Professional Documents
Culture Documents
TB EKSTRAPULMONER (TULANG)
Pembimbing:
dr. Sukaenah Shebubakar Sp.P
Disusun Oleh :
1.
Nadiya
030.12.182
2.
Pratiwi Siswaji
030.12.209
BAB I
LAPORAN KASUS
IDENTITAS PASIEN
Nama
: Tn. S
Pekerjaan
: Supir angkot
Usia
: 63 tahun
Pendidikan
: SMP
Status Pernikahan
: Menikah
Alamat
: Tebet
Jenis Kelamin
: Laki- laki
Tanggal Masuk
: 23 Oktober 2016
Agama
: Islam
Tanggal Keluar
: 2 November 2016
A. ANAMNESIS
B. Diambil dari : Autoanamnesis & Alloanamnesis dengan Istri Pasien
C. Tanggal
: 24 Oktober 2016
D. Pukul
: 11.00 WIB
E. Keluhan Utama
F. Nyeri punggung bagian bawah 1 minggu SMRS
G. Riwayat Penyakit Sekarang
H. Pasien datang ke IGD dengan keluhan nyeri dan kaku pada punggung bagian bawah
1 minggu SMRS, nyeri dirasa menjalar ke tungkai atas. Nyeri menyebabkan pasien sulit
untuk berjalan sehingga pasien kesulitan untuk beraktivitas. Setiap pasien ingin
berpindah posisi harus dibantu untuk mengurangi rasa nyerinya. Pasien mengeluh lemas
dan demam dirasa terutama pada malam hari, sementara pada pagi hari menjelang sore
badan terasa bugar. Suhu badan saat demam dirasa tidak terlalu tinggi. Setelah demam
pasien merasa berkeringat sehingga sering berganti pakaian di malam hari. Pasien
mengeluh batuk kering 4 bulan yang lalu kemudian batuk menjadi berdahak dengan
warna dahak kuning kehijauan dan agak berbau, batuk darah disangkal. Pasien mengeluh
penurunan berat badan meskipun nafsu makan berkurang. Selain itu pasien juga
mengeluh sesak napas sesaat setelah batuk, sesak tidak dipengaruhi aktivitas dan
perubahan posisi seperti berbaring.
I. Riwayat Penyakit Dahulu
J. Pasien memiliki riwayat TB 6 tahun yang lalu, namun pasien tidak mengingat
pengobatannya telah tuntas atau tidak. Pasien tidak memiliki riwayat hipertensi dan DM.
K. Riwayat Keluarga
L. Di keluarga pasien tidak ada yang mengalami gejala serupa
M.
N. Riwayat Kebiasaan
O. Pasien memiliki kebiasaan merokok 3-4 batang/ hari sejak muda
P. Riwayat Lingkungan
Q. Pasien tinggal di kawasan padat penduduk, dengan pencahayaan dan ventilasi yang
kurang baik.
R. Riwayat Makanan:
S. Pasien lebih sering mengkonsumsi makanan seperti telur, tahu, tempe serta sayur
namun jarang mengkonsumsi daging. Belakangan ini pasien merasa nafsu makannya
berkurang.
T. Anamnesis menurut sistem
a.
b.
c.
d.
e.
f.
Umum
Kepala
Muka
Mata
THT
Leher
g. Thoraks
: Batuk (+), sesak napas (+)
h. Abdomen
: Tidak ada keluhan
i. Ekstremitas
: Tidak ada keluhan
U. PEMERIKSAAN FISIK
V. Keadaan umum
: Tampak sakit sedang
W. Kesadaran : Compos Mentis
X. Tanda Vital : Tekanan darah
130/70 mmHg
Y.
: Nadi
134 x/menit
Z.
: Pernapasan
28 x/menit
AA.
: Suhu
37,7 o C
AB.
Status Generalis
AC.
Kepala
: Normosefali
AD.
Muka
: Tidak tampak kelainan
AE.
Mata
: Konjungtiva anemis (-/-), Sklera ikterik (-/-)
AF.
Hidung
: Normal, septum deviasi (-), sekret (-), mukosa hiperemis (-)
AG.
Mulut
: Terdapat banyak karies pada gigi
AH.
Leher : Jejas (-), hematoma (-), KGB membesar dan tiroid tidak
membesar,
AI.
AJ.
AK.
AL.
AM.
AN.
midklavikularis
Perkusi
kiri
: Batas atas (ICS III linea parasternalis kiri
AP.Paru
AQ.
Inspeksi
simetris saat inspirasi dan ekspirasi. Sela iga normal, sternum mendatar
AR.
AS.
kiri suara redup, batas paru dan lambung setinggi ICS 8 garis axillaris
anterior suara timpani.
Auskultasi
: Suara nafas vesikuler +/+, ronchi -/-,
AT.
