You are on page 1of 15

LAPORAN PENDAHULUAN

EPILEPSI
I.

Konsep Penyakit Epilepsi


1.1

Definisi
Epilepsi adalah kejang yang menyerang seseorang yang tampak sehat atau
sebagai suatu ekserbasi dalam kondisi sakit kronis sebagai akibat oleh
disfungsi otak sesaat dimanifestasikan sebagai fenomena motorik, sensorik,
otomotik, atau psikis yang abnormal. Epilepsi merupakan akibat dari
gangguan otak kronis dengan serangan spontan yang berulang (Satyanegara
dalam Nurarf dan Kusuma, 2015).
Epilepsi merupakan gejala kompleks dari banyak gangguan fungsi otak
yang dikarakteristikkan oleh kejang berulang. Kejang merupakan akibat
dari pembebasan listrik yang tidak terkontrol dari sel saraf korteks serebral
yang ditandai dengan serangan tiba-tiba, terjadi gangguan kesadaran
ringan, aktivitas motorik, atau gangguan fenomena sensori (Anonim,
2008).

1.2

Etiologi
1. Idiopatik: Epilepsi pada anak sebagian besar merupakan epilepsi
idiopatik.
2. Faktor herediter: ada beberapa penyakit yang bersifat herediter yang
disertai bangkitan kejang seperti sklerosis tuberosa, neurofibromatosis,
angiomatosis ensefalotrigeminal, fenilketonuria, hipoparatiroidisme,
hipoglikemia.
3. Faktor genetik; pada kejang demam & breath holding spells.
4. Kelainan konginetal otak; atrofi, porensefali, agenesis korpus kalosum.
5. Gangguan metabolik; hipoglikemia, hipokalsemia, hiponatremia,
hipernatremia.
6. Infeksi; radang yang disebabkan oleh bakteri/virus pada otak dan
selaputnya, toksoplasmosis.
7. Trauma; kontusio serebri, hematoma subarakhnoid, hematoma
subdural.
8. Neoplasma otak dan selaputnya.
9. Kelainan pembuluh darah, malformasi, penyakit kolagen
10. Keracunan; Timbal(Pb), kamper(kapur barus), fenotiazin, air
11. Lain-lain; penyakit darah, gangguan keseimbangan hormon,
degenerasi serebral, dll.

1.3

Tanda Gejala
Manifestasi dari epilepsi, yaitu: (Turana, 2007)

1. Sawan Parsial (lokal, fokal)


a. Sawan Parsial Sederhana : sawan parsial dengan kesadaran tetap normal

1) Dengan gejala motorik:


- Fokal motorik tidak menjalar: sawan terbatas pada satu
-

bagian tubuh saja


Fokal motorik menjalar : sawan dimulai dari satu bagian
tubuh dan menjalar meluas ke daerah lain. Disebut juga

epilepsi Jackson.
Versif : sawan disertai gerakan memutar kepala, mata, tubuh.
Postural : sawan disertai dengan lengan atau tungkai kaku

dalam sikap tertentu


Disertai gangguan fonasi : sawan disertai arus bicara yang

terhenti atau pasien mengeluarkan bunyi-bunyi tertentu


2) Dengan gejala somatosensoris atau sensoris spesial; sawan
disertai halusinasi sederhana yang mengenai kelima panca indera
dan bangkitan yang disertai vertigo.
- Somatosensoris: timbul rasa kesemuatan atau seperti
ditusuk-tusuk jarum.
- Visual : terlihat cahaya
- Auditoris : terdengar sesuatu
- Olfaktoris : terhidu sesuatu
- Gustatoris : terkecap sesuatu
- Disertai vertigo
3) Dengan gejala atau tanda gangguan saraf otonom (sensasi
epigastrium, pucat, berkeringat, membera, piloereksi, dilatasi
pupil).
4) Dengan gejala psikis (gangguan fungsi luhur)
- Disfagia : gangguan bicara, misalnya mengulang suatu suku
-

kata, kata atau bagian kalimat.


Dimensia : gangguan proses ingatan misalnya merasa seperti
sudah mengalami, mendengar, melihat, atau sebaliknya.
Mungkin mendadak mengingat suatu peristiwa di masa lalu,

merasa seperti melihatnya lagi.


