You are on page 1of 19

1

BAB I
Status Pasien
I.

Identitas Pasien
Nama

: Tn. H

Umur

: 32 tahun

MRS

: 13/12/2012

II. Anamnesis
a. Keluhan Utama
b. RPS

: Benjolan di leher
: 5 tahun yang lalu timbul benjolan di leher, awalnya kecil
Lama-lama membesar. Benjolan tidak nyeri, tidak
mengganggu waktu bernafas ataupun menelan. Suara
penderita tidak terganggu dan tidak terjadi perubahan suara
selama terdapat benjolan. Penderita tidak mempunyai
riwayat jantung berdebar, tangan gemetaran, mata melotot,
susah tidur, sensitif terhadap suhu dingin, berkeringat
banyak, nafsu makan menurun, mudah lelah, sering diare,
penurunan berat badan, kepanasan ataupun kedinginan.
Riwayat penyakit serupa pada keluarga disangkal.

III.

Pemeriksaan Fisik
Keadaan Umum : Baik
Kesadaran
: Composmentis
Tanda Vital
:
TD: 110/80 mmHg
Nadi: 76x/menit Suhu: 36,30C RR: 21x/menit

Kepala :
o Mata : konjungtiva tidak anemis, sclera tidak ikterik, tidak ada eksoftalmus
o Telinga : lubang telinga normal, pendengaran normal
o Hidung : tidak ada bau, secret maupun perdarahan
o Mulut : mukosa bibir tidak pucat, tidak hiperemis, tidak ada sianosis.
o Leher : simetris, tidak ada kaku kuduk. Tampak benjolan pada leher bagian
depan yang ikut bergerak saat menelan.
o Thorax:

Cor: I : Iktus cordis tidak tampak


P: Iktus cordis teraba MCL ICS IV
P: Sonor
A: BJ1-2 regulerer
Pulmo: I : Simetris, tidak ada retraksi, tidak ada ketinggalan gerak
P: Fremitus raba +/+
P: Sonor +/+
A: Vesikuler, rhonki -/-, wheezing -/o Abdomen : I: Flat
A: BU (+) N
P: Timpani
P: Soepel, Hepar/Lien/Renal tidak teraba
o Anogenital : dalam batas normal
o Ekstremitas: Akral hangat pada keempat ekstremitas, tidak tremor , tidak
ditemukan oedema pada keempat ekstremitas
Status Lokalis: R. Colli :
o Inspeksi: Terdapat massa berbentuk bulat dengan ukuran 10 x 8 cm
cm, warna sama dengan sekitar, bergerak saat menelan(-) ,
discharge (-)
o

Palpasi: Konsistensi kenyal, mobile, tidak melekat pada dasar atau kulit,
tidak nyeri,tidak terdapat pembesaran kelenjar getah bening
regional.

Hematologi
WBC

15,3

2,0-10,0 103/mm3

RBC

4,52

3,80-5,80 106/mm3

HGB

12,9

11,0-16,5% g/dl

HCT

39,9

35,0-50,0 %

PLT

22,0

150-390 103/mm3

PCT

149

0,100-0,500 %

MCV

92

80-97 um3

MCH

29,7

26,5-33,5 pg

MCHC

32,2

31,5-35,0 g/dl

RDW

12,5

10,0-15,0 %

Kimia
14

SGPT (ALT)

23

SGOT (AST)

19

Ureum

1,0

Kreatinin
T3

<35 U/l
20 - 50 mg/dl
0,5 - 1,5 mg/d

1,08
9
1,93

T4
TSH

IV.

