Professional Documents
Culture Documents
A. Definisi Hipertensi
Hipertensi merupakan peningkatan tekanan darah > 140/90 mmHg. Hipertensi
diklasifikasikan atas hipertensi primer (esensial) (90-95%) dan hipertensi sekunder (5-10%).
Dikatakan hipertensi primer bila tidak ditemukan penyebab dari peningkatan tekanan darah
tersebut, sedangkan hipertensi sekunder disebabkan oleh penyakit/keadaan lain (Bakri, 2008).
Hipertensi sekunder atau hipertensi renal terdapat sekitar 5% kasus. Penyebab spesifik
diketahui, seperti penggunaan estrogen, penyakit ginjal, hipertensi vaskular renal,
hiperaldosteronisme primer, dan sindrom cushing, feokromositoma, koarktasio aorta,
hipertensi yang berhubungan dengan kehamilan, dan lain lain (Schrier, 2000).
Menurut The Seventh Report of The Joint National Committee on Prevention,
Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure (JNC 7) klasifikasi tekanan
darah pada orang dewasa terbagi menjadi kelompok normal, prahipertensi, hipertensi derajat
1 dan derajat 2 seperti yang terlihat pada tabel 1 dibawah (Gray, et al. 2005).
Tabel 1. Klasifikasi Hipertensi
120-139
80-89
Hipertensi Grade 1
140-159
90-99
Hipertensi Grade 2
160
100
Normal
Prahipertensi
Pada keadaan ini, hipertensi umumnya terjadi karena retensi natrium, peningkatan sistem
RAA akibat iskemia relatif terhadap kerusakan regional, aktifitas saraf simpatis yang
meningkat karena kerusakan ginjal, hiperparatiroid sekunder, dan akibat pemberian
eritropoetin.
Beberapa Patogenesis pada penyakit ginjal yang dapat meneybabakan hipertensi,
diantaranya:
1. Hipervolemia
Hipervolemia timbul sebagai akibat retensi air dan natrium, efek ekses
mineralokortikoid terhadap peningkatan reabsorpsi natrium dan air di tubulus distal,
pemberian infus larutan garam fisiologik, koloid dan tranfusi darah yang berlebihan
pada anak dengan laju filtrasi glomerulus yang buruk. Hipervolemia menyebabkan
curah jantung meningkat dan mengakibatkan timbulnya hipertensi. Hipertensi oleh
karena mekanisme hipervolemia lebih sering terjadi pada penyakit parenkim ginjal
bilateral seperti glmerulonefritis akut paska streptokok, glomerulonefritis kronik, atau
gagal ginjal kronik.
2. Gangguan Sistem Renin Angiotensin dan Aldosteron
Sistem renin angiotensin aldosteron merupakan salah satu pengatur utama
tekanan darah. Renin merupakan enzim yang disintesis, disimpan dan disekresi ke
dalam aliran darah oleh sel aparat yuksta glomerular. Peradangan, penekanan jaringan
parenkim ginjal oleh tumor, abses dan parut pielonefritik menyebabkan aliran darah
intra renal dan laju filtrasi glomerulus turun. Hal ini menimbulkan rangsangan
terhadap sel aparat yuksta glomerular untuk meningkatkan sintesis dan sekresi renin
ke dalam aliran darah.
Renin bekerja pada subtrat renin yaitu angiotensinogen globulin yang dibentuk
da dalam hati dan diubah menjadi angiotensin I kemudian diubah menjadi angiotensin
II oleh enzim konvertase. Angiotensin II memiliki efek vasokonstriksi yang
menyebabkan tahanan perifer meningkat dan meningkatkan sekresi aldosteron dan
menyebabkan peningkatan reabsorpsi natrium dan air disertai meningkatnya eksresi
kalium. Keadaan ini menyebabkan tejadinya hipervolemia, curah jantung meningkat
dan terjadi hipertensi.Penyakit ginjal yang berkaitan dengan sistem renin angiotensin
aldosteron adalah stenosis areteri renalis dan penyakit parenkim ginjal unilateral yaitu
3
hipoplasia ginjal segmental, pielonefritis kronik dengan atau tanpa uropati obstruktif
unilateral, hematoma subscapular unilateral.
3. Berkurangnya zat vasodilator
Zat vasodilator seperti prostaglandin A2, kinin dan bradikinin dihasilkan oleh
medula ginjal. Berkurangnya pembentukan dan sekresi zat-zat tersebut berperan pada
timbulnya hipertensi renal. Penyakit pembuluh darah ginjal memberikan gejala klinis
tidak khas, diagnosa ditegakan dengan bantuan pemeriksaan angiografi.
