You are on page 1of 25

FOLLOW UP

24 Oktober 2016
S
O

Nyeri pinggang (+), batuk kering (+), sesak (+), mual (-), muntah (-)
KU : Kompos mentis, Tampak Sakit Sedang
TD : 110/70 mmHg
HR : 108 kali/menit
RR : 24 kali/menit
S

: 37,2 0C

Muka

: Tidak tampak kelainan

Mata

: CA -/-, SI -/-

Leher

: Pembesaran KGB (-)

Thoraks

: S1S2 normal regular, M (-), G (-)


SNV +/+, rh -/-, wh -/-

Abdomen : Supel, NTE (+) hipogastrium, BU (+)


Ekstremitas: Akral hangat (+)(+)/(+)(+), deformitas (-), edema (-),
CRT <2 detik.
Lab :

1. Dispneu e.c bekas Tb dd Tb relaps

2. CKD
1. Assering + lasal 2 cc /8 jam

1. Foto Vertebra

2. Cinam 2 x 1,5 gr IV
3. OBH syr 3 x C1 p.o
4. Etambutol 2 x 500 mg p.o
5. INH 1 x 300 mg p.o
6. Aminoral 3 x 1 p.o

25 Oktober 2016
S

Nyeri pinggang berkurang, batuk kering berkurang, sesak berkurang,

mual (-), muntah (-)


KU : Kompos mentis, Tampak Sakit Sedang
TD : 130/80 mmHg
HR : 96 kali/menit
RR : 20 kali/menit
S

: 37,5 0C

Muka

: Tidak tampak kelainan

Mata

: CA -/-, SI -/-

Leher

: Pembesaran KGB (-)

Thoraks

: S1S2 normal regular, M (-), G (-)


SNV +/+, rh -/-, wh -/-

Abdomen : Supel, NTE (-), BU (+)


Ekstremitas: Akral hangat (+)(+)/(+)(+), deformitas (-), edema (-),
CRT <2 detik.
Lab :
A

1. Dispneu e.c bekas Tb dd Tb relaps

2. CKD
1. Assering + lasal 2 cc /8 jam

1. Cek Hbs-Ag

2. Cinam 2 x 1,5 gr IV

2. Cek Anti HIV

3. OBH syr 3 x C1 p.o

3. Cek SGOT, SGPT

4. Etambutol 2 x 500 mg p.o


5. INH 1 x 300 mg p.o
6. Aminoral 3 x 1 p.o

26 Oktober 2016
S

Nyeri pinggang (+), batuk kering lebih sering pada malam hari, sesak

berkurang, mual (-), muntah (-), BAB dan BAK normal


KU : Kompos mentis, Tampak Sakit Sedang

TD : 120/70 mmHg
HR : 88 kali/menit
RR : 20 kali/menit
S

: 36,6 0C

Muka

: Tidak tampak kelainan

Mata

: CA -/-, SI +/+

Leher

: Pembesaran KGB (-)

Thoraks

: S1S2 normal regular, M (-), G (-)


SNV +/+, rh -/-, wh -/-

Abdomen : Supel, NTE (-), BU (+)


Ekstremitas: Akral hangat (+)(+)/(+)(+), deformitas (-), edema (-),
CRT <2 detik.
Lab :
A

1. Dispneu e.c bekas Tb dd Tb relaps


2. CKD

3. Ikterik
1. Assering + lasal 2 cc /8 jam

1. Cek albumin

2. Cinam 2 x 1,5 gr IV
3. OBH syr 3 x C1 p.o
4. Etambutol 2 x 500 mg p.o
5. INH 1 x 300 mg p.o
6. Aminoral 3 x 1 p.o

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

DEFINISI
Tuberkulosis adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi kuman Mycobacterium
tuberculosis(Centers for Disease Control and Prevention. Tuberculosis (TB)
http://www.cdc.gov/tb/topic/basics/default.htm) Kuman ini paling sering menyerang
organ paru, namun dapat pula menyerang organ lain seperti ginjal, tulang belakang
dan otak.

EPIDEMIOLOGI
Prevalensi di dunia
Tuberkulosis (TB) sampai saat ini masih merupakan masalah kesehatan masyarakat
yang penting di dunia walaupun upaya pengendalian dengan strategi DOTS telah
diterapkan di banyak negara sejak tahun 1995. Berdasarkan data dari WHO, pada
tahun 2013 diperkirakan terdapat 2,9 juta kasus TB pada tahun 2012 dengan jumlah
kematian karena Tb mencapai 410.000. Setiap detiknya terdapat satu orang yang
terinfeksi tuberkulosis di dunia ini, dan sepertiga penduduk dunia telah terinfeksi
kuman tuberkulosis. Jumlah terbesar kasus TB terjadi di Asia tenggara yaitu 33 % dari
seluruh kasus TB di dunia.
Peningkatan prevalensi TB di dunia dipengaruhi oleh berbagai faktor, diantaranya
adalah adanya peningkatan jumlah kemiskinan yang tidak hanya terjadi pada negara
berkembang tetapi juga pada penduduk perkotaan tertentu di negara maju, kemudian
adanya perubahan demografik yaitu berupa peningkatan jumah penduduk,
perlindungan kesehatan yang tidak mencukupi, tidak memadainya pendidikan
mengenai TB, terlantar dan kurangnya biaya untuk obat, sarana diagnostik, dan
pengawasan kasus TB dimana terjadi deteksi dan tatalaksana kasus yang tidak adekuat
serta peningkatan kasus HIV terutama di Afrika dan Asia. .(In : Sudoyo AW,
Setiyohadi B, Alwi I, Simandibrata M, Setiati S. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Jilid
III. Ed V. Jakarta :Balai Penerbit FKUI;2009.p.2230-1)

