You are on page 1of 34

LAPORAN KASUS

TB EKSTRAPULMONER (TULANG)

Pembimbing:
dr. Sukaenah Shebubakar Sp.P

Disusun Oleh :
1.

Nadiya

030.12.182

2.

Pratiwi Siswaji

030.12.29

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM


RSUD BUDHI ASIH JAKARTA
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI

BAB I
LAPORAN KASUS
IDENTITAS PASIEN
Nama

: Tn. S

Pekerjaan

: Supir angkot

Usia

: 63 tahun

Pendidikan

: SMP

Status Pernikahan

: Menikah

Alamat

: Tebet

Jenis Kelamin

: Laki- laki

Tanggal Masuk

: 23 Oktober 2016

Agama

: Islam

Tanggal Keluar

: -

A. ANAMNESIS
B. Diambil dari : Autoanamnesis & Alloanamnesis dengan Istri Pasien
C. Tanggal
: 24 Oktober 2016
D. Pukul
: 11.00 WIB
E. Keluhan Utama
F. Nyeri punggung bagian bawah 1 mingu SMRS
G. Riwayat Penyakit Sekarang
H. Pasien datang ke IGD dengan keluhan nyeri dan kaku pada punggung bagian bawah
1 minggu SMRS, nyeri dirasa menjalar ke tungkai atas. Nyeri menyebabkan pasien sulit
untuk berjalan sehingga pasien kesulitan untuk beraktivitas. Setiap pasien ingin
berpindah posisi harus dibantu untuk mengurangi rasa nyerinya. Pasien mengeluh lemas
dan demam dirasa terutama pada malam hari, sementara pada pagi hari menjelang sore
badan terasa bugar. Suhu badan saat demam dirasa tidak terlalu tinggi. Setelah demam
pasien merasa berkeringat sehingga sering berganti pakaian di malam hari. Pasien
mengeluh batuk kering 4 bulan yang lalu kemudian batuk menjadi berdahak dengan
warna dahak kuning kehijauan dan agak berbau. Pasien mengeluh penurunan berat badan
meskipun nafsu makan baik. Selain itu pasien juga mengeluh sesak napas.
I. Riwayat Penyakit Dahulu
J. Pasien memiliki riwayat TB 6 tahun yang lalu, namun pasien tidak mengingat
pengobatannya telah tuntas atau tidak. Pasien tidak memiliki riwayat hipertensi dan DM.
K. Riwayat Keluarga
L. Di keluarga pasien tidak ada yang mengalami gejala serupa
M.Riwayat Kebiasaan
N. Pasien memliki kebiasaan merokok
O.
P. Riwayat Lingkungan
Q. Pasien tinggal di kawasan padat penduduk, dengan pencahayaan dan ventilasi yang
kurang baik.
R. Riwayat Makanan:
S. Pasien jarang makan makanan yang tinggi protein, belakangan ini pasien merasa
nafsu makannya berkurang.
T. Anamnesis menurut sistem
a. Umum
: BB menurun, demam, lemas, keringat malam
b. Kepala
: Tidak ada keluhan
c. Muka
: Tidak ada keluhan
d. Mata
: Sklera ikterik -/-, konjungtiva anemis +/+
e. THT
: Batuk (+)
f. Leher
: Otot bantu pernapasan (+)
g. Thoraks
: Tidak ada keluhan
h. Abdomen
: Tidak ada keluhan
i. Ekstremitas
: Tidak ada keluhan
U. PEMERIKSAAN FISIK

V. Keadaan umum
: Tampak sakit sedang
W. Kesadaran : Compos Mentis
X. Tanda Vital : Tekanan darah
130/70 mmHg
Y.
: Nadi
134 x/menit
Z.
: Pernapasan
24 x/menit
AA.
: Suhu
37,7 o C
AB.
Status Generalis
AC.
Kepala
: Normosefali
AD.
Muka
: Tidak tampak kelainan
AE.
Mata
: Konjungtiva anemis (-/-), Sklera ikterik (-/-)
AF.
Hidung
: Normal, septum deviasi (-), sekret (-), mukosa hiperemis (-)
AG.
Mulut
: Terdapat banyak karies pada gigi
AH.
Leher : Jejas (-), hematoma (-), KGB membesar dan tiroid tidak
membesar,
AI.
otot bantu pernapasan (+)
AJ.Jantung
AK.
Inspeksi
: Pulsasi ictus cordis tidak terlihat
AL.
Palpasi
: Teraba pulsasi Ictus Cordis di ICS V, 1 cm medial
midklavikularis
Perkusi

AM.

kiri
: Batas atas (ICS III linea parasternalis kiri

dengan suara redup), batas

kiri (ICS V, 1 jari medial linea

midklavikula kiri dengan suara redup), batas kanan (ICS IV linea


sternalis kanan dengan suara redup)
Auskultasi
: Bunyi jantung I dan II normal regular, gallop (-),

AN.

murmur (-)
AO.
AP.

Paru
Inspeksi

: Bentuk dada simetris dan pergerakan dada

simetris saat inspirasi dan ekspirasi. Sela iga normal, sternum mendatar
AQ.

dan retraksi sela iga (-)


Palpasi: Pergerakan napas kiri dan kanan simetris. Vocal fremitus

AR.

simetris kiri dan kanan dada.


Perkusi
: Sonor pada kedua lapang paru. batas paru dan hepar
setinggi ICS 5 midclavicula kanan suara redup, batas paru dan jantung
kanan setinggi ICS 3-5 garis sternalis kanan suara redup, batas paru
dan atas jantung setinggi ICS 3 garis parasternal kiri suara redup, batas
paru dan jantung kiri setinggi ICS 5, 1 jari medial garis midclavicula
kiri suara redup, batas paru dan lambung setinggi ICS 8 garis axillaris

AS.

anterior suara timpani.


Auskultasi
: Suara nafas vesikuler +/+, ronchi -/-,
wheezing -/-

AT.Abdomen
AU.

Inspeksi

: Datar, jejas (-), sikatrik (-) ikterik (-) spider navy (-)

AV.

Palpasi

: Supel, tidak ada pembesaran hepar dan lien, NT (-),

nyeri
AX.
AY.
AZ.
BA.
BB.
BC.
BD.
BE.
BF.
BG.
BH.

AW.
lepas (-) ballottement ginjal (-) undulasi (-)
Perkusi
: Timpani 4 kuadran, shifting dullness (-)
Auskultasi : Bising usus (+) 3x/menit, venous hump (-), arterial bruit (-)
Ekstremitas
Atas : Akral hangat (+/+), Oedema (-/-), Deformitas (-/-)
Bawah :Akral hangat (+/+), Oedema (-/-), Deformitas (-/-)
Genitalia
: Tidak dilakukan pemeriksaan.

BI. PEMERIKSAAN PENUNJANG


BJ.
BK. JENIS

BL. HASIL

BM.NILAI NORMAL

BN. HEMATOLOGI
BO. Leukosit

BP.6.3

BQ. 3.8 10.6

BR. Eritrosit

ribu/L
BS.4.9

BT.4.4 5.9

BU. Hemoglobin
BX. Hematokrit
CA. Trombosit

juta/L
BV. 16,8 g/dL
BY. 45 %
CB. 176

BW.13.2 17.3
BZ. 40 52
CC. 150 440

CD. MCV
CG. MCH
CJ.MCHC

ribu/L
CE. 92.0 fL
CH. 34.2 pg
CK. 37.3

CF.80 100
CI. 26 34
CL. 32 36

g/dL
CN. 11,8 %

CM.
RDW
CP.KIMIA KLINIK
CQ. METABOLISME KARBOHIDRAT
CR. Gula Darah Sewaktu
CS.94 mg/dL
CU. ELEKTROLIT

CO. < 14

CV. Na

CW.141

CX. 135 155

CY. K

mmol/L
CZ. 4.8

DA. 3.6 5.5

DB. Cl

mmol/L
DC. 98

DD. 98 109

mmol/L
DE.
DF.

CT.< 110

DG.

RINGKASAN

DH.

Pasien datang dengan keluhan kaku dan nyeri pada punggung bagian bawah

yang menjalar ke tungkai atas sehingga pasien sulit berjalan dan beraktivitas 1 minggu
SMRS. Pasien mengeluh lemas, demam (+), keringat malam (+), batuk (+), penurunan
berat badan (+), nafsu makan baik, serta sesak napas (+). Riwayat TB (+), HT(-) dan DM
(-), merokok (+), lingkungan padat (+), ventilasi dan pencahayaan kurang (+).
DI.