AU.
wheezing -/Abdomen
AV. Inspeksi
AW. Palpasi
: Datar, jejas (-), sikatrik (-) ikterik (-) spider navy (-)
: Supel, tidak ada pembesaran hepar dan lien, NT (-),
nyeri
AX.
lepas (-) ballottement ginjal (-) undulasi (-)
Perkusi
: Timpani 4 kuadran, shifting dullness (-)
Auskultasi : Bising usus (+) 3x/menit, venous hump (-), arterial
AY.
AZ.
bruit (-)
BA.
BB.
BC.
BD.
BE.
BF.
BG.
BH.
Ekstremitas
Atas : Akral hangat (+/+), Oedema (-/-), Deformitas (-/-)
Bawah : Akral hangat (+/+), Oedema (-/-), Deformitas (-/-)
Genitalia
: Tidak dilakukan pemeriksaan.
PEMERIKSAAN PENUNJANG
BI. Laboratorium
BJ.JENIS
BK. HASIL
BM.HEMATOLOGI
BN. Leukosit
BO. 6.3
BP.3.8 10.6
BQ. Eritrosit
ribu/L
BR. 4.9
BS.4.4 5.9
BT.Hemoglobin
BW.Hematokrit
BZ. Trombosit
juta/L
BU. 16,8 g/dL
BX. 45 %
CA. 176
ribu/L
CC. MCV
CD. 92.0 fL
CF.MCH
CG. 34.2 pg
CI. MCHC
CJ.37.3 g/dL
CL. RDW
CM.11,8 %
CO. KIMIA KLINIK
CP.METABOLISME KARBOHIDRAT
CQ. Gula Darah Sewaktu
CR. 94 mg/dL
CT.ELEKTROLIT
CE. 80 100
CH. 26 34
CK. 32 36
CN. < 14
CS.< 110
CU. Na
CV. 141
CW.135 155
CX. K
mmol/L
CY. 4.8
DA. Cl
mmol/L
DB. 98
DC. 98 109
mmol/L
DE.
DH. 46 mg/dL
DK. 1,1
DF.
DI. 17-49
DL. <1,2
mg/dL
DM.
DN. Foto Lumbosacral AP Lateral
DO.
DP.
DQ.
DR.
DS.
DT.
DU.
DV.
DW.
RINGKASAN
DX.
Pasien datang dengan keluhan kaku dan nyeri pada punggung bagian bawah
yang menjalar ke tungkai atas sehingga pasien sulit berjalan dan beraktivitas 1 minggu
SMRS. Pasien mengeluh lemas, demam (+), keringat malam (+), batuk lama(+),
penurunan berat badan (+), nafsu makan baik, sesak napas (+), DOE (-), ortopnea (-).
Riwayat TB (+), HT(-) dan DM (-), merokok (+), lingkungan padat (+), ventilasi dan
pencahayaan kurang (+).
DY.
sakit sedang. TD 130/70, suhu 37,7oC , nadi 134 kali/menit, dan pernapasan 24x/menit.
Pada pemeriksaan mulut didapatkan karies pada gigi. Pada leher ditemukan penggunaan
otot- otot bantu pernapasan (+).
DZ. Pada pemeriksaan penunjang, didapatkan hasil lab hematologi rutin masih
dalam batas normal kecuali MCH (34,2 pg) dan MCHC (37,3 %). Hasil gula darah
sewaktu dan pemeriksaan elektrolit juga masih dalam batas normal.
EA.
EB.
DAFTAR MASALAH
1. TB Tulang
EC.
ED.
ANALISIS MASALAH
EE.
1. TB Tulang
EF. Diagnosis TB ditegakkan berdasarkan :
Anamnesis : Pasien datang ke IGD dengan keluhan nyeri dan kaku pada
punggung bagian bawah dan menjalar ke tungkai atas. Nyeri pada spondilitis tb
bersifat terlokalisir pada satu regio tulang belakang atau berupa nyeri yang
menjalar. Kaku pada punggung bagian bawah disebabkan karena pasien
menahan punggungnya untuk mengurangi nyeri. Selain itu pasien mengeluh
lemas, demam serta penurunan berat badan. Virulensi basil tuberkulosa dan
kemampuan mekanisme pertahanan host akan menentukan perjalanan penyakit
TB. Pasien dengan infeksi berat mempunyai progresi yang cepat hal ini
disebabkan penyebaran hematogen kuman TB masuk ke dalam sirkulasi darah
dan menyebar ke seluruh tubuh sehingga timbul gejala sistemik, seperti
demam, lemas dan penurunan berat badan. Keluhan batuk dan sesak napas
pada pasien ini disebabkan karena mekanisme pertahanan tubuh yang tidak
mampu untuk menghancurkan kuman TB yang bereplikasi dalam makrofag
sehingga kuman TB akan berkembang dan membentuk koloni dalam paru.
