You are on page 1of 15

REFERAT

GANGGUAN PANIK

Diajukan kepada
dr. Wiharto, Sp.KJ.

Disusun oleh :
Arrosy Syarifah
Dhea Danni Agisty
Dwijayanti Titie A.
Katharina L. Prastiwi
Hana Kharunnisa
Krisna D.

G4A015001
G4A015002
G4A015006
G4A015007
G4A015082
G4A015085

SMF ILMU PENYAKIT JIWA


FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU-ILMU KESEHATAN
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS JENDERAL SODIRMAN
RSUD PROF. DR. MARGONO SOEKARJO
PURWOKERTO
2016

LEMBAR PENGESAHAN
REFERAT
GANGGUAN PANIK

Diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan mengikuti


Kepaniteraan Klinik pada SMF Ilmu Kesehatan Jiwa
RSUD Margono Soekarjo

Disusun oleh :
Arrosy Syarifah
Dhea Danni Agisty
Dwijayanti Titie A.
Katharina L. Prastiwi
Hana Kharunnisa
Krisna D.

G4A015001
G4A015002
G4A015006
G4A015007
G4A015082
G4A015085

Telah disetujui
Pada tanggal :

Desember 2016

Menyetujui,

dr. Wiharto, Sp.KJ

I.

CONTOH KASUS

Wanita Asia-Amerika berusia 35 tahun dirujuk ke psikiater dengan


assesment cemas .Di asssesment ini ia menggambarkan insiden 2 tahun lalu
dengan keluhan nyeri dada dan berpikir bahwa dia mengalami serangan jantung.
Gejala lain seperti sesak napas, jantung berdebar, berkeringat , dan
pusing.Keluarganya membawanya ke ruang gawat darurat, di mana dia medapat
pemeriksaan medis .Tidak ada bukti mengenai masalah jantung. Setelah hari itu,
dia berhenti mengemudi karena takut mengalami nyeri dada. Dia tidak dapat hadir
ke even

olahraga anak-anaknya,

naik bus, atau

pergi ke gereja karena

ketakutannya. Meskipun pasien tidak mampu untuk menentukan stressor tertentu


sebelum onset, terdapat kejadian yang telah terjadi 2 tahun sebelumnya saat
terbangun dengan nyeri dada yang membuatnya stres. Peristiwa tersebut, kematian
seorang teman dekat dengan kanker dan kehilangan pekerjaan suaminya. Tidak
ada riwayat masalah emosional. Ada riwayat asma. Ketika pasien berusia 12
tahun, ayahnya meninggal mendadak karena serangan jantung
Meskipun gangguan panik sebagai kesatuan diagnostik muncul hanya pada
tahun 1980 dengan publikasi DSM-III, sindrom secara klinis anak serupa muncul
jauh lebih awal , soldiers heart; neurocirculatory asthenia ( wheeler et al 1950).
Seiring dengan paroxymal sistem saraf otonom, kognisi, ada deskripsi menyoroti
mendalam tentang kelelahan, saat ini

bukan bagian dari kriteria diagnostik

( meskipun pasien dengan gangguan panik laporan sering kelelahan yang ekstrim
setelah mengalami sebuah serangan ).Militer konteks dikembangkan sindrom ini
yang terlibat prominant peran stres dan trauma , menunjukkan kemungkinan
daerah etiological tumpang tindih dengan posttraumatic stres dissorder (PTSD) ,
gangguan lain yang sering serangan panik. Gangguan panik adalah gangguan
kecemasan yang telah menjadi yang telah paling intensif dipelajari selama selama
tiga dekade terakhir, adanya pemahaman akan psikologi dan neurobiologi dari
kecemasan dan telah membantu komunitas medis dan masyarakat secara umum
menghargai sejauh mana gangguan kecemasan dapat dianggap sebagai masalah
kesehatan publik yang membutuhkan perhatian serius Roy Byrne et al. 2006).
II.