Pada pemeriksaan fisik didapatkan, keadaan umum kompos mentis, tampak

sakit sedang. TD 130/70, suhu 37,7oC , nadi 134 kali/menit, dan pernapasan 24x/menit.
Pada pemeriksaan mulut didapatkan karies pada gigi. Pada leher ditemukan penggunaan
otot- otot bantu pernapasan (+).
DJ.
Pada pemeriksaan penunjang, didapatkan hasil lab hematologi rutin masih
dalam batas normal kecuali MCH (34,2 pg) dan MCHC (37,3 %). Hasil gula darah
sewaktu dan pemeriksaan elektrolit juga masih dalam batas normal.
DK.
DL.
DAFTAR MASALAH
1. TB Tulang dd TB paru relaps
DM.
DN.
ANALISIS MASALAH
DO.
1. TB Tulang dd TB paru relaps
DP. Diagnosis TB tulang dd TB paruditegakkan berdasarkan :

Anamnesis : Pasien datang ke IGD dengan keluhan nyeri dan kaku pada
punggung bagian bawah dan menjalar ke tungkai atas. Nyeri pada spondilitis tb
bersifat terlokalisir pada satu regio tulang belakang atau berupa nyeri yang
menjalar. Kaku pada punggung bagian bawah disebabkan karena pasien
menahan punggungnya untuk mengurangi nyeri. Selain itu pasien mengeluh
lemas, demam serta penurunan berat badan. Virulensi basil tuberkulosa dan
kemampuan mekanisme pertahanan host akan menentukan perjalanan penyakit
TB. Pasien dengan infeksi berat mempunyai progresi yang cepat hal ini
disebabkan penyebaran hematogen kuman TB masuk ke dalam sirkulasi darah
dan menyebar ke seluruh tubuh sehingga timbul gejala sistemik, seperti
demam, lemas dan penurunan berat badan. Keluhan batuk dan sesak napas
pada pasien ini disebabkan karena mekanisme pertahanan tubuh yang tidak
mampu untuk menghancurkan kuman TB yang bereplikasi dalam makrofag
sehingga kuman TB akan berkembang dan membentuk koloni dalam paru.
Riwayat menderita TB 6 tahun yang lalu, kebiasaan merokok, tinggal di
lingkungan kawasan padat penduduk, dengan pencahayaan dan ventilasi yang

kurang, serta kurangnya asupan nutrisi pada pasien akan meningkatkan risiko
keparahan TB.
DQ. Adapun rencana tatalaksana yang akan dilakukan adalah :
a. Rencana diagnostik
Pemeriksaan mantoux test
Pemeriksaan BTA 3X
Pemeriksaan rontgen paru dan vertebra lumbo-sacral AP lateral
Pemantauan hematologi rutin
Pemantauan fungsi hati dan ginjal
b. Rencana terapi
Non-Medikamentosa
- Rawat inap
- Bedrest
- Observasi keadaan umum dan tanda vital
- Pemberian nutrisi yang bergizi
Medikamentosa:
IVFD Assering / 24 jam
Pemberian terapi OAT
DR.
DS.
DT.
DU.
DV.

Prognosis
AD VITAM
AD SANATIONAM
AD FUNGSIONAM

: dubia ad bonam
: dubia ad bonam
: dubia ad malam

DW.
DX.
DY.

FOLLOW UP
24 Oktober 2016
DZ. EA. Nyeri pinggang (+), batuk kering (+), sesak (+), mual (-), muntah (-)
S
EB. EC. KU : Kompos mentis, Tampak Sakit Sedang
ED. TD : 110/70 mmHg
O
EE. HR : 108 kali/menit
EF.RR : 24 kali/menit
EG. S : 37,2 0C
EH. Muka
: Tidak tampak kelainan
EI. Mata
: CA -/-, SI -/EJ. Leher
: Pembesaran KGB (-)
EK. Thoraks : S1S2 normal regular, M (-), G (-)
EL.
SNV +/+, rh -/-, wh -/EM. Abdomen : Supel, NTE (+) hipogastrium, BU (+)
EN. Ekstremitas: Akral hangat (+)(+)/(+)(+), deformitas (-), edema (-),
EO.
CRT <2 detik.
EP. Lab :
EQ.
BTA
:
-/-/ER.

MCV : 34,2 pg

ES.MCHC : 37,3 g/dL


ET. EU.
Dispneu e.c bekas Tb dd Tb relaps
A
EV.1.
2.
P
3.
4.
5.
6.

Assering + lasal 2 cc /8 jam


Cinam 2 x 1,5 gr IV
OBH syr 3 x C1 p.o
Etambutol 2 x 500 mg p.o
INH 1 x 300 mg p.o
Aminoral 3 x 1 p.o

1. Foto Vertebra
EW.
EX.
EY.
EZ.
FA.
FB.
FC.

FD.
FE.
FF.25 Oktober 2016
FG.

FH. Nyeri pinggang berkurang, batuk kering berkurang, sesak

S
FI.

berkurang, mual (-), muntah (-)


FJ. KU : Kompos mentis, Tampak Sakit Sedang
FK. TD : 130/80 mmHg
FL.HR : 96 kali/menit
FM. RR : 20 kali/menit
FN. S : 37,5 0C
FO. Muka
: Tidak tampak kelainan
FP. Mata
: CA -/-, SI -/FQ. Leher
: Pembesaran KGB (-)
FR.Thoraks : S1S2 normal regular, M (-), G (-)
FS.
SNV +/+, rh -/-, wh -/FT. Abdomen : Supel, NTE (-), BU (+)
FU. Ekstremitas: Akral hangat (+)(+)/(+)(+), deformitas (-), edema (-),
FV.
CRT <2 detik.
FW.
FY.
Dispneu e.c bekas Tb dd Tb relaps

FX.
A
FZ. 1.
2.
P
3.
4.
5.
6.

Assering + lasal 2 cc /8 jam


Cinam 2 x 1,5 gr IV
OBH syr 3 x C1 p.o
Etambutol 2 x 500 mg p.o
INH 1 x 300 mg p.o
Aminoral 3 x 1 p.o

GJ.
GK.
GL.
GM.
GN.

GA. 1. Cek Hbs-Ag


GB. 2. Cek Anti HIV
GC. 3. Cek SGOT, SGPT
GD.
GE.
GF.
GG.
GH.
GI.

GO.
GP.

26 Oktober 2016
GQ. Nyeri pinggang (+), batuk kering lebih sering pada malam hari,

S
sesak berkurang, mual (-), muntah (-), BAB dan BAK normal
GR. GS. KU : Kompos mentis, Tampak Sakit Sedang
GT. TD : 120/70 mmHg
O
GU. HR : 88 kali/menit
GV. RR : 20 kali/menit
GW.S : 36,6 0C
GX. Muka
: Tidak tampak kelainan
GY. Mata
: CA -/-, SI +/+
GZ. Leher
: Pembesaran KGB (-)
HA. Thoraks : S1S2 normal regular, M (-), G (-)
HB.
SNV +/+, rh -/-, wh -/HC. Abdomen : Supel, NTE (-), BU (+)
HD. Ekstremitas: Akral hangat (+)(+)/(+)(+), deformitas (-), edema (-),
HE.
CRT <2 detik.
HF.Lab :
HG. SGOT : 46 Mu/Dl
HH.
HI.
Dispneu e.c bekas Tb dd Tb relaps
1. Ikterik
A
HJ.
HK. 1. Assering + lasal 2 cc /8 jam
HL. 1. Cek albumin
2. Cinam 2 x 1,5 gr IV
HM.
P
3. OBH syr 3 x C1 p.o
HN.
4. Etambutol 2 x 500 mg p.o
5. INH 1 x 300 mg p.o
6. Aminoral 3 x 1 p.o

X.

A. S
B. Nyeri pingganng (+) berkurang, batuk (+)
Y. Nyeri pingganng (+) berkurang, batuk (+) berkurang, mual (-), muntah

berkurang, mual (-), muntah (-), sesak (-), BAB


S
(-), sesak (+) berkurang, BAB
BAK
dandan
BAK
(N)(N)
Z.
AA. KU : Kompos mentis, Tampak Sakit Sedang
C. AB.D.
: Kompos
mentis, Tampak Sakit Sedang
TDKU
: 120/60
mmHg
O
AC.
HR
:
112
kali/menit
O
mmHg
AD.E.
RRTD
: 24: 110/70
kali/menit
0
AE. S : 36,5 C
F. HR : 88: kali/menit
AF. Mata
CA -/-, SI +/+
AG. Thoraks : S1S2 normal regular, M (-), G (-)
G. RR : 20 kali/menit
AH.
SNV +/+, rh -/-, wh -/AI. Abdomen
:
Supel,
H. S : 36,5 0C NT (-)
AJ. Ekstremitas: Akral hangat (+)(+)/(+)(+), deformitas (-), edema (-)
AK. I.LabMata
:
: CA -/-, SI +/+
AL. 25/10/2016 SGOT/PT : 46/37
AM.J.26/10/2016
: 3,5 g/dl
Thoraks Albumin
: S1S2 normal
regular, M (-), G (-)
AN. 28/10/2016 Ureum/kreatinin : 36/0,76
SNV
rh -/-,
wh -/AO. AP. K.
Dypsnea e.c bekas
TB+/+,
dd TB
relaps
A

L. Abdomen : Supel, NT (+), BU (+)


AQ. AR. 1.
OBH Syr 3x1
1. Cek ureum,kreatinin ulang
AS. M.
2. Ekstremitas:
AminoralAkral
3x1 hangat (+)(+)/(+)(+),
AX.
deformitas (-), edema (-)
P
AT. 3.
Etambutol
N. Lab :

1x500mg

AU. 4.
INH 1x300mg
O. BTA : negatif-negatif-negatif
AV. 5.
Cinam 2x1,5
AW.P.6. SGOT/PT
Ofloxacin
: 46 / 37

1x400mg
Q. Anti HIV : non reaktif
R. Albumin : 3,5

S.
T.

U.

Dypsnea e.c bekas TB dd TB relaps

A
V.

1.
2.
3.
4.
5.
6.

