Professional Documents
Culture Documents
______________________________________________________________________________________
BAB I
KONTEKS STUDI
A. Latar Belakang
Hukum pidana dan hukum acara pidana sejak awal keberadaannya
diperuntukan bagi perlindungan masyarakat terhadap kesewenang-wenangan
penguasa. Oleh karenanya, sering dikatakan bahwa fungsi dari aturan hukum
acara pidana adalah untuk membatasi kekuasaan negara dalam bertindak
terhadap warga masyarakat yang terlibat dalam proses peradilan pidana.1
Ketentuan-ketentuan dalam hukum acara pidana antara lain berfungsi untuk
melindungi para tersangka dan terdakwa, terhadap tindakan aparat penegak
hukum dalam menjalankan fungsi penegakan hukum melalui lembaga
peradilan.
Peradilan pada hakekatnya merupakan lembaga tempat setiap warga
masyarakat memperjuangkan, memperoleh dan mempertahankan hak-haknya.
Khusus mengenai peradilan pidana, maka fungsi dari lembaga-lembaga ini
menjadi demikian penting karena di sinilah hukum pidana dan hukum acara
pidana sebagai cabang hukum yang paling berkaitan dengan hak-hak asasi
manusia akan diuji dan ditegakkan.
Peradilan pidana sebagai tempat pengujian dan penegakkan hak-hak asasi
manusia memiliki ciri khusus, yaitu terdiri dari sub-sub sistem yang merupakan
kelembagaan yang berdiri sendiri-sendiri, tetapi harus bekerja secara terpadu
E. Utrecht, Hukum Pidana I (Surabaya: Pustaka Tinta Mas, 1986), hlm. 195. Demikian pula dengan Peters
yang menyatakan, de juridische taak van het strafrecht is niet policing society maar policing the police
(tugas yuridis hukum pidana bukannya mengatur dan mengontrol masyarakat, akan tetapi mengatur dan
mengontrol penguasa) dalam J.E. Sahetapy, Suatu Studi Khusus mengenai Ancaman Pidana Mati terhadap
Pembunuhan Berencana (Jakarta: Rajawali, 1982), hlm. 91.
______________________________________________________________________________________
Komisi Hukum Nasional
Page 1 of 74
perundang-undangan
yang
khusus
memberikan
perlindungan dan hak-hak pada mereka terlihat belum tegas. KUHAP telah
merumuskan sejumlah hak yang dimiliki seorang warga masyarakat yang
terlibat dalam suatu peristiwa pidana terutama dalam kedudukannya sebagai
pelaku. Namun dalam kenyataannya tidak jarang timbul permasalahan
sehubungan dengan pemenuhan hak-hak tersebut. Hak untuk memperoleh
bantuan hukum, sebagai suatu contoh, masih merupakan suatu barang mewah
yang sulit dijangkau terutama oleh pelaku yang tidak mampu. Padahal harus
diakui bahwa sebagian besar pelaku tindak pidana adalah mereka dari golongan
yang tidak mampu dan buta hukum, sehingga bantuan hukum merupakan hal
yang mutlak diperlukan bila ingin dicapai peradilan yang layak dan jujur (fair
trial). Sulit dan tidak murahnya memperoleh informasi yang berkaitan dengan
kasus dan salinan putusan merupakan suatu permasalahan khusus yang
sekaligus menjadi tolok ukur bahwa transparansi belum sepenuhnya merupakan
asas yang menjadi dasar bekerjanya sistem peradilan pidana di negara kita.
Padahal transparansi yang sehat (tidak menghambat jalannya proses peradilan
pidana) merupakan kesempatan bagi publik untuk melakukan kontrol dan
koreksi terhadap kinerja aparat penegak hukum.
______________________________________________________________________________________
Komisi Hukum Nasional
Page 2 of 74
beracara yang telah ada dalam rangka memberikan perlindungan kepada warga
masyarakat, dalam kedudukannya sebagai pelayan publik.
Penelitian ini memfokuskan kajian tentang hak-hak yang telah diatur
dalam ketentuan perundang-undangan Acara Pidana di Indonesia, dan
bagaimana pula implementasi hak-hak yang telah diatur tersebut. Meski disadari
bahwa tidak semua hak-hak yang seharusnya diberikan telah diatur dalam
peraturan perundang-undangan Indonesia, namun mengoptimalkan yang ada
adalah lebih baik daripada merumuskan yang belum ada, sementara yang telah
diatur tidak dilaksanakan dengan baik.
dicapai maksud utama dari sistem peradilan pidana yaitu penegakan hukum
pidana yang berkeadilan.
2
B.Permasalahan
Berdasarkan latar belakang seperti terurai di atas, maka permasalahan
yang akan diteliti dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Hak-hak apa sajakah yang dimiliki warga masyarakat untuk memperoleh
akses ke peradilan ?
2. Sejauhmanakah hak-hak yang telah dimiliki itu diimplementasikan ?
3. Faktor-faktor apa sajakah yang mempengaruhi implementasi hak-hak
tersebut ?
4. Bagaimana persepsi publik dan realita tentang akses ke peradilan yang
ada dalam masyarakat ?
5. Langkah-langkah apakah yang perlu dilakukan untuk meningkatkan
akses masyarakat ke peradilan ?
C. Maksud dan Tujuan
Penelitian ini dilaksanakan untuk memperoleh data yang pada gilirannya
akan diolah dan dianlisis, sehingga pada akhirnya dapat diusulkan berbagai
rekomendasi yang ditujukan untuk :
1. tercapainya rasa keadilan di dalam proses hukum yang benar dan dapat
melindungi kepentingan hukum masyarakat terutama yang tidak mampu
(tersangka, korban dan saksi) baik dari segi perundang-undangan
maupun implementasinya.
2. Ditingkatkannya kepekaan profesionalisme lembaga dan personel subsistem peradilan pidana agar setiap aparat menyadari tugas dan
tanggungjawabnya sebagai pelayan publik dan tidak melakukan tindakan
yang dapat melecehkan korban, tersangka atau saksi;
______________________________________________________________________________________
Komisi Hukum Nasional
Page 4 of 74
D. Sasaran
Melalui penelitian ini, diupayakan untuk melakukan identifikasi masalah yang
berkaitan dengan:
______________________________________________________________________________________
Komisi Hukum Nasional
Page 5 of 74
E. Definisi Operasional
Bryan A. Garner, Blacks law Dictionary, seventh edition (St. Paul: West
Pusblishing, Co, 1990), hlm. 869.
4
sejumlah hak yang dimiliki oleh pencari keadilan dalam proses peradilan
pidana.
F. Metode Penelitian
Untuk menjawab permasalahan-permasalahan di atas akan dilakukan
penelitian melalui studi dokumen (documentary research) dan studi lapangan (field
research).
1. Studi dokumen
Studi dokumen dilakukan dengan melakukan kompilasi dan analisis
terhadap peraturan perundang-undangan
Aparat
penegak hukum yang dimaksud terdiri dari Polisi, Jaksa Penuntut Umum,
Hakim, Panitera Kepala dan Petugas LAPAS/Rutan.
Kalangan akademisi, sebagai pihak yang dapat memberikan penilaian
yang obyektif dari kacamata teoritis, akan pula menjadi responden yang sangat
diharapkan akan memberikan masukan yang dapat memperkaya hasil kajian ini.