Kognitif : gangguan orientasi waktu, merasa diri berubah.
Afektif : merasa sangat senang, susah, marah, takut.
Ilusi : perubahan persepsi benda yang dilihat tampak lebih

kecil atau lebih besar.


Halusinasi kompleks (berstruktur) : mendengar ada yang

bicara, musik, melihat suatu fenomena tertentu, dll.


b. Sawan Parsial Kompleks (disertai gangguan kesadaran)
1) Serangan parsial sederhana diikuti gangguan kesadaran :
kesadaran mula-mula baik kemudian baru menurun.
- Dengan gejala parsial sederhana {a1). - a4).} : gejala-gejala
seperti pada golongan {a1). - a4).}
-

diikuti dengan

menurunnya kesadaran.
Dengan automatisme, yaitu gerakan-gerakan, perilaku yang
timbul dengan sendirinya, misalnya gerakan mengunyah,

menelan, raut muka berubah seringkali seperti ketakutan,


menata

sesuatu,

memegang

kancing

baju,

berjalan,

mengembara tak menentu, dll.


2) Dengan penurunan kesadaran sejak serangan; kesadaran
menurun sejak permulaan kesadaran.
- Hanya dengan penurunan kesadaran
- Dengan automatisme
c. Sawan Parsial yang berkembang menjadi bangkitan umum (tonik-klonik,
tonik, klonik)
- Sawan parsial sederhana yang berkembang menjadi bangkitan
-

umum.
Sawan parsial kompleks yang berkembang menjadi bangkitan

umum.
Sawan parsial sederhana yang menjadi bangkitan parsial

kompleks lalu berkembang menjadi bangkitan umum.


2. Sawan Umum (Konvulsif atau Non Konvulsif)
a. Sawan lena (absence)
Pada sawan ini, kegiatan yang sedang dikerjakan terhenti, muka
tampak membengong, bola mata dapat memutar ke atas, tak ada
reaksi bila diajak bicara. Biasanya sawan ini berlangsung selama
menit dan biasanya dijumpai pada anak.
b. Lena tak khas (atipical absence)
Gangguan tonus yang lebih jelas serta permulaan dan berakhirnya
bangkitan tidak mendadak.
c. Sawan Mioklonik
Pada sawan mioklonik terjadi kontraksi mendadak, sebentar, dapat
kuat atau lemah sebagian otot atau semua otot, seringkali atau
berulang-ulang. Bangkitan ini dapat dijumpai pada semua umur.
d. Sawan Klonik
Pada sawan ini tidak terjadi gerakan menyentak, repetitif, tajam,
lambat, dan tunggal multiple di lengan, tungkai atau torso.
Dijumpai terutama sekali pada anak.
e. Sawan Tonik
Pada sawan ini tidak ada komponen klonik, otot-otot hanya menjadi
kaku pada wajah dan bagian tubuh bagian atas, flaksi lengan dan
ekstensi tungkai. Sawan ini juga terjadi pada anak.
f. Sawan Tonik-Klonik
Sawan ini sering dijumpai pada umur di atas balita yang terkenal
dengan nama grand mal. Serangan dapat diawali dengan aura, yaitu
tanda-tanda yang mendahului suatu sawan. Pasien mendadak jatuh

pingsan, otot-otot seluruh badan kaku. Kejang kaku berlangsung


kira-kira menit diikuti kejang-kejang kelojot seluruh tubuh.
Bangkitan ini biasanya berhenti sendiri. Tarikan napas menjadi
dalam beberapa saat lamanya. Bila pembentukan ludah ketika
kejang meningkat, mulut menjadi berbusa karena hembusan napas.
Mungkin pula pasien kencing ketika mendapat serangan. Setelah
kejang berhenti pasien tidur beberapa lamanya, dapat pula bangun
dengan kesadaran yang masih rendah, atau langsung menjadi sadar
dengan keluhan badan pegal-pegal, lelah, nyeri kepala.
g. Sawan atonik
Pada keadaan ini otot-otot seluruh badan mendadak melemas
sehingga pasien terjatuh. Kesadaran dapat tetap baik atau menurun
sebentar. Sawan ini terutama sekali dijumpai pada anak.
3. Sawan Tak Tergolongkan
Termasuk golongan ini ialah bangkitan pada bayi berupa gerakan bola
mata yang ritmik, mengunyah, gerakan seperti berenang, menggigil,
atau pernapasan yang mendadak berhenti sederhana.
1.4