Prevalensi di Indonesia

Berdasarkan Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) di Indonesia, didapatkan


bahwa penyakit pada sistem pernapasan merupakan penyebab kematian kedua setelah
sistem sirkulasi. Penyakit pada sistem pernapasan yang menjadi masalah terbesar
salah satunya adalah tuberkulosis / TBC, baik dari sisi angka kematian (mortalitas),
angka kejadian penyakit (morbiditas), maupun diagnosis dan terapinya. Jumlah
penderita TBC paru dari tahun ke tahun di Indonesia terus meningkat. Dengan
penduduk lebih dari 200 juta orang, Indonesia menempati urutan ketiga setelah India
dan China dalam hal jumlah penderita di antara 22 negara dengan masalah TBC
terbesar di dunia
Saat ini setiap menit muncul satu penderita baru TBC paru, dan setiap dua menit
muncul satu penderita baru TBC paru yang menular. Bahkan setiap empat menit
sekali satu orang meninggal akibat TBC di Indonesia.
Dengan penduduk lebih dari 200 juta orang, Indonesia menempati urutan ketiga
setelah India dan China dalam hal jumlah penderita di antara 22 negara dengan
masalah TBC terbesar di dunia
Prevalensi TB ekstrapulmoner
Dalam laporan WHO tahun 2013 :
Diperkirakan terdapat 2,9 juta kasus TB pada tahun 2012 dengan jumlah kematian
karena tb mencapai 410.000.
Sekitar 75 % pasien Tb adalah kelompok usia paling produktif secara ekonomis (1550 tahun). Diperkirakan seorang pasien tb dewasa akan kehilangan rata- rata waktu
kerjanya 3 sampai 4 bulan. Diperkirakan seorang pasien TB dewasa, akan kehilangan
rata-rata waktu kerjanya 3 sampai 4 bulan. Hal tersebut berakibat pada kehilangan
pendapatan tahunan rumah tangganya sekitar 20-30%. Jika ia meninggal akibat TB,
maka akan kehilangan pendapatannya sekitar 15 tahun. Selain merugikan secara
ekonomis, TB juga memberikan dampak buruk lainnya secara sosial stigma bahkan
dikucilkan oleh masyarakat.

Prevalensi tb ekstrapulmoner :

Seperti yang disampaikan di atas, TB paru mencakup 80-85% dari seluruh kasus aktif;
sedangkan TB ekstraparu mencakup 15-20% lainnya (Fitzpatrick & Braden, 2000).

FAKTOR RISIKO
Manifestasi klinis TB bervariasi dan bergantung pada sejumlah faktor yang
berhubungan dengan mikroba, pejamu dan lingkungan. Peran faktor-faktor yang
berhubungan dengan pejamu yang bertanggung jawab atas terjadinya TB pada situs
ekstraparu adalah terbatas. Beberapa studi telah melaporkan bahwa proporsi TB
ekstraparu meningkat disebabkan epidemi HIV dan mungkin juga oleh perkembangan
dalam fasilitas diagnostik (Sreeramareddy, Panduru, Verma, Joshi, dan Bates, 2008).
Sebuah studi dari Amerika Serikat melaporkan bahwa wanita, warga berkulit hitam
non-Hispanic dan individu yang terinfeksi HIV lebih beresiko tinggi menderita TB
ekstraparu. Sedangkan studi di Amerika Serikat yang lain
Universitas Sumatera Utara
menunjukkan HIV-seropositif, usia kurang dari 18 tahun, warga Amerika
berketurunan Afrika, pengidap sirosis hepatis adalah faktor-faktor resiko terhadap TB
ekstraparu. Adapun suatu studi dari Turki menunjukkan bahwa wanita mempunyai
resiko lebih tinggi untuk perkembangan TB ekstraparu dan resiko TB ekstraparu
meningkat 5 tahun setelah kontak awal. Suatu studi yang lain menunjukkan faktorfaktor yang berhubungan dengan penjamu bervariasi menurut asal geografis dan
faktor resiko terhadap TB ekstraparu adalah berjenis kelamin perempuan untuk
individu-individu yang berasal dari Asia ataupun Afrika Utara, usia untuk individuindividu yang asalnya dari Afrika sub-Sahara dan positif HIV untuk yang asalnya dari
Eropa (Sreeramareddy, Panduru, Verma, Joshi, dan Bates, 2008).
Pada pasien terinfeksi HIV, frekuensi TB ekstraparu tergantung pada derajat
penurunan imunitas selular. Pada pasien dengan <100 CD4 cells/mL, TB ekstraparu
dan milier terhitung 70% dari seluruh bentuk TB (Beek, Werf, Richter, dan Borgdorff,

2006).