DIAGNOSIS DAN EVALUASI KLINIS

Penjelasan mengenai gangguan panik mengalami sedikit perubahan antara


DSM III dan DSM 5, dengan elemen terpenting dari sindrom yang tidak berubah.
Diagnosis gangguan panik (kotak 12.5). Membutuhkan adanya serangan panik
berulang bersama dengan baik 1) Khawatir tentang kemungkinan serangan di
masa depan atau 2) Pembentukan fobia seperti menghindari/tinggal jauh dari
tempat atau situasi yang dapat menimbulkan serangan panik atau melarikan diri
atau meminta bantuan dalam suatu acara dari keadaan yang tidak mungkin atau
sulit (misalnya, mengemudi di jembatan atau duduk di bioskop yang ramai) atau
perubahan lain dalam perilaku karena serangan (misalnya., sering berkunjung ke
dokter karena kekhawatiran tentang penyakit medis yang tidak terdiagnosis).
Serangan panik yang tiba-tiba, setidaknya kadang-kadang tak terduga dari waktu
ke waktu), disertai dengan beberapa gejala fisik (misalnya, kardiorespirasi,
otoneurologik, gastrointestinal, dan/atau otonom) (lihat DSM 5 specifier serangan
panik dalam kotak 12.6).
Serangan ini sangat menakutkan, terutama karena mereka terlihat keluar
dari biru dan tanpa penjelasan. Serangan begitu membuat individu mungkin
melakukan permusuhan hingga menghindari tempat-tempat atau situasi di mana
individu merasa sulit (misalnya, mengendarai mobil di jalan bebas hambatan) atau
memalukan (misalnya, duduk di film) pada kejadian serangan. Pada suatu ketika,
individu mungkin takut bahwa serangan panik adalah serangan jantung, dan dapat
melakukan kunjungan berulang ke ruang gawat darurat mencari perawatan/dokter.
Individu juga dapat menjadi sangat terfokus pada dirinya sendiri atau fisiologi
dari tubuhnya sendiri, waspada terhadap perubahan jantung atau tingkat
pernapasan yang ia percaya dari pengalaman serangan sebelumnya mungkin
mengalami serangan panik dan menghindari kegiatan (misalnya, olahraga) yang
mungkin memproduksi perasaannya.

A. Berulangnya serangan panik yang tak terduga. Serangan panik adalah


lonjakan tiba-tiba rasa takut yang intens pada rasa ketidaknyamanan yang
mencapai puncaknya dalam beberapa menit, dan selama waktu tersebut di
ikuti empat (atau lebih) gejala berikut:
Catatan: Lonjakan tiba-tiba dapat terjadi dari keadaan tenang atau keadaan
cemas
1. Palpitasi, Jantung berdebar, atau detak jantung yang meningkat
2. Berkeringat
3. Gemetar
4. Sensasi nafas yang terasa pendek atau sesak nafas
5. Perasaan tersedak
6. Nyeri dada atau rasa tidaknyamanan
7. Mual atau distress abdominal
8. Perasaan pusing, goyah, silau saat melihat cahaya, atau pingsan
9. Menggigil atau sensasi panas
10. Parestesia (mati rasa atau kesemutan)
11. Derealization (perasaan tak nyata) atau depersonalisasi (perasaan
terpisah dari diri sendiri)
12. Takut kehilangan kontrol atau "menjadi gila"
13. Takut mati
Catatan: Gejala spesifik budaya (misalnya: tinnitus, leher pegal, sakit
kepala, berteriak yang tidak terkontrol atau menangis) dapat dijumpai.
Gejala seperti yang disebutkan seharusnya tidak dihitung sebagai salah satu
dari empat gejala yang dibutuhkan.
B. Setidaknya salah satu serangan diikuti selama 1 bulan (atau lebih) dari satu
D. Gangguan
ini berikut:
tidak lebih baik dijelaskan oleh gangguan mental lain
atau kedua hal
1. Kekhawatiran
atau terjadi
khawatir
serangan
panic
(misalnya:
seranganterus-menerus
panik tidak hanya
dalamtentang
menanggapi
situasi
tambahan
atau seperti
konsekuensi
mereka (misalnya:
kehilangan
kendali,
sosial
yang ditakuti,
dalam gangguan
anxietas sosial;
respon dalam
mengalami
serangan
"menjadi
gila")
menanggapi
fobia
benda jantung,
atau situasi,
seperti
pada fobia spesifik; respon
2. Perubahan maladaptif yang signifikan dalam perilaku yang berhubungan
terhadap obsesi, seperti pada gangguan obsesif-kompulsif, respon
dengan serangan (misalnya: perilaku yang dirancang untuk menghindari
terhadap hal yang mengiatkan peristiwa traumatis, seperti dalam gangguan
serangan panik, seperti menghindari latihan atau situasi asing)
pasca tidak
trauma,
atau respon
dalam
terhadap
sosok (misalnya:
tokoh,
C. stres
Gangguan
disebabkan
oleh
efek perpisahan
fisiologis dari
substansi
seperti
dalam gangguan
kecemasan
perpisahan).
Penyalahgunaan
obat-obatan
narkotika,
pengobat pnyakit tertentu) atau
kondisi medis lain (misalnya: hipertiroid, gangguan cardiopulmonal)

