Professional Documents
Culture Documents
Bentuk Keluarga
: nuclear family
Nama
Kedudukan
Pendidika
n
Pekerjaan
Ket
.
1.
Tn. D
Kepala
keluarga
31
tahun
SMP
Wiraswasta
2.
Ny. D
Anggota
24
tahun
SMP
Ibu rumah
tangga
3.
An. F
Anggota
6
tahun
TK
Pelajar
L/P Umur
TAHAP II
STATUS PASIEN
A. IDENTITAS PASIEN
Nama
Umur
Alamat
Jenis kelamin
Agama
Tanggal Pemeriksaan
: Tn. D
: 31 tahun
: Desa Kedawung, Kecamatan Kedawung, Sragen
: Laki - Laki
: Islam
: 13 Januari 2017
B. ANAMNESIS (Autoanamnesis)
IDENTIFIKASI ASPEK PERSONAL
1. Alasan kedatangan berobat
Pasien datang ke Puskesmas Kedawung I untuk melakukan
pengobatan setelah dilakukan pemeriksaan di RSUD Sragen dan
didiagnosis oleh Dokter Spesialis Kulit Kelamin yaitu pasien menderita
Kusta tipe Multibasiler (BTA Kulit +).
2. Persepsi pasien tentang penyakit
Pasien mengerti dengan keadaan yang dialaminya. Pasien sadar
akan perlunya pengobatan terhadap penyakitnya dan membutuhkan
waktu yang lama dan kedisiplinan dalam pengobatan penyakitnya.
3. Harapan pasien
Pasien berharap penyakit kusta yang dideritanya dapat sembuh
dengan baik agar pasien dapat beraktivitas normal seperti sediakala
bersama keluarganya serta agar tidak minder dengan keadaan fisiknya.
4. Kekhawatiran pasien
Pasien merasa khawatir apabila penyakitnya tidak segera ditangani
maka akan menyebabkan kecacatan permanen.
5.
Keluhan Utama
sehingga
mengganggu
aktivitas
pasien.
Pasien
juga
tebal. Selain itu pasien juga mengeluhkan panas. Panas dirasakan hilang
timbul. Pasien memiliki riwayat bekerja di Ternate sebagai tukang ojek
pada tahun 2004-2005. Menurut pasien tidak ada teman ataupun tetangga
di sana yang memiliki keluhan yang sama dengan pasien. Tetapi ada
tempat khusus orang yang memiliki penyakit kusta.
Kemudian pasien memeriksakan diri ke dokter spesialis kulit di
Tugupan, dan didiagnosis kusta. Pasien kemudian melakukan pengobatan
awal pada bulan November 2016 di Puskesmas Kedawung 1. Dan saat ini
pasien sudah mengkonsumsi obat kusta selama 2 bulan. Pasien mengaku
mengalami penurunan berat badan selama 2 bulan dari 75 kg menjadi 69
kg. Pasien mengaku lebih menjaga pola makan. Saat ini pasien sudah tidak
mengelukan gatal, nyeri, ataupun rasa tebal.
7. Riwayat Penyakit Dahulu
a. Riwayat sakit serupa
: disangkal
: disangkal
: disangkal
d. Riwayat alergi
: disangkal
: disangkal
: disangkal
: disangkal
: disangkal
: disangkal
Riwayat alergi
: disangkal
: disangkal
(-)
2 Kepala
(-/-),
6 Mulut
Nyeri
Nyeri
Nyeri
saat
(-),
Atas
Bawah
14 Neurologi
15 Riwayat Psikiatri
Keluhan utama
Riwayat Penyakit Sekarang
2016.
Pasien
Riwayat Psikiatri
: (-)
b.
Riwayat Medis
: (-)
c.
Status Mentalis
a.
Deskripsi Umum
Penampilan: Laki-laki sesuai umur, perawatan diri baik
Pembicaraan: Volume cukup, artikulasi jelas, intonasi jelas
Psikomotor: normoaktif
Sikap: kooperatif dengan pemeriksa
b.
Kesadaran
Kuantitatif: compos mentis (GCS E4V5M6)
Kualitatif: tidak berubah
c.
Alam Perasaan
Mood: euthymik
Afek: normoafek
Keserasian: serasi
Empati: dapat dirabarasakan
d.
Fungsi Intelektual
Daya Konsentrasi: Baik
Orientasi O/T/W/S: Baik
Daya ingat: Baik
e.
Gangguan Persepsi
Halusinasi: (-)
menjalani
Ilusi: (-)
Derealisasi: (-)
Depersonalisasi: (-)
f.
Proses Pikir
Bentuk: Realistis
Isi: Preokupasi penyakitnya, waham (-)
Depersonalisasi: (-)
g.
Daya Nilai
Sosial: Baik
Realita: Baik
Tilikan derajat VI
D. PEMERIKSAAN FISIK
1
Keadaan Umum
Tampak sakit ringan, kesadaran compos mentis (GCS E4V5M6), status
gizi kesan baik.