Faktor risiko untuk menjadi sakit TB adalah tergantung dari konsentrasi atau
jumlah kuman yang terhirup, lamanya waktu sejak terinfeksi, usia seorang yang
terinfeksi, tingkat daya tahan tubuh seseorang. Seseorang dengan daya tahan
tubuh rendah diantaranya infeksi HIV / AIDS dan malnutrisi (gizi buruk) akan
memudahkan berkembangnya TB aktif (sakit TB). Bila jumlah orang terinfeksi
HIV meningkat, maka jumlah pasien TB akan meningkat, dengan demikian
penularan TB di masyarakat akan meningkat pula.
Terdapat pelbagai factor resiko yang bisa menyebabkan tertularnya penyakit
Tuberkulosis. Yang pertama adalah faktor usia. Dari hasil penelitian yang
dilaksanakan di New York pada panti penampungan orang-orang gelandangan
menunjukkan bahwa kemungkinan mendapat infeksi tuberkulosis aktif meningkat
secara bermakna sesuai dengan umur. Insiden tertinggi tuberkulosis paru biasanya
mengenai usia dewasa muda. Di Indonesia diperkirakan 75% penderita TB Paru
adalah kelompok usia produktif yaitu 15-50 tahun.
Faktor resiko seterusnya adalah jenis kelamin. Di benua Afrika pada tahun 1996
jumlah penderita TB paru laki-laki hampir dua kali lipat dibandingkan jumlah
penderita TB paru pada wanita, yaitu 42,34% pada laki-laki dan 28,9 % pada wanita.
TB paru Iebih banyak terjadi pada laki-laki dibandingkan dengan wanita karena lakilaki sebagian besar mempunyai kebiasaan merokok sehingga memudahkan
terjangkitnya TB paru.
Tingkat pendidikan juga menjadi salah satu faktor resiko penularan penyakit
Tuberkulosis.

Tingkat

pendidikan

seseorang

akan

mempengaruhi

terhadap

pengetahuan seseorang diantaranya mengenai rumah yang memenuhi syarat kesehatan


dan pengetahuan penyakit TB Paru, sehingga dengan pengetahuan yang cukup maka
seseorang akan mencoba untuk mempunyai perilaku hidup bersih dan sehat.
Diketahui

juga

bahwa

kebiasaan

merokok

mempunyai

hubungan

dengan

meningkatkan resiko untuk mendapatkan kanker paru-paru, penyakit jantung koroner,

bronchitis kronik dan kanker kandung kemih. Menurut Yuliyanti Purnamasari


(2009) di dalam penelitiannya yang berjudul Hubungan Merokok Dengan Angka
Kejadian Tuberkulosis Paru di RSUD Dr. Moewardi Surakarta, Perokok memiliki
resiko untuk mengalami Tuberkulosis 3 kali lebih besar daripada bukan perokok. Ini
karena, merokok dapat memperlemah paru dan menyebabkan paru lebih mudah
terinfeksi kuman tuberkulosis. Bahkan, asap rokok dalam jumlah besar yang dihirup
dapat meningkatkan risiko keparahan tuberkulosis, kekambuhan dan
Universitas Sumatera Utara
kegagalan pengobatan tuberkulosis. Dengan adanya kebiasaan merokok akan
mempermudah untuk terjadinya infeksi TB Paru.
Selain itu, kepadatan hunian kamar tidur juga menjadi factor resiko penyebab
penyakit Tuberkulosis. Luas lantai bangunan rumah sehat harus cukup untuk
penghuni di dalamnya agar tidak menyebabkan overload. Hal ini tidak sehat, sebab
disamping menyebabkan kurangnya konsumsi oksigen juga bila salah satu anggota
keluarga terkena penyakit infeksi, akan mudah menular kepada anggota keluarga yang
lain. Antara kelompok yang beresiko untuk menularkan penyakit Tuberkulosis adalah
pelajar-pelajar di asrama sekolah.
Kondisi rumah juga menjadi salah satu faktor resiko penularan penyakit TB. Atap,
dinding dan lantai dapat menjadi tempat perkembang biakan kuman. Lantai dan
dinding yag sulit dibersihkan akan menyebabkan penumpukan debu, sehingga akan
dijadikan sebagai media yang baik bagi berkembangbiaknya kuman Mycrobacterium
tuberculosis.
Faktor resiko penularan penyakit Tuberkulosis yang seterusnya adalah status gizi.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Ratnawati LY (2002) terhadap pasien
Tuberkulosis, terdapat 96,7% responden mempunyai kecukupan energi kurang.
Kekurangan gizi pada seseorang akan berpengaruh terhadap kekuatan daya tahan
tubuh dan respon immunologik terhadap penyakit.
Keadaan sosial ekonomi juga berkaitan erat dengan pendidikan, keadaan sanitasi
lingkungan, gizi dan akses terhadap pelayanan kesehatan. Penurunan pendapatan

dapat menyebabkan kurangnya kemampuan daya beli dalam memenuhi konsumsi


makanan sehingga akan berpengaruh terhadap status gizi. Apabila status gizi buruk
maka akan menyebabkan kekebalan tubuh yang menurun sehingga memudahkan
terkena infeksi TB Paru.
Cara
o

penularan
Sumber

penularan

adalah

pasien

TB

BTA

positif.

o Pada waktu batuk atau bersin, pasien menyebarkan kuman ke udara


dalam bentuk percikan dahak (droplet nuclei). Sekali batuk dapat
menghasilkan

sekitar

3000

percikan

dahak.

o Umumnya penularan terjadi dalam ruangan dimana percikan dahak


berada dalam waktu yang lama. Ventilasi dapat mengurangi jumlah percikan,
sementara sinar matahari langsung dapat membunuh kuman. Percikan dapat bertahan
selama beberapa jam dalam keadaan yang gelap dan lembab.
o Daya penularan seorang pasien ditentukan oleh banyaknya kuman yang dikeluarkan
dari parunya. Makin tinggi derajat kepositifan hasil pemeriksaan dahak, makin
menular pasien tersebut.
o Faktor yang memungkinkan seseorang terpajan kuman TB ditentukan oleh
konsentrasi percikan dalam udara dan lamanya menghirup udara tersebut.
Risiko

penularan

o Risiko tertular tergantung dari tingkat pajanan dengan percikan dahak.