Riwayat menderita TB 6 tahun yang lalu, kebiasaan merokok, tinggal di
lingkungan kawasan padat penduduk, dengan pencahayaan dan ventilasi yang
kurang, serta kurangnya asupan nutrisi pada pasien akan meningkatkan risiko
EG.
keparahan TB.
Adapun rencana tatalaksana yang akan dilakukan adalah :
a. Rencana diagnostik
Pemeriksaan mantoux test
Pemeriksaan BTA 3X
Pemeriksaan rontgen paru dan vertebra lumbo-sacral AP lateral
Pemantauan hematologi rutin
Pemantauan fungsi hati dan ginjal
b. Rencana terapi
Non-Medikamentosa
- Rawat inap
- Bedrest
- Observasi keadaan umum dan tanda vital
- Pemberian nutrisi yang bergizi
Medikamentosa:
IVFD Assering / 24 jam
Pemberian terapi OAT
EH.
EI. Prognosis
EJ.
AD VITAM
EK.
AD SANATIONAM
EL.
AD FUNGSIONAM
EM.
EN.
FOLLOW UP
: dubia ad bonam
: dubia ad bonam
: dubia ad malam
MCV : 34,2 pg
1. Foto Vertebra
FN.
FO.
FP.
FQ.
FR.
FS.
FT.
FU.
FV. 25 Oktober 2016
FW. FX. Nyeri pinggang berkurang, batuk kering berkurang, sesak
S
FY.
O
GT.
GU.26 Oktober 2016
GV. GW.Nyeri pinggang (+), batuk kering lebih sering pada malam hari,
S
sesak berkurang, mual (-), muntah (-), BAB dan BAK normal
GX. GY. KU : Kompos mentis, Tampak Sakit Sedang
GZ. TD : 120/70 mmHg
O
HA. HR : 88 kali/menit
HB. RR : 20 kali/menit
HC. S : 36,6 0C
HD. Muka
: Tidak tampak kelainan
HE. Mata
: CA -/-, SI +/+
HF.Leher
: Pembesaran KGB (-)
HG. Thoraks : S1S2 normal regular, M (-), G (-)
HH.
SNV +/+, rh -/-, wh -/HI. Abdomen : Supel, NTE (-), BU (+)
HJ. Ekstremitas: Akral hangat (+)(+)/(+)(+), deformitas (-), edema (-),
HK.
CRT <2 detik.
HL. Lab :
HM.
Anti HIV : Non reaktif
HN. SGOT/PT : 46/37 mu/dl
HO. 1. TB Tulang
2. Ikterik
A
HP. 1. Assering + lasal 2 cc /8 jam
1. Cek albumin
2. Cinam 2 x 1,5 gr IV
2. Cek HbsAg
P
3. OBH syr 3 x C1 p.o
HR.
4. Etambutol 2 x 500 mg p.o
5. INH 1 x 300 mg p.o
HS.
HQ.
W.
A. S
B. Nyeri pinggang berkurang, batuk berkurang, mual
X. Nyeri pingganng berkurang, batuk berkurang, mual (-), muntah (-), sesak
T.
U. 1.
P 2.
3.
4.
5.
V.
HT.
AR.
S
AT.
AS. Nyeri pingganng (+) berkurang, batuk (+) berkurang, nafsu makan
BH.
BI. 1. TB Tulang
2. Ikterik
A
BJ.
BK.
1. OBH Syr 3x1
2. Etambutol 2x500mg
P
BL. 3.
INH 1x300mg
BM.
4.
Rifampicin
1x150mg
BN.
1x400mg
29 Oktober 2016
IA.
IB.
5.
Ofloxacin
HZ.
HZ.
HZ.
HZ.
HZ.
HZ.
HZ.
HZ.
HZ.
HZ.
HZ.
HZ.
HZ.
BO.
HZ.
HZ.
HZ.
HZ.
HZ.
HZ.
BP.
BQ. Nyeri pinggang berkurang(+), batuk (-), demam (-), mual (-), muntah
S
BR.
(-).
BS.KU : Kompos mentis, Tampak Sakit Sedang
BT. TD : 110/60 mmHg
BU. HR : 80 kali/menit
BV. RR : 20 kali/menit
BW. S : 37,2 0C
BX. Mata
: CA -/-, SI -/BY. Thoraks : S1S2 normal regular, M (-), G (-)
BZ.
SNV +/+, rh -/-, wh -/CA. Abdomen : Supel, NT (-)
CB. Ekstremitas: Akral hangat (+)(+)/(+)(+), deformitas (-), edema (-)
CC. Lab :
CD. SGOT/PT : 46/37
CE. 28/10/2016 ureum/ kreatinin : 36/0,76
TB Tulang
IC.