Patofisiologi
Epilepsi terjadi karena menurunnya potensial membran sel saraf akibat
proses patologik dalam otak, gaya mekanik/toksik, yang selanjutnya
menyebabkan terlepasnya muatan listrik dari sel syaraf tersebut.
Beberapa penyidikan menunjukan peranan asetilkolin sebagian zat yang
merendahkan potensial membran postsinaptik dalam hal terlepasnya
muatan listrik yang terjadi sewaktu-waktu saja sehingga manifestasi
klinisnya muncul sewaktu-waktu. Bila asetilkolon sudah cukup tertimbun
di permukaan otak, maka pelepasan muatan listrik sel-sel syaraf kortikal
dipermudah. Asetilkolin diproduksi oleh sel-sel syaraf kolinergik dan
merembes keluar dari permukaan otak. Pada kesadaran awas-waspada lebih
banyak asetilkolin yang merembes keluar dari permukaan otak daripada
selama tidur. Pada jejas otak lebih banyak asetilkolin, daripada dalam otak
sehat. Pada tumor serebri/adanya sikatrik setempat pada permukaan otak
sebagai gejala sisa dari meningitis, ensefalitis, kontusio serebri/trauma
lahir, dapat terjadi penimbunan setempat dari asetilkolin. Oleh karena itu
pada tempat itu akan terjadi lepas muatan listrik sel-sel syaraf. Penimbunan
asetilkolin setempat harus mencapai konsentrasi tertentu untuk dapat
merendahkan potensial membran sehingga lepas muatan listrik dapat
terjadi. Hal ini merupakan mekanis epilepsi fokal yang biasanya

simtomatik.
Pada epilepsi idiopatik, tipe grand mal, secara primer muatan listrik
dilepaskan oleh nuklei intralaminares talami, yang dikenal juga sebagai inti
centrephalic. Inti ini merupakan terminal dari lintasan asenden aspesifik
atau lintasan asendens ekstralemsnikal. Input dari korteks serebri melalui
lintasan aferen spesifik itu menentukan derajat kesadaran. Bilamana sama
sekali tidak ada input maka timbullah koma. Pada grandmal, oleh karena
sebab yang belum dapat dipastikan, terjadilah lepas muatan listrik dari intiinti intralaminar talamik secara berlebih. Perangsangan talamokortikal yang
berlebihan ini menghasilkan kejang seluruh tubuh dan sekaligus
menghalangi sel-sel syaraf yang memelihara kesadaran untuk menerima
impuls aferen dari dunia luar sehingga kesadaran hilang.
Hasil penelitian menunjukan bahwa bagian dari substansia retikularis di
bagian rostral dari mensenfalon yang dapat melakukan blokade sejenak
terhadap inti-inti intralaminar talamik sehingga kesadaran hilang sejenak
tanpa disertai kejang- kejang pada otot skeletal, yang dikenal sebagai petit
mal.
1.5

Pemeriksaan Penunjang

1. CT Scan untuk mendeteksi lesi pada otak, fokal abnormal,


serebrovaskuler abnormal, gangguan degeneratif serebral.
2. Elektroensefalogram (EEG) untuk mengklasifikasi tipe kejang, waktu
serangan.
3. Magnetik Resonance Imaging (MRI).
4. Kimia darah: hipoglikemia, meningkatnya BUN, kadar alkohol darah.
1.6

Komplikasi
Status Epileptikus adalah aktivitas kejang yang berlangsung terus menerus
lebih dari 30 menit tanpa pulihnya kesadaran. Status mengancam adalah
serangan kedua yang terjadi dalam waktu 30 menit tanpa pulihnya
kesadaran anti serangan.
Menurut (Pinzon, 2007) komplikasi yang mungkin timbul akibat epilepsi
antara lain: cedera kepala, cedera mulut, luka bakar dan fraktur.