Pasien TB paru dengan BTA positif memberikan kemungkinan risiko
penularan lebih besar dari pasien TB paru dengan BTA negatif. o Risiko penularan
setiap tahunnya di tunjukkan dengan Annual Risk of Tuberculosis Infection (ARTI)
yaitu proporsi penduduk yang berisiko terinfeksi TB selama satu tahun. ARTI sebesar
1%, berarti 10 (sepuluh) orang diantara 1000 penduduk terinfeksi setiap tahun. o
Menurut WHO ARTI di Indonesia bervariasi antara 1-3%. o Infeksi TB dibuktikan
dengan perubahan reaksi tuberkulin negatif

menjadi positif.

Risiko

menjadi

sakit

TB

o Hanya sekitar 10% yang terinfeksi TB akan menjadi sakit TB. o Dengan ARTI 1%,
diperkirakan diantara 100.000 penduduk rata-rata
terjadi 1000 terinfeksi TB dan 10% diantaranya (100 orang) akan menjadi sakit TB
setiap tahun. Sekitar 50 diantaranya adalah pasien TB BTA positif.
o Faktor yang mempengaruhi kemungkinan seseorang menjadi pasien TB adalah daya
tahan tubuh yang rendah, diantaranya infeksi HIV/AIDS dan malnutrisi (gizi buruk).
o Infeksi HIV mengakibatkan kerusakan luas sistem daya tahan tubuh seluler (cellular
immunity) dan merupakan faktor risiko paling kuat bagi yang terinfeksi TB untuk
menjadi sakit TB (TB Aktif). Bila jumlah orang terinfeksi HIV meningkat, maka
jumlah pasien TB akan meningkat, dengan demikian penularan TB di masyarakat
akan meningkat pula.

KLASIFIKASI

Lokasi atau organ tubuh yang sakit: paru atau ekstra paru;

Bakteriologi (hasil pemeriksaan dahak secara mikroskopis): BTA positif


atau BTA negatif;

Riwayat pengobatan TB sebelumnya, pasien baru atau sudah pernah


diobati

Status HIV pasien.

1. Klasifikasi berdasarkan organ tubuh (anatomical site) yang terkena:


1) Tuberkulosis paru. Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang menyerang
jaringan (parenkim) paru. tidak termasuk pleura (selaput paru) dan kelenjar
pada hilus.
19
PEDOMAN NASIONAL PENGENDALIAN TUBERKULOSIS
2) Tuberkulosis ekstra paru. Tuberkulosis yang menyerang organ tubuh lain
selain paru, misalnya pleura, selaput otak, selaput jantung (pericardium),
kelenjar lymfe, tulang, persendian, kulit, usus, ginjal, saluran kencing, alat
kelamin, dan lain-lain.
Pasien dengan TB paru dan TB ekstraparu diklasifikasikan sebagai TB paru
b. Klasifikasi berdasarkan hasil pemeriksaan dahak mikroskopis,
keadan ini terutama ditujukan pada TB Paru:
1. 1) Tuberkulosis paru BTA positif.
1. a) Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya
BTA positif.
2. b) 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan foto toraks
dada menunjukkan gambaran tuberkulosis.
3. c) 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan biakan
kuman TB positif.
4. d) 1 atau lebih spesimen dahak hasilnya positif setelah 3
spesimen dahak SPS pada pemeriksaan sebelumnya hasilnya
BTA negatif dan tidak ada perbaikan setelah pemberian
antibiotika non OAT.

2. 2) Tuberkulosis paru BTA negatif


Kasus yang tidak memenuhi definisi pada TB paru BTA positif.
Kriteria diagnostik TB paru BTA negatif harus meliputi:
1. a) Paling tidak 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA negative
2. b) Foto toraks abnormal sesuai dengan gambaran tuberkulosis.
3. c) Tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT,
bagi pasien dengan HIV negatif.
4. d) Ditentukan (dipertimbangkan) oleh dokter untuk diberi
pengobatan.
Catatan:
1. Pasien TB paru tanpa hasil pemeriksaan dahak tidak dapat
diklasifikasikan sebagai BTA negative, lebih baik dicatat sebagai
pemeriksaaan dahak tidak dilakukan.
2. Bila seorang pasien TB paru juga mempunyai TB ekstra paru, maka
untuk kepentingan pencatatan, pasien tersebut harus dicatat sebagai
pasien TB paru.
3. Bila seorang pasien dengan TB ekstra paru pada beberapa organ, maka
dicatat sebagai TB ekstra paru pada organ yang penyakitnya paling
berat.
20
PEDOMAN NASIONAL PENGENDALIAN TUBERKULOSIS
c. Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya
Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya disebut sebagai tipe
pasien, yaitu:

1. 1) Kasus baru
Adalah pasien yang belum pernah diobati dengan OAT atau sudah
pernah menelan OAT kurang dari satu bulan (4 minggu). Pemeriksaan
BTA bisa positif atau negatif
2. 2) Kasus yang sebelumnya diobati
1. Kasus kambuh (Relaps)
Adalah pasien tuberkulosis yang sebelumnya pernah mendapat
pengobatan tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh atau
pengobatan lengkap, didiagnosis kembali dengan BTA positif
(apusan atau kultur).
2. Kasus

setelah

putus

berobat

(Default

Adalah pasien yang telah berobat dan putus berobat 2 bulan


atau lebih dengan BTA positif.
3. Kasus

setelah

gagal

(Failure)

Adalah pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif


atau kembali menjadi positif pada bulan kelima atau lebih
selama pengobatan.
3).

Kasus

Pindahan

(Transfer

In)

Adalah pasien yang dipindahkan keregister lain untuk


melanjutkan pengobatannya.
4). Kasus lain:
Adalah semua kasus yang tidak memenuhi ketentuan diatas,
seperti yang
1. tidak diketahui riwayat pengobatan sebelumnya,
2. pernah diobati tetapi tidak diketahui hasil pengobatannya,

3. kembali diobati dengan BTA negative.