Selain
pengacara, akademisi dan masyarakat itu akan berjumlah 269 orang. Kecuali
responden dari kalangan akademisi sebanyak
Jakarta
Polisi
Jaksa
PN
15
15
15
LAPAS Pengacara
5
Masy
Jml
72
130
______________________________________________________________________________________
Komisi Hukum Nasional
Page 8 of 74
Bogor dan
29
55
Tangerang
17
39
Bekasi
17
34
30
27
28
20
18
135
258
Depok
dan
responden tertentu yang menurut penilaian peneliti dapat memberikan data dan
informasi yang mendalam. Penelitian ini menggunakan 14 (empat belas) jenis
kuesioner, sesuai dengan kategori responden tersebut di atas dengan perincian
sebagai berikut:
No.
Jenis Kuesioner
Jumlah
1.
Polisi
30
2.
27
3.
Hakim
19
4.
Panitera Kepala
5.
Petugas LAPAS/RUTAN
14
6.
Kepala LAPAS
7.
Petugas Bapas
8.
Penasihat Hukum
18
______________________________________________________________________________________
Komisi Hukum Nasional
Page 9 of 74
9.
Tersangka/terdakwa
42
10.
Saksi/Saksi korban
42
11.
Napi
21
12.
18
13.
12
14.
Akademisi
berupa kuesioner dan pedoman wawancara, selama dua minggu (yaitu minggu
keempat bulan Januari 2002 sampai dengan minggu pertama Februari 2002; yang
dilanjutkan dengan uji coba instrumen penelitian tersebut. Dari uji coba yang
dilakukan dalam waktu 2 minggu (minggu kedua sampai dengan ketiga
Februari 2002) dapat diketahui apakah instrumen penelitian akan dapat
menjawab permasalahan yang diteliti. Selain itu, pada saat uji coba juga dapat
diketahui surat-surat izin yang dibutuhkan ketika akan melakukan penelitian
______________________________________________________________________________________
Komisi Hukum Nasional
Page 10 of 74
dan
persiapan
workshop pertama yang dilaksanakan pada minggu kedua Juni 2002. Setelah
melaksanakan workshop I yang bertujuan menyebarluaskan hasil penelitian dan
mencari masukan terhadap hasil penelitian. Pada minggu ketiga Juni 2002
dilaksanakan pertemuan keempat dengan Sub Komisi. Dalam pertemuan yang
terakhir dengan Sub Komisi ini dilaporkan hasil workshop I dan persiapan untuk
workshop II.
akhir pada minggu kedua Agustus 2002. Tiga minggu kemudian, rancangan II
laporan akhir yang merupakan revisi rancangan I, diserahkan. Berdasarkan
masukan dari PCU KHN, Mentor dan beberapa anggota Sub Komisi yang
disampaikan pada KK di minggu kedua Desember 2002, kemudian rancangan
ini direvisi kembali. Naskah Laporan Akhir akhirnya disetujui pada awal bulan
Januari 2003 dan harus diserahkan ke KHN pada minggu keempat di bulan yang
sama.
H.Laporan Penelitian
Laporan hasil penelitian terdiri dari 7 (tujuh) bab, yang terinci sebagai berikut:
Bab I Konteks Studi
Bab II Polisi sebagai Pintu Gerbang Akses Ke Peradilan Pidana
Bab III Peranan Jaksa dalam upaya Peningkatan Akses Publik ke Peradilan
Pidana
Bab IV Peranan Hakim Dalam Akses Ke Peradilan Pidana
Bab V Akses Ke Peradilan Dalam Tahap Purna Ajudikasi
Bab VI Pandangan Akademisi Terhadap Masalah Akses Ke Peradilan
Bab VII Kesimpulan dan Rekomendasi
______________________________________________________________________________________
Komisi Hukum Nasional
Page 12 of 74
BAB II
POLISI SEBAGAI PINTU GERBANG AKSES KE PERADILAN PIDANA
Subsistem
yang
lain
adalah
kejaksaan,
kehakiman,
dan
penahanan, yang berarti polisi harus memiliki dugaan yang kuat bahwa orang
tersebut adalah pelaku kejahatan. Satjipto Rahardjo menyebut tugas kepolisian
sebagai multi fungsi, yaitu tidak sebagai polisi saja tetapi juga sebagai jaksa
dan hakim sekaligus.12
Sebagai penegak hukum, tugas kepolisian telah dicantumkan dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Dalam KUHAP, wewenang
kepolisian baik sebagai penyelidik maupun sebagai penyidik telah dicantumkan
secara terperinci dalam Pasal 5 dan seterusnya.
Dari rangkaian tugas penegakan hukum dapat diketahui bahwa tugas
kepolisian bukan merupakan tugas yang ringan. Dengan segala keterbatasan,
ketrampilan dalam melakukan penyidikan masih tetap harus ditingkatkan guna
mengejar modus kriminalitas yang semakin kompleks.
Sering terjadi keluhan dalam masyarakat, bahwa tugas yang dilakukan
oleh kepolisian dalam rangka penegakan hukum, acapkali melanggar aturanaturan yang telah ditentukan. Aparat kepolisian dianggap tidak menghormati
hak-hak yang dimiliki tersangka serta sering melakukan kekerasan dalam
memeriksa tersangka. Kekuasaan yang dimiliki oleh penyidik, masih menjadi
faktor penentu dalam melakukan penegakan hukum, sehingga terdapat
kecenderungan ketidakpercayaan pada lembaga kepolisian. Hal ini tentunya
sangat merugikan pihak kepolisian serta proses peradilan pidana secara
keseluruhan.
A. Landasan Yuridis
Tugas polisi, baik sebagai penyelidik maupun penyidik, telah diatur
dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Jika ditelaah
ketentuan yang berkaitan dengan tugas penyelidikan dan penyidikan, nampak
bahwa tugas-tugas yang dilakukan sudah cukup terperinci. Selain apa yang
12
Satjipto Rahardjo, Studi Kepolisian Indonesia : Metodologi dan Substansi, Makalah Disampaikan
Pada Simposium Nasional Polisi Indonesia, Diselenggarakan Oleh Pusat Studi Kepolisian FH Undip
Bekerjasama Dengan Akademi Kepolisian Negara (AKPOL) dan Mabes Polri, Semarang, 19 20 Juli 1993.
______________________________________________________________________________________
Komisi Hukum Nasional
Page 14 of 74
Polri
senantiasa
bertindak
berdasarkan
norma
hukum
dan
yang
berkaitan
dengan
tugas
kepolisian
dalam
melaksanakan penegakan hukum, juga harus berpedoman pada ketentuanketentuan internasional. Deklarasi PBB yang berkaitan dengan hak asasi manusia
perlu pula diperhatikan. Misalnya, UU No.5 Tahun 1998 tentang Pengesahan
Konvensi Menentang Penyiksaan Dan Perlakuan atau Penghukuman Lain Yang
Kejam, Tidak manusiawi Atau Merendahkan Martabat Manusia, perlu pula
dipergunakan sebagai patokan dalam melaksanakan tugas, meskipun hingga
kini negara kita belum menindaklanjuti dengan membentuk suatu UU.
______________________________________________________________________________________
Komisi Hukum Nasional
Page 15 of 74
bagi
aparat
(penyidik)
untuk
memenuhi
hak-hak
tersebut.
ini
dimaksudkan
agar
hak-hak
tersebut
benar-benar
terjamin
pelaksanaannya.
