You are on page 1of 30

BAB I

STATUS PASIEN

I.1

I.2

Identitas Pasien
Nama

: Tn.BD

Umur

: 31 tahun

Jenis kelamin

: Laki-laki

Status Perkawinan

: Belum menikah

Alamat

: Pondok Aren, Tangerang Selatan

No RM

: 02-22-65-76

Tanggal Masuk

: 25 Desember 2015

Anamnesis
A. Keluhan utama
Nyeri perut kanan bawah sejak 1 hari SMRS
B. Riwayat Penyakit Sekarang
Sejak 1 hari SMRS perut kanan bawah terasa nyeri. Nyeri awalnya
dirasakan di ulu hati, kemudian berpindah ke perut kanan bawah. Nyeri yang
dirasakan terus-menerus dan terasa seperti diremas remas. Pasien juga
mengeluh mual dan muntah 4 kali dalam satu hari. Pasien juga mengeluh
demam sejak 1 hari SMRS, tetapi suhu tubuh tidak terlalu tinggi. Riwayat
BAK lancar, berwarna kuning jernih dan tidak nyeri saat BAK. Riwayat
BAB normal, tidak berdarah dan tidak diare. Pasien belum minum obat
apapun untuk menghilangkan keluhan-keluhannya.

C. Riwayat Penyakit Dahulu


Riwayat nyeri seperti ini sebelumnya, DM, Hipertensi, penyakit ginjal dan
pembedahan disangkal
D. Riwayat Penyakit Keluarga
Riwayat DM, Hipertensi, dan keganasan disangkal
I.3

Pemeriksaan Fisik
Kesadaran

: Compos Mentis

Keadaan Umum

: Tampak Sakit Sedang

Tanda-tanda Vital
- Tekanan Darah: 130/80 mmHg

- Laju Pernapasan: 20 kali/menit

- Suhu: 37,5 C

- Nadi: 92 kali/menit

Status Generalis :
1. Kepala

2.

Bentuk

: Normocephal

Rambut

: Distribusi merata, tidak mudah dicabut

Edema

: Tidak ada

Mata

: Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-).


3. Hidung
4. Mulut

: Sekret (-), deviasi septum (-)


: Bibir tidak sianosis, faring tidak

hiperemis,
tonsil T1-T1 tidak hiperemis
5. Leher

: KGB tidak teraba, kelenjar tiroid

tidak membesar, deformitas (-)


6. Thorax
Cor

: Inspeksi

: Ictus cordis tak tampak.

Palpasi

: Ictus cordis teraba

Perkusi

: Batas pinggang jantung ICS III parasternal kiri


Batas kiri jantung ICS V midklavikularis kiri

Batas kanan jantung ICS V midstrenalis kanan


Auskultasi
Pulmo : Inspeksi

: BJ I-II reguler, murmur(-), gallop (-)


: Dinding dada simetris, retraksi interkostal (-)

Palpasi

: Vokal fremitus paru kanan = kiri normal

Perkusi

: Sonor pada kedua lapang paru

Auskultasi

: Suara dasar

: Vesikuler +/+

Suara tambahan : Ronkhi (-/-), wheezing (-/-)


7. Pemeriksaan Extremitas
Superior

: Edema (-/-), akral hangat (+), CRT < 2 detik

Inferior

: Edema (-/-), akral hangat (+), CRT < 2 detik

Status lokalis Regio Abdomen:


Inspeksi

: Datar, supel

Auskultasi

: Bising usus (+) normal

Palpasi

: Mc Burney Sign (+), Defans lokal (+), Blumberg Sign (-),


Rovsing Sign (-), Psoas Sign (+), Obturator Sign (-)

Perkusi

: Timpani

I.4 Pemeriksaan Penunjang


Laboratorium (25 Desember 2015)
Jenis Pemeriksaan

Hasil

Nilai Rujukan

19,46

5-10 ribu/mm3

HEMATOLOGI
Darah Rutin
Leukosit
Hitung Jenis

Netrofil

94,3

50-70%

Limfosit

3,0

25-40%

Monosit

2,6

2-8%

Eosinofil

2-4%

Basofil

0,1

0-1%

5,72

4,5-6,5 juta/L

15,3

13,0-18,0 g/dL

43

40-52 %

75,7

80-100 fL

26,7

26-34 mg/dl

35,3

32-36%

13,2

11,5-14,5%

230

150-440ribu/mm3

Eritrosit
Hemoglobin
Hematokrit
MCV
MCH
MCHC
RDW-CV
Trombosit

HEMOSTASIS
PT-INR
Masa Prothrombin (PT)

13,1

10-14 detik

INR

0,96

0,83 1,10 detik

Control

14,7

12-15 detik

APTT OS

37,0

28 40 detik

Control

32,3

26 37 detik

132

<180 mg/dL

Natrium (Na)

143,0

135-145 mmol/L

Kalium (K)

4,00

3,5-5,5 mmol/L

Klorida (Cl)

107,0

98-109 mmol/L

AST (SGOT)

19

0-37 U/L

ALT (SGPT)

21

0-40 U/L

Warna Urin

Kuning

Kuning

Kejernihan

Jernih

Jernih

Berat Jenis Urine

1.020

1.005-1.030

6.0

5.5-8.0

Protein Urine

Neg

Negatif

Glukosa Urine

Neg

Negatif

Keton Urine

Neg

Negatif

Bilirubin Urine

Neg

Negatif

APTT

KIMIA KLINIK
Glukosa Darah Sewaktu
Elektrolit

URINE
Urine Lengkap
- Kimia Urine

pH Urine

Urobilinogen Urine

Neg

0,11,0

Nitrit Urine

Neg

Negatif

Darah Samar Urine

Neg

Negatif

Leukosit Esterase

Neg

Negatif

Leukosit

2-3

36

Eritrosit

01

Sel epitel

POS (+)

