You are on page 1of 108

SKRIPSI

FORMULASI DAN PEMBUATAN BANANA BARS BERBAHAN DASAR


TEPUNG KEDELAI, TERIGU, SINGKONG DAN PISANG
SEBAGAI ALTERNATIF PANGAN DARURAT

Oleh
Ferawati
F24051044

2009
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR

FORMULASI DAN PEMBUATAN BANANA BARS BERBAHAN DASAR


TEPUNG KEDELAI, TERIGU, SINGKONG DAN PISANG
SEBAGAI ALTERNATIF PANGAN DARURAT

SKRIPSI
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN
Pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan
Fakultas Teknologi Pertanian
Institut Pertanian Bogor

Oleh
Ferawati
F24051044

2009
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN


INSTITUT PERTANIAN BOGOR
FORMULASI DAN PEMBUATAN BANANA BARS BERBAHAN DASAR
TEPUNG KEDELAI, TERIGU, SINGKONG DAN PISANG
SEBAGAI ALTERNATIF PANGAN DARURAT

SKRIPSI
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN
Pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan
Fakultas Teknologi Pertanian
Institut Pertanian Bogor
Oleh
Ferawati
F24051044
Dilahirkan pada tanggal 10 Februari 1988
di Jakarta
Tanggal Lulus :

Agustus 2009

Menyetujui

Prof. Dr. Ir. Deddy Muchtadi, MS


Dosen Pembimbing Akademik

Dr. Ir. Nurheni Sri Palupi, MSi


A.n Ketua Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan
Sekretaris

Ferawati. F24051044. Formulasi dan Pembuatan Banana Bars Berbahan Dasar


Tepung Kedelai, Terigu, Singkong dan Pisang sebagai Alternatif Pangan Darurat. Di
bawah bimbingan Deddy Muchtadi.
RINGKASAN
Kerusakan yang timbul pasca bencana menyebabkan terputusnya jalur distribusi
sehingga sering kali menyulitkan masyarakat pengungsi dalam memenuhi kebutuhan
hidupnya terutama pangan. Bantuan pangan yang biasanya diberikan oleh pemerintah
berupa mie instan dan beras. Bantuan pangan ini tergolong belum efektif dan kurang
dapat memenuhi keseluruhan kebutuhan korban bencana. Salah satu cara untuk
mengatasi hal tersebut adalah dengan merancang pangan darurat yang dapat
memenuhi kebutuhan energi harian manusia dalam keadaan darurat dan dapat
dikonsumsi secara langsung. Emergency Food Product (EFP) merupakan produk
pangan olahan yang dirancang khusus untuk memenuhi kebutuhan energi harian
manusia (2100 kkal) dikonsumsi pada situasi yang tidak normal seperti banjir,
longsor, gempa bumi, musim kelaparan, kebakaran, peperangan dan kejadian lain
yang mengakibatkan manusia tidak dapat hidup secara normal (IOM, 1995).
Penelitian ini dibagi menjadi dua bagian yaitu penelitian pendahuluan dan
penelitian utama. Penelitian pendahuluan terdiri dari pembuatan tepung kedelai dan
tepung singkong kemudian dilanjutkan dengan analisis proksimat bahan baku.
Penelitian utama terdiri dari formulasi produk pangan darurat banana bars,
pembuatan produk pangan darurat banana bars berdasarkan formulasi, analisis
proksimat produk pangan darurat, analisis statistik, uji sensori, dan pendugaan umur
simpan.
Tepung kedelai yang dihasilkan memiliki rendemen sekitar 70.83 %. Hasil
analisis tepung kedelai melputi kadar air sebesar 4.14 %, kadar abu sebesar 5.36 %,
kadar protein sebesar 41.70 %, kadar lemak 24.66 %, dan kadar kabohidrat sebesar
24.14 %. Rendemen tepung singkong yang dihasilkan sekitar 40 %. Hasil analisis
tepung singkong meliputi kadar air sebesar 8.88 %, kadar abu sebesar 2.84 %, kadar
protein sebesar 0.42 %, kadar lemak 1.49%, dan kadar kabohidrat sebesar 86.37 %.
Hasil analisis tepung terigu meliputi kadar air sebesar 13.35 %, kadar abu sebesar
0.70 %, kadar protein sebesar 5.28 %, kadar lemak 11.76 %, dan kadar kabohidrat
sebesar 68.91 %.
Tahap formulasi menghasilkan enam formula. Formula 1 terbuat dengan rasio
tepung kedelai dan pisang (2:3) dan rasio tepung terigu-singkong (1:0), Formula 2
menggunakan rasio tepung kedelai dan pisang (2:3) dan rasio tepung terigu-singkong
(0:1), Formula 3 menggunakan rasio tepung kedelai dan pisang (2:3) dan rasio tepung
terigu-singkong (1:1), Formula 4 menggunakan rasio tepung kedelai dan pisang (1:1)
dan rasio tepung terigu-singkong (1:0), Formula 5 menggunakan rasio tepung kedelai
dan pisang (1:1) dan rasio tepung terigu-singkong (0:1), dan Formula 6 menggunakan
rasio tepung kedelai dan pisang (1:1) dan rasio tepung terigu-singkong (1:1). Hasil
pengolahan data secara statistik untuk keenam formula banana bar menunjukkan
bahwa faktor rasio tepung kedelai-pisang menunjukkan pengaruh yang tidak nyata
pada taraf signifikansi 5 % terhadap respon nilai energi. Faktor rasio tepung terigu-

tepung singkong berpengaruh nyata terhadap respon nilai energi pada taraf
signifikansi 5 %. Interaksi antara kedua faktor tidak memberikan pengaruh yang
nyata terhadap respon nilai energi. Sehingga diputuskan menggunakan rasio tepung
kedelai-pisang 2:3 dan tetap menggunakan ketiga taraf rasio tepung terigu-tepung
singkong. Formula yang masuk ke tahap uji organoleptik adalah formula 1, formula
2, dan formula 3. Setelah uji organoleptik didapat bahwa formula terpilih adalah
formula 3 (dengan rasio tepung kedelai pisang (2:3) dan rasio tepung terigu singkong
(1:1)).
Hasil uji pendugaan umur simpan dengan parameter kadar air pada suhu 28oC
memiliki umur simpan selama 2.13 bulan, dan parameter tekstur objektif pada suhu
28oC memiliki umur simpan selama 3.17 bulan. Hasil uji mikrobiologi awal
menunjukkan bahwa produk pangan darurat banana bars memiliki total mikroba
2.3x102 koloni/gram, sedangkan untuk total kapang-khamir sebesar 1.0x101
koloni/gram. Pengujian mikrobiologi juga dilakukan pada hari penyimpanan ke-28.
Hasil uji menunjukkan jumlah total mikroba pada produk yang disimpan di suhu
37oC sebesar 6.9x102 koloni/gram, untuk produk yang disimpan pada suhu 45oC
nilai TPC sebesar 7.5x102 koloni/gram, dan untuk produk yang disimpan pada suhu
50oC nilai TPC sebesar 9.0x102 koloni/gram. Hasil uji total Kapang-Khamir produk
yang disimpan di suhu 37oC sebesar 2.4x101 koloni/gram, untuk produk yang
disimpan pada suhu 45oC sebesar 4.5x101 koloni/gram, dan untuk produk yang
disimpan pada suhu 50oC nilai TPC sebesar 9.0x101 koloni/gram. Perkiraan biaya
produksi produk banana bars yaitu Rp. 1130.09/50 gram.

RIWAYAT HIDUP

Penulis merupakan anak kedua dari pasangan Bonang


Supriyatna Lukman dan Ratnawati. Penulis dilahirkan di Jakarta pada
tanggal 10 Februari 1988. Penulis menempuh pendidikan sekolah
dasar di SDS Sapta Setia (1993-1999), kemudian SMPN 1 Cikini
(1999-2002), lalu SMAN 68 Jakarta (2002-2005). Penulis diterima di IPB pada tahun
2005 melalui jalur SPMB (Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru).
Selama menempuh pendidikan di IPB, penulis aktif dalam berbagai kegiatan
organisasi maupun kepanitiaan. Penulis menjadi staff pengurus HIMITEPA
(Himpunan Mahasiswa Ilmu dan Teknologi Pangan) divisi Kaderisasi pada tahun
kepengurusan 2006-2007, kemudian pada tahun kepengurusan berikutnya penulis
menjadi staff pengurus divisi DPPI. Penulis juga terlibat dalam kepanitiaan HACCP
V, Baur, Hari Bumi, dan Art IPB Day. Selain itu penulis juga ikut berpartisipasi
menjadi penyuluh dalam Kampanye Keamanan Pangan bagi anak Sekolah Dasar dan
Pedagang lingkar kampus IPB.
Penulis tergabung dalam tim penerima dana penelitian Indofood Riset
Nugraha dengan judul penelitian Fornulasi dan Pembuatan High Protein Banana
Bars Berbahan Dasar Kedelai dan Pisang. Penulis juga pernah menjadi presenter
pada 8th National Student Conference, UNIKA Soegijapranata, Semarang dengan
judul Emergency Food Product Innovation : The Role of Food Technology Student
in Social Based Research. Sebagai tugas akhir penulis melakukan penelitian yang
berjudul Formulasi dan Pembuatan Banana Bars Berbahan Dasar Tepung Kedelai,
Terigu, Singkong dan Pisang sebagai Alternatif Pangan Darurat dibawah bimbingan
Prof. Dr. Ir. Deddy Muchtadi, MS.

KATA PENGANTAR

Segala puji bagi hanya bagi Allah SWT karena atas berkat dan rahmat-Nya
yang tiada terkira penulis dapat menyelesaikan skripsi ini sebagai tugas akhir dengan
baik dan lancar. Banyak pihak yang terlibat dalam pembuatan skripsi ini. Penulis
ingin mengucapkan terima kasih kepada :
1. Mama dan Papa yang telah mencurahkan kasih sayang, doa, cinta, dukungan dan
semangat yang tiada henti sehingga penulis dapat menyelesaikan karya ini.
2. Bapak Prof. Dr. Ir. Deddy Muchtadi, MS selaku dosen pembimbing yang telah
memberikan bimbingan kepada penulis dalam menyusun skripsi, serta saran dan
kritik yang sangat berguna bagi penulis.
3. Bapak Ir. Sutrisno Koswara, MSi dan Ibu Elvira Syamsir, STp, MSi selaku dosen
penguji yang telah memberikan banyak saran membangun untuk penulis.
4. Underline team : Wahyu, Tiyu, Beqi dan Umam. Terima kasih atas petualangan
backpacker JogloSemar dan kebersamaan yang telah kita lalui bersama. Selamat
meniti mimpi kawan.
5. Teman-teman F-Track : Wiwi, Hesti, Cha2, Nina, Venty, Aji, Haris, Nanda,
Midun dan Ardi. Terima kasih atas perjalanan, petualangan, canda tawa dan
kebersamaan yang tak terlupakan bagi penulis.
6. Farkhatus, Belinda dan Tjan. Rekan-rekan satu bimbingan dan tim IRN, terima
kasih untuk dukungan dan semangat kalian.
7. Teman-teman sesama penghuni lab biokim dan sekitarnya : Tuti, Cath, Kamlit,
Peye, Yuni, Adi Leo, Arya, Galih Ika, Galih Eka, Santy, Indri, Reni, Dewi, Septi,
Riska, Siyam, Sobur, Isna, Yusi, Ola, Susan, Tere, Suhendri, Riza, Muji, Fahmi
dan Ikhwan. Geng kosan centil : Cany, Sina, Wita dan Mike.

8. Hesti Woro dan Tantri. Terima kasih atas waktu yang telah kalian luangkan untuk
mendengarkan curahan hati penulis dan canda tawa kalian yang menghibur =).
9. Seluruh laboran dan teknisi laboratorium ITP : Bu Rub, Bu Antin, Pak Wahid,
Pak Sobirin, Pak Yahya, Mas Edi, Pak Sidik dan Pak Rozak.
10. Semua teman-teman ITP 42 The Golden Generation yang tidak bisa penulis
sebutkan satu per satu. Penulis bangga menjadi bagian dari kalian.

Bogor, Agustus 2009

Penulis

DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR.

DAFTAR ISI..... iii


DAFTAR TABEL......... v
DAFTAR GAMBAR........ vi
DAFTAR LAMPIRAN.... vii
I. PENDAHULUAN.. 1
A. Latar Belakang............................................................................................... 1
B. Tujuan. 3
II. TINJAUAN PUSTAKA......

A. Pangan Darurat (Emergency Food Product) 4


B.

Produk Pangan Darurat Komersial. 5

C.

Bars 7

D. Kedelai........... 8
E. Pisang. 10
F. Singkong 11
G. Terigu.... 12
H. Umur Simpan.... 13
III. METODOLOGI PENELITIAN...... 16
A. Bahan dan Alat. 16
B. Metode Penelitian. 16
1. Penelitian Pendahuluan..... 16
2. Penelitian Utama... 19
C. Metode Analisis.... 21
D. Rancangan Percobaan... 26
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN.. 28
A. Penelitian Pendahuluan..... 28
1. Pembuatan Tepung Kedelai..... 28
2. Pembuatan Tepung Singkong.. 29

3. Karakterisasi Bahan Baku.... 30


B. Penelitian Utama... 33
1. Formulasi Produk Pangan Darurat Banana Bars.. 33
2. Pembuatan Produk dan Optimasi Suhu Pemanggangan... 34
3. Analisis Statistik.. 37
4. Hasil Uji Sensori.. 40
5. Perubahan Mutu Produk selama Penyimpanan... 43
6. Pendugaan Umur Simpan.... 54
7. Hasil Uji Mikrobiologi. 62
8. Hasil Analisis Biaya.... 63
V. KESIMPULAN DAN SARAN.....

64

DAFTAR PUSTAKA.....

66

LAMPIRAN..... 69

DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1 Komposisi kimia tepung kedelai per 100 gram bahan............................... 9
Tabel 2 Komposisi kimia pisang ambon (setiap 100 gram daging buah)... 11
Tabel 3 Komposisi kimia tepung singkong 12
Tabel 4 Komposisi kimia tepung terigu cap Kunci Biru 13
Tabel 5 Formula lengkap produk banana bars... 19
Tabel 6 Data hasil analisis proksimat bahan baku.. 32
Tabel 7 Kandungan makronutrien dan energi bahan penyusun Produk Pangan
Darurat.................................................................. 34
Tabel 8 Kandungan makronutrien dan energi tiap formula.... 38
Tabel 9 Nilai rataan skor panelis untuk keempat atribut sensori..... 40
Tabel 10 Jumlah Makronutrien dan Kandungan Energi Formula Terpilih/50gr
Produk............. 42
Tabel 11 Nilai peningkatan kadar air selama penyimpanan.................................... 45
Tabel 12 Nilai peningkatan nilai aw selama penyimpanan....................................... 46
Tabel 13 Nilai kekerasan selama penyimpanan....................................................... 48
Tabel 14 Penurunan skor kesukaan parameter organoleptik atribut aroma............. 51
Tabel 15 Penurunan skor kesukaan parameter organoleptik atribut rasa................ 52
Tabel 16 Penurunan skor kesukaan parameter organoleptik atribut tekstur........... 54
Tabel 13 Nilai Awal dan Nilai Kritis Berdasarkan Beberapa Parameter................. 55
Tabel 15 Nilai k dan ln k pada Tiga Suhu Penyimpanan parameter kadar air......... 56
Tabel 16 Nilai k dan ln k pada Tiga Suhu Penyimpanan parameter tekstur............ 59
Tabel 17 Perkiraan biaya produksi banana bars...... 63

DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1 Food Bars.............................................................................................. 6
Gambar 2 Meals-Ready-to-Eat............................................................................... 7
Gambar 3 Camping Pouch Product .. 7
Gambar 4 Diagram Proses Pembuatan Tepung Kedelai........................................ 17
Gambar 5 Proses pembuatan tepung singkong...................................................... 18
Gambar 6 Proses pembuatan Banana Bars............................................................ 20
Gambar 7 Hubungan linier ln konstanta laju reaksi dengan kebalikan suhu
pada plot Arrhenius.. 24
Gambar 8 Biji kedelai var. Baluran dan tepung kedelai... 29
Gambar 9 Tepung Singkong. 30
Gambar 10 Banana Bars 35
Gambar 11 Hasil Uji Duncan untuk faktor rasio tepung terigu:singkong... 39
Gambar 12 Grafik Pola Kenaikan Kadar Air selama Penyimpanan........................ 45
Gambar 13 Grafik Pola Kenaikan Nilai aw selama Penyimpanan............................ 47
Gambar 14 Grafik Pola Penurunan Nilai Kekerasan selama Penyimpanan............. 49
Gambar 15 Grafik Uji Organoleptik Perubahan Tingkat Kesukaan terhadap
Atribut Aroma pada 3 suhu penyimpanan............................................ 51
Gambar 16 Grafik Uji Organoleptik Perubahan Tingkat Kesukaan terhadap
Atribut Rasa pada 3 suhu penyimpanan................................................ 53
Gambar 17 Grafik Uji Organoleptik Perubahan Tingkat Kesukaan terhadap
Atribut tekstur pada 3 suhu penyimpanan............................................ 54
Gambar 18 Grafik Hubungan ln k rata-rata kadar air dengan suhu (1/T)................ 57
Gambar 19 Grafik Hubungan ln k rata-rata nilai kekerasan dengan suhu (1/T)...... 59

DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1. Perhitungan Perkiraan Energi Formula 1 69
Lampiran 2. Perhitungan Perkiraan Energi Formula 2 70
Lampiran 3. Perhitungan Perkiraan Energi Formula 3 71
Lampiran 4. Perhitungan Perkiraan Energi Formula 4 72
Lampiran 5. Perhitungan Perkiraan Energi Formula 5 73
Lampiran 6. Perhitungan Perkiraan Energi Formula 6 74
Lampiran 7. Hasil Pengolahan data Rancangan Percobaan. 75
Lampiran 8. Form Uji Hedonik 76
Lampiran 9. Hasil Uji Hedonik 77
Lampiran 10. Spesifikasi Alat Pengukur Tekstur Objektif Rheoner... 82
Lampiran 11. Kuesioner Uji Rating Hedonik Uji Pendugaan Umur Simpan.......... 83
Lampiran 12. Tabulasi Data Uji Umur Simpan... 84
Lampiran 13. Grafik Ordo nol dan Ordo satu tiap Parameter.. 88
Lampiran 14. Umur simpan banana bars berdasarkan atribut aroma, parameter
atribut rasa, kadar air, dan tekstur objektif........................................ 90

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang tersusun dari
17.504 pulau sehingga keadaan geografis Indonesia tergolong kompleks. Keadaan
geografis yang kompleks dengan berbagai kondisi alam yang makin memburuk
seperti terjadinya bencana alam (gunung meletus, gempa bumi, longsor, banjir)
mengakibatkan kerugian yang besar dan korban jiwa. Akhir tahun 2004 terjadi
gempa bumi dan tsunami di Aceh dan Sumatera Utara yang menyebabkan
150.000 orang hilang. Pada tahun berikutnya, 2005, gempa bumi kembali terjadi
di pulau Nias dan pada tahun 2006 di Yogyakarta dan sebagian Jawa Tengah
terjadi gempa bumi yang menelan 5.000 korban jiwa. Selain menelan korban
jiwa, bencana juga menimbulkan ribuan orang kehilangan tempat tinggal
sehingga mengungsi. Ketika gempa bumi melanda Yogyakarta dan sebagian Jawa
Tengah jumlah pengungsi sekitar 2.216 jiwa, bencana tsunami di Aceh dan Nias
mengakibatkan sekitar 80 ribu jiwa harus mengungsi dan hidup di tenda darurat.
Bencana jebolnya tanggul Situ Gintung pada tahun 2009 menyebabkan 902 orang
mengungsi dan 100 orang tewas (Anonim, 2009).
Bencana yang terjadi selain menelan banyak korban jiwa juga menyebabkan
banyak kerusakan infrastruktur. Kerusakan yang timbul pasca bencana
menyebabkan terputusnya jalur distribusi sehingga sering kali menyulitkan
masyarakat dalam memenuhi kebutuhan hidupnya terutama pangan. Keadaan ini
memerlukan reaksi yang cepat dari pemerintah. Bantuan pangan yang biasanya
diberikan oleh pemerintah berupa mie instan dan beras. Bantuan pangan ini
tergolong belum efektif dan kurang dapat memenuhi keseluruhan kebutuhan
korban bencana karena terbatasnya akses masyarakat korban bencana terhadap air
bersih, bahan bakar, dan juga peralatan memasak. Selain belum efektif, bantuan
pangan yang diberikan oleh pemerintah juga sering kali tidak memenuhi
kebutuhan gizi masyarakat pengungsi, misalnya pemberian bantuan pangan
berupa mie instan tanpa pemberian telur sehingga masyarakat hanya

mengkonsumsi karbohidrat saja yang tentunya tidak mencukupi asupan energi


harian mereka. Kondisi seperti ini dapat mendorong terjadinya bencana lain yang
lebih besar yaitu kelaparan pasca bencana.
Salah satu cara untuk mengatasi hal tersebut adalah dengan merancang
pangan darurat yang dapat memenuhi kebutuhan energi harian manusia dalam
keadaan darurat dan dapat langsung dikonsumsi. Emergency Food Product (EFP)
merupakan produk pangan olahan yang dirancang khusus untuk memenhuhi
kebutuhan energi harian manusia (2100 kkal) dikonsumsi pada situasi yang tidak
normal seperti banjir, longsor, gempa bumi, musim kelaparan, kebakaran,
peperangan dan kejadian lain yang mengakibatkan manusia tidak dapat hidup
secara normal (IOM, 1995). Namun, pangan darurat ini selain untuk bantuan
pangan korban bencana, juga dapat berfungsi sebagai ransum untuk keperluan
militer, makanan untuk pendaki gunung dan sumber makanan untuk kegiatan
outbond.
EFP dapat dibuat dalam berbagai bentuk pangan seperti dodol (produk
IMF), nasi dalam kaleng ataupun cookies. Pembuatan produk EFP dapat
menggunakan bahan pangan lokal seperti kedelai, pisang, singkong, ubi jalar dan
lain-lain sehingga produk ini dapat dikembangkan dan diproduksi oleh daerah,
untuk meningkatkan ketahanan pangan didaerahnya dalam menghadapi situasi
darurat karena bencana. Menurut Badan Pusat Statistik tahun 2009, produktifitas
kedelai lokal mencapai 13.32 Qu/ha, komoditas pisang mencapai 5 juta ton, dan
komoditas singkong mencapai 182.44 Qu/ha. Produktifitas yang cukup tinggi ini
menunjukkan besarnya potensi bahan lokal sebagai bahan baku pangan darurat.
Bentuk

pangan

darurat

yang

berupa

bars

ini

dipilih

dengan

mempertimbangkan kemudahan dalam konsumsinya. Bahan baku tepung kedelai


merupakan sumber protein yang sangat baik, paling sering digunakan dan murah,
pisang berperan sebagai sumber flavor unik yang dapat menutupi flavor langu
yang biasanya terdapat pada tepung kedelai, tepung terigu dan tepung singkong
merupakan bahan pembentuk tekstur. Tepung singkong diharapkan dapat

mensubstitusi tepung terigu yang masih impor dan sebagai salah satu cara
diversifikasi pangan.

