You are on page 1of 22

REFERAT

DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANAAN HIPERTENSI


RENAL

A. Definisi Hipertensi
Hipertensi merupakan peningkatan tekanan darah > 140/90 mmHg. Hipertensi
diklasifikasikan atas hipertensi primer (esensial) (90-95%) dan hipertensi sekunder (5-10%).
Dikatakan hipertensi primer bila tidak ditemukan penyebab dari peningkatan tekanan darah
tersebut, sedangkan hipertensi sekunder disebabkan oleh penyakit/keadaan lain (Bakri, 2008).
Hipertensi sekunder atau hipertensi renal terdapat sekitar 5% kasus. Penyebab spesifik
diketahui, seperti penggunaan estrogen, penyakit ginjal, hipertensi vaskular renal,
hiperaldosteronisme primer, dan sindrom cushing, feokromositoma, koarktasio aorta,
hipertensi yang berhubungan dengan kehamilan, dan lain lain (Schrier, 2000).
Menurut The Seventh Report of The Joint National Committee on Prevention,
Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure (JNC 7) klasifikasi tekanan
darah pada orang dewasa terbagi menjadi kelompok normal, prahipertensi, hipertensi derajat
1 dan derajat 2 seperti yang terlihat pada tabel 1 dibawah (Gray, et al. 2005).
Tabel 1. Klasifikasi Hipertensi

Klasifikasi Tekanan Darah

Tekanan Darah Sistolik


(mmHg)
<120

Tekanan Darah Diastolik


(mmHg)
<80

120-139

80-89

Hipertensi Grade 1

140-159

90-99

Hipertensi Grade 2

160

100

Normal
Prahipertensi

B. Beberapa Jenis Hipertensi Sekunder

1 Hipertensi Pada Penyakit Ginjal


Kelainan ginjal dibagi menjadi kelainan perenkim ginjal dan sisanya karena penyakit
pembuluh darah ginjal (renovaskuler). Hampir 80% penyebab hipertensi sekunder pada anak
adalah penyakit parenkim ginjal . Hipertensi karena penyakit parenkim ginjal umumnya
bersifat kronik, misalnya pada glomerulonefritis kronik, pielonefritis kronik, nefropati
membranosa, kelainan kongenital misalnya ginjal polikistik, ginjal displasia. Pada Penyakit
pembuluh darah ginjal bayi atau anak kecil dengan hipertensi renovaskuler pada umumya
tidak menunjukan gejala klinis yang khas. Gejala yang lazim ditemukan adalah retardasi
pertumbuhan, anoreksia, iritabel, muntah, kejang atau dekompensasi jantung. Pada anak yang
besar gejala dapat asimptomatis atau simptomatis dengan ensefalofati hipertensif berat.
Diagnosis ke arah hipertensi renovaskuler ditegakan setelah dilakukan pemeriksaan
penunjang termasuk angiografi, bila evaluasi telah lengkap dapat dilakukan tindakan
pembedahan dan diharapkan tekanan darah kembali normal.
Penyakit ginjal dapat menaikkan tekanan darah dan sebaliknya hipertensi dalam
jangka waktu lama dapat mengganggu ginjal. Beratnya pengaruh hipertensi pada ginjal
tergantung dari tingginya tekanan darah dan lamanya menderita hipertensi. Makin tinggi
tekanan darah, maka makin berat komplikasi yang dapat ditimbulkan.Hipertensi pada
penyakit ginjal dapat terjadi pada penyakit ginjal akut maupun penyakit ginjal kronik baik
pada kelainan glomerolus maupun pada kelainan vaskular.
Penyakit glomerolus akut
Hipertensi terjadi oleh karena adanya retensi natrium yang menyebabkan hipervolemi.
Retensi natrium terjadi akibat adanya peningkatan reabsorbsi natrium di duktus
koligentes. Peningkatan ini mungkin terjadi karena adanya resistensi relatif terhadap
hormon natriuretik peptida dan peningkatan aktifitas pompa Na-K-ATPase di duktus
koligentes.
Penyakit vaskular
Pada keadaan ini, terjadi iskemi pada pembuluh darah renal yang klemudian merangsang
sistem renin angiotensin aldosteron sehingga tekanan darah dapat meningkat.