<40 U/l

Pemeriksaan Radiologi

Foto Roentgen thorax : Sinus, diafragma, dan cor normal


Kedua hilus normal
Tak tampak proses spesifik aktif di kedua paru
Tak tampak infiltrasi di paru-paru
Kesan: Cor/pulmo normal
V. Diagnosa Kerja
Struma nodosa non-toksik (SNNT)
VI. Prognosis

Quo ad vitam : bonam


Quo ad functionam : bonam

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Kelainan glandula tyroid dapat berupa gangguan fungsi seperti tiritosikosis
atau perubahan susunan kelenjar dan morfologinya, seperti penyakit tyroid
noduler. Berdasarkan patologinya, pembesaran tyroid umumnya disebut struma. 1
2.2 Embriologi
Kelenjar tyroid berkembang dari endoderm pada garis tengah usus depan.
Kelenjar tyroid mulai terlihat terbentuk pada janin berukuran 3,4-4 cm, yaitu pada
akhir bulan pertama kehamilan. Kelenjar tyroid berasal dari lekukan faring antara
branchial pouch pertama dan kedua. Dari bagian tersebut timbul divertikulum,
yang kemudian membesar, tumbuh ke arah bawah mengalami desensus dan
akhirnya melepaskan diri dari faring. Sebelum lepas, berbentuk sebagai duktus
tyroglossus yang berawal dari foramen sekum di basis lidah. Duktus ini akan
menghilang setelah dewasa, tetapi pada keadaan tertentu masih menetap. Dan
akan ada kemungkinan terbentuk kelenjar tyroid yang letaknya abnormal, seperti
persisten duktud tyroglossus, tyroid servikal, tyroid lingual, sedangkan desensus
yang terlalu jauh akan membentuk tyroid substernal. Branchial pouch keempat
ikut membentuk kelenjar tyroid, merupakan asal sel-sel parafolikular atau sel C,
yang memproduksi kalsitonin. Kelenjar tyroid janin secara fungsional mulai
mandiri pada minggu ke-12 masa kehidupan intrauterin. 1,2
2.3 Anatomi
Kelenjar tyroid terletak dibagian bawah leher, antara fascia koli media dan
fascia prevertebralis. Didalamruang yang sama terletak trakhea, esofagus,
pembuluh darah besar, dan syaraf. Kelenjar tyroid melekat pada trakhea sambil
melingkarinya dua pertiga sampai tiga perempat lingkaran. Keempat kelenjar
paratyroid umumnya terletak pada permukaan belakang.

Gambar 1 Anatomi Kelenjar Tiroid


Tyroid terdiri atas dua lobus, yang dihubungkan oleh istmus dan menutup
cincin trakhea 2 dan 3. Kapsul fibrosa menggantungkan kelenjar ini pada fasia
pretrakhea sehingga pada setiap gerakan menelan selalu diikuti dengan
terangkatnya kelenjar kearah kranial. Sifat ini digunakan dalam klinik untuk
menentukan apakah suatu bentukan di leher berhubungan dengan kelenjar tyroid
atau tidak.2
Vaskularisasi kelenjar tyroid berasal dari a. Tiroidea Superior (cabang dari
a. Karotis Eksterna) dan a. Tyroidea Inferior (cabang a. Subklavia). Setiap folikel
lymfoid diselubungi oleh jala-jala kapiler, dan jala-jala limfatik, sedangkan sistem
venanya berasal dari pleksus perifolikular.2
Nodus Lymfatikus tyroid berhubungan secara bebas dengan pleksus
trakhealis yang kemudian ke arah nodus prelaring yang tepat di atas istmus, dan
ke nl. Pretrakhealis dan nl. Paratrakhealis, sebagian lagi bermuara ke nl.
Brakhiosefalika dan ada yang langsung ke duktus thoraksikus. Hubungan ini
penting untuk menduga penyebaran keganasan.
Histologi Kelenjar Tiroid
Secara histologi, parenkim kelenjar ini terdiri atas:2

1. Folikel-folikel dengan epithetlium simplex kuboideum yang mengelilingi suatu


massa koloid. Sel epitel tersebut akan berkembang menjadi bentuk kolumner
katika folikel lebih aktif (seperti perkembangan otot yang terus dilatih).
2. Cellula perifolliculares (sel C) yang terletak di antara beberapa folikel yang
berjauhan.