Positif

Silinder Granular Cast

Negatif

Silinder Hialin

Negatif

Bakteri

Negatif

Kristal

Negatif

Lain lain

Negatif

- Mikroskopis Urine

1.5 Resume
Pasien laki-laki usia 31 tahun datang dengan keluhan nyeri pada perut
bagian kanan bawah sejak 1 hari SMRS. Nyeri awalnya dirasakan di ulu hati
kemudian berpindah dan menetap di perut kanan bawah. Nyeri yang dirasakan
seperti di remas - remas dan terjadi terus-menerus. Pasien juga mengeluh demam
dengan suhu yang tidak terlalu tinggi, mual dan muntah 4 kali dalam sehari. Pada
pemeriksaan status lokalis regio abdomen didapatkan bentuk perut datar,
perabaan supel, bising usus (+) normal, Mc Burney sign (+), Defans lokal (+),
Blumberg Sign (-), Rovsing Sign (-), Psoas Sign (+), Obturator Sign (-), perkusi
timpani.
I.6 Diagnosis Kerja
Appendisitis Akut
I.7 Penatalaksanaan

Pro Appendiktomi Cito


IVFD RL 500 ml / 8 jam
Ceftazidime 2 x 1 g IV
Ketorolac 3 x 30 mg IV

I.8 Operasi
Prosedur Operasi
Operasi dilakukan tanggal 25 Desember 2015 dengan prosedur sebagai berikut:

Pasien dalam posisi supinasi diatas meja operasi dalam anestesi spinal
Dilakukan a dan antisepsis daerah operasi dan sekitarnya
Dilakukan insisi oblique melewati titik Mc Burney menembus kutis,

subkutis dan fascia


Saat peritoneum dibuka, tampak ileum, dilokalisir ke medial
Identifikasi caecum, tampak appendiks letak ante-caecal, hiperemis, edema,

dengan ukuran 10 x 1,5 x 1,5 cm. Tidak ada perforasi, pus dan fecalith
Dilakukan appendiktomi, puntung appendiks dibenamkan dalam caecum

dengan jahitan purse string


Luka operasi ditutup lapis demi lapis
Operasi selesai

Gambar 1. Jaringan appendiks yang telah dievakuasi

Gambar 2. Post operasi

Asuhan Pasca Bedah


Awasi Tanda Vital
IVFD RL : D5 / 24 jam
Ceftazidime 2 x 1 g
Ketorolac 3 x 30 mg
Ranitidin 2 x 50 mg
Diet bebas
Kirim jaringan biopsi ke Patologi Anatomi
I.9 Follow Up
28 Desember 2015
S : Nyeri daerah operasi (+) , mual (-), muntah (-), demam (-)
O : KU/Kesadaran : Tampak sakit ringan/compos mentis

Tanda Vital :
Tekanan Darah : 120/80 mmHg
Laju Pernapasan : 16 kali/menit
Nadi: 84 kali/menit
Suhu : 37C

Mata : konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik(-/-)

Mulut : mukosa lembab, sianosis (-)

Leher : tidak teraba KGB


8

Thorax
Cor

: BJ I-II regular, gallop (-), Murmur (-)

Pulmo : Simetris, Vesikuler +/+, Rhonki -/-, Wheezing-/

Abdomen:
Tampak luka operasi tertutup kassa, rembesan darah (-)

Ekstremitas: akral hangat, edema (-), sianosis (-), CRT < 2 detik

A : Appendisitis Akut Post Appendiktomi


P : Acc pulang
Cefixime 2 x 100mg PO
Asam Mefenamat 3 x 500mg PO
Kontrol 2 minggu kemudian (8-1-2016)

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

II.1 Anatomi dan Histologi Appendiks Vermiformis


Secara embriologi, appendiks merupakan kelanjutan dari sekum dan pertama
kali terlihat pada bulan kelima kehamilan. Appendiks tidak memanjang secepat usus
besar, sehingga apendiks membentuk seperti struktur cacing.1,2,3 Appendiks
merupakan organ berbentuk tabung, panjangnya kira-kira 10 cm (kisaran 3-15 cm),
diameter masuk lumen apendiks antara 0,5-15 mm dan berpangkal di sekum. Letak
basis appendiks berada pada posteromedial sekum pada pertemuan ketiga taenia koli,
yaitu taenia libera, taenia mesocolica dan taenia omentum, kira-kira 1-2 cm di bawah
ileum. Lumennya sempit di bagian proksimal dan melebar di bagian distal. Namun
demikian, pada bayi, apendiks berbentuk kerucut, lebar pada pangkalnya dan
menyempit kearah ujungnya.4

Gambar . Anatomi Apendiks Vermiformis4

Secara histologi, epitel mukosa appendiks adalah epitel selapis torak yang
mempunyai sel goblet sangat banyak. Di dalam lamina propria terdapat banyak
nodulus limfatikus, memenuhi sekeliling dindingnya. Tunika submukosa berupa
jaringan ikat jarang tanpa kelenjar dan terdapat banyak serbukan limfosit yang berasal
dari lamina propria. Apendiks mempunyai dua lapis lapisan muskulus. Lapisan dalam
berbentuk sirkuler yang merupakan kelanjutan dari lapisan muskulus sekum,

10

sedangkan lapisan luar berbentuk muskulus longitudinal yang dibentuk oleh fusi dari
3 taenia coli diperbatasan antara sekum dan appendiks.5

Gambar 3. Histologi appendiks vermiformis

Gejala klinik appendisitis ditentukan oleh letak apendiks. Jenis posisi-posisi


apendiks adalah sebagai berikut:6

Gambar 4.