Tanda Vital
Nadi
: 80 x/menit
Pernafasan
: 20 x/menit
Suhu
Status Gizi
BB
: 69 kg
TB
: 168 cm
BMI
: 24,4 kg/m2
Status gizi
: normoweight
Kulit
Warna sawo matang, turgor baik, tampak makula eritem berbatas tegas
multiple diskrit, ikterik (-), sianosis (-), petechie (-), spider nevi (-)
Kepala
Mata
Konjungtiva pucat (-/-), sklera ikterik (-/-), pupil isokor (3mm/3mm),
reflek kornea (+/+)
Hidung
Nafas cuping hidung (-), sekret (-), epistaksis (-), deviasi septum (-),
Mulut
Mukosa basah (+), bibir pucat (-), bibir kering (-), papil lidah atrofi (-),
gusi berdarah (-), gigi tanggal (-)
Telinga
Membran timpani intak (+), sekret (-)
10 Tenggorokan
Tonsil membesar (-), faring hiperemis (-), dahak (-)
11 Leher
Trakea di tengah, JVP tidak meningkat, Kelenjar Getah Bening tidak
membesar, tampak bercak putih di sekitar leher.
12 Thoraks
Normochest, simetris, pernapasan thoracoabdominal, retraksi (-), spider
nevi (-), pulsasi infrastenalis (-), sela iga melebar (-)
a Cor
1
Inspeksi
Ictus cordis tak tampak
Palpasi
Ictus cordis tak kuat angkat
Perkusi
Auskultasi
BJ I dan BJ II intensitas normal, regular, bising (-),
Pulmo
1
Inspeksi
Palpasi
Perkusi
: sonor/sonor
4 Auskultasi
suara
dasar
vesikuler,
suara
tambahan (-)
13 Abdomen
I: dinding perut sama tinggi dengan dinding dada, supel, NT (-)
A: bising usus (+) normal
P: timpani seluruh lapang perut
P: supel, nyeri tekan (-), hepar dan lien tak teraba
14 Ekstremitas
Atas : Palmar eritem (-/-), akral dingin (-/-), oedem (-/-), wasting (-/-),
CRT < 2
Bawah
: Palmar eritem (-/-), akral dingin (-/-), oedem (-/-), wasting
(-/-), CRT < 2, ADP kuat, baggy pants (-/-).
15 Status Neurologis
i
Fungsi Sensibilitas
:Kekuatan ekstremitas
(5),
Hoffmann-Tromer
(-),
E. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1
serologis
MPLA
(Mycrobacterium
leprae
particle
agglutination)
c. Pemeriksaan Histopatologi (PA)
d. PCR
F. RESUME
Pasien merupakan penderita DM sejak 3 tahun yang lalu. Pasien
mengeluhkan badan sering terasa lemas dan sering sakit kepala. Badan lemas
dan sakit kepala dirasakan tiba-tiba meskipun pasien tidak sedang beraktivitas.
Selain itu, pasien juga sering buang air kecil dan cepat merasa lapar. Pasien
sering terbangun di malam hari untuk BAK 3-5 kali setiap malam, BAK pada
siang hari 8-10 kali. Pasien banyak makan dan minum namun tidak disertai
dengan peningkatan berat badan yang sesuai. Sebulan sekali pasien kontrol ke
PKU Muhammadiyah Sragen untuk pemeriksaan gula darah. Pada Mei 2013
pasien didiagnosis DM tipe 2 berdasarkan gejala klasik DM dan pemeriksaan
GDS (Gula Darah Sewaktu) 490 mg/dL. Dokter memberikan obat metfromin
dan glimepiride, serta menyarankan pasien untuk kontrol penyakit DM di
PKU Muhammadiyah Sragen.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum tampak sakit
sedang, compos mentis (GCS E4V5M6), status gizi kesan kurang. Tanda vital,
tensi: 170/90 mmHg, nadi: 92 x/menit (reguler, isi cukup, simetris),
pernafasan: 18 x/menit, suhu: 36,00C per axiler. Status Gizi, BB: 45 kg, TB:
10
155 cm, BMI: BB/TB2 = 45/(1,55)2 = 17,90 kg/m2 , Status gizi: BB kurang
(<18,5 kg/ m2 ). Pada pemeriksaan fisik tidak didapatkan kelainan.
Pemeriksaan GDS (Gula Darah Sewaktu) menunjukkan kadar gula darah
meningkat lebih dari normal (248 mg/dl).
G. PATIENT CENTERED DIAGNOSIS
1. Diagnosis Holistik
Ny. S yang berusia 56 tahun dalam extended family dengan
diagnosa DM tipe II dan hipertensi stage 2. Hubungan suami (Tn. W) dan
istri (Ny. S) dalam keluarga harmonis. Dari segi fungsi psikologis, pasien
tidak mengalami depresi, ansietas, maupun stres. Fungsi sosial keluarga
Ny. S baik dengan terjalinnya komunikasi dan perhatian yang baik antar
anggota keluarga maupun dengan masyarakat sekitar. Walaupun Ny. S
menderita DM, hal tersebut tidak menyebabkan pasien mengalami
penurunan fungsi sosial dalam bersosialisasi aktif di masyarakat, akan
tetapi keluarga ini tidak mempunyai kedudukan sosial tertentu dalam
masyarakat. Suami pasien bekerja sebagai buruh tani sedangkan pasien
sebagai ibu rumah tangga dan pengrajin batik dengan penghasilan kurang
lebih Rp. 1.300.000,00 dalam sebulan. Jumlah ini cukup untuk memenuhi
kebutuhan sehari-hari. Untuk jaminan kesehatan, pasien memiliki kartu
BPJS keanggotaan kelas III dan membayar premi setiap bulan. Interaksi
antara pasien dengan keluarga lain harmonis. Tingkat pendidikan yang
masih rendah, membuat pasien dan suaminya kurang mengerti tentang
kondisi yang dialami pasien.