Gambar 2 Histologi Kelenjar Tiroid


2.4 Fisiologi Hormon Tiroid
Kelenjar tyroid menghasilkan hormon tyroid utama yaitu Tiroksin (T4).
Bentuk aktif hormon ini adalah Triodotironin (T3), yang sebagian besar berasal
dari konversi hormon T4 di perifer, dan sebagian kecil langsung dibentuk oleh
kelenjar tyroid. Iodida inorganik yang diserap dari saluran cerna merupakan bahan
baku hormon tyroid. Iodida inorganik mengalami oksidasi menjadi bentuk organik
dan selanjutnya menjadi bagian dari tyrosin yang terdapat dalam tyroglobulin
sebagai monoiodotirosin (MIT) atau diiodotyrosin (DIT). Senyawa DIT yang
terbentuk dari MIT menghasilkan T3 atau T4 yang disimpan di dalam koloid
kelenjar tyroid.
Sebagian besar T4 dilepaskan ke sirkulasi, sedangkan sisanya tetap
didalam kelenjar yang kemudian mengalami diiodinasi untuk selanjutnya
menjalani daur ulang. Dalam sirkulasi, hormon tyroid terikat pada globulin,

globulin pengikat tyroid (thyroid-binding globulin, TBG) atau prealbumin


pengikat tiroksin (Thyroxine-binding pre-albumine, TPBA). 1
Ada 4 macam kontrol terhadap faal kelenjar tiroid :
1. TRH (Thyrotrophin releasing hormone) Tripeptida yang disentesis oleh
hipothalamus. Merangsang hipofisis mensekresi TSH (thyroid stimulating
hormone) yang selanjutnya kelenjar tiroid teransang menjadi hiperplasi dan
hiperfungsi
2. 2. TSH (thyroid stimulating hormone) Glikoprotein yang terbentuk oleh dua sub
unit (alfa dan beta). Dalam sirkulasi akan meningkatkan reseptor di permukaan sel
tiroid (TSH-reseptor-TSH-R) dan terjadi efek hormonal yaitu produksi hormon
3.

meningkat
Umpan Balik sekresi hormon (negative feedback). Kedua hormon (T3 dan T4) ini
menpunyai umpan balik di tingkat hipofisis. Khususnya hormon bebas. T3
disamping berefek pada hipofisis juga pada tingkat hipotalamus. Sedangkan T4

4.

akan mengurangi kepekaan hipifisis terhadap rangsangan TSH.


Pengaturan di tingkat kelenjar tiroid sendiri. Produksi hormon juga diatur oleh
kadar iodium intra tiroid
Efek metabolisme Hormon Tyroid :

1. Kalorigenik
2. Termoregulasi
3. Metabolisme protein. Dalam dosis fisiologis kerjanya bersifat anabolik, tetapi
dalam dosis besar bersifat katabolik
4. Metabolisme karbohidrat. Bersifat diabetogenik, karena resorbsi intestinal
meningkat, cadangan glikogen hati menipis, demikian pula glikogen otot menipis
5.

pada dosis farmakologis tinggi dan degenarasi insulin meningkat.


Metabolisme lipid. T4 mempercepat sintesis kolesterol, tetapi proses degradasi
kolesterol dan ekspresinya lewat empedu ternyata jauh lebih cepat, sehingga pada
hiperfungsi tiroid kadar kolesterol rendah. Sebaliknya pada hipotiroidisme

kolesterol total, kolesterol ester dan fosfolipid meningkat.


6. Vitamin A. Konversi provitamin A menjadi vitamin A di hati memerlukan hormon
tiroid. Sehingga pada hipotiroidisme dapat dijumpai karotenemia.
7. Lain-lain : gangguan metabolisme kreatin fosfat menyebabkan miopati, tonus
traktus gastrointestinal meninggi, hiperperistaltik sehingga terjadi diare, gangguan
faal hati, anemia defesiensi besi dan hipotiroidisme.