OBH Syr 3x1


Aminoral 3x1
Etambutol 1x500mg
INH 1x300mg
Cinam 2x1,5
Ofloxacin 1x400mg

HO.27 Oktober 2016


HP.
HQ.
HR. 28 Oktober 2016
HS.
HT.

W.

HO.

AY.

S
BA.

AZ. Nyeri pingganng (+) berkurang, batuk (+) berkurang, nafsu makan

mulai meningkat, sesak (-)


BB. KU : Kompos mentis, Tampak Sakit Sedang
BC. TD : 120/70 mmHg
BD. HR : 112 kali/menit
BE. RR : 20 kali/menit
BF. S : 36,7 0C
BG. Mata
: CA -/-, SI +/+
BH. Thoraks : S1S2 normal regular, M (-), G (-)
BI.
SNV +/+, rh -/-, wh -/BJ. Abdomen : Supel, NT (-)
BK. Ekstremitas: Akral hangat (+)(+)/(+)(+), deformitas (-), edema (-)
BL. Lab :
BM. 28/10/2016 ureum/ kreatinin : 36/0,76

BN.
BO.

BP.

Dypsnea e.c bekas TB dd TB relaps

HU.
HU.
HU.
HU.
HU.
HU.
HU.
HU.
HU.
HU.
HU.
HU.

A
BQ.

BR.

3x1
BS.

1.

OBH

Syr

2.

Etambutol

2x500mg
BT. 3.
INH 1x300mg
BU.
4.
Rifampicin
1x150mg
BV. 5.
Ofloxacin
1x400mg
29 Oktober 2016
HV.
HW.

BW.

HU.
HU.
HU.
HU.
HU.
HU.
HU.
HU.

BX.

S
BZ.

BY. Nyeri pingganng (+) tidak menjalar, batuk (-), demam (-), mual (-),

muntah (-).
CA. KU : Kompos mentis, Tampak Sakit Sedang
CB. TD : 110/60 mmHg
CC. HR : 80 kali/menit
CD. RR : 20 kali/menit
CE. S : 37,2 0C
CF. Mata
: CA -/-, SI -/CG. Thoraks : S1S2 normal regular, M (-), G (-)
CH.
SNV +/+, rh -/-, wh -/CI. Abdomen : Supel, NT (-)
CJ. Ekstremitas: Akral hangat (+)(+)/(+)(+), deformitas (-), edema (-)
CK. Lab :
CL. 28/10/2016 ureum/ kreatinin : 36/0,76

CM.

HX.
HX.
HX.
HX.
HX.
HX.
HX.
HX.
HX.
HX.

CN. CO. Dypsnea e.c bekas TB dd TB relaps

HX.

HX.

CP.

CQ. 1.
CR. 2.

OBH Syr 3x1


Etambutol

2x500mg
CS. 3.
INH 1x300mg
CT. 4. Rifampicin 1x150mg
CU. 5.
Ofloxacin
1x400mg
30 Oktober 2016
HY.
HZ.

CV.

HX.
HX.
HX.
HX.
HX.
HX.

CW. CX. Nyeri pingganng (+) berkurang, batuk (+) berkurang, sakit kepala (-),

S
CY.

demam (-)
CZ. KU : Kompos mentis, Tampak Sakit Sedang
DA. TD : 110/70 mmHg
DB. HR : 85 kali/menit
DC. RR : 20 kali/menit
DD. S : 37,0 0C
DE. Mata
: CA -/-, SI -/DF. Thoraks : S1S2 normal regular, M (-), G (-)
DG.
SNV +/+, rh -/-, wh -/DH. Abdomen : Supel, NT (-)
DI. Ekstremitas: Akral hangat (+)(+)/(+)(+), deformitas (-), edema (-)
DJ. Lab :
DK. 28/10/2016 ureum/ kreatinin : 36/0,76

DL.

IA.
IA.
IA.
IA.
IA.
IA.
IA.
IA.
IA.
IA.

DM. DN. Dypsnea e.c bekas TB dd TB relaps

IA.

IA.

DO. DP. 1.
DQ. 2.

OBH Syr 3x1


Etambutol

2x500mg
DR. 3.
INH 1x300mg
DS. 4. Rifampicin 1x150mg
DT. 5.
Ofloxacin
1x400mg
1 November 2016
IB.
IC.

DU.

IA.
IA.
IA.
IA.
IA.
IA.

DV.

DW. Nyeri pingganng (+) berkurang, batuk (-)

S
DX. DY. KU : Kompos mentis, Tampak Sakit Sedang
DZ. TD : 110/60 mmHg
O
EA.HR : 85 kali/menit
EB. RR : 20 kali/menit
EC. S : 37,0 0C
ED. Mata
: CA -/-, SI -/EE. Thoraks : S1S2 normal regular, M (-), G (-)
EF.
SNV +/+, rh -/-, wh -/EG. Abdomen : Supel, NT (-)
EH. Ekstremitas: Akral hangat (+)(+)/(+)(+), deformitas (-), edema (-)
EI. Lab :
EJ. 28/10/2016 ureum/ kreatinin : 36/0,76

EK.
EL.

EM. Dypsnea e.c bekas TB dd TB relaps

ID.
ID.
ID.
ID.
ID.
ID.
ID.
ID.
ID.
ID.
ID.

A
EN.

ID.

EO. 1.
EP. 2.

OBH Syr 3x1


Etambutol

2x500mg
EQ. 3.
INH 1x300mg
ER.4. Rifampicin 1x150mg
ES. 5.
Ofloxacin
1x400mg
2 November 2016
IE.
IF.

ET.

ID.
ID.
ID.
ID.
ID.
ID.

IG.BAB II
IH.TINJAUAN PUSTAKA
II.
IJ. DEFINISI
IK.Tuberkulosis (TB) adalah penyakit menular yang disebabkan oleh infeksi kuman
Mycobacterium tuberculosis.(1) Penularan penyakit ini menyebar melalui udara dari
satu orang ke orang lain. Kuman ini paling sering menyerang organ paru, namun dapat
pula menyerang organ lain seperti ginjal, tulang dan otak. TB paru mencakup 80-85%
dari seluruh kasus aktif, sedangkan TB ekstraparu mencakup 15-20% lainnya.
IL. EPIDEMIOLOGI
IM.

Tuberkulosis (TB) sampai saat ini masih merupakan masalah

kesehatan masyarakat yang penting di dunia walaupun upaya pengendalian dengan


strategi Directly Observed Treatment, Short-Course (DOTS) telah diterapkan di
banyak negara sejak tahun 1995. Sekitar sepertiga dari populasi dunia telah terinfeksi
bakteri tuberkulosis. TB paru mencakup 80-85% dari seluruh kasus aktif, sedangkan
TB ekstraparu mencakup 15-20% lainnya. Beberapa studi telah melaporkan bahwa
proporsi TB ekstraparu meningkat disebabkan epidemi HIV dan mungkin juga oleh
perkembangan dalam fasilitas diagnostik. Berdasarkan data

World Health

Organization (WHO) didapatkan peningkatan jumlah penderita TB setiap tahunnya. (2)


Pada tahun 2012 didapatkan jumlah kasus TB baru 8,6 juta dengan jumlah kematian
1,3 juta. Pada tahun 2013, jumlah kasus TB baru adalah sebanyak 9 juta, dengan 1,1
juta kematian. Tahun 2014 didapatkan sebanyak 9,4 juta kasus TB paru, dengan 1,5
juta kematian. Kemudian pada tahun 2015 diperkirakan sekitar 10,4 juta kasus TB
baru, dimana 5,9 juta diantaranya adalah berjenis kelamin laki- laki, 3,5 juta
diantaranya adalah perempuan serta 1 juta lainnya adalah anak-anak, dengan 1,8 juta
kematian.
IN.

Peningkatan prevalensi TB di dunia dipengaruhi oleh berbagai faktor,

diantaranya adalah adanya peningkatan jumlah kemiskinan yang tidak hanya terjadi
pada negara berkembang tetapi juga pada penduduk perkotaan tertentu di negara
maju, kemudian adanya perubahan demografik yaitu berupa peningkatan jumah

penduduk, perlindungan kesehatan yang tidak mencukupi, kurangnya pengetahuan


dan pendidikan mengenai TB, terlantar dan kurangnya biaya untuk obat, sarana
diagnostik, dan pengawasan kasus TB, deteksi dan tatalaksana kasus yang tidak
adekuat serta peningkatan kasus HIV terutama di Afrika dan Asia.(3)
IO.

