Professional Documents
Culture Documents
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala
limpahan Rahmat dan Karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan proses
penyusunan
kepaniteraan klinik di bagian Ilmu Penyakit Syaraf di RSUD Embung Fatimah Batam
yang berjudul Intracerebral Hemorrhage.
Penyelesaian referat ini telah mendapatkan banyak bantuan dari berbagai pihak,
oleh karena itu pada kesempatan ini penulis menyampaikan rasa terima kasih yang tulus
kepada dr. H. Agus Permadi, Sp.S sebagai pembimbing yang telah memberikan kritik
dan sarannya untuk penyusunan referat ini, serta teman-teman dan keluarga yang selalu
mendukung dan mendoakan terselesaikannya referat ini.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa referat ini masih jauh dari sempurna, oleh
karena itu penyusun mengharapkan kritik dan saran demi kesempurnaan referat ini.
Semoga referat ini dapat bermanfaat bagi kami dan pembaca semua.
Akhir kata, penulis mengucapkan terima kasih.
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
Perdarahan intraserebral (PIS) adalah disfungsi neurologi fokal yang akut dan
disebabkan oleh perdarahan primer substansi otak yang terjadi secara spontan, bukan oleh
karena trauma kapitis, disebabkan oleh karena pecahnya pembuluh arteri, vena dan kapiler.
Perdarahan intraserebral merupakan 10% dari semua jenis stroke, tetapi persentase kematian
leih tinggi disebabkan oleh stroke. Sekitar 60% terjadi di putamen dan kapsula interna, dan
masing-masing 10% pada substansia alba, batang otak, serebelum dan talamus. Pada usia 60
tahun, PIS lebih sering terjadi dibandingkan subarachnoid hemorrhage (PSA). (1)
Perdarahan intraserebral paling sering terjadi ketika tekanan darah tinggi kronis
sehingga melemahkan arteri kecil dan menyebabkannya robek. Penggunakan kokain atau
amfetamin dapat menyebabkan tekanan darah tinggi dan perdarahan sementara. Pada
beberapa orangtua, sebuah protein abnormal yang disebut amiloid terakumulasi di arteri otak.
Akumulasi ini (disebut angiopati amiloid) melemahkan arteri dan dapat menyebabkan
perdarahan.
Umumnya tidak banyak penyebabnya, termasuk ketidak normalan pembuluh darah
yang ada ketika lahir, luka, tumor, peradangan pembuluh darah (vaskulitis), gangguan
perdarahan, dan penggunaan antikoagulan dalam dosis yang terlalu tinggi. Gangguan
perdarahan dan penggunaan antikoagulan meningkatkan resiko kematian dari perdarahan
intraserebral. (1)
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. DEFINISI
Perdarahan intraserebral (PIS) adalah perdarahan yang terjadi di otak yang
disebabkan oleh pecahnya (ruptur) pada pembuluh darah otak. Perdarahan dalam dapat
terjadi di bagian manapun di otak. Darah dapat terkumpul di jaringan otak, ataupun di
ruang antara otak dan selaput membran yang melindungi otak. Perdarahan dapat terjadi
hanya pada satu hemisfer (lobar intracerebral hemorrhage), atau dapat pula terjadi pada
struktur dari otak, seperti thalamus, basal ganglia, pons, ataupun cerebellum (deep
intracerebral hemorrhage).(1)
B. EPIDEMIOLOGI
Di seluruh dunia insiden perdarahan intraserebral berkisar 10 sampai 20 kasus
per 100.000 penduduk dan meningkat seiring dengan usia. Perdarahan intraserebral lebih
sering terjadi pada pria daripada wanita, terutama yang lebih tua dari 55 tahun, dan
dalam populasi tertentu, termasuk orang kulit hitam dan Jepang. Selama periode 20 tahun
studi The National Health and Nutrition Examination Survey Epidemiologic
menunjukkan insiden perdarahan intraserebral antara orang kulit hitam adalah 50 per
100.000, dua kali insiden orang kulit putih. Perbedaan dalam prevalensi hipertensi dan
tingkat pendidikan berhubungan dengan perbedaan resiko. Peningkatan resiko terkait
dengan tingkat pendidikan yang lebih rendah mungkin terkait dengan kurangnya
kesadaran akan pencegahan primer dan akses ke perawatan kesehatan. Insiden perdarahan
intraserebral di Jepang yaitu 55 per 100.000 jumlah ini sama dengan orang kulit hitam.