Secara teoritis, keberadaan penasehat hukum sangat diperlukan15 dalam
sistem peradilan pidana yang menerapkan asas praduga tak bersalah16 . Hal ini
13
Mardjono Reksodiputro, Hak Asasi Manusia Dalam Sistem Peradilan Pidana, Kumpulan Karangan
Buku Ketiga, Pusat Pelayanan Keadilan Dan Pengabdian Hukum, Universitas Indonesia, Jakarta, 1999, h.
57.
14
15
Ibid., h. 8.
Tamara Goriely dan Alan Peterson menyatakan bahwa keberadaan penasehat hukum sangat
diperlukan dalam hal: (1) to identify potential solutions to their problems dan (2) to pursue a legal solution
______________________________________________________________________________________
Komisi Hukum Nasional
Page 17 of 74
menunjukkan
bahwa
karena
sikap
tersangka
yang
dengan
sengaja
mempersulit
should they choose to do so. A.A. Peterson dan T. Goriely, A Reader On Resourcing Civil Justice, Oxford
University Press, 1996, h. 2.
16
N. Gary Holten dan Lawson L. Lamar, The Criminal Court, Structures, Personnel, and Process,
McGraw-Hill, USA, 1991, h. 6. Dalam uraian tersebut dibandingkan 2 model criminal process, yaitu
Crime Control Model dan Due Process Model. Dalam Due Process Model presumption of innocence is
attached to all persons involved in the system.
17
A.A. Peterson dan T. Goriely, A Reader On Resourcing Civil Justice, Oxford University Press, 1996,
h. 3.
18
Romli Atmasasmita, Beberapa Masalah Ekstradisi Di Dalam Konteks Convention Against Torture
and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment, 10 Desember 1984, Majalah Sunyata
Sumanasa Wira (Sespim POLRI), Bandung, 1996, h. 51.
______________________________________________________________________________________
Komisi Hukum Nasional
Page 18 of 74
penyitaan,
tidak
hanya
mengurangi,
tapi
bahkan
telah
______________________________________________________________________________________
Komisi Hukum Nasional
Page 19 of 74
sebagai
sarana
untuk
melakukan
pemaksaan
agar
yang
membuat
kejahatan,
aparat
kepolisian
merasakan
pula
terjadinya
penyidik. Hal ini sering kali menimbulkan kekecewaan karena upaya yang telah
dilakukan ternyata tidak sebanding dengan sanksi yang dijatuhkan hakim
kepada pelaku. Yang kedua, adalah polisi tidak mendapatkan salinan putusan
hakim, sehingga tidak dapat melakukan evaluasi terhadap kinerja yang telah
dilakukan.
Pihak kepolisian, dalam melakukan tugasnya, seringkali menghadapi
berbagai masalah yang menuntut mereka untuk melakukan diskresi. Dalam
Black Law Dictionary disebutkan bahwa: discretion means a power or right
conffered upon them by law of acting officially in certain circumstances, according to the
dictates of their own judgement and conscience, uncontrolled by the judgment or
conscience of others. Hasil wawancara menunjukkan, sebagian besar responden
(53,3%) pernah menggunakan diskresi untuk tidak melanjutkan perkara yang
ditangani. Diskresi ini dilakukan dalam hal: (1) bila perkara tersebut tidak
memenuhi unsur tindak pidana; (2) masalah intern keluarga; (3) demi
kepentingan umum; (4) jika terdapat intervensi. Dalam hal ini sebagian besar
(66,6%) responden mengatakan bahwa diskresi tersebut tidak bertentangan
karena sesuai dengan aturan hukum yang ada.
Dalam kaitannya dengan diskresi kepolisian, meskipun tetap beranjak pada
ketentuan perundang-undangan, harus tetap mendapatkan pantauan atau
kontrol dari masyarakat. Suatu diskresi yang berlebihan tentu sangat berbahaya
bagi sistem peradilan pidana.19
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) telah memberikan
beberapa hak yang dapat dipergunakan oleh tersangka dalam mencari keadilan.
Meskipun demikian, aparat kepolisian memiliki kendala dalam memenuhi hakhak tersebut. Kendala-kendala tersebut adalah adalah : (1) ketidaktahuan
tersangka akan hukum (buta hukum); (2) ketidakmampuan tersangka dalam
membayar penasehat hukum; (3) rasa enggan dari tersangka ketika diperiksa; (4)
19
Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Universitas Diponegoro, Semarang, 1995, h. 24.
______________________________________________________________________________________
Komisi Hukum Nasional
Page 24 of 74
masalah pembuktian; dan (5) waktu yang terbatas, karena dalam waktu 1 x 24
jam harus sudah membuat Berita Acara pemeriksaan (BAP).
Penahanan terhadap tersangka perlu dilakukan dalam rangka penyidikan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa tersangka selalu ditahan guna kepentingan
pemeriksaan. Permasalahan yang muncul dalam penahanan adalah tempat
penahanan, baik itu tahanan di kepolisian maupun Rutan, telah melampaui
kapasitas seharusnya. Beranjak dari kondisi tempat penahanan, maka perlu
dipikirkan untuk melakukan evaluasi terhadap penahanan. Dengan kata lain,
penahanan dilakukan dengan selektif, berdasarkan ketentuan perundangundangan.
Menurut penyidik, penahanan tidak dilakukan bilamana :
bukti belum
cukup; ada jaminan yang bersangkutan tidak lari; ancaman hukuman di bawah
lima tahun; tidak menghilangkan barang bukti; tidak mempersulit pemeriksaan;
dan sewaktu-waktu bersedia untuk dipanggil. Untuk kasus yang diancam
pidana 5 tahun ke atas sebagian besar dilakukan penahanan kecuali bila tidak
cukup bukti dan unsur tindak pidana tidak terpenuhi. Sedangkan untuk kasuskasus narkotika, psikoterapika dan zat-zat berbahaya (napza), terdapat kebijakan
untuk tidak melepaskan dalam bentuk apapun juga. 70% responden pernah
mengabulkan permohonan penangguhan penahanan dengan alasan adanya
jaminan, tidak akan melarikan diri, alamat jelas, dan tidak mengulangi
perbuatan tersebut.
Salah satu unsur yang tidak kalah penting dalam mengungkap suatu kasus
adalah
keberadaan
saksi.
Keterangan
saksi
sangat
diperlukan
dalam
saksi,
sebagian
besar
(93,3%)
responden
dari
kepolisian
______________________________________________________________________________________
Komisi Hukum Nasional
Page 26 of 74
BAB III
PERANAN JAKSA DALAM UPAYA PENINGKATAN
AKSES PUBLIK KE PERADILAN PIDANA
Jaksa sebagai bagian dari sistem peradilan pidana memiliki posisi yang
strtegis dalam pencapaian tujuan dari sistem tersebut.
20
penting yang dimiliki oleh institusi kejaksaan adalah berkaitan dengan lingkup
pekerjaan yang diembannya yang melikupi tahap praajudikasi, ajudikasi dan
purnaajudikasi. Lingkup pekerjaan yang diemban oleh institusi kejaksaan
melingkupi sejak awal proses hingga proses peradilan pidana itu berakhir inilah
yang menyebabkan jaksa dalam menjalankan tugas dan kewenangannya akan
selalu bersinggungan dengan tugas dan kewenangan instansi lainnya yaitu polisi
dan hakim.