Catatan:
TB paru BTA negatif dan TB ekstra paru, dapat juga mengalami kambuh,
gagal, default maupun menjadi kasus kronik. Meskipun sangat jarang, harus
dibuktikan

secara

patologik,

bakteriologik

(biakan),

radiologik,

dan

pertimbangan medis spesialistik.

A. TUBERKULOSIS PARU
Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang menyerang jaringan paru, tidak termasuk
pleura (selaput paru)
1.
Berdasar hasil pemeriksaan dahak (BTA)
TB paru dibagi dalam :
1. Tuberkulosis Paru BTA (+)

Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak menunjukkan hasil BTA


positif

Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukkan BTA positif dan


kelainan radiologik menunjukkan gambaran tuberkulosis aktif

Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukkan BTA positif dan


biakan positif

2. Tuberkulosis Paru BTA (-)

Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif, gambaran


klinik dan kelainan radiologik menunjukkan tuberkulosis aktif serta
tidak respons dengan pemberian antibiotik spektrum luas

Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif dan biakan


M.tuberculosis positif

Jika belum ada hasil pemeriksaan dahak, tulis BTA belum diperiksa

__________________________________________________________
10 Pedoman Diagnosis & Penatalaksanaan Tuberkulosis di Indonesia
2.
Berdasarkan Tipe Penderita
Tipe penderita ditentukan berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya. Ada beberapa
tipe penderita yaitu :
1. Kasus

baru

Adalah penderita yang belum pernah mendapat pengobatan dengan OAT atau
sudah pernah menelan OAT kurang dari satu bulan (30 dosis harian)
2. Kasus

kambuh

(relaps)

Adalah penderita tuberkulosis yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan


tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap, kemudian
kembali lagi berobat dengan hasil pemeriksaan dahak BTA positif atau biakan
positif.
Bila hanya menunjukkan perubahan pada gambaran radiologik sehingga
dicurigai lesi aktif kembali, harus dipikirkan beberapa kemungkinan :

Infeksi sekunder

Infeksi jamur

TB paru kambuh

3. Kasus pindahan (Transfer In)


Adalah penderita yang sedang mendapatkan pengobatan di suatu kabupaten dan
kemudian pindah berobat ke kabupaten lain. Penderita pindahan tersebut harus
membawa surat rujukan/pindah
d.

Kasus

lalai

berobat

Adalah penderita yang sudah berobat paling kurang 1 bulan, dan berhenti 2 minggu
atau lebih, kemudian datang kembali berobat. Umumnya penderita tersebut kembali
dengan hasil pemeriksaan dahak BTA positif.
__________________________________________________________
Pedoman Diagnosis & Penatalaksanaan 11 Tuberkulosis di Indonesia
5. Kasus Gagal

Adalah penderita BTA positif yang masih tetap


positif atau kembali menjadi positif pada akhir bulan ke-5 (satu bulan
sebelum akhir pengobatan)

Adalah penderita dengan hasil BTA negatif gambaran radiologik


positif menjadi BTA positif pada akhir bulan ke-2 pengobatan dan atau
gambaran radiologik ulang hasilnya perburukan

6. Kasus

kronik

Adalah penderita dengan hasil pemeriksaan dahak BTA masih positif setelah
selesai pengobatan ulang kategori 2 dengan pengawasan yang baik
7. Kasus bekas TB

Hasil pemeriksaan dahak mikroskopik (biakan jika ada fasilitas)


negatif dan gambaran radiologik paru menunjukkan lesi TB inaktif,
terlebih gambaran radiologik serial menunjukkan gambaran yang

menetap. Riwayat pengobatan OA T yang adekuat akan lebih


mendukung

Pada kasus dengan gambaran radiologik meragukan lesi TB aktif,


namun setelah mendapat pengobatan OA T selama 2 bulan ternyata
tidak ada perubahan gambaran radiologik
_________________________________________________________
_

12 Pedoman Diagnosis & Penatalaksanaan Tuberkulosis di Indonesia


B. TUBERKULOSIS EKSTRA PARU
Batasan : Tuberkulosis yang menyerang organ tubuh lain selain paru, misalnya pleura,
selaput otak, selaput jantung (pericardium), kelenjar limfe, tulang, persendian, kulit,
usus, ginjal, saluran kencing, alat kelamin, dll. Diagnosis sebaiknya didasarkan atas
kultur spesimen positif, atau histologi, atau bukti klinis kuat konsisten dengan TB
ekstraparu aktif, yang selanjutnya dipertimbangkan oleh klinisi untuk diberikan obat
anti tuberkulosis siklus penuh. TB di luar paru dibagi berdasarkan pada tingkat
keparahan penyakit, yaitu :
1. TB

di

luar

paru

ringan

Misalnya : TB kelenjar limfe, pleuritis eksudativa unilateral,


tulang (kecuali tulang belakang), sendi dan kelenjar adrenal.
2. TB diluar paru berat
Misalnya : meningitis, millier, perikarditis, peritonitis, pleuritis eksudativa
bilateral, TB tulang belakang, TB usus, TB saluran kencing dan alat kelamin.
Catatan :
o Yang dimaksud dengan TB paru adalah TB pada parenkim paru.
Sebab itu TB pada pleura atau TB pada kelenjar hilus tanpa ada
kelainan radiologik paru, dianggap sebagai penderita TB di luar paru.