1.7

Penatalaksanaan
Tujuan pengobatan adalah mencegah timbulnya sawan tanpa mengganggu
kapasitas dan intelek pasien. Pengobatan epilepsi meliputi pengobatan
medikamentosa fan pengobatan psikososial.

1. Pengobatan medikamentosa
Pada epilepsi yang simtomatis di mana sawan yang timbul adalah
manifestasi penyebabnya seperti tumor otak, radang otak, gangguan

metabolik, maka di samping pemberian obat anti-epilepsi diperlukan


pula terapi kausal. Beberapa prinsip dasar yang perlu dipertimbangkan:
a. Pada sawan yang sangat jarang dan dapat dihilangkan factor
pencetusnya, pemberian obat harus dipertimbangkan.
b. Pengobatan diberikan setelah diagnosis ditegakkan; ini berarti pasien
mengalami lebih dari dua kali sawan yang sama.
c. Obat yang diberikan sisesuaikan dengan jenis sawan.
d. Sebaiknya menggunakan monoterapi karena dengan cara ini
toksisitas

akan

berkurang,

mempermudah

pemantauan,

dan

menghindari interaksi obat.


e. Dosis obat disesuaikan secara individual.
f. Evaluasi hasilnya.
Bila gagal dalam pengobatan, cari penyebabnya:
-

Salah etiologi: kelaianan metabolisme, neoplasma yang tidak

terdeteksi, adanya penyakit degenerates susunan saraf pusat.


- Pemberian obat antiepilepsi yang tepat.
- Kurang penerangan: menelan obat tidak teratur.
- Faktor emosional sebagai pencetus.
- Termasuk intractable epilepsi.
g. Pengobatan dihentikan setelah sawan hilang selama minimal 2 3
tahun. Pengobatan dihentikan secara berangsur dengan menurunkan
dosisnya.
2. Pengobatan Psikososial
Pasien diberikan penerangan bahwa dengan pengobatan yang optimal
sebagian besar akan terbebas dari sawan. Pasien harus patuh dalam
menjalani pengobatannya sehingga dapat bebas dari sawan dan dapat
belajar, bekerja dan bermasyarkat secara normal.
3. Penatalaksanaan status epileptikus
a. Lima menit pertama
- Pastikan diagnosis dengan observasi aktivitas serangan atau satu
-

serangan berikutnya.
Beri oksigen lewat kanul nasal atau masker, atur posisi kepala

dan jalan nafas, intubasi bila perlu bantuan bentilasi.


Tanda-tanda vital dan EKG, koreksi bila ada kelaianan.
Pasang jalur intravena dengan NaC10,9%, periksa gula darah,
kimia darah, hematology dan kadar OAE (bila ada fasilitas dan

biaya).
b. Menit ke-6 hingga ke-9
Jika hipoglikemia/gula darah tidak diperiksa, berikan 50 ml glukosa
50% bolas intravena (pada anak: 2 ml/kgBB/glukosa 25%) disertai
100 mg tiamin intravena.
c. Menit ke-10 hingga ke-20
Pada dewasa: berikan 0,2 mg/kgBB diazepam dengan kecepatan 5