Posisi

Apendiks
Vermiformis

11

a) Posisi pelvika : ujung apendiks terletak agak ke


kaudal, pada kedudukan ini
mungkin apendiks melekat pada tuba atau ovarium kanan
b)
c)
d)
e)
f)

Posisi retrosekal : apendiks terletak retroperitoneal di belakang sekum


Posisi ileocecal
Posisi antecaecal : terletak di depan sekum
Posisi anteileal : terletak di depan ileum
Posisi retroileal : terletak di belakang ileum
Persarafan parasimpatis berasal dari cabang n.vagus (nervus X) yang mengikuti

a.mesentrika superior dan a.apendikularis, sedangkan persarafan simpatis berasal dari


n.torakalis X. Oleh karena itu, nyeri visceral pada apendisitis bermula di umbilikus.
Pendarahan apendiks berasal dari a.apendikularis yang merupakan cabang bagian
bawah dari a.ileocolica. Arteri apendiks termasuk end arteri (tanpa kolateral). Jika
arteri ini tersumbat, misalnya karena trombosis pada infeksi, apendiks akan
mengalami ganggren.4
II.2 Fisiologi Appendiks
Appendiks menghasilkan lendir 1-2 ml per hari. Lendir itu normalnya
dialirkan ke dalam lumen dan selanjutnya mengalir ke sekum. Immunoglobulin
sekretoar yang dihasilkan oleh GALT (gut associated lymphoid tissue) yang terdapat
di sepanjang saluran cerna termasuk appendiks, ialah IgA. Immunoglobulin ini sangat
efektif sebagai pelindung terhadap infeksi. Namun demikian, pengangkatan
appendiks tidak mempengaruhi sistem imun tubuh karena jumlah jaringan limfe di
sini kecil sekali jika dibandingkan dengan jumlahnya di saluran cerna dan di seluruh
tubuh.6
II.3 Definisi
Appendisitis

merupakan

peradangan

pada

mukosa

organ

Appendiks

Vermiformis.7

12

II.4. Epidemiologi
Appendisitis dapat ditemukan pada semua umur, hanya pada anak kurang dari
satu tahun jarang dilaporkan. Insidens tertinggi pada kelompok umur 20-30 tahun.
Insidens pada lelaki dan perempuan umumnya sebanding, kecuali pada umur 20-30
tahun, insidens lelaki lebih tinggi.9
II.5 Etiologi
Appendisitis disebabkan karena adanya obstruksi pada lumen appendiks
sehingga terjadi kongesti vaskuler, iskemik nekrosis dan akibatnya terjadi infeksi.
Appendisitis umumnya terjadi karena infeksi bakteri. Penyebab obstruksi yang paling
sering adalah fecalith. Penyebab lain dari obstruksi appendiks meliputi:7
1. Hiperplasia folikel lymphoid
2. Carcinoid atau tumor lainnya
3. Benda asing
4. Parasit
Berbagai spesies bakteri yang dapat diisolasi pada pasien appendisitis yaitu:

Bakteri aerob fakultatif

Bakteri anaerob

Escherichia coli

Bacteroides fragilis

Viridans streptococci

Peptostreptococcus micros

Pseudomonas aeruginosa

Bilophila species

Enterococcus

Lactobacillus species

13

II.6 Klasifikasi
Klasifikasi appendisitis berdasarkan klinikopatologis adalah sebagai berikut:9
II.6.1 Appendisitis Akut

a. Appendisitis Akut Sederhana (Cataral Appendicitis)


Proses peradangan baru terjadi di mukosa dan sub mukosa disebabkan
obstruksi. Sekresi mukosa menumpuk dalam lumen appendiks dan terjadi
peningkatan tekanan dalam lumen yang mengganggu aliran limfe, mukosa
appendiks jadi menebal, edema, dan kemerahan. Gejala diawali dengan rasa
nyeri di daerah umbilikus, mual, muntah, anoreksia, malaise, dan demam
ringan. Pada appendicitis kataral terjadi leukositosis dan appendiks terlihat
normal, hiperemia, edema, dan tidak ada eksudat serosa.
b. Appendisitis Akut Purulenta (Supurative Appendicitis)
Tekanan dalam lumen yang terus bertambah disertai edema menyebabkan
terbendungnya aliran vena pada dinding appendiks dan menimbulkan
trombosis. Keadaan ini memperberat iskemia dan edema pada apendiks.
Mikroorganisme yang ada di usus besar berinvasi ke dalam dinding
appendiks menimbulkan infeksi serosa sehingga serosa menjadi suram
karena dilapisi eksudat dan fibrin. Pada appendiks dan mesoappendiks
terjadi edema, hiperemia, dan di dalam lumen terdapat eksudat
fibrinopurulen. Ditandai dengan rangsangan peritoneum lokal seperti nyeri
tekan, nyeri lepas di titik Mc Burney, defans muskuler, dan nyeri pada gerak
aktif dan pasif. Nyeri dan defans muskuler dapat terjadi pada seluruh perut
disertai dengan tanda-tanda peritonitis umum.
c. Appendisitis Akut Gangrenosa
Bila tekanan dalam lumen terus bertambah, aliran darah arteri mulai
terganggu sehingga terjadi infark dan gangren. Selain didapatkan tandatanda supuratif, appendiks mengalami gangren pada bagian tertentu. Dinding
appendiks berwarna ungu, hijau keabuan atau merah kehitaman. Pada

14

appendicitis akut gangrenosa terdapat mikroperforasi dan kenaikan cairan


peritoneal yang purulen.