o Bila seorang penderita TB paru juga mempunyai TB di luar paru,


maka untuk kepentingan pencatatan penderita tersebut harus dicatat
sebagai penderita TB paru.
o Bila seorang penderita ekstra paru pada beberapa organ, maka
dicatat sebagai ekstra paru pada organ yang penyakitnya paling berat.
FISIOLOGI
ETIOLOGI
Penyakit Tuberkulosis adalah disebabkan oleh infeksi bakteri Mycobacterium
tuberculosis (M. tuberculosis). M. tuberculosis berbentuk batang lurus tidak berspora
dan juga tidak berkapsul. Bakteri ini berukuran lebar 0,3 0,6 mm dan panjang 1 4
mm. Dinding M. tuberculosis sangat kompleks dan terdiri dari lapisan lemak yang
cukup tinggi (60%). Penyusun utama dinding sel M. tuberculosis ialah asam mikolat,
lilin kompleks (complex-waxes), trehalosa dimikolat yang disebut cord factor dan
mycobacterial sulfolipids yang berperan dalam virulensi. Asam mikolat merupakan
asam lemak berantai panjang (C60 C90) yang dihubungkan dengan arabinogalaktan
oleh ikatan glikolipid dan dengan peptidoglikan oleh jembatan fosfodiester. Unsur
lain yang terdapat pada dinding sel bakteri tersebut adalah polisakarida seperti
arabinogalaktan dan arabinomanan. Struktur dinding sel yang kompleks tersebut
menyebabkan bakteri M. tuberculosis bersifat tahan asam, yaitu apabila sekali
diwarnai akan tetap tahan terhadap upaya penghilangan zat warna tersebut dengan
larutan asam-alkohol. Komponen antigen ditemukan di dinding sel dan sitoplasma
yaitu komponen lipid, polisakarida dan protein. Karakteristik antigen M. tuberculosis
dapat diidentifikasi dengan menggunakan antibodi monoklonal (PDPI, 2002).

DIAGNOSIS BANDING
DIAGNOSIS BANDING
1. Pneumonia
2. Abses paru
3. Kanker paru

4. Bronkiektasis
5. Pneumonia aspirasi
PENCEGAHAN
Penyakit Tuberkulosis ini bias dicegah. Seperti yang diketahui, mencegah
lebih baik dari mengobati. Antara pencegahan penyakit Tuberkulosis yang bisa
dilakukan oleh masyarakat adalah ventilasi dan pencahayaan rumah yang baik serta
menutup mulut saat batuk. Selain itu, masyarakat juga perlulah menjaga kebersihan
lingkungan termasuk alat makan dan tidak meludah di sembarang tempat (Rahmawati
VK, 2009).
Selain pencegahan dinyatakan di atas, terdapat juga vaksinasi yang bisa mencegah
daripada terjadinya penyakit Tuberkulosis ini yaitu vaksin BCG (Squire B., 2009).
Pencegahan dapat dilakuka dengan cara :

Terapi pencegahan

Diagnosis dan pengobatan TB paru BTA positif untuk mencegah


penularan

Terapi

pencegahan

Kemoprofilaksis diberikan kepada penderita HIV atau AIDS. Obat yang digunakan
pada kemoprofilaksis adalah Isoniazid (INH) dengan dosis 5 mg / kg BB (tidak lebih
dari 300 mg ) sehari selama minimal 6 bulan. Pencegahan dan PengendalianMenurut
Brooks, Butel, dan Morse (2007), pencegahan dan pengendalian
TB secara umum adalah sbb:
1.

Pengobatan pasien TB aktif dengan segera dan efektif serta tindak lanjut terhadap
kontak mereka melalui uji tuberkulin, foto rontgen sinar X, dan pengobatan yang
sesuai dengan saksama adalah tujuan utama pengendalian TB kesehatan masyarakat.
Timbulnya kembali penyakit TB menunjukkan bahwa metode pengendalian ini belum
dilakukan secara adekuat.

2.

Pengobatan obat pada orang asimtomatik yang uji tuberkulinnya positif pada
kelompok umur yang paling rentan terhadap timbulnya komplikasi (misalnya, anakanak) dan orang yang uji tuberkulinnnya positif yang harus menerima obat-obatan
imunosupresif sangat mengurangi reaktivasi infeksi.

3.

Resistansi seorang pejamu: faktor-faktor nonspesifik dapat mengurangi resistansi


pejamu sehingga membantu konversi infeksi asimtomatik menjadi sebuah penyakit.
Faktor-faktor tersebut meliputi kelaparan, gastrektomi, dan supresi imunitas selular
dengan obat (misalnya, kortikosteroid) atau infeksi. Infeksi HIV adalah faktor resiko
utama untuk TB.

4.

Imunitas: berbagai macam basil tuberkel avirulen, terutama BCG (bacille CalmetteGurin, organisme attenuated bovin), telah digunakan untuk menginduksi sejumlah
tertentu resistansi pada orang yang sangat terpajan dengan infeksi. Vaksinasi dengan
organisme ini, sama dengan infeksi primer dengan basil tuberkel virulen tanpa disertai
bahaya di kemudian hari. Vaksin yang tersedia tidak adekuat menurut banyak sudut
pandang teknis dan biologis. Walaupun demikian, BCG diberikan kepada anak-anak
pada banyak negara. Di Amerika Serikat, BCG hanya diberikan pada orang dengan
hasil uji tuberkulin negatif yang sangat terpajan (anggota keluaraga pasien TB ,
petugas kesehatan). Bukti statistik menunjukkan bahwa terjadi peningkatan resistansi
untuk periode tertentu yang muncul setelah vaksinasi BCG.

5.