IC.
IC.
IC.
IC.
IC.
IC.
IC.
IC.
A
CI.
IC.
IC.
CF.
CG. CH.
IC.
30 Oktober 2016
ID.
CO.
IC.
IC.
IC.
IC.
CP. CQ. Nyeri pingganng berkurang, batuk berkurang, sakit kepala (-), demam
(-)
DF.
DG. DH.
TB Tulang
A
DI. DJ. 1. OBH Syr 3x1
DK. 2. Etambutol 2x500mg
P
DL. 3. INH 1x300mg
DM. 4. Rifampicin 1x150mg
DN. 5. Ofloxacin 1x400mg
1 November 2016
IF.
IG.
DO.
IE.
IE.
IE.
IE.
IE.
IE.
IE.
IE.
IE.
IE.
IE.
IE.
IE.
IE.
IE.
IE.
IE.
IE.
IE.
IE.
IE.
IE.
IE.
IE.
DP.
S
DR.
EE.
EF.
EG.
IH.
IH.
IH.
IH.
IH.
IH.
IH.
IH.
IH.
IH.
TB Tulang
IH.
A
EH.
IH.
2 November 2016
II.
IJ.
IH.
IH.
IH.
IH.
IH.
IK.BAB II
IL. TINJAUAN PUSTAKA
IM.
IN. DEFINISI
IO.
World Health
diantaranya adalah adanya peningkatan jumlah kemiskinan yang tidak hanya terjadi
pada negara berkembang tetapi juga pada penduduk perkotaan tertentu di negara
meningkat. Indonesia sendiri sekarang menduduki urutan kedua dengan jumlah kasus
TB terbanyak setelah India, kemudian diikuti Cina, Nigeria, Pakistan dan Afrika
Selatan.(2) Berdasarkan Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) di Indonesia,
didapatkan bahwa penyakit pada sistem pernapasan merupakan penyebab kematian
kedua setelah sistem sirkulasi. Penyakit pada sistem pernapasan yang menjadi
masalah terbesar salah satunya adalah tuberkulosis / TBC, baik dari sisi angka
kematian (mortalitas), angka kejadian penyakit (morbiditas), maupun diagnosis dan
terapinya.
IT. FAKTOR RISIKO
IU. Manifestasi klinis TB bervariasi dan bergantung pada sejumlah faktor yang
berhubungan dengan mikroba, pejamu dan lingkungan. Semakin banyak konsentrasi
atau jumlah kuman yang terhirup, semakin tinggi pula risiko menderita TB. Kemudian
dari faktor pejamu diantaranya adalah usia, insiden tertinggi TB paru biasanya
mengenai usia dewasa muda. Di Indonesia diperkirakan 75% penderita TB paru adalah
kelompok usia produktif yaitu 15-50 tahun. Faktor resiko seterusnya adalah jenis
kelamin. TB paru Iebih banyak terjadi pada laki-laki dibandingkan dengan wanita
karena laki- laki sebagian besar mempunyai kebiasaan merokok sehingga
memudahkan terjangkitnya TB paru. Tingkat pendidikan juga menjadi salah satu faktor
resiko penularan penyakit Tuberkulosis. Tingkat pendidikan seseorang akan
mempengaruhi terhadap pengetahuan seseorang diantaranya mengenai rumah yang
memenuhi syarat kesehatan dan pengetahuan penyakit TB Paru, sehingga dengan
pengetahuan yang cukup maka seseorang akan mencoba untuk mempunyai perilaku
hidup bersih dan sehat. Perokok memiliki resiko untuk mengalami Tuberkulosis 3 kali
lebih besar daripada bukan perokok.(4) Ini karena, merokok dapat memperlemah paru
dan menyebabkan paru lebih mudah terinfeksi kuman tuberkulosis. Bahkan, asap
rokok dalam jumlah besar yang dihirup dapat meningkatkan risiko keparahan
Mycobacterium tuberculosis (M. tuberculosis). Bakteri ini bersifat aerob obligat, hal
inilah yang menyebabkan kebanyakan kuman TB lebih sering menyerang pada apeks
paru. Morfologi kuman TB berbentuk batang lurus tidak berspora dan juga tidak
berkapsul. Bakteri ini berukuran lebar 0,3 0,6 mm dan panjang 1 4 mm. Dinding
M. tuberculosis sangat kompleks dan terdiri dari lapisan lemak yang cukup tinggi
(60%). Penyusun utama dinding sel M. tuberculosis ialah asam mikolat, lilin
kompleks (complex-waxes), trehalosa dimikolat yang disebut cord factor dan
mycobacterial sulfolipids yang berperan dalam virulensi. Struktur dinding sel yang
kompleks tersebut menyebabkan bakteri M. tuberculosis bersifat tahan asam, yaitu
apabila sekali diwarnai akan tetap tahan terhadap upaya penghilangan zat warna
Karakteristik
antigen
M.
