You are on page 1of 16

9

BAB II
TINJUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Teoritis
1. Pengertian Diabetes Melitus
American Diabetes Association (ADA) pada tahun 2010 mengatakan DM
merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemi
yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-duanya.
Brunner dan Suddarth (2014) menggemukakan bahwa DM adalah sekelompok
kelainan heterogen yang ditandai oleh kenaikan kadar glukosa darah dalam darah
atau hiperglikemi. Menurut Bilous tahun 2002 DM adalah perubahan menetap
dalam sisitem kimiawi tubuh yang mengakibatkan darah mengandung banyak gula.
Berdasarkan beberapa teori tersebut dapat disimpulkan bahwa DM adalah suatu
penyakit metabolik yang ditandai dengan meningkatnya kadar glukosa dalam darah
yang terjadi karena gangguan hormonal yang mengakibatkan kelainan sekresi
insulin, kerja insulin atau kedua-duanya.
2. Patogenesis
Patogenisis dari DM tipe 2 ini ditandai dengan adanya resistensi insulin perifer,
gangguan hepatic glucose production (HGP) dan penurunan fungsi sel beta yang
akhirnya sel beta akan mengalami kerusakan. Pada stadium pradiabetes (glukosa
darah puasa atau toleransi glukosa terganggu) akan terjadi resistensi insulin yang
kemudian disusul oleh peningkatan sekresi insulin untuk mengkompensasi resistensi
insulin agar glukosa darah tetap normal. Lama kelamaan sel beta tidak sanggup
untuk mengkompensasi resisitensi insulin sehingga kadar glukosa darah meningkat

10

dan fungsi dari sel beta ikut menurun. Ternyata terjadi penurunan fungsi sel beta
secara progresif sampai akhirnya sel beta tersebut tidak mampu lagi untuk
mengsekresi insulin (Suyono, 2015).
3. Klasifikasi DM
Berdasarkan dari penyebabnya, DM dibedakan menjadi beberapa jenis.
Menurut ADA tahun 2010 DM di bagi menjadi 4 jenis yaitu:
a. Diabetes Melitus Tipe 1 atau Insulin Dependent Diabetes Melitus/IDDM
DM tipe 1 terjadi karena adanya destruksi sel beta pankreas sebab dari
autoimun.
b. Diabetes Melitus Tipe 2 atau Non-Dependent Diabetes Melitus/NIDDM
DM tipe 2 ini terjadi akibat insulin tidak bisa membawa glukosa masuk
kedalam jaringan karena terjadi resistensi insulin yang merupakan turunya
kemampuan insulin untuk merangsang pengambilan glukosa oleh jaringan
perifer dan untuk menghambat produksi glukosa oleh hati.
c. Diabetes Melitus tipe lain
DM ini terjadi karena etiologi lain, misalnya pada defek genetik fungsi sel
beta, defek genetik kerja insulin, penyakit eksokrin pankreas, penyakit
metabolik endokrin lain, infeksi virus, penyakit autoimun dan kelainan genetik
lain.
d. Diabetes Melitus Gestasional
DM tipe ini terjadi pada masa kehamilan, karena intoleransi glukosa
pertama kali pada masa kehamilan, biasanya pada trimester kedua dan ketiga.
DM gestasional berhubungan dengan meningkatnya komplikasi perinatal.
4. Etiologi
DM disebabkan oleh kurangnya produksi dan keterbatasan insulin dalam tubuh
atau terjadinya gangguan fungsi insulin yang sebenarnya jumlahnya cukup.
Kekurangan insulin disebabkan oleh terjadinya kerusakan sebagian kecil atau
sebagian besar sel-sel beta pulau langerhans dalam kelenjar pankreas yang
berfungsi menghasilkan insulin (Novitasari, 2012).