B. Tujuan
1. Menentukan formulasi dan desain proses pembuatan EFP (Emergency Food
Product) banana bars berbahan dasar kedelai dan pisang berdasarkan
kebutuhan energi 2100 kkal dengan sifat sensori, sifat fisiko kimia dan
mikrobiologi yang dapat diterima.
2. Menentukan jenis formula EFP (Emergency Food Product) terpilih yang
diharapkan dapat meningkatkan efektifitas pemberian bantuan pada korban
bencana.

II.TINJAUAN PUSTAKA

A. Pangan Darurat (Emergency Food Product)


Pangan darurat (Emergency Food Product) merupakan pangan yang
diproduksi untuk memenuhi kebutuhan energi harian manusia (2100 kkal berasal
dari makronutrien) dalam kondisi darurat (IOM, 1995). Keadaan darurat tersebut
adalah banjir, longsor, gempa bumi, musim kelaparan, kebakaran, peperangan dan
kejadian lain yang mengakibatkan manusia tidak dapat hidup secara normal. Ada
dua jenis EFP, jenis EFP pertama merupakan pangan darurat yang dirancang
untuk kondisi dimana para korban bencana dapat memasak atau mempersiapkan
makanan. Jenis EFP yang kedua adalah pangan darurat yang didesain untuk
kondisi dimana akses terhadap air dan api terbatas sehingga para korban bencana
tidak dapat memasak makanan. Pangan darurat untuk korban bencana, terutama
yang bersifat siap santap, sampai saat ini belum dikembangkan di Indonesia tetapi
sudah banyak berkembang untuk kepentingan tentara di lapangan (Syamsir,
2008).
Tujuan dari EFP adalah mengurangi kematian para korban bencana dengan
menyediakan makanan yang secara nutrisi lengkap sehingga dapat menjadi
sumber nutrisi selama lima belas hari terhitung dari awal pengungsian terjadi.
Terdapat lima karakteristik kritis untuk mengembangkan EFP : 1) Aman, 2)
Memiliki warna, aroma, tekstur dan penampakan yang dapat diterima, 3) Mudah
didistribusikan, 4) Mudah digunakan dan 5) Nutrisi lengkap. EFP didesain untuk
memiliki kandungan energi sebanyak 2100 kkal yang terdiri dari 35-45 % lemak,
10-15 % protein dan 40-50 % karbohidrat (Zoumas et al, 2002).
Penerimaan warna, aroma, tekstur dan penampakan dari EFP menjadi faktor
utama dalam pemilihan bahan-bahan pembuatnya. Lemak berfungsi sebagai
sumber energi, membuat produk menjadi ringan, sebagai carrier vitamin larut
lemak dan sumber asam lemak esensial. Jumlah protein maksimum sebesar 15 %,
hal ini diatur untuk menghindari gangguan ginjal dan masalah kehausan (Zoumas
et al, 2002).

Ada beberapa asumsi yang digunakan dalam mengembangkan komposisi


nutrisi EFP (Zoumas et al, 2002) yaitu :

Potable water harus disediakan bersamaan dengan pemberian EFP

Individu (pengungsi) harus mengkonsumsi pangan ini untuk


memenuhi kebutuhan energinya

Semua individu (pengungsi) dengan usia diatas 6 bulan akan


mengkonsumsi pangan darurat ini

Produk ini merupakan sumber energi utama bagi korban bencana


selama 15 hari

Kebutuhan nutrisi bagi wanita hamil dan menyusui tidak dimasukkan


dalam perhitungan pembuatan EFP, tetapi diasumsikan bahwa mereka
harus mengkonsumsi EFP melebihi asupan energi rata-rata per harinya
(>2100 kkal)

Beberapa jenis EFP telah dikembangkan di luar negeri, diantaranya : Meal


Ready To Eat (MRE), MRE ini biasanya digunakan sebagai ransum dan dikemas
dalam retort pouch, tahan hingga 7 tahun dalam penyimpanan dingin, Camping
Pouch Product, sama seperti MRE namun dibuat dengan metode freeze drying,
dan Canned Emergency Food.

B. Produk Pangan Darurat Komersial


Produk pangan darurat atau Emergency Food Product telah banyak
dikembangkan diluar negeri. Ada berbagai bentuk pangan darurat diantaranya
food barss, Meal Ready to Eat, Camping Pouch Product, dan Long Life Food
Supply.
Food Bars
Merupakan cookies yang diformulasi secara khusus sehingga tidak
menyebabkan rasa haus dan memiliki kandungan protein tinggi. Setiap bars-nya
mengandung vitamin dan mineral dalam jumlah berlebih. Produk ini memiliki

umur simpan sekitar lima tahun dan dapat disimpan pada kisaran temperatur yang
ekstrem. Dikemas dalam bentuk 3-days package yang mengandung 9 bar dengan
nilai energi sekitar 400 kkal/bar. Bentuk Food Bars dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1 Food Bars.

MREs (Meals-Ready-to-Eat)
Produk jenis ini merupakan salah satu bentuk ransum untuk keperluan
militer. MREs dikemas dalam kemasan khusus yang tertutup rapat dan tidak
terekspos udara. MREs berbentuk dapat berbentuk pangan lengkap yang
mengandung daging, sayur atau buah, kacang, kraker berprotein tinggi, dan lainlain. Bentuk Meals-Ready-to-Eat dapat dilihat pada Gambar 2.

Camping Pouch Products


Produk ini dikemas dalam kemasan alumunium foil dan memilki umur
simpan sekitar dua tahun pada suhu ruang. Pangan ini merupakan pangan hasil
dehidrasi atau freeze dried. Sebelum dikonsumsi pangan ini membutuhkan
tambahan air panas. Bentuk Camping pouch product dapat dilihat pada Gambar 3.

Gambar 2 Meals-Ready-to-Eat.

Gambar 3 Camping Pouch Product.

C. Bars
Bars adalah produk pangan padat yang berbentuk batang dan merupakan
campuran dari berbagai bahan kering seperti sereal, kacang-kacangan, buahbuahan kering yang digabungkan menjadi satu dengan bantuan binder. Binder
dalam barss dapat berupa sirup, nougat, caramel, coklat, dan lain-lain (Gillies,
1974 diacu dalam Rahmi, 2003). Bentuk bars dipilih karena kemudahan dalam
konsumsi. Pangan berbentuk bars mudah dibuat dan dikreasikan dengan berbagai
macam bahan. Pada penelitian ini binder yang digunakan adalah puree pisang.

Bahan-bahan penyusun bars terdiri dari margarin, gula, garam, tepung terigu,
tepung singkong, tepung kedelai, dan pisang.
Lemak merupakan bahan baku yang sangat penting dalam pembuatan bars.
Lemak dapat berasal dari hewan (butter dan lard) atau dari tumbuhan (margarin).
Kemampuan membentuk krim oleh lemak pada pembuatan kue diperlukan karena
adanya kemampuan lemak untuk menangkap dan menahan sel-sel udara bila
lemak terus dikocok kuat-kuat, terutama bila dicampur dengan bahan adonan
lainnya, seperti gula dan tepung. Margarin berperan untuk meningkatkan
penerimaan, terutama flavor. Gula berfungsi sebagai pemanis nutritif, pembentuk
tekstur, pemberi warna, dan pengontrol penyebaran adonan. Garam berperan
untuk menguatkan flavor, membantu dalam pelarutan gluten untuk menciptakan
struktur yang baik dalam adonan. Sebagian besar formula kue menggunakan 1%
garam atau kurang. Tepung terigu yang digunakan dalam pembuatan bars adalah
tepung terigu lunak dengan kadar protein sekitar 8-9 %. Tepung terigu berfungsi
membentuk adonan selama proses pencampuran, menarik atau mengikat bahan
lainnya serta mendistribusikannya secara merata, mengikat gas selama proses
fermentasi dan membentuk struktur selama pemanggangan (Matz, 1978). Tepung
singkong berperan sebagai bahan pembentuk tekstur, penambahan tepung
singkong ini diharapkan dapat menggantikan atau mensubstitusi tepung terigu
sebagai pembentuk tekstur. Tepung kedelai berperan sebagai sumber protein dan
sumber lemak. Pisang berperan sebagai binder atau pengikat untuk produk bars
ini.

D. Kedelai
Kedelai (Glycine max Merr.) termasuk dalam famili Leguminosa, sub famili
Papillionaceae dan Genus Glycine L. Kacang kedelai merupakan bahan pangan
sumber protein nabati untuk manusia dan hewan di berbagai negara. Bentuk,
ukuran, warna biji, sifat fisik dan sifat kimia kacang kedelai bervariasi tergantung
pada varietasnya. Bentuk biji pada umumnya bundar sampai lonjong agak

memanjang dengan warna kuning, hijau, coklat, atau kehitaman (Liu, 1997).
Komposisi kimia tepung kedelai dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1 Komposisi kimia tepung kedelai per 100 gram bahan
Komponen

Komposisi

Air (g)

5.1

Protein (g)

34.5

Karbohidrat (g)

35.2

Lemak (g)

20.6

Abu (g)

4.4

Kalsium (mg)

205.9

Zat Besi (mg)

6.4

Magnesium (mg)

428.6

Fosfor (mg)

494

Potassium (mg)

2515

Sodium (mg)

12.9

Sumber: USDA (2008)


Dilihat dari segi pangan dan gizi, kedelai merupakan sumber protein yang
paling murah di dunia dengan kadar 30.53 sampai dengan 40.00%. Berdasarkan
kelarutannya, protein leguminosa digolongkan ke dalam albumin yang larut
dalam air dan globulin yang larut dalam larutan garam. Sebagian besar protein
kedelai adalah globulin. Protein kedelai mengandung asam amino esensial yang
lengkap dengan asam amino pembatas methionin. Selain kadarnya yang tinggi,
protein kedelai adalah protein yang lengkap kualitasnya hampir menyamai
kualitas protein hewani. Nilai gizi protein kedelai dibatasi oleh faktor antitripsin
serta kompaknya struktur kuarterner dan tersier protein kedelai (Liu, 1997).
Selain mengandung protein, kacang kedelai mengandung lemak yang
cukup tinggi. Kacang kedelai mengandung asam lemak tidak jenuh yang termasuk
esensial, yaitu asam linoleat, linolenat yang sangat diperlukan tubuh. Lemak
kedelai mengandung 86% linoleat, dan oleat, 10% palmitat, dan 2% masingmasing untuk stearat dan arachidat. Karbohidrat kedelai sebagian besar terdiri dari

disakarida dan oligosakarida, yaitu 2.5-8.2% sukrosa, 0.1-0.9% rafinosa, dan 1.44.1% stakiosa (Shurtleff dan Aoyagi, 1979).
Citarasa langu (beany atau painty off flavor) merupakan hambatan utama
dalam usaha memproduksi makanan asal kedelai. Bau langu disebabkan oleh
enzim lipoksigenase yang dapat mengkatalisis reaksi oksidasi asam lemak tidak
jenuh sehingga menghasilkan senyawa volatil etil fenil keton (Hariyadi, 1997).

E. Pisang
Tanaman pisang termasuk dalam famili Musaceae, ordo Zingiberales.
Famili Musaceae, mempuyai dua genera yaitu Musa dan Ensete. Semua varietas
yang buahnya dapat dimakan dimasukkan ke dalam genus Musa (Palmer, 1971).
Pisang dapat diklasifikasikan menjadi dua kelas besar, yaitu:
1. Pisang yang dapat dimakan langsung (banana), terdiri dari dua varietas, yaitu:
a. Musa paradisiaca var. Sapientum (L) Kunze (M. sapientum var.
paradisiaca Baker)
b. Musa nana Lour (M. chinensis Sweet, M. cavendishii Lamb)
2. Pisang yang umumnya dimakan setelah dimasak terlebih dahulu (plantain),
yaitu Musa paradisiaca L.
Jenis pisang yang termasuk dalam tipe pisang buah (banana) antara lain
ambon putih, ambon hijau, pisang mas, pisang raja, pisang susu, pisang badak,
pisang seribu, dan pisang angleng. Jenis pisang yang tergolong dalam plantain
antara lain pisang siam, pisang nangka, pisang kapas, pisang kepok, pisang
gembor, pisang menggala, dan pisang tanduk (Munadjim, 1983).
Komponen utama penyusun buah pisang adalah air yang mencapai 75%
pada buah yang telah matang. Karbohidrat merupakan komponen penyusun kedua
setelah air, kandungannya sekitar 20-25%. Jenis karbohidrat yang lain dalam buah
pisang adalah serat kasar dan pektin. Serat kasar menyusun sekitar 0,84 persen
daging buah. Daging buah pisang mengandung 0.5% lignin, 0,21% selulosa, dan
0,12% hemiselulosa (Chandler, 1995).

Pisang matang mengandung komponen volatil yang relatif tinggi


kelengkapannya dan sebagian besar terdiri atas campuran kompleks ester-ester,
namun demikian alkohol, aldehid, keton dan senyawa aromatik juga ada. Flavor
seperti pisang ditentukan oleh ester amil dan isoamil dari asam asetat, propionat
dan

butirat,

sedangkan

alkohol

dari

karbonil

memberikan

bau

yang

menggambarkan sebagai green, woody atau musty. Komposisi kimia pisang


ambon dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2 Komposisi kimia pisang ambon (setiap 100 gram daging buah)
Jenis pisang

Ambon

Protein (g)

1.2

Lemak (g)

0.2

Karbohidrat (g)

25.8

Air (g)

72

Kalsium (mg)

Fosfor (mg)

28

Besi (mg)

0.5

Sumber : Prawiranegara (1981)

F. Singkong
Ubi kayu atau singkong termasuk ke dalam Kingdom Plantae, divisi
Spermatophyta,

subdivisi

Angiospermae,

kelas

Dicotyledone,

famili

Euphorbiaceae, genus Manihot dengan spesies esculenta Crantz dengan berbagai


varietas. Singkong digolongkan ke dalam dua jenis yaitu Manihot palmata
(singkong pahit) dan Manihot aipi (singkong manis). Singkong mengandung
sianogenik gliukosida linamarin dan lotaustralin yang akan menghasilkan asam
sianida jika terjadi kerusakan pada sel tanaman.
Singkong manis mengandung asam sianida kurang dari 50 mg/kg umbi
segar. Linamarin akan menghasilkan glukosa, aseton dan HCN apabila
dihidrolisis, sedangkan lotuaustralin akan menghasilkan glukosa, metil etil keton

dan HCN (Muchtadi, 1991). Hidrolisis terjadi karena kerja enzim linamarinase
endogen yang bertemu dengan substratnya (glukosida) bila terjadi kerusakan sel
secara fisik. Enzim ini terdapat di luar sel.
Singkong dapat diolah menjadi bentuk tepung singkong dan tapioka.
Tepung singkong berbeda dengan tepung tapioka baik dari segi pengolahannya
maupun dalam hal komposisi kimianya. Pembuatan tepung singkong tidak
menggunakan tahap ekstraksi pati sehingga komponen kimia yang terdapat pada
tepung singkong relatif sama dengan komposisi kimia dalam umbi singkong
(Fadilah, 2004). Tepung singkong dapat dibuat melalui dua cara yaitu pembuatan
tepung singkong melalui penepungan irisan singkong yang telah dikeringkan dan
penepungan parutan tepung singkong yang telah dikeringkan. Komposisi tepung
singkong dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3 Komposisi kimia tepung singkong per 100 gram bahan
Komponen
Protein (g)

Komposisi
1.6

Karbohidrat (g)

79.8

Lemak (g)

1.6

Sodium (mg)

417
Sumber : Anonimd (2008)

G. Terigu
Tepung gandum (terigu) biasanya merupakan bahan utama dalam
pembuatan cookies. Dalam hal ini karakter bars menyerupai cookies yaitu tidak
butuh pengembangan yang besar, tetapi bars umumnya lebih empuk
dibandingkan cookies. Oleh karena kesamaan karakter inilah maka untuk
membuat barss dapat digunakan pula bahan baku pembuat cookies yaitu terigu
ataupun jenis tepung lainnya. Berbeda dengan tepung-tepung lainnya, tepung
gandum mengandung protein yang unik, yang disebut gluten (Husain, 1993).
Gluten merupakan campuran antara dua kelompok atau jenis protein gandum,

yaitu glutenin dan gliadin. Glutenin memberikan sifat-sifat yang tegar dan gliadin
memberikan sifat yang lengket sehingga mampu memerangkap gas yang
terbentuk selama proses pengembangan adonan dan membentuk struktur remah
produk. Gluten, bersama-sama dengan pati gandum akan membentuk struktur
dinding sel (building block) remah produk (Anonima, 1996).
Kuantitas dan kualitas dari gluten dalam terigu merupakan faktor yang
paling berpengaruh terhadap kekuatan terigu dan paling menentukan dalam
pemilihan terigu untuk membuat cookies. Jenis terigu yang cocok digunakan
dalam pembuatan cookies yaitu jenis soft-wheat (gandum lunak) dengan kadar
protein sebesar 8-9% (Husain, 1993). Jenis terigu inilah yang juga akan dipakai
dalam pembuatan barss. Tepung cap Kunci Biru adalah jenis tepung yang
mewakili tepung gandum lunak. Gandum lunak biasanya diperoleh dari gandum
summer, dengan masa tanam yang pendek. Tepung gandum lunak biasanya
digunakan khusus untuk membuat produk bakery yang tidak memerlukan
keteguhan dan sempurnanya struktur remah (Anonima, 1996). Komposisi kimia
tepung terigu cap Kunci Biru dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4 Komposisi kimia tepung terigu cap Kunci Biru
Komponen

Kadar (%)

Protein

11.00

Lemak

1.50

Karbohidrat

72.70

Air

14.30

Abu

0.50

Sumber : PT. Bogasari Flour Mill

H. Umur Simpan
Terdapat dua konsep studi penyimpanan produk pangan yaitu dengan
Extended Storage Studies (ESS) dan Accelerated Storage Studies (ASS). ESS
sering juga disebut metode konvensional adalah penentuan tanggala kadaluwarsa

dengan jalan menyimpan suatu seri produk pada kondisi normal sehari-hari
sambil dilakukan pengamatan terhadap penurunan mutunya (usable quality)
hingga mencapai tingkat mutu kadaluwarsa. Metode ini akurat dan tepat, namun
pada awal penemuan dan penggunaannya, metode ini dianggap memerlukan
waktu yang panjang dan analisa parameter mutu yang relatif banyak. Metode ESS
ini sering digunkan untuk produk yang mempunyai waktu kadaluwarsa kurang
dari 3 bulan. Metode ASS menggunakan suatu kondisi lingkungan yang dapat
mempercepat (accelerated) reaksi deteriorasi (penurunan mutu) produk pangan.
Keuntungan dari metode ini membutuhkan waktu pengujian yang relatif singkat
(3 sampai 4 bulan), namun tetap memiliki ketepatan dan akurasi yang tinggi
(Arpah, 2001).