tuberculosis
dapat
diidentifikasi
dengan
menggunakan antibodi monoclonal. Selain itu kuman TB juga bersifar tahan terhadap
suhu rendah sehingga dapat bertahan hidup dalam jangka waktu lama pada suhu
antara 4 sampai minus 70. Kuman sangat peka terhadap panas, sinar matahari dan
sinar ultraviolet. Pada paparan langsung terhadap sinar ultraviolet, akan
mengakibatkan sebagian besar kuman mati dalam waktu beberapa menit. Dalam
dahak pada suhu antara 30- 37 akan mati dalam waktu lebih kurang 1 minggu. (8)
Kuman TB ini juga dapat bersifat dormant (tidur/tidak berkembang), dan akan aktif
jika sistem imun tubuh menurun.
IX. KLASIFIKASI
IY. Berdasarkan Kementerian Kesehatan RI tahun 2014 pada Paduan Nasional
Pengendalian Tuberkulosis, TB paru diklasifikasikan atas sebagai berikut :(8)
1. Lokasi anatomi dari penyakit
Tuberkulosis paru
IZ.
Adalah TB yang terjadi pada parenkim (jaringan) paru. Milier TB
dianggap sebagai TB paru karena adanya lesi pada jaringan paru.Limfadenitis
TB dirongga dada (hilus dan atau mediastinum) atau efusi pleura tanpa
terdapat gambaran radiologis yang mendukung TB pada paru, dinyatakan
sebagai TB ekstra paru.Pasien yang menderita TB paru dan sekaligus juga
Pasien baru TB
JD.
adalah pasien yang belum pernah mendapatkan pengobatan TB
sebelumnya atau sudah pernah menelan OAT namun kurang dari 1 bulan (
dari 28 dosis)
Pasien yang pernah diobati TB
JE.
adalah pasien yang sebelumnya pernah menelan OAT selama 1 bulan
atau lebih ( dari 28 dosis).Pasien ini selanjutnya diklasifikasikan berdasarkan
hasil pengobatan TB terakhir, yaitu:
a. Pasien kambuh: adalah pasien TB yang pernah dinyatakan sembuh
atau pengobatan lengkap dan saat ini didiagnosis TB berdasarkan hasil
pemeriksaan bakteriologis atau klinis (baik karena benar-benar kambuh
atau karena reinfeksi).
b. Pasien yang diobati kembali setelah gagal: adalah pasien TB yang
pernah diobati dan dinyatakan gagal pada pengobatan terakhir.
c. Pasien yang diobati kembali setelah putus berobat (lost to followup): adalah pasien yang pernah diobati dan dinyatakan lost to follow
up (klasifikasi ini sebelumnya dikenal sebagai pengobatan pasien
setelah putus berobat /default).
d. Lain-lain: adalah pasien TB yang pernah diobati namun hasil akhir
JP.
4. Status HIV
Pasien TB dengan status HIV tidak diketahui adalah pasien TB tanpa ada bukti
pendukung hasil tes HIV saat diagnosis TB ditetapkan
JQ. PATOFISIOLOGI
JR. Paru merupakan port dentree lebih dari 98% kasus infeksi TB. Ukuran bakteri sangat
kecil 1- 5 , kuman TB yang terhirup mencapai alveolus akan segera diatasi oleh
mekanisme pertahanan imunologis non spesifik. Makrofag alveolus akan memfagosit
kuman TB dan sanggup menghancurkan sebagian besar kuman TB. Apabila makrofag
tidak mampu menghancurkan kuman TB dan kuman akan bereplikasi dalam makrofag.
Kuman TB dalam makrofag yang terus berkembang-biak, akhirnya akan menyebabkan
JS.
terjadi dalam hitungan hari. Pasien dengan infeksi bakteri yang kurang virulen akan
JT.
(limfangitis).(10)
JU. Selama masa inkubasi, sebelum terbentuknya imunitas selular, dapat terjadi
penyebaran limfogen dan hematogen. Pada penyebaran limfogen, kuman menyebar ke
kelenjar limfe regional membentuk kompleks primer sedangkan pada penyebaran
hematogen kuman TB masuk ke dalam sirkulasi darah dan menyebar ke seluruh tubuh.
Adanya penyebaran hematogen inilah yang menyebabkan TB disebut sebagai penyakit
sistemik.(11) Penyebaran hematogen yang paling sering terjadi adalah dalam bentuk
penyebaran hematogenik tersamar (occult hematogenic spread), kuman TB menyebar
secara sporadik dan sedikit demi sedikit sehingga tidak menimbulkan gejala klinis.