Eradikasi TB pada sapi dan pasteurisasi susu telah sangat mengurangi infeksi
M.bovis.
Universitas Sumatera Utara
2.3. Pengetahuan
Notoatmodjo (2003) menjelaskan pengetahuan sebagai suatu hasil tahu, dan hasil
tahu ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu.
Penginderaan ini terjadi melalui pancaindera manusia, yakni: indra penglihatan,
pendengaran, penciuman, rasa, dan raba.
Menurut Notoatmodjo (2003), pengetahuan yang dicakup di dalam domain kognitif
mempunyai 6 tingkat, yakni:

1.

Tahu (know)Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari
sebelumnya.

2.

Memahami (comprehension) Memahami adalah suatu kemampuan untuk menjelaskan


secara benar tentang objek yang diketahui, dan dapat menginterpretasikan materi
tersebut secara benar.

3.

Aplikasi(application)Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan


materi yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi riil.

4.

Analisis (Analysis) Analisis merupakan suatu kemampuan untuk menjalarkan materi


atau suatu suatu objek ke dalam komponen-komponen, tetapi masih di dalam suatu
struktur organisasi tersebut, dan masih ada kaitannya satu sama lain.

5.

Sintesis (Synthesis)Sintesis menunjuk kepada suatu kemampuan untuk meletakkan


atau menghubungkan bagian-bagian di dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru.
6. Evaluasi (evaluation)
Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi atau penilaian
terhadap suatu materi atau objek.Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan
wawancara atau angket
yang menanyakan tentang isi materi yang ingin diukur dari subjek penelitian atau
responden.
Universitas Sumatera Utara
2.4. Tingkat Pengetahuan terhadap TB Ekstraparu dan TB secara Umum
Tujuan dari edukasi pasien adalah untuk mempengaruhi atau mengubah perilaku
kesehatan pasien dengan menyediakan mereka informasi yang memotivasi untuk
mengikuti rencana pengobatan. Inti elemen-elemen pengetahuan dari keterkaitannya
kepada penghentian penularan penyakit dan ikatannya dengan terapi berhubungan
dengan: apakah TB, apakah yang menyebabkannya, bagaimanakah penularannya,
tindakan apakah yang dapat diambil untuk membatasi penularannya, bagaimanakah
pengobatannya, apa pentingnya mengambil pengobatan secara teratur, selama berapa

lama, apa konsekuensi dari menghentikan pengobatan, apa efek samping dan
komplikasi yang mungkin dan apakah TB penyakit dapat disembuhkan. Semua ini
adalah pesan-pesan edukasi yang penting yang pasien seharusnya ketahui (Mohamed,
Yousif, Ottoa, dan Bayoumi, 2007).
Pengetahuan tentang penyakit ini dipercaya menjadi penentu penting dari perilaku
menjaga kesehatan dan mencari pertolongan medik sebagaimana halnya keterikatan
untuk tindakan pencegahan dan pengobatan. Ketidakterikatan kepada pengobatan
sering kali dihasilkan dari ketidakadekuatan pengetahuan atau pemahaman tentang
penyakit dan pengobatanya. Sebaliknya, pengetahuan yang lebih besar tentang TB
akan meningkatkan penerimaan tindakan pengendalian dengan menghasilkan
penurunan penyebaran penyakit (Mohamed, Yousif, Ottoa, dan Bayoumi, 2007).
TB ekstraparu sedang berada dalam peningkatan di seluruh dunia. Keragaman
ekstraparu sekarang sedang memulai untuk muncul dari bayangan TB paru. Di
negara-negara dengan surveilans data yang baik seperti Amerika Serikat, dimana
angka TB paru telah menurun ke tingkat terendahnya pada 2001, statistik
mengindikasikan peningkatan relatif kasus ekstraparu dari 16% pada 1992 menjadi
20% pada 2001. Lebih dari 70% pasien positif HIV dengan TB telah mempunyai
presentasi ekstraparu, ketika prevalensinya 15-30% orang-orang imunokompeten
(Kant, 2004).
Jittimanee et al. (2009) meneliti tentang stigma sosial dan pengetahuan TB dan HIV
di antara pasien dengan kedua penyakit di Thailand. Dari 769 pasien,
Universitas Sumatera Utara
500 (65%) dilaporkan mempunyai stigma TB yang tinggi, 177 (23%) berpengetahuan
TB yang rendah, and 379 (49%) berpengetahuan HIV yang rendah. Pasien pasien
yang dilaporkan berstigma TB yang tinggi lebih berkemungkinan untuk telah
mengambil antibiotik sebelum pengobatan TB, telah melakukan kunjungan pertama
ke penyembuhan tradisional, mengetahui bahwa monogami dapat mengurangi resiko
mendapatkan infeksi HIV, dan telah dihospitalisasi. Pasien dengan pengetahuan TB
rendah lebih berkemungkinan unutk mempunyai penyakit TB yang parah, untuk
dihospitalisasi, dirawat di rumah sakit rujukan penyakit infeksi nasional dan
mempunyai pengetahuan HIV yang rendah. Pasien dengan pengetahuan HIV rendah