11

Ada beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya peningkatan kadar glukosa


darah dan DM yaitu:
a. Umur
Resiko untuk menderita intoleransi glukosa meningkat seiring dengan
meningkatnya usia. Usia > 45 tahun harus dilakukan pemeriksaan DM, ini
dikarenakan orang pada usia ini kurang aktif, berat badan bertambah, massa
otot berkurang akibat dari proses menua yang mengakibatkan penyusutan selsel beta yang progresif (PERKENI, 2015).
b. Jenis Kelamin
Menurut Bilous (2008) berdasarkan faktor resiko dari DM tipe 2 adalah
wanita mungkin ini dikarenakan DM tipe 2 munculnya di usia yang lebih lanjut
dan wanita umumnya hidup lebih lama. Irawan tahun 2010 dari hasil
penelitianya mengatakan, wanita lebih beresiko mengidap DM karena secara
fisik wanita berpeluang mengalami peningkatan IMT yang lebih besar.
Sindrome siklus bulanan (premenstruasi syndrome), paska-monoupouse yang
membuat distribusi lemak tubuh mejadi mudah terakumulasi akibat proses
hormonal sehingga wanita beresiko menderita DM tipe 2.
c. Pendidikan
Tingkat pendidikan merupakan salah satu unsur terpenting yang dapat
mempengaruhi penerimaan sumber informasi. Pada penderita dengan
pendidikan rendah dapat mempengaruhi pengetahuan yang terbatas sehingga
makanan yang tidak tepat dan pola makan yang tidak terkontrol dan ini dapat
mengakibatkan DM (Notoadmojo, 2007).
d. Pekerjaan
DM banyak terjadi pada wanita terutama pada ibu rumah tangga karena
sedikit mengeluarkan tenaga dan sedikit melakukan aktifitas fisik sehingga
akan beresiko terjadinya penimbunan lemak dalam tubuh yang dapat

12

meningkatkan resistensi insulin dan terjadi peningkatan gula darah penderita


DM tipe 2 (Suyono, 2009).
e. Faktor keturunan
Bilous (2008) mengatakan salah satu faktor penyebab dari DM adalah
faktor genetik atau keturunan yang memungkinkan individu mengidap penyakit
DM cukup kuat. Pada DM tipe 2 dipastikan jika salah seorang keluarga terkena
DM maka keluarga yang lain dipastikan juga ikut menderita DM. Sulit untuk
mengetahuinya siapa yang akan mewarisi penyakit DM, beberapa keluarga
mempunyai kecenderungan lebih kuat untuk menderita DM. Telah dilakukan
penelitian oleh para pakar dan didapati bahwa sejumlah gen sebagia
penyebabnya.
f. Obesitas
Novitasari (2012) mengatakan berat badan yang berlebih bisa
menyebabkan obesitas, dikarenakan jalan insulin yang hendak menyebarkan
gula-gula kedalam sel terhambat dan akibatnya gula-gula menumpuk diluar sel.
Menurut PERKENI (2015) obesitas yang masuk masuk kedalam kategori IMT
perlu diwaspadai. Nilai dari IMT diperoleh dari pengukuran berat badan (BB)
dalam satuan kilogram dan tinggi badan (TB) dalam satuan meter. Selanjutnya
hasil pengukuran dihitung berdasarkan rumus IMT sebagai berikut:

BB (Kg)
IM T =
TB (m) apakah berat badan seseorang ideal
IMT digunakan untuk mengetahui
ataupun tidak untuk mengetahuinya dapat digunakan tabel dibawah ini :
Tabel 1
Indeks Massa Tubuh (IMT)
Hasil IMT

Kategori

13

< 18,5
BB Kurang
18,5-22,9
BB Normal
23,0
BB Lebih
23,0-24,9
Dengan Resiko
25,0-29,9
Obesitas I
30
Obesitas II
Sumber : PERKENI (2015)