2. Hipertensi Renovaskular
Hipertensi renovaskular merupakan penyebab tersering dari hipertensi
sekunder. Diagnosis terhadap keadaan ini penting karena kelainan ini potensial untuk
disembuhkan dengan menghilangkan stenosis arteri renalis. Stenosis arteri renalis merupakan
keadaan terdapatnya lesi obstruktif secara anatomik pada arteri renalis, sedangkan HRV
adalah hipertensi yang terjadi akibat fisiologis adanya stenosis tersebut.
Setidaknya ada 3 penyebab terjadinya hipertensi renovaskular ini antara lain:
Lesi aterosklerotik arteri renalis
Merupakan penyebab tersering, mencapai 90% kasus dan biasanya terjadi pada usia lanjut
dan sering pada riwayat keluarga hipertensi. Lesi biasanya bilateral pada daerah ostium
serta pada 1/3 bagian proksimal arteri renalis.
Displasia fibromuskular
Merupakan penyebab terbanyak kedua, lebih sering ditemukan pada perempuan muda
dekade ketiga dan keempat. Biasanya tidak mempunyai riwayat hipertensi dalam keluarga
dan umumnya belum mempunyai kelainan organ target. Pada 2/3 kasus terjadi bilateral
pada 2/3 bagian distal arteri renalis atau cabang intrarenal.
Penyebab-penyebab lain
Penyebab-penyebab lain yang mungkin seperti arteritis takayasu, neurofibromatosis,
aneurisma aorta disekans, fistula arteri-vena renalis, arteritis radiasi, dan emboli.
Patofisiologi terjadinya HRV ini terjadi pada dua fase yaitu fase akut dan kronik yaitu sebagai
berikut:
Fase akut
Terjadinya konstriksi pada arteri renalis akan menungkatkan tekanan darah dan juga
peningkatan renin dan aldosteron. Pemberian ACEI atau ARB dapat mencegah
peningkatan tekanan darah ini. Ini membuktikan bahwa peningkatan tekanan darah ini
akibat hiperreninemia.
Fase kronik
Untuk mendiagnosis HRV diperlukan pemeriksaan tambahan seperti pemeriksaan
aktivitas renin plasma perifer basal, pemeriksaan renin vena renalis, serta pemeriksaan
radiologi seperti renogram atau arterigrafi. Arteriografi dianggap sebagai gold standard
dalam untuk diagnosis stenosis arteri renalis.
Tabel 2. Jenis penyakit renovaskuler pada anak.
Penyakit arteri renalis intrinsik (intrarenal)
Stenosis segmental, hipoplasia segmental
Aneurisma
Vaskulitis
Penyakit arteri ginjal intrinsik (perubahan hillus)
Lesi fibromuskular
Neurofibromatosis
Arteritis
Defek kongenital kombinasi
Stenosis arteri pasca transplantasi ginjal
Lesi arteri renalis ekstrinsik
Iatrogenik
a. Meningkatkan sekresi hormon antidiuretik (ADH) dan rasa haus. ADH diproduksi di
hipotalamus (kelenjar pituitari) dan bekerja pada ginjal untuk mengatur osmolalitas dan
volume urin. Dengan meningkatnya ADH, sangat sedikit urin yang diekskresikan ke luar
tubuh (antidiuresis) sehingga urin menjadi pekat dan tinggi osmolalitasnya. Untuk
mengencerkan, volume cairan ekstraseluler akan ditingkatkan dengan cara menarik cairan
dari bagian instraseluler. Akibatnya volume darah meningkat sehingga meningkatkan
tekanan darah.
b. Menstimulasi sekresi aldosteron dari korteks adrenal. Aldosteron merupakan hormon
steroid yang berperan penting pada ginjal. Untuk mengatur volume cairan ekstraseluler,
aldosteron akan mengurangi ekskresi NaCl (garam) dengan cara mereabsorpsinya dari
tubulus ginjal. Naiknya konsentrasi NaCl akan diencerkan kembali dengan cara
meningkatkan volume cairan ekstraseluler yang pada gilirannya akan meningkatkan
volume dan tekanan darah (Gray, et al. 2005).