Pada tahap pra ajudikasi, memang posisi jaksa sebagai penuntut umum
amat bergantung pada peran yang dimainkan oleh polisi dalam tahap
penyelidikan dan penyidikan. Meskipun didalam KUHAP kewenangan Jaksa
tidak lagi sebesar peranan yang dimainkannya ketika HIR masih berlaku, yang
menyatakan
kewenangan
penyelidikan
dan
penyidikan
pun
menjadi
Holten, Gary dan Lawson L Lamar., The Criminal Court : Structur, Personel and Processes,
(New York: McGraw-Hill, 1991) p. 188
21
Projodikoro, Wirjono., Hukum Acara Pidana di Indonesia, (Bandung : Sumur Bandung, 1974)
p.12
______________________________________________________________________________________
Komisi Hukum Nasional
Page 27 of 74
dan
mengendalikan
penyelidikan,
penyidikan
dan
untuk
melakukan
penyelidikan
dan
penyidikan,
jaksa
22
Laporan Penelitian Sentra Ham bekerjasama dengan MARI tentang Sistem Peradilan Pidana
Terpadu , 2000
______________________________________________________________________________________
Komisi Hukum Nasional
Page 28 of 74
No. 5 tahun 1991 tentang Kejaksaan Republik Indonesia yang menyatakan tugas
dan kewenangan kejaksaan dalam perkara pidana meliputi :
1. melakukan penuntutan dalam perkara pidana;
2. melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan;
3. melakukan pengawasan tehadap pelaksanaan putusan lepas bersyarat;
4. melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan
pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke pengadilan yang dalam
pelaksanaannya dikoordinasikan dengan penyidik.
Dalam pelaksanaan tugas-tugas tersebut, pihak kejaksaan harus berkoordinasi
dengan seluruh sub sistem yang terpaut dalam sistem peradilan pidana, pihak
atau instansi lain yang menangani atau berkepentingan dengan hal tersebut
seperti RUTAN, BAPAS, LAPAS dan Advokat.
B. Landasan Teoritis
Hak dalam khasanah hukum acara pidana amat berkaitan erat dengan
hak-hak yang dimiliki oleh para pihak yang terlibat dalam proses tersebut yaitu
tersangka, terdakwa, saksi, korban dan aparat penegak hukum. Dari keempat
para pihak yang terlibat dalam sistem peradilan pidana, posisi pihak pihak
tersebut dapat dipisahkan berdasarkan kepentingannya yaitu tersangka,
terdakwa, saksi dan korban sebagai pihak pencari keadilan dan para aparat
penegak hukum sebagai pihak yang membantu para pencari keadilan untuk
mencapai keadilan tersebut. Karenanya pelaksanaan hak dalam hukum acara
pidana tidak hanya berkaitan dengan upaya perolehan keadilan namun juga
berkaitan dengan upaya pencapaian tujuan dari sistem peradilan pidana itu
sendiri.
Sistem peradilan pidana pada dasarnya merupakan sistem fisik berupa
kerjasama secara terpadu antar sub sistem untuk mencapai tujuan tertentu dan
sistem abstrak berupa persamaan persepsi antar sub sistem terhadap pandangan,
______________________________________________________________________________________
Komisi Hukum Nasional
Page 29 of 74
sikap, nilai bahkan filosofi yang mendasari sistem tersebut.23 Pencapaian tujuan
nya pun karenanya harus diupayakan melalui kerjasama, kesamaan pandangan,
sikap dan nilai dari masing-masing sub sistem.
C. Pembahasan
Mengingat tugas dan kewenangan jaksa yang melingkupi setiap proses
dalam peradilan pidana, maka jaksa memiliki peranan besar dalam upaya
peningkatan aspek publik ke peradilan pidana. Upaya peningkatan akses publik
dapat dilakukan oleh pihak kejaksaan sejak awal mulainya proses peradilan
pidana di kepolisian hingga akhir dari proses tersebut yaitu di LAPAS.
Beberapa contoh peran yang dapat dimainkan oleh pihak kejaksaan dalam
upaya peningkatan aspek publik ke peradilan pidana misalnya :
1. Dalam proses praajudikasi, upaya perlindungan terhadap hak-hak tersangka
atau terdakwa dalam perkara tindak pidana umum memang menjadi
kewenangan pihak kepolisian, Kejaksaan dapat berfungsi sebagai pemantau
berjalannya proses penyelidikan atau penyidikan dimana dengan pola
keterpaduan
yang
ada
dalam
sistem
yang
berjalan
sesungguhnya
Muladi, Akses ke Pengadilan dan Bantuan Hukum, Disampaikan pada Workshop Akses ke
Peradilan, Sentra HAM FHUI (Jakarta : 10 Juni 2002),p.
______________________________________________________________________________________
Komisi Hukum Nasional
Page 30 of 74
dalam lingkup yang kecil dan negara dalam lingkup yang besar. Perlakuan
pihak kejaksaan terhadap posisi korban perlu ditinjau kembali dalam proses
yang berjalan selama ini.
3. Dalam hal proses purna ajudikasi, jaksa sebagai eksekutor atau pelaksana
putusan amat berperan untuk:
-
1. Belum berjalannya pola koordinasi antara Jaksa dengan sub sistem lain
maupun
dengan
instansi
terkait
sebagaimana
telah
diungkapkan
jaksa
maka
sebagian
besar
93%
responden
menjadi
menyatakan
proses
suatu
perkara,
70%
responden
menyatakan
dengan
penangguhan
penahanan
misalnya,
penangguhan
1 kali seminggu
1 minggu 2 x
9. Posisi saksi dan saksi korban belum mendapatkan perhatian yang serius dari
pihak kejaksaan. Keluhan dari banyak responden saksi dan saksi korban
perihal minimnya perhatian dan fasilitas yang diberikan oleh pihak kejaksaan
______________________________________________________________________________________
Komisi Hukum Nasional
Page 33 of 74
Hal lain yang diberikan pada saksi adalah bantuan medis (11% dari seluruh
responden) dan Bantuan Psikologis (3 orang atau 11% dari seluruh
responden). Hal ini dilakukan dengan cara:
-
10. Perlakuan yang dirasakan oleh para saksi dan saksi korban tidak berbeda
dengan para tersangka atau terdakwa. Perhatian yang lebih besar sangat
diharapkan oleh para saksi dan saksi korban, bukan hanya fasilitas, namun
______________________________________________________________________________________
Komisi Hukum Nasional
Page 34 of 74
lebih dari itu perhatian dari pihak kejaksaan yang dianggap oleh mereka
sebagai tumpuan mereka dalam memperoleh keadilan. Dalam kenyataanya
hanya sedikit responden yang menyatakan berkonsultasi dengan korban
atau keluarganya (33%) dalam membuat tuntutan, sementara 67% lainnya
mengabaikannya. Komentar dari responden yang tidak berkonsultasi karena
antara lain undang-undang tidak mengharuskan untuk melakukannya.