2
Diagnostik Biologis
DM tipe 2 dan hipertensi stage 2.
Diagnostik Psikologis
Interaksi yang terjadi dalam keluarga ini baik. Fungsi psikologis
pasien diukur menggunakan kuesioner DASS (Depression Anxiety and
Stress Scale). Pada penilaian menggunakan kuesioner DASS, pasien tidak
11
H. PENATALAKSANAAN
1
Medikamentosa
Pemberian regimen MDT MB untuk dewasa oleh puskesmas
Rifampisin 600mg/bulan
Dapson 100mg/hari
Lamprene 50mg/hari
Non Medikamentosa
-
12
I. FLOW SHEET
Nama
: Tn. D
Tgl
1 22
November
2016
Vital
Sign
Keadaan
Umum
N: 90
x/menit
Tampak sakit
ringan,
composmentis
RR: 18
x/menit
Terapi
Medikamentosa
MDT MB untuk dewasa
Non Medikamentosa
Edukasi :
T: 36,3 C
2 20
Desember
2016
N: 88
x/menit
RR: 16
x/menit
Tampak sakit
ringan, compos
mentis
Edukasi :
-
13
Berkurangny
a bercakbercak di
kulit pasien
T: 36,6 C
Target
Berkurangny
a bercakbercak di
kulit pasien
14
TAHAP III
IDENTIFIKASI FUNGSI-FUNGSI KELUARGA
A. FUNGSI HOLISTIK
1
Fungsi Psikologis
Hubungan yang terjadi dalam keluarga ini cukup baik. Jarang timbul
masalah diantara tiap anggota keluarga. Apabila ada masalah, mereka akan
berdiskusi bersama, keputusan yang diambil juga diputuskan bersama agar
tidak ada yang merasa diperberat. Fungsi psikologis pasien diukur
menggunakan kuesioner DASS (Depression Anxiety and Stress Scale).
Pada penilaian menggunakan kuesioner DASS, pasien maupun keluarga
tidak mengalami depresi, tidak ansietas, dan tidak stres.
Fungsi Sosial
Pada awal didiagnosis menderita penyakit Kusta, Tn. D cenderung
menutup diri dan berdiam di dalam rumah, namun setelah berkonsultasi
dengan dokter dan menjalani pengobatan, Tn. D mulai bersosialisasi dan
mengikuti kegiatan di masyarakat. Keluarga bersikap terbuka baik
terhadap sanak saudara maupun tetangga sekitar mengenai pemyakit yang
diderita Tn. D, dan mereka justru memberikan support kepada Tn. D
dalam menjalani pengobatan.
Fungsi Ekonomi
Sumber perekonomian keluarga berasal dari penghasilan Tn. D. Pada
tahun 2004 Tn. D merantau ke Ternate dan bekerja sebagai tukang ojek,
namun sekitar pertengahan tahun 2008 ia memutuskan kembali ke Sragen
dan beralih pekerjaan menjadi pedagang brambang di pasar hingga saat
ini. Istri Tn. D merupakan ibu rumah tangga dan tidak bekerja. Untuk
biaya kesehatan, semua anggota keluarga terdaftar menjadi anggota BPJS.
15
B. FUNGSI FISIOLOGIS
Untuk menilai fungsi fisiologis digunakan APGAR score. APGAR score
adalah skor yang digunakan untuk menilai fungsi keluarga ditinjau dari sudut
pandang setiap anggota keluarga terhadap hubungannya dengan anggota
keluarga yang lain.
1.
Adaption
Adaptation menunjukkan kemampuan anggota keluarga tersebut beradaptasi
dengan anggota keluarga yang lain, penerimaan, dukungan, dan saran dari
anggota keluarga yang lain. Adaptation juga menunjukkan bagaimana keluarga
menjadi tempat utama anggota keluarga kembali jika dia menghadapi masalah.
Contohnya, keluarga merupakan tempat pertama bagi Tn. D untuk kembali dan
berbagi serta berdiskusi apabila menghadapi masalahnya, termasuk masalah
penyakit kusta yang dideritanya
2.
Partnership
Partnership menggambarkan komunikasi, saling membagi, saling mengisi
antara anggota keluarga dalam segala masalah yang dialami oleh keluarga
tersebut, bagaimana sebuah keluarga membagi masalah dan membahasnya
bersama-sama. Tn. D sudah merasa puas dengan cara keluarga membagi
masalah.
3.
Growth
Growth menggambarkan dukungan keluarga terhadap hal-hal baru yang
dilakukan anggota keluarga tersebut. Misalnya, pada saat Tn. D memutuskan
16
untuk bekerja hingga ke luar pulau, orang tuanya sangat mendukung keputusan
itu dan ketika memutuskan untuk bekerja di luar kota, orang tuanya juga selalu
memberi dukungan penuh.
4.
Affection
Affection menggambarkan hubungan kasih sayang dan interaksi antar
anggota keluarga, di dalam keluarga terdapat rasa saling menyayangi satu sama
lain dan saling memberi dukungan serta mengekspresikankasih sayangnya.