5. Patofisologi.
Waspadji (2006) mengemukakan Pankreas adalah organ pipih yang terletak
dibelakang dan sedikit dibawah lambung dan abdomen. Didalam pankreas terdapat
kumpulan sel yang berbentuk seperti pulau pada peta yang disebut dengan pulau
langerhans yang berisi sel beta yang mengeluarkan hormon insulin. Sel beta
berperan dalam mengatur kadar glukosa darah, mensekresi insulin yang
menurunkan kadar glukosa darah dan juga mengeluarkan somatostatin.
Insulin adalah hormon Anabolik (pembentuk) utama tubuh yang mempunyai
efek lain selain menstimulasi transport glukosa. Insulin yang menyediakan glukosa
ke tubuh kita, membangun protein, dan mempertahankan kadar glukosa dalam
plasama (Corwin, 2009).
Pada keadaan DM tipe 2, jumlah insulin bisa normal, bahkan bisa lebih
banyak, tetapi jumlah reseptor (penangkap) insulin di permukaan sel yang kurang.
Reseptor ini dapat diibaratkan sebagai lubang kunci pintu masuk kedalam sel. Pada
DM tipe 2 lubang kunci inilah yang kurang, sehingga meskipun anak kuncinya
(insulin) banyak, tetapi karena lubang kuncinya (reseptor)nya kurang, maka
glukosa yang masuk kedalam sel sedikit, sehingga sel kekurangan bahan bakar
(glukosa) dan kadar glukosa dalam darah meningkat (Subekti, 2015).
Pada kebanyakan kasus yang banyak dijumpai adalah DM tipe 2 yang
mempunyai kelainan resistensi insulin, awalnya resistensi insulin belum
menyebabkan diabetes klinis. Sel beta pangkreas masih bisa mengkompensasi

14

insulin yang disebut dengan hiperinsulinemia dimana kadar glukosa darah masih
normal atau sedikit meningkat. Kemudian lama kelamaan sel beta menjadi
kelelahan dan tidak mampu lagi mensekresikan insulin sehingga terjadilah diabetes
melitus klinis yang ditandai adanya kadar glukosa darah puasa dan kadar glukosa
darah sesudah makan meningkat (Waspadji, 2015).
f. Manifestasi Klinis
Menurut Novitasari tahun 2012 tanda dan gejala dari DM ini ada tiga hal yang
tidak bisa dipisahkan, yaitu:
Polyuria (banyak kencing)
Ini dikarenakan kadar gula yang tinggi diatas 160-180 mg/dl maka

1.

glukosa akan sampai ke urin tetapi jika bertambah tinggi lagi kadar glukosa,
ginjal akan membuang air tambahan untuk mengencerkan sejumlah besar
glukosa yang hilang. Gula bersifat menarik air sehingga bagi penderitanya akan
2.

mengalami polyuria.
Polydipsia (banyak minum)
Diawali banyaknya urin yang keluar maka tubuh mengadakan

3.

mekanisme lain untuk menyeimbangkanya yaitu dengan banyak minum.


Polyphagia (banyak makan)
Insulin bermasalah, pemasukan gula kedalam sel-sel tubuh kurang
akhirnya energi yang dibentuk pun kurang inilah mengapa orang merasa
kurangnya tenaga akhirnya diabetes melakukan kompensasi yaitu dengan
banyak makan.
Tanda dan gejala lain dari DM tipe 2 adalah gangguan saraf tepi, gangguan
penglihatan, gatal-gatal, gangguan ereksi pada pria dan keputihan pada wanita

(Wijaya & Putri, 2013).


g. Diagnosis
Diagnosis DM ditegakkan atas dasar pemeriksaan kadar glukosa darah.
Pemeriksaan glukosa darah yang dianjurkan adalah pemeriksaan secara enzimatik