mg/menit sampai maksimum 20 mg. Jika serangan masih ada setelah


5 menit, dapat diulangi lagi. Diazepam harus diikuti dengan dosis
rumat fenitoin.
d. Menit ke 20 hingga ke-60
Berikan fenitoin 20 mg/kgBB dengan kecepatan <50 mg/menit pada
dewasa dan 1 mg/kbBB/menit pada anak; monitor EKG dan tekanan
darah selama pemberian.
e. Menit setelah 60 menit
Jika status masih berlanjut setelah fenitoin 20 mg/kg maka berikan
fenitoin tambahan 5 mg/kg sampai maksimum 30 mg/kg. Jika status
menetap, berikan 20 mg/kg fenobarbital intravena dengan kecepatan
60 mg/menit. Bila apne, berikan bantuan ventilasi (intubasi). Jika
status menetap, anestasia umum dengan pentobarbiatal, midazolam
atau propofal.
4. Perawatan pasien yang mengalami kejang :
a. Berikan privasi dan perlindungan pada pasien dari penonton yang
ingin tahu (pasien yang mempunyai aura/penanda ancaman kejang
memerlukan waktu untuk mengamankan, mencari tempat yang aman
dan pribadi
b. Pasien dilantai jika memungkinkan lindungi kepala dengan bantalan
untuk mencegah cidera dari membentur permukaan yang keras.
c. Lepaskan pakaian yang ketat
d. Singkirkan semua perabot yang dapat menciderai pasien selama
kejang.
e. Jika pasien ditempat tidur singkirkan bantal dan tinggikan pagar
tempat tidur.
f. Jika aura mendahului kejang, masukkan spatel lidah yang diberi
bantalan diantara gigi, untuk mengurangi lidah atau pipi tergigit.
g. Jangan berusaha membuka rahang yang terkatup pada keadaan
spasme untuk memasukkan sesuatu, gigi yang patah cidera pada bibir
dan lidah dapat terjadi karena tindakan ini.
h. Tidak ada upaya dibuat untuk merestrein pasien selama kejang
karena kontraksi otot kuat dan restrenin dapat menimbulkan cidera
i. Jika mungkin tempatkan pasien miring pada salah satu sisi dengan
kepala fleksi kedepan yang memungkinkan lidah jatuh dan
memudahkan pengeluaran salifa dan mucus. Jika disediakan pengisap
gunakan jika perlu untuk membersihkan secret
j. Setelah kejang: pertahankan pasien pada salah satu sisi untuk
mencegah aspirasi, yakinkan bahwa jalan nafas paten. Biasanya
terdapat periode ekonfusi setelah kejang grand mal. Periode apnoe

pendek dapat terjadi selama atau secara tiba-tiba setelah kejang.


Pasien pada saat bangun harus diorientasikan terhadap lingkungan.

1.8

Pathway

AI. Rencana Asuhan Klien dengan Gangguan Epilepsi


2.1

Pengkajian
2.1.1

Riwayat Kesehatan

1) Keluhan utama: keluhan yang dirasakan pasien saat dilakukan


pengkajian.
2) Riwayat kesehatan sekarang: Riwayat penyakit yang diderita
pasien saat masuk RS (apa yang terjadi selama serangan).
3) Riwayat kesehatan yang lalu: sejak kapan serangan seperti ini
terjadi, pada usia berapa serangan pertama terjadi, frekuensi
serangan, adakah faktor presipitasi seperti demam, kurang tidur
emosi, riwayat sakit kepala berat, pernah menderita cidera otak,
operasi atau makan obat-obat tertentu/alkoholik).
4) Riwayat kesehatan keluarga: adakah riwayat penyakit yang sama
diderita oleh anggota keluarga yang lain atau riwayat penyakit lain
baik bersifat genetik maupun tidak.
5) Riwayat sebelum serangan: adakah gangguan tingkah laku, emosi
apakah disertai aktifitas atonomik yaitu berkeringat, jantung
berdebar, adakah aura yang mendahului serangan baik sensori,
auditorik, olfaktorik.

2.1.2

Pemeriksaan Fisik: Data Fokus

1. Keadaan Umum

2. Pemeriksaan Persistem
a. Sistem Persepsi dan Sensori
Apakah pasien menggigit lidah, mulut berbuih, sakit kepala,
otot-otot sakit, adakah halusinasi dan ilusi, yang disertai
vertigo, bibir dan muka berubah warna, mata dan kepala
menyimpang pada satu posisi, berapa lama gerakan tersebut,
apakah

lokasi

atau

sifatnya

berubah

pada

satu

posisi/keduanya.
b. Sistem Persyarafan
- Selama serangan:

Penurunan

kesadaran/pingsan?

Kehilangan kesadaran / lena? Disertai komponen motorik


seperti kejang tonik, klonik, mioklonik, atonik, berapa
-

lama gerakan tersebut? Apakah pasien jatuh kelantai.