Metode ASS (Accelerated Storage Studies)


Metode ASS menggunakan suatu kondisi lingkungan yang dapat
mempercepat reaksi penurunan mutu pangan. Sehingga kerusakan yang
berlangsung dapat diamati dengan cermat dan diukur. Hal ini dapat dilakukan
dengan mengontrol semua lingkungan produk dan mengamati parameter
perubahan yang berlangsung. Metode akselerasi pada dasarnya adalah metode
kinetik yang disesuaikan untuk produk-produk pangan tertentu. Model-model
yang diterapkan pada metode akselerasi ini menggunakan dua cara pendekatan,
yaitu : 1). Pendekatan kadar air kritis dengan bantuan teori difusi, yaitu suatu cara
pendekatan yang diterapkan untuk produk kering dengan menggunakan kadar air
atau aktifitas air sebagai kriteria kadaluwarsa dan 2). Pendekatan semi empiris
dengan bantuan persamaan Arrhenius. Yaitu suatu cara pendekatan yang
menggunakan teori kinetika yang pada umumnya mempunyai ordo reaksi nol atau
satu untuk produk pangan (Arpah, 2001).
Salah satu faktor mutu makanan yang terpenting adalah citarasa atau flavor.
Perubahan mutu makanan terutama dapat diketahui dari perubahan faktor mutu
tersebut, oleh karenanya dalam menentukan daya simpan makanan perlu
dilakukan pengukuran-pengukuran terhadap atribut tersebut (Syarief, 1993). Uji

pendugaan umur simpan untuk produk bars ini menggunakan metode akselerasi
model Arrhenius. Model Arrhenius umumnya digunakan untuk menduga umur
simpan produk pangan yang sensitif terhadap perubahan suhu, diantaranya produk
pangan yang mudah mengalami ketengikan (oksidasi lemak), perubahan warna
oleh reaksi pencoklatan, atau kerusakan vitamin C. Prinsip model Arrhenius
adalah menyimpan produk pangan pada suhu ekstrim, dimana produk pangan
akan lebih cepat rusak, kemudian umur simpan produk ditentukan berdasarkan
ekstrapolasi ke suhu penyimpanan. Untuk menganalisis penurunan mutu dengan
metode Arrhenius diperlukan beberapa pengamatan, yaitu harus ada parameter
yang diukur secara kuantitatif dan parameter tersebut harus mencerminkan
keadaan mutu produk yang diperiksa. Parameter tersebut dapat berupa hasil
pengukuran kimiawi, uji organoleptik, uji fisik atau mikrobiologis seperti daya
serap oksigen, kadar peroksida, intensitas warna TBA, kadar vitamin C, skor uji
citarasa, tekstur, warna, total warna mikroba dan sebagainya.
Dalam penyimpanan, parameter-parameter mutu tersebut akan berubah oleh
adanya pengaruh dari faktor lingkungan seperti suhu, kelembaban, dan tekanan
udara atau karena faktor komposisi makanan itu sendiri. Suhu merupakan faktor
yang berpengaruh terhadap perubahan mutu makanan. Semakin tinggi suhu
penyimpanan maka laju reaksi berbagai senyawaan kimia akan semakin cepat.
Oleh karena itu dalam menduga kecepatan penurunan mutu makanan selama
penyimpanan, faktor suhu harus selalu diperhitungkan.
Dalam penyimpanan makanan, keadaan suhu ruangan penyimpanan
selayaknya dalam keadaan tetap dari waktu ke waktu tetapi seringkali keadaan
suhu penyimpanan berubah-ubah dari waktu ke waktu. Apabila keadaan suhu
penyimpanan tetap dari waktu ke waktu (atau dianggap tetap) maka perumusan
masalahnya bisa sederhana, yaitu menduga laju penurunan mutu cukup dengan
menggunakan persamaan Arrhenius :
k ko .e Ea / RT
Dimana :
Ko = faktor pra-eksponensial (1/hari)

R= konstanta gas universal (1.987 kal/mol/K)


T = suhu mutlak ruang penyimpanan (K)
Ea = Energi aktivasi (kal/mol)
Dengan mengubah persamaan diatas menjadi:
ln k ln ko

Ea

Persamaan Arrhenius dapat diduga untuk menduga laju penurunan mutu


selama penyimpanan dengan menggunakan asumsi-asumsi:
a. Perubahan faktor mutu makanan hanya ditentukan oleh satu macam reaksi saja.
b. Tidak terjadi faktor lain yang mengakibatkan perubahan mutu.
c. Proses perubahan mutu dianggap bukan merupakan akibat dari proses-proses
yang terjadi sebelumnya.
d. Suhu ruangan penyimpanan selama penyimpanan dianggap tetap

III. METODOLOGI

A. Bahan dan Alat


Bahan baku yang digunakan untuk formulasi adalah kedelai lokal varietas
Baluran yang didapatkan dari Balai Biogen, Cimanggu, Bogor, pisang ambon,
tepung terigu cap kunci biru, tepung singkong dari jenis singkong roti yang
didapatkan dari petani singkong di daerah Sawangan, Depok, margarin, gula
halus, garam serta bahan-bahan kimia untuk analisis.
Alat yang digunakan untuk formulasi dan analisis adalah neraca, baskom,
hand mixer, loyang, oven pemanggang, oven pengering, pin disc mill, plastik,
pisau, kemasan metalized plastic, rumah pengering (rumah kaca), tanur, cawan
porselin, cawan aluminium, desikator, neraca analitik, kapas, alat ekstraksi
soxhlet, labu Kjeldahl, alat destilasi, alat titrasi, kertas saring, corong pemisah,
erlenmeyer, tabung reaksi dan penyangga, cawan petri, pipet tetes, pipet mohr,
bunsen dan spiritus, dan alat-alat gelas lainnya. Selain itu diperlukan juga alat
ukur kekerasan Rheoner.

B. Metode Penelitian
1. Penelitian Pendahuluan
1.1 Persiapan Bahan Baku Pembuatan Banana Bars
Pembuatan Tepung Kedelai (Modifikasi Mustakas et al, 1967)
Pembuatan tepung kedelai diawali dengan pemisahan kedelai dari
kotoran dan biji yang rusak. Hasilnya adalah biji kedelai bersih lalu
dilakukan conditioning (pelunakan dengan disemprot/dipercikan air)
selanjutnya dikeringkan selama 2-4 jam kemudian dikupas kering. Tahap
selanjutnya adalah pengukusan pada 100oC selama 15 menit untuk
inaktifasi antitripsin dan enzim lipoksigenase, lalu dikeringkan kembali

dalam oven kemudian digiling dan diayak. Skema proses pembuatan


tepung kedelai dapat dilihat pada Gambar 4.

Kedelai

Sortasi

Conditioning (pelunakan dengan disemprot/dipercikan air)

Dikeringkan 60-70oC 2-4 jam

Dikupas kering dengan grinder

Dikukus pada 100oC 15 menit

Dikeringkan 60-70oC selama 6 jam

Digiling menggunakan Pin Disc Mill

Diayak 80 mesh

Tepung kedelai
Gambar 4 Diagram Proses Pembuatan Tepung Kedelai.

Pembuatan Tepung Singkong (Soeryo, 1991)


Proses pembuatan tepung singkong meliputi tahap pengupasan,
pembersihan (pencucian secara cepat), pemotongan (panjang sekitar 4-5
cm), pencucian (perendaman selama 15 menit dan penirisan selama 5
menit), pemarutan, pengeringan, penepungan dan pengayakan. Proses ini
dapat dilihat pada Gambar 5.

Umbi singkong
segar

Dikupas, dicuci, dipotong

Direndam (15 menit) dan


ditiriskan (5 menit)

Diparut

Dijemur di rumah pengering selama 24 jam

Digiling

Diayak (80 mesh)

Tepung singkong
Gambar 5 Proses pembuatan tepung singkong (Soeryo, 1991).

1.2 Karakterisasi Bahan Baku


Pada tahap ini dilakukan analisis proksimat terhadap bahan baku
utama untuk pembuatan produk pangan darurat Banana Bars. Analisis
dilakukan untuk tepung kedelai, tepung singkong, dan tepung terigu. Hasil
analisis ini akan digunakan untuk pembuatan formulasi produk.

2. Penelitian Utama
2.1 Formulasi Produk Pangan Darurat Banana Bars dengan Kandungan
Energi 2100 Kkal
Penelitian tahap ini menggunakan data hasil analisis proksimat bahan
baku utama. Pada tahap ini akan ditentukan besar perbandingan antara
tepung kedelai dan pisang serta perbandingan tepung terigu dan tepung
singkong sebagai binder. Selain itu akan dilakukan juga perhitungan total
energi produk dengan menggunakan prinsip kesetimbangan massa dengan
bantuan Microsoft Excel (diacu dari Sitanggang, 2008). Basis perhitungan
energi produk 233 kkal dengan berat per bar sebesar 50 gram. Pada Tabel 5
dapat dilihat formula lengkap produk banana bars.
Tabel 5 Formula lengkap produk banana bars

Tepung
Kedelai
40 %

40 %

60 %

10 %

32 %

20 %

0.25 %

40 %

60 %

5%

5%

32 %

20 %

0.25 %

50 %

50 %

10 %

32 %

20 %

0.25 %

50 %

50 %

10 %

32 %

20 %

0.25 %

50 %

50 %

5%

5%

32 %

20 %

0.25 %

Formula

60 %

Tepung
Terigu*
10 %

Tepung
Singkong*
-

Pisang

Gula *

Margarin*

Garam*

32 %

20 %

0.25 %

Keterangan : * dihitung dari jumlah tepung kedelai dan pisang

2.2 Pembuatan Produk Pangan Darurat Banana Bars berdasarkan


Formulasi
Pada tahap ini dilakukan percobaan pembuatan produk banana bars
berdasarkan formula yang telah dibuat. Pada proses ini dilakukan
penyesuain proses untuk mendapatkan produk yang optimum dari segi
organoleptik dengan keawetan tinggi dan rasa serta tekstur yang optimum.
Pada tahap ini selanjutnya dilakukan analisis proksimat dan semua analisis
yang dibutuhkan sehingga diketahui energi aktual yang terkandung di
dalam produk, selain itu juga dilakukan analisis sensori untuk melihat
tingkat penerimaan produk. Pada Gambar 6 dapat dilihat proses pembuatan
banana bars.

Pisang

Dicincang
dengan pisau

Margarin, gula

Terigu, tepung singkong,


garam

Mixing, 20 menit

Mixing

Pencetakan

Dioven 150oC selama 15 menit

Banana Bars

Gambar 6 Proses pembuatan Banana Barss.

Campur kering

Tepung kedelai

2.3 Pendugaan Umur Simpan


Pendugaan

umur

simpan

dilakukan

dengan

metode

ASLT

(Accelerated Shelf Life Testing) model persamaan Arrhenius. Analisis


umur simpan dilakukan dengan menggunakan kemasan metalized plastic.
Produk disimpan dalam inkubator pada tiga suhu penyimpanan yaitu 37oC,
45oC dan 50oC. Pengambilan sampel dilakukan setiap satu minggu sekali
dengan pengujian aw, kadar air, tekstur dan uji sensori rating hedonik
(parameter aroma, rasa, dan tekstur).

C. METODE ANALISIS
1. Kadar Air, metode oven (SNI 01-2891-1992)
Cawan alumunium dikeringkan dalam oven pada suhu 105oC selama 15
menit, lalu didinginkan dalam desikator selama 10 menit. Cawan ditimbang
menggunakan neraca analitik. Sampel sebanyak 1-2 gram dimasukkan ke
dalam cawan, kemudian cawan serta sampel ditimbang dengan neraca analitik.
Cawan berisi sampel dikeringkan dalam oven pada suhu 105oC selama 3 jam.
Selanjutnya cawan berisi sampel didinginkan dalam desikator, kemudian
ditimbang. Setelah itu, cawan berisi sampel dikeringkan kembali dalam oven
selama 15-30 menit, lalu ditimbang kembali. Pengeringan diulangi hingga
diperoleh bobot konstan (selisih bobot 0.0003 gram).
Perhitungan : Kadar air = X (Y a ) x 100%
X
Keterangan : X = bobot sampel awal (g)
Y = bobot sampel dan cawan setelah dikeringkan
a = bobot cawan kosong

2. Kadar Abu (Apriyantono et al, 1989)

Cawan pengabuan dibakar dalam tanur, kemudian didinginkan dalam


desikator, dan ditimbang. Sampel sebanyak 3-5 gram ditimbang dalam cawan
tersebut, kemudian cawan yang berisi sampel dibakar sampai didapatkan abu
berwarna abu-abu atau sampai bobotnya konstan. Pengabuan dilakukan dalam
tanur pada suhu 5500C. Cawan yang berisi sampel didinginkan dalam
desikator, kemudian ditimbang dengan neraca analitik.
Perhitungan : Kadar abu (%) =

bobot abu (g) x 100%


bobot sampel (g)

3. Kadar Protein Metode Kjedahl (Apriyantono et al, 1989)


Sejumlah kecil sampel ditimbang, dipindahkan ke dalam labu Kjedahl 30
ml. Setelah itu, ditambahkan 1.9 0.1 gram K2SO4, 40 10 mg HgO, dan 2.0
0.1 ml H2SO4 ke dalam labu Kjedahl yang berisi sampel. Labu Kjedahl yang
berisi sampel dan telah dimasukkan batu didih dididihkan selama 1-1.5 jam
sampai cairan menjadi jernih. Setelah cairan jernih, labu Kjedahl yang berisi
sampel didinginkan dan ditambahkan sejumlah kecil air secara perlahan-lahan
ke dalamnya, kemudian didinginkan kembali. Isi labu dipindahkan ke dalam
alat destilasi. labu Kjedahl yang isinya sudah dipindahkan ke dalam alat
destilasi dicuci dan bilas 5-6 kali dengan 1-2 ml air, air cucian dipindahkan ke
dalam alat destilasi.
Erlenmeyer 125 ml yang berisi 5 ml larutan H3BO3 dan 2-4 tetes
indikator diletakkan di bawah kondensor. Ujung tabung kondensor harus
terendam di bawah larutan H3BO3 kemudian ditambahkan 8-10 ml larutan
NaOH-Na2S2O3 dan dilakukan destilasi sampai tertampung kira-kira 15 ml
destilat dalam erlenmeyer. Setelah itu, tabung kondensor dibilas dengan air dan
bilasannya ditampung dalam erlenmeyer yang sama. Selanjutnya isi
erlenmeyer diencerkan sampai kira-kira 50 ml dan kemudian ditritasi dengan
HCl 0.02 N sampai terjadi perubahan warna menjadi abu-abu.
Cara perhitungan kadar protein :

Kadar N(%) = (ml HCl contoh ml HCl Blanko) x N HCl x 14.007 x 100%
mg sampel
Kadar protein(%) = %N x faktor konversi

4. Kadar Lemak (metode Soxhlet)


Sebanyak 5 gram sampel dibungkus dengan kertas saring lalu
dimasukkan ke dalam labu soxhlet. Heksan dituang ke dalam labu lemak dan
kemudian alat dirangkai. Refluks dilakukan selama 5-6 jam. Labu lemak yang
berisi lemak hasil ekstraksi dan sisa pelarut heksan diangkat dan kemudian
dipanaskan dalam oven pada suhu 1050C sampai pelarut menguap semua. Labu
yang berisi lemak didinginkan dalam desikator dan kemudian ditimbang.
Perhitungan :
Kadar lemak (%) = X Y x 100%
W
Keterangan : X = bobot lemak hasil ekstraksi dan labu lemak
Y = bobot labu lemak kosong
W = bobot sampel

5. Kadar Karbohidrat (by difference)


Kadar karbohidrat dihitung sebagai sisa dari kadar air, abu, lemak dan
protein.
Kadar karbohidrat = 100% - (kadar air + kadar abu + kadar lemak + kadar
protein)
6. Kadar Serat Kasar ( Apriyantono et al, 1989)
Contoh ditimbang sebanyak 2 gram lalu dihaluskan. Contoh yang telah
halus diekstrak lemaknya menggunakan pelarut Petroleum Eter (PE). Sampel
bebas lemak dipindahkan secara kuantitatif ke dalam erlenmeyer 600 ml.
Tambahkan 0.5 gram asbes yang telah dipijarkan dan 2 tetes anti buih. Setelah

itu tambahkan kedalam erlenmeyer 200 ml larutan H2SO4 mendidih. Letakkan


erlenmeyer pada pendingin balik. Didihkan contoh di dalam erlenmeyer selama
30 menit dengan sesekali digoyang. Setelah selesai saring suspensi dengan
menggunakan kertas saring. Cuci residu yang tertinggal dengan air mendidih ,
pencucian dilakukan sampai air cucian tidak bersifat asam lagi. Pindahkan
residu secara kuantitatif dengan menggunakan spatula. Cuci kembali sisa
residu yang tertinggal pada kertas saring dengan menggunakan NaOH
mendidih sampai semua residu masuk semua ke dalam erlenmeyer. Didihkan
kembali contoh dengan pendingin balik selama 30 menit dengan sesekali
digoyangkan. Saring kembali contoh dengan kertas saring yang diketahui
beratnya sambil dicuci dengan K2SO4 10%. Cuci residu di kertas saring dengan
menggunakan air mendidih kemudian dengan alkohol 95%. Keringkan kertas
saring di dalam oven dengan suhu 110oC sampai berat konstan (1-2 jam).
Setelah itu sampel didinginkan dan dimasukkan kedalam desikator, lalu sampel
ditimbang.
Perhitungan :
Kadar serat kasar (gr/100gr contoh) = W1 W2 x 100
W
Keterangan : W1 = berat residu dan kertas saring yang dikeringkan
W2 = berat kertas saring
W = berat sampel yang dianalisis

7. Pengukuran Aktivitas Air (Sitanggang, 2008)


Aktivitas air akan menentukan tekanan di dalam kemasan. Aktivitas air
dari sampel diukur dengan menggunakan aw meter yang telah dikalibrasi
dengan garam NaCl dengan nilai kelembabannya (RH) adalah 75 %. Sampel
dimasukkan kedalam chamber pada aw meter dan ditutup rapat. Pembacaan
nilai aw dilakuakn pada saat angka tidak berubah. Hal ini ditunjukkan oleh
tulisan atau indikator pada aw meter yaitu complete test.

8. Analisis Tekstur
Analisis tekstur dilakukan dengan menggunakan Rheoner. Pengukuran
dilakukan terhadap bars. Bars ditekan dengan menggunakan probe jarum.
Nilai hasil pengujian disajikan dalam grafik.

9. Uji Mikrobiologi
Total Plate Count dan Total Kapang Khamir (Fardiaz, 1989)
Total mikroba dihitung dengan metode hitungan cawan pada media Plate
Count Agar, sedangkan untuk total kapang khamir digunakan media APDA
(Acidified Potato Dextrose Agar). Sepuluh gram contoh dilarutkan dalam
larutan garam fisiologis 0,85 % sebanyak 90 ml. Dari larutan ini diencerkan
kembali sampai tingkat pengenceran yang dikehendaki. Dari setiap
pengenceran diambil 1 ml dan dimasukan ke dalam cawan petri, dan diberi 15
ml PCA/APDA cair (duplo). Selanjutnya cawan diputar membentuk angka
delapan dan dibiarkan membeku. Inkubasi dilakukan pada suhu 37oC selama 2
hari untuk TPC dan inkubasi pada 37oC selama 3-5 hari untuk total kapangkhamir.

10. Uji Sensori


Uji organoleptik yang akan dilakukan yaitu uji rating hedonik. Pada uji
rating hedonik, panelis diminta untuk mengevaluasi tiga atau lebih contoh
berkode dan kemudian menilai sampel tersebut dengan memberikan skor 1-5
dari yang paling disukai (1) hingga yang paling tidak disukai (5). Parameter
yang diuji adalah aroma, rasa, tekstur, dan overall. Pengolahan data dilakukan
dengan program SPSS 13 dan uji lanjutan menggunakan uji Duncan.

11. Penentuan Umur Simpan


Pendugaan umur simpan bars yang terpilih dilakukan dengan
menggunakan model persamaan Arrhenius. Menurut Syarief (1993) di dalam
Muliandi (1994), suhu dan konstanta laju reaksi tersebut diformulasikan oleh
Arrhenius menjadi persamaan berikut:
k ko .e Ea / RT
Dimana :
ko

= faktor pra-eksponensial (1/hari)

= konstanta gas universal (1.987 kal/mol/K)

= suhu mutlak ruang penyimpanan (K)

Ea

= Energi aktivasi (kal/mol)

Dengan mengubah persamaan diatas menjadi:


ln k ln ko

Ea

maka akan diperoleh kurva garis lurus pada plot antara ln k terhadap kebalikan
suhu mutlak (1/T) dan kemiringan garis adalah energi aktivasi dibagi dengan
konstanta gas (R) seperti Gambar 7.
Sampel dikemas dalam kemasan metalized plastic dengan teknik
pengemasan biasa yaitu kemasan dirapatkan dengan menggunakan sealer.
Prosedur analisisnya yaitu penyimpanan sampel dilakukan pada suhu 37oC,
45oC, dan 50oC selama 28 hari dengan interval waktu pengamatan setiap tujuh
hari sekali. Dari hasil pengamatan ini akan dihasilkan tiga persamaan regresi
linier (hubungan waktu pengamatan dalam hari (sumbu x) dengan parameter
pengamatan (sumbu y), sehingga akan didapatkan masing-masing satu nilai k.
Jika masing-masing nilai k dibuat menjadi ln k dan nilai kebalikan suhu mutlak
penyimpanan (1/T) diplotkan dalam grafik maka akan diperoleh juga hubungan
linier beserta persamaan regresi liniernya. Dari persamaan regresi linier inilah

dapat dicari nilai Ea dan ko sehingga akhirnya akan dihasilkan model


Arrhenius ( k ko.e Ea / RT ).

