Professional Documents
Culture Documents
Obat penyakit jiwa adalah obat-obat yang bekerja terhadap SSP dengan
mempengaruhi fungsi-fungsi psikis dan prosesproses mental. Dari banyak
kelompok obat yang memenuhi definisi ini, hanya psikofarmaka sejati yang
akan dibicarakan di sini, khususnya antipsikotika dan antidepresiva.
Di masa lampau, penyakit jiwa diobati dengan sedativa, seperti candu,
bromida, dan skopolamin, kemudian dengan barbital. Pengobatan ini sering
kali dilengkapi dengan beberapa cara lain, misalnya kerja kreatif, kur tidur
(1922) atau metode metode yang agak drastis (shock insulin, 1933 dan shock
listrik, 1937). Pada schizofrenia parah bahkan dilakukan operasi otak
(leukotomia,
1935)
untuk
mengeluarkan
efek
yang
cukup
menghasilkan
baik,
sebagian
terutama
otak.
Cara-cara
electroshock
ini
(Electro
psikose. Kemajuan
Psikose didefinisikan sebagai gangguan jiwa yang sangat merusak akal budi
dan pengertian (insight), timbulnya pandangan yang tidak realistis atau bizar
(aneh), mempengaruhi kepribadian dan mengurangi berfungsinya si penderita.
Gejala psikotis mencakup waham (pikiran khayali), halusinasi, dan gangguan
berpikir formil (tak dapat berpikir riil), yang sering kali disebabkan oleh
schizofrenia. Psikose dapat diobati dengan antipsikotika (1).
b.
c.
Schizofrenia (4,5,6).
Schizofrenia merupakan gangguan jiwa yang dalam kebanyakan kasus
bersifat sangat serius, berkelanjutan, dan dapat mengakibatkan kendala
sosial, emosional, dan kognitif (pengenalan, pengetahuan, daya membedakan;
Lat. cognitus = dikenali). Akan tetapi, ada pula banyak varian lain yang kurang
serius. Schizofrenia adalah penyebab terpenting gangguan psikotis, di mana
periode psikotis diselingi periode 'normal', saat pasien bisa berfungsi baik.
Mulainya penyakit sering kali secara menyelinap, adakalanya juga dengan
mendadak. Pada pria, biasanya timbul antara usia 15-25 tahun, jarang di atas
30 tahun, sedangkan pada wanita antara 25-35 tahun.
Penyebabnya masih belum diketahui, mungkin berkaitan dengan
terganggunya kesimbangan sistem kimiawi rumit di otak. Dewasa ini hanya
kuratif
tidak
menghilangkan
gangguan
pemikiran
yang
sejak
lahirnya
suatu
cabang
ilmu
farmakologi
yakni
dapat dipahami, karena patofisiologi penyakit jiwa itu sendiri belum jelas.
Psikotropik hanya mengubah keadaan jiwa penderita sehingga lebih kooperatif
dan dapat menerima psikoterapi dengan lebih baik.
Dewasa ini terapi renjatan Iistrik (ECT, electro convulsive therapy) masih
digunakan dalam psikiatri, terutama untuk mengatasi depresi hebat dengan
kecenderungan bunuh diri. Biasanya ECT Iebih cepat menghilangkan depresi
daripada obat. Keuntungan penggunaan obat ialah pemberiannya Iebih
mudah, dapat digunakan untuk pengobatan masal, relatif murah (penderita
tidak memerlukan perawatan di rumah sakit) dan pemberiannya dapat
dilaksanakan lebih cepat pada penderita yang tidak kooperatif.
Berdasarkan penggunaan klinik, psikotropik dibagi menjadi 4 golongan
yaitu : (1) Antipsikosis (major tranquilizer, neuroleptik) ;
(2) Antiansietas (antineurosis, minor tranquilizer) ;
(3) Antidepresin; dan
(4)Psikotogenik (psikotomimetik, psikodisleptik, halusinogenik).
Neuroleptik bermanfaat pada terapi psikosis akut maupun kronik.
Kegunaannya pada psikoneurosis dan penyakit psikosomatik belum jelas. Ciri
terpenting obat neuroleptik ialah :
(1) Berefek antipsikosis, yaitu berguna mengatasi agresivitas, hiperaktivitas dan
labilitas emosional pada pasien psikosis. Efek ini tidak berhubungan langsung
dengan efek sedatif;
(2) Dosis besar tidak menyebabkan koma yang dalam ataupun anestesia;
(3) Dapat menimbulkan gejala ekstrapiramidal yang reversibel atau ireversibel; dan
(4) Tidak ada kecenderungan untuk menimbulkan ketergantungan psikik dan fisik.
yang
dapat
menekan
fungsi-fungsi
psikis
tertentu
tanpa
ini
dapat
meredakan
emosi
dan
agresi,
dan
dapat
pula
b.
c.
d.
yang kebal bagi obat-obat klasik telah ditemukan pula blokade tuntas dari
reseptor D2 tersebut. Riset baru mengenai otak telah menunjukkan bahwa
blokade-D2 saja tidak selalu cukup untuk menanggulangi schizofrenia secara
efektif. Untuk ini, neurohormon lainnya, seperti serotonin (5HT2), glutamat,
dan GABA (gamma-butyric acid), perlu dipengaruhi.