Meski demikian sebagian responden kejaksaan, penderitaan yang dialami
oleh saksi korban merupakan hal yang menjadi perhatian khusus menurut
48% responden untuk dijadikan dasar pertimbangan dalam menyusun
tuntutan dengan bentuk pertimbangan :
-
Tergantung kerugiannya
______________________________________________________________________________________
Komisi Hukum Nasional
Page 35 of 74
BAB IV
PERANAN HAKIM DALAM AKSES KE PERADILAN PIDANA
Hakim dengan kekuasaan kehakiman yang dimiliki mempunyai peranan
yang sangat besar juga menentukan dalam pelaksanaan sistem peradilan pidana
dan akses publik pencari keadilan ke peradilan pidana. Peranan yang besar dan
menentukan tersebut tidak hanya terkait dengan pelaksanaan dari sistem
peradilan pidana itu, tapi yang utama juga adalah usaha dari sistem peradilan
pidana dalam mencapai tujuannya, yaitu usaha yang rasional dari masyarakat
dalam upaya penanggulangan atau pencegahan kejahatan.24
Memang dalam pelaksanaan sistem peradilan pidana (mungkin secara
universal) telah terbagi dalam tahap-tahap. Tahap penyidikan, penuntutan,
peradilan dan pelaksanaan pemidanaan. Setiap tahap tersebut dilaksanakan oleh
lembaga-lembaga yang berbeda-beda, tahap penyidikan oleh kepolisian,
penuntutan oleh kejaksaan, peradilan oleh hakim dan pelaksanaan pemidanaan
oleh lembaga pemasyarakatan. Lembaga-lembaga tersebut oleh undang-undang
diberikan tugas dan kewenangan yang berbeda-beda. Penyidik yang melakukan
penyidikan secara umum tugas dan kewenangannya adalah mencari dan
mengumpulkan bukti. Penuntut umum (jaksa) dengan tugas atau kewenangan
secara umum melakukan penuntutan dengan jalan membuat dakwaan dari
bahan bukti yang berasal dari pihak penyidik. Hakim dalam tahap peradilan
secara umum tugas dan kewenangannya adalah memberikan putusan mengenai
salah tidaknya seseorang yang telah diajukan sebagai terdakwa oleh penuntut
umum (jaksa) dengan terlebih dahulu melalui proses pembuktian. Terakhir
lembaga pemasyarakatan dengan tugas dan kewenangan secara umum
pelaksanaan pemidanaan agar terpidana dapat kembali ke masyarakat
(resosialisasi). Namun apabila memperhatikan secara umum dan keseluruhan
24
Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Semarang: Badan Penerbit Universitas
Diponegoro, 1995, hal. vii.
______________________________________________________________________________________
Komisi Hukum Nasional
Page 36 of 74
adalah
berat.
Disamping
memikul
tanggungjawab
tugas
dan
kepolisian,
kejaksaan,
maupun
lembaga
pemasyarakatan,
tanggungjawab tersebut hanya dimiliki oleh hakim! Namun dalam beberapa hal
tugas dan kewenangan yang dimiliki oleh hakim dan pelaksanaan dari tugas dan
kewenangan tersebut dari sisi akses publik pencari keadilan ke peradilan pidana
masih terdapat batas dan atau dibatasi.
Peran pengadilan yang akan dibahas dalam bab ini akan dilihat dari tiga
hal yaitu :
1. Peran hakim sebagai pengendali dan sekaligus pelaksana upaya paksa.
25
Pemberi surat ijin penggeledahan, surat ijin penyitaan, pemutus perkara pra-peradilan, pemberi
perpanjangan penahanan, bertindak sebagai hakim pengawas dan pengamat.
26
Muladi, Kekuasaan Kehakiman Yang Merdeka Dan Beertanggungjawab, tanpa tempat,
November 2000, hal. 6.
______________________________________________________________________________________
Komisi Hukum Nasional
Page 37 of 74
3.Dengan
melibatkan
hakim
dalam
menentukan
(melalui
melibatkan
hakim
dalam
menentukan
(melalui
penahanan hanya berdasar sebagaimana yang diatur dalam Pasal 21 (4) adalah
juga benar (alasan subyektif yuridis).
Ketidakadaan kepastian hukum untuk suatu tindakan yang dipandang
sebagai batas akses publik pencari keadilan ke peradilan pidana. Hal ini
dikarenakan aparat penegak hukum dengan kekuasaan yang dimiliki yang
berdasar hukum, pasti akan mengalahkan argumen pihak tersangka/terdakwa
dan penasihat hukumnya. Oleh karena penegakan hukum dengan sistem
peradilan pidana adalah tindakan yang rasional, maka dasar yang berpijak pada
hal yang tidak rasional atau sulit dibuktikan dengan rasio, sudah seharusnya
ditinggalkan. Dalam hal ini jelas sulit untuk membuktikan benar atau tidaknya
hal yang bersandar pada kekhawatiran.
Pelaksanaan upaya paksa penangkapan dan penahanan acap dinilai
sebagai
putusan untuk
melakukan penahanan juga harus jelas, dengan mengacu pada jenis-jenis tindak
pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 21 (4) UU Nomor 8 Tahun 1981. Tanpa
adanya landasan rasional dan legal untuk melakukan penahanan dan upaya
paksa lainnya, s tersangka tidak dapat ditahan oleh pihak kepolisian.
3. Inkonsistensi Dalam Pelaksanaan Tugas
Predikat sebagai aparat penegak hukum, mempunyai makna dalam
menjalankan tugas harus berlandas pada: pertama; hukum yang ada; dan kedua,
memahami apa yang menjadi tujuan hukum yang menjadi landasan tindakan
itu.. Sifat keajegan atau konsistensi dalam menjalankan tugas menjadi salah
satu ciri yang dituntut dari aparat penegak hukum. Terjadinya inkosistensi
dalam pelaksanaan proses peradilan pidana merupakan salah satu indikator
kelemahan sistem peradilan pidana yang pada gilirannya juga akan mengekang
tercapainya akses publik ke peradilan secara merata.
______________________________________________________________________________________
Komisi Hukum Nasional
Page 40 of 74
dari
lainnya termasuk
keterkaitan-keterkaitan
tersebut.
Mungkin
pula
mereka
tetapi karena mereka diuntungkan atau takut untuk menyampaikan, maka hal
tersebut tidak terungkap. Ini juga mencakup peranan pengawasan (kontrol) dari
masyarakat terhadap jalannya persidangan.
Mayoritas hakim yang dijadikan responden menyatakan bahwa papan
pengumuman tersebut dapat berfungsi sebagai sarana pengawasan (kontrol)
masyarakat
terhadap
jalannya
persidangan.
Akan
tetapi
ternyata
atas
merupakan
suatu
persoalan
yang
sampai
sekarang
tidak
pernah
Pasal 224
Barangsiapa dipanggil sebagai saksi, ahli atau juru bahasa menurut
undang-undang dengan sengaja tidak memenuhi kewajiban berdasarkan
undang-undang yang harus dipenuhinya, diancam:
1. dalam perkara pidana, dengan pidana penjara paling lama sembilan
bulan;
2. dalam perkara lain, dengan pidana penjara paling lama enam bulan.
______________________________________________________________________________________
Komisi Hukum Nasional
Page 44 of 74
Pasal 522
Barangsiapa menurut undang-undang dipanggil sebagai saksi, ahli atau
juru bahasa, tidak datang secara melawan hukum, diancam dengan
pidana denda paling lama sembilan ratus rupiah.
Walaupun panggilan pengadilan wajib untuk dipenuhi, tidak berarti
pengadilan dapat bertindak sewenang-wenang misalnya membuat yang
bersangkutan menunggu perkara disidangkan atau menunggu giliran
untuk diminta atau memberi keterangan dalam waktu yang tidak pasti.