II.6.2 Appendisitis Infiltrat


Appendisitis infiltrat adalah proses radang appendiks yang penyebarannya
dapat dibatasi oleh omentum, usus halus, sekum, kolon dan peritoneum sehingga
membentuk gumpalan massa flegmon yang melekat erat satu dengan yang lainnya.
II.6.3 Appendisitis Abses
Appendisitis abses terjadi bila massa lokal yang terbentuk berisi nanah (pus),
biasanya di fossa iliaka kanan, lateral dari sekum, retrocaecal, subcaecal, dan pelvic.
II.6.4 Appendisitis Perforasi
Appendisitis perforasi adalah pecahnya appendiks yang sudah gangren yang
menyebabkan pus masuk ke dalam rongga perut sehingga terjadi peritonitis umum.
Pada dinding appendiks tampak daerah perforasi dikelilingi oleh jaringan nekrotik.
II.6.5 Appendisitis Kronis
Appendisitis kronis merupakan lanjutan appendisitis akut supuratif sebagai
proses radang yang persisten akibat infeksi mikroorganisme dengan virulensi rendah,
khususnya obstruksi parsial terhadap lumen. Diagnosa appendisitis kronis baru dapat
ditegakkan jika ada riwayat serangan nyeri berulang di perut kanan bawah lebih dari
dua minggu, radang kronik appendiks secara makroskopik dan mikroskopik. Secara
histologis, dinding appendiks menebal, sub mukosa dan muskularis propia
mengalami fibrosis. Terdapat infiltrasi sel radang limfosit dan eosinofil pada sub
mukosa, muskularis propia, dan serosa. Pembuluh darah serosa mengalami dilatasi.
II.7 Patofisiologi Appendisitis10
15

Appendisitis merupakan peradangan appendiks yang mengenai semua lapisan


dinding organ tersebut. Tanda patogenetik primer diduga karena obstruksi lumen dan
ulserasi mukosa menjadi langkah awal terjadinya appendisitis. Obstruksi intraluminal
appendiks menghambat keluarnya sekresi mukosa dan menimbulkan distensi dinding
appendiks. Sirkulasi darah pada dinding appendiks akan terganggu. Adanya kongesti
vena dan iskemia arteri menimbulkan luka pada dinding appendiks. Kondisi ini
mengundang invasi mikroorganisme yang ada di usus besar memasuki luka dan
menyebabkan proses radang akut, kemudian terjadi proses irreversibel meskipun
faktor obstruksi telah dihilangkan.
Appendisitis dimulai dengan proses eksudasi pada mukosa, sub mukosa, dan
muskularis propia. Pembuluh darah pada serosa kongesti disertai dengan infiltrasi sel
radang neutrofil dan edema, warnanya menjadi kemerah-merahan dan ditutupi
granular membran. Pada perkembangan selanjutnya, lapisan serosa ditutupi oleh
fibrinoid supuratif disertai nekrosis lokal disebut appendisitis akut supuratif. Edema
dinding appendiks menimbulkan gangguan sirkulasi darah sehingga terjadi ganggren,
warnanya menjadi hitam kehijauan yang sangat potensial ruptur. Pada semua dinding
appendiks tampak infiltrasi radang neutrofil, dinding menebal karena edema dan
pembuluh darah kongesti.
Appendiks yang pernah meradang tidak akan sembuh dengan sempurna, tetapi
akan membentuk jaringan parut. Jaringan ini menyebabkan terjadinya perlengketan
dengan jaringan sekitarnya. Perlengketan tersebut dapat kembali menimbulkan
keluhan pada perut kanan bawah. Pada suatu saat organ ini dapat mengalami
peradangan kembali dan dinyatakan mengalami eksaserbasi.

16

Bagan 1. Patofisiologi Appendisitis

II.8 Manifestasi Klinis6,9


1.

Nyeri perut
Nyeri perut merupakan keluhan utama yang biasanya dirasakan pasien

dengan apendisitis akut. Karakteristik nyeri perut penting untuk diperhatikan


klinisi karena nyeri perut pada apendisitis memiliki ciri-ciri dan perjalanan
penyakit yang cukup jelas. Nyeri pada apendisitis muncul mendadak (sebagai
salah satu jenis dari akut abdomen) yang kemudian nyeri dirasakan samarsamar dan tumpul. Nyeri merupakan suatu nyeri viseral yang dirasakan
17

biasanya pada daerah epigastrium atau periumbilikus. Nyeri viseral terjadi terus
menerus kemudian nyeri berubah menjadi nyeri somatik dalam beberapa jam.
Lokasi nyeri somatik umumnya berada di titik McBurney, yaitu pada 1/3
lateral dari garis khayalan dari spina iliaka anterior superior (SIAS) dan
umbilikus. Nyeri somatik dirasakan lebih tajam, dengan intesitas sedang sampai
berat. Pada suatu metaanalisis, ditemukan bahwa neyri perut yang berpindah
dan berubah dari viseral menjadi somatik merupakan salah satu bukti kuat
untuk menegakkan diagnosis apendisitis.
Sesuai dengan anatomi apendiks, pada beberapa manusia letak apendiks
berada retrosekal atau berada pada rongga retroperitoneal. Keberadaan apendiks
retrosekal menimbulkan gejala nyeri perut yang tidak khas apendisitis karena
terlindungi sekum sehingga rangsangan ke peritoneum minimal. Nyeri perut
pada apendisitis jenis ini biasanya muncul apabila pasien berjalan dan terdapat
kontraksi musculus psoas mayor secara dorsal.
2. Mual dan muntah
Gejala mual dan muntah pada pasien appendisitis terjadi karena
rangsangan nervus vagus.
3.