lebih berkemungkinan mengetahui seorang pasien TB dan mempunyai pengetahuan


TB yang rendah. Adapun kesimpulannya stigma dan pengetahuan spesifik penyakit
yang rendah adalah umum di antara pasien TB terinfeksi HIV dan berhubungan
dengan faktor yang sama.
Legesse, Ameni, Mamo, Medhin, Bjune dan Abebe (2011) meneliti tentang
pengetahuan TB limfadenitis servikal dan pengobatannya di komunitas peternakan di
wilayah Afar, Ethiopia. Dari 818 orang terwawancara [357 (43,6%) perempuan and
461 (56,4%) laki-laki], 742 (90,7%) yang dilaporkan bahwa mereka mempunyai
pengetahuan tentang TB limfadenitis, menyatakan bahwa pembengkakan di leher
yang menghasilkan lesi dan parut adalah gejala umum. Bagaimanapun, hanya 11
(1,5%) individu menyatakan bahwa bakteri atau kuman merupakan agen penyebab TB
limfadenitis. Tiga orang yang terwawancara dan seorang diskusiwan laki-laki
menyatakan meminum susu mentah sebagai penyebab TB limfadenitis. Proporsi yang
sangat banyak (34,2%) dari orang-orang terwawancara dan hampir semua diskusiwan
mengesankan pengobatan herbal sebagai pengobatan yang efektif. Partisipan studi
laki-laki adalah 1,82 kali lebih berkemungkinan untuk mempunyai pengetahuan
menyeluruh tentang TB limfadenitis daripada partisipan studi perempuan.
Mohamed, Yousif, Ottoa dan Bayoumi (2007) meneliti tentang pengetahuan TB di
antara pasien di Omdurman, Sudan. Subjek penelitian adalah pasien TB paru dan
ekstraparu, yang berusia di atas 15 tahun, terdiagnosa, dan
Universitas Sumatera Utara
dirawat di di fasilitas kesehatan yang berbeda di Provinsi Greater Omdurman. Dari
jumlah total responden hanya 547 (54,9%) mengetahui bahwa TB adalah sebuah
penyakit infeksius, 402 (40,4%) mengetahui bahwa TB sebuah penyakit yang
ditularkan melalui udara dan 584 (58,7%) menyatakan bahwa mereka mempraktikkan
tindakan pencegahan yang berbeda di tingkat perlengkapan rumah dan/atau tempat
kerja. Durasi pengobatan TB diketahui 480 (48,2%) dan mengenai fakta bahwa
penyakit ini dapat tersembuhkan, 800 (80,3%) dari responden mengetahui bahwa
penyakit dapat disembuhkan. Dari segi usia, responden yang lebih muda (kurang dari
30 tahun) mengetahui lebih banyak dibanding yang lainnya bahwa mereka terinfeksi
TB (62,3%). Orang - orang yang berusia di atas 50 tahun menunjukkan angka

pengetahuan yang terendah (42,0%). Lebih lanjut, tingkat kesadaran secara signifikan
menurun seiring dengan pertambahan usia. Pasien yang lebih tua menunjukkan angka
pengetahuan yang terendah tentang penyebab penyakit TB (0,6%). Sekitar 67,3% dari
responden yang lebih muda (20-29 tahun) mengetahui bahwa TB menular dibanding
dengan 42.9% dari responden yang lebih tua (di atas 50 tahun). Pada keterkaitan
pengetahuan tentang durasi pengobatan TB dengan usia responden, responden yang
lebih muda menunjukkan angka kesadaran yang tertinggi (52,2%). Dari segi jenis
kelamin, pengetahuan tentang infeksi terkini berdasarkan jenis kelamin menunjukkan
bahwa proporsi yang lebih tinggi dari laki-laki (58,0%) yang mengetahui dibanding
perempuan (48.4%). Secara signifikan laki-laki juga mengetahui bahwa penyakit TB
infeksius (60.2%) dibanding perempuan (52,8%). Laki-laki (43,6%) meyakini bahwa
TB adalah penyakit yang ditularkan melaui udara dibanding dengan perempuan
(33,5%). Proporsi laki-laki yang terbiasa mempraktikkan ukuran pencegahan adalah
60,2% dibanding perempuan (55,3%) dan laki-laki yang mengetahui jangka waktu
pengobatan aktual (49,3%) lebih banyak dibanding perempuan (46,0%). Dari segi
tingkat pendidikan, pada umumnya, pengetahuan tentang TB dan pengobatannya
meningkat secara signifikan seiring dengan tingkat pendidikan.
Pencegahan primer
Berikan tuberkulosis skin test kepada:
1) Orang yang mengalami tanda dan gejala atau pemeriksaan hasil laboratorium
abnormalitas yang diduga secara klinis tuberkulosis aktif.
2) Orang yang kontak dengan penderita TB atau diduga TBC aktif sebara klinis.
3) Orang yang beresiko tinggi
4) Hasil rontgen abnormal
b. Pencegahan sekunder
1) kontrol mencegah organisme dengan memakai masker, menutup mulut bila batuk
dan membuang sputum dengan benar.
2) Evaluasi seseorang yang skin test TB positif tetapi tidak aktif menderita untuk
terapi pencegahan dengan obat isoniazid.
c. Pencegahan tersier
1) Klien harus menjalankan terapi pengobatan dengan obat antituberkulosis secara
tuntas dan lengkap.

2) Mengubah, mencegah dan menangani tingkah laku seseorang yang mengalami


perwatan TB.
( Black, et-al, 1997, h. 1140)
Upaya pencegahan dan pemberantasan TB-Paru dilakukan dengan pendekatan
Directly Observe Treatment Shortcource (DOTS) atau pengobatan TB-Paru dengan
Pengawas Menelan Obat (PMO). Kegiatan ini meliputi upaya penemuan penderita
dengan pemeriksaan dahak di sarana pelayanan kesehatan yang ditindaklanjuti dengan
paket pengobatan. Dari upaya penemuan kasus TB BTA + maka diperoleh angka Case
Detection Rate (CDR) selama tahun 2004 di Sulsel (termasuk 4 kabupaten di
Sulawesi Barat) sebesar 92%.

You might also like