Data di lapangan menunjukkan bahwa ketidakjelasan waktu sidang walau
telah dituliskan dalam surat panggilan seringkali (bahkan hampir selalu)
tidak dipenuhi hakim.
Tidak
satupun
responden
yang
memberikan
jawaban
hal
yang
waktu
sidang
sebagai
bagian
dari
persoalan
yang
disidangkan, pada hari itu jumlah personel hakim dan panitera di pengadilan,
sudah seharusnya dapat diperhitungkan sebelum dilakukan pemanggilan
kepada terdakwa dan saksi.
______________________________________________________________________________________
Komisi Hukum Nasional
Page 45 of 74
ditugaskan
memeriksa
perkara
tidak
mempunyai
kaitan
dan
______________________________________________________________________________________
Komisi Hukum Nasional
Page 47 of 74
BAB V
AKSES KE PERADILAN DALAM TAHAP PURNA AJUDIKASI
Pada tahap purna ajudikasi, status seorang pelaku tindak pidana sudah
jelas dinyatakan sebagai orang yang bersalah menurut hukum. Dalam posisi
yang demikian ini, sebagai orang yang telah dianggap melanggar dan
menyimpang dari norma-norma masyarakat, ia harus dibina agar dapat kembali
menjadi warga masyarakat yang taat hukum. Untuk itulah dibentuk sistem
pemasyarakatan, yang bertugas menyiapkan terpidana agar dapat berintegrasi
secara sehat dengan masyarakat, sehingga dapat berperan kembali sebagai
anggota masyarakat yang bebas dan bertanggung jawab.
Pembinaan merupakan kegiatan yang bersifat kontinyu dan intensif.
Melalui pembinaan, terpidana diarahkan agar menyadari kesalahannya,
memperbaiki diri dan tidak melakukan tindak pidana lagi. Satu hal yang sangat
penting dalam melakukan pembinaan adalah pembinaan tidak dimaksudkan
untuk menderitakan, dan terpidana tetap diakui hak-hak asasinya sebagai
manusia.
yang
memiliki
harkat
dan
martabat.
Namun
yang
menjadi
itu telah
dipenuhi, sehingga jaminan itu tidak hanya berhenti pada aturannya saja.
______________________________________________________________________________________
Komisi Hukum Nasional
Page 48 of 74
hitungan hari. Keadaan yang demikian ini mensyaratkan beberapa hal, agar
kegiatan yang dilakukan dapat mencapai hasil yang diharapkan, seperti aturan
yang jelas, sumber daya manusia sebagai pembina yang memiliki ketrampilan
khusus, sarana dan prasarana serta dana yang memadai, serta adanya
pengawasan terhadap pelaksanaan pembinaan.
A. Landasan Yuridis
Sebagian besar hak terpidana, dalam hal ini narapidana, diatur dalam UU
No. 12/1995 tentang Pemasyarakatan. Sedangkan untuk hak lainnya, ada yang
diatur dalam KUHP, KUHAP, UU No. 3/1950 tentang Grasi dan beberapa
peraturan pelaksanaan, berupa PP No. 32 tahun 1999 tentang Syarat dan Tata
Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan, Keppres No. 174 tahun
1999 tentang Remisi, serta beberapa Keputusan Menteri Kehakiman dan HAM.
Hak-hak tersebut adalah:
Hak untuk tidak dituntut sekali lagi atas dasar perbuatan yang sama;
______________________________________________________________________________________
Komisi Hukum Nasional
Page 49 of 74
(lampu), sanitasi serta sarana untuk mandi yang memadai. Di samping itu, tidak
kalah pentingnya adalah persyaratan pengelompokkan narapidana berdasarkan
katagorinya, misalnya berdasarkan criminal record-nya. 27 Hal ini perlu mendapat
perhatian khusus agar jangan sampai pengaruh buruk dari narapidana yang
telah berstatus residivis, ditularkan kepada yang baru pertama kali melakukan
27
Lihat Standard Minimum Rules for the Treatment of Prisoners, Part I : Rules of General Application,
bagian Separation of Catagories dan Accomodation.
______________________________________________________________________________________
Komisi Hukum Nasional
Page 50 of 74
kejahatan. Bila hal itu gagal dicegah tentunya pembinaan yang dilakukan akan
menjadi sia-sia. Namun, dengan kondisi kepadatan LAPAS rata-rata 50% di atas
kapasitas yang sesungguhnya, kriteria-kriteria ideal tersebut menjadi sangat sulit
untuk dipenuhi.
Jalan
dengan
membangun LAPAS baru. Namun untuk keperluan itu dibutuhkan dana yang
tidak sedikit. Alternatif pemecahan lain yang langsung berkaitan dan mungkin
untuk ditemp uh adalah dengan memindahkan penghuni LAPAS yang sudah
sangat padat ke LAPAS yang relatif masih kosong disertai dengan kebijakan
menaikkan kelas kategori LAPAS. Solusi ini tentunya juga tidak mudah untuk
dilakukan, dan kemungkinan untuk dilakukan sangat kecil karena kepadatan
penghuni LAPAS sudah merata di seluruh Indonesia. Ditambah lagi
kemungkinan adanya penolakan dari terpidana untuk dipindahkan ke LAPAS
lain dengan alasan akan
menjenguk.
Di samping jalan keluar seperti yang dipaparkan di atas, dapat dicari
solusi lain yang sesungguhnya tidak semata-mata terletak di tahap purna
ajudikasi. Seperti telah disinggung di atas, kepadatan
LAPAS terutama
disebabkan oleh peningkatan kuantitas kejahatan. Akan tetapi hal tersebut tidak
merupakan dampak langsung dari peningkatan kuantitas kejahatan. Ada faktor
lain yang menjadi pendorong kondisi itu. Meskipun kejahatan meningkat, tidak
secara otomatis diikuti dengan pesatnya kenaikan penghuni LAPAS, bila perlu
hakim mengurangi penjatuhan pidana penjara dan memanfaatkan pidana denda
atau pidana lainnya, khususnya pidana non-institusional atau pidana di luar
lembaga. Akan tetapi, seperti dikatakan Muladi, pidana penghilangan
kemerdekaan (khususnya penjara) memang merupakan primadona dalam
______________________________________________________________________________________
Komisi Hukum Nasional
Page 51 of 74
28
Muladi, Proyeksi Hukum Pidana Materiil Indonesia di Masa Datang, (Pidato Pengukuhan Jabatan Guru
Besar Universitas Diponegoro, Semarang, 1990), hlm. 24.
29
Berdasarkan Statistik Kriminal Sumber Data Pengadilan Negeri, tahun 1997 diketahui bahwa pidana
bersyarat hanya dijatuhkan pada 5175 terpidana, sementara pidana penjara 64576, pidana kurungan 485
terpidana. Data ini diperkuat dengan data dari BAPAS Jakarta Timur Utara, yang hanya membimbing 5
orang terpidana bersyarat pada tahun 2001.
______________________________________________________________________________________
Komisi Hukum Nasional
Page 52 of 74
petugas
memantau
warga
binaannya.