Nilai kemiringan garis = -Ea/R


Ln k

1/T (K-1)

Gambar 7 Hubungan linier ln konstanta laju reaksi dengan kebalikan suhu pada
plot Arrhenius (Syarief, 1993).
Perhitungan umur simpan jika mengikuti ordo nol :
t = (Qo Qs)/k
Perhitungan umur simpan jika mengikuti ordo satu :
t = (ln Qo ln Qs)/ k
dimana t : umur simpan (hari)
Qo : nilai mutu awal
Qs : nilai mutu kritis
k : konstanta laju penurunan mutu
D. RANCANGAN PERCOBAAN
Penelitian ini menggunakan Rancangan Faktorial dengan dua faktor. Model
persaman matematikanya yaitu
Y ijk = + i + j + () ij + ijk (i = 1,...a; j = 1,....b;k = 1,....r)
Dimana i : pengaruh perlakuan ke-i
j : pengaruh perlakuan ke-j
() ij : pengaruh inteaksi perlakuan i dan j

Dua faktor yang digunakan yaitu :


Faktor A adalah rasio tepung kedelai dan pisang dengan menggunakan dua level
(2:3 dan 1:1).
Faktor B adalah rasio antara tepung terigu dan tepung singkong dengan
menggunakan tiga level (0:1, 1:0, 1:1).
Sehingga dari dua faktor A dan B diatas dihasilkan enam formula :
Faktor B
Perlakuan
B0

B1

B2

Faktor

A0

A0B0

A0B1

A0B2

A1

A1B0

A1B1

A1B2

F1 (A0B0) = rasio tepung kedelai dan pisang (2:3) dan rasio tepung terigusingkong (1:0)
F2 (A0B1) = rasio tepung kedelai dan pisang (2:3) dan rasio tepung terigusingkong (0:1)
F3 (A0B2) = rasio tepung kedelai dan pisang (2:3) dan rasio tepung terigusingkong (1:1)
F4 (A1B0) = rasio tepung kedelai dan pisang (1:1) dan rasio tepung terigusingkong (1:0)
F5 (A1B1) = rasio tepung kedelai dan pisang (1:1) dan rasio tepung terigusingkong (0:1)
F6 (A1B2) = rasio tepung kedelai dan pisang (1:1) dan rasio tepung terigu singkong (1:1)

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN


A. Penelitian Pendahuluan
Pada penelitian pendahuluan ini dilakukan beberapa tahap persiapan bahan
baku untuk proses pembuatan produk dan juga analisis proksimat bahan baku
utama yaitu tepung kedelai, tepung singkong, dan tepung terigu.
1. Pembuatan Tepung Kedelai
Salah satu kendala dalam pembuatan tepung kedelai adalah citarasa langu
yang dihasilkan oleh biji kedelai. Citarasa langu pada kedelai timbul bila
terdapat tiga kondisi yaitu adanya udara, air, dan sel kedelai yang pecah. Bau
langu disebabkan oleh enzim lipoksigenase yang dapat mengkatalisis reaksi
oksidasi asam lemak tidak jenuh sehingga menghasilkan senyawa volatil.
Senyawa volatil inilah yang menyebabkan citarasa langu (Hariyadi, 1997).
Senyawa penyebab langu tergolong dalam kelompok heksanal dan heksanol
(Koswara, 1992). Tahapan pembuatan tepung kedelai pada penelitian ini
meliputi tahap pemilihan (sortasi), pengupasan, pengukusan, pengeringan,
penggilingan, dan pengayakan. Metode pembuatan tepung kedelai yang
digunakan tidak melibatkan tahapan perendaman dan perebusan yang biasanya
merupakan rangkaian tahapan pada proses pembuatan tepung kedelai secara
umum. Untuk menggantikan tahap perendaman dan perebusan tersebut,
dilakukan pengukusan pada 100oC selama 15 menit pada biji kedelai yang
telah dikupas kering. Tujuan dari tahap pengukusan ini adalah untuk
menginaktivasi enzim lipoksigenase. Pada Gambar 8 dapat dilihat gambar
kedelai yang digunakan dan tepung kedelai yang dihasilkan.
Penelitian lain yang mengembangkan teknik pengolahan tepung kedelai
(Mustakas et al, 1969) menyimpulkan bahwa inaktivasi enzim lipoksigenase
merupakan tahapan yang penting untuk memperoleh tepung kedelai dengan
citarasa yang baik. Penelitian ini menyebutkan adanya pembentukan

hidroperoksida selama perendaman kedelai dalam air dan bau tengik pada
bungkil kedelai yang direndam hingga mencapai kadar air 25%.

Gambar 8 Biji kedelai var. Baluran (kiri) dan tepung kedelai (kanan).
Pemanasan kering pada suhu 100oC atau penguapan (steaming) kedelai
tanpa kulit dapat menginaktivasi lipoksigenase sehingga akan diperoleh tepung
kedelai dengan citarasa yang baik setelah proses penggilingan.

2. Pembuatan Tepung Singkong


Proses pembuatan tepung singkong meliputi tahap pengupasan,
pembersihan,

pemotongan,

pencucian

dengan

air

bersih,

pemarutan,

pengeringan, penggilingan, dan pengayakan. Umbi singkong yang digunakan


sebagai bahan baku memiliki usia sekitar 9-11 bulan. Kisaran usia umbi ini
dipilih karena pada usia ini umbi singkong memiliki kandungan akumulasi
karbohidrat yang maksimum dan sangat baik sebagai bahan baku tepung
singkong (Alves, 2001). Pada Gambar 9 dapat dilihat gambar tepung singkong
yang dihasilkan.

Gambar 9 Tepung Singkong.


Konsumsi produk-produk bakery seperti roti, biskuit, cookies, dan lainlain semakin besar sehingga meningkatkan impor gandum untuk pemenuhan
tepung terigu di negara tropis dimana gandum tidak dapat tumbuh dengan baik.
Untuk itu diperlukan suatu langkah untuk mengatasi permasalahan ini, salah
satu solusinya adalah dengan mensubstitusi sebagian atau mengganti tepung
terigu dalam pangan dengan tepung atau pati dari umbi, seperti singkong dan
ubi jalar, dan serealia seperti sorgum, jagung, dan beras. Diantara semua jenis
umbi-umbian, singkong merupakan pilihan yang paling baik karena memiliki
rendemen yang tinggi dan harganya yang murah (Morton, 1988 di dalam
Akingbala et al, 2009). Di Afrika, telah banyak dikembangkan produk bakery
yang terbuat dari tepung komposit (terigu yang dicampur dengan tepung
singkong), dengan begitu pendapatan negara dapat meningkat dengan
berkurangnya impor gandum dari luar negeri.

3. Karakterisasi Bahan Baku


Tahap karakterisasi bahan baku meliputi analisis proksimat bahan baku
utama dan penentuan tingkat kematangan pisang yang digunakan. Analisis
proksimat terdiri dari analisis kadar air, kadar abu, kadar protein (metode
Kjeldahl), kadar lemak metode soxhlet, dan kadar karbohidrat (by difference).

Bahan baku yang dianalisis secara proksimat adalah tepung kedelai, tepung
singkong, dan tepung terigu. Hasil analisis dinyatakan dalam % berat kering.
Analisis kadar air dalam bahan pangan sangat penting dilakukan baik
untuk bahan pangan segar maupun olahan. Analisis kadar air dalam bahan
pangan sering menjadi tidak sederhana karena air dalam bahan pangan berada
dalam bentuk terikat secara fisik atau kimia dengan komponen bahan pangan
lainnya. Hasil analisis kadar air tepung kedelai yaitu sebesar 4.14 %, kadar air
tepung singkong sebesar 8.88 %, dan kadar air tepung terigu sebesar 13.35 %.
Abu merupakan residu organik dari proses pembakaran atau oksidasi
komponen organik bahan pangan. Kadar abu suatu bahan menunjukkan total
mineral yang terkandung dalam bahan tersebut. Hasil analisis kadar abu tepung
kedelai sebesar 5.36 %, kadar abu tepung singkong sebesar 2.84 %, dan kadar
abu tepung terigu sebesar 0.70 %. Dari data tersebut dapat dilihat bahwa
tepung kedelai memiliki kandungan mineral yang paling tinggi dibanding
tepung singkong dan tepung terigu, sedangkan tepung terigu memiliki total
mineral paling rendah.
Analisis kadar lemak bertujuan untuk mengetahui kandungan lemak dari
suatu bahan pangan, terdapat berbagai metode analisis kadar lemak, pada
penelitian ini digunakan metode ekstraksi soxhlet. Hasil analisis kadar lemak
tepung kedelai sebesar 24.66 %, kadar lemak tepung singkong sebesar 0.42 %,
dan kadar lemak tepung terigu sebesar 5.28 %. Analisis protein metode
Kjeldahl digunakan untuk menentukan kadar protein kasar dari bahan pangan.
Metode ini didasarkan pada pengukuran nitrogen total yang ada dalam contoh.
Kadar protein tepung kedelai adalah sebesar 41.70 %, kadar protein tepung
singkong sebesar 1.49 %, dan kadar protein tepung terigu sebesar 11.76 %.
Karbohidrat merupakan komponen utama bahan pangan yang memiliki sifat
fungsional yang penting dalam proses pengolahan pangan. Total karbohidrat
ditentukan dengan metode by difference. Kadar karbohidrat tepung kedelai
adalah sebesar 24.14 %, kadar karbohidrat tepung singkong sebesar 86.37 %,

dan kadar karbohidrat tepung terigu sebesar 68.91 %. Nilai hasil analisis secara
lengkap dapat dilihat pada Tabel 6.
Tabel 6 Data hasil analisis proksimat bahan baku (% bk)

Tepung Kedelai

Kadar
air (%)
4.14

Kadar
abu (%)
5.36

Kadar
lemak (%)
24.66

Kadar
protein (%)
41.70

Kadar karbohidrat
by difference (%)
24.14

Tepung singkong

8.88

2.84

0.42

1.49

86.37

Tepung terigu

13.35

0.70

5.28

11.76

68.91

Sampel

Terdapat dua macam pisang ambon yang terkenal, yakni pisang ambon
hijau dan pisang ambon kuning. Pisang ambon kuning kulitnya kuning menarik
jika telah matang, sedangkan pisang ambon hijau kulitnya tetap hijau walaupun
telah matang sehingga kurang disukai (Putra, 1994). Penelitian ini
menggunakan pisang ambon kuning. Pisang ambon kuning dipilih karena
warna daging buah yang putih kekuningan, tidak berbiji, rasanya manis, dan
aroma pisangnya yang sangat tajam sehingga dapat menutupi aroma langu
yang berasal dari tepung kedelai.
Tingkat kematangan pisang dibagi berdasarkan umur dan bentuknya.
Buah yang telah berumur 80 hari diberi istilah penuh, buah yang berumur 90
hari disebut lewat penuh, bila sudah mencapai 100 hari dinamakan penuh,
dan setelah lebih dari 100 hari disebut retak penuh. Selama pematangan, terjdai
perubahan visual pada kulit pisang yang dibedakan berdasarkan indeks warna
dari 1-7, yaitu : 1. Hijau tua, 2. Hijau muda, 3. 50% hijau 50% kuning, 4.
Kuning agak hijau, 5. Kuning dengan pangkal dan ujung hijau, 6. Kuning
penuh, dan 7. Kuning bercak coklat. Penelitian ini menggunakan pisang
berwarna kuning dengan pangkal dan ujung hijau, tingkat kematangannya
sekitar penuh. Komposisi buah pisang berubah selama proses pematangan.
Ada korelasi antara perbandingan kadar pati dan gula dengan warna kulit.
Kandungan pati menurun dari 20-23 % pada daging buah pisang mentah
menjadi hanya 1-2 % pada pisang matang penuh, sedangkan kandungan gula

dari 1 % pada pisang mentah menjadi hampir 20 % pada pisang matang


(Palmer, 1971).

B. Penelitian Utama
1. Formulasi Produk Pangan Darurat Banana Bars
Formulasi produk pangan darurat menggunakan prinsip kesetimbangan
massa. Dalam prinsip kesetimbangan massa, setiap bahan yang masuk (input)
harus memiliki jumlah yang setara dengan akumulasi selama proses dan bahan
yang keluar atau dihasilkan (output). Tahap formulasi menggunakan dasar dari
rancangan percobaan. Penetuan level yang digunakan pada rancangan
percobaan dilakukan melalui perhitungan perkiraan nilai target energi sekitar
233 kkal per 50 gram produk (Zoumas et al, 2002) dengan menggunakan data
hasil analisis proksimat bahan baku dan literatur komposisi bahan pangan.
Sehingga diharapkan formula yang dirancang dapat memenuhi kriteria nilai
energi dan densitas kandungan makronutrien pangan darurat yaitu kandungan
energi sebanyak 2100 kkal yang terdiri dari 35-45 % lemak dari total energi
setara dengan 82-105 g/2100 kkal atau 8-9 g/50 gram produk, 10-15 % protein
dari total energi setara dengan 63-80 g2100 kkal atau 9-12 g/50 gram produk
dan 40-50 % karbohidrat dari total energi setara dengan 210-262 g/2100 kkal
atau 23-29 g/50 gram produk (Zoumas et al, 2002). Asumsi konsumsi produk
pangan darurat sebanyak tiga kali dalam sehari, dengan sajian per konsumsi 3
bars (150 gram).
Nilai energi dihitung berdasarkan jumlah makronutrien (protein, lemak,
dan karbohidrat) dari setiap bahan penyusun kemudian dikalikan dengan nilai
energi masing-masing makronutrien. Protein memiliki nilai energi sebesar 4
kkal/gram, lemak 9 kkal/gram, dan karbohidrat mengandung energi sebesar 4
kkal/gram. Kandungan energi dari setiap bahan penyusun produk pangan
darurat dapat dilihat pada Tabel 7.

Berdasarkan rancangan percobaan yang digunakan, didapatkan enam


formula sebagai berikut: Formula 1 terbuat dengan rasio tepung kedelai dan
pisang (2:3) dan rasio tepung terigu-singkong (1:0), Formula 2 menggunakan
rasio tepung kedelai dan pisang (2:3) dan rasio tepung terigu-singkong (0:1),
Formula 3 menggunakan rasio tepung kedelai dan pisang (2:3) dan rasio
tepung terigu-singkong (1:1), Formula 4 menggunakan rasio tepung kedelai
dan pisang (1:1) dan rasio tepung terigu-singkong (1:0), Formula 5
menggunakan rasio tepung kedelai dan pisang (1:1) dan rasio tepung terigusingkong (0:1), dan Formula 6 menggunakan rasio tepung kedelai dan pisang
(1:1) dan rasio tepung terigu-singkong (1:1). Perhitungan perkiraan nilai energi
keenam formula dapat dilihat pada Lampiran 1, Lampiran 2, Lampiran 3,
Lampiran 4, Lampiran 5, dan Lampiran 6.
Tabel 7 Kandungan makronutrien dan energi bahan penyusun produk pangan
darurat
Bahan
penyusun

Energi/100
gr (kkal)

Makronutrien

Air

Tepung
kedelaia

481.88

Lemak (g)
23.68

Protein (g)
40.05

Karbohidrat (g)
27.14

3.98

Pisangb

109.80

0.20

1.20

25.80

72.00

Tepung
Terigua

373.34

4.58

10.19

72.84

11.78

Tepung
Singkonga
Gulab

357.00

0.39

1.36

87.50

8.16

376.00

94.00

5.40

Margarinb

733.00

81.00

0.60

0.40

15.50

hasil analisis proksimat

Daftar Komposisi Bahan Pangan (Prawiranegara, 1981)

2. Pembuatan Produk dan Optimasi Suhu Pemanggangan


Produk pangan darurat banana bars terbuat dari tepung kedelai, pisang,
tepung terigu, tepung singkong, gula, margarin, dan garam. Tahap pertama
dalam pembuatan produk ini adalah creaming margarin dan gula selama 10

menit hingga campuran berwarna putih pucat, lalu ditambahkan puree pisang
(buah pisang yang telah dihancurkan dengan cara dicincang) kemudian mixing
hingga tercampur dan merata. Tahap selanjutnya yaitu penambahan bahanbahan kering yang telah dicampur secara terpisah. Bahan-bahan kering terdiri
dari tepung kedelai, tepung singkong, tepung terigu, dan garam. Kemudian
adonan dicetak dengan cetakan alumunium dengan ukuran 10 cm x 3.3 cm x
1.5 cm. Tahapan terakhir yaitu pemanggangan bars pada suhu 150oC selama
15 menit (Sitanggang, 2008). Produk banana bars dapat dilihat pada Gambar
10.

Gambar 10 Banana Bars.


Produk pangan darurat banana bars ini memiliki karakteristik adonan
yang sangat basah karena kadar air pisang yang tinggi. Hal ini menjadi salah
satu kendala dalam proses pemanggangan, sehingga harus dilakukan
penyesuaian suhu dan perlakuan tambahan yang diperlukan. Pada proses awal,
pemanggangan banana bars dilakukan pada suhu 150oC selama 15 menit.
Produk yang dihasilkan tidak matang di bagian tengah dan mengalami case
hardening. Penggunaan suhu tinggi menyebabkan kehilangan air pada
permukaan produk terjadi lebih cepat dibandingkan dengan bagian tengah
produk sehingga bagian permukaan membentuk lapisan yang menghambat

pengeluaran air dari bagian tengah. Hal inilah yang menyebabkan produk tidak
matang dibagian tengah namun keras dibagian luar.
Pada trial selanjutnya suhu pemanggangan diturunkan menjadi 125oC
dengan memperpanjang waktu pemanggangan menjadi 25 menit. Masalah
yang sama juga terjadi pada suhu pemanggangan ini. Untuk mengatasinya
dilakukan pemanggangan secara bertahap dimulai dari suhu 50oC 15 menit lalu
75oC 15 menit kemudian 100oC 10 menit dilanjutkan 125oC 10 menit. Tujuan
pemanggangan secara bertahap adalah mengeluarkan sebagian besar air dari
produk. Dengan pemanasan pada suhu rendah kemudian secara bertahap naik
diharapkan air yang terperangkap pada bagian tengah produk dapat
dikeluarkan sehingga produk memiliki kadar air dan tekstur yang baik, kisaran
kadar air yang diinginkan sekitar 5 %.
Pada trial selanjutnya dilakukan pengurangan ketebalan bars menjadi
setengah dan sepertiganya (0.75 cm dan 0.5 cm) dengan perlakuan suhu 50oC
15 menit lalu 75oC 25 menit kemudian 100oC 25 menit diteruskan 110oC 20
menit. Hasilnya produk bars kering bagian dalamnya namun alot di bagian
luar, kemudian dicoba untuk dilakukan pengeringan dengan menggunakan
oven pengering pada suhu 70-80oC selama 2-3 jam. Proses ini dapat
meningkatkan kerenyahan produk bars namun dari segi harga produksi mahal.
Selanjutnya dilakukan kembali trial tanpa menggunakan oven pengering
dengan suhu pemanggangan pada

130oC selama 30 menit, tekstur yang

dihasilkan sangat renyah namun rasa yang dihasilkan menjadi pahit karena
gosong. Lalu dilakukan juga trial dengan suhu pemanggangan 100oC 40 menit
dilanjutkan 120oC 20 menit. Produk bars dengan proses ini memiliki tekstur
yang cukup baik dan dapat diterima. Penggunaan kombinasi suhu ini dapat
menghasilkan produk dengan kadar air yang diinginkan yaitu sekitar 5 %. Suhu
100oC selama 40 menit dapat mengeluarkan sebagian besar air dari produk
tanpa menyebabkan case hardening kemudian suhu 120oC selama 20 menit
bertujuan untuk mengeluarkan air tahap lanjutan dan mematangkan produk.
Akhirnya proses pemanggangan pada suhu ini diputuskan menjadi suhu

pemanggangan akhir yang digunakan untuk memproduksi produk banana


bars.
Permasalahan utama bagian tengah produk yang agak basah juga dapat
disebabkan oleh metode kriming. Ada dua jenis metode pembuatan krim, yaitu
two stage-method dan three-stage method. Proses pembuatan krim two stagemethod adalah pembuatan krim dengan mencampur lemak, gula, emulsifying
agent dan komponen minor lainnya selain pengembang menjadi satu.
Pencampuran dilakukan selama 4-10 menit sampai bahan padatannya terlarut
dan membentuk krim. Setelah itu tepung dan bahan pengembang dicampurkan.
Proses pembuatan krim two stage-method akan memberikan hasil yang
kompak pada krim. Kualitas krim yang dihasilkan dilihat dari banyaknya udara
yang

terinkorporasi

di

dalam

krim.