Tingginya prevalensi hipertensi dan pengguna alkohol pada populasi Jepang dikaitkan
dengan insiden perdarahan intraserebral. Rendahnya observasi kadar kolesterol serum
pada populasi ini juga dapat meningkatkan resiko perdarahan intraserebral. Usia rata-rata
pada umur 53 tahun, interval 40 75 tahun. Insiden pada laki-laki sama dengan pada
wanita. Angka kematian 60 90%. (11)
C. ANATOMI
3
Otak terdiri dari sel-sel otak yang disebut neuron, sel-sel penunjang yang
dikenal sebagai sel glia, cairan serebrospinal, dan pembuluh darah. Semua orang memiliki
jumlah neuron yang sama sekitar 100 miliar, tetapi koneksi di antara neuron berbedabeda. Pada orang dewasa, otak membentuk hanya sekitar 2% (sekitar 1,4 kg) dari berat
tubuh total, tetapi mengkonsumsi sekitar 20% oksigen dan 50% glukosa yang ada di
dalam darah arterial. (6)
Otak harus menerima lebih kurang satu liter darah per menit, yaitu sekitar
15% dari darah total yang dipompa oleh jantung saat istirahat agar berfungsi normal. Otak
mendapat darah dari arteri. Yang pertama adalah arteri karotis interna yang terdiri dari
arteri karotis (kanan dan kiri), yang menyalurkan darah ke bagian depan otak disebut
sebagai sirkulasi arteri cerebrum anterior. Yang kedua adalah vertebrobasiler, yang
mengalirkan darah ke bagian belakang otak disebut sebagai sirkulasi arteri cerebrum
posterior. Selanjutnya sirkulasi arteri cerebrum anterior bertemu dengan sirkulasi arteri
cerebrum posterior membentuk suatu sirkulus willisi. (6)
Ada dua hemisfer di otak yang memiliki masing-masing fungsi. Fungsi-fungsi
dari otak adalah otak merupakan pusat gerakan atau motorik, sebagai pusat sensibilitas,
sebagai area broca atau pusat bicara motorik, sebagai area wernicke atau pusat bicara
sensoris, sebagai area visuosensoris, dan otak kecil yang berfungsi sebagai pusat
koordinasi serta batang otak yang merupakan tempat jalan serabut-serabut saraf ke target
organ. Jika terjadi kerusakan atau gangguan otak maka akan mengakibatkan kelumpuhan
pada anggota gerak, gangguan bicara, serta gangguan dalam pengaturan nafas dan
tekanan darah. Gejala di atas biasanya terjadi karena adanya serangan stroke.(6)
D. ETIOLOGI
Hipertensi
Perdarahan
merupakan
intraserebral
spontan
penyebab
yang
terbanyak
tidak
perdarahan
berhubungan
intraserebral.
dengan
hipertensi,
(8)
E. PATOFISIOLOGI
Kasus PIS umumnya terjadi di kapsula interna (70 %), di fossa
posterior (batang otak dan serebelum) 20 % dan 10 % di hemisfer (di luar kapsula
interna). Gambaran patologik menunjukkan ekstravasasi darah karena robeknya
pembuluh darah otak dan diikuti adanya edema dalam jaringan otak di sekitar
6
hematom. Akibatnya terjadi diskontinuitas jaringan dan kompresi oleh hematom dan
edema pada struktur sekitar, termasuk pembuluh darah otak dan penyempitan
atau penyumbatannya sehingga terjadi iskemia pada jaringan yang dilayaninya, maka
gejala klinis yang timbul bersumber dari destruksi jaringan otak, kompresi pembuluh
darah otak / iskemia dan akibat kompresi pada jaringan otak lainnya.(4)
F. GEJALA KLINIS
Secara umum gejala klinis PIS merupakan gambaran klinis akibat akumulasi
darah di dalam parenkim otak. PIS khas terjadi sewaktu aktivitas, onset pada saat tidur
sangat jarang. Perjalanan penyakitnya, sebagian besar (37,5-70%) per akut. Biasanya
disertai dengan penurunan kesadaran. Penurunan kesadaran ini bervariasi frekuensi dan
derajatnya tergantung dari lokasi dan besarnya perdarahan tetapi secara keseluruhan
minimal terdapat pada 60% kasus. Dua pertiganya mengalami koma, yang dihubungkan
dengan adanya perluasan perdarahan ke arah ventrikel, ukuran hematomnya besar dan
prognosisnya jelek. Sakit kepala hebat dan muntah yang merupakan tanda peningkatan
tekanan intrakranial dijumpai pada PIS, tetapi frekuensinya bervariasi. Tetapi hanya 36%
kasus yang disertai dengan sakit kepala,namun kasus yang disertai muntah didapati pada
44% kasus. Jadi tidak adanya sakit kepala dan muntah tidak menyingkirkan PIS,
sebaliknya bila dijumpai akan sangat mendukung diagnosis PIS atau perdarahan
subarakhnoid sebab hanya 10% kasus stroke oklusif disertai gejala tersebut. Kejang
jarang dijumpai pada saat onset PIS. (5)
G. PEMERIKSAAN FISIK
Hipertensi arterial sering dijumpai pada kasus PIS. Tingginya frekuensi
hipertensi berkorelasi dengan tanda fisik lain yang menunjukkan adanya hipertensi
sistemik seperti hipertrofi ventrikel kiri dan retinopati hipertensif. Pemeriksaan fundus
okuli pada kasus yang diduga PIS mempunyai tujuan ganda yaitu mendeteksi adanya
tanda-tanda retinopati hipertensif dan mencari adanya perdarahan subhialoid (adanya
darah di ruang preretina, yang merupakan tanda diagnostik perdarahan subarakhnoid)
yang mempunyai korelasi dengan ruptur aneurisma. Gerakan mata, pada perdarahan
putamen terdapat deviation conjugae kerah lesi, sedang pada perdarahan nukleus
kaudatus terjadi kelumpuhan gerak horisontal mata dengan deviation conjugae ke arah
lesi. Perdarahan thalamus akan berakibat kelumpuhan gerak mata atas (upward gaze
7
palsy), jadi mata melihat ke bawah dan kedua mata melihat ke arah hidung. Pada
perdarahan pons terdapat kelumpuhan gerak horisontal mata dengan ocular bobbing. (5)(6)
Pada perdarahan putamen, reaksi pupil normal atau bila terjadi herniasi unkus
maka pupil anisokor dengan paralisis N. III ipsilateral lesi. Perdarahan di thalamus akan
berakibat pupil miosis dan reaksinya lambat. Pada perdarahan di mesensefalon, posisi
pupil di tengah, diameternya sekitar 4-6 mm, reaksi pupil negatif. Keadaan ini juga sering
dijumpai pada herniasi transtentorial. Pada perdarahn di pons terjadi pinpoint pupils
bilateral tetapi masih terdapat reaksi, pemeriksaannya membutuhkan kaca pembesar. (5)(6)
Pola pernafasan pada perdarahan diensefalon adalah Cheyne-Stroke, sedang
pada lesi di mesensefalon atau pons pola pernafasannya hiperventilasi sentral neurogenik.