Menurut pasien, secara keseluruhan hubungan kasih sayang antara Tn. D dengan
kedua orang tuanya cukup baik.
5.
Resolve
Resolve menggambarkan kepuasan anggota keluarga tentang kebersamaan
dan waktu yang dihabiskan bersama anggota keluarga yang lain. Dalam keluarga
Tn. D nilai resolve sudah sangat baik, ditandai dengan setiap hari keluarga
terbiasa berkumpul untuk makan malam bersama dan menonton TV
Adapun sistem skor untuk APGAR ini yaitu :
1. Selalu/sering
: 2 poin
2. Kadang-kadang
: 1 poin
Kode
17
8
Sumber : Data primer, Januari 2017
Kesimpulan:
Fungsi fisiologis keluarga Tn. D tergolong baik. Hal ini terlihat dari total skor
APGAR 8.
C. FUNGSI PATOLOGIS
Fungsi patologis menilai setiap sumber daya yang dapat digunakan oleh
keluarga ketika keluarga Tn. D menghadapi permasalahan. Fungsi patologis
keluarga Tn. D dapat diamati pada Tabel 3.2
Tabel 3.2. SCREEM Keluarga Tn. D
Sumber
Patologi
Ket.
SOCIAL
CULTURAL
RELIGION
ECONOMY
EDUCATION
MEDICAL
Kesimpulan:
Fungsi patologis keluarga Tn. D mengalami gangguan pada area sosial dan
pendidik
19
GENOGRAM
Ny. W
88 th
Tn.S
90 th
Tn W 73th
Ny. D
68th
Ny. N
62 th
Ny. D
80th
Tn.R
87th
Ny. M
57th
Tn. K
65th
Ny. Y 62th
Ny. S
56 th
Tn. S
60 th
Tn. S 34th
An. Rz
10 th
Ny. K
29 th
Ny. D 24th
Tn. D
31th
An. V
6 th
An. Ri
8 th
20
Tn. N
29 th
Keterangan:
: Laki-laki
: Laki-laki yang telah meninggal
: Wanita
: Pasien
: Wanita yang telah meninggal
: Tinggal serumah
21
Tn. D
PERILAKU
YANG
MEMPENGARUHI
KESEHATAN
1. Pengetahuan
Pendidikan terakhir Tn. D adalah SMK, sehingga kemampuan dan
kesadaran untuk mencari atau mengetahui informasi yang cukup tentang
penyakit yang dialami. Namun keluarga Tn. D memiliki untuk kesadaran
memeriksakan diri ke dokter apabila sakit sudah cukup baik. Mereka tidak
rajin kontrol ke pelayanan kesehatan dan hanya akan memeriksakan diri
kepada dokter pemeriksa jika dirasakan ada gejala yang mengganggu.
Pengetahuan pasien akan pentingnya pengendalian dan komplikasi dari
penyakitnya cukup baik. Hal itu membuat pasien rutin minum obat.
2. Sikap
Tn. D dan keluarga mempunyai sikap terhadap kesehatan yang
cukup baik. Sehat menurut Tn. D adalah dimana beliau bisa melakukan
segala aktivitas tanpa adanya keterbatasan yang dapat diperoleh dari pola
makan yang sehat dan olahraga yang teratur, dan apabila dirasa terdapat
22
Tahap I
Tahap II
Tahap III
Tahap IV
Tahap V
Tahap VI
23
Tahap VIII : Keluarga dalam masa pensiun dan lansia (juga menunjuk kepada
anggota keluarga yang berusia lanjut atau pensiun) hingga pasangan
yang sudah mengenalinya.
(Duvall and Evelyn, 1977)
Berdasarkan siklus hidup keluarga di atas, keluarga Ny. S masuk
dalam tahap VII : keluarga dengan kepala keluarga (Tn. N) berusia 57 tahun
dan istrinya (Ny. S) berusia 53 tahun. Dalam tahap ini keluarga Ny. N mampu
melepas anak terakhir untuk meninggalkan rumah bersama keluarganya
sendiri, mempertahankan keintiman dan komunikasi yang harmonis pasangan
serta anggota keluarga lain, tetapi kurang mampu memenuhi kebutuhan dan
biaya kehidupan yang sehari-hari, termasuk kebutuhan untuk meningkatkan
kesehatan anggota keluarga.
Lingkungan Tn. D
Status kepemilikan
sendiri
Rumah 1 lantai
24
rumah:
Keterangan
milik
Kesimpulan:
Keadaan
rumah Tn.
D masih
kurang
dalam
kerapian
dan
kebersihan.
10
11
12
13
14
Pencahayaan: cukup
15
16
17
2. Keturunan
Tidak ada riwayat penyakit keturunan (herediter) dari keluarga Tn.
D
3. Pelayanan Kesehatan
Tn. D memiliki kemauan memeriksakan diri ke pelayanan
kesehatan seperti kontrol untuk penyakitnya dan memeriksakan diri jika
sakit. Ketersediaan sarana dan prasarana pelayanan kesehatan sudah cukup
baik. Namun Tn. D belum mempunyai jaminan kesehatan karena merasa
dirinya mampu membayar sendiri semua biaya kesehatan.