2.5 Klasifikasi Struma.3,4


Pembesaran kelenjar tiroid (kecuali keganasan).
Menurut American society for Study of Goiter membagi :
1. Struma Non Toxic Diffusa
2. Struma Non Toxic Nodusa
3. Stuma Toxic Diffusa
4. Struma Toxic Nodusa
Istilah Toksik dan Non Toksik dipakai karena adanya perubahan dari segi
fungsi fisiologis kelenjar tiroid seperti hipertiroid dan hipotyroid, sedangkan
istilah nodusa dan diffusa lebih kepada perubahan bentuk anatomi.
1. Struma non toxic nodusa
Adalah pembesaran dari kelenjar tiroid yang berbatas jelas tanpa gejalagejala hipertiroid. Etiologi : Penyebab paling banyak dari struma non toxic adalah
kekurangan iodium. Akan tetapi pasien dengan pembentukan struma yang
sporadis, penyebabnya belum diketahui. Struma non toxic disebabkan oleh
beberapa hal, yaitu :
a) Kekurangan iodium: Pembentukan struma terjadi pada difesiensi sedang yodium
yang kurang dari 50 mcg/d. Sedangkan defisiensi berat iodium adalah kurang dari
b)

25 mcg/d dihubungkan dengan hypothyroidism dan cretinism.


Kelebihan yodium: jarang dan pada umumnya terjadi pada preexisting penyakit

tiroid autoimun
c) Goitrogen :
Obat : Propylthiouracil, litium, phenylbutazone, aminoglutethimide,
expectorants yang mengandung yodium
Agen lingkungan : Phenolic dan phthalate ester derivative dan resorcinol
berasal dari tambang batu dan batubara.
Makanan, Sayur-Mayur jenis Brassica ( misalnya, kubis, lobak cina,
brussels kecambah), padi-padian millet, singkong, dan goitrin dalam
rumput liar.
Dishormonogenesis: Kerusakan dalam jalur biosynthetic hormon kelejar
tiroid.

10

Riwayat radiasi kepala dan leher : Riwayat radiasi selama masa kanakkanak mengakibatkan nodul benigna dan maligna.
2. Struma Non Toxic Diffusa
Etiologi :
a) Defisiensi Iodium.
b) Autoimmun thyroiditis: Hashimoto oatau postpartum thyroiditis.
c) Kelebihan iodium (efek Wolff-Chaikoff) atau ingesti lithium, dengan
penurunan pelepasan hormon tiroid.
d) Stimulasi reseptor TSH oleh TSH dari tumor hipofisis, resistensi hipofisis
terhadap

hormo

tiroid,

gonadotropin,

dan/atau

tiroid-stimulating

e)

immunoglobulin
Inborn errors metabolisme yang menyebabkan kerusakan dalam

f)
g)
h)
i)
j)
k)
l)
m)
n)

biosynthesis hormon tiroid.


Terpapar radiasi.
Penyakit deposisi.
Resistensi hormon tiroid.
Tiroiditis Subakut (de Quervain thyroiditis).
Silent thyroiditis.
Agen-agen infeksi
Suppuratif Akut : bacterial.
Kronik: mycobacteria, fungal, dan penyakit granulomatosa parasit.
.Keganasan Tiroid.

3. Struma Toxic Nodusa


Etiologi :
a)
b)
c)
d)

Defisiensi iodium yang mengakibatkan penurunan level T4.


Aktivasi reseptor TSH.
Mutasi somatik reseptor TSH dan Protein Ga.
Mediator-mediator pertumbuhan termasuk : Endothelin-1 (ET-1), insulin
like growthfactor-1, epidermal growth factor, dan fibroblast growth factor.

4. Struma Toxic Diffusa


Yang termasuk dalam struma toxic difusa adalah grave desease, yang
merupakan penyakit autoimun yang masih belum diketahui penyebab pastinya.
Adapun klasifikasi klinisnya adalah ebagai berikut:
a. Grade 0 : tidak teraba struma, atau bila teraba besarnya normal

11

b.

Grade IA : teraba struma, tapi tak terlihat

c. .Grade IB : teraba struma, tapi baru dapat dilihat apabila posisi kepala
menengadah
d.

Grade II : struma dapat dilihat dalam posisi biasa

e. Grade III : struma dapat dilihat dalam posisi biasa dalam jarak 6 meter
f.