15

dengan bahan plasma darah vena. Untuk pemantauan pengobatan dapat dilakukan
dengan menggunakan pemeriksaan glukosa darah kapiler dengan glukometer.
Diagnosa DM dapat ditegakkan dengan 4 cara menurut PERKENI tahun 2015
sebagai berikut:
a. Pemeriksaan glukosa plasma puasa 126 mg/dl. Puasa adalah kondisi tidak ada
asupan kalori minimal 8 jam.
b. Pemeriksaan glukosa plasma 200 mg/dl setelah Tes Toleransi Glukosa Oral
(TTGO) dengan beban glukosa 75 gram
c. Pemeriksaan glukosa plasma sewaktu 200 mg/dl dengan keluhan klasik
d. Pemeriksaan HbA1c 6,5% dengan menggunakan metode yang terstandarisasi
oleh National Glycohaemoglobin StandarizationProgram (NGSP).
Glukosa darah yang normal yang harus dipertahankan yaitu < 100 mg/dl dan
<140 mg/dl untuk glukosa plasma 2 jam setelah TTGO (PERKENI, 2015).
h. Komplikasi
Kompilikasi akut dari DM tipe 2 dibagi menjadi komplikasi akut dan kronis.
Komplikasi akut terjadi jika kadar glukosa seseorang meningkat atau menurun
dalam waktu yang singkat. Komplikasi kronis yaitu kelainan pembuluh darah
seperti retinopati, nefropati diabetik dan neoropati diabetik yang beresiko tinggi
untuk terjadinya ulkus diabetikum (PERKENI, 2015).
a. Kompilikasi akut
Komplikasi akut dari DM tipe 2 yaitu hipoglikemi, hiperglikemi dan
ketoasidosis.
1) Hipoglikemi
Menurut Brunner dan Suddarth tahun 2014 hipoglikemi adalah kadar
glukosa darah yang abnormal atau rendah terjadi jika gula darah turun
dibawah 60 mg/dl hingga 50 mg/dl. Kejadian ini dapat terjadi akibat
pemberian insulin berlebihan dan pemberian obat oral yang berlebihan.
Pada pasien DM tidak semua yang mengalami gula darah rendah
mengalami hipoglikemi, tetapi untuk pasien yang gula darah rendah dengan

16

penurunan kesadaran harus selalu dipikirkan kemungkinan disebabkan oleh


hipoglikemi (PERKENI, 2015).
Gejala pasien yang mengalami hipoglikemi seperti rasa lapar,
berkeringat, gelisah, takikardi, lesu dan pucat (PERKENI, 2015).
Pengobatan hipoglikemi stadium permulaan dapat diberikan pemberian gula
murni 30 gr (2 sendok makan) atau permen dan hentikan pemberian obat
hipolikemi kemudian periksa gula darah sewaktu setiap 4 jam selama 24
jam. Untuk pasien yang hipoglikemi stadium lanjut dengan penurunan
kesadaran dapat diberikan larutan glukosa 40% sebanyak 2 flakon,
intravena setiap 10-20 menit hingga pasien sadar dan pemberian cairan
infus dextrose 10% 6 jam per kolf untuk mempertahan nilai gula darah
normal atau di atas normal (Boedisantoso, 2015).
2. Hiperglikemi
Hiperglikemi didefenisikan sebagai kadar glukosa darah yang tinggi
dari rentang glukosa darah yang normal 126 mg/ 100 ml darah.
Hiperglikemia ini disebabkan oleh defesiensi insulin, seperti yang dijumpai
pada diabetes tipe 1, atau karena penurunan responsivitas sel terhadap
insulin, seperti yang dijumpai pada diabetes tipe 2 (Corwin, 2009).
Kelompok hiperglikemi, secara anamnesis ditemukan adanya masukan
kalori yang berlebihan, penghentian obat oral maupun insulin yang
didahului oleh stres akut. Pengobatan untuk hiperglikemi adalah pemberian
cairan

untuk

mengatasi

dehidrasi

terutama

untuk

subkelompok

hiperglikemia non ketotik (HNK). Therapi yang diberikan pada pasien


hiperglikemi yaitu pemberian cairan Nacl kolf normal dengan insulin
dosisi kecil (Boedisantoso, 2015).
3. Ketoasidosis Diabetik

