You are on page 1of 45

TAHAP I

KARAKTERISTIK DEMOGRAFI KELUARGA DAN ASPEK PERSONAL


A. KARAKTERISTIK DEMOGRAFI KELUARGA
Nama Kepala Keluarga : Tn. D
Alamat Lengkap

: Desa Bendungan, Kecamatan Kedawung, Sragen

Bentuk Keluarga

: nuclear family

Struktur Komposisi Keluarga:


Tabel 1.1. Daftar anggota keluarga yang tinggal dalam satu rumah
N
o

Nama

Kedudukan

Pendidika
n

Pekerjaan

Ket
.

1.

Tn. D

Kepala
keluarga

31
tahun

SMP

Wiraswasta

2.

Ny. D

Anggota

24
tahun

SMP

Ibu rumah
tangga

3.

An. F

Anggota

6
tahun

TK

Pelajar

L/P Umur

(Sumber : Data primer, Januari 2017)


Kesimpulan :
Keluarga Tn. D adalah nuclear family yang terdiri atas 3 orang. Pasien
tinggal satu rumah bersama istri yaitu Ny. D (24 tahun) dan anak kandungnya
yaitu An. F (6 tahun). Dalam keluarga tersebut, terdapat satu orang sakit yaitu Tn.
D, umur 31 tahun dengan diagnosis klinis Kusta. Saat ini Tn. D bekerja sebagai
wirasawasta yaitu pedagang bawang di Pasar Kedawung.

TAHAP II
STATUS PASIEN
A. IDENTITAS PASIEN
Nama
Umur
Alamat
Jenis kelamin
Agama
Tanggal Pemeriksaan

: Tn. D
: 31 tahun
: Desa Kedawung, Kecamatan Kedawung, Sragen
: Laki - Laki
: Islam
: 13 Januari 2017

B. ANAMNESIS (Autoanamnesis)
IDENTIFIKASI ASPEK PERSONAL
1. Alasan kedatangan berobat
Pasien datang ke Puskesmas Kedawung I untuk melakukan
pengobatan setelah dilakukan pemeriksaan di RSUD Sragen dan
didiagnosis oleh Dokter Spesialis Kulit Kelamin yaitu pasien menderita
Kusta tipe Multibasiler (BTA Kulit +).
2. Persepsi pasien tentang penyakit
Pasien mengerti dengan keadaan yang dialaminya. Pasien sadar
akan perlunya pengobatan terhadap penyakitnya dan membutuhkan
waktu yang lama dan kedisiplinan dalam pengobatan penyakitnya.
3. Harapan pasien
Pasien berharap penyakit kusta yang dideritanya dapat sembuh
dengan baik agar pasien dapat beraktivitas normal seperti sediakala
bersama keluarganya serta agar tidak minder dengan keadaan fisiknya.
4. Kekhawatiran pasien
Pasien merasa khawatir apabila penyakitnya tidak segera ditangani
maka akan menyebabkan kecacatan permanen.
5.

Keluhan Utama

: Gatal di seluruh tubuh

6. Riwayat Penyakit Sekarang


Pada bulan November 2016 pasien mengeluhkan rasa gatal pada
seluruh tubuh. Rasa gatal dirasakan terus-menerus terutama saat
berkeringat

sehingga

mengganggu

aktivitas

pasien.

Pasien

juga

mengeluhkan adanya dompo pada tubuh pasien. Dompo dirasa semakin

tebal. Selain itu pasien juga mengeluhkan panas. Panas dirasakan hilang
timbul. Pasien memiliki riwayat bekerja di Ternate sebagai tukang ojek
pada tahun 2004-2005. Menurut pasien tidak ada teman ataupun tetangga
di sana yang memiliki keluhan yang sama dengan pasien. Tetapi ada
tempat khusus orang yang memiliki penyakit kusta.
Kemudian pasien memeriksakan diri ke dokter spesialis kulit di
Tugupan, dan didiagnosis kusta. Pasien kemudian melakukan pengobatan
awal pada bulan November 2016 di Puskesmas Kedawung 1. Dan saat ini
pasien sudah mengkonsumsi obat kusta selama 2 bulan. Pasien mengaku
mengalami penurunan berat badan selama 2 bulan dari 75 kg menjadi 69
kg. Pasien mengaku lebih menjaga pola makan. Saat ini pasien sudah tidak
mengelukan gatal, nyeri, ataupun rasa tebal.
7. Riwayat Penyakit Dahulu
a. Riwayat sakit serupa

: disangkal

b. Riwayat tekanan darah tinggi

: disangkal

c. Riwayat sakit gula

: disangkal

d. Riwayat alergi

: disangkal

e. Riwayat sakit asma

: disangkal

8. Riwayat Penyakit Keluarga


a

Riwayat sakit serupa

: disangkal

Riwayat tekanan darah tinggi

: disangkal

Riwayat sakit gula

: disangkal

Riwayat sakit asma

: disangkal

Riwayat alergi

: disangkal

Riwayat sakit jantung

: disangkal

9. Riwayat Sosial Ekonomi


Pasien adalah seorang laki-laki berusia 31 tahun. Pasien tinggal
bersama istri dan seorang anaknya. Saat ini pasien bekerja sebagai
pedagang bawang. Tn. D mengambil barang dari Mojokerto kemudian

menjual di Pasar Kedawung. Sebelumnya pasien bekerja sebagai tukang


ojek pada saat di Ternate. Sedangkan istri pasien adalah ibu rumah tangga.
Saat ini, Tn. D mengandalkan penghasilan dari berdagang di pasar
dan dirasa cukup untuk memenuhi kehidupan sehari-hari. Saat ini pasien
berobat dengan dengan bantuan dari pemerintah daerah yaitu Saraswati.
Setelah menderita kusta, pasien masih bergaul dengan warga
ligkungan sekitar dan teman temannya. Menurut pengakuan pasien,
keluarga maupun masyarakat sekitar menerima keadaan Tn. D dan
membantu mengingatkan agar selalu rutin minum obat setiap hari. Pasien
juga masih melakukan aktivitas dengan masyarakat seperti solat berjamaah
di mushola dekat rumah pasien dan pasien rutin mengikuti musyawarah
RT dan RW.
10. Riwayat Nutrisi RECALL DIET
Pasien makan 2-3 kali sehari dengan menu nasi, lauk, sayur. Lauk
yang dimakan biasanya tempe, tahu atau telur. Pasien terkadang makan
daging atau ikan. Pasien juga mengaku sering mengonsumsi gorengan.
Pasien jarang mengonsumsi buah-buahan. Setelah sakit pasien mengurangi
makan-makanan gorengan dan minum air es.
Kesan: Kuantitas dan kualitas nutrisi cukup
C. ANAMNESIS SISTEM
Keluhan utama

: Gatal pada seluruh tubuh


1 Kulit

: Pucat (-), menebal (-), gatal (-), kuning

(-)
2 Kepala

: sakit kepala (-), leher cengeng (-),

pusing berputar (-), luka (-), benjolan (-)


3 Mata
:
mata
berkunang-kunang

(-/-),

penurunan tajam penglihatan (-/-), gatal (-/-), mata


kuning (-/-), mata merah (-/-)
4 Hidung
: Tersumbat (-), keluar darah (-), keluar
lendir atau air berlebihan (-), gatal (-).
5 Telinga
: Telinga berdenging (-/-) pendengaran
berkurang (-/-), keluar cairan atau darah (-/-)

6 Mulut

: bibir kering (-), gusi mudah berdarah

(-), sariawan (-), gigi mudah goyah (-)


7 Tenggorokan
: Rasa kering dan gatal (-), nyeri
untuk menelan (-), suara serak (-)
8 Sistem respirasi : batuk (-), dahak (-), sesak nafas (-),
nyeri dada (-), mengi (-), batuk darah (-)
9 Sistem kardiovaskuler
:

Nyeri

dada (-), rasa tertekan (-), sering pingsan


(-), berdebar-debar (-), keringat dingin (-),
ulu hati terasa panas (-), denyut jantung
meningkat (-), bangun malam karena sesak
nafas (-)
10 Sistem gastrointestinal

Nyeri

perut kanan atas (-), perut mrongkol (-),


perut membesar (-), mual (-), muntah (-),
nafsu makan berkurang (-), nyeri ulu hati
(-), BAB cair(-), BAB bercampur darah
(-), BAB bercampur lendir (-) rasa penuh
di perut (-), cepat kenyang (-), sulit BAB
(-), perut nyeri setelah makan (-)
11 Sistem muskuloskeletal
: kaku sendi
(-), nyeri sendi (-), bengkak sendi (-), nyeri
otot (-), kejang (-)
12 Sistem genitouria

Nyeri

saat

BAK (-), panas saat BAK (-), sering buang


air kecil (-), air kencing warna seperti teh
(-), BAK darah (-), nanah

(-),

anyang-anyangan (-), sering menahan


kencing (-), rasa pegal di pinggang (-), rasa
gatal pada saluran kencing (-), rasa gatal

Atas

pada alat kelamin (-)


13 Ekstremitas
:
: Bengkak (-/-), luka (-/-), tremor (-/-),
ujung jari terasa dingin (-/-), nyeri (-/-)
5

Bawah
14 Neurologi
15 Riwayat Psikiatri

: Bengkak (-/-), luka (-/-), tremor (-/-),


ujung jari terasa dingin (-/-), nyeri (-/-)
: kebas (-)

Keluhan utama
Riwayat Penyakit Sekarang

: Pasien hari ini merasa cemas


: Pasien merupakan pasien kusta sejak
November

2016.