Grade IV : struma yang amat besar

2.6 Patofisiologi3,4
Gangguan pada jalur TRH-TSH hormon tiroid ini menyebabkan
perubahan dalam struktur dan fungsi kelenjar tiroid gondok. Rangsangan TSH
reseptor tiroid oleh TSH, TSH-Resepor Antibodi atau TSH reseptor agonis, seperti
chorionic gonadotropin, akan menyebabkan struma diffusa. Jika suatu kelompok
kecil sel tiroid, sel inflamasi, atau sel maligna metastase ke kelenjar
tiroid, akan menyebabkan struma nodusa.
Defesiensi dalam sintesis atau uptake hormon tiroid akan menyebabkan
peningkatan produksi TSH. Peningkatan TSH menyebabkan peningkatan jumlah
dan hiperplasi sel kelenjar tyroid untuk menormalisir level hormon tiroid. Jika
proses ini terus menerus, akan terbentuk struma. Penyebab defisiensi hormon
tiroid termasuk inborn error sintesis hormon tiroid, defisiensi iodida dan
goitrogen.
Struma mungkin bisa diakibatkan oleh sejumlah reseptor agonis TSH.
Yang termasuk stimulator reseptor TSH adalah reseptor antibodi TSH, kelenjar
hipofise yang resisten terhadap hormon tiroid, adenoma di hipotalamus atau di
kelenjar hipofise, dan tumor yang memproduksi human chorionic gonadotropin.
2.7 Diagnosis
Dalam membuat diagnosis kerja pada penderita struma, maka hendaknya
bisa menyampaikan kondisi struma tersebut dari aspek morfologi, aspek fungsi,
dan kalau memang memungkinkan aspek histopatologinya. Dalam melakukan
diagnosis untuk penderita struma, usahakan untuk bisa mencantumkan diagnosis
mencakup ketiga aspek tersebut.

12

Diagnosis struma nodosa non toksik ditegakkan berdasarkan anamnesis,


pemeriksaan fisik, penilaian resiko keganasan, dan pemeriksaan penunjang.
Biasanya tiroid sudah mulai membesar pada usia muda dan berkembang menjadi
multinoduler pada saat dewasa. Struma multinodosa biasanya terjadi pada wanita
berusia lanjut dan perubahan yang terdapat pada kelenjar berupa hiperplasia
sampai bentuk involusi. Kebanyakan struma multinodosa dapat dihambat oleh
tiroksin. Sekitar 5 % dari struma nodosa mengalami keganasan. Tanda keganasan
ialah setiap perubahan bentuk, perdarahan lokal dan tanda penyusupan di kulit, n.
rekurens, trakea atau esofagus. Diagnosis disebut lengkap apabila dibelakang
struma dicantumkan keterangan lainnya, yaitu
morfologi dan faal struma.
Dikenal

beberapa

morfologi

(konsistensi)

berdasarkan

gambaran

makroskopis yang diketahui


dengan palpasi atau auskultasi :
1. Bentuk kista : Struma kistik

Mengenai 1 lobus
Bulat, batas tegas, permukaan licin, sebesar kepalan
Kadang Multilobaris
Fluktuasi (+)
2. Bentuk Noduler : Struma nodusa

Batas Jelas
Konsistensi kenyal sampai keras
Bila keras curiga neoplasma, umumnya berupa adenocarcinoma tiroidea

3. Bentuk diffusa : Struma diffusa

Batas tidak jelas


Konsistensi biasanya kenyal, lebih kearah lembek
4. Bentuk vaskuler : Struma vaskulosa

Tampak pembuluh darah


Berdenyut
Auskultasi : Bruit pada neoplasma dan struma vaskulosa
Kelejar getah bening : Para trakheal dan jugular vein
2.8 Pemeriksaan Penunjang