3) Sistem Saraf Otonom
Sirkulasi sistem saraf simpatetik dapat menyebabkan vasokonstriksi dan dilatasi
arteriol. Sistem saraf otonom ini mempunyai peran yang penting dalam pempertahankan
tekanan darah. Hipertensi dapat terjadi karena interaksi antara sistem saraf otonom dan sistem
renin-angiotensin bersama sama dengan faktor lain termasuk natrium, volume sirkulasi, dan
beberapa hormon (Gray, et al. 2005).
4) Disfungsi Endotelium
Pembuluh darah sel endotel mempunyai peran yang penting dalam pengontrolan
pembuluh darah jantung dengan memproduksi sejumlah vasoaktif lokal yaitu molekul oksida
nitrit dan peptida endotelium. Disfungsi endotelium banyak terjadi pada kasus hipertensi
primer. Secara klinis pengobatan dengan antihipertensi menunjukkan perbaikan gangguan
produksi dari oksida nitrit (Gray, et al. 2005).
5) Substansi vasoaktif
Banyak
sistem
vasoaktif
yang
mempengaruhi
transpor
natrium
dalam
peptide merupakan hormon yang diproduksi di atrium jantung dalam merespon peningkatan
volum darah. Hal ini dapat meningkatkan ekskresi garam dan air dari ginjal yang akhirnya
dapat meningkatkan retensi cairan dan hipertensi (Gray, et al. 2005).
6) Hiperkoagulasi
Pasien dengan hipertensi memperlihatkan ketidaknormalan dari dinding pembuluh
darah (disfungsi endotelium atau kerusakan sel endotelium), ketidaknormalan faktor
homeostasis, platelet, dan fibrinolisis. Diduga hipertensi dapat menyebabkan protombotik dan
hiperkoagulasi yang semakin lama akansemakin parah dan merusak organ target. Beberapa
keadaan dapat dicegah dengan pemberian obat anti-hipertensi (Gray, et al. 2005).
7) Disfungsi diastolik
Hipertropi ventrikel kiri menyebabkan ventrikel tidak dapat beristirahat ketika terjadi
tekanan diastolik. Hal ini untuk memenuhi peningkatan kebutuhan input ventrikel, terutama
pada saat olahraga terjadi peningkatan tekanan atrium kiri melebihi normal, dan penurunan
tekanan ventrikel (Gray, et al. 2005).
D. Diagnosis
1. Anamnesis
Anamnesis yang perlu ditanyakan kepada seorang penderita hipertensi meliputi:
a. Lama menderita hipertensi dan derajat tekanan darah
b. Indikasi adanya hipertensi sekunder
Keluarga dengan riwayat penyakit ginjal (ginjal polikistik)
Adanya penyakit ginjal, infeksi saluran kemih hematuri, pemakaian obaobatan analgesic dan obat/ bahan lain.
Episode berkeringat, sakit kepala, kecemasan palpitasi (feokromositoma).
c. Faktor-faktor resiko (riwayat hipertensi/ kardiovaskular pada pasien atau
keluarga pasien, riwayat hiperlipidemia, riwayat diabetes mellitus, kebiasaan
merokok, pola makan, kegemukan, insentitas olahraga)
d. Gejala kerusakan organ
Otak dan mata: sakit kepala, vertigo, gangguan penglihatan, transient
ischemic attacks, defisit neurologis
Jantung: Palpitasi,nyeri dada, sesak, bengkak di kaki
Ginjal: Poliuria, nokturia, hematuria
e. Riwayat pengobatan antihipertensi sebelumnya
2. Pemeriksaan Fisik
a. Memeriksa tekanan darah
8
Berikut ini merupakan bagan algoritma penanganan hipertensi menurut JNC VII,
10
Rekomendasi
Penurunan
Tekanan
Darah Sistolik
berat 5-20 mmHg/10 kg
buah,
sayuran
makanan
Menurunkan
garam
lemak
asupan Pada
dan
yang
pasien
rendah
dengan 2-8 mmHg
pada
dengan
asites/edema
hipertensi
dan
berat.
yang
dikonsumsi
dan
menghindari
makanan
yang
tinggi natrium.
11
mg
ini
Na)
diberikan
kepada
pasien
edema/asites,
dan
berat.
Dianjurkan
menghindari makanan
dengan
kandungan
natrium
tinggi.
Diperbolehkan
menggunakan garam
dalam
pemasakan
Diet
Garam
Rendah
III
(1000-
1200 mg Na)
Pada
masakannya
boleh
ditambahkan
garam
dapur
sebanyak
sendok
teh
(4g).