Udara

disini

berfungsi

untuk

mendispersikan komponen lainnya pada saat penambahan bahan lainnya. Oleh


karena itu, ikatan jaringan antar bahan juga kuat yang akhirnya mempengaruhi
penampakan produk (warna lebih gelap) dan memberikan kondisi yang agak
basah pada bagian tengah produk (Matz and Matz, 1978). Three-stage method
adalah metode pembuatan krim dengan membedakan penambahan pewarna,
flavor, dan garam. Langkah pertama pembuatan krim diawali dengan
mencampurkan bahan-bahan cair seperti lemak, air, dan shortening.
Selanjutnya, ditambahkan dengan pewarna, flavor, dan garam, dilanjutkan
dengan penambahan bahan pengembang.
Bila dilihat dari pengertian kedua metode, maka metode kriming pada
penelitian ini mendekati metode two-stage method yaitu mencampur gula dan
lemak untuk membentuk krim kemudian dilanjutkan dengan penambahan
bahan kering. Tahap pembuatan krim ini menyebabkan pemerangkapan udara
yang berfungsi untuk mendispersikan komponen lain pada saat penambahan
bahan lainnya. Komponen lain yang dimaksud salah satunya adalah air. Karena
ikatan jaringan yang terbentuk sangat kuat menyebabkan air dalam adonan
sulit untuk keluar ketika terjadi penetrasi panas saat pemanggangan. Sehingga
kondisi produk banana bars ini menjadi agak basah pada bagian tengah.

3. Hasil Analisis Statistik


Keenam formula produk banana bars kemudian dibuat prototype nya
sebanyak dua kali ulangan dan dianalisis proksimat yang terdiri dari kadar air,
kadar abu, kadar protein, kadar lemak, dan kadar karbohidrat. Berdasarkan data
hasil analisis proksimat dilakukan perhitungan nilai kandungan energi aktual
produk per 50 gram. Kandungan makronutrien dan energi tiap formula dapat
dilihat pada Tabel 8.
Tabel 8 Kandungan makronutrien dan energi tiap formula/50 gram produk
Formula

Ulangan

Kadar
protein (%)

Kadar
Lemak (%)

Kadar
Karbohidrat
(%)

Nilai energi
(kkal)

16.93

20.39

52.75

231.12

16.84

20.59

52.75

231.84

15.49

19.20

55.15

227.68

15.34

18.92

55.41

226.64

18.28

18.73

52.10

225.00

18.31

18.54

52.23

224.51

18.15

21.53

49.93

233.04

18.16

21.27

50.02

232.08

18.11

20.71

49.58

228.58

18.06

20.33

50.18

227.96

18.62

19.51

49.10

223.24

18.46

19.92

49.04

224.64

Formula 1

Formula 2

Formula 3

Formula 4

Formula 5

Formula 6

Nilai energi ini kemudian menjadi respon untuk analisis secara statistik
dengan menggunakan model Rancangan Faktorial dengan dua faktor. Namun,
terdapat berbagai faktor lain selain faktor nilai energi yang digunakan sebagai
alat pengambil keputusan formula terpilih. Hasil pengolahan data secara

statistik menunjukkan bahwa faktor rasio tepung kedelai-pisang menunjukkan


pengaruh yang tidak nyata pada taraf signifikansi 5 % terhadap respon nilai
energi. Untuk faktor rasio tepung terigu-tepung singkong terhadap respon nilai
energi berpengaruh nyata pada taraf signifikansi 5 %. Interaksi antara kedua
faktor tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap respon nilai energi.
Hasil pengolahan data statistik secara lengkap dapat dilihat pada Lampiran 7.
Apabila dilihat dengan uji lanjut Duncan pada Lampiran 7, terlihat bahwa
masing-masing taraf pada rasio tepung terigu-tepung singkong memberikan
pengaruh nilai energi yang berbeda nyata, terlihat dari huruf yang berbedabeda untuk masing-masing taraf rasio tepung terigu-tepung singkong. Sehingga
formula 4 berbeda nyata dari formula lainnya namun tidak berbeda nyata
dengan formula 1, formula 5 berbeda nyata dari formula lainnya namun tidak
berbeda nyata dengan formula 2, formula 3 berbeda nyata dari formula lainnya
namun tidak berbeda nyata dengan formula 6 seperti terlihat pada Gambar 11.

Gambar 11 Hasil uji lanjut Duncan untuk faktor rasio tepung terigu:singkong.
Ada banyak faktor yang menjadi pertimbangan untuk mengambil
keputusan formula terpilih selain nilai energi, misalnya dari segi ekonomis
yaitu harga dan segi teknis yaitu proses pembuatan. Faktor

rasio tepung

kedelai-pisang tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap respon nilai


energi maka diputuskan untuk mengambil faktor rasio antara tepung kedelaipisang 2:3. Pemilihan faktor rasio antara tepung kedelai-pisang 2:3 didasarkan
pada pertimbangan harga yang lebih murah. Nilai rasio ini akan digunakan
dalam pembuatan formula yang akan diuji secara organoleptik. Faktor rasio
tepung terigu-tepung singkong tetap digunakan ketiga levelnya untuk
menentukan jenis formula yang paling disukai.

4. Hasil Uji Sensori


Setelah uji secara statistik, dilakukan uji organoleptik rating hedonik
menggunakan 30 panelis semi terlatih untuk menentukan formula terpilih yang
akan memasuki tahapan pendugaan umur simpan. Formula yang memasuki
tahap organoleptik adalah Formula 1 (rasio tepung kedelai dan pisang (2:3) dan
rasio tepung terigu-singkong (1:0)), Formula 2 (rasio tepung kedelai dan
pisang (2:3) dan rasio tepung terigu-singkong (0:1)), dan Formula 3 (rasio
tepung kedelai dan pisang (2:3) dan rasio tepung terigu-singkong (1:1)).
Atribut yang diuji adalah atribut aroma, rasa, tekstur, dan overall.
Tujuan uji organoleptik tahap ini adalah untuk mengetahui ada atau
tidaknya perbedaan tingkat kesukaan panelis terhadap ketiga formula yang
mengandung rasio tepung terigu-tepung singkong berbeda. Uji rating hedonik
ini menggunakan skala 1-5 (1: sangat tidak suka, 2: tidak suka, 3: netral, 4:
suka, 5: sangat suka). Form uji hedonik terdapat pada Lampiran 8 dan hasil
pengolahan data organoleptik dapat dilihat secara lengkap pada Lampiran 9.
Pada Tabel 9 dapat dilihat nilai rataan skor panelis untuk keempat atribut
sensori.

Tabel 9 Nilai rataan skor panelis untuk keempat atribut sensori


Atribut Sensori
Aroma
Rasa
Tekstur
Overall

F1
3.6
3.7
2.7
3.2

F2
3.5
3.5
2.9
3.3

F3
3.6
3.6
3.0
3.5

4.1 Atribut Aroma


Salah satu pengujian kesukaan produk pangan dapat dilakukan
dengan pengujian aroma. Aroma suatu makanan dapat dinilai dengan
indera penciuman/pembau. Aroma makanan banyak menetukan kelezatan
makanan tersebut dan pembauan dapat mengenal enak tidaknya satu
makanan (Winarno, 1997). Hasil analisis ragam seperti dapat dilihat pada
Lampiran 9 menunjukkan bahwa ketiga formula tidak berbeda secara nyata
terhadap kesukaan panelis untuk atribut aroma.

4.2 Atribut Rasa


Rasa merupakan faktor penting dalam menentukan penerimaan
konsumen terhadap produk tertentu setelah faktor warna produk. Pengujian
rasa pada makanan banyak melibatkan lidah (Winarno, 1997). Hasil
analisis ragam seperti dapat dilihat pada Lampiran 9 menunjukkan bahwa
ketiga formula tidak berbeda secara nyata terhadap kesukaan panelis untuk
atribut rasa.

4.3 Atribut Tekstur


Tekstur merupakan salah satu hal penting yang berpengaruh pada
penerimaan konsumen selain atribut aroma, rasa, dan warna. Tekstur
berkaitan dengan proses konsumsi pangan. Hasil analisis ragam seperti

dapat dilihat pada Lampiran 9 menunjukkan bahwa ketiga formula tidak


berbeda secara nyata terhadap kesukaan panelis untuk atribut tekstur.

4.4 Atribut Overall


Penentuan formula terpilih didasarkan pada atribut overall. Atribut
overall menggambarkan tingkat penerimaan panelis secara menyeluruh
terhadap produk, baik dari segi aroma, rasa maupun tekstur. Hasil analisis
ragam seperti dapat dilihat pada Lampiran 9 menunjukkan bahwa ketiga
formula tidak berbeda secara nyata terhadap kesukaan panelis untuk atribut
overall.
Berdasarkan hasil keseluruhan uji organoleptik dapat ditarik
kesimpulan bahwa substitusi atau penggantian tepung terigu dengan tepung
singkong sebagai bahan baku banana bars tidak memberikan perbedaan
penerimaan panelis, hal ini menunjukkan bahwa penggunaan bahan lokal
memiliki potensi yang sangat besar untuk produk pangan darurat sehingga
produk ini juga dapat dikembangkan dan diproduksi oleh daerah.
Pembuatan produk pangan darurat oleh daerah akan meningkatkan
ketahanan pangan daerah tersebut dalam menghadapi situasi darurat karena
bencana. Selain itu, penggunaan bahan lokal dapat menekan harga produksi
produk pangan darurat. Namun, dengan mempertimbangkan segala aspek
baik dari segi ekonomis maupun teknis diputuskan untuk memilih Formula
3 (dengan rasio tepung kedelai pisang (2:3) dan rasio tepung terigu
singkong (1:1)) sebagai formula terpilih yang akan memasuki tahap
pendugaan umur simpan.
Formula 3 yang akan memasuki tahap pendugaan umur simpan
kemudian dianalisis kembali untuk mengetahui kandungan nilai energi
akhir. Produk akhir ini memiliki kadar air sebesar 4.87 %, kadar abu
sebesar 3.38 %, kadar protein sebesar 16.31 %, kadar lemak sebesar 18.94

%, dan kadar karbohidrat sebesar 56.5 %. Jumlah makronutrien dan


kandungan energinya dapat dilihat pada Tabel 10.
Berdasarkan data pada Tabel 10, terlihat bahwa produk pangan
darurat banana bars telah memenuhi persyaratan kandungan makronutrien
yaitu terdiri dari 35-45 % lemak, 10-15 % protein dan 40-50 % karbohidrat
dari total energi (Zoumas et al., 2002). Persentase kandungan makronutrien
produk ini memasuki kisaran yang disyaratkan. Produk banana bars
mengandung 14.15 % protein dari total energi, 36.92 % lemak dari total
energi, dan 48.94 % karbohidrat dari total energi. Total energinya sebesar
230.85 kkal/50 gram produk.
Tabel 10 Jumlah Makronutrien dan Kandungan Energi Formula Terpilih /
50 gram produk
Kadar air (g)
2.435
Nilai energi
makronutrien (kkal)
% makronutrien dari
total energi

Kadar
Protein (g)
8.155

Kadar
Lemak (g)
9.47

Kadar
Kabohidrat (g)
28.25

32.62

85.23

113

14.15 %

36.92 %

48.94 %

Nilai Energi
(kkal)
230.85

Menurut peraturan Badan Pengawas Obat dan Makanan RI pada


tahun 2003 mengenai Pedoman Pelabelan Pangan, terdapat beberapa klaim
mengenai kandungan gizi. Klaim tersebut terbagi menjadi pangan
berkalori, pangan rendah kalori, pangan kurang kalori dan pangan tanpa
kalori.

Pangan berkalori apabila pangan tersebut dapat memberikan

minimum 300 kkal per hari. Pangan rendah kalori apabila pangan tersebut
mengandung kurang atau sama dengan 40 kkal per saji. Pangan kurang
kalori apabila pangan tersebut sedikitnya mengandung 25% kalori lebih
rendah dari jumlah kalori dalam pangan sejenis per saji. Pangan tanpa
kalori apabila pangan tersebut mengandung kurang dari 5 kkal per saji.
Produk pangan darurat banana bars memiliki kandungan energi 230.85/50
gram atau setara dengan 2077.65 kkal/hari, nilai total energi produk ini

telah melampaui nilai energi minimum yang ditetapkan oleh BPOM


sehingga pangan ini dapat disebut sebagai pangan berkalori.

5.

Perubahan Mutu Produk selama Penyimpanan


Penyimpangan suatu produk dari mutu awalnya disebut deteriorasi.
Produk pangan mengalami deteriorasi segera setelah diproduksi. Reaksi
deteriorasi dimulai dengan persentuhan produk dengan udara, oksigen, uap air,
cahaya atau akibat perubahan suhu. Reaksi ini dapat pula diawali oleh
hentakan mekanis seperti vibrasi, kompresi, dan abrasi. Tingkat deteriorasi
produk dipengaruhi oleh lamanya penyimpanan (Arpah, 2001).
Reaksi deteriorasi pada produk pangan dapat disebabkan oleh faktor
intrinsik maupun ekstrinsik yang selanjutnya akan memicu reaksi di dalam
produk berupa reaksi kimia, reaksi enzimatis atau lainnya seperti proses fisik
dalam bentuk penyerapan uap air atau gas dari sekeliling. Ini akan
menyebabkan perubahan-perubahan terhadap produk yang meliputi: perubahan
tekstur, flavor, warna, penampakan fisik nilai gizi, mikrobiologis maupun
makrobiologis (Arpah, 2001).

5.1 Parameter Kadar Air


Air merupakan komponen utama dalam bahan makanan yang
mempengaruhi rupa, tekstur maupun citarasa bahan. Kandungan air dalam
bahan makanan ikut menentukan penerimaan suatu bahan makanan,
kesegaran, dan daya tahan suatu bahan (Winarno, 1997).

Selama

penyimpanan, kadar air produk banana bars cenderung mengalami


kenaikan. Pada keadaan awal, kadar air produk ini sebesar 4.87 %. Setelah
penyimpanan selama 28 hari, kadar air produk naik hingga mencapai 8.38
%. Pola perubahan kadar air pada produk yang disimpan di 37oC cenderung
tidak konstan namun mengalami kenaikan. Sedangkan pola kenaikan kadar

air pada produk yang disimpan di suhu 45oC dan 50oC memiliki
kecenderungan yang sama. Pada akhir masa penyimpanan, produk yang
disimpan pada suhu 37oC memiliki kadar air sebesar 7.93 %. Produk yang
disimpan pada suhu 45oC memiliki nilai kadar air sebesar 7.835 %,
sedangkan produk yang disimpan pada suhu 50oC memiliki kadar air
sebesar 8.38 %.
Peningkatan kadar air dapat meningkatkan laju reaksi deteriorasi
dengan cepat. Produk pangan dapat dikelompokkan menjadi dua kelompok
dalam hubungannya dengan perubahan kadar air selama penyimpanan yaitu
: pertama, produk pangan yang menyerap uap air dan kedua adalah produk
pangan yang mengalami kehilangan kandungan air. Makanan kering
mengalami kerusakan jika menyerap uap air yang berlebihan. Kerusakan
ini cukup kompleks karena dapat melibatkan atau memicu berbagai jenis
reaksi deteriorasi lain yang sensitif terhadap perubahan aw. Beberapa reaksi
dapat berlangsung secara spontan seperti reaksi pencoklatan non-enzimatis,
reaksi oksidasi dan reaksi pembentukan off-flavor yang dapat menurunkan
mutu pangan (Arpah, 2001). Nilai peningkatan kadar air selama
penyimpanan dapat dilihat pada Tabel 11. Pola kenaikan kadar air selama
penyimpanan dapat dilihat pada Gambar 12.
Tabel 11 Nilai peningkatan kadar air selama penyimpanan
Suhu

37oC

Hari ke-

Kadar
air (%)

Hari
ke-

Kadar
air (%)

Hari
ke-

Kadar
air (%)

4.87

4.87

4.87

5.98

5.10

5.11

14

4.72

14

5.76

14

5.14

21

5.52

21

5.79

21

6.52

28

7.93

28

7.84

28

8.38

Suhu

45oC

Suhu

50oC

Gambar 12 Grafik Pola Kenaikan Kadar Air selama Penyimpanan

5.2 Parameter Aktifitas Air (aw)


Kandungan air dalam bahan pangan mempengaruhi daya tahan
pangan terhadap serangan mikroba, yang dinyatakan dengan aw, yaitu
jumlah air bebas yang dapat dipergunakan oleh mikroorganisme untuk
pertumbuhannya ataupun untuk reaksi kimiawi. Berbagai mikroorganisme
mempunyai aw minimum agar dapat tumbuh dengan baik. Namun nilai aw
juga dapat mempengaruhi berbagai reaksi yang terjadi dalam pangan
seperti oksidasi lipid, pencoklatan non-enzimatik, reaksi hidrolitik dan
aktivitas enzim (Winarno, 1997). Sehingga nilai aw menjadi suatu hal yang
sangat penting yang menentukan tingkat keawetan suatu produk pangan.
Nilai aw pada produk awal sebelum disimpan adalah 0.464. Kemudian
selama penyimpanan 28 hari nilai aw produk yang disimpan di ketiga suhu
(37oC, 45oC, dan 50oC) mengalami kenaikan. Pola kenaikan cenderung
stabil, tidak mengalami fluktuasi yang besar. Pada akhir masa
penyimpanan, produk yang disimpan pada suhu 37oC memiliki aw sebesar
0.568. Produk yang disimpan pada suhu 45oC memiliki nilai aw sebesar
0.613, sedangkan produk yang disimpan pada suhu 50oC memiliki aw
sebesar 0.623. Nilai aw meningkat seiring dengan peningkatan kadar air
walaupun tidak berbanding secara lurus. Peningkatan kadar air yang tinggi

tidak menentukan kenaikan nilai aw yang juga tinggi. Nilai aw


mencerminkan air bebas yang ada dalam bahan pangan. Makin tinggi nilai
aw dapat memicu kerusakan secara mikrobiologis maupun kimiawi. Batas
nilai aw pada produk kering yaitu pada aw sekitar 0.6 untuk mencegah
kerusakan mikrobiologis oleh khamir osmofilik. Pola kenaikan nilai aw
selama penyimpanan dapat dilihat pada Gambar 13. Nilai peningkatan nilai
aw selama penyimpanan dapat dilihat pada Tabel 12.
Tabel 12 Nilai peningkatan nilai aw selama penyimpanan
Suhu

37oC

Hari
ke-

Nilai aw

Hari
ke-

Nilai aw

0.46

0.46

0.46

0.53

0.47

0.44

14

0.46

14

0.57

14

0.48

21

0.57

21

0.60

21

0.61

28

0.57

28

0.61

28

0.62

Hari ke-

Nilai aw

Suhu

45oC

Suhu

50oC

Gambar 13 Grafik Pola Kenaikan Nilai aw selama Penyimpanan.

5.3 Parameter Tekstur Objektif


Tekstur makanan adalah sifat fisik yang berasal dari struktur makanan
dan berhubungan dengan bentuk, pemecahan dan aliran karena gaya yang
diberikan (sifat reologi), dan

diukur secara subjektif dengan indera

pengecap, pendengar, dan penglihat. Tekstur makanan juga dapat diukur


secara objektif sebagai fungsi dari massa, jarak, tekanan, dan waktu
(Sitanggang, 2008). Tekstur suatu produk pangan merupakan salah satu
faktor penting yang mempengaruhi penerimaannya oleh konsumen. Setiap
jenis produk bakery memiliki variasi berdasarkan karakteristik teksturnya,
tidak hanya berdasarkan komposisi dan sifat fisik bahan penyusunnya
namun juga ukuran dan bentuk

udara yang terkandung didalamnya

(Coppock dan Cornford, 1960). Pengukuran tekstur secara objektif untuk


produk banana bars ini menggunakan alat Rheoner dengan probe jarum.
Atribut yang diukur adalah kekerasan/keteguhan (hardness/firmness) yaitu
menunjukkan kemampuan untuk mempertahankan bentuknya bila dikenai
suatu gaya. Spesifikasi pengaturan alat ini dapat dilihat pada Lampiran 10.
Pada keadaan awal, nilai kekerasan produk ini sebesar 1387.5
gramforce. Setelah penyimpanan selama 28 hari, nilai kekerasan produk
turun hingga mencapai 512.5 gramforce. Pola perubahan nilai kekerasan
pada produk yang disimpan di 37oC cenderung menurun namun tidak
tajam. Sedangkan pola penurunan nilai kekerasan pada produk yang
disimpan di suhu 45oC dan 50oC memiliki kecenderungan yang mirip. Pada
akhir masa penyimpanan, produk yang disimpan pada suhu 37oC memiliki
nilai kekerasan sebesar 1050 gramforce. Produk yang disimpan pada suhu
45oC memiliki nilai kekerasan sebesar 512.5 gramforce, sedangkan produk
yang disimpan pada suhu 50oC memiliki nilai kekerasan sebesar 537.5
gramforce. Perubahan pada tekstur akibat reaksi deteriorasi dapat berupa :
a). pengempukan; b). retrogradasi; c). stalling; d). perubahan kekentalan;
e). pengendapan; f). perubahan stabilitas dan pecahnya emulsi; g).
pemasiran dan masih banyak lagi penyimpangan lainnya. Penyimpangan-

penyimpangan ini menyebabkan produk pangan tidak menyerupai tekstur


aslinya, seperti pada awal produksi. Tergantung pada tingkat deteriorasi
yang berlangsung, perubahan tersebut dapat menyebabkan produk pangan
tidak diterima oleh konsumen. Pada pangan produk bakery, kerusakannya
lebih sering dihubungkan dengan kerusakan tekstur (Arpah, 2001).
Misalnya reaksi oksidasi lemak dan pencoklatan non-enzimatis dapat
mengakibatkan degradasi protein sehingga produk menjadi alot (Labuza,
1982). Jika dihubungkan dengan tren perubahan kadar air, maka nilai
kekerasan semakin menurun karena kandungan air dalam produk yang
meningkat sehingga karakteristik renyah produk hilang (produk menjadi
melunak) menyebabkan nilai kekerasannya menurun (Cauvain dan Young,
2000). Pola penurunan nilai kekerasan dapat dilihat pada Gambar 14. Nilai
kekerasan selama penyimpanan terdapat pada Tabel 13.
Tabel 13 Nilai kekerasan selama penyimpanan
Suhu

37oC

Hari
ke-

Nilai
kekerasan
(gforce)

Hari
ke-

Nilai
kekerasan
(gforce)

Hari
ke-

Nilai
kekerasan
(gforce)

1387.5

1387.5

1387.5

1400

1400

1350

14

1350

14

1362.5

14

1325

21

1100

21

1350

21

1287.5

28

1050

28

512.5

28

537.5

Suhu

45oC

Suhu

50oC

Gambar 14 Grafik Pola Penurunan Nilai Kekerasan selama Penyimpanan.