Pada lesi di bagian tengah atau caudal pons memperlihatkan pola pernafasan apneustik.
Pola pernafasan ataksik timbul pada lesi di medula oblongata. Pola pernafasan ini
biasanya terdapat pada pasien dalam stadium agonal.(6)
sensori
kontralateral.
Perdarahan beruku
ran
mungkin
tampil
dengan
flaccid,
defisit
hemisensori,
konjugasi
mata
pada
sedang
mula-mula
hemiplegia
sisi
deviasi
perdarahan,
8
hemianopia homonim, dan disfasia bila yang terkena hemisfer dominan. Progresi
menjadi perdarahan masif berakibat stupor dan lalu koma, variasi respirasi, pupil tak
berreaksi yang berdilatasi, hilangnya gerak ekstra-okuler, postur motor abnormal, dan
respons Babinski bilateral. Gejala muntah terjadi hampir setengah daripada penderita.
Sakit kepala adalah gejala tersering tetapi tidak seharusnya ada. Dengan jumlah
perdarahan yang banyak, penderita dapat segera masuk kepada kondisi stupor dengan
hemiplegi dan kondisi penderita akan tampak memburuk dengan berjalannya masa.
Penderita akan lebih sering mengeluh sakit kepala atau pusing. Dalam waktu beberapa
menit wajah penderita akan terlihat mencong ke satu sisi, bicara cadel atau aphasia,
lemas tangan dan tungkai dan bola mata akan cenderung berdeviasi menjauhi
daripada ekxtremitas yang lemah. Hal ini terjadi, bertahap mengikuti waktu dari menit
ke jam di mana sangat kuat mengarah kepada perdarahan intraserebral. Paralisis dapat
terjadi semakin memburuk dengan munculnya refleks Babinski yang mana pada
awalnya dapat muncul unilateral dan kemudian bisa bilateral dengan ekstremitas
menjadi flaccid, stimulasi nyeri menghilang, tidak dapat bicara dan memperlihatkan
tingkat kesadaran stupor. Karekteristik tingkat keparahan paling parah adalah dengan
tanda kompresi batang otak atas (koma); tanda Babinski bilateral; respirasi dalam,
irregular atau intermitten; pupil dilatasi dengan posisi tetap pada bagian bekuan dan
biasanya ada kekakuan yang deserebrasi.
2. Thalamic Hemorrhage
Sindroma
klinis
akibat
perdarahan
talamus
sudah
dikenal.
terbatasnya gaze vertikal, deviasi mata kebawah, pupil kecil namun bereaksi baik atau
lemah. Anisokoria, hilangnya konvergensi, pupil tak bereaksi, deviasi serong, defisit
lapang pandang, dan nistagmus retraksi juga tampak. Anosognosia yang berkaitan
dengan perdarahan sisi kanan dan gangguan bicara yang berhubungan dengan lesi sisi
kiri tidak jarang terjadi. Nyeri kepala terjadi pada 20-40 % pasien. Hidrosefalus dapat
terjadi akibat penekanan jalur CSS.
Gambar 3.
Perdarahan
Thalamus
3. Perdarahan Pons
Perdarahan
hal
yang
jarang
pons
merupakan
terjadi
dibandingkan
dengan perdarahan
intraserebral
supratentorial,
tetapi 50% dari perdarahan infratentorial terjadi di pons. Gejala klinik yang sangat
menonjol pada perdarahan pons ialah onset yang tiba-tiba dan terjadi koma yang
dalam dengan defisit neurologik bilateral serta progresif dan fatal. Perdarahan ponting
paling umum menyebabkan kematian dari semua perdarahan otak. Bahkan perdarahan
kecil segera menyebabkan koma, pupil pinpoint (1 mm) namun reaktif, gangguan
gerak okuler lateral, kelainan saraf kranial, kuadriplegia, dan postur ekstensor. Nyeri
kepala, mual dan muntah jarang.6
4. Perdarahan Serebelum
10
Lokasi yang pasti dari tempat asal perdarahan di serebelum sulit diketahui.