17

Ketoasidosis diabetik (KAD) merupakan defesiensi insulin berat dan


akut dari suatu perjalanan penyakit diabetes (Boedisantoso, 2015). KAD
disebabkan oleh tidak adanya insulin atau tidak cukupnya jumlah insulin
yang nyata kemudian keadaan ini akan mengakibatkan gangguan pada
metabolisme karbohidrat, protein dan lemak. Akibat dari KAD terjadinya
dehidrasi, kehilangan elektrolit dan asidosis (Brunner & Suddarth, 2014).
Akibat dari kekurangan insulin yang lainya adalah pemecahan lemak
(liposis) menjadi asam-asam lemak bebas dan gliserol. Asam lemak bebas
tersebut akan diubah menjadi badan keton oleh hati kemudian keton akan
keluar melalui urin dan menyebabkan nafas berbau aseton (bau manis
seperti buah) dan pernafasan kussmaul mengambarkan upaya tubuh untuk
menggurangi asidosis guna melawan efek dari pembentukan badan keton
(Wijaya & Putri, 2013).
Tanda gejala dari KAD adalah pasien mengalami anoreksia, penglihatan
kabur dan nyeri abdomen (Corwin, 2009). Menurut Brunner dan Suddarth
tahun 2014 pasien dengan KAD mengalami perubahan status mental seperti
pasien tampak mengantuk (letargi) atau koma. Pasien dengan hiperglikemi
tidak semuanya berhubungan dengan KAD sedangkan sebagian pasien
dapat mengalami KAD berat disertai dengan kadar gula darah 400 hingga
500 mg/dl. Penatalaksanaan untuk pasien dengan KAD :
a) Rehidrasi
Tindakan awal yang harus dilakukan dengan pemberian cairan
Nacl 0,9% sebanyak 1 liter pada 30 menit pertama dan 0,5 liter pada 30
menit kedua setelah itu cairan diberikan sesuai dengan tingkat dehidrasi
(Boedisantoso, 2015)
b) Insulin

18

Insulin mulai diberikan reguler dari dosis terendah per intravena


(5-10 unit/jam) dan terbukti efektif dalam menurunkan kadar gula
darah. Bila gula darah mulai stabil dilanjutkan dengan drip insulin 1-2
unit/jam dilakukan penyesuaian insulin setipa 6 jam (Boedisantoso,
2015).
c) Penggantian kalium
Kekurangan kalium bisa bervariasi antara 300-1000 mEg/L
akibat dari pertukaran cairan ekstra sel ke intra sel dan osmotik diurosis
di ginjal. Pemberian kalium dilakukan ketika volume cairan sudah baik
dan insulin telah diberikan. Namun perlu diperhatikan pemberian
insulin terus menurus tanpa pemberian kalium akan mnyebabkan
hipoglikemi (Wijaya & Putri, 2013).
b. Komplikasi kronis
1. Retinopati diabetik (gangguan penglihatan)
Komplikasi jangka panjang dari diabetes salah satunya adalah gangguan
penglihatan. Ancaman yang paling serius adalah retinopati atau kerusakan
pada retina mata yang disebabkan oleh karena kelainan patologis pada mata
yang disebabkan oleh perubahan dalam pembuluh-pembuluh darah kecil
pada retina mata. Pembuluh darah halus ke retina yang rusak akibat
diabetes, mungkin ini akibat dari terbentuknya glukosa dan jenis gula lain
pada dinding pembuluh darah, sehingga membuatnya lemah (Bilous, 2002).
Retinopati diabetik merupakan penyebab kebutaan terbesar di Amerika
Serikat dengan prevalensi retinopati diabetik sebanyak 4,1 juta orang
(Pengen dkk, 2014).
Faktor resiko seseorang yang menderita DM dengan gangguan retina
yaitu lamanya seseorang menyandang DM, ketergantungan insulin pada