13

Pemerikasaan penunjang yang digunakan dalam diagnosis penyakit tiroid


terbagi atas:
a) Pemeriksaan laboratorium untuk mengukur fungsi tiroid: Pemerikasaan hormon
tiroid dan TSH paling sering menggunakan radioimmuno-assay (RIA) dan cara
enzyme-linked immuno-assay (ELISA) dalam serum atau plasma darah.
Pemeriksaan T4 total dikerjakan pada semua penderita penyakit tiroid, kadar
normal pada orang dewasa 60-150 nmol/L atau 50-120 ng/dL; T3 sangat
membantu untuk hipertiroidisme, kadar normal pada orang dewasa antara 1,0-2,6
nmol/L atau 0,65-1,7 ng/dL; TSH sangat membantu untuk mengetahui
hipotiroidisme primer di mana basal TSH meningkat 6 mU/L. Kadang-kadang
meningkat sampai 3 kali normal.
b) Pemeriksaan laboratorium untuk menunjukkan penyebab gangguan tiroid:
Antibodi terhadap macam-macam antigen tiroid ditemukan pada serum penderita
dengan penyakit tiroid autoimun.
- antibodi tiroglobulin
- antibodi mikrosomal
- antibodi antigen koloid ke dua (CA2 antibodies)
- antibodi permukaan sel (cell surface antibody)
- thyroid stimulating hormone antibody (TSA)
c) Pemeriksaan radiologis dengan foto rontgen dapat memperjelas adanya deviasi
trakea, atau pembesaran struma retrosternal yang pada umumnya secara klinis pun
sudah bisa diduga. Foto rontgen leher posisi AP dan Lateral diperlukan untuk
evaluasi kondisi jalan nafas sehubungan dengan intubasi anastesinya. Bahkan
tidak jarang untuk konfirmasi diagnostik tersebut sampai memerlukan CT-scan
leher.
d) USG bermanfaat pada pemeriksaan tiroid untuk:
menentukan jumlah nodul
membedakan antara lesi tiroid padat dan kistik,
mengukur volume dari nodul tiroid
Dapat dipakai sebagai pengamatan lanjut hasil pengobatan.

14

e) Pemeriksaan dengan sidik tiroid sama dengan uji tangkap tiroid, yaitu dengan
prinsip daerah dengan fungsi yang lebih aktif akan menangkap radioaktivitas yang
lebih tinggi. Metabolisme hormon tiroid sangat erat hubungannya dengan yodium,
sehingga dengan yodium yang dimuati bahan radioaktif kita bisa mengamati
aktivitas kelenjar tiroid maupun bentuk lesinya.
f) Pemeriksaan histopatologis dengan biopsi jarum halus (fine needle aspiration
biopsy FNAB) akurasinya 80%. Hal ini perlu diingat agar jangan sampai
menentukan terapi definitif hanya berdasarkan hasil FNAB saja.
g) Pemeriksaan potong beku (VC = Vries coupe) pada operasi tiroidektomi
diperlukan untuk meyakinkan bahwa nodul yang dioperasi tersebut suatu
keganasan atau bukan. Lesi tiroid atau sisa tiroid yang dilakukan VC dilakukan
pemeriksaan patologi anatomis untuk memastikan proses ganas atau jinak serta
mengetahui jenis kelainan histopatologis dari nodul tiroid dengan parafin block.

2.9 Penatalaksanaan
Pilihan terapi nodul tiroid:
a. Terapi supresi dengan hormon levotirosin
b. Pembedahan
c. Iodium radioaktif
A. Terapi Supresi dengan Hormon Levothyroxine
Terapi dengan Levothyroxine (LT4) kombinasi dengan serum TSH (<0.1
IU/mL) masih dalam kontroversi. Tujuannya adalah untuk mengecilkan nodul
tiroid dan mencegah kembali munculnya nodul baru atau pertumbuhan kecil
massa yang serupa dengan nodul awal.
Beberapa laporan menyebutkan bahwa pengecilan nodul tiroid lebih sering
terjadi pada penderita dengan kombinasi terapi long-term-TSH di banding dengan
penderita yang tanpa kombinasi TSH. Lebih dari 50% kasus nodul dapat