Tampaknya sering terjadi di daerah nukleus dentatus dengan arteri serebeli superior
sebagai suplai utama. Perluasan perdarahan ke dalam ventrikel IV sering terjadi pada
50% dari kasus perdarahan di serebelum. Batang otak sering mengalami kompresi dan
distorsi sekunder terhadap tekanan oleh gumpalan darah. Obstruksi jalan keluar cairan
serebrospinal dapat menyebabkan dilatasi ventrikel III dan kedua ventrikel lateralis
sehingga dapat terjadi hidrosefalus akut dan peningkatan tekanan intrakranial dan
memburuknya keadaan umum penderita. Kematian biasanya disebabkan tekanan dari
hematoma yang menyebabkan herniasi tonsil dan kompresi medula spinalis.(6)
Sindroma klinis perdarahan serebeler pertama dijelaskan secara jelas oleh
Fisher. Yang khas adalah onset mendadak dari mual, muntah, tidak mampu bejalan
atau berdiri. Tergantung dari evolusi perdarahan, derajat gangguan neurologis terjadi.
Hipertensi adalah faktor etiologi pada kebanyakan kasus. Duapertiga dari pasien
dengan perdarahan serebeler spontan mengalami gangguan tingkat kesadaran dan
tetap responsif saat datang; hanya 14% koma saat masuk. 50% menjadi koma dalam
24 jam, dan 75% dalam seminggu sejak onset. Mual dan muntah tampil pada 95%,
nyeri kepala (umumnya bioksipital) pada 73%, dan pusing (dizziness) pada 55 %.
Ketidakmampuan berjalan atau berdiri pada 94 %. Dari pasien non koma, tanda-tanda
serebeler umum terjadi termasuk ataksia langkah (78 %), ataksia trunkal (65 %), dan
ataksia apendikuler ipsilateral (65 %). Temuan lain adalah palsi saraf fasial perifer
(61%), palsi gaze ipsilateral (54 %), nistagmus horizontal (51 %), dan miosis (30%).
Hemiplegia dan hemiparesis jarang, dan bila ada biasanya disebabkan oleh stroke
oklusif yang terjadi sebelumnya atau bersamaan. Triad klinis ataksia apendikuler,
palsi gaze ipsilateral, dan palsi fasial perifer mengarahkan pada perdarahan serebeler.
Perdarahan serebeler garis tengah menimbulkan dilema diagnostik atas pemeriksaan
klinis. Umumnya perjalanan pasien lebih ganas dan tampil dengan oftalmoplegia
total, arefleksia, dan kuadriplegia flaksid. (6)
Pada pasien koma, diagnosis klinis perdarahan serebeler lebih sulit karena
disfungsi batang otak berat. Dari pasien koma, 83 % dengan oftalmoplegia eksternal
yang lengkap, 53 % dengan irreguleritas pernafasan, 54 % dengan kelemahan fasial
ipsilateral. Pupil umumnya kecil; tak ada reaksi pupil terhadap sinar pada 40 %
pasien.
11
5. Perdarahan Lober
Sindroma klinis akut perdarahan lober dijelaskan Ropper dan Davis.
Hipertensi kronik tampil hanya pada 31 % kasus, dan 4 % pasien yang koma saat
datang. Perdarahan oksipital khas menyebabkan nyeri berat sekitar mata ipsilateral
dan hemianopsia yang jelas. Perdarahan temporal kiri khas dengan nyeri ringan pada
atau dekat bagian anterior telinga, disfasia fluent dengan pengertian pendengaran
yang buruk namun repetisi relatif baik. Perdarahan frontal menyebabkan kelemahan
lengan kontralateral berat, kelemahan muka dantungkai ringan, dan nyeri kepala
frontal. Perdarahan parietal mulai dengan nyeri kepala temporal anterior serta defisit
hemisensori, terkadang mengenai tubuh ke garis tengah. Evolusi gejala yang lebih
cepat, dalam beberapa menit, namun tidak seketika bersama dengan satu dari
sindroma tersebut membantu membedakan perdarahan lober dari stroke jenis lain.