Jumlah penderita TB paru dari tahun ke tahun di Indonesia terus

meningkat. Indonesia sendiri sekarang menduduki urutan kedua dengan jumlah kasus
TB terbanyak setelah India, kemudian diikuti Cina, Nigeria, Pakistan dan Afrika
Selatan.(2) Berdasarkan Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) di Indonesia,
didapatkan bahwa penyakit pada sistem pernapasan merupakan penyebab kematian
kedua setelah sistem sirkulasi. Penyakit pada sistem pernapasan yang menjadi
masalah terbesar salah satunya adalah tuberkulosis / TBC, baik dari sisi angka
kematian (mortalitas), angka kejadian penyakit (morbiditas), maupun diagnosis dan
terapinya.
IP. FAKTOR RISIKO
IQ. Manifestasi klinis TB bervariasi dan bergantung pada sejumlah faktor yang
berhubungan dengan mikroba, pejamu dan lingkungan. Semakin banyak konsentrasi
atau jumlah kuman yang terhirup, semakin tinggi pula risiko menderita TB. Kemudian
dari faktor pejamu diantaranya adalah usia, insiden tertinggi TB paru biasanya
mengenai usia dewasa muda. Di Indonesia diperkirakan 75% penderita TB paru adalah
kelompok usia produktif yaitu 15-50 tahun. Faktor resiko seterusnya adalah jenis
kelamin. TB paru Iebih banyak terjadi pada laki-laki dibandingkan dengan wanita
karena laki- laki sebagian besar mempunyai kebiasaan merokok sehingga
memudahkan terjangkitnya TB paru. Tingkat pendidikan juga menjadi salah satu faktor
resiko penularan penyakit Tuberkulosis. Tingkat pendidikan seseorang akan
mempengaruhi terhadap pengetahuan seseorang diantaranya mengenai rumah yang
memenuhi syarat kesehatan dan pengetahuan penyakit TB Paru, sehingga dengan
pengetahuan yang cukup maka seseorang akan mencoba untuk mempunyai perilaku
hidup bersih dan sehat. Perokok memiliki resiko untuk mengalami Tuberkulosis 3 kali
lebih besar daripada bukan perokok.(4) Ini karena, merokok dapat memperlemah paru
dan menyebabkan paru lebih mudah terinfeksi kuman tuberkulosis. Bahkan, asap
rokok dalam jumlah besar yang dihirup dapat meningkatkan risiko keparahan
tuberkulosis, kekambuhan dan kegagalan pengobatan tuberkulosis. Kemudian orang

yang dalam kondisi medisnya menderita kelemahan dalam sistem kekebalan tubuh
(immunocompromised). Untuk orang orang dengan sistem kekebalan tubuh yang
lemah, seperti bayi dan anak-anak, penyalahgunaan zat, silicosis, diabetes mellitus,
penyakit ginjal berat, berat badan rendah, keganasan, perawatan medis seperti
kortikosteroid atau transplantasi organ, dan terutama mereka dengan infeksi HIV, risiko
pengembangan penyakit TB jauh lebih tinggi daripada orang dengan sistem kekebalan
tubuh normal.(5,6,7) Kemudian dari faktor lingkungan itu sendiri seperti jika kontak
dekat dengan seseorang yang menderita penyakit TB menular, berada di wilayah
endemis TB, lingkungan kerja dengan orang-orang yang berisiko tinggi untuk TB
seperti pekerja di fasilitas atau institusi seperti rumah sakit, tempat penampungan
tunawisma, pemasyarakatan, dan panti jompo.(1) Selain itu, kepadatan hunian dan
kondisi rumah juga menjadi faktor resiko penyebab penyakit TB. Luas lantai bangunan
rumah sehat harus cukup untuk penghuni di dalamnya agar tidak menyebabkan
overload. Hal ini tidak sehat, sebab disamping menyebabkan kurangnya konsumsi
oksigen juga bila salah satu anggota keluarga terkena penyakit infeksi, akan mudah
menular kepada anggota keluarga yang lain. Pencahayaan dan ventilasi yang kurang
serta atap, dinding dan lantai yang sulit dibersihkan akan menyebabkan penumpukan
debu, sehingga akan dijadikan sebagai media yang baik bagi berkembangbiaknya
kuman Mycrobacterium tuberculosis.
IR. ETIOLOGI
IS. Penyakit Tuberkulosis adalah infeksi yang disebabkan bakteri Mycobacterium
tuberculosis (M. tuberculosis). Bakteri ini bersifat aerob obligat, hal inilah yang
menyebabkan kebanyakan kuman TB lebih sering menyerang pada apeks paru.
Morfologi kuman TB berbentuk batang lurus tidak berspora dan juga tidak berkapsul.
Bakteri ini berukuran lebar 0,3 0,6 mm dan panjang 1 4 mm. Dinding M.
tuberculosis sangat kompleks dan terdiri dari lapisan lemak yang cukup tinggi (60%).
Penyusun utama dinding sel M. tuberculosis ialah asam mikolat, lilin kompleks
(complex-waxes), trehalosa dimikolat yang disebut cord factor dan mycobacterial
sulfolipids yang berperan dalam virulensi. Struktur dinding sel yang kompleks tersebut
menyebabkan bakteri M. tuberculosis bersifat tahan asam, yaitu apabila sekali
diwarnai akan tetap tahan terhadap upaya penghilangan zat warna tersebut dengan
larutan asam-alkohol. Kuman akan nampak berbentuk batang berwarna merah dalam

pemeriksaan di bawah mikroskop. Komponen antigen ditemukan di dinding sel dan


sitoplasma yaitu komponen lipid, polisakarida dan protein. Karakteristik antigen M.
tuberculosis dapat diidentifikasi dengan menggunakan antibodi monoclonal. Selain itu
kuman TB juga bersifar tahan terhadap suhu rendah sehingga dapat bertahan hidup
dalam jangka waktu lama pada suhu antara 4 sampai minus 70. Kuman sangat peka
terhadap panas, sinar matahari dan sinar ultraviolet. Pada paparan langsung terhadap
sinar ultraviolet, akan mengakibatkan sebagian besar kuman mati dalam waktu
beberapa menit. Dalam dahak pada suhu antara 30- 37 akan mati dalam waktu lebih
kurang 1 minggu.(8) Kuman TB ini juga dapat bersifat dormant (tidur/tidak
berkembang), dan akan aktif jika sistem imun tubuh menurun.
IT. KLASIFIKASI
IU. Berdasarkan Kementerian Kesehatan RI tahun 2014 pada Paduan Nasional
Pengendalian Tuberkulosis, TB paru diklasifikasikan atas sebagai berikut :(8)
1. Lokasi anatomi dari penyakit
Tuberkulosis paru
IV.
Adalah TB yang terjadi pada parenkim (jaringan) paru. Milier TB
dianggap sebagai TB paru karena adanya lesi pada jaringan paru.Limfadenitis
TB dirongga dada (hilus dan atau mediastinum) atau efusi pleura tanpa
terdapat gambaran radiologis yang mendukung TB pada paru, dinyatakan
sebagai TB ekstra paru.Pasien yang menderita TB paru dan sekaligus juga

menderita TB ekstra paru, diklasifikasikan sebagai pasien TB paru.


Tuberkulosis ekstra paru
IW.
Adalah TB yang terjadi pada organ selain paru, misalnya: pleura,
kelenjar limfe, abdomen, saluran kencing, kulit, sendi, selaput otak dan tulang.
Diagnosis TB ekstra paru dapat ditetapkan berdasarkan hasil pemeriksaan
bakteriologis atau klinis. Diagnosis TB ekstra paru harus diupayakan
berdasarkan penemuan Mycobacterium tuberculosis.Pasien TB ekstra paru
yang menderita TB pada beberapa organ, diklasifikasikan sebagai pasien TB
ekstra paru pada organ menunjukkan gambaran TB yang terberat.

IX.
IY.
2. Riwayat pengobatan sebelumnya
Pasien baru TB
IZ.
adalah pasien yang belum pernah mendapatkan pengobatan TB

sebelumnya atau sudah pernah menelan OAT namun kurang dari 1 bulan (

dari 28 dosis)
Pasien yang pernah diobati TB
JA.
adalah pasien yang sebelumnya pernah menelan OAT selama 1 bulan
atau lebih ( dari 28 dosis).Pasien ini selanjutnya diklasifikasikan berdasarkan
hasil pengobatan TB terakhir, yaitu:
a. Pasien kambuh: adalah pasien TB yang pernah dinyatakan sembuh
atau pengobatan lengkap dan saat ini didiagnosis TB berdasarkan hasil
pemeriksaan bakteriologis atau klinis (baik karena benar-benar kambuh
atau karena reinfeksi).
b. Pasien yang diobati kembali setelah gagal: adalah pasien TB yang
pernah diobati dan dinyatakan gagal pada pengobatan terakhir.
c. Pasien yang diobati kembali setelah putus berobat (lost to followup): adalah pasien yang pernah diobati dan dinyatakan lost to follow
up (klasifikasi ini sebelumnya dikenal sebagai pengobatan pasien
setelah putus berobat /default).
d. Lain-lain: adalah pasien TB yang pernah diobati namun hasil akhir

pengobatan sebelumnya tidak diketahui.


Pasien yang riwayat pengobatan sebelumnya tidak diketahui
JB.
3. Klasifikasi berdasarkan hasil pemeriksaan uji kepekaan obat
JC. Pengelompokan pasien disini berdasarkan hasil uji kepekaan contoh uji dari
Mycobacterium tuberculosis terhadap OAT dan dapat berupa
JD.
Mono resistan (TB MR)
JE.
resistan terhadap salah satu jenis OAT lini pertama saja
JF. Poli resistan (TB PR)
JG.
resistan terhadap lebih dari satu jenis OAT lini pertama selain
Isoniazid (H) dan Rifampisin (R) secara bersamaan
JH.
Multi drug resistan (TB MDR)
JI.
resistan terhadap Isoniazid (H) dan Rifampisin (R) secara bersamaan
Extensive drug resistan (TB XDR)
JJ.
adalah TB MDR yang sekaligus juga resistan terhadap salah satu OAT
golongan fluorokuinolon dan minimal salah satu dari OAT lini kedua jenis

suntikan (Kanamisin, Kapreomisin dan Amikasin)


Resistan Rifampisin (TB RR)
JK.
resistan terhadap Rifampisin dengan atau tanpa resistensi terhadap
OAT lain yang terdeteksi menggunakan metode genotip (tes cepat) atau

metode fenotip (konvensional).