Kuman TB kemudian akan mencapai berbagai organ di seluruh tubuh. Organ yang
dituju adalah organ yang mempunyai vaskularisasi yang baik seperti otak, tulang,
ginjal, dan paru, terutama apeks paru atau lobus atas paru. Bagian pada tulang
belakang yang sering terserang adalah peridiskal terjadi pada 33% kasus spondilitis TB
dan dimulai dari bagian metafisis tulang, dengan penyebaran melalui ligamentum
longitudinal. Di berbagai lokasi tersebut, kuman TB akan bereplikasi dan membentuk
koloni kuman sebelum terbentuk imunitas selular yang akan membatasi pertumbuhan.
(11,12)
JV.
Penyakit ini pada umumnya mengenai lebih dari satu vertebra. Infeksi berawal dari
bagian sentral, bagian depan atau daerah epifisial korpus vertebra. Kemudian terjadi
hiperemi dan eksudasi yang menyebabkan osteoporosis dan perlunakan korpus.
Selanjutnya terjadi kerusakan pada korteks epifisis, diskus intervertebralis, dan
vertebra sekitarnya. Kerusakan pada bagian depan korpus ini akan menyebabkan
terjadinya kifosis. Kemudian eksudat ( yang terdiri atas serum, leukosit, kaseosa,
tulang yang fibrosis serta basil tuberkulosa ) menyebar ke depan, di bawah ligamentum
longitudinal anterior. Eksudat ini dapat menembus ligamentum dan berekspansi ke
berbagai arah di sepanjang garis ligamen yang lemah. Pada daerah servikal, eksudat
terkumpul di belakang fasia paravertebralis dan menyebar ke lateral di belakang
JY.MANIFESTASI KLINIS
JZ. Manifestasi klinis spondilitis TB relatif indolen (tanpa nyeri). Pasien biasanya
mengeluhkan nyeri lokal tidak spesifik pada daerah vertebra yang terinfeksi. Demam
subfebril, menggigil, malaise, berkurangnya berat badan yang merupakan gejala klasik
TB paru juga terjadi pada pasien dengan spondilitis TB. Pada pasien dengan serologi
HIV positif, rata-rata durasi dari munculnya gejala awal hingga diagnosis ditegakkan
adalah selama 28 minggu.
KA.
Apabila sudah ditemukan deformitas berupa kifosis, maka patogenesis TB
spinal umumnya sudah berjalan selama kurang lebih tiga sampai empat bulan. Defisit
yang mungkin antara lain: paraplegia, paresis, hipestesia, nyeri radikular dan/ atau
sindrom kauda equina. Nyeri radikuler menandakan adanya gangguan pada radiks
(radikulopati). Spondilitis TB servikal jarang terjadi, namun manifestasinya lebih
berbahaya karena dapat menyebabkan disfagia dan stridor, tortikollis, suara serak
akibat gangguan n. laringeus. Jika n. frenikus terganggu, pernapasan terganggu dan
timbul sesak napas (disebut juga Millar asthma). Umumnya gejala awal spondilitis
servikal adalah kaku leher atau nyeri leher yang tidak spesifik.
KB.
Nyeri lokal dan nyeri radikular disertai gangguan motorik, sensorik dan
sfingter distal dari lesi vertebra akan memburuk jika penyakit tidak segera ditangani.
Komplikasi yang paling berbahaya yaitu, Potts paraplegia. Potts paraplegi dibagi
menjadi dua jenis: paraplegia onset cepat (early-onset) dan paraplegia onset lambat
(late-onset). Paraplegia onset cepat terjadi saat akut, biasanya dalam dua tahun
pertama. Paraplegia onset cepat disebabkan oleh kompresi medula spinalis oleh abses
atau proses infeksi. Sedangkan paraplegia onset lambat terjadi saat penyakit sedang
tenang, tanpa adanya tanda-tanda reaktifasi spondilitis, umumnya disebabkan oleh
jarang
terjadi
dan
merupakan
salah
satu
penyebab
kompresi
KX.