25
Pemahaman:
Ny. S kurang memahami
penyakitnya
Lingkungan:
Kebersihan lingkungan
rumah belum sepenuhnya
terjaga
Sikap:
Keluarga Ny. S mendukung
pengobatan Ny. S
Keturunan:
Tidak ada riwayat penyakit
keturunan
Ny. S
Tindakan:
Ny. S sudah berhenti
mengonsumsi gula pasir
Pelayanan Kesehatan:
Jika sakit keluarga akan
segera periksa ke
Puskesmas
U
Kamar
Mandi
Dapur
8
m
Ruang Keluarga
Kamar
Tidur I
Ruang Tamu
12
m
Teras
26
Kamar
Tidur II
27
TAHAP IV
DIAGNOSTIK HOLISTIK
A. Diagnosis Holistik
Ny. S yang berusia 53 tahun dalam extended family dengan diagnosa
TB Paru BTA (+) kasus kambuh putus obat, retinopati, dan neuropati DM.
Hubungan suami (Tn. N) dan istri (Ny. S) dalam keluarga harmonis. Dari segi
fungsi psikologis, pasien mengalami depresi, ansietas, dan mengalami stres
tingkat sedang. Fungsi sosial keluarga Ny. S masih cukup baik, walaupun
aktifitas fisik pasien mengalami pengurangan sejak menderita penyakit TBC,
akan tetapi Tn. N dan Ny. S masih bersosialisasi dalam masyarakat lewat
berbagai macam bentuk kegiatan, akan tetapi keluarga ini tidak mempunyai
kedudukan sosial tertentu dalam masyarakat. Suami pasien bekerja sebagai
wiraswasta, yaitu pembuat dan penjual kerupuk, dengan penghasilan kurang
lebih Rp 300.000,00 per bulan, sedangkan, Ny. S sebagai ibu rumah tangga.
Jumlah ini kurang cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Penghasilan
ini didapatkan dari hasil penjualan sisa kerupuk di pasar. Sebelumnya, Tn. N
hanya membuat kerupuk mentah kemudian didistribusikan rekan kerjanya ke
Jakarta. Setelah rekan kerjanya tidak bekerja sama lagi, Tn. N hanya
menggoreng sisa kerupuk dan menjualnya di pasar. Sebelum pasien sakit, Tn.
N bekerja sebagai penjual gorengan dan Ny. S sebagai penjual jamu di
Sumatera. Anak kedua Ny. S yaitu Tn. R tidak mengirimkan uang untuk
orangtuanya, menurut Ny. S usaha Tn. R di Jakarta (penjual bakso) sedang
tidak lancar. Untuk jaminan kesehatan, pasien memiliki kartu Saraswati
Kenanga. Pasien pernah memiliki BPJS, tetapi sudah tidak aktif lagi karena
tidak membayar premi. Saat kunjungan FOME hari terakhir, proses
pendaftaran kembali ke BPJS PBI masih dalam proses yang dibantu oleh
petugas Puskesmas Plupuh I. Interaksi antara pasien dengan keluarga lain
harmonis. Tingkat pendidikan yang masih rendah, membuat pasien dan
istrinya kurang mengerti tentang kondisi yang dialami pasien.
B. Diagnostik Biologis
28
TB paru kambuh BTA (+) radiologi (+) putus obat, retinopati, dan
neuropati DM.
C. Diagnostik Psikologis
Interaksi yang terjadi dalam keluarga ini baik. Fungsi psikologis pasien
diukur menggunakan kuesioner DASS (Depression Anxiety and Stress Scale).
Pada penilaian menggunakan kuesioner DASS, pasien mengalami depresi,
ansietas, dan stres tingkat sedang. Tidak terjadi konflik yang berarti dalam
keluarga pasien.
D. Diagnostik Sosial, Ekonomi, dan Budaya
Selama sakit pasien kurang bisa bersosialisasi dikarenakan kondisi
fisik pasien yang masih belum memungkinkan, namun hubungan pasien
dengan tetangga-tetangganya tetap terjalin baik. Untuk kegiatan sosial
kemasyarakatan, pasien sering diwakilkan oleh suamiya. Dari segi ekonomi,
keluarga pasien mengalami penurunan pendapatan selama 1 tahun terakhir,
dikarenakan pasien dan suaminya tidak bisa bekerja seperti dahulu lagi.
Penghasilan Tn. N kurang lebih Rp 300.000,00 per bulan, didapatkan dari
hasil penjualan sisa kerupuk di pasar. Sebelumnya, Tn. N hanya membuat
kerupuk mentah kemudian didistribusikan rekan kerjanya ke Jakarta. Setelah
rekan kerjanya tidak bekerja sama lagi, Tn. N hanya menggoreng sisa kerupuk
dan menjualnya di pasar. Sebelum pasien sakit, Tn. N bekerja sebagai penjual
gorengan dan Ny. S sebagai penjual jamu di Sumatera. Anak kedua Ny. S
yaitu Tn. R tidak mengirimkan uang untuk orangtuanya, menurut Ny. S usaha
Tn. R di Jakarta (penjual bakso) sedang tidak lancar. Sedangkan, dalam segi
budaya, pasien dan keluarga masih menjunjung budaya setempat, yaitu
Budaya Suku Jawa.