Pasien

perawatan sejak November 2016.


Riwayat Penyakit Dahulu
a.

Riwayat Psikiatri

: (-)

b.

Riwayat Medis

: (-)

c.

Riwayat trauma kepala : (-)

Status Mentalis
a.

Deskripsi Umum
Penampilan: Laki-laki sesuai umur, perawatan diri baik
Pembicaraan: Volume cukup, artikulasi jelas, intonasi jelas
Psikomotor: normoaktif
Sikap: kooperatif dengan pemeriksa

b.

Kesadaran
Kuantitatif: compos mentis (GCS E4V5M6)
Kualitatif: tidak berubah

c.

Alam Perasaan
Mood: euthymik
Afek: normoafek
Keserasian: serasi
Empati: dapat dirabarasakan

d.

Fungsi Intelektual
Daya Konsentrasi: Baik
Orientasi O/T/W/S: Baik
Daya ingat: Baik

e.

Gangguan Persepsi
Halusinasi: (-)

menjalani

Ilusi: (-)
Derealisasi: (-)
Depersonalisasi: (-)
f.

Proses Pikir
Bentuk: Realistis
Isi: Preokupasi penyakitnya, waham (-)
Depersonalisasi: (-)

g.

Daya Nilai
Sosial: Baik
Realita: Baik

Tilikan derajat VI

D. PEMERIKSAAN FISIK
1

Keadaan Umum
Tampak sakit ringan, kesadaran compos mentis (GCS E4V5M6), status
gizi kesan baik.

Tanda Vital
Nadi

: 80 x/menit

Pernafasan

: 20 x/menit

Suhu

: 36,70C per axiler

Status Gizi
BB

: 69 kg

TB

: 168 cm

BMI

: 24,4 kg/m2

Status gizi

: normoweight

Kulit
Warna sawo matang, turgor baik, tampak makula eritem berbatas tegas
multiple diskrit, ikterik (-), sianosis (-), petechie (-), spider nevi (-)

Kepala

Bentuk mesochepal, rambut sukar dicabut, distribusi merata, berwarna


hitam,
6

Mata
Konjungtiva pucat (-/-), sklera ikterik (-/-), pupil isokor (3mm/3mm),
reflek kornea (+/+)

Hidung
Nafas cuping hidung (-), sekret (-), epistaksis (-), deviasi septum (-),

Mulut
Mukosa basah (+), bibir pucat (-), bibir kering (-), papil lidah atrofi (-),
gusi berdarah (-), gigi tanggal (-)

Telinga
Membran timpani intak (+), sekret (-)

10 Tenggorokan
Tonsil membesar (-), faring hiperemis (-), dahak (-)
11 Leher
Trakea di tengah, JVP tidak meningkat, Kelenjar Getah Bening tidak
membesar, tampak bercak putih di sekitar leher.
12 Thoraks
Normochest, simetris, pernapasan thoracoabdominal, retraksi (-), spider
nevi (-), pulsasi infrastenalis (-), sela iga melebar (-)
a Cor
1

Inspeksi
Ictus cordis tak tampak

Palpasi
Ictus cordis tak kuat angkat

Perkusi

Batas jantung kesan tidak melebar


4

Auskultasi
BJ I dan BJ II intensitas normal, regular, bising (-),

Pulmo
1

Inspeksi

: pengembangan dada kanan=dada kiri

Palpasi

: fremitus raba kanan=kiri

Perkusi

: sonor/sonor
4 Auskultasi

suara

dasar

vesikuler,

suara

tambahan (-)
13 Abdomen
I: dinding perut sama tinggi dengan dinding dada, supel, NT (-)
A: bising usus (+) normal
P: timpani seluruh lapang perut
P: supel, nyeri tekan (-), hepar dan lien tak teraba
14 Ekstremitas
Atas : Palmar eritem (-/-), akral dingin (-/-), oedem (-/-), wasting (-/-),
CRT < 2
Bawah
: Palmar eritem (-/-), akral dingin (-/-), oedem (-/-), wasting
(-/-), CRT < 2, ADP kuat, baggy pants (-/-).
15 Status Neurologis
i

Fungsi Sensibilitas

: (+) pada daerah bercak, (+)

pada bagian tubuh yang lain


ii Fungsi motorik

:Kekuatan ekstremitas

(5),

tonus otot normal, eutrofi


iii Refleks fisiologis

: Biceps (+2), Triceps (+2),

Patella (+2), Achilles (+2)


iv Refleks patologis

Hoffmann-Tromer

(-),

Babinski (-), Chaddok (-), Gordon (-), Oppenheim


(-), Rossolimo (-), Mendel-Bechterew (-)
9

E. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1

Pemeriksaan Bakterioskopik (November 2016)


Pemeriksaan bakterioskopik di RSUD dr. Soehadi Prijonegoro Sragen,
dengan hasil BTA kulit pada lesi telinga dan lesi lain (+).

Pemeriksaan penunjang lain yang dapat dilakukan yakni :


a. Lepromin Test
b. Uji

serologis

MPLA

(Mycrobacterium

leprae

particle

agglutination)
c. Pemeriksaan Histopatologi (PA)
d. PCR
F. RESUME
Pasien merupakan penderita DM sejak 3 tahun yang lalu. Pasien
mengeluhkan badan sering terasa lemas dan sering sakit kepala. Badan lemas
dan sakit kepala dirasakan tiba-tiba meskipun pasien tidak sedang beraktivitas.
Selain itu, pasien juga sering buang air kecil dan cepat merasa lapar. Pasien
sering terbangun di malam hari untuk BAK 3-5 kali setiap malam, BAK pada
siang hari 8-10 kali. Pasien banyak makan dan minum namun tidak disertai
dengan peningkatan berat badan yang sesuai. Sebulan sekali pasien kontrol ke
PKU Muhammadiyah Sragen untuk pemeriksaan gula darah. Pada Mei 2013
pasien didiagnosis DM tipe 2 berdasarkan gejala klasik DM dan pemeriksaan
GDS (Gula Darah Sewaktu) 490 mg/dL. Dokter memberikan obat metfromin
dan glimepiride, serta menyarankan pasien untuk kontrol penyakit DM di
PKU Muhammadiyah Sragen.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum tampak sakit
sedang, compos mentis (GCS E4V5M6), status gizi kesan kurang. Tanda vital,
tensi: 170/90 mmHg, nadi: 92 x/menit (reguler, isi cukup, simetris),
pernafasan: 18 x/menit, suhu: 36,00C per axiler. Status Gizi, BB: 45 kg, TB:

10

155 cm, BMI: BB/TB2 = 45/(1,55)2 = 17,90 kg/m2 , Status gizi: BB kurang
(<18,5 kg/ m2 ). Pada pemeriksaan fisik tidak didapatkan kelainan.
Pemeriksaan GDS (Gula Darah Sewaktu) menunjukkan kadar gula darah
meningkat lebih dari normal (248 mg/dl).
G. PATIENT CENTERED DIAGNOSIS
1. Diagnosis Holistik
Ny. S yang berusia 56 tahun dalam extended family dengan
diagnosa DM tipe II dan hipertensi stage 2. Hubungan suami (Tn. W) dan
istri (Ny. S) dalam keluarga harmonis. Dari segi fungsi psikologis, pasien
tidak mengalami depresi, ansietas, maupun stres. Fungsi sosial keluarga
Ny. S baik dengan terjalinnya komunikasi dan perhatian yang baik antar
anggota keluarga maupun dengan masyarakat sekitar. Walaupun Ny. S
menderita DM, hal tersebut tidak menyebabkan pasien mengalami
penurunan fungsi sosial dalam bersosialisasi aktif di masyarakat, akan
tetapi keluarga ini tidak mempunyai kedudukan sosial tertentu dalam
masyarakat. Suami pasien bekerja sebagai buruh tani sedangkan pasien
sebagai ibu rumah tangga dan pengrajin batik dengan penghasilan kurang
lebih Rp. 1.300.000,00 dalam sebulan. Jumlah ini cukup untuk memenuhi
kebutuhan sehari-hari. Untuk jaminan kesehatan, pasien memiliki kartu
BPJS keanggotaan kelas III dan membayar premi setiap bulan. Interaksi
antara pasien dengan keluarga lain harmonis. Tingkat pendidikan yang
masih rendah, membuat pasien dan suaminya kurang mengerti tentang
kondisi yang dialami pasien.
2

Diagnostik Biologis
DM tipe 2 dan hipertensi stage 2.

