untuk meningkatkan kontraktilitas miokard dan menurunkan beban kerja
jantung pada adanya GJK ( miocarditis)
Diberikan untuk mengatasi pathogen yang teridentifikasi, mencegah kerusakan jantung lebih
lanjut.
prosedur dapat dilakuan di tempat tidur untuk menurunkan tekanan cairan di sekitar jantung.
Penggantian katup mungkin diperlukan untuk memperbaiki curah jantung

3.

Resiko tinggi terhadap perubahan perfusi jaringan b.d menurunya suplai oksegen ke
otot.

Kriteria hasil: mempertahankan atau mendemonstrasikan perfusi jaringan adekuat secara


individual misalnya mental normal, tanda vital stabil, kulit hangat dan kering, nadi perifer`ada
atau kuat, masukan/ haluaran seimbang.
Intervensi:
Intervensi
Rasional
Mandiri
Evaluasi status mental. Perhatikikan terjadinya hemiparalisis, afasia, kejang, muntah,
peningkatan TD.
Selidiki nyeri dada, dispnea tiba-tiba yang disertai dengan takipnea, nyeri pleuritik, sianosis,
pucat
Tingkatkan tirah baring dengan tepat
Dorong latihan aktif/ bantu dengan rentang gerak sesuai toleransi.
1. Indicator yang menunjukkan embolisasi sistemik pada otak.
2. Emboli arteri, mempengaruhi jantung dan / atau organ vital lain, dapat terjadi sebagai akibat
dari penyakit katup, dan/ atau disritmia kronis
3. Dapat mencegah pembentukan atau migrasi emboli pada pasien endokarditis. Tirah baring
lama, membawa resikonya sendiri tentang terjadinya fenomena tromboembolic.
4. Meningkatkan sirkulasi perifer dan aliran balik vena karenanya menurunkan resiko
pembentukan thrombus.
Kolaborasi
Berikan antikoagulan, contoh heparin, warfarin (coumadin)
Heparin dapat digunakan secara profilaksis bila pasien memerlukan tirah baring lama,
mengalami sepsis atau GJK, dan/atau sebelum/sesudah bedah penggantian katup.
Catatan : Heparin kontraindikasi pada perikarditis dan tamponade jantung. Coumadin adalah
obat pilihan untuk terapi setelah penggantian katup jangka panjang, atau adanya thrombus
perifer.

4. Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan gangguan perfusi jaringan


Kriteria Hasil: mempertahankan pola nafas efektif bebas sianosis, dan tanda lain dari hipoksia.
Intervensi:
Intervensi
Rasional
Mandiri:
Evaluasi frekuensi pernafasan dan kedalaman. Contoh adanya dispnea, penggunaan otot bantu
nafas, pelebaran nasal.
Lihat kulit dan membran mukosa untuk adanya sianosis.
Tinggikan kepala tempat tidur letakkan pada posisi duduk tinggi atau semifowler.
Kecepatan dan upaya mungkin meningkat karena nyeri, takut, demam, penurunan volume
sirkulasi, hipoksia atau diatensi gaster.
Sianosis bibir, kuku, atau daun telinga menunjukkan kondisi hipoksia atau komplikasi paru
Merangsang fungsi pernafasan/ekspansi paru. Efektif pada pencegahan dan perbaikan kongesti
paru.
Kolaborasi:
Berikan tambahan oksigen dengan kanul atau masker, sesuai indikasi
Meningkatkan pengiriman oksigen ke paru untuk kebutuhan sirkulasi khususnya pada adanya
gangguan ventilasi

5.

Intoleransi aktivitas berhubungan dengan inflamasi dan degenerasi sel-sel otot


miokard, penurunan curah jantung

Kriteria hasil: menunjukkan toleransi aktivitas, menunjukkan pemahaman tentang pembatasan