5.4 Parameter Organoleptik


Penilaian parameter organoleptik adalah untuk menentukan tingkat
penerimaan konsumen terhadap suatu produk. Pengujian organoleptik yang
dilakukan adalah uji rating hedonik. Uji hedonik dilakukan selama
penyimpanan dengan parameter yang diuji yaitu aroma, rasa, dan tekstur.
Skala yang digunakan adalah skala 1-7 (1 = sangat tidak suka, 2 = tidak
suka, 3 = agak tidak suka, 4 = netral, 5 = agak suka, 6 = suka, 7 = sangat
suka).

a. Atribut Aroma
Pada awal penyimpanan, skor kesukaan panelis terhadap atribut
aroma produk banana bars yang disimpan pada tiga suhu penyimpanan
(37oC, 45oC, dan 50oC) berkisar pada skor kesukaan 5.1 (agak suka).
Setelah mengalami penyimpanan selama 28 hari, skor kesukaan
terhadap atribut aroma banana bars yang disimpan pada suhu 37oC dan
45oC cenderung memiliki pola menurun yang mirip, sedangkan pola
penurunan mutu produk yang disimpan pada suhu 50oC agak lebih tajam

dibandingkan kedua suhu penyimpanan lainnya. Skor kesukaan produk


yang disimpan pada suhu 37oC memiliki pola penurunan yang sedikit,
skor kesukaannya berkisar 5.1 (agak suka) 4.6 (agak suka). Produk
yang disimpan pada suhu 45oC memiliki pola menurun yang agak tajam,
skor kesukaannya berkisar dari 5.1 (agak suka) 4.3 (netral) dan produk
yang disimpan pada suhu 50oC menurun dari 5.1 (agak suka) 3.8
(netral).
Perubahan aroma adalah masalah yang sensitif di dalam produk
pangan, hal ini disebabkan daya deteksi oleh sel-sel pembau di dalam
hidung yang mampu mencium bau yang terbentuk meskipun pada
konsentrasi yang sangat rendah. Terbentuknya beberapa molekul offflavor pada produk akan dapat dengan segera merusak flavor secara
keseluruhan. Reaksi deteriorasi yang banyak menyebabkan penurunan
mutu produk pangan setelah produksi adalah reaksi oksidasi lemak yang
menyebabkan terbentuknya komponen volatil yang bertanggung jawab
terhadap timbulnya off-flavor. Penyebab reaksi oksidasi adalah oksigen
yang terdapat di udara, peroksida, suhu, logam dan oksidator lainnya.
Suhu merupakan salah satu faktor yang berpengaruh terhadap
perubahan mutu makanan. Semakin tinggi suhu penyimpanan maka laju
reaksi berbagai senyawaan kimia akan semakin cepat. Produk banana
bars mengandung lemak yang cukup tinggi, sebagian besar berasal dari
margarin dan tepung kedelai. Semakin tinggi suhu penyimpanan maka
reaksi oksidasi lemak akan semakin cepat berlangsung dan dengan
demikian akan semakin cepat terjadi ketengikan (Syarief, 1993).
Perubahan nilai aw juga memiliki pengaruh terhadap oksidasi. Pada aw
rendah (di bawah nilai aw monolayer) laju oksidasi menurun dengan
meningkatnya aw. Laju reaksi oksidasi ini mendekati minimum sekitar
aw monolayer kemudian laju oksidasi kembali meningkat dengan
meningkatnya aw (Labuza, 1975). Pengaruh aw terhadap oksidasi lipid
adalah dengan mempengaruhi konsentrasi dari radikal bebas yang

menginisiasi reaksi. Jumlah air yang tersedia juga mempengaruhi derajat


kontak dan mobilisasi reaktan (Leung, 1987). Pada Gambar 15 dapat
dilihat pola penurunan skor kesukaan panelis terhadap atribut aroma.
Penurunan skor kesukaan parameter organoleptik atribut aroma dapat
dilihat pada Tabel 14.
Tabel 14 Penurunan skor parameter organoleptik atribut aroma
Suhu

37oC

Hari
ke-

Skor
kesukaan

Hari
ke-

Skor
kesukaan

Hari
ke-

Skor
kesukaan

5.1

5.1

5.1

4.9

4.6

4.4

14

5.0

14

4.9

14

4.6

21

4.8

21

4.6

21

3.9

28

4.6

28

4.3

28

3.8

Suhu

45oC

Suhu

50oC

Gambar 15 Grafik Uji Organoleptik Perubahan Tingkat Kesukaan


terhadap Atribut Aroma pada 3 suhu penyimpanan.
b.

Atribut Rasa
Pada awal penyimpanan, skor kesukaan panelis terhadap atribut
rasa produk banana bars yang disimpan pada tiga suhu penyimpanan
(37oC, 45oC, dan 50oC) berkisar pada skor kesukaan 5.5 (agak suka
suka). Setelah masa penyimpanan selama 28 hari, skor kesukaan

terhadap atribut rasa banana bars yang disimpan pada suhu 37oC
memiliki pola yang naik turun, sedangkan pola mutu produk yang
disimpan pada suhu 45oC dan 50oC mengalami penurunan yang agak
mirip. Penurunan skor kesukaan pada kedua suhu ini lebih tajam
dibandingkan dengan penurunan skor kesukaan pada suhu penyimpanan
37oC. Skor kesukaan produk yang disimpan pada suhu 37oC berkisar 5.5
(agak suka) 4.8 (agak suka). Produk yang disimpan pada suhu 45oC
memiliki pola menurun yang agak tajam, skor kesukaannya berkisar dari
5.5 (agak suka) 4.2 (netral) dan produk yang disimpan pada suhu 50oC
menurun dari 5.5 (agak suka) 3.4 (agak tidak suka).
Pola perubahan kesukaan panelis dapat disebabkan oleh berbagai
hal. Produk yang disimpan pada suhu 37oC memiliki pola penurunan
yang tidak terlalu tajam hal ini dikarenakan perubahan rasa produk tidak
berubah secara signifikan dari rasa awal produk, rasa pisang masih
mendominasi. Pada produk yang disimpan pada suhu 45oC, penurunan
kesukaan panelis cukup tajam, hal ini disebabkan perubahan rasa yang
cukup berbeda dari rasa awal, mulai timbul rasa asam yang tipis pada
produk. Produk yang disimpan pada suhu 50oC mengalami penurunan
tingkat kesukaan yang tajam, hal ini disebabkan rasa produk berbeda
dengan rasa awal produk, timbul rasa agak asam walaupun rasa pisang
masih tersisa pada produk. Selain itu, peningkatan suhu penyimpanan
dapat meningkatkan laju reaksi kimia maupun mikrobiologi yang
menyebabkan degradasi atribut mutu produk salah satunya rasa. Pada
Gambar 16 dapat dilihat pola penurunan skor kesukaan panelis terhadap
atribut rasa. Penurunan skor kesukaan parameter organoleptik atribut
rasa dapat dilihat pada Tabel 15.

Tabel 15 Penurunan skor kesukaan parameter organoleptik atribut rasa


Suhu

37oC

Hari
ke-

Skor
kesukaan

Hari
ke-

Skor
kesukaan

Hari
ke-

Skor
kesukaan

5.5

5.5

5.5

4.8

5.2

5.0

14

5.1

14

4.9

14

4.4

21

5.1

21

4.6

21

3.6

28

4.8

28

4.2

28

3.4

Suhu

45oC

Suhu

50oC

Gambar 16 Grafik Uji Organoleptik Perubahan Tingkat Kesukaan


terhadap Atribut Rasa pada 3 suhu penyimpanan.

c. Atribut Tekstur
Tekstur suatu produk pangan merupakan faktor penting yang
mempengaruhi penerimaannya oleh konsumen. Pada awal penyimpanan,
skor kesukaan panelis terhadap atribut tekstur produk banana bars yang
disimpan pada tiga suhu penyimpanan (37oC, 45oC, dan 50oC) berkisar
pada skor kesukaan 3.3 (agak tidak suka netral). Setelah mengalami
penyimpanan selama 28 hari, skor kesukaan terhadap atribut tekstur
banana bars yang disimpan pada ketiga suhu yaitu 37oC, 45oC, dan

50oC memiliki pola yang naik turun (tidak konstan menurun). Skor
kesukaan produk yang disimpan pada suhu 37oC berkisar 3.3 (agak tidak
suka) 2.7 (agak tidak suka). Produk yang disimpan pada suhu 45oC
skor kesukaannya berkisar dari 3.3 (agak tidak suka) 3.2 (agak tidak
suka) dan produk yang disimpan pada suhu 50oC menurun dari 3.3 (agak
tidak suka) 3.0 (agak tidak suka). Pada Gambar 17 dapat dilihat pola
penurunan skor kesukaan panelis terhadap atribut tekstur. Penurunan
skor kesukaan parameter organoleptik atribut tekstur dapat dilihat pada
Tabel 16.
Tabel 16 Penurunan skor kesukaan parameter organoleptik atribut
tekstur
Suhu

37oC

Hari
ke-

Skor
kesukaan

Hari
ke-

Skor
kesukaan

Hari
ke-

Skor
kesukaan

3.3

3.3

3.3

2.7

3.8

3.9

14

4.3

14

4.1

14

3.6

21

3.5

21

3.3

21

3.0

28

3.0

28

3.2

28

3.2

Suhu

45oC

Suhu

50oC

Gambar 17 Grafik Uji Organoleptik Perubahan Tingkat Kesukaan


terhadap Atribut tekstur pada 3 suhu penyimpanan.

6.

Pendugaan Umur Simpan


Salah satu faktor mutu makanan yang terpenting adalah citarasa atau
flavor. Perubahan mutu makanan terutama dapat diketahui dari perubahan
faktor mutu tersebut, oleh karenanya dalam menentukan daya simpan makanan
perlu dilakukan pengukuran-pengukuran terhadap atribut tersebut (Syarief,
1993). Untuk menganalisis penurunan mutu dengan metode Arrhenius
diperlukan beberapa pengamatan, yaitu harus ada parameter yang diukur secara
kuantitatif dan parameter tersebut harus mencerminkan keadaan mutu produk
yang diperiksa.
Uji pendugaan umur simpan untuk produk bars ini menggunakan metode
akselerasi model Arrhenius. Produk disimpan pada tiga jenis suhu yaitu 37 oC,
45oC, dan 50oC selama empat minggu. Pengamatan dilakukan setiap satu
minggu. Parameter yang diamati meliputi parameter sensori terhadap atribut
aroma, rasa, dan tekstur, parameter kadar air, parameter nilai aw, dan parameter
tekstur objektif.
Untuk parameter sensori dilakukan uji rating hedonik dengan
menggunakan 28 orang panelis tetap. Skala penilaian yang digunakan adalah
skala 1-7 (1: sangat tidak suka, 2: tidak suka, 3: agak tidak suka, 4: netral, 5:
agak suka, 6: suka, 7: sangat suka). Kuesioner uji rating hedonik dapat dilihat
pada Lampiran 11.
6.1 Penentuan Nilai Kritis
Nilai kritis kerusakan produk banana bars untuk atribut sensori
adalah nilai penerimaan dengan skala 2. Nilai kritis untuk paramete aw
adalah 0.6, nilai ini ditentukan berdasarkan kisaran nilai aw untuk produk
kering yaitu sekitar 0.2 - 0.6 (Zoumas et al, 2002). Nilai kritis kekerasan
sebesar 512.5 gramforce ketika penilaian penelis berada pada skor yang
paling rendah. Nilai kritis kadar air yaitu sebesar 8.38 % ditentukan ketika
kekerasan mencapai nilai minimum. Pada Tabel 17 dapat dilihat nilai awal
dan nilai kritis berdasarkan beberapa parameter.

Tabel 17 Nilai Awal dan Nilai Kritis Berdasarkan Beberapa Parameter


Parameter
Sensori (Aroma)
Sensori (Rasa)
Sensori (Tekstur)
Kadar Air
Tekstur Objektif

Nilai Awal
5.1
5.5
3.3
4.87 %
1387.5 gr force

Nilai Kritis
2
2
2
8.38 %
512.5 gr force

6.2 Pendugaan Umur Simpan Beberapa Parameter


Pengolahan data uji pendugaan umur simpan diawali dengan mencari
rataan skor (nilai) dari tiap parameter, lalu diplotkan terhadap waktu
penyimpanan untuk setiap suhu penyimpanan. Untuk ordo 0, nilai rataan
diplotkan terhadap waktu penyimpanan untuk setiap suhu. Untuk ordo 1,
nilai rataan dibuat menjadi bentuk ln terlebih dahulu kemudian diplotkan
terhadap waktu penyimpanan untuk setiap suhu. Hasil plot ini akan
memberikan grafik dengan persamaan linear. Ordo reaksi ditentukan
dengan melihat nilai R2 yang lebih besar. Grafik ordo nol dan ordo satu tiap
parameter dapat dilihat pada Lampiran 13.

a. Parameter Kadar Air


Berdasarkan grafik, diperoleh nilai R2 yang lebih besar pada reaksi
ordo satu. Untuk selanjutnya perhitungan umur simpan atribut kadar air
akan menggunakan ordo satu. Slope yang diperoleh dari ketiga grafik
merupakan nilai k masing-masing suhu. Nilai k ini harus diubah
kedalam bentuk ln lalu diplotkan dengan suhu penyimpanan dalam
bentuk 1/T. Nilai k dapat dilihat pada Tabel 18.

Tabel 18 Nilai k dan ln k pada Tiga Suhu Penyimpanan


Suhu
Penyimpanan
37

1/T

ln k

310

0.003226

-4.42285

0.012

45

318

0.003145

-4.19971

0.015

50

323
0.003096 -3.96332
0.019
k = konstanta penurunan suhu
T = suhu penyimpanan (Kelvin)
Dengan memplotkan kebalikan suhu mutlak (1/T) terhadap ln k, maka
diperoleh grafik seperti Gambar 18.

Gambar 18 Grafik Hubungan ln k rata-rata kadar air dengan suhu (1/T).


Berdasarkan persamaan regresi yang diperoleh pada Gambar 18, maka
dapat ditentukan persamaan penurunan mutu sebagai berikut :
y = -3458 x + 6.719
ln k = -3458 (1/T) + 6.719
Dari persamaan dapat diperoleh ln k dengan memasukkan nilai 1/T
(28oC):

y = -3458 (0.003322259) + 6.719


y = -4.769371622
maka k = Arc ln y
= 0.008485711

Pada awal penyimpanan tingkat kesukaan parameter kadar air produk


banana bars adalah 4.87 % dan nilai kritisnya adalah 8.38 %. Reaksi

menggunakan ordo satu maka umur simpan produk pada suhu


penyimpanan 28oC adalah :
t = (ln Qt ln Qo) / k
t = 0.542753977/0.008485711
t = 63.960.93327 hari
= 2.13 bulan
Dengan cara yang sama diperoleh perhitungan pendugaan umur simpan
produk pada suhu penyimpanan 37oC, 45oC dan 50oC :
k 37oC = 0.011845146
t 37oC = 45.82079399 hari = 1.53 bulan
k 45oC = 0.015682442
t 45oC = 34.60902164 hari = 1.15 bulan
k 50oC = 0.018557495
t 50oC = 29.24715802 hari = 0.97 bulan
b. Parameter nilai aw
Parameter nilai aw tidak dijadikan sebagai parameter pendugaan
umur simpan. Hal ini disebabkan perubahan nilai aw lebih cocok
digunakan sebagai parameter umur simpan dengan model pendekatan
kadar air kritis atau pendekatan kurva sorpsi isotherm dimana kerusakan
produk semata-mata disebabkan oleh penyerapan air dari lingkungan
hingga mencapai batas yang tidak dapat diterima oleh konsumen,
sehingga perubahan aw menjadi hal yang signifikan. Namun, pada
penelitian ini perubahan nilai aw tetap dijadikan sebagai tolok ukur
produk banana bars agar berada dalam batas kisaran aw yang ditentukan
(sekitar 0.4-0.6) untuk memastikan keamanan produk ketika dikonsumsi
selama masa penyimpanan. Alasan lain adalah kisaran nilai aw berupa
angka desimal yang nilainya kurang dari 1, ketika nilai aw diubah dalam

bentuk ln menghasilkan nilai yang negatif sehingga tidak dapat


digunakan untuk perhitungan umur simpan.

c. Parameter Tekstur Objektif


Berdasarkan grafik, diperoleh nilai R2 yang lebih besar pada reaksi
ordo nol. Untuk selanjutnya perhitungan umur simpan atribut tekstur
objektif akan menggunakan ordo nol. Slope yang diperoleh dari ketiga
grafik merupakan nilai k masing-masing suhu. Nilai k ini harus diubah
kedalam bentuk ln lalu diplotkan dengan suhu penyimpanan dalam
bentuk 1/T. Nilai k dapat dilihat pada Tabel 19.
Tabel 19 Nilai k dan ln k pada Tiga Suhu Penyimpanan
Suhu
Penyimpanan
37

1/T

ln k

310

0.003226

2.633327

13.92

45

318

0.003145

3.24688

25.71

50

323
0.003096
3.225653
k = konstanta penurunan suhu
T = suhu penyimpanan (Kelvin)

25.17

Dengan memplotkan kebalikan suhu mutlak (1/T) terhadap ln k, maka


diperoleh grafik seperti Gambar 19.

Gambar 19 Grafik Hubungan ln k rata-rata nilai kekerasan dengan


suhu(1/T)
.

Berdasarkan persamaan regresi yang diperoleh pada Gambar 19, maka


dapat ditentukan persamaan penurunan mutu sebagai berikut :
y = -4868x + 18.39
ln k = -4868 (1/T) + 18.39
Dari persamaan dapat diperoleh ln k dengan memasukkan nilai 1/T
(28oC):
y = -4868 (0.003322259) + 18.39
y = 2.217243188
maka k = Arc ln y
= 9.181982941
Pada awal penyimpanan nilai kekerasan produk banana bars adalah
1387.5 gr force dan nilai kritisnya adalah 512.5 gr force. Reaksi
menggunakan ordo nol maka umur simpan produk pada suhu
penyimpanan 28oC adalah :
t = (Qt Qo) / k
t = 875/9.181982941
t = 95.29531971 hari
= 3.17 bulan
Dengan cara yang sama diperoleh perhitungan pendugaan umur simpan
produk pada suhu penyimpanan 37oC, 45oC dan 50oC :
k 37oC = 14.68426323
t 37oC

= 59.58759974 hari = 1.99 bulan

k 45oC = 21.79813309
t 45oC

= 40.14105228 hari = 1.34 bulan

k 50oC = 27.62700399
t 50oC

= 31.67191058 hari = 1.06 bulan

Dari hasil pengolahan data pendugaan umur simpan, diperoleh umur


simpan produk banana bars yang berbeda-beda berdasarkan tiap
parameter. Umur simpan banana bars berdasarkan parameter kadar air,
dan tekstur objektif dapat dilihat pada Lampiran 14.

d. Parameter Sensori
Parameter sensori untuk atribut aroma memiliki persamaan
Arrhenius y = -9028x + 23.23 dengan R2 sebesar 0.914. Jika produk
pangan darurat banana bars disimpan pada suhu 28oC maka umur
simpan produk ini adalah 27.06 bulan. Parameter sensori untuk atribut
rasa memiliki persamaan y = -12900x + 37.43 dengan nilai R2 0.996 dan
memiliki umur simpan produk pada suhu 28oC sekitar 43.17 bulan.
Sedangkan parameter sensori atribut tekstur tidak memiliki persamaan
Arrhenius karena nilai R2 untuk kedua ordo reaksi sangat kecil. Hasil
pengujian parameter sensori dapat memperlihatkan bahwa penurunan
mutu atribut aroma dan rasa produk banana bars stabil, dapat dilihat
dari tren kenaikan nilai k yang menunjukkan bahwa penurunan mutu
produk konsisten.
Ada beberapa kriteria dalam pemilihan parameter mutu untuk
menentukan umur simpan suatu produk yaitu : 1. Parameter mutu yang
paling cepat mengalami penurunan selama penyimpanan yang
ditunjukkan dengan nilai koefisien korelasi (R2) yang paling besar, 2.
Parameter mutu yang paling sensitif terhadap perubahan suhu, yang
dilihat dari nilai slope persamaan Arrhenius atau dapat dilihat dari energi
aktivasi yang paling rendah, 3. Bila terdapat lebih dari salah satu
parameter mutu yang memenuhi kriteria, maka dipilih parameter mutu
yang memiliki umur simpan paling pendek (Hariyadi et al, 2004).
Jika dilihat dari ketentuan pertama maka parameter mutu sensori
atribut rasa dan aroma memiliki nilai koefisien korelasi yang besar.
Hasil uji umur simpan untuk kedua atribut juga memenuhi persyaratan
umur simpan pangan darurat yaitu sekitar dua tahun. Namun, parameter
sensori untuk kedua atribut aroma dan atribut rasa diputuskan untuk
tidak digunakan dalam perhitungan pendugaan umur simpan produk
banana bars. Hal ini disebabkan uji sensori yang digunakan yaitu rating
hedonik tidak dapat menggambarkan pola kerusakan produk yang

sebenarnya. Penurunan nilai kesukaan panelis tidak berkolerasi secara


linear

dengan

pengujian

parameter

secara

objektif.