Diagnostik Psikologis
Interaksi yang terjadi dalam keluarga ini baik. Fungsi psikologis
pasien diukur menggunakan kuesioner DASS (Depression Anxiety and
Stress Scale). Pada penilaian menggunakan kuesioner DASS, pasien tidak

11

mengalami depresi, ansietas, maupun stres. Tidak terjadi konflik yang


berarti dalam keluarga pasien.
4

Diagnostik Sosial, Ekonomi, dan Budaya


Selama sakit pasien masih bisa bersosialisasi tetapi lebih sering
tiduran di rumah dikarenakan kondisi fisik pasien yang kadang lemah,
namun hubungan pasien dengan tetangga-tetangganya tetap terjalin baik.
Untuk kegiatan sosial kemasyarakatan, pasien kadang diwakilkan oleh
anaknya. Dari segi ekonomi, penghasilan Tn. W dan Ny. S kurang lebih
Rp 1.300.000,00 per bulan, didapatkan dari hasil bertani dan membuat
batik. Pasien juga memelihara seekor sapi. Anak pertama pasien bekerja
sebagai buruh di tempat jual beli barang bekas. Anak kedua bekerja
sebagai pengrajin batik, anak ketiga bekerja sebagai buruh di Pasar
Klewer. Anak kedua dan ketiga tinggal di rumah yang berdempetan
dengan rumah pasien. Ketiga anaknya sering memberi uang pada orang
tuanya.

H. PENATALAKSANAAN
1

Medikamentosa
Pemberian regimen MDT MB untuk dewasa oleh puskesmas

Rifampisin 600mg/bulan

Dapson 100mg/hari

Lamprene 50mg/hari

Non Medikamentosa
-

Pemahaman tentang penyakit kusta, faktor risiko yang bisa


menimbulkan kusta, dan cara penularannya

Edukasi mengenai terapi farmakologis (jenis obat, cara minum obat,


lama pengobatan, dan efek samping obat) kusta dan target
pengobatan

12

Edukasi mengenai pengambilan obat di Puskesmas kepada pasien


maupun keluarga pasien

Edukasi mengenai kepatuhan pengobatan kepada pasien maupun


keluarga

Edukasi meningkatkan kepercayaan diri pasien untuk tetap


bersosialisasi dengan masyarakat sekitar dan tidak mengurung diri
dari masyarakat

Edukasi untuk menghilangkan stigma masyarakat mengenai penyakit


kusta

I. FLOW SHEET
Nama

: Tn. D

Diagnosis : Kusta tipe MB dalam pengobatan bulan ke 2


No

Tgl

1 22
November
2016

Vital
Sign

Keadaan
Umum

N: 90
x/menit

Tampak sakit
ringan,
composmentis

RR: 18
x/menit

Terapi
Medikamentosa
MDT MB untuk dewasa
Non Medikamentosa
Edukasi :

T: 36,3 C

2 20
Desember
2016

N: 88
x/menit
RR: 16
x/menit

Tampak sakit
ringan, compos
mentis

Menjaga asupan nutrisi.


Istirahat yang cukup
Minum obat teratur
Mengurangi terkena sinar
matahari
Medikamentosa

Edukasi :
-

13

Berkurangny
a bercakbercak di
kulit pasien

MDT MB untuk dewasa


Non Medikamentosa

T: 36,6 C

Target

Menjaga asupan nutrisi.


Istirahat yang cukup
Minum obat teratur
Mengurangi terkena sinar
matahari

Berkurangny
a bercakbercak di
kulit pasien

14

TAHAP III
IDENTIFIKASI FUNGSI-FUNGSI KELUARGA
A. FUNGSI HOLISTIK
1

Fungsi Biologis dan Klinis


Pasien Tn. D tinggal bersama dengan keluarga inti (nuclear family)
yang terdiri dari Tn. D, istri (Ny. D), dan seorang anak perempuan (An.
V). Tidak ada riwayat penyakit menurun (herediter) dari keluarga Tn. D.

Fungsi Psikologis
Hubungan yang terjadi dalam keluarga ini cukup baik. Jarang timbul
masalah diantara tiap anggota keluarga. Apabila ada masalah, mereka akan
berdiskusi bersama, keputusan yang diambil juga diputuskan bersama agar
tidak ada yang merasa diperberat. Fungsi psikologis pasien diukur
menggunakan kuesioner DASS (Depression Anxiety and Stress Scale).
Pada penilaian menggunakan kuesioner DASS, pasien maupun keluarga
tidak mengalami depresi, tidak ansietas, dan tidak stres.

Fungsi Sosial
Pada awal didiagnosis menderita penyakit Kusta, Tn. D cenderung
menutup diri dan berdiam di dalam rumah, namun setelah berkonsultasi
dengan dokter dan menjalani pengobatan, Tn. D mulai bersosialisasi dan
mengikuti kegiatan di masyarakat. Keluarga bersikap terbuka baik
terhadap sanak saudara maupun tetangga sekitar mengenai pemyakit yang
diderita Tn. D, dan mereka justru memberikan support kepada Tn. D
dalam menjalani pengobatan.

Fungsi Ekonomi
Sumber perekonomian keluarga berasal dari penghasilan Tn. D. Pada
tahun 2004 Tn. D merantau ke Ternate dan bekerja sebagai tukang ojek,
namun sekitar pertengahan tahun 2008 ia memutuskan kembali ke Sragen
dan beralih pekerjaan menjadi pedagang brambang di pasar hingga saat
ini. Istri Tn. D merupakan ibu rumah tangga dan tidak bekerja. Untuk
biaya kesehatan, semua anggota keluarga terdaftar menjadi anggota BPJS.

15

Bila ada anggota keluarga yang sakit, maka langsung diperiksakan ke


Puskesmas Kedawung yang jaraknya dekat dengan rumah pasien.
5

Fungsi Penguasaan Masalah dan Kemampuan Beradaptasi


Dalam menyelesaikan masalah, Tn. D selalu berdiskusi dengan istri
dan juga kedua orangtuanya untuk memperoleh solusi permasalahn yang
terbaik. Hubungan dalam keluarga harmonis. Saat ini Tn. D mendapatkan
perhatian lebih dan dorongan dari keluarga dalam menyelesaikan
pengobatannya. Tn. D juga cukup baik dalam hal beradaptasi dengan
masyarakat dan budaya di sekitar tempat tinggalnya.

B. FUNGSI FISIOLOGIS
Untuk menilai fungsi fisiologis digunakan APGAR score. APGAR score
adalah skor yang digunakan untuk menilai fungsi keluarga ditinjau dari sudut
pandang setiap anggota keluarga terhadap hubungannya dengan anggota
keluarga yang lain.
1.

Adaption
Adaptation menunjukkan kemampuan anggota keluarga tersebut beradaptasi
dengan anggota keluarga yang lain, penerimaan, dukungan, dan saran dari
anggota keluarga yang lain. Adaptation juga menunjukkan bagaimana keluarga
menjadi tempat utama anggota keluarga kembali jika dia menghadapi masalah.
Contohnya, keluarga merupakan tempat pertama bagi Tn. D untuk kembali dan
berbagi serta berdiskusi apabila menghadapi masalahnya, termasuk masalah
penyakit kusta yang dideritanya

2.

Partnership
Partnership menggambarkan komunikasi, saling membagi, saling mengisi
antara anggota keluarga dalam segala masalah yang dialami oleh keluarga
tersebut, bagaimana sebuah keluarga membagi masalah dan membahasnya
bersama-sama. Tn. D sudah merasa puas dengan cara keluarga membagi
masalah.

3.

Growth
Growth menggambarkan dukungan keluarga terhadap hal-hal baru yang
dilakukan anggota keluarga tersebut. Misalnya, pada saat Tn. D memutuskan

16

untuk bekerja hingga ke luar pulau, orang tuanya sangat mendukung keputusan
itu dan ketika memutuskan untuk bekerja di luar kota, orang tuanya juga selalu
memberi dukungan penuh.
4.