Kotak 12.5 DSM 5 Kriteria Gangguan Panik

Catatan: Gejala-gejala berikut bertujuan untuk mengidentifikasi serangan panik.


Namun, serangan panik bukan merupakan gangguan mental dan tidak dapat
dikodekan. Serangan panic dapat terjadi dalam konteks gangguan kecemasan
manapun, demikian juga dalam gangguan mental lainnya (seperti gangguan
depresi, gangguan stress post-trauma, dan penggunaan zat-zat) serta beberapa
kondisi medis (seperti jantung, respirasi, vestibular, gastrointestinal). Saat
serangan panic teridentifikasi, hal ini harus dicatat sebagai detail dari sebuah
gangguan (misal. gangguan stress post-trauma dengan serangan panic). Untuk
gangguan panik, adanya serangan panic terkandung dalam kriteria gangguan panik
dan serangan panic tidak digunakan sebagai detailnya.
Rasa takut mendadak yang intens atau rasa tidak nyaman yang intens, yang
mencapai klimaks dalam beberapa menit, dan dalam waktu tersebut terjadi empat
(atau lebih) gejala berikut:
1. Palpitasi, jantung berdebar-debar, detak jantung semakin cepat
2. Berkeringat
3. Gemetar
4. Sensasi napas yang memendek atau sesak napas
5. Rasa tersedak
6. Nyeri dada atau rasa tidak nyaman di dada
7. Mual atau nyeri perut
8. Merasa pusing, tidak seimbang, kepala terasa ringan, atau pingsan
9. Sensasi dingin atau panas
10. Parestesi (terasa baal atau kesemutan)
11. Derealisasi atau depersonalisasi
12. Takut hilang kendali atau menjadi gila
13. Takut mati
Catatan: Gejala khusus (seperti tinnitus, nyeri leher, sakit kepala, jeritan yang
tidak dapat dikontrol, atau menangis) dapat terjadi. Gejala tersebut tidak dihitung
sebagai satu dari empat gejala yang harus ada.

Kotak 12.6 DSM 5 Serangan Panik Specifier

Seiring berjalannya waktu (hari ke bulan, bulan ke tahun) kejadian


serangan panik berulang dapat menyebabkan seseorang membatasi aktivitasnya
sebagai usaha untuk mencegah serangan panik berulang dalam situasi yang
bersangkutan.