Namun
tetap
menghindari
jenis
makanan
yang
mengandung natrium
12
Latihan fisik
tinggi.
Tertutama
aerobic
jalan
30 menit)
konsumsi Tidak lebih dari 2 gelas/ 2-4 mmHg
hari untuk pria dan tidak
lebih dari 1 gelas/hari
untuk wanita
Stop merokok
Apabila dengan perubahan lifestyle tidak tercapai target tekanan darah yang
diinginkan (tekanan darah < 140/90 mmHg pada pasien tanpa riwayat diabetes/ penyakit
ginjal kronis dan tekanan darah <130/80 mmHg pada seseorang dengan diabetes/penyakit
ginjal kronis), maka selanjutnya kita mulai terapi inisial dengan obat anti hipertensi oral.
Pada hipertensi derajat 1 regimen pengobatan dilakukan dengan menggunakan
diuretik jenis Thiazid untuk sebagian besar kasus, dan dapatt dipertimbangkan ACEI,
ARB, BB, CCB, atau kombinasi. Sedangkan pada hipertensi derajat 2 digunakan
kombinasi 2 jenis obat untuk sebagian besar kasusnya, umumnya diuretic jenis thiazid
dan ACEI atau ARB atau CCB. Sedangkan pada pasien dengan indikasi medis yang
memaksa, obat yang diberikan adalah obat-obatan untuk indikasi medis yang memaksa
dan anti hipertensi lain (diuretika, ACEI, ARB, CCB)sesuai dengan kebutuhan.
Jenis-jenis obat antihipertensi untuk terapi farmakologis hipertensi yang
dianjurkan JNC 7 yaitu:
Diuretika terutama jenis Thiazide (Thiaz) atau Aldosterone Antagonist (Aldo Ant)
Beta Blocker (BB)
Calcium Channel Blocker atau Calcium Antagonist (CCB)
Angiotensin Converting Enzyme Inhibitor (ACE-I)
Angiotensin II Receptor Blocker atau AT1 Receptor Antagonist atau Blocker (ARB)
Masing-masing obat antihipertensi memiliki efektivitas dan keamanan dalam
pengobatan hipertensi tetapi pemilihan obat antihipertensi juga dipengaruhi beberapa faktor
yaitu:
Faktor sosio-ekonomi
Profil faktor risiko kardiovaskuler
Ada tidaknya kerusakan organ target
Ada tidaknya penyakit penyerta
13
lain
Bukti ilmiah kemampuan obat antihipertensi yang akan digunakan dalam menurunkan
risiko kardiovaskuler
Untuk sebagian besar pasien hipertensi, terapi dimulai secara bertahap dan target
tekanan darah tinggi dicapai secara progresif dalam beberapa minggu. Dianjurkan untuk
menggunakan obat antihipertensi dengan masa kerja panjang atau yang memberikan
efikasi 24 jam dengan pemberian sekali sehari. Pilihan memulai terapi dengan 1 jenis obat
antihipertensi atau dengan kombinasi tergantung tekanan darah awal dan ada tidaknya
komplikasi. Jika terapi dimulai dengan 1 jenis obat dalam dosis rendah dan kemudian
tekanan darah belum mencapai target, maka langkah selanjutnya adalah meningkatkan
dosis obat tersebut atau berpindah ke antihipertensi lain dengan dosis rendah. Efek
samping umumnya bisa dihindarkan dengan dosis rendah baik tunggal maupun
kombinasi. Sebagian besar pasien memerlukan kombinasi obat antihipertensi untuk
mencapai target tekanan darah tetapi terapi kombinasi dapat meningkatkan biaya
pengobatan dan menurunkan kepatuhan pasien karena jumlah obat yang semakin
bertambah.