Kebanyakan AVM dan tumor memiliki lokasi lober. (6)
6. Perdarahan intraserebral akibat trauma
Adalah perdarahan yang terjadi di dalam jaringan otak. Hematom intraserebral
pascatraumatik merupkan koleksi darah fokal yang biasanya diakibatkan cedera
regangan atau robekan rasional terhadap pembuluh-pembuluh darah intraparenkimal
otak atau kadang-kadang cedera penetrans. Ukuran hematom ini bervariasi dari
beberapa milimeter sampai beberapa sentimeter dan dapat terjadi pada 2%-16% kasus
cedera. Intracerebral hematom mengacu pada hemorragi / perdarahan lebih dari 5 ml
dalam substansi otak (hemoragi yang lebih kecil dinamakan punctate atau
petechial/bercak).(6)
I. DIAGNOSIS
Cara yang paling akurat untuk mendefinisikan stroke hemoragik dengan stroke
non hemoragik adalah dengan CT scan tetapi alat ini membutuhkan biaya yang besar
sehingga diagnosis ditegakkan atas dasar adanya suatu kelumpuhan gejala yang dapat
membedakan manifestasi klinis antara perdarahan infark.(5)
CT-scan adalah suatu pemeriksaan penunjang yang efektif bagi pasien dengan kecurigaan
perdarahan intraserebral untuk mengetahui lokasi,tempat, arah penyebaran perdarahan. (5)
Pemeriksaan Penunjang
12
Kimia darah
Lumbal punksi
EEG
CT scan
Volume darah pada perdarahan intraserebral bisa dihitung menggunakan rumus
Broderick :
(Panjang lesi x Lebar lesi x jumlah slice yang ada lesi) / 2
Arteriografi
J. KOMPLIKASI
o Stroke hemoragik
o Kehilangan fungsi otak permanen
o Efek samping obat-obatan dalam terapi medikasi
K. PENANGANAN PERDARAHAN INTRASEREBRAL
Semua penderita yang dirawat dengan intracerebral hemorrhage harus mendapat
pengobatan untuk :
1. Normalisasi tekanan darah
2. Pengurangan tekanan intrakranial
3. Pengontrolan terhadap edema serebral
4. Pencegahan kejang
Hipertensi dapat dikontrol dengan obat, sebaiknya tidak berlebihan karena
adanya beberapa pasien yang tidak menderita hipertensi; hipertensi terjadi karena
cathecholaminergic discharge pada fase permulaan. Lebih lanjut autoregulasi dari aliran
darah otak akan terganggu baik karena hipertensi kronik maupun oleh tekanan
intrakranial yang meninggi. Kontrol yang berlebihan terhadap tekanan darah akan
menyebabkan iskemia pada miokard, ginjal dan otak.9
Dalam suatu studi retrospektif memeriksa dengan CT-Scan untuk mengetahui
hubungan tekanan darah dan pembesaran hematoma terhadap 79 penderita dengan PISH,
mereka menemukan penambahan volume hematoma pada 16 penderita yang secara
13
bermakna berhubungan dengan tekanan darah sistolik. Tekanan darah sistolik 160
mmHg tampak berhubungan dengan penambahan volume hematoma dibandingkan
dengan tekanan darah sistolik 150 mmHg. Obat-obat anti hipertensi yang dianjurkan
adalah dari golongan :9
1. Angiotensin Converting Enzyme Inhibitors
2. Angiotensin Receptor Blockers
3. Calcium Channel Blockers
Tindakan
segera
terhadap
pasien
dengan
PIS
ditujukan
langsung
pasien. Pasien dengan hipertensi berat dan tak terkontrol mungkin diperkenankan untuk
mempertahankan tekanan darah sistoliknya di atas 180 mmHg, namun biasanya di bawah
210 mmHg, untuk mencegah meluasnya perdarahan oleh perdarahan ulang. Pengelolaan
awal hipertensinya, lebih disukai labetalol, suatu antagonis alfa-1, beta-1 dan beta-2
kompetitif. Drip nitrogliserin mungkin perlu untuk kasus tertentu.
Gas darah arterial diperiksa untuk menilai oksigenasi dan status asam-basa.
Bila jalan nafas tidak dapat dijamin, atau diduga suatu lesi massa intrakranial pada pasien
koma atau obtundan, dilakukan intubasi endotrakheal. Cegah pemakaian agen anestetik
yang akan meninggikan TIK seperti oksida nitro. Agen anestetik aksi pendek lebih
disukai.
Bila
diduga
ada
peninggian
TIK,
dilakukan
hiperventilasi
untuk mempertahankan PCO2 sekitar 25-30 mmHg, dan setelah kateter Foley terpasang,
diberikan mannitol 1,5 g/kg IV. Tindakan ini juga dilakukan pada pasien dengan
perburukan neurologis progresif seperti perburukan hemiparesis, anisokoria progresif,
atau penurunan tingkat kesadaran. Dilakukan elektrokardiografi, dan denyut nadi
dipantau.
Darah diambil saat jalur intravena dipasang. Hitung darah lengkap, hitung
platelet, elektrolit, nitrogen urea darah, creatinin serum, waktu protrombin, waktu
tromboplastin parsial, dan tes fungsi hati dinilai. Foto polos dilakukan bila perlu.
Setelah penilaian secara cepat dan stabilisasi pasien, dilakukan CT-scan kepala
tanpa kontras. Sekali diagnosis PIS ditegakkan, pasien dibawa untuk mendapatkan
pemeriksaan radiologis lain yang diperlukan, ke unit perawatan intensif, kamar operasi
atau ke bangsal, tergantung status klinis pasien, perluasan dan lokasi perdarahan, serta
etiologi perdarahan. Sasaran awal pengelolaan adalah pencegahan perdarahan ulang dan
mengurangi efek massa, sedang tindakan berikutnya diarahkan pada perawatan medikal
umum serta pencegahan komplikasi.9
perdarahan ulang lebih tinggi. Pertahankan tekanan darah 10-20 % di atas tingkat
normotensif untuk mencegah vasospasme, namun cukup rendah untuk menekan risiko
perdarahan. Beberapa menganjurkan asam aminokaproat, suatu agen antifibrinolitik.