Hal ini merupakan penghindaran fobia perfasif yang dikenal

sebagai agorafobia, yang seringkali menyebabkan disabilitas luas dalam


gangguan panik. Tingkat penghindaran fobia sangat beragam antar individu, dan
faktor-faktor yang mempengaruhi hal tersebut belum diketahui secara jelas.
Dalam DSM 4 gangguan panik dan agorafobia ditegakan menjadi satu
diagnosis sedangkan dalam DSM 5 gangguan panik dan agorafobia masingmasing ditegakkan secara terpisah.
Tidak semua serangan panik, bahkan serangan panik berulang adalah
indikasi gangguan panik. Serangan panik dapat timbul pada individu dengan fobia
spesifik ketika dihadapkan pada objek yang ditakuti (contoh yang paling sering
adalah ketinggian, ular, dan laba-laba) atau individu dengan SAD ketika
dihadapkan pada situasi yang sangat mereka amati. Perbedaan dalam situasi
tersebut adalah pada individu dengan fobia spesifik atau SAD mereka sangat
menyadari sumber ketakutan sedangkan dalam gangguan panik, jenis yang sama
dari sensasi yang dialami tidak beralasan dan tidak diketahui penyebabnya.
Serangan panik dapat juga timbul pada individu dengan PTSD, ketika dihadapkan
pada situasi yang mengingatkan kejadian traumatik. Hal tersebut dapat memicu
serangan panik dan dapat sangat sulit untuk membedakan PTSD dengan serangan
panik kecuali jika riwayat pengalaman traumatik sebelumnya diketahui.
Individu dengan serangan panik seringkali meyakini bahwa gejala somatik
yang mereka alami secara intens merupakan indikasi masalah fisik serius (contoh
cardiologi dan neurologi).Hal ini terutama berlaku pada awal perjalanan penyakit
mereka dan situasi dimana mereka tidak mendapatkan perawatan yang baik yang
meliputi diagnostik yang sesuai dan edukasi penyakit yang mereka alami. Dalam
gangguan cemas penyakit, terdapat keyakinan bahwa penyakit timbul tanpa
pengalaman somatik yang kuat.
Gangguan panik sering berhubungan dengan masalah medis komorbid.
Kondisi seperti prolaps katup mitral, asma, penyakit meniere, migrain, dan sleep
apneu dapat menonjolkan gejala panik, namun kondisi tersebut jarang, bila ada,
dipertimbangkan sebagai penyebab gangguan panik. Kebalikannya, serangan
panik dapat timbul sebagai akibat langsung dari kondisi umum seperti hipertiroid,

kafein, penggunaan atau penyalahgunaan stimulan lainnya (contohnya kokain,


metamfetamin), serta pada kondisi yang lebih jarang seperti feokromositoma atau
kejak parsial kompleks.
Pada kebanyakan kasus, riwayat kesehatan menyeluruh, pemeriksaan
fisik, EKG rutin, kadar TSH, serta skrining darah serta urin terhadap obat-obatan
cukup sebagai aturan pertama dalam kondisi tersebut. Akan tetapi ketika riwayat
diketahui, pemeriksaan tambahan mungkin dibutuhkan. Penting, walaupun
diagnosis gangguan panik dapat ditegakkan tanpa perlu menyingkirkan setiap
kondisi medis yang jarang yang dapat membingungkan atau memperburuk, dokter
wajib untuk menilai ulang differensial diagnosis jika perjalanan penyakit berubah,
gejala menjadi atipikal, atau apabila pasien tidak berespon terhadap pengobatan.
Data dari survey prospektif berbasis data populasi Belanda, menunjukan
hubungan yang kuat antara ide bunuh diri dan percobaan bunuh diri. Merupakan
kewajiban seorang dokter untuk menanyakan mengenai komorbiditas depresi,
secara umum, dan ide serta rencana bunuh diri, khususnya. Pasien anxious
depressed berisiko tinggi bunuh diri dibandingkan pasien melankoli dan memiliki
retardasi mental.
Tanpa pengobatan gejala panik cenderung mengalami relaps dan remisi
saja. Hanya sebagian kecil pasien mengalami remisi tanpa relaps dalam beberapa
tahun.

III.