TAHAP V
PEMBAHASAN DAN PENATALAKSANAAN KOMPREHENSIF
A. PEMBAHASAN
29
30
NEGARA
CASE DETECTION
RATE
3.970
23
Data tidak tersedia
127.295
20.023
14
3.082
3.184
2.178
280
83
PREVALENSI
AWAL 2012
Bangladesh
3.300
Bhutan
29
Korea Utara
Data tidak tersedia
India
83.187
Indonesia
23.169
Maladewa
2
Myanmar
2.735
Nepal
2.140
Srilanka
1.565
Thailand
672
Timor Leste
72
(Depkes, 2012)
Faktor-faktor yang perlu dipertimbangkan adalah patogenesis kuman
penyebab, cara penularan, keadaan sosial ekonomi dan lingkungan, varian
genetik yang berhubungan dengan kerentanan, perubahan imunitas, dan
kemungkinan reservoir di luar manusia.
Dalam satu negara atau wilayah yang sama kondisi lingkungannya,
didapatkan bahwa faktor etnik mempengaruhi distribusi tipe kusta. Faktor
sosial ekonomi berperan penting dalam kejadian kusta, hal ini terbukti pada
negara-negara di Eropa. Dengan adanya peningkatan sosial ekonomi, maka
kejadian kusta sangat cepat menurun bahkan hilang. Kasus kusta yang masuk
dari negara lain ternyata tidak menularkan kepada orang yang sosial
ekonominya tinggi (Depkes, 2012).
Di Indonesia penderita kusta terdapat hampir pada seluruh propinsi dengan
pola penyebaran yang tidak merata. Meskipun pada pertengahan tahun 2000
Indonesia secara nasional sudah mencapai eliminasi kusta namun pada tahun
tahun 2002 sampai dengan tahun 2006 terjadi peningkatan penderita kusta
baru. Pada tahun 2006 jumlah penderita kusta baru di Indonesia sebanyak
17.921 orang. Propinsi terbanyak melaporkan penderita kusta baru adalah
Maluku, Papua, Sulawesi Utara dan Sulawesi Selatan dengan prevalensi
lebih besar dari 20 per 100.000 penduduk. Pada tahun 2010, tercatat 17.012
kasus baru kusta di Indonesia dengan angka prevalensi 7,22 per 100.000
penduduk sedangkan pada tahun 2011, tercatat 19.371 kasus baru kusta di
Indonesia dengan angka prevalensi 8,03 per 100.000 penduduk (Depkes,
31
2012).
Pada tahun 2013 jumlah kasus kusta di provinsi Jawa Tengah mencapai
1.925 kasus, dengan rincian 175 kasus merupakan kasus kusta pausibasiler
dan 1.750 kasus diidentifikasi sebagai kasus kusta multibasiler. Angka
prevalensi kusta pada tahun 2013 berjumlah 0,58 kasus per 10.000
penduduk. Kabupaten Sragen pada tahun 2013 terdapat total 40 kasus kusta
dengan rincian 3 kasus pausibasiler dan 37 kasus multibasiler (Dinkes
Jateng, 2013)
Berbagai penelitian dilakukan untuk mengetahui patogenesis penyakit
kusta, salah satunya adalah Shepard pada tahun 1960 telah berhasil
menginokulasikan M. leprae pada kaki mencit dan berkembang biat di
sekitar tempat suntikan. Dari berbagai macam spesimen, bentuk lesi, maupun
Negara asal penderita, ternyata tidak ada perbedaan spesies. Agar dapat
tumbuh diperlukan minimum M. leprae yang disuntikkan dan kalau
melampaui jumlah maksimum tidak berarti meningkatkan perkembangbiakan
(Djuanda et al., 2012; Brandma et al.,2003).
Respon imun pada penyakit kusta sangat kompleks, dimana melibatkan
respon imun seluler dan humoral. Sebagian besar gejala dan komplikasi
penyakit ini disebabkan oleh reaksi imunologi terhadap antigen yang dimiliki
M. leprae. Jika respon imun yang terjadi setelah infeksi cukup baik, maka
multiplikasi bakteri dapat dihambat pada stadium awal sehingga dapat
mencegah perkembangan tanda dan gejala klinis selanjutnya. M. leprae
merupakan bakteri obligat intraseluler, maka respon imun yang berperan
penting dalam ketahanan tubuh terhadap infeksi adalah repon imun seluler.
Respon imun seluler merupakan hasil aktivasi dari makrofag dengan
meningkatkan kemampuannya dalam menekan multiplikasi bakteri. Respon
imun humoral terhadap M. leprae merupakan aktivitas sel limfosit B yang
berada dalam jaringan limfosit dan aliran darah. Rangsangan dari komponen
antigen basil tersebut akan mengubah limfosit B menjadi sel plasma yang
akan menghasilkan antibodi yang akan membantu proses opsonisasi. Namun
pada penyakit kusta, fungsi respon imun humoral ini tidak efektif, bahkan
dapat menyebabkan timbulnya beberapa reaksi kusta karena diproduksi
32
secara berlebihan yang tampak pada kusta lepromatosa (Walker et al., 2008).
Untuk menetapkan diagnosis penyakit kusta perlu dicari tanda-tanda
utama atau tanda kardinal, yaitu;
kulit/lesi
yang
dapat
berbentuk
bercak
keputihan
kelumpuhan (paralisis)
3. Gangguan fungsi otonom: kulit kering
Ditemukannya M. leprae pada pemeriksaan bakteriologis.