Gagal ginjal kronik

Pada keadaan ini, hipertensi umumnya terjadi karena retensi natrium, peningkatan sistem
RAA akibat iskemia relatif terhadap kerusakan regional, aktifitas saraf simpatis yang
meningkat karena kerusakan ginjal, hiperparatiroid sekunder, dan akibat pemberian
eritropoetin.
Beberapa Patogenesis pada penyakit ginjal yang dapat meneybabakan hipertensi,
diantaranya:
1. Hipervolemia
Hipervolemia timbul sebagai akibat retensi air dan natrium, efek ekses
mineralokortikoid terhadap peningkatan reabsorpsi natrium dan air di tubulus distal,
pemberian infus larutan garam fisiologik, koloid dan tranfusi darah yang berlebihan
pada anak dengan laju filtrasi glomerulus yang buruk. Hipervolemia menyebabkan
curah jantung meningkat dan mengakibatkan timbulnya hipertensi. Hipertensi oleh
karena mekanisme hipervolemia lebih sering terjadi pada penyakit parenkim ginjal
bilateral seperti glmerulonefritis akut paska streptokok, glomerulonefritis kronik, atau
gagal ginjal kronik.
2. Gangguan Sistem Renin Angiotensin dan Aldosteron
Sistem renin angiotensin aldosteron merupakan salah satu pengatur utama
tekanan darah. Renin merupakan enzim yang disintesis, disimpan dan disekresi ke
dalam aliran darah oleh sel aparat yuksta glomerular. Peradangan, penekanan jaringan
parenkim ginjal oleh tumor, abses dan parut pielonefritik menyebabkan aliran darah
intra renal dan laju filtrasi glomerulus turun. Hal ini menimbulkan rangsangan
terhadap sel aparat yuksta glomerular untuk meningkatkan sintesis dan sekresi renin
ke dalam aliran darah.
Renin bekerja pada subtrat renin yaitu angiotensinogen globulin yang dibentuk
da dalam hati dan diubah menjadi angiotensin I kemudian diubah menjadi angiotensin
II oleh enzim konvertase. Angiotensin II memiliki efek vasokonstriksi yang
menyebabkan tahanan perifer meningkat dan meningkatkan sekresi aldosteron dan
menyebabkan peningkatan reabsorpsi natrium dan air disertai meningkatnya eksresi
kalium. Keadaan ini menyebabkan tejadinya hipervolemia, curah jantung meningkat
dan terjadi hipertensi.Penyakit ginjal yang berkaitan dengan sistem renin angiotensin
aldosteron adalah stenosis areteri renalis dan penyakit parenkim ginjal unilateral yaitu
3

hipoplasia ginjal segmental, pielonefritis kronik dengan atau tanpa uropati obstruktif
unilateral, hematoma subscapular unilateral.
3. Berkurangnya zat vasodilator
Zat vasodilator seperti prostaglandin A2, kinin dan bradikinin dihasilkan oleh
medula ginjal. Berkurangnya pembentukan dan sekresi zat-zat tersebut berperan pada
timbulnya hipertensi renal. Penyakit pembuluh darah ginjal memberikan gejala klinis
tidak khas, diagnosa ditegakan dengan bantuan pemeriksaan angiografi.
2. Hipertensi Renovaskular
Hipertensi renovaskular merupakan penyebab tersering dari hipertensi
sekunder. Diagnosis terhadap keadaan ini penting karena kelainan ini potensial untuk
disembuhkan dengan menghilangkan stenosis arteri renalis. Stenosis arteri renalis merupakan
keadaan terdapatnya lesi obstruktif secara anatomik pada arteri renalis, sedangkan HRV
adalah hipertensi yang terjadi akibat fisiologis adanya stenosis tersebut.
Setidaknya ada 3 penyebab terjadinya hipertensi renovaskular ini antara lain:
Lesi aterosklerotik arteri renalis
Merupakan penyebab tersering, mencapai 90% kasus dan biasanya terjadi pada usia lanjut
dan sering pada riwayat keluarga hipertensi. Lesi biasanya bilateral pada daerah ostium
serta pada 1/3 bagian proksimal arteri renalis.
Displasia fibromuskular
Merupakan penyebab terbanyak kedua, lebih sering ditemukan pada perempuan muda
dekade ketiga dan keempat. Biasanya tidak mempunyai riwayat hipertensi dalam keluarga
dan umumnya belum mempunyai kelainan organ target. Pada 2/3 kasus terjadi bilateral
pada 2/3 bagian distal arteri renalis atau cabang intrarenal.
Penyebab-penyebab lain
Penyebab-penyebab lain yang mungkin seperti arteritis takayasu, neurofibromatosis,
aneurisma aorta disekans, fistula arteri-vena renalis, arteritis radiasi, dan emboli.
Patofisiologi terjadinya HRV ini terjadi pada dua fase yaitu fase akut dan kronik yaitu sebagai
berikut:

Fase akut
Terjadinya konstriksi pada arteri renalis akan menungkatkan tekanan darah dan juga
peningkatan renin dan aldosteron. Pemberian ACEI atau ARB dapat mencegah
peningkatan tekanan darah ini. Ini membuktikan bahwa peningkatan tekanan darah ini
akibat hiperreninemia.
Fase kronik
Untuk mendiagnosis HRV diperlukan pemeriksaan tambahan seperti pemeriksaan
aktivitas renin plasma perifer basal, pemeriksaan renin vena renalis, serta pemeriksaan
radiologi seperti renogram atau arterigrafi. Arteriografi dianggap sebagai gold standard
dalam untuk diagnosis stenosis arteri renalis.
Tabel 2. Jenis penyakit renovaskuler pada anak.
Penyakit arteri renalis intrinsik (intrarenal)
Stenosis segmental, hipoplasia segmental
Aneurisma
Vaskulitis
Penyakit arteri ginjal intrinsik (perubahan hillus)
Lesi fibromuskular
Neurofibromatosis
Arteritis
Defek kongenital kombinasi
Stenosis arteri pasca transplantasi ginjal
Lesi arteri renalis ekstrinsik
Iatrogenik