ETIOLOGI

Etiologi dari gangguan panik belum dapat dipahami dengan baik. Namun
penelitian selama beberapa dekade terus memberikan informasi pada pemahaman
tentang kontribusi bilogis dan psikologis terhadap perkembangan dan penanganan
gangguan panic. Poin substansial dari bukti epidemiologis telah diteliti factor
resiko dari gangguan panic. Seperti gangguan pskiatris pada umumnya, model
stress- diathesis masih umum digunakan untuk menjelaskan genesis dan
penanganan dari gangguan panic. Beberapa studi telah menyarankan bahwa
trauma awal kehidupan ataupun perlakuan yang salah (Stein et al. 1996)
merupakan factor resiko yang penting, meskipun resiko tersebut tidak unik
terhadap gangguan panic, meluas ke gangguan cemas maupun depresi sama
halnya dengan disosiatif dan gangguan personalitas tertentu. kejadian hidup yang
dipenuhi dengan stress berkontribusi pada waktu dan onset penanganan dari
gangguan tersebut. Beberapa studi telah berimplikasi bawha merokok dan
ketergantungan nikotin sebagai faktor resiko pada onset akhir dari gangguan panic
(Cosci et al. 2010).
Genetik
Dua studi identik menyatakan bahwa gangguan panik hampir separuhnya
diwariskan (-40%) (Gelernter and Stein 2009). Dari sudut pandang genetic,
diyakini merupakan gangguan panic, seperti gangguan panic lainnya, merupakan
gangguan kompleks dengan multiple gen memberikan kerentanan melalui jalur
yang masih belum dapat ditentukan. (Manolio et al. 2009; Smoller et al. 2009)
Meskipun jumlah keluarga berdasarkan (contoh, tautan) dan genetic lain
(contoh, asosiasi) studi telah dilakukan pada gangguan panic, temuan yang kuat
dan berulang

telah di perbarui (Schumacher et al. 2011). Bagaimanapun,

beberapa petunjuk yang menjanjikan telah muncul (Logue et al. 2012). Sebagai
contoh, beberapa studi telah berimplikasi bahwa adenosine 2A gen reseptor
(ADORA2A) memiliki peran nyata dalam gangguan panic, konsisten dengan efek
anxiogenik dari kafein, antagonis yang telah diketahui pada reseptor ini (Hohoff et
al.

2010). Studi asosiasi memeriksa

gen yang

terlibat

pada

system

neurotransmitter lainnya yang berasosiasi dengan rasa takut dan cemas (contoh
norepinefrin dan serotonin) memiliki hasil yang tidak konsisten, hasilnya sering
tidakberulang. Hasil yang paling konsisten melibatkan gen 22q11 catechol O-

methyl transferase (COMT)

mengkode enzim yang bertanggungjawab untuk

metabolism norepinefrin.
Meskipun penelitian ini memliki keterbatas dari pemahaman tentang
patofisiologi dari gangguan panic dan ketidakmampuan kami untuk mengenali
warisan fenotip terbanyak dari penyakit, kegagalan untuk mereplikasi beberapa
asosiasi genetik adalah masalah yang tidak unik pada gangguan panic. Sebagai
gantinya, kegagalan ini merefleksikan pembatasan inheren pada pendekatan
genetic yang masih ada untuk mempelajari kelainan genetic yang kompleks
(Manolio et al. 2009).
Neurobiologi
Diawali pada tahun 1967 melalui observasi Pitt diketahui bahwa sodium
laktat hiperosmolar memicu terjadinya serangan panik pada pasien dengan
gangguan panic tetapi hal yang sama tidak berlaku pada subjek control (Pitts dan
McClure, 1967). Beberapa kumpulan studi menunjukkan bahwa agen dengan
mekanisme

kerja

berbeda

seperti

kafein,

isoproterenol,

yohimbine,

karbondioksida, dan kolesistokinin memiliki kemampuan yang hampir sama


dalam memprovokasi timbulnya serangan panic pada pasien dengan gangguan
panic, namun tidak berlaku pada subjek control (Roy-Bryne, et al, 2006).
Banyak dari agen percobaan neurobiological yang diperkirakan memiliki
efek spesifik dalam sirkuit pengatur rasa takut di otak, yang dipercaya memiliki
fungsi yang menyimpang pada pasien dengan gangguan panic. Gambar 12.1
menggambarkan system yang berpengaruh dan perannya pada gangguan panic.
Studi percobaan agen-agen ini dilakukan guna mengindikasikan abnormalitas
biokimia spesifik yang terdapat pada gangguan panic.
Bagaimanapun, banyak investigator yang menyetujui bahwa sebagian
besar efek dapat timbul oleh karena komponen yang dijelaskan pada teori dasar
dari gangguan panic, yang menekankan bahwa pasien dengan gangguan panic
akan salah menginterpretasikan dan menjadi takut terhadap gangguan yang
diterima secara psikologis. Jadi, sensitivitas otak yang meningkat seiring dengan
peningkatan kadar karbondioksodasudah menjadi teori utama dalam etiologi
munculnya gangguan panic. Studi terbaru menunjukkan bahwa pasien dapat
diajarkan untuk menaikan atau menurunkan kadar PCO2 secara kronis dan bahwa