(Depkes., 2012)
Pada Tahun 1982, WHO mengembangkan klasifikasi untuk memudahkan
Paucibasiler (PB)
Jumlah 1-5 lesi
Hanya satu saraf
33
Multibasiler (MB)
Jumlah > 5 lesi
Lebih dari satu
BTA negatif
BTA positif
Tabel 5.3. Tanda lain yang dapat dipertimbangkan dalam penentuan klasifikasi
menurut WHO (1982) pada penderita kusta
Kelainan kulit dan hasil
pemeriksaan
Paucibaciler
(PB)
Multibaciler
(MB)
Kecil-kecil
Bilateral
simetris
Konsistensi
Halus, berkilat
Batas
Kering dan
Kasar
Tegas
Biasanya tidak
jelas, jika ada,
terjadi pada
yang sudah
lanjut
Kehilangan kemampuan
berkeringat, rambut rontok
pada bercak
Biasanya tidak
jelas, jika ada,
terjadi pada
yang sudah
lanjut
Infiltrat;
Kulit
Tidak ada
Membran mukosa
34
Kurang Tegas
Ciri-ciri
Central healing -
Nodulus
Tidak ada
Deformitas
Terjadi dini
Punched out
lesion
Madarosis
Ginekomasti
Hidung pelana
Suara sengau
Kadang-kadang
ada
Biasanya
asimetris
Jumlah
Distribusi
Permukaan
Batas
Anestesia
BTA
Lesi Kulit
Sekret
Hidung
Tes
Lepromin
LEPROMATOSA
(LL)
BORDERLINE
LEPROMATOSA
(BL)
MID
BORDERLINE
(BB)
Makula
Infiltrat difus
Papul
Nodus
Tidak terhitung,
praktis, tidak ada
kulit sehat
Simetris
Halus berkilat
Makula
Plakat
Papul
Tidak jelas
Tidak ada sampai
tidak jelas
Agak jelas
Tak jelas
Plakat
Dome-shaped
(kubah)
Punched-out
Dapat dihitung,
kulit sehat jelas
ada
Asimetris
Agak kasar,
berkilat
Agak jelas
Lebih jelas
Banyak (ada
globus)
Banyak (ada
globus)
Negatif
Banyak
Agak banyak
Biasanya negatif
Negatif
Negatif
Biasanya negatif
Sukar dihitung,
masih ada kulit
sehat
Hampir simetris
Halus berkilat
TUBERKULOID
35
BORDERLINE
INTERMEDIATE
(TT)
Lesi
Bentuk
TUBERCULOID
(BT)
Distribusi
Permukaan
Makula saja,
makula dibatasi
infiltrat
Satu dapat
beberapa
Asimetris
Kering bersisik
Makula dibatasi
infiltrat, infiltrat
saja
Beberapa atau satu
dengan satelit
Masih Asimetris
Kering bersisik
Batas
Jelas
Jelas
Anestesia
Jelas
Jelas
BTA
Hampir selalu
negative
Positif kuat (3+)
Jumlah
Tes
Lepromin
(I)
Hanya makula
Satu atau beberapa
Variasi
Halus, agak
berkilat
Dapat jelas atau
dapat tidak jelas
Tak sampai tidak
jelas
Biasanya negatif
Tn. D mengeluhkan adanya bercak merah pada kaki kanan sejak 1 tahun
yang lalu. Pasien tidak merasakan gangguan saat melakukan aktivitas dengan
keluhannya tersebut. Pasien mulai merasakan keluhan bercak yang semakin
melebar, menyebar ke bagian tubuh lain, terasa tebal, dan terkadang terasa
seperti kesemutan. Pada bulan Juni 2016, Tn. D didiagnosis secara klinis
menderita penyakit kusta tipe Multibasiler (MB) oleh dokter spesialis kulit
dan kelamin di RSUD Sragen. Saat ini, pasien tengah menjalani pengobatan
memasuki bulan keempat dan kontrol di Puskesmas Kedawung I.
Mycobacterium kustae menyerang saraf tepi tubuh manusia, sehingga
bermanifestasi klinis sebagai rasa kebal di bagian tubuh yang terdapat bercakbercak. Namun pada pasien Tn. D ini keluhan tersebut tidak ada. Terjadinya
cacat pada kusta disebabkan oleh kerusakan fungsi saraf tepi, baik karena
kuman kusta maupun karena terjadinya peradangan (neuritis) sewaktu
keadaan reaksi kusta.
Faktor yang menyebabkan kejadian kusta yang pertama adalah agent.
Kuman penyebab penyakit kusta adalah M. kustae yang ditemukan oleh GH
Armauer Hansen, seorang sarjana dari Norwegia pada tahun 1873. Kuman
36
ini bersifat tahan asam, berbentuk batang dengan ukuran 1-8 mikron dan
lebar 0,2 - 0,5 mikron, biasanya berkelompok dan ada yang tersebar satu
-satu, hidup dalam sel terutama jaringan yang bersuhu dingin dan tidak dapat
dikultur dalam media buatan. Struktur sekmatik dari M. leprae terdiri atas
kapsul, dinding sel, membran dan sitoplasma. Kuman ini satu genus dengan
kuman TB dimana di luar tubuh manusia, kuman kusta hidup baik pada
lingkungan yang lembab akan tetapi tidak tahan terhadap sinar matahari.