15

mengecil, tetapi jika hanya dengan terapi Levothyroxine (LT4) saja maka
persentase keberhasilannya hanya 20%.
Pemberian Levothyroxine (LT4) hendaknya setengah sampai satu jam
sebelum makan (kondisi lambung kosong) agar absorbsinya maksimal.
Disarankan agar minum tablet Levothyroxine (LT4) dengan menggunan segelas air
agar tablet lebih mudah larut dan mudah terserap. Jangan mengkonsumsi tablet
calcium, iron supplements, dan antasida karena akan menghambat absorbsi obat
Levothyroxine (LT4). Dosis maksimum yang diberikan adalah 400 microgram per
hari.
Saat ini, pengobatan Levothyroxine (LT4) secara rutin pada penderita
dengan nodule tiroid tidak direkomendasikan. Pengunaan Levothyroxine (LT4)
harus dihindari pada penderita: (1) dengan nodule yang besar (large nodule), (2)
pada kasus long-standing goiter, (3) jika level TSH <1 IU/mL, (4) wanita postmenopause, (5) penderita usia lebih dari 60 tahun, (6) penderita dengan
osteoporosis, (7) penderita dengan penyakit kardiovaskuler, dan (8) penderita
dengan systemic illness.
Berikut ini adalah hal-hal penting lain yang perlu diperhatikan terhadap
penggunaan Levothyroxine (LT4), antara lain: Pengobatan dengan Levothyroxine
(LT4) hanya menunjukkan hasil klinis yang signifikan pada minoritas jumlah
penderita dan variasi respons-nya belum diketahui dengan baik. Pengobatan
dengan Levothyroxine (LT4) hendaknya tidak boleh terlalu suppressive karena
akan menimbulkan adverse effect. Jika nodul tiroid tidak mengecil dengan
pemberian Levothyroxine (LT4.
B. Pembedahan
Operasi tiroid (tiroidektomi) merupaka operasi bersih dan tergolong
operasi besar. Berapa luas kelenjar tiroid yang akan diambil tergantung patologiya
serta ada tidaknya penyebaran dari karsinomanya. Ada 6 macam operasi, yaitu:
a. Lobektomi subtotal;
mengandung

pengangkatan

jaringan patologis

sebagian

lobus

tiroid

yang

16

b. . Lobektomi total (Hemitiroidektomi, ismolobektomi); pengangkatan


satu sisi lobus tiroid
c.

Tiroidektomi subtotal; pengangkatan sebagian kelenjar tiroid yang


mengandung jaringan patologis,meliputi kedua lobus tiroid

d.

Tiroidektomi near total; pengangkatan seluruh lobus tiroid yang


patologis berikut sebagian besar lobus kontralateralnya.

e.

Tiroidektomi total; pengangkatan seluruh kelenjar tiroid

f.

Operasi yang sifatnya extended:


Tiroidektomi total + laringektomi total
Tiroidektomi total + reseksi trakea
Tiroidektomi total + sternotomi
Tiroidektomi total + FND atau RND
Indikasi operasi pada struma adalah:
a. struma difus toksik yang gagal dengan terapi medikamentosa
b. struma uni atau multinodosa dengan kemungkinan keganasan
c.

struma dengan gangguan tekanan

d. kosmetik.

Kontraindikasi operasi pada struma:


a. struma toksika yang belum dipersiapkan sebelumnya
b. struma dengan dekompensasi kordis dan penyakit sistemik yang lain yang
belum terkontrol
c.

struma besar yang melekat erat ke jaringan leher sehingga sulit


digerakkan yang biasanya karena karsinoma. Karsinoma yang demikian
biasanya sering dari tipe anaplastik yang jelek prognosanya. Perlekatan
pada trakea ataupun laring dapat sekaligus dilakukan reseksi trakea atau
laringektomi, tetapi perlekatan dengan jaringan lunak leher yang luas sulit
dilakukan eksisi yang baik.