Affection
Affection menggambarkan hubungan kasih sayang dan interaksi antar
anggota keluarga, di dalam keluarga terdapat rasa saling menyayangi satu sama
lain dan saling memberi dukungan serta mengekspresikankasih sayangnya.
Menurut pasien, secara keseluruhan hubungan kasih sayang antara Tn. D dengan
kedua orang tuanya cukup baik.

5.

Resolve
Resolve menggambarkan kepuasan anggota keluarga tentang kebersamaan
dan waktu yang dihabiskan bersama anggota keluarga yang lain. Dalam keluarga
Tn. D nilai resolve sudah sangat baik, ditandai dengan setiap hari keluarga
terbiasa berkumpul untuk makan malam bersama dan menonton TV
Adapun sistem skor untuk APGAR ini yaitu :
1. Selalu/sering

: 2 poin

2. Kadang-kadang

: 1 poin

3. Jarang/tidak pernah : 0 poin


Dan penggolongan nilai total APGAR ini adalah :
1. 8-10 : baik
2. 6-7 : cukup
3. 1-5 : buruk
Penilaian mengenai fungsi fisiologis keluarga Tn. D dapat dilihat pada Tabel 3.1
Tabel 3.1 APGAR Anggota Keluarga Tn. D
Tn. D

Kode

APGAR keluarga Tn. D

Saya puas bahwa saya dapat kembali ke keluarga saya


bila saya menghadapi masalah

Saya puas dengan cara keluarga saya membahas dan


membagi masalah dengan saya

17

Saya puas dengan cara keluarga saya menerima dan


mendukung keinginan saya untuk melakukan kegiatan
baru atau arah hidup yang baru

Saya puas dengan cara keluarga


saya
mengekspresikan kasih sayangnya dan merespon
emosi saya seperti kemarahan, perhatian dll

Saya puas dengan cara keluarga saya dan saya


membagi waktu bersama-sama

Total Nilai APGAR

8
Sumber : Data primer, Januari 2017

Kesimpulan:
Fungsi fisiologis keluarga Tn. D tergolong baik. Hal ini terlihat dari total skor
APGAR 8.
C. FUNGSI PATOLOGIS
Fungsi patologis menilai setiap sumber daya yang dapat digunakan oleh
keluarga ketika keluarga Tn. D menghadapi permasalahan. Fungsi patologis
keluarga Tn. D dapat diamati pada Tabel 3.2
Tabel 3.2. SCREEM Keluarga Tn. D
Sumber

Patologi

Ket.

SOCIAL

Interaksi sosial antar anggota keluarga dan


masyarakat baik. Hanya saat awal didiagnosis
menderita penyakit Kusta sedikit menutup diri
namun setelah berkonsultasi dengan dokter dan
menjalani pengobatan, Tn. D mulai bersosialisasi
kembali.

CULTURAL
RELIGION

Keluarga Tn. D menerapkan adat-istiadat Jawa


dalam kehidupannya, mereka menjaga nilai-nilai
kesopanan dalam interaksinya. Bahasa yang
digunakan untuk komunikasi sehari-hari adalah
Bahasa Jawa.
Tn. D dan keluarga menerapkan dan menjaga
nilai-nilai kerohanian Islam dalam hidupnya.
Mereka rutin beribadah dan mengaji di rumah.
Mereka merasa bahwa kegiatan spiritual mampu
membantu mereka mengatasi permasalahan18

ECONOMY

EDUCATION

MEDICAL

permasalahan dalam hidup.


Tabungan Tn. D dan penghasilan istri diakui
cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Pasien juga masih bisa membayar biaya
kesehatannya secara mandiri.
Pendidikan terakhir Tn. D pada tingkat SMK
namun belum sampai lulus memutuskan untuk
+
berhenti sekolah dan merantau ke Maluku
bersama kakak.
Apabila ada masalah kesehatan, keluarga Tn. D
selalu berobat ke Puskesmas maupun pelayanan
kesehatan lainnya.
Sumber : Data primer, Januari 2017

Kesimpulan:
Fungsi patologis keluarga Tn. D mengalami gangguan pada area sosial dan
pendidik

19

GENOGRAM
Ny. W
88 th

Tn.S
90 th

Tn W 73th

Ny. D
68th

Ny. N
62 th

Ny. D
80th

Tn.R
87th

Ny. M
57th

Tn. K
65th

Ny. Y 62th

Ny. S
56 th

Tn. S
60 th

Tn. S 34th

An. Rz
10 th

Ny. K
29 th

Ny. D 24th

Tn. D
31th

An. V
6 th

An. Ri
8 th

20

Tn. N
29 th

Keterangan:
: Laki-laki
: Laki-laki yang telah meninggal
: Wanita
: Pasien
: Wanita yang telah meninggal
: Tinggal serumah

21

D. POLA INTERAKSI KELUARGA


Ny. D

Tn. D

An. K Keluarga Tn. D


Gambar 3.3 Pola Interaksi
Sumber : Data primer, Januari 2017
Keterangan :
: Hubungan harmonis
: Hubungan tidak harmonis
Kesimpulan :
Hubungan antar anggota keluarga Tn. D harmonis dan dekat.
E. FAKTOR-FAKTOR

PERILAKU

YANG

MEMPENGARUHI

KESEHATAN
1. Pengetahuan
Pendidikan terakhir Tn. D adalah SMK, sehingga kemampuan dan
kesadaran untuk mencari atau mengetahui informasi yang cukup tentang
penyakit yang dialami. Namun keluarga Tn. D memiliki untuk kesadaran
memeriksakan diri ke dokter apabila sakit sudah cukup baik. Mereka tidak
rajin kontrol ke pelayanan kesehatan dan hanya akan memeriksakan diri
kepada dokter pemeriksa jika dirasakan ada gejala yang mengganggu.
Pengetahuan pasien akan pentingnya pengendalian dan komplikasi dari
penyakitnya cukup baik. Hal itu membuat pasien rutin minum obat.

2. Sikap
Tn. D dan keluarga mempunyai sikap terhadap kesehatan yang
cukup baik. Sehat menurut Tn. D adalah dimana beliau bisa melakukan
segala aktivitas tanpa adanya keterbatasan yang dapat diperoleh dari pola
makan yang sehat dan olahraga yang teratur, dan apabila dirasa terdapat

22

keterbatasan atau kelainan yang benar-benar menggangu aktivitasnya


barulah pasien periksa ke dokter.
3. Tindakan
Tn. D memiliki tindakan terhadap kesehatan yang cukup baik.
Pasien rutin minum obat setiap hari. Kekurangan lain dari tindakan Tn. D
yang mempengaruhi kesehatannya adalah sering terlambat makan dan
minum obat.
F. SIKLUS KEHIDUPAN KELUARGA
Dalam siklus kehidupan keluarga terdapat tahap-tahap yang dapat
diprediksi. seperti individu-individu yang mengalami tahap pertumbuhan dan
perkembangan yang berturut-turut, keluarga sebagai sebuah unit juga
mengalami tahap-tahap perkembangan yang berturut-turut.
Tabel 3.3 Delapan Tahap Siklus Kehidupan Keluarga

Tahap I

: Keluarga Pemula (juga menuju pasangan menikah


atau tahap pernikahan)

Tahap II

: Keluarga sedang mengasuh anak (anak tertua adalah bayi sampai


umur 30 bulan)

Tahap III

: Keluarga dengan anak usia prasekolah (anak tertua berumur 2


hingga 6 tahun)

Tahap IV

: Keluarga dengan anak usia sekolah (anak tertua berumur 6 hingga


13 tahun).

Tahap V

: Keluarga dengan anak remaja (anak tertua berumur 13 hingga 25


tahun).

Tahap VI

: Keluarga yang melepas anak usia dewasa muda (mencakup anak


pertama sampai anak terakhir) yang meninggalkan rumah.

Tahap VII : Orangtua usia pertengahan (tanpa jabatan, pensiunan).

23

Tahap VIII : Keluarga dalam masa pensiun dan lansia (juga menunjuk kepada
anggota keluarga yang berusia lanjut atau pensiun) hingga pasangan
yang sudah mengenalinya.
(Duvall and Evelyn, 1977)
Berdasarkan siklus hidup keluarga di atas, keluarga Ny. S masuk
dalam tahap VII : keluarga dengan kepala keluarga (Tn. N) berusia 57 tahun
dan istrinya (Ny. S) berusia 53 tahun. Dalam tahap ini keluarga Ny. N mampu
melepas anak terakhir untuk meninggalkan rumah bersama keluarganya
sendiri, mempertahankan keintiman dan komunikasi yang harmonis pasangan
serta anggota keluarga lain, tetapi kurang mampu memenuhi kebutuhan dan
biaya kehidupan yang sehari-hari, termasuk kebutuhan untuk meningkatkan
kesehatan anggota keluarga.