Kuman kusta dapat bertahan hidup pada tempat yang sejuk, lembab, gelap
tanpa sinar matahari sampai bertahun-tahun lamanya. Kuman Tuberculosis
dan leprae jika terkena cahaya matahari akan mati dalam waktu 2 jam.
Selain itu, seperti halnya bakteri lain pada umumnya, akan tumbuh dengan
subur pada lingkungan dengan kelembaban yang tinggi. Air membentuk
lebih dari 80% volume sel bakteri dan merupakan hal esensial untuk
pertumbuhan dan kelangsungan hidup sel bakteri. Kelembaban udara yang
meningkat merupakan
37
38
tempat yang lembab karena dekat dengan sawah dan lingkungan yang kurang
bersih. Sedangkan dari lingkungan non fisik pasien memiliki masalah dengan
pendidikan yang masih rendah.
Dalam pendekatan secara holistik pada aspek biologis dan klinis
didapatkan bahwa Tn. D berusia 31 tahun berada dalam nuclear family yang
terdiri dari Tn. D (31 tahun) serta seorang istri, Ny. D (27 tahun) dan seorang
anak perempuan An. F (5,5 tahun). Di keluarga Tn. D tidak ditemukan adanya
penyakit menurun (herediter).
Fungsi sosialisasi keluarga Tn. D dinilai cukup baik. Pada awal
didiagnosis menderita penyakit Kusta, Tn. D tetap sering bersosialisasi
dengan masyarakat dan mengikuti kegiatan di masyarakat. Pihak keluarga
tidak merahasiakan penyakit Tn. D. Masyarakat di lingkungan tempat tinggal
Tn. D tidak mengucilkan beliau maupun mencibir keluarga beliau. Mereka
mendukung kesembuhan Tn. D.
Pada tahun 2004 Tn. D merantau ke Ternate dan bekerja sebagai tukang
ojek namun sekitar 1 tahun memutuskan kembali ke Sragen. Saat ini Tn. D
tetap bekerja sekalipun dari keluarga menyarankan untuk fokus dalam
pengobatan dan istirahat dengan cukup. Istri Tn. D bekerja sebagai ibu rumah
tangga. Biaya pengobatan Tn. D menggunakan biaya mandiri.
Fungsi fisiologis keluarga Tn. D tergolong baik. Hal ini terlihat dari total
skor APGAR 8. Secara umum, tidak ada hambatan komunikasi pada keluarga
ini. Dilihat dari pola interaksi antar keluarga, hubungan antar anggota
keluarga dalam satu rumah secara keseluruhan harmonis. Fungsi Patologis
keluarga Tn. D tergolong baik. Walaupun secara fungsi pendidikan, pasien
yang merupakan lulusan SMP.
Kesadaran memeriksakan diri keluarga Tn. D ke dokter sudah cukup baik.
Hal tersebut terlihat dengan kesadaran keluarga untuk berobat ke puskesmas
apabila mengeluhkan penyakit tertentu. Pasien rajin untuk kontrol ke
pelayanan kesehatan dan sesuai jadwal. Pengetahuan pasien akan pentingnya
pengendalian dan komplikasi dari penyakitnya cukup. Oleh karena itu,
meskipun pasien rajin minum obat. Selain itu, pasien tidak takut mengenai
stigma negatif masyarakat terhadap penyakit kusta, dan sangat optimis akan
39
B. SARAN KOMPREHENSIF
1
Promotif
a Puskesmas lebih aktif untuk mempromosikan kepada masyarakat
mengenai penyakit menular khususnya penyakit kusta, sehingga
masyarakat paham mengenai tanda dan gejala, komplikasi, pengobatan
b
40
a
b
ditetapkan.
Segera memeriksakan diri apabila muncul bercak di tempat lain dan
41
DAFTAR PUSTAKA
Departemen Kesehatan Republik Indonesia (Depkes RI). 2012. Pedoman
Nasional Program Pengendalian Penyakit Kusta. Jakarta: Direktorat
Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan.
Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah (Dinkes Jateng). 2013. Profil Kesehatan
Provinsi
Jawa
Tengah
Tahun
2013.
http://www.dinkesjatengprov.go.id/dokumen/2013/SDK/Mibangkes/profil20
12/BAB_I-VI_2012_fix.pdf (diakses pada 20 Januari 2017).
Djuanda A, Hamzah M, Aisah S. 2011. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin edisi
keenam. Jakarta: Badan Penerbit FK UI.
Wisnu IM, Hadilukito G. 2000. Pencegahan cacat kusta. Dalam: Daili ESS,
Menaldi SL, Ismiarto SP, Nilasari H, editors. Kusta. Edisi ke-2. Jakarta:
FKUI
Brandsma JW, Brakel WHV. 2003. WHO disability grading: operational
definitions. Lepr Rev 74: 366-73.
Walker SL, Lockwood DNJ. 2008. Leprosy type 1 (reversal) reaction and their
management. Lep Rev 79: 372-86.
42
LAMPIRAN
Lampiran 1. Kunjungan Home Care Keluarga Tn. D.
43
Tampak depan
Dapur
Kamar tidur
Mushola
Kamar tidur
44
45