Namun manfaat serta indikasinya tetap belum jelas.
Kasus dengan koagulasi abnormal, risiko perdarahan ulang atau perdarahan
yang berlanjut sangat nyata kecuali bila koagulopati dikoreksi. Pasien dengan
kelainan perdarahan lain dikoreksi sesuai dengan penyakitnya.
Mengurangi Efek Massa
Pengurangan efek massa dapat dilakukan secara medikal maupun bedah.
Pasien dengan peninggian TIK dan atau dengan area yang lebih fokal dari efek massa,
usaha nonbedah untuk mengurangi efek massa penting untuk mencegah iskemia serebral
sekunder dan kompresi batang otak yang mengancam jiwa. Tindakan untuk mengurangi
peninggian TIK antara lain: (9)
1. Elevasi kepala higga 30o untuk mengurangi volume vena intrakranial serta
memperbaiki drainase vena.
2. Manitol intravena (mula-mula 1,5 g/kg bolus, lalu 0,5 g/kg tiap 4-6 jam
untuk mempertahankan osmolalitas serum 295-310 mOsm/L).
3. Restriksi cairan ringan (67-75% dari pemeliharaan) dengan penambahan bolus cairan
koloid bila perlu.
4. Ventrikulostomi dengan pemantauan TIK serta drainase CSS untuk mempertahankan
TIK kurang dari 20 mmHg.
5. Intubasi endotrakheal dan hiperventilasi, mempertahankan PCO2 25-30 mmHg.
Pada pasien sadar dengan efek massa regional akibat PIS, peninggian kepala,
restriksi
cairan,
dan
manitol
biasanya
memadai.
Tindakan
ini
dilakukan
untuk memperbaiki tekanan perfusi serebral dan mengurangi cedera iskemik sekunder.
Harus ingat bahwa tekanan perfusi serebral adalah sama dengan tekanan darah arterial
rata-rata dikurangi tekanan intrakranial, hingga tekanan darah sistemik harus
dipertahankan pada tingkat normal, atau lebih disukai sedikit lebih tinggi dari tingkat
17
normal. Diusahakan tekanan perfusi serebral setidaknya 70 mmHg, bila perlu memakai
vasopresor seperti dopamin intravena atau fenilefrin. (9)
Pasien sadar dipantau dengan pemeriksaan neurologis serial, pemantauan TIK
jarang diperlukan. Pada pasien koma yang tidak sekarat (moribund), TIK dipantau secara
rutin. Disukai ventrikulostomi karena memungkinkan mengalirkan CSS, karenanya lebih
mudah mengontrol TIK. Perdarahan intraventrikuler menjadi esensial karena sering
terjadi hidrosefalus akibat hilangnya jalur keluar CSS. Lebih disukai pengaliran CSS
dengan ventrikulostomi dibanding hiperventilasi untuk pengontrolan TIK jangka lama.
Pemantauan TIK membantu menilai manfaat tindakan medikal dan membantu
memutuskan apakah intervensi bedah diperlukan. (9)
Pemakaian kortikosteroid untuk mengurangi edema serebral akibat PIS pernah
dilaporkan bermanfaat pada banyak kasus anekdotal. Namun penelitian menunjukkan
bahwa deksametason tidak menunjukkan manfaat, di samping jelas meningkatkan
komplikasi (infeksi dan diabetes). Namun digunakan deksametason pada perdarahan
parenkhimal karena tumor yang berdarah dimana CT-scan memperlihatkan edema
serebral yang berat. (9)
Perawatan Umum
Pasien dengan perdarahan intraventrikuler atau kombinasi dengan perdarahan
subarakhnoid atau parenkhimal akibat robeknya aneurisma nimodipin diberikan 60 mg
melalui mulut atau NGT setiap 4 jam. Belum ada bukti pemberian intravena lebih baik.