Gejala sistemik
Secara umum, pasien apendisitis akut memiliki tanda-tanda pasien
dengan radang atau nyeri akut. Takikardia dan demam ringan-sedang sering
ditemukan. Demam pada apendisitis umumnya sekitar 37,5 38,5C. Demam
yang terus memberat dan mencapai demam tinggi perlu dipikirkan sudah
terjadinya perforasi.

II.9 Diagnosis
Diagnosis apendisitis bergantung pada penemuan klinis, yaitu dari
anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Anamnesis
mengenai gejala nyeri perut beserta perjalanan penyakitnya, gejala penyerta

18

seperti mual, muntah. Mengenai pemeriksaan fisik untuk menemukan tandatanda yang khas pada apendisitis, dan pemeriksaan penunjang untuk menunjang
diagnosis pasti.9
a. Anamnesis
Anamnesis ditegakkan berdasarkan keluhan pasien. Anamnesis
mengenai gejala nyeri perut beserta perjalanan penyakitnya, gejala penyerta
seperti mual, muntah. Anamnesis merupakan hal yang sangat penting dalam
penentuan awal diagnosis. Nyeri yang khas pada appendisitis berupa
perpindahan nyeri dari paraumbilikal ke arah abdomen kuadran kanan bawah
dalam beberapa jam merupakan kunci penting awal penentuan diagnosis.
Riwayat mual muntah juga perlu ditanyakan dalam pasien ini, juga
anamnesis mengenai riwayat penyakit lalu, siklus haid jika pada wanita dan
keluhan lain guna menyingkirkan diagnosis banding.
b. Pemeriksaan Fisik
Inspeksi
Pada apendisitis akut sering ditemukan adanya abdominal swelling,
sehingga pada pemeriksaan jenis ini biasa ditemukan distensi abdomen.
Palpasi
Pada daerah perut kanan bawah apabila ditekan akan terasa nyeri. Dan
bila tekanan dilepas juga akan terasa nyeri. nyeri tekan perut kanan bawah
merupakan kunci diagnosis dari apendisitis. Pada penekanan perut kiri
bawah akan dirasakan nyeri pada perut kanan bawah, ini disebut tanda
Rovsing (Rovsing sign). Dan apabila tekanan pada perut kiri dilepas maka
juga akan terasa sakit di perut kanan bawah, ini disebut tanda Blumberg
(Blumberg sign).
Pemeriksaan colok dubur
Pemeriksaan ini dilakukan pada apendisitis untuk menentukkan letak
apendiks apabila letaknya sulit diketahui. Jika saat dilakukan pemeriksaan

19

ini terasa nyeri, maka kemungkinan apendiks yang meradang di daerah


pelvis. Pemeriksaan ini merupakan kunci diagnosis apendisitis pelvika.
Uji psoas dan uji obturator
Pemeriksaan ini dilakukan juga untuk mengetahui letak apendiks yang
meradang. Uji psoas dilakukan dengan rangsangan otot psoas mayor lewat
hiperekstensi sendi panggul kanan, kemudian paha kanan ditahan. Bila
apendiks yang meradang menempel pada m.psoas mayor, maka tindakan
tersebut akan menimbulkan nyeri. Sedangkan pada uji obturator dilakukan
gerakan fleksi dan endorotasi sendi panggul pada posisi terlentang. Bila
apendiks yang meradang kontak dengan m.obturator internus yang
merupakan dinding panggul kecil, maka tindakan ini akan menimbulkan
nyeri. Pemeriksaan ini dilakukan pada apendisitis pelvika
c. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan penunjang kurang bermakna pada diagnosis apendisitis
karena penegakan diagnosis umumnya cukup berasal dari penemuan klinis.
Pemeriksaan urin dan darah perifer lengkap dapat membantu dengan
menunjukkan adanya tanda-tanda inflamasi secara umum, yaitu adanya
leukositosis. Dengan penemuan klinis dan pemeriksaan laboratorium, dapat
digunakan suatu alat bantu untuk diagnosis apendisitis akut, yaitu Alvarado
Score. Dengan memperoleh nilai lebih dari 7 maka appendisitis akut sudah
dapat ditegakkan.
Tabel 1. Alvarado Score

Keterangan
Gejala

Manifestasi

Skor

Adanya migrasi nyeri

Anoreksia

20

Tanda

Mual/muntah

Nyeri perut kuadran kanan bawah

Nyeri lepas

Febris

Leukositosis

Shift to the left

Total poin

10

Laboratorium

Keterangan:
0-4

: kemungkinan Appendisitis kecil

5-6

: bukan diagnosis Appendisitis

7-8

: kemungkinan besar Appendisitis

9-10

: hampir pasti menderita Appendisitis

Bila skor 5-6 dianjurkan untuk diobservasi di rumah sakit, bila skor >6 maka tindakan
bedah sebaiknya dilakukan.
Beberapa pemeriksaan penunjang yang diperlukan dalam menunjang diagnosis
appendisitis adalah :
1. Darah rutin
Pemeriksaan laboratorium rutin sangat membantu dalam mendiagnosis