Misalnya

peningkatan kadar air pada produk yang menyebabkan penurunan


tingkat kekerasan bisa saja memiliki tingkat kesukaan panelis yang
tinggi.

Tingkat

kesukaan

panelis

bersifat

subjektif

dan

pola

perubahannya tidak konsisten sehingga hasil perhitungan umur simpan


yang didapatkan tidak tepat.
Parameter mutu kadar air memiliki koefisien korelasi sebesar
0.974. Parameter mutu tekstur objektif memiliki koefisien korelasi
sebesar 0.840. Oleh karena itu, berdasarkan ketentuan menurut Hariyadi
et al (2004), parameter kadar air digunakan sebagai parameter mutu
pendugaan umur simpan pangan darurat karena memiliki umur simpan
yang lebih pendek dan nilai koefisien korelasi yang lebih besar
dibandingkan

dengan

parameter

kekerasan

objektif.

Dengan

menggunakan kadar air sebagai parameter mutu penyimpanan, jika


produk disimpan pada suhu 28oC, produk pangan darurat banana bars
memiliki umur simpan selama 2.13 bulan. Hal ini dapat disebabkan
kenaikan kadar air yang cukup besar selama penyimpanan sehingga pola
kenaikan yang cukup tajam menurunkan daya awet produk ini. Kenaikan
kadar air ini dapat disebabkan oleh teknik pengemasan yang digunakan.
Teknik pengemasan pada penelitian ini adalah dengan merapatkan
kemasan metallized plastic menggunakan sealer. Uap air dari
lingkungan dapat berdifusi masuk melalui keliman yang tidak rapat,
sehingga terjadi peningkatan kadar air. Nilai umur simpan ini
sebenarnya belum memenuhi kriteria yang disyaratkan untuk produk
pangan darurat yaitu sekitar 36 bulan atau 3 tahun pada suhu
penyimpanan 21oC (Zoumas et al, 2002). Untuk itu dibutuhkan teknik
pengemasan lain yang dapat meningkatkan umur simpan produk.

7. Hasil Uji Mikrobiologi


Uji mikrobiologi yang dilakukan untuk produk ini adalah uji total
mikroba (TPC) dan uji total kapang-khamir. Hasil uji H-0 menunjukkan bahwa
produk pangan darurat banana bars memiliki total mikroba 2.3x102
koloni/gram, sedangkan untuk total kapang-khamir sebesar 1.0 x 101
koloni/gram. Menurut SNI no. 01-2973-1992 untuk produk cookies,
disyaratkan jumlah total mikroba maksimum sebesar 1 x 106 koloni/gram dan
jumlah

total

kapang-khamir

sebesar

1x102

koloni/gram.

Dengan

membandingkan standar SNI dan kandungan total mikroba dan kapang-khamir


yang dikandung dalam produk, maka produk pangan darurat banana bars ini
aman dikonsumsi oleh manusia. Pengujian mikrobiologi juga dilakukan pada
hari penyimpanan ke-28. Hasil uji menunjukkan jumlah total mikroba pada
produk yang disimpan di suhu 37oC sebesar 6.9x102 koloni/gram, untuk
produk yang disimpan pada suhu 45oC nilai TPC sebesar 7.5x102 koloni/gram,
dan untuk produk yang disimpan pada suhu 50oC nilai TPC sebesar 9.0x102
koloni/gram. Hasil uji total Kapang-Khamir produk yang disimpan di suhu
37oC sebesar 2.4x101 koloni/gram, untuk produk yang disimpan pada suhu
45oC sebesar 4.5x101 koloni/gram, dan untuk produk yang disimpan pada suhu
50oC nilai TPC sebesar 9.0x101 koloni/gram. Nilai TPC maupun nilai Total
Kapang-Khamir untuk hari penyimpanan ke-28 masih berada dalam batas
aman untuk konsumsi manusia sesuai dengan yang ditetapkan di dalam SNI.
8. Hasil Analisis Biaya
Perhitungan biaya produksi banana bars hanya dihitung berdasarkan
biaya bahan baku dan biaya operasional (biaya pemakaian oven). Rincian
perkiraan biaya dapat dilihat pada Tabel 20.

Tabel 20 Perkiraan biaya produksi banana bars


Bahan baku

Harga

Tepung Kedelai
Rp 9.88/gram
Pisang
Rp 500.00/buah
Tepung Terigu
Rp 11.40/gram
Tepung singkong
Rp 5.00/gram
Gula
Rp 16.00/gram
Margarin
Rp 18.00/gram
Garam
Rp 5.00/gram
Jumlah Total Biaya Bahan Baku
Total Adonan
Berat produk akhir 50 gram maka FP
Harga Oven Baking Rp 20000/jam
Biaya Baking/50 gram
Biaya Produksi/50 gram

Jumlah (gram)

Jumlah Biaya (Rp)

200
300
25
25
160
100
1.25

1976
2500
285
125
2560
1800
6.25
9252.25

811.25
11.97

772.95

357.14
1130.09

V.

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan
Tepung kedelai yang dihasilkan memiliki rendemen sekitar 70.83 %.
Tepung singkong yang dihasilkan memiliki rendemen sekitar 40 %. Hasil analisis
tepung kedelai melputi kadar air sebesar 4.14 %, kadar abu sebesar 5.36 %, kadar
protein sebesar 41.70 %, kadar lemak 24.66 %, dan kadar kabohidrat sebesar
24.14 %. Rendemen tepung singkong yang dihasilkan sekitar 40 %. Hasil analisis
tepung singkong meliputi kadar air sebesar 8.88 %, kadar abu sebesar 2.84 %,
kadar protein sebesar 0.42 %, kadar lemak 1.49%, dan kadar kabohidrat sebesar
86.37 %. Hasil analisis tepung terigu meliputi kadar air sebesar 13.35 %, kadar
abu sebesar 0.70 %, kadar protein sebesar 5.28 %, kadar lemak 11.76 %, dan
kadar kabohidrat sebesar 68.91 %.
Tahap formulasi menghasilkan enam formula. Formula 1 terbuat dengan
rasio tepung kedelai dan pisang (2:3) dan rasio tepung terigu-singkong (1:0),
Formula 2 menggunakan rasio tepung kedelai dan pisang (2:3) dan rasio tepung
terigu-singkong (0:1), Formula 3 menggunakan rasio tepung kedelai dan pisang
(2:3) dan rasio tepung terigu-singkong (1:1), Formula 4 menggunakan rasio
tepung kedelai dan pisang (1:1) dan rasio tepung terigu-singkong (1:0), Formula 5
menggunakan rasio tepung kedelai dan pisang (1:1) dan rasio tepung terigusingkong (0:1), dan Formula 6 menggunakan rasio tepung kedelai dan pisang
(1:1) dan rasio tepung terigu-singkong (1:1).
Hasil pengolahan data secara statistik untuk keenam formula banana bars
menunjukkan bahwa faktor rasio tepung kedelai-pisang menunjukkan pengaruh
yang tidak nyata pada taraf signifikansi 5 % terhadap respon nilai energi. Untuk
faktor rasio tepung terigu-tepung singkong, berpengaruh nyata terhadap respon
nilai energi pada taraf signifikansi 5 %. Interaksi antara kedua faktor tidak
memberikan pengaruh yang nyata terhadap respon nilai energi. Berdasarkan uji
lanjut Duncan, masing-masing taraf pada rasio tepung terigu-tepung singkong
memberikan pengaruh nilai energi yang berbeda nyata. Ada banyak faktor yang

menjadi pertimbangan untuk mengambil keputusan formula terpilih selain nilai


energi, misalnya dari segi ekonomis yaitu harga dan segi teknis yaitu proses
pembuatan. Sehingga formula yang masuk ke tahap uji organoleptik adalah
formula 1, formula 2 , dan formula 3. Setelah uji organoleptik didapat bahwa
formula terpilih adalah formula 3 (dengan rasio tepung kedelai pisang (2:3) dan
rasio tepung terigu singkong (1:1)).
Hasil uji pendugaan umur simpan dengan parameter kadar air pada suhu
28oC memiliki umur simpan selama 2.13 bulan dan parameter tekstur objektif
pada suhu 28oC memiliki umur simpan selama 3.17 bulan. Parameter sensori
untuk kedua atribut aroma dan atribut rasa diputuskan untuk tidak digunakan
dalam perhitungan pendugaan umur simpan produk banana bars. Hal ini
disebabkan uji sensori yang digunakan yaitu rating hedonik tidak dapat
menggambarkan pola kerusakan produk yang sebenarnya, namun parameter
sensori ini dapat menunjukkan bahwa penurunan mutu produk secara sensori
stabil. Hasil uji menunjukkan bahwa produk pangan darurat banana bars
memiliki total mikroba 2.3x102 koloni/gram, sedangkan untuk total kapangkhamir sebesar 1.0x101 koloni/gram. Nilai ini memenuhi SNI untuk produk
cookies sehingga produk ini layak dan aman dikonsumsi manusia. Perkiraan
biaya produksi produk banana bars yaitu Rp. 1130.09/50 gram.

B. Saran

1. Pemilihan metode uji pendugaan umur simpan lain seperti metode pendekatan
kadar air kritis atau kurva sorpsi isotherm untuk produk kering.
2.

Penggunaan variasi jenis pisang lokal lainnya seperti pisang kepok, pisang
uli atau pisang raja sebagai perbandingan untuk menghasilkan produk banana
bars terbaik.

3.

Pemilihan teknik pengemasan seperti pengemasan vakum untuk produk sehingga


diperoleh daya awet yang baik.

DAFTAR PUSTAKA

Akingbala, J. O., K. O. Falade, and M. A. Ogunjobi. 2009. The Effect of Root


Maturity, Preprocess Holding and Flour Storage on the Quality of
Cassava Biscuit. Journal of Food Bioprocess Technology.
doi:10.1007/s11947-009-0185z
Alves, A. A. C. 2001. Cassava Botany and Physiology. Di dalam : R. J. Hillocks,
J.M. Thresh dan A. C. Bellotti (ed.). Cassava Biology, Production and
Utilization. CABI Publishing, New York.
Anonima. 1996. Makalah yang Disampaikan pada Pelatihan Produk-Produk Olahan
Ekstrusi, Bakery and Frying. PAU Pangan dan Gizi. Kantor Menteri
Urusan Pangan, Jakarta.
Anonimb. 2008. http : //www.bogasarifloumill.com [10 Desember 2008]
Anonimc. 2008. http : //www.nutritiondata.com [5 Agustus 2009]
Anonimd. 2008. http : //www.barryfarm.com [5 Agustus 2009]
Apriyantono, A., D. Fardiaz, S. Budiyanto, dan N. L. Puspitasari. 1989. Penuntun
Praktikum Analisa Pangan. Fateta IPB, Bogor.
Arpah. 2001. Buku dan Monograf Penentuan Kadaluwarsa Produk Pangan. Program
Studi Ilmu Pangan IPB, Bogor.
Badan Pengawas Obat dan Makananan. 2003. Pedoman Pelabelan Pangan.
http://www.bpom.or.id [28 Agustus 2009]
Cappock, J. B. M dan S. J. Cornford.1960. Texture in Bread and Flour Confectionary.
Society of Chemical Industry, London.
Cauvain, S. P dan L. S. Young. 2000. Bakery Food Manufacture and Quality : Water
Control and Effects. Blackwell Science, Gloucester.
Chandler, S. 1995. The Nutritional Value of Bananas. Di dalam : Gowen, S (ed.).
Bananas and Plaintains. Chapman and Hall, New York.
Djoebaedah, H. S. 1990. Mempelajari Sifat Fisiologis Pasca Panen Buah Pisang Raja
(Musa Paradisiaca L.) Selama Penyimpanan : Pengaruh Penggunaan
Benlate-50, Kantong Plastik Polietilen Serta Campuran Kapur dan
KMnO4. Skripsi. Fateta IPB, Bogor.

Fadilah, N. 2004. Pengaruh Pengolahan dan Penyimpanan Mi Instan Berbahan Dasar


Terigu-Tepung Singkong-Tapioka Serta Penambahan CMC
(carboxymetilselullose) Terhadap Daya Cerna Pati Secara in vitro.
Skripsi. Fateta IPB, Bogor.
Fardiaz, S. 1989. Penuntun Praktikum Mikrobiologi Pangan. Penerbit IPB, Bogor.
Gillies, M.T. 1974. Compressed Food Bars. Noyes Data Corporation. Park Ridge,
New Jersey.
Hariyadi, P, N. Andarwulan, F. Kusnandar, S. Koswara. 2004. Pendugaan Waktu
Kadaluwarsa (Shelf Life) Bahan dan Produk Pangan. Di dalam : Modul
Pelatihan Pendugaan Umur Simpan, 4-5 Oktober 2004, Bogor.
Husain, E. 1993. Biskuit, Crackers and Cookies Pengenalan tentang: Aspek Bahan
Baku, Teknologi dan Produksi. Makalah yang Disampaikan dalam Paket
Seminar Industri Pangan. Himitepa-IPB, Bogor.
IOM (Institute of Medicine). 1995. Estimated Mean per Capita Energy Requirements
for Planning Energy Food and Rations. National Academy Press,
Washington, DC.
John, P. dan Marchal, J. 1995. Ripening and Biochemistry of the Fruit. Di dalam :
Gowen, S (ed.). Bananas and Plaintains. Chapman and Hall, New York.
Koswara, S. 1992. Teknologi Pengolahan Kedelai : Menjadikan Makanan Bermutu.
Pustaka Sinar Harapan, Jakarta.
Lan, P. J. 1989. Perubahan Fisiko Kimia Buah Pisang Raja Bulu Selama Pematangan.
Skripsi. Fateta, IPB, Bogor.
Liu, K. 1997. Soybean: Chemistry, Technology, and Utilization. Chapman and Hall,
New York.
Matz, S. A. 1978. Cookies and Crackers Technology. The AVI Publishing Co. Inc.,
Westport, Connecticut.
Morton, S. 1988. Bread without Wheat. Journal of New Sciences 28, April, 1988.
Muchtadi, D dan P. S. Soeryo. 1991. Pemanfaatan Tepung Singkong Sebagai Bahan
Pensubstitusi Terigu dalam Pembuatan Mie Kering yang Difortifikasi
dengan Tepung Tempe. Fateta IPB, Bogor.
Munadjim.1983. Teknologi Pengolahan Pisang. Gramedia, Jakarta.

Mustakas, G. C., W. J. Albrecht, G. N. Bookwalter dan E. L. Griffin Jr. 1967. Full


Fat Soya Flour by Simple Method for Villagers. Food and Agricultural
Organization of The United Nations, Rome.
Palmer, J. K. 1971. The Bananas. Di dalam : A. C. Hulme (ed.). The Biochemistry of
Fruits and Their Product. Vol II. Academic Press, London.
Prawiranegara. 1981. Daftar Komposisi Bahan Pangan. Penerbit Bhratara Karya
Aksara, Jakarta.
Putra, D. K. W. 1994. Pengaruh Pemberongsongan terhadap Mutu Pasca Panen
Pisang Ambon Kuning. Skripsi. Fateta IPB, Bogor.
Riskawati, J. H. 2003. Kajian Proses Pembuatan Tahu Instan Fungsional dari Tepung
Kedelai Lemak Penuh (Full Fat Soy Flour) dengan Metode Pencampuran
Kering. Skripsi. Fateta IPB, Bogor.
Sediaoetama, A. D. 1976. Ilmu Gizi dan Ilmu Diit di Daerah Tropik. Balai Pustaka,
Jakarta.
Shurtleff, W. and A. Aoyagi. 1979. Tofu and Soymilk Production. New-Age Food
Study Centre. Lafayette.
Sitanggang, A. B. 2008. Pembuatan Prototipe Cookies dari Berbagai Bahan sebagai
Produk Alternatif Pangan Darurat. Skripsi. Fateta IPB, Bogor.
Soeryo, P. S. 1991. Pemanfaatan Tepung Singkong Sebagai Bahan Pensubstitusi
Terigu dalam Pembuatan Mie Kering yang Difortifikasi dengan Tepung
Tempe. Skripsi. Fateta, IPB, Bogor.
Sunaryo, E. 1985. Pengolahan Produk Serealia dan Biji-Bijian. Fateta IPB, Bogor.
Syamsir, E. 2008. Pengembangan Pangan Darurat.http://www.ilmupangan.com. [20
November 2008]
Syarief, R. 1993. Teknologi Penyimpanan Pangan. Penerbit Arcan, Jakarta.
Winarno, F. G. 1997. Kimia Pangan. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Zoumas, B. L, L. E. Amstrong., J. R. Backstrand, W. L. Chenoweth, P. Chnachoti, B.
P. Klein, H. W. Lane, K. S. Marsh, M. Toluanen. 2002. High Energy,
Nutrient- Dense Emergency Relief Product. National Academy Press,
Washington, DC.