Mulai kerjanya blokade-D2 cepat, begitu pula efeknya pada keadaan
gelisah. Sebaliknya, kerjanya terhadap gejala psikose lain, seperti waham,
halusinasi, dan gangguan pikiran baru nyata setelah beberapa minggu.
Mungkin efek lambat ini (masa latensi) disebabkan sistem reseptor-dopamin
menjadi kurang peka.
Antipsikotika atypis memiliki afinitas lebih besar untuk reseptor-D1 dan D2,
sehingga lebih efektif daripada obat-obat klasik untuk melawan simtom
negatif. Lagi pula obat ini lebih jarang menimbulkan GEP dan dyskinesia tarda.
a.
b.
efek
samping
serius
dapat
membatasi
penggunaan
v Dystonia akut: kontraksi otot-otot muka dan tengkuk, kepala miring, gangguan
menelan, sukar bicara, dan kejang rahang. Guna menghindarkannya, dosis
harus dinaikkan dengan perlahan, atau diberikan antikolinergika sebagai
profilaksis.
v Akathisia: selalu ingin bergerak, tidak mampu duduk diam tanpa menggerakkan
kaki, tangan, atau tubuh (Vun. kathisis = duduk, a = tidak, tanpa). Ketiga GEP
di atas dapat dikurangi dengan menurunkan dosis dan dapat diobati dengan
antikolinergika. Akathisia juga dapat diatasi dengan propranolol atau
benzodiazepin.
v Dyskinesia tarda: gerakan abnormal tak-sengaja, khususnya otot-otot muka dan
mulut (menjulurkan lidah), yang dapat menjadi kekal. Gejala ini sering muncul
setelah 0,5-3 tahun dan berkaitan antara lain dengan dosis kumulatif (total)
yang telah diberikan. Resiko efek samping ini meningkat pada penggunaan
lama dan tidak tergantung dari dosis, juga lebih sering terjadi pada lansia;
insidensinya tinggi (10-15%). Gejala ini lenyap dengan menaikkan dosis, tetapi
kemudian timbul kembali secara lebih hebat. Antikolinergika juga dapat
memperhebat gejala tersebut. Pemberian vitamin E dapat mengurangi efek
samping ini (5).
v Sindroma neuroleptika maligne berupa demam, kekakuan otot, dan GEP lain,
kesadaran menurun dan kelainan-kelainan SSO (tachycardia, berkeringat,
fluktuasi tekanan darah, inkontinensi). Gejala ini tak tergantung pada dosis,
terutama terjadi pada pria muda dalam waktu 2 minggu dengan insidensi 1 %.
Diagnosanya sukar, tetapi bila tidak ditangani bisa berakhir fatal.
Galaktorrea (banyak keluar air susu), juga akibat blokade dopamin, yang identik
dengan PIF ( Prolactine Inhibiting Factor). Sekresi prolaktin tidak dirintangi
lagi, kadarnya meningkat dan produksi air susu bertambah banyak.
Sedasi, yang bertalian dengan khasiat antihistamin, khususnya klorpromazin,
thioridazin,
dan
klozapin.
Efek
sampingnya
ringan
pada
zat-zat
difenilbutilamin.
Hipotensi
ortostatis
akibat
blokade
reseptor
-adrenergis,
misalnya
Interaksi
Beta-blockers dan antidepresiva trisiklis dapat saling memperkuat efek
antipsikotika dengan jalan menghambat masing-masing metabolisme.
Levodopa dan bromokriptin dapat dikurangi kerja dopaminergnya.
Barbital menurunkan kadar darah antipsikotika berdasarkan induksi
enzim.
Klorpromazin dan garam-garam litium saling menurunkan kadar
darahnya masing-masing.
tidak sakit, sehingga sering kali menolak minum obat. Lagi pula undangundang yang ketat di banyak negara tidak memungkinkan pengobatan/
opname dipaksakan bagi seseorang tanpa persetujuannya. Pemaksaan hanya
diizinkan jika pasien membahayakan dirinya sendiri atau orang lain. Dengan
demikian, tak jarang penderita psikotis hebat tidak bisa ditolong. Penderita
umumnya tidak bisa memelihara kebutuhan dasar dirinya dan berakhir sebagai
pengembara di jalan-jalan kota.