Namun penggunaan pada PIS non-aneurismal belum pasti. (9)
Antikonvulsan diberikan begitu diagnosis PIS supratentorial ditegakkan,
kecuali bila perdarahan terbatas pada thalamus atau ganglia basal. Secara inisial disukai
fenitoin, karena kadar darah terapeutik dapat dicapai dalam 1 jam dengan pemberian IV,
mudah pemberiannya, dan efektif mencegah kejang umum. Pada dewasa, pembebanan 1
g IV (50 mg/menit) diikuti 300-400 mg IV atau oral perhari. Tekanan darah harus
dipantau selama pembebanan IV karena infus yang terlalu cepat dapat berakibat
penurunan tekanan darah mendesak. Sebagai tambahan, EKG harus dipantau karena
fenitoin berkaitan dengan aritmia cardiac termasuk pelebaran interval PR dan gelombang
Q dengan diikuti kolaps vaskuler. Kadar fenitoin dipantau ketat dan dosis disesuaikan
18
hingga kadar fenitoin serum dalam jangkauan terapeutik (10-20 g/ml) dan pasien bebas
kejang. (9)
Antikonvulsan lain seperti fenobarbital (60 mg/IV atau oral, dua kali sehari,
kadar terapeutik darah 20-40 g/ml) dan Carbamazepin (200 mg oral, 3-4 kali sehari,
kadar terapeutik 4-12 g/ml). Kejang bisa bersamaan dengan peninggian dramatik TIK
dan tekanan darah sistemik, yang dapat menyebabkan perdarahan, karenanya harus
dicegah. Selain itu hipoksia dan asidosis sering tampak selama aktifitas kejang, potensial
untuk menambah cedera otak sekunder. (9)
Pengelolaan metabolik yang baik diperlukan pada pasien dengan PIS. Status
cairan, elektrolit serum, dan fungsi renal harus ditaksir berulang, terutama pada pasien
dengan restriksi cairan, mendapat manitol atau diuretika lain, atau tidak makan. Nutrisi
memadai adalah esensial. (9)
Penggunaan manitol
Pada gangguan neurologis, Diuretic Osmotik (Manitol) merupakan jenis diuretik
yang paling banyak digunakan. Manitol adalah suatu Hiperosmotik Agent yang
digunakan dengan segera meningkat. Volume plasma untuk meningkatkan aliran darah
otak dan menghantarkan oksigen (Norma D McNair dalam Black, Joyce M, 2005). Ini
merupakan salah satu alasan manitol sampai saat ini masih digunakan untuk mengobati
klien menurunkan peningkatan tekanan intrakranial. Manitol selalu dipakai untuk terapi
edema otak, khususnya pada kasus dengan Hernisiasi. Manitol masih merupakan obat
untuk menurunkan tekanan intrakranial, tetapi jika hanya digunakan sebagai mana
mestinya. Bila tidak semestinya akan menimbulkan toksisitas dari pemberian manitol,
dan hal ini harus dicegah dan dimonitor. (9)(10)
Indikasi dan dosis pada terapi menurunkan tekanan intrakranial.
Terapi penatalaksanaan untuk menurunkan peningkatan tekanan intrakranial
dimulai bilamana tekanan Intrakranial 20-25 mmHg. Management penatalaksanaan
peningkatan tekanan Intrakranial salah satunya adalah pemberian obat diuretik
osmotik
(manitol),
khususnya
pada
keadaan
patologis
edema
otak.
Rencana edukasi :
Oleh karena efek piracetam pada agregasi platelet, peringatan harus diberikan
pada penderita dengan gangguan hemostatis atau perdarahan hebat.
2.
Injeksi Citicoline
Indikasi : Gangguan kesadaran yang menyertai kerusakan atau cedera serebral,
trauma serebral, operasi otak, dan infark serebral. Mempercepat rehabilitasi
tungkai atas dan bawah pada pasien hemiplegia apopleksi.
Dosis : Gangguan kesadaran karena cedera kepala atau operasi otak 100-500 mg 12x/hari secara IV drip atau injeksi. Gangguan kesadaran karena infark serebral 1000
mg 1x/hari secara injeksi IV. Hemiplegia apopleksi 1000 mg 1x/hari secara oral atau
injeksi IV.
Pemberian obat : berikan pada saat makan atau di antara waktu makan.
Efek samping : hipotensi, ruam, insomnia, sakit kepala, diplopia.
Mekanisme kerja :
sistem pengaktifan
formatio
reticularis
ascendens
yang
OPERASI (3)
21
Untuk menentukan pasien mana yang harus di operasi adalah suatu masalah
yang sulit. Ada beberapa pandangan yang dapat dijadikan patokan / pedoman :
Dari seluruh penderita PISH hanya sedikit kasus yang harus di operasi
Kriteria memilih pasien untuk operasi harus ketat dan sesuai dengan normanorma kemanusiaan. Harapan terhadap hasil tindakan operasi harus terfokus
terhadap quality of survival yang dapat diterima oleh pasien, keluarganya dan
masyarakat.
intracerebral hemorrhage melakukan pilihan acak terhadap 1033 pasien dalam kurun
waktu 72 jam setelah terjadi onset. Rata-rata operasi dilakukan dalam waktu 20 jam
setelah onset. Kriteria keberhasilan didasarkan atas usia, volume hematoma dan skor
Skala Koma Glasgow. Tidak ada perbedaan yang bermakna antara kelompok operatif
dan nonoperatif didalam outcome dan mortalitas.
4. Stereotactic Or Endoscopic Aspiration Of Parenchymal Clot
Dalam suatu seri dari 56 pasien dengan perdarahan di daerah gangglia basalis,
aspirasi stereotaktik menunjukkan perbaikan yang jelas dari skor Skala Koma
Glasgow, komplikasi lebih sedikit dan mortalitas lebih rendah dibandingkan dengan
sekelompok penderita yang mendapat terapi medikamentosa.
5. Stem Cell Therapy
Setelah hematoma di evakuasi, penelitipeneliti melakukan berbagai percobaan
untuk memperoleh perbaikan fungsional dengan menggunakan stem cell untuk
memperbaiki cerebral architecture yang telah rusak. Human neural stem cell di
injeksikan intravena satu hari setelah PIS eksperimental pada tikus. Setelah dua
bulan , stem cell telah bermigrasi di bagian pinggiran hematoma dimana mereka
berdifrensiasi dengan neuronneuron dan astrosit-astrosit. Hewan hewan ini
mempunyai fungsi motorik yang lebih baik dibandingkan dengan kelompok kontrol.