17

d. struma yang disertai dengan sindrom vena kava superior. Biasanya karena
metastase luas ke mediastinum, sukar eksisinya biarpun telah dilakukan
sternotomi, dan bila dipaksakan akan memberikan mortalitas yang tinggi
dan sering hasilnya tidak radikal
C. Terapi dengan Iodium Radioaktif (Radioiodine 131)
Pengobatan dengan radioiodine 131 diindikasikan untuk: (1) small goiter
(volume <100 mL), (2) tanpa ada kecurigaan malignancy, (3) penderita dengan
riwayat operasi sebelumnya, (4) penderita dengan resiko tindakan bedah
Jika penderita mempunyai lesi nodul yang besar maka ia akan
membutuhkan radioiodine dalam jumlah banyak dan hal ini dapat menyebabkan
terjadinya efek resiten terhadap terapi. Satu satunya kontra indikasi prosedur ini
adalah kehamilan dan laktasi, yang bisa dideteksi segera dengan tes kehamilan
pada penderita.
Terapi dengan radioiodine berhasil pada 85% - 100% penderita tiroid
nodul. Masa nodul dapat mengecil sebesar 35% setelah tiga bulan, bahkan
mengecil sampai 45% setelah 24 bulan terapi). Pengobatan ini efektif dan aman,
meskipun penelitian lain melaporkan bahwa pengunaan dosis tinggi dapat
menyebabkan thyroid cancer, leukemia; namun demikian, studi epidemiologi
tidak menunjukkan efek klinis yang signifikan terhadap timbulnya carcinoma dan
leukemia.
Penggunaan high-iodine-content-drugs (misalnya: amiodarone) hendaknya
dihindari sebelum melakukan prosedur terapi dengan radioiodine, agar tidak
mempengaruhi thyroid radioiodine uptake. Jika mungkin, obat anti-tiroid
hendaknya distop tiga mingu sebelim prosedur pengobatan, dan tidak boleh
diberikan selama 3-5 hari pasca prosedur terapi dengan radioiodine, untuk
mencegah menurunnya efektifitas terapi. (AME Guideline, 2006)
2.10 Komplikasi

18

Pada tindakan operasi tiroidektomi, bisa dijumpai komplikasi awal dan


lanjut. Disamping itu ada pula yang membagi komplikasi yang terjadi dalam
metabolik dan non metabolik. Komplikasi awal antara lain:
a. perdarahan
b. paralise n. laringeus rekuren, paralise n. rekuren superior
c. trakeomalasia
d. infeksi
e. tetani hipokalsemia
f. krisis tiroid (thyroid storm)
Sedangkan komplikasi lanjut berupa:
a. keloid;
b. hipotiroiditi;
c. hipertiroiditi yang kambuh

BAB III
PEMBAHASAN

Tn. H masuk rumah sakit dengan keluhan benjolan di leher sejak 5


tahun yang lalu. Benjolan dirasakan tidak nyeri, tidak mengganggu menelan, tidak
juga ditemukan gejala hipertiroid, maupun keganasan lainnya, ditunjang dengan
pemeriksaan T3, T4, TSH dan USG yang mengarahkan hasil pada suatu diagnosa
SNNT. Pada tanggal 13 desember os telah menjalani pengangkatan tiroid dengan
metode operasi subtotal tiroidektomi. Pasca operasi perlu dilakuakn pemberian
cairan pada pasien ini dengan tujuan untuk mengganti kehilangan cairan tubuh

19

yang disebabkan oleh proses patologis sebagai cairan pengganti dengan tujuan
mengganti konsentrasi natrium
Kebutuhan cairan pada pasien ini adalah

Maintenance cairan adalah : (10 kg x 4 ml) + (10 kg x 2 ml) + (25 kg x 1ml) =


85 ml/jam. Harus diperhatikan Output (urin minimal 22 ml/jam), drainase,
NGT. Serta pematauan terhadap hemodinamik. Pemilihan terapi cairan pada
pasien ini dapat diberikan kristaloid (misalnya Ringer laktat).
Pasca bedah sekitar 10-16 jam akan timbul nyeri yang bersifat ringan

sampai sedang maka dapat diberikan analgetik golongan AINS (anti inflamasi non
steroid) misalnya ketorolak 10-30 mg iv atau im dapat diulang 4-6 jam. Serta
dapat ditambahkan tramadol, tramadol adalah analgetik sentral dengan afinitas
rendah pada reseptor mu. Dapat diberikan secara im atau iv dengan dosis 50-100
mg dan dapat diulang setiap 4-6 jam.

You might also like