JL.
4. Status HIV

Pasien TB dengan HIV positif (pasien ko-infeksi TB/HIV) adalah pasien TB


dengan:
a. Hasil tes HIV positif sebelumnya atau sedang mendapatkan ART (Anti
Retroviral Therapy), atau
b. Hasil tes HIV positif pada saat diagnosis TB.

Pasien TB dengan HIV negatif adalah pasien TB dengan:


a. Hasil tes HIV negatif sebelumnya, atau
b. Hasil tes HIV negatif pada saat diagnosis TB.

Pasien TB dengan status HIV tidak diketahui adalah pasien TB tanpa ada bukti
pendukung hasil tes HIV saat diagnosis TB ditetapkan

JM. PATOFISIOLOGI
JN. Paru merupakan port dentree lebih dari 98% kasus infeksi TB. Ukuran bakteri sangat
kecil 1- 5 , kuman TB yang terhirup mencapai alveolus akan segera diatasi oleh
mekanisme pertahanan imunologis non spesifik. Makrofag alveolus akan memfagosit
kuman TB dan sanggup menghancurkan sebagian besar kuman TB. Apabila makrofag
tidak mampu menghancurkan kuman TB dan kuman akan bereplikasi dalam makrofag.
Kuman TB dalam makrofag yang terus berkembang-biak, akhirnya akan menyebabkan
JO.

makrofag mengalami lisis, dan kuman TB membentuk koloni di tempat tersebut.


Virulensi basil tuberkulosa dan kemampuan mekanisme pertahanan host akan
menentukan perjalanan penyakit TB. Patogenesa penyakit ini sangat tergantung dari
kemampuan bakteri menahan cernaan enzim lisosomal dan kemampuan host untuk
memobilisasi immunitas seluler. Jika bakteri tidak dapat diinaktivasi, maka bakteri
akan bermultiplikasi dalam sel dan membunuh sel itu. Komponen lipid, protein serta
polisakarida sel basil tuberkulosa bersifat immunogenik, sehingga akan merangsang
pembentukan granuloma dan mengaktivasi makrofag. Beberapa antigen yang
dihasilkannya juga dapat juga bersifat immunosupresif. Pasien dengan infeksi berat
mempunyai progresi yang cepat ; demam, retensi urine dan paralisis arefleksi dapat
terjadi dalam hitungan hari. Pasien dengan infeksi bakteri yang kurang virulen akan
memperlihatkan progresifitas penyakit yang lebih lambat.(9)

JP.

Lokasi pertama koloni kuman TB di jaringan paru disebut fokus primer Ghon yang
menyebar melalui saluran limfe menuju ke kelenjar limfe regional, yaitu kelenjar limfe
yang mempunyai saluran limfe ke lokasi fokus primer. Penyebaran ini menyebabkan
terjadinya inflamasi di saluran limfe (limfangitis) dan di kelenjar limfe (limfadenitis)
yang terkena. Kompleks primer merupakan gabungan antara fokus primer, kelenjar
limfe regional yang membesar (limfadenitis) dan saluran limfe yang meradang

(limfangitis).(10)
JQ. Selama masa inkubasi, sebelum terbentuknya imunitas selular, dapat terjadi
penyebaran limfogen dan hematogen. Pada penyebaran limfogen, kuman menyebar ke
kelenjar limfe regional membentuk kompleks primer sedangkan pada penyebaran
hematogen kuman TB masuk ke dalam sirkulasi darah dan menyebar ke seluruh tubuh.
Adanya penyebaran hematogen inilah yang menyebabkan TB disebut sebagai penyakit
sistemik.(11) Penyebaran hematogen yang paling sering terjadi adalah dalam bentuk
penyebaran hematogenik tersamar (occult hematogenic spread), kuman TB menyebar
secara sporadik dan sedikit demi sedikit sehingga tidak menimbulkan gejala klinis.
Kuman TB kemudian akan mencapai berbagai organ di seluruh tubuh. Organ yang
dituju adalah organ yang mempunyai vaskularisasi yang baik seperti otak, tulang,
ginjal, dan paru, terutama apeks paru atau lobus atas paru. Bagian pada tulang
belakang yang sering terserang adalah peridiskal terjadi pada 33% kasus spondilitis TB
dan dimulai dari bagian metafisis tulang, dengan penyebaran melalui ligamentum
longitudinal. Di berbagai lokasi tersebut, kuman TB akan bereplikasi dan membentuk
koloni kuman sebelum terbentuk imunitas selular yang akan membatasi pertumbuhan.
(11,12)
JR.

Penyakit ini pada umumnya mengenai lebih dari satu vertebra. Infeksi berawal dari
bagian sentral, bagian depan atau daerah epifisial korpus vertebra. Kemudian terjadi
hiperemi dan eksudasi yang menyebabkan osteoporosis dan perlunakan korpus.
Selanjutnya terjadi kerusakan pada korteks epifisis, diskus intervertebralis, dan
vertebra sekitarnya. Kerusakan pada bagian depan korpus ini akan menyebabkan
terjadinya kifosis. Kemudian eksudat ( yang terdiri atas serum, leukosit, kaseosa,
tulang yang fibrosis serta basil tuberkulosa ) menyebar ke depan, di bawah ligamentum
longitudinal anterior. Eksudat ini dapat menembus ligamentum dan berekspansi ke
berbagai arah di sepanjang garis ligamen yang lemah. Pada daerah servikal, eksudat
terkumpul di belakang fasia paravertebralis dan menyebar ke lateral di belakang
muskulus sternokleidomastoideus. Eksudat dapat mengalami protrusi ke depan dan

menonjol ke dalam faring yang dikenal sebagai abses faringeal. Abses dapat berjalan
ke mediastinum mengisi tempat trakea, esofagus, atau kavum pleura. Abses pada
vertebra thorakalis biasanya tetap tinggal pada daerah thoraks setempat menempati
daerah paravertebral, berbentuk massa yang menonjol dan fusiform. Abses pada daerah
ini dapat menekan medula spinalis sehingga timbul paraplegia. Abses pada daerah
lumbal dapat menyebar masuk mengikuti muskulus psoas dan muncul di bawah
ligamentum inguinal pada bagian medial paha. Eksudat juga dapat menyebar ke daerah
krista iliaka dan mungkin dapat mengikuti pembuluh darah femoralis. (10,11)
JS.
JT.

JU.MANIFESTASI KLINIS
JV. Manifestasi klinis spondilitis TB relatif indolen (tanpa nyeri). Pasien biasanya
mengeluhkan nyeri lokal tidak spesifik pada daerah vertebra yang terinfeksi. Demam
subfebril, menggigil, malaise, berkurangnya berat badan yang merupakan gejala klasik
TB paru juga terjadi pada pasien dengan spondilitis TB. Pada pasien dengan serologi
HIV positif, rata-rata durasi dari munculnya gejala awal hingga diagnosis ditegakkan
adalah selama 28 minggu.
JW. Apabila sudah ditemukan deformitas berupa kifosis, maka patogenesis TB spinal
umumnya sudah berjalan selama kurang lebih tiga sampai empat bulan. Defisit yang
mungkin antara lain: paraplegia, paresis, hipestesia, nyeri radikular dan/ atau sindrom
kauda equina. Nyeri radikuler menandakan adanya gangguan pada radiks
(radikulopati). Spondilitis TB servikal jarang terjadi, namun manifestasinya lebih
berbahaya karena dapat menyebabkan disfagia dan stridor, tortikollis, suara serak
akibat gangguan n. laringeus. Jika n. frenikus terganggu, pernapasan terganggu dan
timbul sesak napas (disebut juga Millar asthma). Umumnya gejala awal spondilitis
servikal adalah kaku leher atau nyeri leher yang tidak spesifik.
JX. Nyeri lokal dan nyeri radikular disertai gangguan motorik, sensorik dan sfingter distal
dari lesi vertebra akan memburuk jika penyakit tidak segera ditangani. Komplikasi
yang paling berbahaya yaitu, Potts paraplegia. Potts paraplegi dibagi menjadi dua
jenis: paraplegia onset cepat (early-onset) dan paraplegia onset lambat (late-onset).
Paraplegia onset cepat terjadi saat akut, biasanya dalam dua tahun pertama. Paraplegia
onset cepat disebabkan oleh kompresi medula spinalis oleh abses atau proses infeksi.
Sedangkan paraplegia onset lambat terjadi saat penyakit sedang tenang, tanpa adanya
tanda-tanda reaktifasi spondilitis, umumnya disebabkan oleh tekanan jaringan
fibrosa/parut atau tonjolan-tonjolan tulang akibat destruksi tulang sebelumnya.