manipulasi ini dapat memperbaiki gangguan panic yang mereka alami (Kim, et al,
2012).
Perubahan fungsi sirkuit rasa takut secara umum ditemukan pada berbagai
gangguan kecemasan dengan adanya disfungsi bagian amigdala dan koneksinya
yang dipercaya memainkan peranan sebagai penyebab dalam kaitannya dengan
patofisiologi gangguan yang berhubungan dengan rasa takut termasuk gangguan
panic, fobia social, dan PTSD (Etkin dan Wager, 2007).
Disfungsi amigdala mungkin juga dapat menjadi faktor penyebab yang
penting dalam timbulnya kecemasan secara umum (Stein, et al, 2007). Data
neuroimaging menyatakan bahwa beberapa struktur otak dalam hal ini insula turut
terlibat dalam kewaspadaan intensif dari sensasi somatic yang dialami pasien
dengan gangguan panic dan gangguan terkait (Paulus, dan Stein, 2010).
Data ini penting guna menunjukkan hubungan yang lebih dekat antara
teori psikologis dan biologis dari gangguan panic dalam tahun-tahun kedepan.

Gambar 12.1 Sirkuit Neural Gangguan Panik

Psikologi
Teori psikodinamik gangguan panik, cenderung menekankan pada masalah
amarah dan konflik, yang masih belum pasti, namun sudah sedikit dipelajari
secara empiris (Busch dan Milrid, 2009). Teori yang sedang dipelajari menyatakan

bahwa faktor-faktor penting yang meningkatkan sensasi pada tubuh merupakan


hal yang menentukan onset dan pemeliharaan gangguan panik. Salah satu faktor
tersebut adalah sensitivitas kecemasan, yaitu keyakinan bahwa sensasi yang
terkait dengan kecemasan adalah hal yang berbahaya. Individu yang mendapat
skor tinggi pada sensitivitas kecemasan berada pada peningkatan risiko untuk
mengalami serangan panik dan untuk perkembangan gangguan panik.
Peningkatan sensitivitas kecemasan mungkin disebabkan

oleh

multifactorial, beberapa penelitian menyatakan bahwa hal tersebut mungkin


timbul dari pengalaman tidak menyenangkan yang berlangsung secara berulang
(misal penganiayaan di masa kecil, penyakit fisik yang dialami seperti asma),
pengamatan pribadi (misal penyakit atau kematian yang terjadi pada anggota
keluarga), atau pemaksaan dari orang tua atau melihat contoh reaksi terhadap
stress. Faktor tersebut dapat berkontribusi pada peningkatan atensi interoseptif
(atensi pada sensasi internal) yang menyebabkan suatu individu mengalami
serangan panic dan menjadi merasa ketakutan apabila hal tersebut terjadi. Merasa
takut akan ketakutan terbentuk setelah serangan panik yang pertama terjadi dan
dipercaya bahwa hal tersebut merupakan hasil dari keadaan interoseptif (keadaan
takut terhadap isyarat internal seperti jantung yang berdebar-debar) dan penilaian
yang salah akan hal yang akan terjadi setelahnya yang mengindikasikan sesuatu
yang menakutkan atau berbahaya (misal: hilang kendali, serangan jantung atau
stroke) (Bouton et al., 2001).
Bagan 12.3 mengilustrasikan siklus dari distorsi kognitif dan perubahan
perilaku yang terdapat pada gangguan panik. Hal ini merupakan model teori yang
mendasari aplikasi cognitive-behavioral therapy (CBT) pada gangguan ini
(Meuret et al., 2012).

Bagan 12.3. Faktor Kognitif dan Perilaku pada Gangguan Panik

DAFTAR PUSTAKA
Robert E. Hales, M.D., M.B.A,Stuart C. Yudofsky, M.D.,Laura Weiss Roberts,
M.D., M.A., 2014. Textbook of Psychiatry, Sixth Edition. Washington,
DC: The American Psychiatric Publishing. Page 404-412

You might also like