C. Patofisiologi Hipertensi Secara Umum


Kaplan menggambarkan beberapa faktor yang berperan dalam pengendalian tekanan
darah yang mempengaruhi rumus dasar:
Tekanan Darah = Curah Jantung x Tahanan Perifer. (Yogiantoro, 2006).
Mekanisme patofisiologi yang berhubungan dengan peningkatan hipertensi esensial
antara lain :
1) Curah jantung dan tahanan perifer
Keseimbangan curah jantung dan tahanan perifer sangat berpengaruh terhadap
kenormalan tekanan darah. Pada sebagian besar kasus hipertensi esensial curah jantung
biasanya normal tetapi tahanan perifernya meningkat. Tekanan darah ditentukan oleh
konsentrasi sel otot halus yang terdapat pada arteriol kecil. Peningkatan konsentrasi sel otot
halus akan berpengaruh pada peningkatan konsentrasi kalsium intraseluler. Peningkatan
konsentrasi otot halus ini semakin lama akan mengakibatkan penebalan pembuluh darah
arteriol yang mungkin dimediasi oleh angiotensin yang menjadi awal meningkatnya tahanan
perifer yang irreversible (Gray, et al. 2005).
2) Sistem Renin-Angiotensin
Ginjal mengontrol tekanan darah melalui pengaturan volume cairan ekstraseluler dan
sekresi renin. Sistem Renin-Angiotensin merupakan sistem endokrin yang penting dalam
pengontrolan tekanan darah. Renin disekresi oleh juxtaglomerulus aparantus ginjal sebagai
respon glomerulus underperfusion atau penurunan asupan garam, ataupun respon dari sistem
saraf simpatetik (Gray, et al. 2005).
Mekanisme terjadinya hipertensi adalah melalui terbentuknya angiotensin II dari
angiotensin I oleh angiotensin I-converting enzyme (ACE). ACE memegang peranan
fisiologis penting dalam mengatur tekanan darah. Darah mengandung angiotensinogen yang
diproduksi hati, yang oleh hormon renin (diproduksi oleh ginjal) akan diubah menjadi
angiotensin I (dekapeptida yang tidak aktif). Oleh ACE yang terdapat di paru-paru,
angiotensin I diubah menjadi angiotensin II (oktapeptida yang sangat aktif). Angiotensin II
berpotensi besar meningkatkan tekanan darah karena bersifat sebagai vasoconstrictor melalui
dua jalur, yaitu:

a. Meningkatkan sekresi hormon antidiuretik (ADH) dan rasa haus. ADH diproduksi di
hipotalamus (kelenjar pituitari) dan bekerja pada ginjal untuk mengatur osmolalitas dan
volume urin. Dengan meningkatnya ADH, sangat sedikit urin yang diekskresikan ke luar
tubuh (antidiuresis) sehingga urin menjadi pekat dan tinggi osmolalitasnya. Untuk
mengencerkan, volume cairan ekstraseluler akan ditingkatkan dengan cara menarik cairan
dari bagian instraseluler. Akibatnya volume darah meningkat sehingga meningkatkan
tekanan darah.
b. Menstimulasi sekresi aldosteron dari korteks adrenal. Aldosteron merupakan hormon
steroid yang berperan penting pada ginjal. Untuk mengatur volume cairan ekstraseluler,
aldosteron akan mengurangi ekskresi NaCl (garam) dengan cara mereabsorpsinya dari
tubulus ginjal. Naiknya konsentrasi NaCl akan diencerkan kembali dengan cara
meningkatkan volume cairan ekstraseluler yang pada gilirannya akan meningkatkan
volume dan tekanan darah (Gray, et al. 2005).
3) Sistem Saraf Otonom
Sirkulasi sistem saraf simpatetik dapat menyebabkan vasokonstriksi dan dilatasi
arteriol. Sistem saraf otonom ini mempunyai peran yang penting dalam pempertahankan
tekanan darah. Hipertensi dapat terjadi karena interaksi antara sistem saraf otonom dan sistem
renin-angiotensin bersama sama dengan faktor lain termasuk natrium, volume sirkulasi, dan
beberapa hormon (Gray, et al. 2005).
4) Disfungsi Endotelium
Pembuluh darah sel endotel mempunyai peran yang penting dalam pengontrolan
pembuluh darah jantung dengan memproduksi sejumlah vasoaktif lokal yaitu molekul oksida
nitrit dan peptida endotelium. Disfungsi endotelium banyak terjadi pada kasus hipertensi
primer. Secara klinis pengobatan dengan antihipertensi menunjukkan perbaikan gangguan
produksi dari oksida nitrit (Gray, et al. 2005).
5) Substansi vasoaktif
Banyak

sistem

vasoaktif

yang

mempengaruhi

transpor

natrium

dalam

mempertahankan tekanan darah dalam keadaan normal. Bradikinin merupakan vasodilator


yang potensial, begitu juga endothelin. Endothelin dapat meningkatkan sensitifitas garam
pada tekanan darah serta mengaktifkan sistem renin-angiotensin lokal. Arterial natriuretic
7