G. FAKTOR-FAKTOR NON PERILAKU YANG MEMPENGARUHI


KESEHATAN
1. Lingkungan
Berikut ini adalah keadaan rumah pasien:
Tabel 3.3 Keadaan Rumah Tn. D
No

Lingkungan Tn. D

Status kepemilikan
sendiri

Daerah perumahan: dekat persawahan

Luas tanah: 140 m2, luas bangunan:


8x12m2

Jumlah penghuni dalam satu rumah: 3


orang

Jarak antar rumah: 40m (depan), 10m


(samping)

Rumah 1 lantai
24

rumah:

Keterangan
milik

Kesimpulan:
Keadaan
rumah Tn.
D masih
kurang
dalam
kerapian
dan
kebersihan.

Lantai rumah: semen

Dinding rumah: tembok bata, tinggi,


tidak dicat

Jamban keluarga: ada (1)

10

Kamar mandi: ada (1)

11

Dapur: ada (1)

12

Kamar tidur: ada 2

13

Penerangan listrik @20watt x 10 buah


lampu = 200 watt

14

Pencahayaan: cukup

15

Ketersediaan air bersih bersumber dari


sumur

16

Kondisi umum rumah: kondisi rumah


kurang rapi dan kurang bersih

17

Tempat pembuangan sampah: di dalam


rumah terdapat tempat sampah dan
di luar rumah terdapat tempat
pembakaran sampah.
Sumber : Data primer, Januari 2017

2. Keturunan
Tidak ada riwayat penyakit keturunan (herediter) dari keluarga Tn.
D
3. Pelayanan Kesehatan
Tn. D memiliki kemauan memeriksakan diri ke pelayanan
kesehatan seperti kontrol untuk penyakitnya dan memeriksakan diri jika
sakit. Ketersediaan sarana dan prasarana pelayanan kesehatan sudah cukup
baik. Namun Tn. D belum mempunyai jaminan kesehatan karena merasa
dirinya mampu membayar sendiri semua biaya kesehatan.

25

Pemahaman:
Ny. S kurang memahami
penyakitnya

Lingkungan:
Kebersihan lingkungan
rumah belum sepenuhnya
terjaga

Sikap:
Keluarga Ny. S mendukung
pengobatan Ny. S

Keturunan:
Tidak ada riwayat penyakit
keturunan

Ny. S

Tindakan:
Ny. S sudah berhenti
mengonsumsi gula pasir

Pelayanan Kesehatan:
Jika sakit keluarga akan
segera periksa ke
Puskesmas

Gambar 3.3 Faktor Perilaku dan Nonperilaku yang Mempengaruhi


Kesehatan Keluarga Ny. S
Keterangan:
: Faktor Perilaku
: Faktor Non Perilaku

H. IDENTIFIKASI INDOOR DAN OUTDOOR


1. Lingkungan Indoor

U
Kamar
Mandi
Dapur
8
m

Ruang Keluarga
Kamar
Tidur I

Ruang Tamu

12
m
Teras
26

Kamar
Tidur II

Gambar 3.4 Denah Rumah Tn. D


Keterangan Gambar :
: Jendela
: Pintu
Keterangan:
a. Luas rumah 96m2, lantai semen, pencahayaan cukup.
b. Penggunaan air sumur untuk mandi, mencuci, dan memasak.
c. Keadaan dalam rumah kurang rapi dan kurang bersih
2. Lingkungan Outdoor
a. Tidak terdapat pagar pada bagian belakang rumah
b. Terdapat tempat pembuangan sampah yang cukup, namun tidak
memiliki batas seperti bak maupun penutup. Sampah biasanya dibakar
c. Jarak jamban dari sumber air bersih lebih dari 10 meter

27

TAHAP IV
DIAGNOSTIK HOLISTIK
A. Diagnosis Holistik
Ny. S yang berusia 53 tahun dalam extended family dengan diagnosa
TB Paru BTA (+) kasus kambuh putus obat, retinopati, dan neuropati DM.
Hubungan suami (Tn. N) dan istri (Ny. S) dalam keluarga harmonis. Dari segi
fungsi psikologis, pasien mengalami depresi, ansietas, dan mengalami stres
tingkat sedang. Fungsi sosial keluarga Ny. S masih cukup baik, walaupun
aktifitas fisik pasien mengalami pengurangan sejak menderita penyakit TBC,
akan tetapi Tn. N dan Ny. S masih bersosialisasi dalam masyarakat lewat
berbagai macam bentuk kegiatan, akan tetapi keluarga ini tidak mempunyai
kedudukan sosial tertentu dalam masyarakat. Suami pasien bekerja sebagai
wiraswasta, yaitu pembuat dan penjual kerupuk, dengan penghasilan kurang
lebih Rp 300.000,00 per bulan, sedangkan, Ny. S sebagai ibu rumah tangga.
Jumlah ini kurang cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Penghasilan
ini didapatkan dari hasil penjualan sisa kerupuk di pasar. Sebelumnya, Tn. N
hanya membuat kerupuk mentah kemudian didistribusikan rekan kerjanya ke
Jakarta. Setelah rekan kerjanya tidak bekerja sama lagi, Tn. N hanya
menggoreng sisa kerupuk dan menjualnya di pasar. Sebelum pasien sakit, Tn.
N bekerja sebagai penjual gorengan dan Ny. S sebagai penjual jamu di
Sumatera. Anak kedua Ny. S yaitu Tn. R tidak mengirimkan uang untuk
orangtuanya, menurut Ny. S usaha Tn. R di Jakarta (penjual bakso) sedang
tidak lancar. Untuk jaminan kesehatan, pasien memiliki kartu Saraswati
Kenanga. Pasien pernah memiliki BPJS, tetapi sudah tidak aktif lagi karena
tidak membayar premi. Saat kunjungan FOME hari terakhir, proses
pendaftaran kembali ke BPJS PBI masih dalam proses yang dibantu oleh
petugas Puskesmas Plupuh I. Interaksi antara pasien dengan keluarga lain
harmonis. Tingkat pendidikan yang masih rendah, membuat pasien dan
istrinya kurang mengerti tentang kondisi yang dialami pasien.
B. Diagnostik Biologis

28

TB paru kambuh BTA (+) radiologi (+) putus obat, retinopati, dan
neuropati DM.
C. Diagnostik Psikologis
Interaksi yang terjadi dalam keluarga ini baik. Fungsi psikologis pasien
diukur menggunakan kuesioner DASS (Depression Anxiety and Stress Scale).
Pada penilaian menggunakan kuesioner DASS, pasien mengalami depresi,
ansietas, dan stres tingkat sedang. Tidak terjadi konflik yang berarti dalam
keluarga pasien.
D. Diagnostik Sosial, Ekonomi, dan Budaya
Selama sakit pasien kurang bisa bersosialisasi dikarenakan kondisi
fisik pasien yang masih belum memungkinkan, namun hubungan pasien
dengan tetangga-tetangganya tetap terjalin baik. Untuk kegiatan sosial
kemasyarakatan, pasien sering diwakilkan oleh suamiya. Dari segi ekonomi,
keluarga pasien mengalami penurunan pendapatan selama 1 tahun terakhir,
dikarenakan pasien dan suaminya tidak bisa bekerja seperti dahulu lagi.
Penghasilan Tn. N kurang lebih Rp 300.000,00 per bulan, didapatkan dari
hasil penjualan sisa kerupuk di pasar. Sebelumnya, Tn. N hanya membuat
kerupuk mentah kemudian didistribusikan rekan kerjanya ke Jakarta. Setelah
rekan kerjanya tidak bekerja sama lagi, Tn. N hanya menggoreng sisa kerupuk
dan menjualnya di pasar. Sebelum pasien sakit, Tn. N bekerja sebagai penjual
gorengan dan Ny. S sebagai penjual jamu di Sumatera. Anak kedua Ny. S
yaitu Tn. R tidak mengirimkan uang untuk orangtuanya, menurut Ny. S usaha
Tn. R di Jakarta (penjual bakso) sedang tidak lancar. Sedangkan, dalam segi
budaya, pasien dan keluarga masih menjunjung budaya setempat, yaitu
Budaya Suku Jawa.