21

apendisitis akut, terutama untuk mengesampingkan diagnosis lain. Pemeriksaan


laboratorium yang dilakukan adalah jumlah leukosit darah. Jumlah leukosit
darah biasanya meningkat pada kasus apendisitis. Hitung jumlah leukosit darah
merupakan pemeriksaan yang mudah dilakukan dan memiliki standar
pemeriksaan terbaik. Pada kebanyakan kasus terdapat leukositosis, terlebih
pada kasus dengan komplikasi berupa perforasi. Peningkatan jumlah leukosit
darah yang tinggi merupakan indikator yang dapat menentukan derajat
keparahan apendisitis. Tetapi penyakit inflamasi pelvik terutama pada wanita
akan memberikan gambaran laboratorium yang terkadang sulit dibedakan
dengan apendisitis akut.
Terjadinya apendisitis akut dan adanya perubahan dinding apendiks
vermiformis secara signifikan berhubungan dengan meningkatnya jumlah
leukosit darah. Temuan ini menunjukkan bahwa peningkatan jumlah leukosit
berhubungan dengan peradangan mural dari apendiks vermiformis, yang
merupakan tanda khas pada apendisitis secara dini.
Beberapa menekankan bahwa leukosit darah polimorfik merupakan fitur
penting dalam mendiagnosis apendisitis akut. Leukositosis ringan, mulai dari
10.000 - 18.000 sel/mm3, biasanya terdapat pada pasien apendisitis akut.
Namun, peningkatan jumlah leukosit darah berbeda pada setiap pasien
apendisitis. Beberapa pustaka lain menyebutkan bahwa leukosit darah yang
meningkat >12.000 sel/mm3 pada sekitar tiga-perempat dari pasien dengan
apendisitis akut. Apabila jumlah leukosit darah meningkat >18.000 sel/mm3
menyebabkan kemungkinan terjadinya komplikasi berupa perforasi.
Selain itu pada CRP ditemukan jumlah serum yang meningkat. CRP
adalah salah satu komponen protein fase akut yang akan meningkat 4-6 jam
setelah terjadinya proses inflamasi, dapat dilihat melalui proses elektroforesis
serum protein. Angka sensitivitas dan spesifisitas CRP yaitu 80% dan 90%.
2. Urinalisis
Sekitar 10% pasien dengan nyeri perut memiliki penyakit saluran kemih.
Pemeriksaan laboratorium urin dapat mengkonfirmasi atau menyingkirkan

22

penyebab urologi yang menyebabkan nyeri perut. Meskipun proses inflamasi


apendisitis akut dapat menyebabkan piuria, hematuria, atau bakteriuria
sebanyak 40% pasien, jumlah eritrosit pada urinalisis yang melebihi 30 sel per
lapangan pandang atau jumlah leukosit yang melebihi 20 sel per lapangan
pandang menunjukkan terdapatnya gangguan saluran kemih.
3. Ultrasonografi
Ultrasonografi berguna dalam memberikan diferensiasi penyebab nyeri
abdomen akut ginekologi, misalnya dalam mendeteksi massa ovarium.
Ultrasonografi juga dapat membantu dalam mendiagnosis apendisitis perforasi
dengan adanya abses.Dapat pula dilakukan jika curiga adanya massa atau abses.
4. Appendicogram
Appendicogram dengan non-filling apendiks (negatif appendicogram)
merupakan apendisitis. Appendicogram dengan partial filling (parsial
appendicogram) diduga sebagai apendisitis dan appendicogram dengan kontras
yang mengisi apendiks secara total (positif appendicogram) merupakan
apendiks yang normal.
Appendicogram sangat berguna dalam menegakkan diagnosis apendisitis
kronis,

karena

merupakan

pemeriksaan

yang

sederhana

dan

dapat

memperlihatkan visualisasi dari apendiks dengan derajat akurasi yang tinggi.


II.10 Diagnosis Banding
1. Gastroenteritis
Pada gastroenteritis, mual, muntah, dan diare mendahului rasa sakit. Sakit
perut lebih ringan dan tidak berbatas tegas. Hiperperistaltis sering ditemukan.
Panas dan leukositosis kurang menonjol dibandingkan dengan apendisitis akut.
2. Kelainan ovulasi
Folikel ovarium yang pecah (ovulasi) mungkin memberikan nyeri perut
kanan bawah pada pertengahan siklus menstruasi.
3. Salpingitis

23

Salpingitis akut kanan sering dikacaukan dengan apendisitis akut. Suhu


biasanya lebih tinggi daripada apendisitis dan nyeri perut bagian bawah perut
lebih difus.
4. Kehamilan ektopik
Hampir selalu ada riwayat terlambat haid dengan keluhan yang tidak
menentu. Jika ada ruptur tuba atau abortus kehamilan di luar rahim dengan
pendarahan, akan timbul nyeri yang mendadak difus di daerah pelvis dan
mungkin terjadi syok hipovolemik.
5. Kista ovarium terpuntir
Timbul nyeri mendadak dengan intensitas yang tinggi dan teraba massa
dalam rongga pelvis pada pemeriksaan perut, colok vaginal, atau colok rektal.