Jelaslah bahwa setelah masa psikose lewat, juga kesetiaan terapinya
(drug compliance) kurang besar, yang tak jarang mengakibatkan gagalnya
pengobatan.
Schizofrenia
tidak
dapat
disembuhkan,
penanganannya
bersifat
mendorong
pembentukan
zat-zat
halusinogen
tertentu
(yang
dan
periciazin-
perfenazin
dan
flufenazin-perazin
(Taxilan),
Obat atypis lainnya yang kini sedang diselidiki secara klinis adalah oliperidon
dan ziprasidon.
Obat-obat neroleptika dapat dibagi atas 5 kelompok utama berdasarkan
struktur obat yaitu ;
1. FENOTIAZIN
-
Klorpromazin
Flufetazin
Proklorperazin
Prometazin
Tioridazin
2. BENZISOKSAZOL
Risperidon
3. DIBENZODIAZEPIM
Klozapin
4. BUTIROFENON
Haloperidol
5. TIOXANTIN
Tiotiksen
1. Klorpromazin (EI.): Largactil
tahun
(22,7-45,5
jg)
maksimum
75
mg/hari.
Dewasa
QT
tidak
spesifik.
SSP
mengantuk,
distonia,
akathisia,
laktasi,
amenore,
ginekomastia,
pembesaran
payudara,
dan
dari
analgesik
antihistamin,
amfetamin,
narkotik,
hipnotik-sedatif.
betabloker
etanol,
barbiturat,
Klorpromazin
tertentu,
dapat
dekstrometorfan,
antidepresan
meningkatkan
fluoksetin,
siklik,
efek
lidokain,
trazodon,
asam
valproat.
Penggunaan
bersama
kuat
efek
alfa
adrenergik.
Menekan
penglepasan
hormon
Onset kerja im.: sebagai HCl: sekitar 1 jam, Puncak efek : neuroleptik
sebagai dekanoat : 48-86 jam. Durasi garam HCl : 6-8 jam, sebagai dekanoat :
24-72 jam. Absorbsi oral bervariasi dan tidak teratur. Distribusi : menembus
plasenta, masuk ke ASI. Ikatan protein : 91% dan 99%. Metabolisme di hati. T
eliminasi HCl : 33 jam, Dekanoat : 163-232 jam. Ekskresi lewat urin sebagai
metabolit.
Kontra Indikasi
Hipersensitif terhadap flufenazin atau komponen formulasi lainnya.
Mungkin terjadi reaktivitas silang antara fenotiazin. Depresi SSP berat, koma,
kerusakan otak subkortikal, diskrasia darah, penyakit hati.
Efek samping
KV : takikardia, tekanan darah berfluktuasi, hiper/hipotensi, aritmia,
udem. SSP : parkinsonisme, akathisia, distonia, diskinesia tardif, pusing, hiper
refleksia, sakit kepala, udem serebral, mengantuk, lelah, gelisah, mimpi aneh,
perubahan EEG, depresi, kejang, perubahan pengaturan pusat temperatur
tubuh. Kulit : dermatitis, eksim, eritema, fotosensitifitas, rash, seborea,
pigmentasi, urtikaria. Metabolik & endokrin : perubahan siklus menstruasi,
nyeri payudara, amenorea, galaktoria, ginekomastia, perubahan libido,
peningkatan prolaktin, Saluran cerna : berat badan bertambah, kehilangan
selera makan, salivasi, xerostomia, konstipasi, ileus paralitik, udem laring.
Genitourinari : gangguan ejakulasi, impotensi, poliuria, paralisis kandung urin,
enurisis,
Darah
agranulositosis,
leukopenia,
trombositopenia,
hepatotoksik.
Otot-saraf
tangan
gemetar, sindroma
lupus
litium,
trazodon,
asam
valproat.
Penggunaan
bersama
Naikkan interval pemberian sehari 2 kali, sehari 3 kali dan seterusnya bila
diperlukan untuk mengontrol efek samping.
Farmakologi
Memblok reseptor dopaminergik D1 dan D2 di postsinaptik mesolimbik
otak. Menekan penglepasan hormon hipotalamus dan hipofisa, menekan
Reticular Activating System (RAS) sehingga mempengaruhi metabolisme
basal, temperatur tubuh, kesiagaan, tonus vasomotor dan emesis. Onset
kerja : sedasi :iv.: sekitar 1 jam, Durasi dekanoat : sekitar 3 minggu; distribusi;
melewati plasenta dan masuk ke ASI. Ikatan protein : 90%, metabolisme: di hati
menjadi senyawa tidak aktif, bioavailabilitas oral : 60%, T eliminasi 20 jam, T
maks serum : 20 menit, Ekskresi : urin, dalam 5 hari, 33-40% sebagai
metabolit, feses 15%.