Proses Serangan: Apakah pasien letarsi, bingung, sakit
kepala, gangguan bicara, hemiplegi sementara, ingatkah
pasien apa yang terjadi sebelum selama dan sesudah
serangan, adakah perubahan tingkat kesadaran, evaluasi
kemungkinan terjadi cidera selama kejang (memer, luka

gores).
c. Sistem Pernafasan: apakah terjadi perubahan pernafasan
(nafas yang dalam)
d. Sistem Kardiovaskuler: apakah terjadi perubahan denyut
jantung
e. Sistem Gastrointestinal: apakah terjadi inkontinensia feses,
nausea
f. Sistem Integumen: adakah memar, luka gores
g. Sistem Reproduksi
h. Sistem Perkemihan: adakah inkontinensia urin
2.1.3
1.

Pemeriksaan Penunjang
CT Scan untuk mendeteksi lesi pada otak, fokal abnormal,

serebrovaskuler abnormal, gangguan degeneratif serebral.


2.
Elektroensefalogram (EEG) untuk mengklasifikasi tipe kejang,
3.
4.

waktu serangan.
Magnetik Resonance Imaging (MRI).
Kimia darah: hipoglikemia, meningkatnya BUN, kadar alkohol
darah.

2.2

Diagnosa Keperawatan yang mungkin muncul


Diagnosa 1: Hambatan Mobilitas Fisik
2.2.1

Definisi

Keterbatasan dalam pergerakan fisik mandiri dan terarah pada tubuh


atau satu ekstermitas atau lebih (Wilkinson dan Ahern, 2011).

2.2.2

Batasan karakteristik

Penurunan waktu reaksi


Kesulitas membolak-balik posisi tubuh
Dispnea saat beraktivitas
Pergerakan menyentak
Keterbatasan untuk melakukan keterampilan motorik halus
Keterbatasan melakukan keterampilan motorik kasar
Keterbatasan rentang pergerakan sendi
Tremor yang diiduksikan oleh pergerakan
Ketidakstabilan postur tubuh (saat melakukan rutinitas aktivitas

kehidupan sehari-hari)
Melambatnya pergerakan
Gerakan tidak teratur atau tidak terkoordinasi

2.2.3

Faktor yang berhubungan


Gangguan kognitif
Penurunan kekuatan, kendali, atau masa otot
Keterlambatan perkembangan
Ketidaknyamanan
Intoleransi aktivitas dan penurunan kekuatan dan ketahanan
Kaku sendi atau kontraktur
Hilangnya integritas struktur tulang
Gangguan muskuloskeletal
Gangguan neuromuskular
Nyeri
Gangguan hidup yang kurang gerak atau disuse atau melemah
Gangguan sensori persepsi

Diagnosa 2: Ketidakefektifan Pola Nafas


2.2.4

Definisi

Inspirasi atau ekspirasi yang tidak memberi ventilasi yang adekuat


(Wilkinson dan Ahern, 2011).
2.2.5

Batasan karakteristik
Dispnea
Nafas pendek
Perubahan ekskursi dada
Mengambil posisi tiga titik tumpu (tripod)
Bradipnea
Penurunan tekanan inspirasi-ekspirasi
Penurunan ventilasi semenit
Penurunan kapaasitas vital
Peningkatan diameter anterior-posterior
Nafas cuping hidung
Ortopnea
Fase ekspirasi memanjang
Pernafasan bibir mencucu
Takipnea

Penggunaan otot bantu asesorius untuk bernafas

2.2.6

2.3

Faktor yang berhubungan


Ansietas
Posisi tubuh
Deformaitas tulang
Deformitas dinding dada
Penurunan energi dan dan kelelahan
Hiperventilasi
Sindrom hipoventilasi
Kerusakan muskuloskeletal
Imanuritas neurologis
Disfungsi neuromuskular
Obesitas
Nyeri
Kerusakan presepsi atau kognitif
Kelelahan otot-otot pernafasan
Cedera medula spinalis

Perencanaan
Diagnosa 1: Hambatan Mobilitas Fisik
2.3.1

Tujuan dan Kriteria Hasil (outcomes criteria): berdasarkan

NOC

Memperlihatkan penggunaan alat bantu secara benar dengan

pengawasan
Meminta bantuan untuk aktivitas mobilisasi jika diperlukan
Melakukan aktivitas kehidupan sehari-hari secara mandiri

dengan alat bantu


Menyangga berat badan
Berpindah dari dan ke kursi atau kursi roda
Menggunakan kursi roda secara efektif
2.3.2
Intervensi Keperawatan dan Rasional: berdasarkan NIC

Promosi latihan fisik (latihan kekuatan): memfasilitasi pelatihan


otot

resisitif

secara

rutin

untuk

mempertahankan

atau

meningkatkan kekuatan otot.