LAMPIRAN

Lampiran 1. Perhitungan Perkiraan Energi Formula 1

Bahan
Tepung Kedelai
Pisang
Terigu
Tepung Singkong
Gula Halus
Margarin
Garam

Jumlah (g)
200
300
50
160
100
1.25

Protein (g)
80.10
3.60
5.09
0.60
-

Lemak (g)
47.38
0.60
2.29
81.00
-

KH (g)
54.28
77.40
36.42
150
0.40
-

Air (g)
7.96
216.00
5.89
8.64
15.50
-

Total Adonan (g)

811.25

89.39

131.27

318.50

253.99

Jika diasumsikan kadar air 5% maka berat produk akhir (g)

7.48
29.92

Total energi/ bar (50 g) kkal


Persentase makro terhadap total
energi (%)

235.34

31.30
5
213.35

597.90

Jika berat produk per 50 gram maka Faktor Pembaginya


Nilai makronutrien per 50 gram
Perhitungan kalori/bar (50 g)

Kadar air awal (%)


Asumsi kadar air (%)
Massa air yang hilang (g)

11.95

10.98
98.82

26.65
106.60

12.71

41.99

45.29

69

Lampiran 2. Perhitungan Perkiraan Energi Formula 2

Bahan
Tepung Kedelai
Pisang
Terigu
Tepung Singkong
Gula Halus
Margarin
Garam

Jumlah (g)
200
300
50
160
100
1.25

Protein (g)
80.10
3.60
0.68
0.60
-

Lemak (g)
47.38
0.60
0.19
81.00
-

KH (g)
54.28
77.40
43.75
150
0.40
-

Air (g)
7.96
216.00
4.08
8.64
15.50
-

Total Adonan (g)

811.25

84.98

129.17

325.83

252.18

Jika diasumsikan kadar air 5% maka berat produk akhir (g)

7.08
28.32

Total energi/ bar (50 g) kkal


Persentase makro terhadap total
energi (%)

233.93

31.08
5
211.57

599.68

Jika berat produk per 50 gram maka Faktor Pembaginya


Nilai makronutrien per 50 gram
Perhitungan kalori/bar (50 g)

Kadar air awal (%)


Asumsi kadar air (%)
Massa air yang hilang (g)

11.99

10.77
96.93

27.17
108.68

12.10

41.43

46.45

70

Lampiran 3. Perhitungan Perkiraan Energi Formula 3

Bahan
Tepung Kedelai
Pisang
Terigu
Tepung Singkong
Gula Halus
Margarin
Garam

Jumlah (g)
200
300
25
25
160
100
1.25

Protein (g)
80.10
3.60
10.01
0.34
0.60
-

Lemak (g)
47.38
0.60
1.14
0.09
81.00
-

KH (g)
54.28
77.40
18.21
21.87
150
0.40
-

Air (g)
7.96
216.00
2.94
2.04
8.64
15.50
-

Total Adonan (g)

811.25

94.65

130.21

322.16

253.08

Jika diasumsikan kadar air 5% maka berat produk akhir (g)

7.09
28.36

Total energi/ bar (50 g) kkal


Persentase makro terhadap total
energi (%)

233.83

31.19
5
212.46

598.79

Jika berat produk per 50 gram maka Faktor Pembaginya


Nilai makronutrien per 50 gram
Perhitungan kalori/bar (50 g)

Kadar air awal (%)


Asumsi kadar air (%)
Massa air yang hilang (g)

11.97

10.87
97.83

26.91
107.64

12.12

41.83

46.03

71

Lampiran 4. Perhitungan Perkiraan Energi Formula 4

Bahan
Tepung Kedelai
Pisang
Terigu
Tepung Singkong
Gula Halus
Margarin
Garam

Jumlah (g)
250
250
50
160
100
1.25

Protein (g)
100.12
3.00
5.09
0.60
-

Lemak (g)
59.22
0.50
2.29
81.00
-

KH (g)
67.85
64.50
36.42
150
0.40
-

Air (g)
9.95
180.00
5.89
8.64
15.50
-

Total Adonan (g)

811.25

108.81

143.01

319.17

219.98

Jika diasumsikan kadar air 5% maka berat produk akhir (g)

8.61
34.44

Total energi/ bar (50 g) kkal


Persentase makro terhadap total
energi (%)

237.40

27.11
5
179.36

631.89

Jika berat produk per 50 gram maka Faktor Pembaginya


Nilai makronutrien per 50 gram
Perhitungan kalori/bar (50 g)

Kadar air awal (%)


Asumsi kadar air (%)
Massa air yang hilang (g)

12.63

11.32
101.88

25.27
101.08

14.50

42.91

42.57

72

Lampiran 5. Perhitungan Perkiraan Energi Formula 5

Bahan
Tepung Kedelai
Pisang
Terigu
Tepung Singkong
Gula Halus
Margarin
Garam

Jumlah (g)
250
250
50
160
100
1.25

Protein (g)
100.12
3.00
0.68
0.60
-

Lemak (g)
59.22
0.50
0.19
81.00
-

KH (g)
67.85
64.50
43.75
150
0.40
-

Air (g)
9.95
180.00
4.08
8.64
15.50
-

Total Adonan (g)

811.25

104.40

140.91

326.50

218.17

Jika diasumsikan kadar air 5% maka berat produk akhir (g)

8.23
32.92

Total energi/ bar (50 g) kkal


Persentase makro terhadap total
energi (%)

236.04

26.89
5
177.58

633.67

Jika berat produk per 50 gram maka Faktor Pembaginya


Nilai makronutrien per 50 gram
Perhitungan kalori/bar (50 g)

Kadar air awal (%)


Asumsi kadar air (%)
Massa air yang hilang (g)

12.67

11.12
100.08

25.76
103.04

13.94

42.39

43.65

73

Lampiran 6. Perhitungan Perkiraan Energi Formula 6

Bahan
Tepung Kedelai
Pisang
Terigu
Tepung Singkong
Gula Halus
Margarin
Garam

Jumlah (g)
250
250
25
25
160
100
1.25

Protein (g)
100.12
3.00
10.01
0.34
0.60
-

Lemak (g)
59.22
0.50
1.14
0.09
81.00
-

KH (g)
67.85
64.50
18.21
21.87
150
0.40
-

Air (g)
9.95
180.00
2.94
2.04
8.64
15.50
-

Total Adonan (g)

811.25

114.07

141.95

322.83

219.07

Jika diasumsikan kadar air 5% maka berat produk akhir (g)

9.01
36.04

Total energi/ bar (50 g) kkal


Persentase makro terhadap total
energi (%)

239.10

27.00
5
178.47

632.78

Jika berat produk per 50 gram maka Faktor Pembaginya


Nilai makronutrien per 50 gram
Perhitungan kalori/bar (50 g)

Kadar air awal (%)


Asumsi kadar air (%)
Massa air yang hilang (g)

12.65

11.22
100.98

25.52
102.98

15.07

47.23

42.69

74

Lampiran 7. Hasil analisis statistik rancangan percobaan


Univariate Analysis of Variance
Between-Subjects Factors
N
Kedelaipsg

1:1
2:3

6
6

TTTsingkong

0:1

1:0

1:1

Tests of Between-Subjects Effects


Dependent Variable: energi
Source
Corrected Model

Type III Sum


of Squares
121,383(a)

Intercept

df

Mean Square

Sig.

24,277

57,053

,000

623958,489

623958,489

1466383,711

,000

Kedelaipsg

,630

,630

1,481

,269

TTTsingkong

118,320

59,160

139,034

,000

Kedelaipsg *
TTTsingkong

2,433

1,216

2,858

,134

,426

Error

2,553

Total

624082,425

12

123,936

11

Corrected Total

a R Squared = ,979 (Adjusted R Squared = ,962)

Post Hoc Tests


TTTsingkong
Homogeneous Subsets
energi
Duncan
Subset
TTTsingkong
1:1

N
4

0:1

1:0

Sig.

1
224,3475

227,7150

1,000
1,000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
Based on Type III Sum of Squares
The error term is Mean Square(Error) = ,426.
a Uses Harmonic Mean Sample Size = 4,000.
b Alpha = ,05.

232,0200
1,000

Lampiran 8. Form Uji Hedonik


UJI RATING HEDONIK
Nama

18 Mei 2009
No. HP :

Bars adalah produk pangan padat yang berbentuk batang dan merupakan campuran dari berbagai
bahan kering seperti sereal, kacang-kacangan, buah-buahan kering yang digabungkan menjadi satu
dengan bantuan binder. Binder dalam bars dapat berupa sirup, nougat, caramel, coklat, dan puree buah
segar (Gillies, 1974).
Instruksi :
Dihadapan Anda terdapat empat sampel. Salah satu sampel berkode C. Sampel ini merupakan contoh
bar. Silahkan Anda cicipi untuk memberikan gambaran tekstur bar. Jangan membandingkan sample
C dengan sampel lainnya yang akan diuji.
Anda diminta untuk melakukan uji rating hedonic terhadap tiga sampel berkode. Atribut yang diuji
meliputi aroma, rasa, tekstur dan overall. Lakukan uji dari kiri ke kanan. Netralkan indra pencicip
Anda dengan air sebelum melakukan pengujian ke sampel selanjutnya. Jangan membandingkan
antar sampel.
Skor untuk uji rating : 1 = sangat tidak suka
2 = tidak suka
3 = netral
4 = suka
5 = sangat suka

Kode sampel

Aroma

Rasa

Tekstur

Overall

Pertanyaan tambahan
Apakah Anda bersedia untuk menjadi panelis tetap untuk uji pendugaan umur simpan produk
ini?..................

76

Lampiran 9. Hasil Uji Hedonik


Atribut aroma
Univariate Analysis of Variance
Between-Subjects Factors

sampel

panelis

atribut aroma

Value Label
f1

N
30

Panelis

F1

F2

F3

f2

30

khrisia

f3

30

galih eka

tiara

adi

indri

catrien

venty

tuti

subkhi

10

11

12

13

haris

oloan

septi

ikhwan

14

tri erza

15

dede

16

tiyu

17

18

kenchi

19

20

21

arya

pratiwi

isna

22

dewi

23

nanda

24

fahmi

25

26

wahyu

27

cath

28

muji

29

sobur

30

arif

novia

cici

Rataan

3.57

3.47

3.60

77

Tests of Between-Subjects Effects


Dependent Variable: skor
Source
Model

Type III Sum


of Squares
1144.622(a)

panelis
sampel

df
32

Mean Square
35.769

F
112.888

Sig.
.000

13.656

29

.471

1.486

.100

.289

.144

.456

.636

Error

18.378

58

.317

Total

1163.000

90

a R Squared = .984 (Adjusted R Squared = .975)

Atribut rasa
Univariate Analysis of Variance
Between-Subjects Factors
sampel

panelis

1
2
3
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30

Value Label
f1
f2
f3

N
30
30
30
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3

panelis
khrisia
galih eka
tiara
adi
indri
catrien
venty
tuti
subkhi
haris
oloan
septi
ikhwan
tri erza
dede
tiyu
kenchi
arya
pratiwi
isna
dewi
nanda
fahmi
wahyu
cath
muji
sobur
arif
novia
cici
Rataan

atribut rasa
F1
F2
2
3
4
4
3
4
4
4
3
3
4
4
4
4
4
4
4
3
4
4
3
3
5
5
3
3
5
4
3
4
4
2
5
5
3
3
5
4
3
2
4
4
4
4
3
3
4
3
3
4
4
4
4
3
4
4
4
3
3
2
3.73
3.53

F3
4
4
4
2
3
4
3
4
4
4
4
5
3
4
3
3
3
3
4
4
4
4
3
4
3
4
4
3
3
4
3.60

78

Tests of Between-Subjects Effects


Dependent Variable: skor
Source
Model

Type III Sum


of Squares
1205.289(a)

df
32

Mean Square
37.665

F
105.479

Sig.
.000

sampel

.622

.311

.871

.424

panelis

23.822

29

.821

2.300

.003

20.711

58

.357

Error
Total

1226.000
90
a R Squared = .983 (Adjusted R Squared = .974)

Atribut tekstur
Univariate Analysis of Variance
Between-Subjects Factors
Value Label
N
sampel 1
f1
30
2
f2
30
3
f3
30
panelis
1
3
2
3
3
3
4
3
5
3
6
3
7
3
8
3
9
3
10
3
11
3
12
3
13
3
14
3
15
3
16
3
17
3
18
3
19
3
20
3
21
3
22
3
23
3
24
3
25
3
26
3
27
3
28
3
29
3
30
3

Panelis
khrisia
galih eka
tiara
adi
indri
catrien
venty
tuti
subkhi
haris
oloan
septi
ikhwan
tri erza
dede
tiyu
kenchi
arya
pratiwi
isna
dewi
nanda
fahmi
wahyu
cath
muji
sobur
arif
novia
cici
Rataan

atribut tekstur
F1
F2
2
3
2
2
4
5
3
4
2
2
3
3
3
3
1
3
2
4
2
2
2
3
4
3
2
2
3
3
4
4
2
3
4
4
2
2
4
4
4
2
3
4
3
2
3
4
2
2
2
3
3
3
1
1
3
2
4
2
3
4
2.73
2.93

F3
4
3
2
2
2
3
4
2
4
4
4
4
1
4
2
3
3
4
3
4
3
2
4
2
2
4
3
2
3
2
2.97

79

Tests of Between-Subjects Effects


Dependent Variable: skor
Source
Model

Type III Sum


of Squares
779.956(a)

df
32

Mean Square
24.374

F
34.442

Sig.
.000

sampel

.956

.478

.675

.513

panelis

33.656

29

1.161

1.640

.055

41.044

58

.708

Error
Total

821.000
90
a R Squared = .950 (Adjusted R Squared = .922)

Atribut overall
Univariate Analysis of Variance
Between-Subjects Factors

sampel

panelis

1
2
3
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30

Value Label
f1
f2
f3

N
30
30
30
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3

Panelis
khrisia
galih eka
tiara
adi
indri
catrien
venty
tuti
subkhi
haris
oloan
septi
ikhwan
tri erza
dede
tiyu
kenchi
arya
pratiwi
isna
dewi
nanda
fahmi
wahyu
cath
muji
sobur
arif
novia
cici
Rataan

atribut overall
F1
F2
2
2
3
3
4
4
4
4
2
3
4
4
4
4
2
4
3
4
2
3
3
3
4
4
3
2
4
3
3
4
3
3
4
4
3
3
4
4
3
2
3
4
4
3
3
4
3
3
3
3
3
3
3
2
4
3
4
3
3
3
3.23
3.27

F3
4
4
5
2
3
4
3
4
4
4
4
4
2
4
3
3
3
4
3
4
3
3
3
4
3
4
4
3
3
4
3.50

80

Tests of Between-Subjects Effects


Dependent Variable: skor
Source
Model

Type III Sum


of Squares
1015.933(a)

panelis
sampel
Error
Total

df
32

Mean Square
31.748

F
70.641

Sig.
.000

14.667

29

.506

1.125

.343

1.267

.633

1.409

.253

26.067

58

.449

1042.000
90
a R Squared = .975 (Adjusted R Squared = .961)

81

Lampiran 10. Spesifikasi Alat Pengukur Tekstur Objektif Rheoner

Distance

: 400 x 0.01 mm

Speed

: 0.5 mm/s

Sensitivitas

: 1 Volt

Chart Speed

: 40 mm/minute

Probe

: Jarum

Nilai Konversi: 50 gr force

Probe Jarum

Alat pengukur tekstur objektif Rheoner

82

Lampiran 11. Kuesioner Uji Rating Hedonik Uji Pendugaan Umur Simpan
UJI RATING HEDONIK
Nama :
No. HP :
Instruksi :
Dihadapan Anda terdapat sampel. Anda diminta untuk melakukan uji rating hedonic.
Atribut yang diuji meliputi aroma, rasa, dan tekstur.
Skor untuk uji rating

: 1 = sangat tidak suka


2 = tidak suka
3 = agak tidak suka
4 = netral
5 = agak suka
6 = suka
7 = sangat suka

Kode sampel

Aroma

Rasa

Tekstur

UJI RATING HEDONIK


Nama :
No. HP :
Instruksi :
Dihadapan Anda terdapat sebuah sampel. Anda diminta untuk melakukan uji rating
hedonik. Atribut yang diuji meliputi aroma, rasa, dan tekstur.
Skor untuk uji rating

: 1 = sangat tidak suka


2 = tidak suka
3 = agak tidak suka
4 = netral
5 = agak suka
6 = suka
7 = sangat suka

Kode sampel

Aroma

Rasa

Tekstur

83

Lampiran 12. Tabulasi Data Uji Umur Simpan


Parameter Sensori Atribut Aroma
o

Panelis
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
Rataan

37 C
14

6
6
6
5
6
5
6
4
6
6
3
6
7
4
6
6
5
3
5
6
6
6
6
6
4
2
3
3
5.11

5
4
4
4
6
6
6
3
6
6
3
6
6
4
6
6
5
6
4
3
4
5
5
6
6
3
6
3
4.89

3
5
6
4
6
4
4
6
2
6
6
6
6
5
6
6
6
4
6
6
6
4
4
5
6
2
6
4
5.00

21

28

7
4
6
4
5
5
4
4
6
5
3
5
6
6
4
4
4
4
4
4
6
6
6
5
5
5
3
5
4.82

6
5
4
5
5
5
3
6
5
5
5
4
4
5
5
6
4
5
4
5
4
5
5
4
6
4
1
5
4.64

6
6
6
5
6
5
6
4
6
6
3
6
7
4
6
6
5
3
5
6
6
6
6
6
4
2
3
3
5.11

45 C
14

21

28

4
4
5
4
5
4
5
3
4
6
3
6
3
4
6
5
5
4
4
6
4
6
5
3
6
6
5
4
4.61

6
5
5
5
5
5
4
6
4
5
5
6
4
5
5
5
6
4
6
6
5
4
4
4
3
4
5
5
4.86

4
6
6
5
4
5
4
4
6
5
4
5
5
6
4
2
4
6
4
4
5
6
6
3
5
2
6
4
4.64

6
6
4
4
5
5
6
4
5
6
4
4
5
6
2
5
3
5
3
3
4
4
4
3
4
1
5
5
4.32

6
6
6
5
6
5
6
4
6
6
3
6
7
4
6
6
5
3
5
6
6
6
6
6
4
2
3
3
5.11

50 C
14

21

28

3
4
5
4
5
4
6
2
6
6
3
6
6
4
6
5
5
4
2
3
2
3
4
6
5
6
5
3
4.39

3
5
5
3
5
5
5
6
4
6
5
6
4
5
6
5
5
2
6
5
5
4
4
5
6
3
5
2
4.64

6
3
4
3
3
4
2
3
3
5
5
5
4
6
4
2
4
3
3
4
3
5
4
5
5
1
6
3
3.86

6
6
3
4
4
5
4
3
4
2
4
5
4
5
5
3
2
5
3
3
3
5
5
4
4
1
2
3
3.82

84

Parameter Sensori Atribut Rasa


o

Panelis

37 C

45 C

50 C

14

21

28

14

21

28

14

21

28

10

11

12

13

14

15

16

17

18

19

20

21

22

23

24

25

26

27

28

Rataan

5.5

4.75

5.07

5.07

4.79

5.5

5.18

4.89

4.57

4.18

5.5

5.00

4.36

3.64

3.39

85

Parameter Sensori Atribut Tekstur


o

Panelis

37 C

45 C

50 C

14

21

28

14

21

28

14

21

28

10

11

12

13

14

15

16

17

18

19

20

21

22

23

24

25

26

27

28

Rataan

3.32

2.68

4.32

3.46

2.96

3.32

3.75

4.11

3.29

3.18

3.32

3.86

3.57

2.96

3.15

86

Parameter Kadar Air


o

Ulangan

37 C

45 C

50 C

14

21

28

14

21

28

14

21

28

4.88

5.97

4.71

6.56

7.84

4.88

5.05

5.58

5.69

7.72

4.88

5.16

5.77

5.12

8.58

4.86

5.99

4.72

6.49

8.02

4.86

5.15

5.45

5.82

7.95

4.86

5.06

5.82

5.16

8.18

Rataan

4.87

5.98

4.715

6.525

7.93

4.87

5.1

5.515

5.755

7.835

4.87

5.11

5.795

5.14

8.38

Parameter Nilai aw
o

Ulangan

37 C

45 C

50 C

14

21

28

14

21

28

14

21

28

0.467

0.520

0.453

0.566

0.573

0.467

0.467

0.565

0.608

0.605

0.467

0.437

0.607

0.486

0.622

0.460

0.534

0.456

0.569

0.561

0.460

0.469

0.580

0.617

0.611

0.460

0.453

0.613

0.477

0.623

Rataan

0.464

0.527

0.455

0.568

0.567

0.464

0.468

0.573

0.613

0.608

0.464

0.445

0.610

0.482

0.623

Parameter Tekstur Objektif


o

Ulangan

37 C

45 C

50 C

14

21

28

14

21

28

14

21

28

1375

1400

1350

1150

1100

1375

1400

1375

1350

525

1375

1300

1350

1300

500

1400

1400

1350

1050

1000

1400

1400

1350

1350

500

1400

1350

1350

1275

575

Rataan

1387.5

1400

1350

1100

1050

1387.5

1400

1362.5

1350

512.5

1387.5

1325

1350

1287.5

537.5

87

Lampiran 13. Grafik Ordo nol dan Ordo satu tiap Parameter
Parameter Kadar Air
Ordo 0

Ordo 1

88

Parameter Tekstur Objektif


Ordo 0

Ordo 1

89

Lampiran 14. Umur simpan banana bars berdasarkan parameter sensori atribut aroma, parameter sensori atribut rasa, kadar air, dan
tekstur objektif
Ordo
1

Parameter

Suhu (K (1/T)

Persamaan

nilai Y

Arc Ln Y (K)

ln Qawal-ln Qakhir

Sensori Aroma

0.003322259
0.00330033
0.003225806
0.003144654
0.003095975
0.003322259
0.00330033
0.003225806
0.003144654
0.003095975
0.003322259
0.00330033
0.003225806
0.003144654
0.003095975

y=-9028x + 23.23

-6.763354252
-6.56537924
-5.892576568
-5.159936312
-4.7204623
-7.154881413
-6.84772231
-5.803864642
-4.665168578
-3.983321825
-4.769371622
-4.69354114
-4.435837148
-4.155213532
-3.98688155

0.001155347
0.00140829
0.002759857
0.005742065
0.008911058
0.000781042
0.001061872
0.003015877
0.00941766
0.018623672
0.008485711
0.009154212
0.011845146
0.015682442
0.018557495

0.938052224

Sensori Rasa

kadar air

Ordo
0

Parameter
tekstur objektif

y=-14007x + 39.38

y=-3458x + 6.719

1.011600912

0.542753977

Suhu (K (1/T)

Persamaan

nilai Y

Arc Ln Y (K)

Qawal- Qakhir

0.003322259
0.00330033
0.003225806
0.003144654
0.003095975

y=-4868x + 18.39

2.217243188
2.32399356
2.686776392
3.081824328
3.3187937

9.181982941
10.21639272
14.68426323
21.79813309
27.62700399

875

Umur simpan
(hari)
811.9222598
666.0931891
339.8916575
163.3649502
105.2683332
1295.193716
952.6584524
335.4251325
107.4153092
54.31801622
63.96093327
59.29007942
45.82079399
34.60902164
29.24715802

umur simpan
(bulan)
27.06407533
22.2031063
11.32972192
5.44549834
3.508944439
43.17312386
31.75528175
11.18083775
3.580510306
1.810600541
2.132031109
1.976335981
1.5273598
1.153634055
0.974905267

Umur simpan
(hari)
95.29531971
85.64666842
59.58759974
40.14105228
31.67191058

umur simpan
(bulan)
3.176510657
2.854888947
1.986253325
1.338035076
1.055730353

90

You might also like