Kombinasi yang telah terbukti efektif dan dapat ditoleransi pasien hipertensi
adalah:
CCB dan BB
CCB dan ACEI atau ARB
CCB dan diuretika
AB dan BB
Kadang diperlukan 3 atau 4 kombinasi obat
Diuretika
Blocker
Blocker
Angiotensin II
Receptor
Blocker
Calcium
Channel
Blocker
14
Angiotensin
Converting
Enzyme
Inhibitor
TDS (mmHg)
TDD (mmHg)
Perbaikan Pola
Terapi Obat
Hidup
tanpa Indikasi
Awal dengan
Memaksa
Indikasi
Tekanan Darah
Memaksa
Normal
Prehipertensi
Hipertensi derajat
< 120
120-139
140-159
dan < 80
atau 80-89
atau 9- 99
Dianjurkan
Ya
Ya
Hipertensi derajat
160
atau 100
Ya
Tidak indikasi
Obat-obatan untuk
obat
indikasi yang
Diuretika jenis
memaksa
Obat-obatan untuk
Thiazide untuk
indikasi yang
sebagian besar
memaksa Obat
kasus, dapat
antihipertensi lain
dipertimbangkan
(diuretika, ACE-I,
CCB, atau
sesuai kebutuhan
kombinasi
Kombinasi 2 obat
untuk sebagian
besar kasus
umumnya
diuretika jenis
Thiazide dan
ACE-I atau ARB
atau BB atau CCB
Pasien yang telah mulai mendapakan pengobatan harus dilakukan evaluasi lanjutan
dan pengaturan dosis obat sampai target tekanan darah tercapai. Setelah tekanan darah stabil,
kunjungan berikutnya datang dengan interval 3-6 bulan, frekuensi kunjungan ini ditentukan
dengan adanya tidaknya komorbiditas seperti gagal jantung, diabetes dan kebutuhan akan
pemeriksaan laboratorium.
Pada beberapa pasien adakalanya terjadi hipertensi yang resisten. Apabila terjadi hal
demikian, perlu dipertimbangkan adanya kedaan sebagai berikut:
b.
c.
d.
e.
f.
g.
Adanya obat yang mempengaruhi atau berinteraksi dengan kerja obat anti
hipertensi.
h.
Selain hipertensi ada kondisi lain seperti diabetes mellitus atau penyakit ginjal
(laju filtrate glomerulus mencapai <60 ml/men/1,73 m2 -> konsul penyakit
dalam,
sedangkan
untuk
laju
filtrate
glomerulus
mencapai
<
gangguan/penyakit
ginjalnya
yang
menimbulkan
hipertensi.
fungsi
ginjal).
17
19
BAB III
KESIMPULAN
Hipertensi sekunder adalah hipertensi yang penyebabnya sudah jelas, sehingga terapi
pada keadaan ini langsung ditujukan pada penyebab terjadinya hipertensi tersebut.
Setidaknya ada 5 jenis hipertensi sekunder yaitu hipertensi akibat penyakit ginjal, hipertensi
renovaskular,
hipertensi
akibat
hiperaldosteronisme
primer,
hipertensi
akibat
Batasan hipertensi ditetapkan dan dikenal dengan ketetapan JNC VII (The Seventh
Report of The Joint National Committee on Prevention, Detection, Evaluation, and Treatment
of Hight Blood Pressure). Menurut criteria JNC VII, pasien dengan hipertensi dibagi menjadi
normal, pre hipertensi, hipertensi derajat 1, dan hipertensi derajat 2.
Menurut perkiraan, sekitar 30% penduduk dunia tidak terdiagnosis adanya hipertensi
(underdiagnosed condition). Hal ini disebabkan tidak adanya gejala atau dengan gejala ringan
bagi mereka yang menderita hipertensi. Sedangkan, hipertensi ini sudah dipastikan dapat
merusak organ tubuh seperti jantung (70% penderita hipertensi akan merusak jantung), ginjal,
otak, mata, serta organ tubuh lainnya sehingga hipertensi disebut sebagai silent killer. Deteksi
dini penting dilakukan untuk mencegah timbulnya berbagai komplikasi. Apabila sudah di
diagnosis dengan hipertensi, seorang pasien harus diedukasi dengan baik mengenai
pengaturan pola hidup yang benar selain dari terapi dengan medikamentosa..
Pada hipertensi renovaskular, pengobatan medikamentosa tidak berbeda dengan
hipertensi esensial. Pada lesi fibromuskular, dapat dilakukan angiplasti perkutan dengan
keberhasilan
mencapai
85-100%.
Disamping
itu
dapat
juga
dilakukan
tindakan
DAFTAR PUSTAKA
1. WHO.
Raised
Blood
Pressure.
http://www.who.int/gho/ncd/risk_factors/blood_pressure_prevalence_text/en/.
Accessed November 20, 2013
21
2005,
Treatment
of
High
Blood
Pressure.
Evaluation,
Available
at:
http://www.hypertensionaha.org
12. Shapo L, Pomerleau J, McKee M. Epidemiology of Hypertension and
Cardiovascular Risk Factors in a Country in Transition.
Associated
Albania:
Journal