KY. Pemeriksaan Radiologi
KZ. Radiologi hingga saat ini merupakan pemeriksaan yang paling menunjang untuk
diagnosis dini spondilitis TB karena memvisualisasi langsung kelainan fisik pada
tulang belakang. Terdapat beberapa pemeriksaan radiologis yang dapat digunakan
seperti sinar-X, Computed Tomography Scan (CTscan), dan Magnetic Resonance
Imaging (MRI). Pada infeksi TB spinal, klinisi dapat menemukan penyempitan jarak
antar diskus intervertebralis, erosi dan iregularitas dari badan vertebra, sekuestrasi,
serta massa para vertebra.(9)
1. Sinar-X
LA. Sinar-X merupakan pemeriksaan radiologis awal yang paling sering dilakukan
dan berguna untuk penapisan awal. Proyeksi yang diambil sebaiknya dua jenis,
proyeksi AP dan lateral. Pada fase awal, akan tampak lesi osteolitik pada bagian
anterior badan vertebra dan osteoporosis regional. Penyempitan ruang diskus
intervertebralis menandakan terjadinya kerusakan diskus. Pembengkakan jaringan
lunak sekitarnya memberikan gambaran fusiformis. Pada fse lanjut, kerusakan bagian
anterior semakin memberat dan membentuk angulasi kifotik (gibbus). Bayangan opak
yang memanjang paravertebral dapat terlihat, yang merupakan cold abscess.Namun,
sayangnya sinar-X tidak dapat mencitrakan cold abscess dengan baik.
2. CT Scan
LB. CT-scan dapat memperlihatkan dengan jelas sklerosis tulang, destruksi badan
vertebra, abses epidural, fragmentasi tulang, dan penyempitan kanalis spinalis. CT
myelography juga dapat menilai dengan akurat kompresi medula spinalis apabila
tidak tersedia pemeriksaan MRI. Pemeriksaan ini meliputi penyuntikan kontras
melalui punksi lumbal ke dalam rongga subdural, lalu dilanjutkan dengan CT scan.
Selain hal yang disebutkan di atas, CT scan dapat juga berguna untuk memandu
tindakan biopsi perkutan dan menentukan luas kerusakan jaringan tulang. Penggunaan
CT scan sebaiknya diikuti dengan pencitraan MRI untuk visualisasi jaringan lunak.
3. MRI
LC. MRI merupakan pencitraan terbaik untuk menilai jaringan lunak. Kondisi
badan vertebra, diskus intervertebralis, perubahan sumsum tulang, termasuk abses
paraspinal dapat dinilai dengan baik dengan pemeriksaan ini.Untuk mengevaluasi
spondilitis TB, sebaiknya dilakukan pencitraan MRI aksial, dan sagital yang meliputi
seluruh vertebra untuk mencegah terlewatkannya lesi noncontiguous. MRI juga dapat
digunakan untuk mengevaluasi perbaikan jaringan. Peningkatan sinyal T1 pada
minggu pemberian terapi obat antituberkulosa dan tirah baring (terapi konservatif)
dilakukan tetapi tidak memberikan respon yang baik sehingga lesi spinal paling efektif
diterapi dengan operasi secara langsung dan tumpul untuk mengevakuasi pus
tuberkulosa, mengambil sekuester tuberkulosa serta tulang yang terinfeksi dan
memfusikan segmen tulang belakang yang terlibat. Selain indikasi diatas, operasi
debridement dengan fusi dan dekompresi juga diindikasikan bila :
LW. 1. Diagnosa yang meragukan hingga diperlukan untuk melakukan biopsi
LX. 2. Terdapat instabilitas setelah proses penyembuhan
LY.3. Terdapat abses yang dapat dengan mudah didrainase
LZ.4. Untuk penyakit yang lanjut dengan kerusakan tulang yang nyata dan mengancam
atau kifosis berat saat ini
MA.5. Penyakit yang rekuren
MB.
MC.Potts paraplegia sendiri selalu merupakan indikasi perlunya suatu tindakan operasi,
MD.
MR.
2. Spinal tumor syndrome
MS.
3. Paralisis berat sekunder terhadap penyakit servikal
MT.
4. Paralisis berat karena sindrom kauda ekuina
MU.
MV.DIAGNOSIS BANDING
MW.
1. Pneumonia
MX.2. Abses paru
MY.3. Kanker paru
MZ. 4. Bronkiektasis
NA. 5. Pneumonia aspirasi
NB.
NC. KOMPLIKASI
ND.
Cedera corda spinalis (spinal cord injury). Dapat terjadi karena adanya
tekanan ekstradural sekunder karena pus tuberkulosa, sekuestra tulang, sekuester dari
diskus intervertebralis (contoh : Potts paraplegia prognosa baik) atau dapat juga
langsung karena keterlibatan korda spinalis oleh jaringan granulasi tuberkulosa (contoh
: menigomyelitis prognosa buruk). Jika cepat diterapi sering berespon baik (berbeda
dengan kondisi paralisis pada tumor). MRI dan mielografi dapat membantu
membedakan paraplegi karena tekanan atau karena invasi dura dan corda spinalis.
Komplikasi yang lain yaitu terjadi empyema tuberkulosa karena rupturnya abses
paravertebral di torakal ke dalam pleura.
NE.
NF.PENCEGAHAN
NG.