JY. Gejala motorik biasanya yang lebih dahulu muncul karena patologi terjadi dari
anterior, sesuai dengan posisi motoneuron di kornu anterior medula spinalis, kecuali
jika ada keterlibatan bagian posterior medula spinalis, keluhan sensorik bisa lebih
dahulu muncul.(9,10)
JZ.
KA. DIAGNOSIS
KB. Anamnesa dan inspeksi :
KC. 1. Gambaran adanya penyakit sistemik : kehilangan berat badan, keringat malam,
demam yang berlangsung secara intermitten terutama sore dan malam hari. Sering
tidak tampak jelas pada pasien yang cukup gizi sementara pada pasien dengan kondisi
kurang gizi, maka demam (terkadang demam tinggi), hilangnya berat badan dan
berkurangnya nafsu makan akan terlihat dengan jelas.
KD. 2. Adanya riwayat batuk lama (lebih dari 3 minggu) berdahak atau berdarah disertai
nyeri dada. Pada beberapa kasus di Afrika terjadi pembesaran dari nodus limfatikus,
tuberkel di subkutan, dan pembesaran hati dan limpa.
KE. 3. Nyeri terlokalisir pada satu regio tulang belakang atau berupa nyeri yang menjalar.
Infeksi yang mengenai tulang servikal akan tampak sebagai nyeri di daerah telingan
atau nyeri yang menjalar ke tangan. Lesi di torakal atas akan menampakkan nyeri yang
terasa di dada dan intercostal. Pada lesi di bagian torakal bawah maka nyeri dapat
berupa nyeri menjalar ke bagian perut. Rasa nyeri ini hanya menghilang dengan
beristirahat. Untuk mengurangi nyeri pasien akan menahan punggungnya menjadi
kaku.
KF.4. Pola jalan merefleksikan rigiditas protektif dari tulang belakang. Langkah kaki
pendek, karena mencoba menghindari nyeri di punggung.
KG. 5. Bila infeksi melibatkan area servikal maka pasien tidak dapat menolehkan
kepalanya, mempertahankan kepala dalam posisi ekstensi dan duduk dalam posisi dagu
disangga oleh satu tangannya, sementara tangan lainnya di oksipital. Rigiditas pada
leher dapat bersifat asimetris sehingga menyebabkan timbulnya gejala klinis torticollis.
Pasien juga mungkin mengeluhkan rasa nyeri di leher atau bahunya. Jika terdapat
abses, maka tampak pembengkakan di kedua sisi leher. Abses yang besar, terutama
pada anak, akan mendorong trakhea ke sternal notch sehingga akan menyebabkan
kesulitan menelan dan adanya stridor respiratoar, sementara kompresi medulla spinalis
pada orang dewasa akan menyebabkan tetraparesis. Dislokasi atlantoaksial karena
tuberkulosa

jarang

terjadi

dan

merupakan

salah

satu

penyebab

kompresi

cervicomedullary di negara yang sedang berkembang. Hal ini perlu diperhatikan


karena gambaran klinisnya serupa dengan tuberkulosa di regio servikal.

KH. 6. Infeksi di regio torakal akan menyebabkan punggung tampak menjadi kaku. Bila
berbalik ia menggerakkan kakinya, bukan mengayunkan dari sendi panggulnya. Saat
mengambil sesuatu dari lantai ia menekuk lututnya sementara tetap mempertahankan
punggungnya tetap kaku (coin test)
KI. Jika terdapat abses, maka abses dapat berjalan di bagian kiri atau kanan mengelilingi
rongga dada dan tampak sebagai pembengkakan lunak dinding dada. Jika menekan
abses ini berjalan ke bagian belakang maka dapat menekan korda spinalis dan
menyebabkan paralisis.
KJ. 7. Di regio lumbar : abses akan tampak sebagai suatu pembengkakan lunak yang
terjadi di atas atau di bawah lipat paha. Jarang sekali pus dapat keluar melalui fistel
dalam pelvis dan mencapai permukaan di belakang sendi panggul. Pasien tampak
berjalan dengan lutut dan hip dalam posisi fleksi dan menyokong tulang belakangnya
dengan meletakkan tangannya diatas paha. Adanya kontraktur otot psoas akan
menimbulkan deformitas fleksi sendi panggul.
KK. 8. Tampak adanya deformitas, dapat berupa : kifosis (gibbus/angulasi tulang
belakang), skoliosis, bayonet deformity, subluksasi, spondilolistesis, dan dislokasi.
KL. 9. Insidensi paraplegia pada spondilitis lebih banyak di temukan pada infeksi di area
torakal dan servikal. Jika timbul paraplegia akan tampak spastisitas dari alat gerak
bawah dengan refleks tendon dalam yang hiperaktif, pola jalan yang spastik dengan
kelemahan motorik yang bervariasi. Dapat pula terjadi gangguan fungsi kandung
kemih dan anorektal.
KM.10. Pembengkakan di sendi yang berjalan lambat tanpa disertai panas dan nyeri akut
seperti pada infeksi septik. Onset yang lambat dari pembengkakan tulang ataupun
sendi mendukung bahwa hal tersebut disebabkan karena tuberkulosa.
KN. Palpasi :
KO. 1. Bila terdapat abses maka akan teraba massa yang berfluktuasi dan kulit diatasnya
terasa sedikit hangat (disebut cold abcess, yang membedakan dengan abses piogenik
yang teraba panas). Dapat dipalpasi di daerah lipat paha, fossa iliaka, retropharynx,
atau di sisi leher (di belakang otot sternokleidomastoideus), tergantung dari level lesi.
Dapat juga teraba di sekitar dinding dada. Perlu diingat bahwa tidak ada hubungan
antara ukuran lesi destruktif dan kuantitas pus dalam cold abscess.
KP. 2. Spasme otot protektif disertai keterbatasan pergerakan di segmen yang terkena.
KQ. Perkusi :
KR. 1. Pada perkusi secara halus atau pemberian tekanan diatas prosesus spinosus
vertebrae yang terkena, sering tampak tenderness.
KS.
KT.
KU. Pemeriksaan Radiologi

KV. Radiologi hingga saat ini merupakan pemeriksaan yang paling menunjang untuk
diagnosis dini spondilitis TB karena memvisualisasi langsung kelainan fisik pada
tulang belakang. Terdapat beberapa pemeriksaan radiologis yang dapat digunakan
seperti sinar-X, Computed Tomography Scan (CTscan), dan Magnetic Resonance
Imaging (MRI). Pada infeksi TB spinal, klinisi dapat menemukan penyempitan jarak
antar diskus intervertebralis, erosi dan iregularitas dari badan vertebra, sekuestrasi,
serta massa para vertebra.(9)
1. Sinar-X
KW. Sinar-X merupakan pemeriksaan radiologis awal yang paling sering dilakukan
dan berguna untuk penapisan awal. Proyeksi yang diambil sebaiknya dua jenis,
proyeksi AP dan lateral. Pada fase awal, akan tampak lesi osteolitik pada bagian
anterior badan vertebra dan osteoporosis regional. Penyempitan ruang diskus
intervertebralis menandakan terjadinya kerusakan diskus. Pembengkakan jaringan
lunak sekitarnya memberikan gambaran fusiformis. Pada fse lanjut, kerusakan bagian
anterior semakin memberat dan membentuk angulasi kifotik (gibbus). Bayangan opak
yang memanjang paravertebral dapat terlihat, yang merupakan cold abscess.Namun,
sayangnya sinar-X tidak dapat mencitrakan cold abscess dengan baik.
2. CT Scan
KX. CT-scan dapat memperlihatkan dengan jelas sklerosis tulang, destruksi badan
vertebra, abses epidural, fragmentasi tulang, dan penyempitan kanalis spinalis. CT
myelography juga dapat menilai dengan akurat kompresi medula spinalis apabila
tidak tersedia pemeriksaan MRI. Pemeriksaan ini meliputi penyuntikan kontras
melalui punksi lumbal ke dalam rongga subdural, lalu dilanjutkan dengan CT scan.
Selain hal yang disebutkan di atas, CT scan dapat juga berguna untuk memandu
tindakan biopsi perkutan dan menentukan luas kerusakan jaringan tulang. Penggunaan
CT scan sebaiknya diikuti dengan pencitraan MRI untuk visualisasi jaringan lunak.
3. MRI
KY. MRI merupakan pencitraan terbaik untuk menilai jaringan lunak. Kondisi
badan vertebra, diskus intervertebralis, perubahan sumsum tulang, termasuk abses
paraspinal dapat dinilai dengan baik dengan pemeriksaan ini.Untuk mengevaluasi
spondilitis TB, sebaiknya dilakukan pencitraan MRI aksial, dan sagital yang meliputi
seluruh vertebra untuk mencegah terlewatkannya lesi noncontiguous. MRI juga dapat
digunakan untuk mengevaluasi perbaikan jaringan. Peningkatan sinyal T1 pada
sumsum tulang mengindikasikan pergantian jaringan radang granulomatosa oleh
jaringan lemak dan perubahan MRI ini berkorelasi dengan gejala klinis.
4. Biopsi dan pemeriksaan mikrobiologis

KZ.