TAHAP V
PEMBAHASAN DAN PENATALAKSANAAN KOMPREHENSIF
A. PEMBAHASAN

29

Penyakit Kusta atau yang dikenal pula sebagai Morbus Hansen


merupakan penyakit kronis yang disebabkan oleh infeksi Mycobacterium
leprae yang bersifat intraselular obligat. Penyakit ini pertama menyerang
saraf tepi, selanjutnya dapat menyerang kulit, mukosa mulut, saluran napas
bagian atas, sistem retikuloendotelial, mata, otot, tulang dan testis kecuali
susunan saraf pusat. Pada kebanyakan orang yang terinfeksi dapat
asimptomatik, namun sebagian kecil memperlihatkan gejala dan mempunyai
kecenderungan untuk menjadi cacat pada tangan dan kaki. Kusta bukan
penyakit keturunan. Kuman dapat ditemukan di kulit, folikel rambut, kelenjar
keringat, dan air susu ibu, jarang didapat dalam urin. Sputum dapat banyak
mengandung M. leprae yang berasal dari traktus respiratorius atas. Tempat
implantasi tidak selalu menjadi tempat lesi pertama. Dapat menyerang semua
umur, anak-anak lebih rentan daripada orang dewasa. (Djuanda et al., 2011;
Wisnu et al., 2000).
Sampai saat ini masalah epidemiologi masih belum sepenuhnya diketahui
secara pasti. Cara penularan belum diketahui pasti hanya berdasarkan
anggapan klasik yaitu melalui kontak langsung antar kulit yang lama dan
erat. Anggapan kedua yaitu melalui inhalasi, sebab Mycobacterium leprae
masih dapat hidup beberapa hari dalam droplet. Masa tunasnya sangat
bervariasi, antara 40 hari sampai 40 tahun, umumnya beberapa tahun, antara
3-5 tahun. Penyakit kusta tersebar di seluruh dunia terutama di daerah tropis
dan subtropis. Penyakit ini dapat menyerang semua umur, frekuensi tertinggi
pada kelompok umur 30-50 tahun dan lebih sering mengenai laki-laki
daripada wanita. Jumlah kasus baru kusta di dunia pada tahun 2011 adalah
sekitar 219.075. Dari jumlah tersebut paling banyak terdapat di regional Asia
Tenggara (160.132) diikuti regional Amerika (36.832), regional Afrika
(12.673), dan sisanya berada di regional lain di dunia (Depkes, 2012).
Sementara itu di regional Asia Tenggara distribusi kasus kusta bervariasi
berdasarkan penemuan kasus baru dan prevalensi seperti dilihat dalam tabel
berikut.
Tabel 5.1. Situasi Kusta di Wilayah WHO-SEARO

30

NEGARA

CASE DETECTION
RATE
3.970
23
Data tidak tersedia
127.295
20.023
14
3.082
3.184
2.178
280
83

PREVALENSI
AWAL 2012
Bangladesh
3.300
Bhutan
29
Korea Utara
Data tidak tersedia
India
83.187
Indonesia
23.169
Maladewa
2
Myanmar
2.735
Nepal
2.140
Srilanka
1.565
Thailand
672
Timor Leste
72
(Depkes, 2012)
Faktor-faktor yang perlu dipertimbangkan adalah patogenesis kuman
penyebab, cara penularan, keadaan sosial ekonomi dan lingkungan, varian
genetik yang berhubungan dengan kerentanan, perubahan imunitas, dan
kemungkinan reservoir di luar manusia.
Dalam satu negara atau wilayah yang sama kondisi lingkungannya,
didapatkan bahwa faktor etnik mempengaruhi distribusi tipe kusta. Faktor
sosial ekonomi berperan penting dalam kejadian kusta, hal ini terbukti pada
negara-negara di Eropa. Dengan adanya peningkatan sosial ekonomi, maka
kejadian kusta sangat cepat menurun bahkan hilang. Kasus kusta yang masuk
dari negara lain ternyata tidak menularkan kepada orang yang sosial
ekonominya tinggi (Depkes, 2012).
Di Indonesia penderita kusta terdapat hampir pada seluruh propinsi dengan
pola penyebaran yang tidak merata. Meskipun pada pertengahan tahun 2000
Indonesia secara nasional sudah mencapai eliminasi kusta namun pada tahun
tahun 2002 sampai dengan tahun 2006 terjadi peningkatan penderita kusta
baru. Pada tahun 2006 jumlah penderita kusta baru di Indonesia sebanyak
17.921 orang. Propinsi terbanyak melaporkan penderita kusta baru adalah
Maluku, Papua, Sulawesi Utara dan Sulawesi Selatan dengan prevalensi
lebih besar dari 20 per 100.000 penduduk. Pada tahun 2010, tercatat 17.012
kasus baru kusta di Indonesia dengan angka prevalensi 7,22 per 100.000
penduduk sedangkan pada tahun 2011, tercatat 19.371 kasus baru kusta di
Indonesia dengan angka prevalensi 8,03 per 100.000 penduduk (Depkes,

31

2012).
Pada tahun 2013 jumlah kasus kusta di provinsi Jawa Tengah mencapai
1.925 kasus, dengan rincian 175 kasus merupakan kasus kusta pausibasiler
dan 1.750 kasus diidentifikasi sebagai kasus kusta multibasiler. Angka
prevalensi kusta pada tahun 2013 berjumlah 0,58 kasus per 10.000
penduduk. Kabupaten Sragen pada tahun 2013 terdapat total 40 kasus kusta
dengan rincian 3 kasus pausibasiler dan 37 kasus multibasiler (Dinkes
Jateng, 2013)
Berbagai penelitian dilakukan untuk mengetahui patogenesis penyakit
kusta, salah satunya adalah Shepard pada tahun 1960 telah berhasil
menginokulasikan M. leprae pada kaki mencit dan berkembang biat di
sekitar tempat suntikan. Dari berbagai macam spesimen, bentuk lesi, maupun
Negara asal penderita, ternyata tidak ada perbedaan spesies. Agar dapat
tumbuh diperlukan minimum M. leprae yang disuntikkan dan kalau
melampaui jumlah maksimum tidak berarti meningkatkan perkembangbiakan
(Djuanda et al., 2012; Brandma et al.,2003).
Respon imun pada penyakit kusta sangat kompleks, dimana melibatkan
respon imun seluler dan humoral. Sebagian besar gejala dan komplikasi
penyakit ini disebabkan oleh reaksi imunologi terhadap antigen yang dimiliki
M. leprae. Jika respon imun yang terjadi setelah infeksi cukup baik, maka
multiplikasi bakteri dapat dihambat pada stadium awal sehingga dapat
mencegah perkembangan tanda dan gejala klinis selanjutnya. M. leprae
merupakan bakteri obligat intraseluler, maka respon imun yang berperan
penting dalam ketahanan tubuh terhadap infeksi adalah repon imun seluler.
Respon imun seluler merupakan hasil aktivasi dari makrofag dengan
meningkatkan kemampuannya dalam menekan multiplikasi bakteri. Respon
imun humoral terhadap M. leprae merupakan aktivitas sel limfosit B yang
berada dalam jaringan limfosit dan aliran darah. Rangsangan dari komponen
antigen basil tersebut akan mengubah limfosit B menjadi sel plasma yang
akan menghasilkan antibodi yang akan membantu proses opsonisasi. Namun
pada penyakit kusta, fungsi respon imun humoral ini tidak efektif, bahkan
dapat menyebabkan timbulnya beberapa reaksi kusta karena diproduksi
32

secara berlebihan yang tampak pada kusta lepromatosa (Walker et al., 2008).
Untuk menetapkan diagnosis penyakit kusta perlu dicari tanda-tanda
utama atau tanda kardinal, yaitu;

Lesi (Kelainan) kulit yang mati rasa


Kelainan

kulit/lesi

yang

dapat

berbentuk

bercak

keputihan

(hipopigmentasi) atau kemerahan (eritematous) yang mati rasa


(anestesia)

Penebalan saraf tepi yang disertai dengan gangguan fungsi saraf


Gangguan fungsi saraf tepi ini biasanya akibat dari peradangan kronis
pada saraf tepi (neuritis perifer). Adapun gangguan-gangguan fungsi
saraf tepi berupa:
1. Gangguan fungsi sensoris: mati rasa
2. Gangguan Fungsi motorik: kelemahan otot (paresis) atau

kelumpuhan (paralisis)
3. Gangguan fungsi otonom: kulit kering
Ditemukannya M. leprae pada pemeriksaan bakteriologis.
(Depkes., 2012)
Pada Tahun 1982, WHO mengembangkan klasifikasi untuk memudahkan

pengobatan di lapangan. Dalam klasifikasi ini seluruh penderita kusta hanya


dibagi menjadi 2 tipe yaitu Pausibasiler (PB) dan tipe Multibasiler (MB).
Sampai saat ini departemen kesehatan Indonesia menerapkan klasifikasi
menurut WHO sebagai pedoman pengobatan penderita kusta. Dasar dari
klasifikasi ini berdasarkan manifestasi klinis dan hasil pemeriksaan
bakteriologi (Depkes, 2012).
Tabel 5.2. Klasifikasi Kusta oleh WHO, 1982
Tanda Utama
Bercak kusta
Penebalan saraf
tepi yang disertai
dengan gangguan
fungsi (Gangguan
fungsi bisa berupa
kurang/matirasa
atau kelemahan otot
yang dipersarafi