19

DM tipe 2, nefropati dan hipertensi. Masalah utama pada penanganan


retinopati diabetik adalah keterlambatan diagnosa karena sebagian besar
penderita pada awalnya tidak mengalami gangguan pada penglihatan
(Pengen dkk, 2014).
Menurut Kuncoro tahun 2015 Gejala dari retinopati diabetikum meliputi
penglihatan terhalang lapisan hitam, rabun pada malam hari dan kehilangan
penglihatan secara tiba-tiba. Berikut gambaran penglihatan pasien dengan
retinopati diabetik:
Gambar 1
gambaran penglihatan pasien dengan retinopati diabetik

Sumber: Kuncoro (2015).


Pengobatan pada retinopati dapat dilakukan dengan laser untuk dapat
membantu memperbaiki kerusakan retinopati akibat diabetes. Sinar laser
diarahkan pada bagian pinggir retina, cukup jauh dari bintik mata, untuk
menghilangkan gumpalan yang ada serta mencegah tumbuhnya pembuluh
darah baru. Semakin cepat diobati semakin baik hasilnya (Bilous, 2002).
2. Nefropati Diabetik (kerusakan ginjal)
Salah satu komplikasi dari DM tipe 2 adalah Nefropati diabetikum yang
merupakan penyebab paling utama dari gagal ginjal stadium akhir. Sekitar
20-40%

penyandang

(PERKENI, 2015).

diabetes

akan

mengalami

nefropati

diabetik

20

Ginjal manusia terdiri dari 2 juta nefron dan berjuta-juta pembuluh


darah kecil yang disebut dengan kapiler. Kapiler berfungsi sebagai
penyaring darah bahan yang tidak dibutuhkan oleh tubuh akan di buang
melalui urin atau kencing. Bukti menunjukkan bahwa seseorang yang
menderita DM khususnya bila kadar glukosa darah meninggi, maka
mekanisme filtrasi ginjal akan mengalami stres dan menyebabkan
kebocoran protein darah kedalam urin. Sebagai akibatnya, tekanan dalam
pembuluh darah ginjal meningkat. Kenaikan tekanan tersebut diperkirakan
berperan sebagai stimulus untuk terjadinya nefropati (Brunner & Suddarth,
2014).
Nefropati diabetik terjadi pada 30-40% pasien DM, dan DM merupakan
penyebab utama terjadinya end stage renal disease (ESRD). Onset dan
perkembangan penyakit ginjal yang disebabkan oleh DM bervariasi, pasien
DM dengan gagal ginjal timbul setelah 2-5 tahun dari diagnosis DM
ditegakkan (Purnamasari & poerwantoro, 2011).
Gejala dari nefropati diabetik ada protein dalam urin, terjadi
pembengkakan, hipertensi dan kegagalan ginjal menahun (Novitasari,
2012). Bagi penderita gagal ginjal tersedia dua jenis therapi yaitu
hemodialisa atau peritoneal dilalisis dan transpalantasi ginjal (Bilous,
2002).
3. Neoropati Diabetik
Penyakit saraf yang disebabkan oleh DM disebut Neoropati diabetik.
Neoropati dalam diabetes mengacu kepada sekelompok penyakit yang
menyerang semua saraf termasuk saraf perifer, otonom dan spinal.
Prevalensi penderita neoropati meningkat bersamaan dengan bertambahnya