peptide merupakan hormon yang diproduksi di atrium jantung dalam merespon peningkatan
volum darah. Hal ini dapat meningkatkan ekskresi garam dan air dari ginjal yang akhirnya
dapat meningkatkan retensi cairan dan hipertensi (Gray, et al. 2005).
6) Hiperkoagulasi
Pasien dengan hipertensi memperlihatkan ketidaknormalan dari dinding pembuluh
darah (disfungsi endotelium atau kerusakan sel endotelium), ketidaknormalan faktor
homeostasis, platelet, dan fibrinolisis. Diduga hipertensi dapat menyebabkan protombotik dan
hiperkoagulasi yang semakin lama akansemakin parah dan merusak organ target. Beberapa
keadaan dapat dicegah dengan pemberian obat anti-hipertensi (Gray, et al. 2005).
7) Disfungsi diastolik
Hipertropi ventrikel kiri menyebabkan ventrikel tidak dapat beristirahat ketika terjadi
tekanan diastolik. Hal ini untuk memenuhi peningkatan kebutuhan input ventrikel, terutama
pada saat olahraga terjadi peningkatan tekanan atrium kiri melebihi normal, dan penurunan
tekanan ventrikel (Gray, et al. 2005).
D. Diagnosis
1. Anamnesis
Anamnesis yang perlu ditanyakan kepada seorang penderita hipertensi meliputi:
a. Lama menderita hipertensi dan derajat tekanan darah
b. Indikasi adanya hipertensi sekunder
Keluarga dengan riwayat penyakit ginjal (ginjal polikistik)
Adanya penyakit ginjal, infeksi saluran kemih hematuri, pemakaian obaobatan analgesic dan obat/ bahan lain.
Episode berkeringat, sakit kepala, kecemasan palpitasi (feokromositoma).
c. Faktor-faktor resiko (riwayat hipertensi/ kardiovaskular pada pasien atau
keluarga pasien, riwayat hiperlipidemia, riwayat diabetes mellitus, kebiasaan
merokok, pola makan, kegemukan, insentitas olahraga)
d. Gejala kerusakan organ
Otak dan mata: sakit kepala, vertigo, gangguan penglihatan, transient
ischemic attacks, defisit neurologis
Jantung: Palpitasi,nyeri dada, sesak, bengkak di kaki
Ginjal: Poliuria, nokturia, hematuria
e. Riwayat pengobatan antihipertensi sebelumnya
2. Pemeriksaan Fisik
a. Memeriksa tekanan darah
8

Pemeriksaan laboratorium untuk evaluasi diagnostik hipertensi sekunder:


A. Pemeriksaan untuk mendeteksi penyakit ginjal
- Urinalisis, biakan urin
- Kimia darah (kolesterol, albumin, globulin, asam urat, ureum, kreatinin)
- Klirens kreatinin dan ureum
- Darah lengkap
- Pielografi intravena (bila skanning ginjal dan USG tak tersedia)
B. Evaluasi akibat hipertensi terhadap organ target
EKG, foto roentgen dada, dan ekokardiografi
Pemeriksaan lanjutan bila pada pemeriksaan awal didapatkan kelainan, dan jenis
pemeriksaan yang dilakukan disesuaikan dengan kelainan yang didapat.
-

Sel LE, uji serologi untuk SLE


Miksio sistouretrografi (MSU)
Biopsi ginjal
CT ginjal
Tc 99m DTPA atau DMSA scan, Renografi
Arteriografi
Digital Subtraction Angiografi (DSA)
Renin vena renalis

E. Penatalaksanaan Hipertensi Pada Penyakit Ginjal


Tatalaksana
Tujuan pengobatan pasien hipertensi adalah:
1. Target tekanan darah < 140/90 mmHg, untuk individu berisiko tinggi (diabetes, gagal
ginjal proteinuria) < 130/80 mmHg
2. Penurunan morbiditas dan mortalitas kardiovaskuler

3. Menghambat laju penyakit ginjal proteinuria

Berikut ini merupakan bagan algoritma penanganan hipertensi menurut JNC VII,

10

Algoritma penanganan hipertensi imulai terlebih dahulu dengan perubahan


lifestyle atau gaya hidup. Perubahan lifestyle yang dapat menimbulkan penurunan
terhadap tekanan darah, antara lain3:
Modifikasi

Rekomendasi

Penurunan

Tekanan

Darah Sistolik
berat 5-20 mmHg/10 kg

Menurunkan Berat Badan Mengendalikan

badan sesuai dengan IMT


normal yaitu 18,5-24,9
kg/m2
Diet dengan mengadopsi Banyak
diet DASH

mengkonsumsi 8-14 mmHg

buah,

sayuran

makanan
Menurunkan
garam

lemak
asupan Pada

dan

yang

pasien

rendah
dengan 2-8 mmHg

hipertensi dikenal 3 jenis


diet rendah garam, yaitu:
1. Diet Garam Rendah I
(200-400 mg Na)
Ditujukan
pasien

pada
dengan

asites/edema
hipertensi

dan
berat.

Pada kondisi ini


tidak
diperkenankan
menambahkan
garam ke dalam
masakan

yang

dikonsumsi

dan

menghindari
makanan

yang

tinggi natrium.

11

2. Diet Garam Rendah II


(600-800
Diet

mg

ini

Na)

diberikan

kepada

pasien

edema/asites,

dan

hipertensi yang tidak


terlalu

berat.

Dianjurkan
menghindari makanan
dengan

kandungan

natrium

tinggi.

Diperbolehkan
menggunakan garam
dalam

pemasakan

sebesar 0,5 sendok


teh(2g).
3.

Diet

Garam

Rendah

III

(1000-

1200 mg Na)

Diet ini diberikan

pada pasien dengan


edema atau hipertensi
ringan.