6. Endometriosis ovarium eksterna


Endometrium di luar rahim akan memberikan keluhan nyeri di tempat
endometriosis berada, dan darah menstruasi terkumpul di tempat itu karena
tidak ada jalan keluar.
7. Ureterolithiasis
Adanya riwayat kolik dari pinggang ke perut menjalar ke inguinal kanan
merupakan gambaran yang khas. Eritrosituria sering ditemukan.
8. Penyakit saluran cerna lainnya
Penyakit lain yang perlu diperhatikan adalah peradangan di perut, seperti
divertikulitis Meckel, perforasi tukak duodenum atau lambung, kolesistitis akut,
pankreatitis, divertikulitis kolon, obstruksi usus awal, perforasi kolon, demam
tifoid abdominalis, karsinoid, dan mukokel apendiks.
II.11 Tatalaksana
Appendektomi8
Setelah penegakan diagnosis apendisitis dilakukan, tata laksana utama

24

pada apendisitis adalah Apendektomi. Tata laksana mulai diarahkan untuk


persiapan

operasi

meningkatkan

untuk

keberhasilan

mengurangi
operasi.

komplikasi

Medikamentosa

pasca-operasi
Persiapan

dan

operasi

dilakukan dengan pemberian medikamentosa berupa analgetik dan antibiotik


spektrum luas, dan resusitasi cairan yang adekuat. Pasien apendisitis seringkali
datang dengan kondisi yang tidak stabil karena nyeri hebat sehingga analgetik
perlu diberikan. Antibiotik diberikan untuk profilaksis.
Sampai saat ini, penentuan waktu untuk dilakukannya apendektomi yang
diterapkan adalah segera setelah diagnosis ditegakkan karena merupakan suatu
kasus gawat-darurat. Beberapa penelitian retrospektif yang dilakukan
sebenarnya menemukan operasi yang dilakukan dini (kurang dari 12 jam
setelah nyeri dirasakan) tidak bermakna menurunkan komplikasi post-operasi
dibanding yang dilakukan biasa (12-24 jam). Akan tetapi ditemukan bahwa
setiap penundaan 12 jam waktu operasi, terdapat penambahan risiko 5%
terjadinya perforasi.
Teknik yang digunakan dapat berupa : (1) operasi terbuka dan (2) dengan
Laparoskopi. Operasi terbuka dilakukan dengan insisi pada titik McBurney
yang dilakukan tegak lurus terhadap garis khayalan antara SIAS dan umbilikus.
Di bawah pengaruh anestesi, dapat dilakukan palpasi untuk menemukan massa
yang membesar. Setelah dilakukan insiso, pemebdahan dilakukan dengan
identiifkasi sekum kemudian dilakukan palpasi ke arah posteromedial untuk
menemukan apendisitis posisi pelvik. Mesoapendiks diligasi dan dipisahkan.
Basis apendiks kemudian dilakukan ligasi dan transeksi.
Apendektomi dengan bantuan laparoskopi mulai umum dilakukan saat ini
walaupun belum ada bukti yang menyatakan bahwa metode ini memberikan
hasil operasi dan pengurangan kejadian komplikasi post-operasi. Perbaikan
infeksi luka tidak terlalu berpengaruh karena insisi pada operasi terbuka juga
sudah dilakukan dengan sangat minimal.
Komplikasi pasca-operasi dari apendektomi adalah terjadinya infeksi luka
dan abses inttraabdomen. Infeksi luka umumnya sudah dapat dicegah dengan

25

pemberian antibiotik perioperatif. Abses intra-abdomen dapat muncul akibat


kontaminasi rongga peritoneum.
II.12 Komplikasi
Komplikasi yang paling berbahaya dari apendisitis apabila tidak
dilakukan penanganan segera adalah perforasi dan sepsis. Sebelum terjadinya
perforasi, biasanya diawali dengan adanya massa periapendikuler terlebih
dahulu. Massa periapendikuler terjadi apabila gangren apendiks masih berupa
penutupan lekuk usus halus. Sebenarnya pada beberapa kasus masa ini dapat
diremisi oleh tubuh setelah inflamasi akut sudah tidak terjadi. Akan tetapi,
risiko terjadinya abses dan penyebaran pus dalam infilitrat dapat terjadi
sewaktu-waktu sehingga massa periapendikuler ini adalah target dari operasi
apendektomi.
Perforasi merupakan komplikasi yang paling ditakutkan pada apendisitis
karena selain angka morbiditas yang tinggi, penanganan akan menjadi semakin
kompleks. Perforasi dapat menyebabkan peritonitis purulenta yang ditandai
nyeri hebat seluruh perut, demam tinggi, dan gejala kembung pada perut.
Bising usus dapat menurun atau bahkan menghilang karena ileus paralitik yang
terjadi. Pus yang menyebar dapat menjadi abses inttraabdomen yang paling
umum dijumpai pada rongga pelvis dan subdiafragma. Tata laksana yang
dilakukan pada kondisi berat ini adalah laparotomi eksploratif untuk
membersihkan pus-pus yang ada. Sekarang ini sudah dikembangkan teknologi
drainase pus dengan laparoskopi sehingga pembilasan dilakukan lebih mudah.
II.13 Prognosis
Kebanyakan pasien setelah operasi appendektomi sembuh spontan
tanpa penyulit, namun komplikasi dapat terjadi apabila pengobatan tertunda
atau telah terjadi peritonitis/peradangan di dalam rongga perut. Cepat dan
lambatnya penyembuhan setelah operasi usus buntu tergantung dari usia

26

pasien, kondisi, keadaan umum pasien, penyakit penyerta misalnya diabetes


mellitus, komplikasi dan keadaan lainya yang biasanya sembuh antara 10
sampai 28 hari.