Sejalan dengan meningkatnya kasus TB, pada awal tahun 1990-an WHO dan
NH. Fokus utama DOTS adalah penemuan dan penyembuhan pasien, prioritas diberikan
kepada pasien TB tipe menular. Strategi ini akan memutuskan rantai penularan TB dan
dengan demkian menurunkan insidens TB di masyarakat. Menemukan dan
menyembuhkan pasien merupakan cara terbaik dalam upaya pencegahan
penularan TB.
NI.
Pencegahan penyakit Tuberkulosis
yang
masyarakat sendiri diantaranya adalah ventilasi dan pencahayaan rumah yang baik,
menutup mulut saat batuk, serta pembuangan sputum dengan benar. Selain itu,
masyarakat juga perlu menjaga kebersihan lingkungan termasuk alat makan dan tidak
meludah di sembarang tempat. Selain pencegahan dinyatakan di atas, terdapat juga
vaksinasi yang bisa mencegah daripada terjadinya penyakit Tuberkulosis ini yaitu
vaksin BCG.
NJ.
NK.
NL.
NM.
NN.
NO.
NP.
NQ.
NR. PROGNOSIS
NS.
Prognosa pasien dengan spondilitis tuberkulosa sangat tergantung dari
usia dan kondisi kesehatan umum pasien, derajat berat dan durasi defisit neurologis
serta terapi yang diberikan.
a. Mortalitas
NT. Mortalitas pasien spondilitis tuberkulosa mengalami penurunan seiring dengan
ditemukannya kemoterapi (menjadi kurang dari 5%, jika pasien didiagnosa dini dan
patuh dengan regimen terapi dan pengawasan ketat).
b. Relaps
NU. Angka kemungkinan kekambuhan pasien yang diterapi antibiotik dengan
regimen medis saat ini dan pengawasan yang ketat hampir mencapai 0%.
c. Kifosis
NV. Kifosis progresif selain merupakan deformitas yang mempengaruhi kosmetis
secara signifikan, tetapi juga dapat menyebabkan timbulnya defisit neurologis atau
kegagalan pernafasan dan jantung karena keterbatasan fungsi paru.
d. Defisit neurologis
NW. Defisit neurologis pada pasien spondilitis tuberkulosa dapat membaik secara
spontan tanpa operasi atau kemoterapi. Tetapi secara umum, prognosis membaik
dengan dilakukannya operasi dini.
e. Usia
NX. Pada anak-anak, prognosis lebih baik dibandingkan dengan orang dewasa
f. Fusi
NY. Fusi tulang yang solid merupakan hal yang penting untuk pemulihan
permanen spondilitis tuberkulosa.
NZ.
OA.
OB.
OC.
OD.
OE.
OF.
OG.
OH.
OI.
OJ. DAFTAR PUSTAKA
OK.
OL.
1. Centers for Disease Control and Prevention. Tuberculosis (TB). Available at :
http://www.cdc.gov/tb/topic/basics/default.htm. Updated on March, 2016.
2. World
Health
Organization.
Tuberculosis.
Available
at
fromexposuretotobaccosmoke:asystematicreviewandmetaanalysis.ArchIntern
Med.2007,167:33542.10.1001/archinte.167.4.335.
5. YangZ,KongY,WilsonF,FoxmanB,FowlerAH,MarrsCF,CaveMD,BatesJH:
Identificationofriskfactorsforextrapulmonarytuberculosis.ClinInfectDis.2004,
38:199205.10.1086/380644.
6. JickSS,LiebermanES,RahmanMU,ChoiHK:Glucocorticoiduse,otherassociated
factors, and the risk of tuberculosis. Arthritis Rheum. 2006, 55: 1926.
10.1002/art.21705
7. AlisjahbanaB,vanCrevelR,SahiratmadjaE,denHeijerM,MayaA,IstrianaE,
DanusantosH,OttenhofTH,NelwaRHH,vanderMeerJW:Diabetesmellitusis
stronglyassociatedwithtuberculosisinIndonesia.IntJTubercLungDis.2006,10:
696700.
8. UyainahA,YuwonoA,NawasA,SonataB,SetyaningsihB,BurhanE,dkk.Pedoman
NasionalPengendalianTuberkulosis.Jakarta:KementerianKesehatanRI;2014.p.17
20
9. Zuwanda , Janitra R. Diagnosis dan Penatalaksanaan Spondilitis Tuberkulosis. CDK208/ vol. 40 no. 9, th. 2013.
10. Hidalgo JA, Alangaden G. Potts Disease (Tuberculous Spondylitis). Available at
http://www.emedicine.com/; July 12, 2002.
11. Tuberculous Spondilytis. Available at http://www.orthoguide.co.id. Agustus 2002.
12. Milenkovi1 s, Saveski J, Hasani I, Late Diagnosed Cervical Spine TBC Spondylitis:
OM.