Pada

masakannya

boleh

ditambahkan

garam

dapur

sebanyak

sendok

teh

(4g).

Namun

tetap

menghindari

jenis

makanan

yang

mengandung natrium
12

Latihan fisik

tinggi.
Tertutama
aerobic

olahraga 4-9 mmHg


seperti

jalan

cepat, berenang (minimal


Menurunkan
alcohol berlebih

30 menit)
konsumsi Tidak lebih dari 2 gelas/ 2-4 mmHg
hari untuk pria dan tidak
lebih dari 1 gelas/hari
untuk wanita

Stop merokok
Apabila dengan perubahan lifestyle tidak tercapai target tekanan darah yang
diinginkan (tekanan darah < 140/90 mmHg pada pasien tanpa riwayat diabetes/ penyakit
ginjal kronis dan tekanan darah <130/80 mmHg pada seseorang dengan diabetes/penyakit
ginjal kronis), maka selanjutnya kita mulai terapi inisial dengan obat anti hipertensi oral.
Pada hipertensi derajat 1 regimen pengobatan dilakukan dengan menggunakan
diuretik jenis Thiazid untuk sebagian besar kasus, dan dapatt dipertimbangkan ACEI,
ARB, BB, CCB, atau kombinasi. Sedangkan pada hipertensi derajat 2 digunakan
kombinasi 2 jenis obat untuk sebagian besar kasusnya, umumnya diuretic jenis thiazid
dan ACEI atau ARB atau CCB. Sedangkan pada pasien dengan indikasi medis yang
memaksa, obat yang diberikan adalah obat-obatan untuk indikasi medis yang memaksa
dan anti hipertensi lain (diuretika, ACEI, ARB, CCB)sesuai dengan kebutuhan.
Jenis-jenis obat antihipertensi untuk terapi farmakologis hipertensi yang
dianjurkan JNC 7 yaitu:
Diuretika terutama jenis Thiazide (Thiaz) atau Aldosterone Antagonist (Aldo Ant)
Beta Blocker (BB)
Calcium Channel Blocker atau Calcium Antagonist (CCB)
Angiotensin Converting Enzyme Inhibitor (ACE-I)
Angiotensin II Receptor Blocker atau AT1 Receptor Antagonist atau Blocker (ARB)
Masing-masing obat antihipertensi memiliki efektivitas dan keamanan dalam
pengobatan hipertensi tetapi pemilihan obat antihipertensi juga dipengaruhi beberapa faktor
yaitu:

Faktor sosio-ekonomi
Profil faktor risiko kardiovaskuler
Ada tidaknya kerusakan organ target
Ada tidaknya penyakit penyerta
13

Variasi individu dari respon pasien terhadap obat antihipertensi


Kemungkinan adanya interaksi dengan obat yang digunakan pasien untuk penyakit

lain
Bukti ilmiah kemampuan obat antihipertensi yang akan digunakan dalam menurunkan
risiko kardiovaskuler
Untuk sebagian besar pasien hipertensi, terapi dimulai secara bertahap dan target

tekanan darah tinggi dicapai secara progresif dalam beberapa minggu. Dianjurkan untuk
menggunakan obat antihipertensi dengan masa kerja panjang atau yang memberikan
efikasi 24 jam dengan pemberian sekali sehari. Pilihan memulai terapi dengan 1 jenis obat
antihipertensi atau dengan kombinasi tergantung tekanan darah awal dan ada tidaknya
komplikasi. Jika terapi dimulai dengan 1 jenis obat dalam dosis rendah dan kemudian
tekanan darah belum mencapai target, maka langkah selanjutnya adalah meningkatkan
dosis obat tersebut atau berpindah ke antihipertensi lain dengan dosis rendah. Efek
samping umumnya bisa dihindarkan dengan dosis rendah baik tunggal maupun
kombinasi. Sebagian besar pasien memerlukan kombinasi obat antihipertensi untuk
mencapai target tekanan darah tetapi terapi kombinasi dapat meningkatkan biaya
pengobatan dan menurunkan kepatuhan pasien karena jumlah obat yang semakin
bertambah.
Kombinasi yang telah terbukti efektif dan dapat ditoleransi pasien hipertensi
adalah:

CCB dan BB
CCB dan ACEI atau ARB
CCB dan diuretika
AB dan BB
Kadang diperlukan 3 atau 4 kombinasi obat

Diuretika

Blocker

Blocker

Angiotensin II
Receptor
Blocker

Calcium
Channel
Blocker

14

Angiotensin
Converting
Enzyme
Inhibitor

Gambar. Kemungkinan Kombinasi obat antihipertensi


Tatalaksana hipertensi menurut JNC 7 meliputi:
Klasifikasi

TDS (mmHg)

TDD (mmHg)

Perbaikan Pola

Terapi Obat Awal

Terapi Obat

Hidup

tanpa Indikasi

Awal dengan

Memaksa

Indikasi

Tekanan Darah

Memaksa
Normal
Prehipertensi

Hipertensi derajat

< 120
120-139

140-159

dan < 80
atau 80-89

atau 9- 99

Dianjurkan
Ya

Ya

Hipertensi derajat

160

atau 100

Ya

Tidak indikasi

Obat-obatan untuk

obat

indikasi yang

Diuretika jenis

memaksa
Obat-obatan untuk

Thiazide untuk

indikasi yang

sebagian besar

memaksa Obat

kasus, dapat

antihipertensi lain

dipertimbangkan

(diuretika, ACE-I,

ACE-I, ARB, BB,

ARB, BB, CCB)