Terapi latihan fisik (ambulasi): meningkatkan dan membantu
dalam berjalan untuk mempertahankan atau mengembalikan
fungsi tubuh autonom dan volunter selama pengobatan dan
pemulihan dari kondisi sakit atau cedera.

Terapi latihan fisik (keseimbangan): menggunakan aktivitas,


postur,

gerakan

tertentu

untuk

mempertahankan,

meningkatkan, atau memulihkan keseimbangan.


Terapi latihan fisik (mobilitas sendi): menggunakan gerakan
tubuh

dan

aktif

atau

pasif

untuk

mempertahankan

atau

mengembalikan fleksibilitas sendi.


Terapi latihan fisik (pengendalian otot): menggunakan aktivitas
spesifik atau protokol latihan yang sesuai untuk meningkatkan

atau mengembalikan gerakan tubuh yang terkendali.


Pengaturan posisi: mengatur penempatan pasien atau bagian
tubuh pasien secara hati-hati untuk meningkatkan kesejahteraan

fisiologi dan psikologis.


Bantuan perawatan diri (berpindah): membantu individu untuk mengubah
posisi tubuhnya.
Diagnosa 2: Ketidakefektifan Pola Nafas
2.3.3

Tujuan dan Kriteria Hasil (outcomes criteria): berdasarkan

NOC

Menunjukkan pola pernafasan efektif


Mempunyai kecepatan dan irama pernafasan dalam batas normal
Mempunyai fungsi paru dalam batas normal

2.3.4

Intervensi Keperawatan dan Rasional: berdasarkan NIC


Manajemen jalan nafas: memfasilitasi kepatenan jalan nafas
Pengisapan jalan nafas: mengeluarkan sekret jalan nafas dengan
cara memasukkan kateter penghiap ke dalam jalan nafas oral

atau trakea pasien


Ventilasi Mekanis: menggunakan alatbuatan untuk membantu

pasien bernafas
Pemantauan pernafasan: mengumpulkan dan menganalisis data
pasien untuk memastikan kepatenan jalan nafas dan pertukaran

gas yang adekuat


Bantuan ventilasi: meningkatkan pola pernafasan spontan yang
opytimal sehingga memaksimalkan pertukaran oksigen dan

karbondioksida di dalam paru


Pemantauan tanda vital: mengumpulkan dan menganalisis data
kardiovaskular, pernafasan, dan suhu tubuh pasien untuk
menentukan dan mencegah komplikasi

III.Daftar Pustaka
Anonim. 2008. Epilepsi. www.nersunhas.com.

Copel, L.C. 2007. Kesehatan Jiwa dan Psikiatri. Jakarta: EGC.


Nurarif, A.H., & Kusuma, H., 2015, Aplikasi Asuhan Keperawatan:
Berdasarkan

Diagnosa

Medis

dan

Nanda

Nic-Noc.

Jogjakarta:

Mediaction.
Pinzon, Rizaldy. 2007. Dampak epilepsi pada aspek kehidupan penyandangnya.
SMF Saraf RSUD Dr. M. Haulussy, Ambon, Indonesia.
Sri D, Bambang. 2007. Epilepsi. Buku Ajar Ilmu Penyakit Syaraf PSIK
UNSOED.
Turana,

Yuda.

2007.

Epilepsi

dan

gangguan

fungsi

kognitif.

www.medikaholistikcom.
Wilkison, J.,M. & Ahern N.,R. 2011. Buku Saku Diagnosis Keperawatan.
Jakarta: EGC.

Preseptor Akademik,

...................................................

Banjarmasin, ..................................2016
Preseptor Klinik,

...................................................

You might also like