Hal serupa ditemukan juga bila nestinpositive embryonic stem cell ditransplantasikan
kedalam ventrikel yang kontralateral. Tujuh hari setelah PIS eksperimental pada tikus,
PIS tampaknya merupakan suatu kondisi dimana stem cell therapy dapa memegang
peranan penting. Stem cell dapat di suntikkan langsung kedalam rongga hematoma
dimana kerusakan sel sangat banyak terjadi dibatas antara hematoma dan jaringan
otak. Stem cell di suntikkan pada saat operasi mengevakuasi hematoma.
L. PROGNOSIS
Perdarahan yang besar jelas mempunyai morbiditas dan mortalitas yang tinggi.
diperkirakan mortalitas seluruhnya berkisar 26-50%. Mortalitas secara dramatis
meningkat pada perdarahan talamus dan serebelar yang diameternya lebih dari 3 cm, dan
pada perdarahan pons yang lebih dari 1 cm. Untuk perdarahan lobar mortalitas berkisar
dari 6-30 %. Bila volume darah sesungguhnya yang dihitung (bukan diameter
23
hematomnya), maka mortalitas kurang dari 10% bila volume darahnya kurang dari 20
mm3 dan 90% bila volume darahnya lebih dari 60 mm3.
Kondisi neurologik awal setelah terserang perdarahan juga penting untuk
prognosis pasien. Pasien yang kesadarannya menurun mortalitas meningkat menjadi 63%.
Mortalitas juga meningkat pada perdarahan yang besar dan letaknya dalam, pada fossa
posterior atau yang meluas masuk ke dalam ventrikel. Felmann E mengatakan bahwa
45% pasien meninggal bila disertai perdarahan intraventrikular. Suatu penilaian dilakukan
untuk memperkirakan mortalitas dalam waktu 30 hari pertama dengan menggunakan 3
variabel pada saat masuk rumah sakit yaitu Glasgow Coma Scale (GCS), ukuran
perdarahan dan tekanan nadi. Perdarahan kecil bila ukurannya kurang dari satu lobus,
sedangkan perdarahan besar bila ukurannya lebih dari satu lobus. Bila GCS lebih dari 9,
perdarahannya kecil, tekanan nadi kurang dari 40 mmHg, maka probabilitas hidupnya
dalam waktu 30 hari adalah 98%. Tetapi bila pasien koma, perdarahannya besar dan
tekanan nadinya lebih dari 65 mmHg, maka probabilitas hidupnya dalam waktu 30 hari
hanya 8%. Pada PIS hipertensif jarang terjadi perdarahan ulang. (8)
BAB III
KESIMPULAN
Perdarahan intraserebral (PIS) adalah perdarahan fokal dari pembuluh darah dalam
parenkim otak. Penyebabnya biasanya hipertensi kronis. Gejala umum termasuk defisit
neurologis fokal, seringkali dengan onset mendadak sakit kepala, mual, dan penurunan
kesadaran. Kebanyakan perdarahan intraserebral juga dapat terjadi ganglia basal, lobus otak,
otak kecil, atau pons. Perdarahan intraserebral juga dapat terjadi di bagian lain dari batang
otak atau otak tengah. Aada sindroma utama yang menyertai stroke hemoragik menurut
Smith dapat dibagi menurut tempat perdarahannya yaitu putaminal hemorrhage, thalamic
hemorrhage, pontine hemorrhage, cerebellar hemorrhage, lobar hemorrhage.
Pemeriksaan penunjang dengan lumbal pungsi, CT-scan, MRI, serta angiografi.
Adapun penatalaksanannya di ruang gawat darurat (evaluasi cepat dan diagnosis, terapi
umum, stabilisasi jalan napas dan pernapasan, stabilisasi hemodinamik, pemeriksaan awal
fisik umum, pengendalian peninggian TIK, pengendalian kejang, pengendalian suhu tubuh,
24
DAFTAR PUSTAKA
1. Jody Corey-Bloom, Ronald B. David . Clinical Adult of Neurology 3 rd ed. New York :
Demosmedical: 2009 .p. 270-279.
2. Matthew E. Fewel, B, Gregory Thompson, Jr., Julian T. Hoff. Spontaneous Intracerebral
Hemorrhage Neurosurgeon Focus. 2003;15
3. Perdarahan Intraserebral Hipertensif Abdul Gofar Sastrodiningrat Divisi Ilmu Bedah
Saraf Departemen Ilmu Bedah Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, Medan
Suplemen Majalah Kedokteran Nusantara Volume 39 y No. 3 y September 2006.
4. Lewis B. Morgenstern. Guidelines for the Management of Spontaneous Intracerebral
Hemorrhage. September 2010 .p. 2109-2124
5. Michael J. Aminoff, David A. Greenberg, Roger P. Simon :Clinical Neurology 6 th edition
Lange medical book.2005.p.285-316.
6. Baehr M, Frotscher M. Duus : Topical Diagnosis in Neurology. 4th revised edition. New
York : Thieme. 2005 .p.417-479.
25
26