CCB, atau

sesuai kebutuhan

kombinasi
Kombinasi 2 obat
untuk sebagian
besar kasus
umumnya
diuretika jenis
Thiazide dan
ACE-I atau ARB
atau BB atau CCB

Pasien yang telah mulai mendapakan pengobatan harus dilakukan evaluasi lanjutan
dan pengaturan dosis obat sampai target tekanan darah tercapai. Setelah tekanan darah stabil,
kunjungan berikutnya datang dengan interval 3-6 bulan, frekuensi kunjungan ini ditentukan
dengan adanya tidaknya komorbiditas seperti gagal jantung, diabetes dan kebutuhan akan
pemeriksaan laboratorium.
Pada beberapa pasien adakalanya terjadi hipertensi yang resisten. Apabila terjadi hal
demikian, perlu dipertimbangkan adanya kedaan sebagai berikut:
b.

Pengukuran tekanan darah yang tidak benar


15

c.

Dosis belum memadai

d.

Ketidakpatuhan pasien dalam penggunaan obat anti hipertensi

e.

Ketidakpatuhan pasien dalam memperbaiki pola hidup

f.

g.

Asupan alcohol berlebih

Kenaikan berat badan berlebih

Kelebihan volume cairan tubuh

Asupan garam berlebih

Terapi diuretika tidak cukup

Pennurunan fungsi ginjal berjalan progresif

Adanya terapi lain

Masih menggunakan bahan/obat yang dapat meningkatkan tekanan darah

Adanya obat yang mempengaruhi atau berinteraksi dengan kerja obat anti
hipertensi.

h.

Penyebab hipertensi lain/ sekunder


Adakalanya seorang dokter umum dianjurkan merujuk ke dokter spesialis/
subspesialis, yaitu pada kondisi:

Jika dalam 6 bulan target pengobatan tidak tercapai

Selain hipertensi ada kondisi lain seperti diabetes mellitus atau penyakit ginjal
(laju filtrate glomerulus mencapai <60 ml/men/1,73 m2 -> konsul penyakit
dalam,

sedangkan

untuk

laju

filtrate

glomerulus

mencapai

<

30ml/men/1,73m3-> konsul nefrologi).

B. Penanggulangan Hipertensi dengan Gangguan Fungsi Ginjal


Bila ada gangguan fungsi ginjal, maka haruslah dipastikan dahulu apakah
hipertensi menimbulkan gangguan fungsi ginjal hipertensi lama, hipertensi primer)
ataupun

gangguan/penyakit

ginjalnya

yang

menimbulkan

hipertensi.

Masalah ini lebih bersifat diagnostik, karena penanggulangan hipertensi pada


umumnya sama, kecuali pada hipertensi sekunder (renovaskular,hiperaldosteronism
primer) dimana penanggulangan hipertensi banyak dipengaruhi etiologi penyakit.
1. Hipertensi dengan gangguan fungsi ginjal :
- Pada keadaan ini penting diketahui derajat gangguan fungsi ginjal (CCT,
16

creatinin) dan derajat proteiuria.


- Pada CCT < 25 mL/men diuretik golongan thiazid(kecuali metolazon) tidak
efektif.
- Pemakaian golongan ACEI/ARB perlu memperhatikan penurunan fungsi ginjal
dan kadar kalium.
-Pemakaian golongan BB dan CCB relatif aman.
2. Hipertensi akibat gangguan ginjal/adrenal:
- Pada gagal ginjal terjadi penumpukan garam yang membutuhkan penurunan
asupan garam/diuretik golongan furosemide/dialisis.
- Penyakit ginjal renovaskular baik stenosis arteri renalis maupun aterosklerosis
renal dapat ditanggulangi secara intervensi (stenting/operasi) ataupun medikal
(pemakaian ACEI dan ARB tidak dianjurkan bila diperlukan terapi obat.
Aldosteronism primer (baik karena adenoma maupun hiperplasia kelenjar adrenal)
dapat ditanggulangi secara medikal (dengan obat antialdosteron) ataupun
intervensi.
Disamping hipertensi, derajad proteinuri ikut menentukan progresi
fungsi ginjal, sehingga proteinuri perlu ditanggulangi secara maksimal dengan
pemberian ACEI/ARB dan CCB golongan non dihidropiridin.
Pedoman Pengobatan Hipertensi dengan Gangguan Fungsi Ginjal :
1. Tekanan darah diturunkan sampai < 130/80 mmHg (untuk mencegah progresi
gangguan

fungsi

ginjal).