terapeutik yang diperlukan.
Intervensi:
Intervensi

Rasional
Mandiri
Kaji respon pasien terhadap aktivitas. Perhatikan adanya dan perubahan dalam keluhan
kelemahan, keletihan, dan dispnea berkenaan dengan aktivitas
Pantau frekuensi dan irama jantung, tekanan darah, dan frekuensi pernapasan sebelum dan
sesudah aktivitas dan selam di perluka
Mempertahankan tirah baring selama periode demam dan sesuai indikasi.
Membantu klien dalam latihan progresif bertahap sesegera mungkin untuk turun dari tempat
tidur, mencatat respon tanda vital dan toleransi pasien pada peningkatan aktivitas
Evaluasi respon emosional
Miokarditis menyebabkan inflamasi dan kemungkinan kerusakan sel-sel miokardial, sebagai
akibat GJK. Penurunan pengisian dan curah jantung dapat menyebabkan pengumpulan cairan
dalam kantung perikardial bila ada perikarditis. Akhirnya endikarditis dapat terjadi dengan
disfungsi katup, secara negatif mempengaruhi curah jantung
Membantu derajad dekompensasi jantung and pulmonal penurunan TD, takikardia, disritmia,
takipnea adalah indikasi intoleransi jantung terhadap aktivitas.
Demam meningkatkan kebutuhan dan konsumsi oksigen, karenanya meningkatkan beban kerja
jantung, dan menurunkan toleransi aktivitas
Pada saat terjadi inflamasi klien mungkin dapat melakukan aktivitas yang diinginkan, kecuali
kerusakan miokard permanen.
Ansietas akan terjadi karena proses inflamasi dan nyeri yang di timbulkan. Dikungan diperlukan
untuk mengatasi frustasi terhadap hospitalisasi.
Kolaborasi
Berikan oksigen suplemen
Peningkatan ketersediaan oksigen mengimbangi peningkatan konsumsi oksigen yang terjadi
dengan aktivitas.
Kurang pengetahuan kondisi penyakit
Kriteria hasil : menyatakan pemahaman tentang proses inflamasi, kebutuhan pengobatan dan
kemungkinan komplikasi.
Intervensi

Intervensi
Rasional
Mandiri
Jelaskan efek inflamasi pada jantung, ajarkan untuk memperhatikan gejala sehubungan dengan
komplikasi/berulangnya dan gejala yang dilaporkan dengan segera pada pemberi perawatan
misalny demam, nyeri, peningkatan berat badan, peningkatan toleransi terhadap aktifitas.
Anjurkan pasien/orang terdekat tentang dosis, tujuan dan efek samping obat: kebutuhan
diet/pertimbangan khusus: aktivitas yang diizinkan/dibatasi
Kaji ulang perlunya antibiotic jangka panjang/terapi antimikrobial
Tekankan pentingnya evaluasi perawatan medis teratur. Anjurkan pasien membuat perjanjian.
Untuk bertanggung jawab terhadap kesehatan sendiri, pasien perlu memahami penyebab khusus,
pengobatan, dan efek jangka panjang yang diharapkan dari kondisi inflamasi, sesuai dengan
tanda/gejala yang menunjukkan kekambuhan/komplikasi
Untuk bertanggung jawab terhadap kesehatan sendiri, pasien perlu memahami penyebab khusus,
pengobatan, dan efek jangka panjang yang diharapkan dari kondisi inflamasi, sesuai dengan
tanda/gejala yang menunjukkan kekambuhan/komplikasi
Perawatan di rumah sakit lama/pemberian antibiotic IV/antimicrobial perlu sampai kultur darah
negative/hasil darah lain menunjukkan tak ada infeksi.
Pemahaman alasan untuk pengawasan medis dan rencana untuk/penerimaan tanggung jawab

D. Evaluasi
Evaluasi adalah stadium pada proses keperawatan dimana taraf keberhasilan dalam pencapaian
tujuan keperawatan dinilai dan kebutuhan untuk memodifikasi tujuan atau intervensi
keperawatan ditetapkan (Brooker, 2001). Evaluasi yang diharapkan pada pasien dengan
myocarditis (Doenges, 1999) adalah :
Nyeri hilang atau terkontrol
Pasien memiliki cukup energi untuk beraktivitas.
Suplai oksigen adekuat.
Mengidentifikasi perilaku untuk menurunkan beban kerja jantung.

DAFTAR PUSTAKA

Andrianto, Petrus. 1995. Penuntun Praktis Penyakit Kardiovaskular. Jakarta


NIC-NOC aplikasi asuhan keperawatan berdasarkan diagnose medis dan nanda nic-noc Edisi
jilid 3.

You might also like