Paucibasiler (PB)
Jumlah 1-5 lesi
Hanya satu saraf

33

Multibasiler (MB)
Jumlah > 5 lesi
Lebih dari satu

oleh saraf yang


bersangkutan)
Sediaan apusan

BTA negatif

BTA positif

Tabel 5.3. Tanda lain yang dapat dipertimbangkan dalam penentuan klasifikasi
menurut WHO (1982) pada penderita kusta
Kelainan kulit dan hasil
pemeriksaan

Paucibaciler
(PB)

Multibaciler
(MB)

Bercak (Makula) mati rasa;


a Ukuran
Kecil dan besar
b Distribusi
Unilateral atau
bilateral
asimetris

Kecil-kecil
Bilateral
simetris

Konsistensi

Halus, berkilat

Batas

Kering dan
Kasar
Tegas

Kehilangan rasa pada


bercak

Selalu ada dan


tegas

Biasanya tidak
jelas, jika ada,
terjadi pada
yang sudah
lanjut

Kehilangan kemampuan
berkeringat, rambut rontok
pada bercak

Selalu ada dan


jelas

Biasanya tidak
jelas, jika ada,
terjadi pada
yang sudah
lanjut

Infiltrat;

Kulit

Tidak ada

Ada, kadangkadang tidak


ada

Membran mukosa

Tidak pernah ada

Ada, kadangkadang tidak


ada

34

Kurang Tegas

Ciri-ciri

Central healing -

Nodulus

Tidak ada

Deformitas

Terjadi dini

Punched out
lesion
Madarosis
Ginekomasti
Hidung pelana
Suara sengau
Kadang-kadang
ada
Biasanya
asimetris

Berikut klasifikasi Kusta WHO tahun 1987 yang telah dimodifikasi:


Tabel 5.4. Gambaran Klinis, Bakteriologik dan Imunologis Kusta
Multibasiler (MB)
SIFAT
Lesi
Bentuk

Jumlah
Distribusi
Permukaan
Batas
Anestesia
BTA
Lesi Kulit
Sekret
Hidung
Tes
Lepromin

LEPROMATOSA
(LL)

BORDERLINE
LEPROMATOSA
(BL)

MID
BORDERLINE
(BB)

Makula
Infiltrat difus
Papul
Nodus
Tidak terhitung,
praktis, tidak ada
kulit sehat
Simetris
Halus berkilat

Makula
Plakat
Papul

Tidak jelas
Tidak ada sampai
tidak jelas

Agak jelas
Tak jelas

Plakat
Dome-shaped
(kubah)
Punched-out
Dapat dihitung,
kulit sehat jelas
ada
Asimetris
Agak kasar,
berkilat
Agak jelas
Lebih jelas

Banyak (ada
globus)
Banyak (ada
globus)
Negatif

Banyak

Agak banyak

Biasanya negatif

Negatif

Negatif

Biasanya negatif

Sukar dihitung,
masih ada kulit
sehat
Hampir simetris
Halus berkilat

Tabel 5.5. Gambaran Klinis, Bakteriologis dan Imunologis Kusta


Pausibasiler (PB)
SIFAT

TUBERKULOID
35

BORDERLINE

INTERMEDIATE

(TT)
Lesi
Bentuk

TUBERCULOID
(BT)

Distribusi
Permukaan

Makula saja,
makula dibatasi
infiltrat
Satu dapat
beberapa
Asimetris
Kering bersisik

Makula dibatasi
infiltrat, infiltrat
saja
Beberapa atau satu
dengan satelit
Masih Asimetris
Kering bersisik

Batas

Jelas

Jelas

Anestesia

Jelas

Jelas

BTA

Hampir selalu
negative
Positif kuat (3+)

Negatif atau hanya


1+
Positif lemah

Jumlah

Tes
Lepromin

(I)
Hanya makula
Satu atau beberapa
Variasi
Halus, agak
berkilat
Dapat jelas atau
dapat tidak jelas
Tak sampai tidak
jelas
Biasanya negatif

Dapat positif lemah


atau negatif
(Djuanda et al., 2011)

Tn. D mengeluhkan adanya bercak merah pada kaki kanan sejak 1 tahun
yang lalu. Pasien tidak merasakan gangguan saat melakukan aktivitas dengan
keluhannya tersebut. Pasien mulai merasakan keluhan bercak yang semakin
melebar, menyebar ke bagian tubuh lain, terasa tebal, dan terkadang terasa
seperti kesemutan. Pada bulan Juni 2016, Tn. D didiagnosis secara klinis
menderita penyakit kusta tipe Multibasiler (MB) oleh dokter spesialis kulit
dan kelamin di RSUD Sragen. Saat ini, pasien tengah menjalani pengobatan
memasuki bulan keempat dan kontrol di Puskesmas Kedawung I.
Mycobacterium kustae menyerang saraf tepi tubuh manusia, sehingga
bermanifestasi klinis sebagai rasa kebal di bagian tubuh yang terdapat bercakbercak. Namun pada pasien Tn. D ini keluhan tersebut tidak ada. Terjadinya
cacat pada kusta disebabkan oleh kerusakan fungsi saraf tepi, baik karena
kuman kusta maupun karena terjadinya peradangan (neuritis) sewaktu
keadaan reaksi kusta.
Faktor yang menyebabkan kejadian kusta yang pertama adalah agent.
Kuman penyebab penyakit kusta adalah M. kustae yang ditemukan oleh GH
Armauer Hansen, seorang sarjana dari Norwegia pada tahun 1873. Kuman

36

ini bersifat tahan asam, berbentuk batang dengan ukuran 1-8 mikron dan
lebar 0,2 - 0,5 mikron, biasanya berkelompok dan ada yang tersebar satu
-satu, hidup dalam sel terutama jaringan yang bersuhu dingin dan tidak dapat
dikultur dalam media buatan. Struktur sekmatik dari M. leprae terdiri atas
kapsul, dinding sel, membran dan sitoplasma. Kuman ini satu genus dengan
kuman TB dimana di luar tubuh manusia, kuman kusta hidup baik pada
lingkungan yang lembab akan tetapi tidak tahan terhadap sinar matahari.
Kuman kusta dapat bertahan hidup pada tempat yang sejuk, lembab, gelap
tanpa sinar matahari sampai bertahun-tahun lamanya. Kuman Tuberculosis
dan leprae jika terkena cahaya matahari akan mati dalam waktu 2 jam.
Selain itu, seperti halnya bakteri lain pada umumnya, akan tumbuh dengan
subur pada lingkungan dengan kelembaban yang tinggi. Air membentuk
lebih dari 80% volume sel bakteri dan merupakan hal esensial untuk
pertumbuhan dan kelangsungan hidup sel bakteri. Kelembaban udara yang
meningkat merupakan

media yang baik untuk bakteri-bakteri patogen

termasuk yang memiliki rentang suhu yang disukai, merupakan bakteri


mesofilik yang tumbuh subur dalam rentang 25-40 C, tetapi akan tumbuh
secara optimal pada suhu 31-37 C (Djuanda et al., 2011; Brandsma et al.,
2003).
Dalam mempelajari patogenesitas penyakit baik dalam upaya pencegahan
atau pengobatan suatu penyakit, penting untuk mengetahui sifat biokimiawi
dari agen penyebab penyakit. Hal tersebut dapat dikaitkan dengan cara
penularan dan pengendalian perkembangan agen dalam lingkungan.
Pasien tinggal serumah dengan istri dan anak perempuannya.
Pencahayaan rumah pasien ventilasi rumah tampak cukup, lingkungan dalam
rumah pasien masih tampak cukup bersih dan rapi. Kondisi tersebut baik
untuk mencegah perkembangan kuman dan penularan pada orang-orang di
sekitar pasien di rumah tersebut.
Faktor kedua yang perlu diperhatikan dalam pengendalian penyakit kusta
adalah faktor host. Manusia merupakan reservoir untuk penularan kuman
seperti Mycobacterium tuberculosis dan morbus hansen, kuman tersebut