2. Bila ada proteinuria dipakai ACEI/ARB (sepanjang tak ada kontraindikasi).


3. Bila proteinuria > 1g/24 jam tekanan darah diusahakan lebih rendah ( 125/75
mmHg).
4. Perlu perhatian untuk perubahan fungsi ginjal pada pemakaian ACEI/ARB
(kreatinin tidak boleh naik > 20%) dan kadar kalium (hiperkalemia).
Berdasarkan patogenesis terjadinya hipertensi pada penyakit ginjal, maka pengobatan
sebaiknya disesuaikan pada masing-masing kelompok. Pengobatan hipertensi pada kelompok
penyakit glomerulus akut, diberikan diuretik yang berperan sekaligus untuk mengurangi
edema yang terjadi pada kelompok ini. Pengurangan cairan dengan dialisis dapat juga
menurunkan tekanan darah. Pemberian ACEI atau Angiotensin Receptor Blocker (ARB) juga

17

dimungkinkan, stimulasi terhadap sistem renin angiotensin aldosteron jaringan (tissue-ACE)


dapat terjadi bila ada lesi pada ginjal.
ACEI atau ARB merupakan obat pilihan pengobatan hipertensi pada kelainan
vaskular ginjal oleh karena iskemi yang terjadi akan merangsang system-RAA.Pada gagal
ginjal kronis, pemberian diuretik atau ACEI/ARB atau CalciumChannel Blocker (CCB) atau
Beta Blocker dimungkinkan untuk pengobatan hipertensi secara sendiri-sendiri atau
kombinasi. Komplikasi terjadinya hiperkalemi pada pemberian ACEI atau Beta Blocker atau
penurunan fungsi ginjal pada pemberian ACEI harus menjadi perhatian. Bila terjadi
hiperkalemi atau penurunan fungsi ginjal lebih dari 30%, pemberian obat ini harus
dihentikan. Sesuai anjuran dari The Seventh Report of the Joint National Commitee on
Prevention, Detection, Evaluation, and Treatment of High BloodPressure (JNC 7) tahun
2003, tekanan darah sasaran pada gagal ginjal kronik adalah 130/80 mmHg untuk menahan
progresi penurunan fungsi ginjal, maka tekanan darah diusahakan diturunkan untuk mencapai
sasaran dengan kombinasi obat-obat di atas.
Pengobatan hipertensi pada penyakit glomerulus kronik dapat diperlakukan sebagai
pengobatan hipertensi pada penyakit glomerulus akut. Pada glomerulonefritis kronik dapat
ditemukan adanya hipertrofi ventrikel kiri walaupun tekanan darah masih dalam rentang
normal, sehingga pemberian ACEI atau ARB dapat dipakai.
3 Penatalaksanaan Hipertensi Renovaskular
Tujuan penatalaksanaan HRV adalah mengurangi angka morbiditas dan mortalitas
akibat peningkatan tekanan darah dan iskemi ginjal, melalui pemberian obat antihipertensi,
revaskularisasi dengan angioplasti atau operasi. Pilihan pengobatan yang akan diambil harus
mempertimbangkan etiologi dari stenosis arteri renalis, dan keadaan umum pasien.
Pada HRV akibat penyakit renovaskular aterosklerotik, hipertensi esensial biasanya
sudah didiagnosis sebelum diagnosis HRV dan umumnya pasien sudah mendapat pengobatan
antihipertensi sebelum perburukan dari kontrol tekanan darahnya atau fungsi ginjalnya, yang
menjurus kepada suatu HRV. Pada penelitian the Dutch Renal Artery Stenosis Intervention
Cooperative study, pengobatan medikamentosa dengan 3 atau lebih jenis obat antihipertensi
dapat mengontrol tekanan darah pada lebih dari separuh pasien.
Pada pasien dengan fibromuskular displasia, tindakan revaskularisasi dapat
merupakan pengobatan definitif dalam menurunkan tekanan darah. Berbeda dengan pasien
18

HRV akibat displasia fibromuskular, pasien dengan penyakit renovaskular aterosklerotik


biasanya tetap membutuhkan obat antihipertensi walaupun tindakan revaskularisasinya
berhasil.
Tindakan revaskularisasinya biasanya kurang memberikan hasil yang memuaskan
pada pasienHRV yang berusia lanjut, HRVdengan insufisiensi ginjal lanjut (kreatinin serum
lebih dari 3 mg%), bila penyebabnya penyakit renovaskular aterosklerotik atau bila ukuran
ginjal kurang dari 9 cm pada pemeriksaan radiografi atau ultrasonografi.
Pengobatan medikamentosa tidak berbeda dengan hipertensi esensial. Perhatian
khusus harus diberikan bila memberikan ACEI atau ARB. Kedua obat ini merupakan pilihan
pada stenosis unilateral di mana ginjal kontralateral berfungsi baik; sebaliknya merupakan
kontraindikasi pada stenosis arteri renalis bilateral atau stenosis unilateral pada pasien dengan
hanya satu ginjal (yang stenotik) yang berfungsi, oleh karena akan menyebabkan perburukan
fungsi ginjal, bahkan gagal ginjal akut. Umumnya dibutuhkan kombinasi beberapa macam
antihipertensi untuk mendapatkan kontrol yang optimal pada pasien HRV.
4. Angioplasti Perkutan
Pada lesi fibromuskular, keberhasilan teknik pengobatan ini mencapai 85-100%, di
mana 50% pasien dapat disembuhkan sedangkan 40% mengalami perbaikan kontrol tekanan
darah. Pada lesi aterosklerotik, keberhasilannya dalam menormalkan tekanan darah lebih
kurang dibandingkan pada lesi aterosklerosis; walaupun demikian pada sebagian pasien
terjadi perbaikan kontrol tekanan darah dan fungsi ginjal.