BAB III
PEMBAHASAN
Pasien Tn.BD berusia 31 tahun datang dengan keluhan nyeri perut kanan
bawah sejak 1 hari SMRS. Nyeri perut awalnya dirasakan di ulu hati kemudian
berpindah dan menetap di perut kanan bawah. Nyeri yang dirasakan terus-menerus
dan pasien merasa mual. Muntah juga dialami pasien 4 kali dalam sehari. Keluhan
demam disangkal. Riwayat BAK dan BAB normal. Sebelumnya pasien belum pernah
mengalami keluhan seperti ini.
Dari anamnesis diatas didapatkan riwayat perjalanan penyakit yang sangat
singkat, yaitu hanya satu hari. Dari kriteria waktu kita dapat berpikir bahwa sakit
yang diderita pasien ini bersifat akut. Organ organ yang terdapat di kuadran kanan
bawah antara lain colon ascendens, caecum, appendiks vermiformis, ileum terminal,
ureter, dan tuba fallopi. Pada anamnesis didapatkan adanya perpindahan nyeri dari

27

uluhati ke perut kuadran kanan bawah yang merupakan nyeri khas pada appendisitis,
dimana nyeri di ulu hati terjadi karena adanya obstruksi lumen appendiks yang
menyebabkan

mukus yang di produksi mukosa mengalami bendungan, lama

kelamaan semakin banyak dan

mengakibatkan terjadinya peningkatan tekanan

intraluminal appendiks dan distensi lumen appendiks sehingga menstimulasi serabut


serabut nyeri visceral di saraf simpatis. Kemudian berpindah ke kuadran kanan
bawah

karena peradangan menyebar ke peritoneum parietal yang melekat pada

dinding abdomen sehingga menstimulasi saraf somatik. Nyeri terus-menerus juga


menggambarkan appendisitis yang bersifat akut. Adanya mual dan muntah pada
pasien ini terjadi karena distensi lumen appendiks yang menyebabkan perangsangan
nervus vagus.
Pada pemeriksaan fisik, suhu tubuh memasuki batas subfebris yang
merupakan tanda appendisitis akut dimana suhu tubuh naik tetapi tidak terlalu tinggi.
Pada pemeriksaan status lokalis regio abdomen didapatkan nyeri tekan perut kuadran
kanan bawah atau pada titik Mc Burney yang merupakan tanda kunci diagnosis
appendisitis akut, hal ini menunjukkan karena adanya peningkatan tekanan
intraluminal, sehingga terjadi gangguan aliran limfe dan terjadi edema yang lebih
hebat. Kemudian pemeriksaan Psoas sign (+) dimana terjadi karena adanya
rangsangan muskulus psoas oleh peradangan yang terjadi pada appendiks.
Pemeriksaannya dilakukan secara pasif dengan cara pasien miring ke kiri, lalu paha
kanan pasien dihiper-ekstensikan oleh pemeriksa, dan kemudian terdapat nyeri pada
perut kanan bawah.
Dari pemeriksaan penunjang laboratorium darah lengkap, didapatkan kesan
leukositosis dengan jumlah leukosit sebesar 19.460 sel/mm 3, dimana biasanya pada
appendisitis akut, kadar leukosit darah berkisar antara 10.000-18.000 sel/mm3 dan jika
leukosit >18.000 sel/mm3 maka biasanya sudah terjadi perforasi. Tetapi saat dilakukan
appendektomi di meja operasi, ternyata tidak ditemukan adanya perforasi pada pasien
ini. Tidak adanya perforasi juga dapat dilihat dari peningkatan suhu tubuh pasien
yang tidak terlalu tinggi, karena pada perforasi suhu tubuh biasanya >38,5 oC. Hal ini

28

kemungkinan disebabkan dinding appendiks yang belum rapuh, sehingga hanya


terdapat infiltrat radang neutrofil pada dinding appendiks.
Diagnosis kerja pada pasien ini adalah Appendisitis akut dan tatalaksana pada
kasus ini adalah appendektomi, karena sifatnya akut dan tidak terdapat penyulit
lainnya.

DAFTAR PUSTAKA
1.Herrinton JL Jr. The Vermiform appendix: its surgical history. Contemp Surg 1991;
39: 36-44.
2.P. Ronan O Conell. The Vermiform Appendix. Rusell RC, Williams NS, Bulstrode
CJ, (eds). In Bailey and Loves Short Practice of Surgery, 23 rd Ed London, UK:
3.

Arnold Publishers 2000, pp 1076-92.


Rosemary A.Kozar, Joel J. Roslyn. The Appendix. In: Principles of Surgery 7th
International edition, Seymour I Schwatz (ed), McGraw-Hill Health Profession
Division 1999: pp 1383-94.
4. Putz R Pabst R. 2010. Sobotta: Atlas Anatomi Manusia. Jilid 2. Jakarta: EGC.
5.Fajar Arifin, Elna Kartawiguna. 2010. Penuntun Praktikum Kumpulan Foto
Mikroskopik Histologi. Jakarta: Universitas Trisakti.
6. Snell S. 1995. Appendicitis. Dalam Buku Clinical Anatomy for Medical Students
fifth edition.
7. Price, Sylvia Anderson., Wlson, Lorraine McCarty. 2005. Patofisiologi: konsep

29

klinis proses-proses penyakit. Edisi 6. Volume 1. Jakarta: penerbit buku


kedokteran EGC.
8. R. Sjamsuhidajat & Wim de Jong. 1997. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi I. Jakarta:
Penerbit buku kedokteran EGC.
9.Tanto, Chris dkk. 2014. Kapita selekta kedokteran. Edisi 4. Jakarta: Media
aesculapius.
10. Kumar, Vinay dkk. 2007. Buku ajar patologi robbins. Edisi 7. Volume 2.
Jakarta:
Penerbit buku kedokteran EGC.

30

You might also like