Untuk memastikan diagnosis secara pasti, perlu dilakukan biopsi tulang

belakang atau aspirasi abses. Biopsi tulang dapat dilakukan secara perkutan dan
dipandu dengan CT scan atau fluoroskopi. Spesimen kemudian dikirim ke
laboratorium untuk pemeriksaan histologis, kultur dan pewarnaan basil tahan asam
(BTA), gram, jamur dan tumor. Kultur BTA positif pada 6089 persen.
5. Pemeriksaan laboratoris
LA. Polymerase Chain Reaction (PCR) dapat digunakan untuk mendeteksi DNA
kuman tuberkulosis. Lain halnya dengan kultur yang memerlukan waktu lama,
pemeriksaan ini sangat akurat dan cepat (24 jam), namun memerlukan biaya yang
lebih mahal dibandingkan pemeriksaan lainnya. Prinsip kerja PCR adalah
memperbanyak DNA kuman secara eksponensial sehingga dapat terdeteksi meski
kuman dalam jumlah yang sedikit (10 hingga 1000 kuman). Pemeriksaan penunjang
lainnya meliputi studi hematologis. Laju endap darah (LED) biasanya meningkat,
namun tidak spesifik menunjukkan proses infeksi granulomatosa TB. Peningkatan
kadar C-reactive protein (CRP) diasosiasikan kuat dengan formasi abses. Uji Mantoux
positif pada sebagian besar pasien (8495 persen) namun hanya memberi petunjuk
tentang paparan kuman TB sebelumnya atau saat ini. Spesimen sputum memberikan
hasil positif hanya jika proses infeksi paru sedang aktif. Studi di Malaysia
mengemukakan bahwa kelainan hematologis yang paling sering ditemukan pada
pasien spondilitis TB adalah anemia normositik normokrom, trombositosis
dengan/tanpa peningkatan LED dan leukositosis.
LB.
LC. TATALAKSANA
LD. Tujuan terapi pada kasus spondilitis tuberkulosa adalah :
LE. 1. Mengeradikasi infeksi atau setidaknya menahan progresifitas penyakit
LF. 2. Mencegah atau mengkoreksi deformitas atau defisit neurologis
LG.
Untuk mencapai tujuan itu maka terapi untuk spondilitis tuberkulosa terbagi
menjadi :
A. TERAPI KONSERVATIF
1. Pemberian nutrisi yang bergizi
2. Pemberian terapi anti tuberkulosa
LH.
Obat anti tuberkulosa yang utama adalah isoniazid (INH), rifamipicin
(RMP),
pyrazinamide (PZA), streptomycin (SM) dan ethambutol (EMB).
LI. Obat antituberkulosa sekuder adalah para-aminosalicylic acid (PAS), ethionamide,
cycloserine, kanamycin dan capreomycin. Di bawah adalah penjelasan singkat dari
obat anti tuberkulosa yang primer:
Isoniazid (INH) Bersifat bakterisidal baik di intra ataupun ekstraseluler Tersedia
dalam sediaan oral, intramuskuler dan intravena. Bekerja untuk basil tuberkulosa yang

berkembang cepat. Berpenetrasi baik pada seluruh cairan tubuh termasuk cairan
serebrospinal. Efek samping : hepatitis pada 1% kasus yang mengenai lebih banyak
pasien berusia lanjut usia, peripheral neuropathy karena defisiensi piridoksin secara
relatif (bersifat reversibel dengan pemberian suplemen piridoksin). Relatif aman

untuk kehamilan Dosis INH adalah 5 mg/kg/hari 300 mg/hari.


Rifampin (RMP) Bersifat bakterisidal, efektif pada fase multiplikasi cepat ataupun
lambat dari basil, baik di intra ataupun ekstraseluler. Keuntungan : melawan basil
dengan aktivitas metabolik yang paling rendah (seperti pada nekrosis perkijuan).
Lebih baik diabsorbsi dalam kondisi lambung kosong dan tersedia dalam bentuk
sediaan oral dan intravena. Didistribusikan dengan baik di seluruh cairan tubuh
termasuk cairan serebrospinal. Efek samping yang paling sering terjadi : perdarahan
pada traktus gastrointestinal, cholestatic jaundice, trombositopenia dan dose
dependent peripheral neuritis. Hepatotoksisitas meningkat bila dikombinasi dengan

INH. Relatif aman untuk kehamilan Dosisnya : 10 mg/kg/hari 600 mg/hari.


Pyrazinamide (PZA) Bekerja secara aktif melawan basil tuberkulosa dalam
lingkungan yang bersifat asam dan paling efektif di intraseluler (dalam makrofag)
atau dalam lesi perkijuan. Berpenetrasi baik ke dalam cairan serebrospinalis. Efek
samping :
LJ.
1. Hepatotoksisitas dapat timbul akibat dosis tinggi obat ini yang
dipergunakan dalam jangka yang panjang tetapi bukan suatu masalah bila diberikan
dalam jangka pendek. 2. Asam urat akan meningkat, akan tetapi kondisi gout jarang
tampak. Arthralgia dapat timbul tetapi tidak berhubungan dengan kadar asam urat.
LK. Dosis : 15-30mg/kg/hari 18 Ethambutol (EMB) Bersifat bakteriostatik
intraseluler dan ekstraseluler Tidak berpenetrasi ke dalam meningen yang normal
Efek samping : toksisitas okular (optic neuritis) dengan timbulnya kondisi buta warna,
berkurangnya ketajaman penglihatan dan adanya central scotoma. Relatif aman untuk
kehamilan Dipakai secara berhati-hati untuk pasien dengan insufisiensi ginjal Dosis :
15-25 mg/kg/hari

Streptomycin (STM) Bersifat bakterisidal Efektif dalam lingkungan ekstraseluler


yang bersifat basa sehingga dipergunakan untuk melengkapi pemberian PZA. Tidak
berpenetrasi ke dalam meningen yang normal Efek samping : ototoksisitas (kerusakan
syaraf VIII), nausea dan vertigo (terutama sering mengenai pasien lanjut usia) Dipakai
secara berhati-hati untuk pasien dengan insufisiensi ginjal Dosis : 15 mg/kg/hari 1
g/kg/hari

LL. Peran steroid pada terapi medis untuk tuberculous radiculomyelitis masih
kontroversial. Obat ini membantu pasien yang terancam mengalami spinal block
disamping mengurangi oedema jaringan. Pada pasien-pasien yang diberikan
kemoterapi harus selalu dilakukan pemeriksaan klinis, radiologis dan pemeriksaan
laboratorium secara periodik.
3. Istirahat tirah baring (resting)
LM. Terapi pasien spondilitis tuberkulosa dapat pula berupa local rest pada turning frame /
plaster bed atau continous bed rest disertai dengan pemberian kemoterapi. Tindakan ini
biasanya dilakukan pada penyakit yang telah lanjut dan bila tidak tersedia keterampilan
dan fasilitas yang cukup untuk melakukan operasi radikal spinal anterior, atau bila
terdapat masalah teknik yang terlalu membahayakan. Istirahat dapat dilakukan dengan
memakai gips untuk melindungi tulang belakangnya dalam posisi ekstensi terutama
pada keadaan yang akut atau fase aktif. Pemberian gips ini ditujukan untuk mencegah
pergerakan dan mengurangi kompresi dan deformitas lebih lanjut. Istirahat di tempat
tidur dapat berlangsung 3-4 minggu, sehingga dicapai keadaan yang tenang dengan
melihat tanda-tanda klinis, radiologis dan laboratorium. Secara klinis ditemukan
berkurangnya rasa nyeri, hilangnya spasme otot paravertebral, nafsu makan dan berat
badan meningkat, suhu badan normal. Secara laboratoris menunjukkan penurunan laju
endap darah, Mantoux test umumnya < 10 mm. Selama pengobatan penderita harus
menjalani kontrol secara berkala, dilakukan pemeriksaan klinis, radiologis dan
laboratoris. Bila tidak didapatkan kemajuan, maka perlu dipertimbangkan hal-hal
seperti adanya resistensi obat tuberkulostatika, jaringan kaseonekrotik dan sekuester
yang banyak, keadaan umum penderita yang jelek, gizi kurang serta kontrol yang tidak
teratur serta disiplin yang kurang.
LN.
LO.
LP.
LQ.
B. TERAPI OPERATIF
LR.
Sebenarnya sebagian besar pasien dengan tuberkulosa tulang belakang
mengalami perbaikan dengan pemberian kemoterapi saja. Intervensi operasi banyak
bermanfaat untuk pasien yang mempunyai lesi kompresif secara radiologis dan
menyebabkan timbulnya kelainan neurologis. Setelah tindakan operasi pasien biasanya
beristirahat di tempat tidur selama 3-6 minggu. Tindakan operasi juga dilakukan bila
setelah 3-4 minggu pemberian terapi obat antituberkulosa dan tirah baring (terapi
konservatif) dilakukan tetapi tidak memberikan respon yang baik sehingga lesi spinal