5. Revaskularisasi Dengan Tindakan Bedah


Berbagai teknik operasi revaskularisasi telah dipergunakan, tergantung letak, luas, dan
beratnya lesi pada arteri renalis. Untuk lesi ostial aterosklerotik dilakukan tindakan
aortorenal endareterectomydan aortorenal bypass. Untuk lesi fibromuskular dilakukan
graftdari arteri hipogastrika. Dapat pula dilakukan aortorenal vein bypass graft pada lesi
aterosklerotik dan lesi fibromuskular. Kontrol tekanan darah lebih banyak didapatkan pada
lesi fibromuskular dari pada lesi aterosklerotik.

19

BAB III
KESIMPULAN
Hipertensi sekunder adalah hipertensi yang penyebabnya sudah jelas, sehingga terapi
pada keadaan ini langsung ditujukan pada penyebab terjadinya hipertensi tersebut.
Setidaknya ada 5 jenis hipertensi sekunder yaitu hipertensi akibat penyakit ginjal, hipertensi
renovaskular,

hipertensi

akibat

hiperaldosteronisme

primer,

hipertensi

akibat

feokromositoma, dan hipertensi yang berhubungan dengan kehamilan.


20

Batasan hipertensi ditetapkan dan dikenal dengan ketetapan JNC VII (The Seventh
Report of The Joint National Committee on Prevention, Detection, Evaluation, and Treatment
of Hight Blood Pressure). Menurut criteria JNC VII, pasien dengan hipertensi dibagi menjadi
normal, pre hipertensi, hipertensi derajat 1, dan hipertensi derajat 2.
Menurut perkiraan, sekitar 30% penduduk dunia tidak terdiagnosis adanya hipertensi
(underdiagnosed condition). Hal ini disebabkan tidak adanya gejala atau dengan gejala ringan
bagi mereka yang menderita hipertensi. Sedangkan, hipertensi ini sudah dipastikan dapat
merusak organ tubuh seperti jantung (70% penderita hipertensi akan merusak jantung), ginjal,
otak, mata, serta organ tubuh lainnya sehingga hipertensi disebut sebagai silent killer. Deteksi
dini penting dilakukan untuk mencegah timbulnya berbagai komplikasi. Apabila sudah di
diagnosis dengan hipertensi, seorang pasien harus diedukasi dengan baik mengenai
pengaturan pola hidup yang benar selain dari terapi dengan medikamentosa..
Pada hipertensi renovaskular, pengobatan medikamentosa tidak berbeda dengan
hipertensi esensial. Pada lesi fibromuskular, dapat dilakukan angiplasti perkutan dengan
keberhasilan

mencapai

85-100%.

Disamping

itu

dapat

juga

dilakukan

tindakan

revaskularisasi dengan tindakan aortorenal endareterectomydan aortorenal bypass.

DAFTAR PUSTAKA

1. WHO.

Raised

Blood

Pressure.

http://www.who.int/gho/ncd/risk_factors/blood_pressure_prevalence_text/en/.
Accessed November 20, 2013

21

2. Nafrialdi. Antihipertensi. Farmakologi dan Terapi. Edisi 5. Jakarta: FKUI; 2007.p.


341-60Ganiswarna, S. G. (2003). Famakologi dan Terapi. Jakarta: Bagian
Farmakologi FK-UI.
3. The Seventh Repot of the Joint national Comitte on Prevention, detection, evaluation,
and Treatment of High Blood Pressure. 2004
4. Yogiantoro M. Hipertensi Esensial. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I,
Simadibrata M, Setiatii S (editor). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi 5. Jakarta:
Interna Publishing; 2009.p. 1079-85
5. Ringkasan Eksekutif Penanggulangan Hipertensi. Perhimpunan Hipertensi Indonesia.
Jakarta;2007
6. Anonim.Hipertensi.Primer.http://www.scribd.com/doc/3498615/HIPERTENSI
PRIMER?autodown=doc
7. Mansjoer, Arif, dkk. Kapita Selekta Kedokteran Edisi Ketiga Jilid I. Jakarta: Media
Aesculapius FK UI: 2001.
8. Oktora R. Gambaran Penderita Hipertensi Yang Dirawat Inap di Bagian Penyakit
Dalam RSUD Arifin Achmad Pekanbaru Periode Januari Sampai Desember

2005,

Skripsi, FK UNRI, 2007, hal 41-42.


9. Rani, Aziz, dkk. Panduan Pelayanan Medik. Jakarta: Pusat Penerbitan FKUI;
2006
10. Salim, Edi Mart dkk. Standar Profesi Ilmu Penyakit Dalam, Palembang: Lembaga
Penerbitan Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UNSRI;2002:42
11. Seventh Report of Joint National Committee on Prevention, Detection,
and

Treatment

of

High

Blood

Pressure.

Evaluation,

Available

at:

http://www.hypertensionaha.org
12. Shapo L, Pomerleau J, McKee M. Epidemiology of Hypertension and
Cardiovascular Risk Factors in a Country in Transition.

Associated

Albania:

Journal

Epidemiology Community Health 2003;57:734739


13. Yogiantoro M. Hipertensi Esensial dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi
IV. Jakarta: FK UI. 2006.
14. Yunis Tri, dkk. Blood Presure Survey Indonesia Norvask Epidemiology Study.
15. Medika Volume XXXIX 2003; 4: 234-8.
22

You might also like