Sebagai
gambaran
dapat
dikemukakan bahwa pada saat ini jumlah warga binaan di luar lembaga relatif
masih sedikit, sehingga petugas yang menangani terpidana pun dapat dikatakan
masih
mencukupi.30
perhatian khusus. Oleh karena harus dihindari timbulnya rasa tidak aman pada
warga masyarakat lain, dengan bebas berkeliarannya terpidana tanpa
pengawasan yang baik. Khusus mengenai sikap warga masyarakat perlu juga
untuk diberikan pemahaman bahwa tidak setiap pelaku tindak pidana harus
masuk penjara, bahkan masyarakat harus pula didorong partisipasinya untuk
turut mengawasi terpidana yang sedang dibina di luar LAPAS.
2. Tidak Memadainya Fasilitas di LAPAS
Dalam kaitan dengan masalah kelebihan kapasitas, maka menjadi
permasalahan pula tentang pemenuhan hak-hak terpidana atas kebutuhan fisik
30
Menurut data dari BAPAS Jakarta Selatan (hasil penelitian lapangan April 2002), jumlah SDM pembina
sekitar 60 orang, jumlah yang dibina sekitar 104 orang.
______________________________________________________________________________________
Komisi Hukum Nasional
Page 53 of 74
serta fasilitas yang diperlukan dalam kehidupan sehari-hari. Hal pokok dalam
persoalan ini misalnya fasilitas untuk tidur, memeriksakan kesehatan dan
makan. Dari hasil penelitian dapat diketahui bahwa fasilitas yang disediakan,
jauh dari mencukupi, misalnya perlengkapan untuk tidur, makan dan untuk
hiburan. Hal ini disebabkan oleh minimnya dana yang dialokasikan.31 Oleh
karena itu para petugas mengambil kebijakan untuk memperbolehkan terpidana
melengkapi sendiri fasilitas yang dianggapnya kurang itu dengan membawanya
dari luar LAPAS. Kebijakan ini nampaknya merupakan salah satu jalan keluar
terbaik yang dapat ditempuh. Namun harus dipertimbangkan kemungkinan
timbulnya
menjadi pemicu keributan dalam LAPAS, dan pada akhirnya akan mengganggu
proses pembinaan.
Di samping itu perlu juga diteliti ketentuan-ketentuan tentang penjara
dalam KUHP, yang pada dasarnya masih berlatar belakang pemikiran bahwa
penjara adalah tempat penjeraan. Dengan demikian narapidana dilarang
memperbaiki kondisinya di penjara atas biayanya sendiri. Apabila ketentuanketentuan seperti ini masih ada, berarti kebijakan yang memperbolehkan
terpidana melengkapi fasilitasnya di penjara
KUHP. Dampak yang mungkin terjadi dari kondisi adalah adanya perbedaan
kebijakan antara LAPAS yang masih memegang teguh ketentuan KUHP dan
LAPAS yang lebih moderat dan lebih mengedepankan pemenuhan hak-hak
asasi manusia. Kondisi ini harus segera diakhiri, dengan membuat satu
kebijakan yang sama dalam menghadapi satu persoalan. Dengan cara ini dapat
dihindari kesan perlakuan diskriminatif dan kecurigaan adanya penyimpangan.
31
Menurut hasil wawancara dengan Kalapas dan Karutan, anggaran untuk makan seorang narapidana/ tahanan adalah Rp. 2700,- hingga Rp. 3500,- untuk lauk-pauk 3 kali makan dan beras 450 gr /per hari.
Anggaran untuk kesehatan juga sangat minim, misalnya di salah satu LAPAS yang menjadi obyek
penelitian, anggaran untuk kesehatan lebih dari 300 orang narapidana dan tahanan adalah Rp. 800.000,- per
tahun penelitian, anggaran untuk kesehatan lebih dari 300 orang narapidana dan tahanan adalah Rp.
800.000,- per tahun
______________________________________________________________________________________
Komisi Hukum Nasional
Page 54 of 74
sangat
33
32
Dari hasil penelitian dengan responden penasihat hukum diperoleh data bahwa pada umumnya tugas
penasihat hukum berakhir pada saat klien berstatus terpidana, sehingga perkembangan klien di LAPAS
tidak lagi diikuti, apalagi bila klien mendapat hukuman yang tinggi.
33
Muladi, Akses ke Pengadilan dan Bantuan Hukum (Makalah disampaikan pada Workshop Akses ke
Peradilan yang diselenggarakan oleh Sentra HAM FHUI dan KHN, Jakarta, 10 Juni 2002). Bantuan
hukum setelah pemidanaan dimungkinkan dan secara tegas diatur dalam Body Principles for the
Protection of All Persons Under Any Form of Detention and Imprisonment (GA Res. 43/1988), yang
menegaskan bahwa: A detained or imprisoned person shall be entitled to communicate and consult with
his legal counsel.
______________________________________________________________________________________
Komisi Hukum Nasional
Page 55 of 74
terhadap
para
terpidana,
meskipun
disadari
manfaat
dari
34
34
Najwa Shihab, Peran dan Tanggung Jawab Hakim Pengawas dan Pengamat. Skripsi Sarjana pada
Fakultas Hukum UI, Depok, 2000, hlm. 164.
______________________________________________________________________________________
Komisi Hukum Nasional
Page 57 of 74
hakim wasmat turut campur dalam pelaksanaan tugas mereka. 35 Oleh karena itu
aturan dalam KUHAP tentang lingkup tugas dan wewenang hakim wasmat
perlu lebih dirinci dalam peraturan pelaksanaan.
Pandangan hakim wasmat terhadap tugasnya yang dianggap sebagai
beban dan tugas tambahan merupakan faktor penghambat yang lebih sulit untuk
diatasi, dibandingkan tidak tersedianya fasilitas khusus bagi hakim wasmat
dalam menjalankan tugasnya, seperti kendaraan, dana operasional maupun
ruangan khusus untuk bertugas di lembaga yang dikunjungi. Dengan kondisi
perekonomian negara yang belum memungkinkan untuk pengadaan fasilitas,
salah satu jalan keluar yang mungkin ditempuh adalah dengan memberikan
angka kredit pada hakim yang telah menjalankan tugas sebagai hakim wasmat.
Angka kredit ini merupakan kompensasi dan penghargaan, agar tugas hakim
wasmat tidak lagi dipandang sebagai beban dan tugas tambahan yang tidak ada
ada nilainya.
Dalam masalah pengawasan, UU Pemasyarakatan (UU No. 12 tahun 1995)
memperkenalkan suatu lembaga yang bernama Tim Pengamat Pemasyarakatan
(TPP). Tim yang terdiri dari pejabat-pejabat LAPAS, BAPAS atau pejabat terkait
lainnya ini antara lain bertugas memberikan penilaian atas pelaksanaan program
pembinaan dan pembimbingan serta menerima keluhan dan pengaduan dari
warga binaan pemasyarakatan. Nampak bahwa lembaga ini memiliki tugas
pengawasan terhadap pelaksanaan tugas pembinaan. Dalam hal komposisi
anggota, sebagian besar berasal dari internal
institusi pemasyarakatan,
35
Ibid.
Menurut Kepmen Hukum dan Perundang-undangan RI No. M. 02. PR.08.03 tahun 1999 tentang
Pembentukan Balai Pertimbangan Pemasyarakatan dan Tim Pengamat Pemasyarakatan, TPP daerah
melibatkan hakim wasmat dan badan dan atau perorangan yang berminat terhadap pembinaan. Sedangkan
untuk TPP Wilayah, hakim wasmat tidak termasuk dalam komposisi anggota, yang ada hanya instansi
terkait yang dipandang perlu dan perorangan atau badan yang berminat dalam bidang pemasyarakatan.