paling efektif diterapi dengan operasi secara langsung dan tumpul untuk mengevakuasi
pus tuberkulosa, mengambil sekuester tuberkulosa serta tulang yang terinfeksi dan
memfusikan segmen tulang belakang yang terlibat. Selain indikasi diatas, operasi
debridement dengan fusi dan dekompresi juga diindikasikan bila :
LS.1. Diagnosa yang meragukan hingga diperlukan untuk melakukan biopsi
LT. 2. Terdapat instabilitas setelah proses penyembuhan
LU. 3. Terdapat abses yang dapat dengan mudah didrainase
LV.4. Untuk penyakit yang lanjut dengan kerusakan tulang yang nyata dan mengancam
atau kifosis berat saat ini
LW. 5. Penyakit yang rekuren
LX.
LY.Potts paraplegia sendiri selalu merupakan indikasi perlunya suatu tindakan operasi,
akan tetapi Griffiths dan Seddon mengklasifikasikan indikasi operasi menjadi :
LZ.
A. Indikasi absolut
MA.
1. Paraplegia dengan onset selama terapi konservatif; operasi tidak dilakukan
bila timbul tanda dari keterlibatan traktur piramidalis, tetapi ditunda hingga terjadi
kelemahan motorik.
MB.
2. Paraplegia yang menjadi memburuk atau tetapi statis walaupun diberikan
terapi konservatif
MC.
3. Hilangnya kekuatan motorik secara lengkap selama 1 bulan walaupun telah
diberi terapi konservatif
MD.
4. Paraplegia disertai dengan spastisitas yang tidak terkontrol sehingga tirah
baring dan immobilisasi menjadi sesuatu yang tidak memungkinkan atau terdapat resiko
adanya nekrosis karena tekanan pada kulit.
ME.
5. Paraplegia berat dengan onset yang cepat, mengindikasikan tekanan yang
besar yang tidak biasa terjadi dari abses atau kecelakaan mekanis; dapat juga
disebabkan karena trombosis vaskuler yang tidak dapat terdiagnosa
MF.
6. Paraplegia berat; paraplegia flasid, paraplegia dalam posisi fleksi, hilangnya
sensibilitas secara lengkap, atau hilangnya kekuatan motorik selama lebih dari 6 bulan
(indikasi operasi segera tanpa percobaan pemberikan terapi konservatif)
MG.
B. Indikasi relatif
MH.
1. Paraplegia yang rekuren bahwa dengan paralisis ringan sebelumnya
MI.
2. Paraplegia pada usia lanjut, indikasi untuk operasi diperkuat karena
kemungkinan pengaruh buruk dari immobilisasi
MJ.
3. Paraplegia yang disertai nyeri, nyeri dapat disebabkan karena spasme atau
kompresi syaraf
MK.
4. Komplikasi seperti infeksi traktur urinarius atau batu
ML.
C. Indikasi yang jarang
MM.
1. Posterior spinal disease
MN.
2. Spinal tumor syndrome
MO.
3. Paralisis berat sekunder terhadap penyakit servikal
MP.
4. Paralisis berat karena sindrom kauda ekuina

MQ.
MR.DIAGNOSIS BANDING
MS. 1. Pneumonia
MT. 2. Abses paru
MU.3. Kanker paru
MV.4. Bronkiektasis
MW.

5. Pneumonia aspirasi

MX.
MY.KOMPLIKASI
MZ.
Cedera corda spinalis (spinal cord injury). Dapat terjadi karena adanya
tekanan ekstradural sekunder karena pus tuberkulosa, sekuestra tulang, sekuester dari
diskus intervertebralis (contoh : Potts paraplegia prognosa baik) atau dapat juga
langsung karena keterlibatan korda spinalis oleh jaringan granulasi tuberkulosa (contoh
: menigomyelitis prognosa buruk). Jika cepat diterapi sering berespon baik (berbeda
dengan kondisi paralisis pada tumor). MRI dan mielografi dapat membantu
membedakan paraplegi karena tekanan atau karena invasi dura dan corda spinalis.
Komplikasi yang lain yaitu terjadi empyema tuberkulosa karena rupturnya abses
paravertebral di torakal ke dalam pleura.
NA.
NB. PENCEGAHAN
NC.

Sejalan dengan meningkatnya kasus TB, pada awal tahun 1990-an WHO dan

IUATLD mengembangkan strategi pengendalian TB yang dikenal sebagai strategi


DOTS (Directly Observed Treatment Short-course). Strategi DOTS terdiri dari 5
komponen kunci, yaitu:(8)
1.
2.
3.
4.
5.

Komitmen politis, dengan peningkatan dan kesinambungan pendanaan.


Penemuan kasus melalui pemeriksaan dahak mikroskopis yang terjamin mutunya.
Pengobatan yang standar, dengan supervisi dan dukungan bagi pasien.
Sistem pengelolaan dan ketersediaan OAT yang efektif.
Sistem monitoring, pencatatan dan pelaporan yang mampu memberikan penilaian
terhadap hasil pengobatan pasien dan kinerja program.

ND. Fokus utama DOTS adalah penemuan dan penyembuhan pasien, prioritas diberikan
kepada pasien TB tipe menular. Strategi ini akan memutuskan rantai penularan TB dan
dengan demkian menurunkan insidens TB di masyarakat. Menemukan dan
menyembuhkan pasien merupakan cara terbaik dalam upaya pencegahan
penularan TB.
NE. Pencegahan penyakit Tuberkulosis

yang

bisa dilakukan oleh

masyarakat sendiri diantaranya adalah ventilasi dan pencahayaan rumah yang baik,
menutup mulut saat batuk, serta pembuangan sputum dengan benar. Selain itu,
masyarakat juga perlu menjaga kebersihan lingkungan termasuk alat makan dan tidak
meludah di sembarang tempat. Selain pencegahan dinyatakan di atas, terdapat juga
vaksinasi yang bisa mencegah daripada terjadinya penyakit Tuberkulosis ini yaitu
vaksin BCG.
NF.
NG.
NH.
NI.
NJ.
NK.
NL.
NM.

NN. PROGNOSIS
NO. Prognosa pasien dengan spondilitis tuberkulosa sangat tergantung dari usia dan
kondisi kesehatan umum pasien, derajat berat dan durasi defisit neurologis serta terapi
yang diberikan.
a. Mortalitas
NP.
Mortalitas pasien spondilitis tuberkulosa mengalami penurunan seiring dengan
ditemukannya kemoterapi (menjadi kurang dari 5%, jika pasien didiagnosa dini dan
patuh dengan regimen terapi dan pengawasan ketat).
b. Relaps
NQ. Angka kemungkinan kekambuhan pasien yang diterapi antibiotik dengan
regimen medis saat ini dan pengawasan yang ketat hampir mencapai 0%.
c. Kifosis
NR. Kifosis progresif selain merupakan deformitas yang mempengaruhi kosmetis
secara signifikan, tetapi juga dapat menyebabkan timbulnya defisit neurologis atau
kegagalan pernafasan dan jantung karena keterbatasan fungsi paru.
d. Defisit neurologis
NS. Defisit neurologis pada pasien spondilitis tuberkulosa dapat membaik secara
spontan tanpa operasi atau kemoterapi. Tetapi secara umum, prognosis membaik
dengan dilakukannya operasi dini.
e. Usia
NT. Pada anak-anak, prognosis lebih baik dibandingkan dengan orang dewasa
f. Fusi
NU. Fusi tulang yang solid merupakan hal yang penting untuk pemulihan
permanen spondilitis tuberkulosa.
NV.
NW.
NX.
NY.
NZ.
OA.
OB.
OC.
OD.
OE.
OF. DAFTAR PUSTAKA
OG.
OH.
1. Centers for Disease Control and Prevention. Tuberculosis (TB). Available at :
http://www.cdc.gov/tb/topic/basics/default.htm. Updated on March, 2016.
2. World
Health
Organization.
Tuberculosis.
Available

at

http://www.who.int/tb/publications/factsheets_global.pdf. Updated on October, 2016.


3. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simandibrata M, Setiati S. Buku ajar ilmu penyakit
dalam. Jilid III. Ed V. Jakarta :Balai Penerbit FKUI;2009.p.2230-1
4. BatesMN,KhalakdinaA,PaiM,ChangL,LessaF,SmithKR:Riskoftuberculosis

fromexposuretotobaccosmoke:asystematicreviewandmetaanalysis.ArchIntern
Med.2007,167:33542.10.1001/archinte.167.4.335.
5. YangZ,KongY,WilsonF,FoxmanB,FowlerAH,MarrsCF,CaveMD,BatesJH:
Identificationofriskfactorsforextrapulmonarytuberculosis.ClinInfectDis.2004,
38:199205.10.1086/380644.
6. JickSS,LiebermanES,RahmanMU,ChoiHK:Glucocorticoiduse,otherassociated
factors, and the risk of tuberculosis. Arthritis Rheum. 2006, 55: 1926.
10.1002/art.21705
7. AlisjahbanaB,vanCrevelR,SahiratmadjaE,denHeijerM,MayaA,IstrianaE,
DanusantosH,OttenhofTH,NelwaRHH,vanderMeerJW:Diabetesmellitusis
stronglyassociatedwithtuberculosisinIndonesia.IntJTubercLungDis.2006,10:
696700.
8. UyainahA,YuwonoA,NawasA,SonataB,SetyaningsihB,BurhanE,dkk.Pedoman
NasionalPengendalianTuberkulosis.Jakarta:KementerianKesehatanRI;2014.p.17
20
9. Zuwanda , Janitra R. Diagnosis dan Penatalaksanaan Spondilitis Tuberkulosis. CDK208/ vol. 40 no. 9, th. 2013.
10. Hidalgo JA, Alangaden G. Potts Disease (Tuberculous Spondylitis). Available at
http://www.emedicine.com/; July 12, 2002.
11. Tuberculous Spondilytis. Available at http://www.orthoguide.co.id. Agustus 2002.
12. Milenkovi1 s, Saveski J, Hasani I, Late Diagnosed Cervical Spine TBC Spondylitis:
OI.

Case Report, Scientific Journal of the Faculty of Medicine in Ni. 2012;29(4):205-11.

You might also like