37

dapat menularkan pada 10-15 orang. Menurut penelitian pusat ekologi


kesehatan (1991), tingkat penularan kusta di lingkungan keluarga
penderita cukup tinggi,

dimana seorang penderita rata-rata dapat

menularkan kepada 2-3 orang di dalam rumahnya. Hal yang perlu


diperhatikan mengenai host atau penjamu meliputi karakteristik: gizi
atau daya tahan tubuh, pertahanan tubuh, higiene pribadi, gejala dan tanda
penyakit dan pengobatan. Berdasarkan studi epidemiologi, karakteristik
host dapat dibedakan antara lain: umur, jenis kelamin, pekerjaan,
keturunan, pekerjaan, ras, pendidikan dan gaya hidup (Djuanda et al., 2011).
Keluarga Tn. D termasuk ke dalam nuclear family yang terdiri atas 3
orang. Keluarga tersebut terdiri dari Tn. D (31 tahun), Ny. D (27 tahun), dan
An. F (5,5 tahun). Pendidikan dalam keluarga ini secara umum cukup baik.
Saat ini Tn. D masih bekerja sebagai pedagang bawang merah di pasar,
sedangkan istrinya saat ini bekerja sebagai ibu rumah tangga. Anak
perempuan pasien saat ini sekolah di Taman Kanak-kanak. Dalam
pemenuhan gizi sehari hari, Tn. D makan dua sampai tiga kali sehari dengan
sayur dan lauk bervariasi, serta jarang makan buah-buahan. Pasien mengaku
makan secara teratur. Pasien mengaku tidak memiliki alergi terhadap
makanan. Pasien sebelumnya mengaku jarang menderita gangguan pada
kesehatannya.
Faktor terakhir dalam upaya pengendalian kusta yang perlu diperhatikan
adalah faktor lingkungan. Lingkungan adalah segala sesuatu yang ada di
luar diri host baik benda mati, benda hidup, nyata atau abstrak, seperti
suasana yang terbentuk akibat interaksi semua elemen-elemen termasuk
host yang lain. Lingkungan terdiri dari lingkungan fisik dan non fisik,
lingkungan fisik terdiri dari keadaan geografis (dataran tinggi atau rendah,
persawahan, dan lain-lain), kelembaban udara, suhu, lingkungan tempat
tinggal. Adapun lingkungan non fisik meliputi sosial (pendidikan,
pekerjaan), budaya (adat, kebiasaan turun temurun), ekonomi (kebijakan
mikro dan lokal), dan politik (suksesi kepemimpinan yang mempengaruhi
kebijakan pencegahan dan penanggulangan suatu penyakit).
Dari aspek lingkungan fisik, pasien memiliki masalah karena tinggal di

38

tempat yang lembab karena dekat dengan sawah dan lingkungan yang kurang
bersih. Sedangkan dari lingkungan non fisik pasien memiliki masalah dengan
pendidikan yang masih rendah.
Dalam pendekatan secara holistik pada aspek biologis dan klinis
didapatkan bahwa Tn. D berusia 31 tahun berada dalam nuclear family yang
terdiri dari Tn. D (31 tahun) serta seorang istri, Ny. D (27 tahun) dan seorang
anak perempuan An. F (5,5 tahun). Di keluarga Tn. D tidak ditemukan adanya
penyakit menurun (herediter).
Fungsi sosialisasi keluarga Tn. D dinilai cukup baik. Pada awal
didiagnosis menderita penyakit Kusta, Tn. D tetap sering bersosialisasi
dengan masyarakat dan mengikuti kegiatan di masyarakat. Pihak keluarga
tidak merahasiakan penyakit Tn. D. Masyarakat di lingkungan tempat tinggal
Tn. D tidak mengucilkan beliau maupun mencibir keluarga beliau. Mereka
mendukung kesembuhan Tn. D.
Pada tahun 2004 Tn. D merantau ke Ternate dan bekerja sebagai tukang
ojek namun sekitar 1 tahun memutuskan kembali ke Sragen. Saat ini Tn. D
tetap bekerja sekalipun dari keluarga menyarankan untuk fokus dalam
pengobatan dan istirahat dengan cukup. Istri Tn. D bekerja sebagai ibu rumah
tangga. Biaya pengobatan Tn. D menggunakan biaya mandiri.
Fungsi fisiologis keluarga Tn. D tergolong baik. Hal ini terlihat dari total
skor APGAR 8. Secara umum, tidak ada hambatan komunikasi pada keluarga
ini. Dilihat dari pola interaksi antar keluarga, hubungan antar anggota
keluarga dalam satu rumah secara keseluruhan harmonis. Fungsi Patologis
keluarga Tn. D tergolong baik. Walaupun secara fungsi pendidikan, pasien
yang merupakan lulusan SMP.
Kesadaran memeriksakan diri keluarga Tn. D ke dokter sudah cukup baik.
Hal tersebut terlihat dengan kesadaran keluarga untuk berobat ke puskesmas
apabila mengeluhkan penyakit tertentu. Pasien rajin untuk kontrol ke
pelayanan kesehatan dan sesuai jadwal. Pengetahuan pasien akan pentingnya
pengendalian dan komplikasi dari penyakitnya cukup. Oleh karena itu,
meskipun pasien rajin minum obat. Selain itu, pasien tidak takut mengenai
stigma negatif masyarakat terhadap penyakit kusta, dan sangat optimis akan
39

kesembuhannya. Tn. D juga memiliki tindakan terhadap kesehatan yang


cukup baik, ia rutin memeriksakan diri ke pelayanan kesehatan untuk kontrol
dan rutin minum obat.

B. SARAN KOMPREHENSIF
1

Promotif
a Puskesmas lebih aktif untuk mempromosikan kepada masyarakat
mengenai penyakit menular khususnya penyakit kusta, sehingga
masyarakat paham mengenai tanda dan gejala, komplikasi, pengobatan
b

dan cara pencegahan.


Memberikan penyuluhan kepada masyarakat baik secara langsung
dalam acara khusus maupun disisipkan dalam acara lain seperti rapat
koordinasi, posyandu, program prolanis, hingga pengajian mengenai
edukasi tentang pola hidup bersih dan sehat melalui kader, bidan atau

petugas terkait secara berkala


Memberikan edukasi kepada anggota keluarga yang tinggal dalam satu
rumah mengenai kondisi Tn. D untuk mencegah penularan kepada

anggota keluarga lain


Keluarga Tn. D harus lebih meningkatkan perilaku hidup sehat, dengan
meningkatkan asupan gizi, sadar akan kebersihan dan karakteristik

lingkungan yang sehat untuk menjaga kesehatan


Preventif
a Menjaga kebersihan diri dan kebersihan lingkungan rumah dan
sekitarnya untuk mencegah bertambah parahnya penyakit, khususnya
kebersihan rumah yang masih kurang.
b Makan teratur dengan makanan bergizi dan menu seimbang, mengurangi
merokok dan teratur melakukan aktivitas fisik dan gaya hidup sehat.
c Melakukan pendekatan secara personal dari pihak puskesmas kepada Tn.
D agar pasien tidak terlalu khawatir terhadap pandangan masyarakat
akan penyakit yang dideritanya, sehingga hubungan sosial dengan

masyarakat sekitar dapat harmonis dan terbina dengan baik


Kuratif

40

a
b

Melanjutkan pengobatan MDT MB sesuai anjuran


Mengkonsumsi obat secara teratur sesuai dengan dosis yang telah

ditetapkan.
Segera memeriksakan diri apabila muncul bercak di tempat lain dan

timbul keluhan lain


Rehabilitatif
Kontrol rutin ke puskesmas setiap bulan.

41

DAFTAR PUSTAKA
Departemen Kesehatan Republik Indonesia (Depkes RI). 2012. Pedoman
Nasional Program Pengendalian Penyakit Kusta. Jakarta: Direktorat
Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan.
Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah (Dinkes Jateng). 2013. Profil Kesehatan
Provinsi
Jawa
Tengah
Tahun
2013.
http://www.dinkesjatengprov.go.id/dokumen/2013/SDK/Mibangkes/profil20
12/BAB_I-VI_2012_fix.pdf (diakses pada 20 Januari 2017).
Djuanda A, Hamzah M, Aisah S. 2011. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin edisi
keenam. Jakarta: Badan Penerbit FK UI.
Wisnu IM, Hadilukito G. 2000. Pencegahan cacat kusta. Dalam: Daili ESS,
Menaldi SL, Ismiarto SP, Nilasari H, editors. Kusta. Edisi ke-2. Jakarta:
FKUI
Brandsma JW, Brakel WHV. 2003. WHO disability grading: operational
definitions. Lepr Rev 74: 366-73.
Walker SL, Lockwood DNJ. 2008. Leprosy type 1 (reversal) reaction and their
management. Lep Rev 79: 372-86.

42

LAMPIRAN
Lampiran 1. Kunjungan Home Care Keluarga Tn. D.

43

Lampiran 2. Rumah Tn. D.

Tampak depan

Dapur

Keadaan atap rumah

Kamar tidur

Mushola

Kamar tidur
44

45

You might also like