Prosedur untuk menjadi anggota TPP bukan mengajukan diri, tetapi dipilih dan diangkat oleh pejabat yang
berwenang.
______________________________________________________________________________________
Komisi Hukum Nasional
Page 58 of 74
36
ini, agak sulit untuk mengharapkan TPP dapat melakukan pengawasan secara
maksimal.
Di samping TPP, ada satu lembaga lagi yang diperkenalkan oleh UU
Pemasyarakatan dalam upaya mengefektifkan system pemasyarakatan dalam
melakukan
pembinaan.
Lembaga
yang
bernama
Balai
Pertimbangan
yang
dapat
terdiri
dari
kalangan
organisasi
keanggotaannya,
______________________________________________________________________________________
Komisi Hukum Nasional
Page 59 of 74
BAB VI
PANDANGAN AKADEMISI TERHADAP
MASALAH AKSES KE PERADILAN
hak-hak
tersebut
sering menimbulkan
______________________________________________________________________________________
Komisi Hukum Nasional
Page 60 of 74
Masyarakat kurang sadar akan haknya papar lima responden, dan menurut
tiga responden Polisi tidak memberi tahu, walaupun sudah diatur dalam
peraturan perundang-undangan. Bahkan menurut seorang responden, KUHAP
masih berpihak pada Pelaku tindak pidana daripada terhadap saksi/ saksi
korban, contohnya: Pasal 183 KUHAP.
Sulitnya Penasihat Hukum untuk menjumpai Tersangka/Terdakwa menurut
seorang responden, merupakan
hak-hak
selalu didampingi
diperjelas
______________________________________________________________________________________
Komisi Hukum Nasional
Page 61 of 74
Seorang
responden
menyatakan
sebaiknya
status
seseorang
jangan
responden
memaparkan
bahwa
masalahnya
terletak
pada
pola interograsi
proses di
pemerintah
menangani
perkara yang
mendatangkan uang saja, perlu dicermati oleh sebab itu masih diperlukan
campur tangan pemerintah. Semua responden berpendapat, Posbakum harus
diperkuat, Pengacara yang tergabung di dalamnya digaji Pemerintah.
Lima responden menyatakan, penyimpangan yang dilakukan Pengacara
disebabkan
siapapun. Lima
responden mengakui, kondisi hakim terkadang sulit, terutama untuk kasus yang
mendapat perhatian masyarakat. Dua responden menyatakan sebaiknya Hakim
jangan memutus karena rutinitas, seharusnya memutus karena misi dalam
menjalankan tugas.
______________________________________________________________________________________
Komisi Hukum Nasional
Page 64 of 74
Semua
responden
menyarankan
agar
Pemerintah
memperhatikan
mengakui kalau masyarakat sulit memperoleh akses yang diibaratkan berbelitbelit seperti lingkaran setan.
Menurut empat responden di setiap instansi masih ada hambatan karena
birokrasi pegawai negeri yang tidak dapat dihindari.
Empat responden mengusulkan harus ada pembaruan sistem hukum dan
pengawasan terhadap kinerja penegak hukum dengan sanksi yang tegas dan
______________________________________________________________________________________
Komisi Hukum Nasional
Page 65 of 74
2.
3.
4.
5.
Dari hasil wawancara dengan 7 (tujuh) orang akademisi, nampak yang paling
mengemuka adalah hak untuk memperoleh informasi dari berbagai instansi
penegak hukum, antara lain:
a. informasi untuk memperoleh bantuan hukum
b. informasi untuk memperoleh perlindungan bagi saksi/saksi
korban
c. informasi untuk memperoleh ganti kerugian bagi saksi korban
d. informasi untuk memperoleh jalannya kasus di pengadilan
Implementasi hak-hak bagi Tersangka/Terdakwa
di
tingkat instansi
yang
cenderung
sudah mempunyai
Karena mulai dari tingkat Kepolisian sudah ada kesan, bahwa untuk jalannya
suatu kasus perlu didanai sendiri. Di setiap tingkatan penegak hukum, kekuatan
uang selalu bermain. Pada saat ada bantuan hukum gratis di tingkat pengadilan,
maka pada saat itu pula telah terjadi pelanggaran-pelanggaran hak di instansi
sebelumnya.
______________________________________________________________________________________
Komisi Hukum Nasional
Page 67 of 74
instansi
penegak
baik sesama
3.
merupakan keharusan
yang tidak dapat ditunda lagi. Karena pengolahan data yang baik dari
setiap
instansi
______________________________________________________________________________________
Komisi Hukum Nasional
Page 68 of 74
BAB VII
______________________________________________________________________________________
Komisi Hukum Nasional
Page 70 of 74
Tidak
jelas/multi
penahanan,
interpretasi.
pelaksanaan
Masalah
hak-hak
penahanan,
penangguhan
tersangka/terdakwa/terpidana,
______________________________________________________________________________________
Komisi Hukum Nasional
Page 71 of 74
2. Manusia
a. Pencari keadilan:
b. Aparat:
bersifat tertutup
B. Rekomendasi
Berdasarkan temuan dan kesimpulan tersebut di atas, maka diajukan
beberapa rekomendasi sebagai berikut:
1. Perlu dilakukan revisi terhadap KUHAP agar ketentuannya tidak hanya
menjadi ketentuan yang mati. Hal ini terutama untuk pasal-pasal yang
memberikan hak kepada tersangka, terdakwa, terpidana tetapi tidak
diikuti dengan pemberian kewajiban pada penegak hukum untuk
memenuhinya, seperti Pasal 52, 54 dan 55 KUHAP. Bahkan untuk
memperkuat ketentuan tersebut, harus ada sanksi yang jelas dan tegas
bagi yang tidak memenuhinya; misalnya sanksi batal demi hukum untuk
setiap tindakan yang dilakukan tanpa mengindahkan persyaratan dalam
ketentuan.
______________________________________________________________________________________
Komisi Hukum Nasional
Page 72 of 74
digalakkan
kembali
penyuluhan-penyuluhan
hukum
bagi
masyarakat.
7. Perlu campur tangan pemerintah untuk mengatur organisasi pengacara,
agar mereka bersedia membantu orang tidak mampu (berpegang pada
prinsip bantuan hukum).
8. Perlu disosialisasikan adanya bantuan hukum bagi masyarakat awam
yang tidak mampu.
9. Perlu ditingkatkan kualitas moral, ketrampilan, serta kehidupan aparat
penegak hukum.
10. Perlu dilakukan peningkatan kualitas SDM aparat penegak hukum
melalui pelatihan-pelatihan, untuk mengasah kepekaan, kemampuan dan
ketrampilan.
11. Perlu ada mekanisme kontrol yang dapat berjalan secara efektif.
12. Harus ada transparansi dalam proses pemeriksaan, sehingga mekanisme
kontrol dari sub sistem lain maupun dari masyarakat dapat berjalan.
13. Perlu komputerisasi administrasi peradilan untuk mempermudah akses
data.
______________________________________________________________________________________
Komisi Hukum Nasional
Page 73 of 74
______________________________________________________________________________________
Komisi Hukum Nasional
Page 74 of 74