21

usia penderita dan lamanya penyakit DM yang diderita (Brunner &


Suddarth, 2014).
Neoropati terjadi akibat dari glukosa darah yang terus tinggi, tidak
terkontrol dengan baik dan berlangsung selama 10 tahun lebih. Jika glukosa
darah terus menerus tinggi maka akan melemahkan dan merusak dinding
pembuluh darah kapiler yang memberi makan ke saraf sehingga terjadi
kerusakan saraf. Neoropati diabetik mengakibatkan saraf tidak bisa
mengirim atau mengantar pesan-pesan rangsangan impuls saraf (Ndraha,
2014).
Neouropati akan menghambat signal, rangsangan atau terputusnya
komunikasi dalam tubuh. Syaraf pada kaki sangat penting dalam
menyampaikan pesan ke otak, sehingga menyadarkan kita akan adanya
bahaya pada kaki seperti rasa sakit saat tertusuk paku atau rasa panas saat
terpijak benda-benda panas (Brunner & Suddarth, 2014). Komplikasi yang
sering terjadi pada neoropati adalah ulkus diabetikum.
a) Ulkus Diabetikum
Menurut Tambunan dan Gultom tahun 2015 setiap tahun lebih
dari satu juta orang yang menderita DM harus di amputasi kakinya
akibat dari komplikasi DM. Ulkus diabetikum adalah luka terbuka pada
permukaan kulit karena adanya komplikasi makrongiopati sehingga
terjadi vaskuler insufisiensi dan neouropati, yang lebih lanjut terdapat
luka pada penderita yang tidak dirasakan dan dapat berkembang
menjadi infeksi (Misnadiarly, 2006).
b) Rangkaian terjadinya proses ulkus diabetikum
Pada kaki dimulai dari cedera pada jaringan lunak kaki,
pembentukan fisura di sela-sela kaki atau pembentukan kalus (Brunner

22

& Suddarth, 2014). Untuk pencegahan terjadinya ulkus pada penderita


DM yaitu dengan cara melakukan perawatan kaki.
c) Perawatan kaki Diabetes
Menurut Tambunan dan Gultom tahun 2015 pada pasien DM
terputusnya komunikasi dalam saraf, sehingga ektemitas akan
berkurangnya indara rasa pada kaki. Untuk itu perlu dilakukan
perawatan kaki diabetes untuk mencegah terjadinya ulkus diabetikum
perawatan kaki diabetes dapat dilakukan sebagai berikut:
(1) Bersihkan kaki setiap hari dengan air bersih pada waktu mandi
(2) Berikan pelembab jika kaki kering
(3) Gunting kuku kaki lurus mengikuti bentuk normal kaki
(4) Pakai alas kaki atau sepatu untuk melindungi kakai agar tidak
terluka
(5) Gunakan sepatu atau sandal yang sesuai dengan ukuran kaki
(6) Periksa sepatu sebelum dipakai
(7) Bila ada luka kecil di kaki segera diobati
B. Kerangka konsep
Kerangka konsep penelitian pada dasarnya adalah kerangka hubungan antara
konsep-konsep yang ingin diamati atau diukur melalui penelitian yang akan dilakukan
(Notoatmodjo, 2005). Berikut ini adalah kerangka konsep penelitian yang akan dilakukan:

Penyakit Diabetes Melitus


Klasifikasi DM tipe 1 dan tipe 2

DM tipe 1 atau Insulin


dependent diabetes
melitus / IDDM

Faktor resiko DM tipe 2 yaitu : umur,


jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan,
riwayat keluarga dan obesitas.

DM tipe 2 atau NonDependent Diabetes


Melitus/NIDDM

Komplikasi DM tipe 2 dibagi


menjadi akut dan kronik.
Komplikasi akut: hipoglikemi,
hiperglikemi, dan ketoasidosis.
Komplikasi kronik: retinopati,
nefropati,dan neoropati.

23

Analisis pasien diabetes melitus tipe 2 di ruang rawat inap RSUD


Kota Dumai
Gambar 3.1 kerangka konsep penelitian
(Sumber : ADA, 2010; PERKENI, 2015; Bilous, 2008; soekidjo, 2007; Suyono, 2009;
Novitasari, 20012)

C. Pertanyaan peneliti
Berdasarkan tujuan penelitian yang akan dicapai oleh peneliti, maka peneliti membuat
pertanyaan penelitian yaitu bagaimanakah Analisis pasien DM tipe 2 yang dirawat inap di
RSUD Kota Dumai?

You might also like