Kontra indikasi
Hipersensitif terhadap haloperidol atau komponen lain formulasi,
penyakit Parkinson, depresi berat SSP, supresi sumsum tulang, penyakit
jantung atau hati berat, koma.
Efek samping
KV : takikardia, hiper/hipotensi, aritmia, gelombang T abnormal
dengan perpanjangan repolarisasi ventrikel, torsade de pointes (sekitar 4%).
SSP : gelisah, cemas, reaksi ekstrapiramidal, reaksi distonik, tanda
pseudoparkinson, diskinesia tardif, sindroma neurolepsi malignan, perubahan
pengaturan temperatur tubuh, akathisia, distonia tardif, insomnia, eforia,
agitasi, pusing, depresi, lelah, sakit kepala, mengantuk, bingung, vertigo,
kejang. Kulit : kontak dermatitis, fotosensitifitas, rash, hiperpigmentasi,
alopesia Metabolik & endokrin : amenore, gangguan seksual, nyeri payudara,
ginekomastia,
laktasi,
pembesaran
payudara,
gangguan
keteraturan
muntah,
anoreksia,
konstipasi,
diare,
hipersalivasi,
dispepsia,
jaundice,
obstructive
jaundice;
Mata
penglihatan
kabur,
Pernafasan : spasme laring dan bronkus; Lain-lain : diaforesis dan heat stroke.
Interaksi obat
Efek haloperidol meningkat oleh klorokuin, propranolol, sulfadoksinpiridoksin, anti jamur azol, chlorpromazin, siprofloksacin, klaritromisin,
delavirdin, diklofenak, doksisiklin, aritromisin, fluoksetin, imatinib, isoniasid,
mikonazol, nefazodon, paroksetin, pergolid, propofol, protease inhibitor,
kuinidin, kuinin, ritonavir, ropinirole, telitromisin, verapamil, dan inhibitor
CYP2D6 atau 3A4. Haloperidol dapat meningkakan efek amfetamin, betabloker
tertentu, benzodiazepin tertentu, kalsium antagonis, cisaprid, siklosporin,
dekstrometorfan, alkaloid ergot, fluoksetin, inhibitor HMG0CoA reductase
tertentu, lidokain, paroksetin, risperidon, ritonavir, sildenafil , takrolimus,
antidepresan trisiklik, venlafaksin, dan sunstrat CYP2D6 atau 3A4. Haloperidol
dapat meningkatkan efek antihipertensi, SSP depresan, litium, trazodon dan
antidepresan trisiklik. Kombinasi haloperidol dengan indometasin dapat
menyebabkan
mengantuk,
lelah
dan
bingung
sedangkan
dengan
histamin
juga
diantagonis
dengan
afinitas
kuat.
Risperidon
piramidal,
pusing(injeksi);
Saluran
cerna
berat
badan
naik;
takikardia,
SSP
sedasi,
pusing,
gelisah,
reaksi
distoni,
menurunkan
bersihan
risperidon.
Kombinasi
dengan
dengan
depresi,
rasa
takut,
dan
ketegangan,
serta
depresi
dengan
selalu diresorpsi kembali oleh tubuli. Akhirnya ca 40% dikeluarkan lewat kemih
terutama berupa metabolit dan 15% dengan tinja secara utuh.
Efek sampingnya berupa umum, GEP sering terjadi, adakalanya
nampak perubahan jantung (ECG) dan aritmia.
Dosis: oral 1 dd 1-2 mg, dinaikkan secara berangsur-angsur setiap 2
minggu sampai maksimum 6 mg sehari.
* Penfluridol (Semap) adalah derivat piperidin pula (1971) dengan kerja sangat
panjang (ca 7 hari) dan terutama berkhasiat antidopaminerg kuat. Efeknya
dimulai relatif cepat, sesudah 1-2 hari. GEP sering terjadi .
Dosisnya: 1 x seminggu 10-20 mg, berangsur-angsur dinaikkan sampai
maksimum 60 mg seminggu.
" Fluspirilen (lmap) adalah derivat-piperidin long-acting pula, yang harus
diberikan parenteral i.m. 1 x seminggu 1-10 mg.
8. Sulpirida: Dogmatil.
Derivat-sulfamoyl dianggap sebagai obat atypis pertama (1968) dan
khusus memiliki daya antidopamin. Pada dosis rendah (200-600 mg sehari),
sulpirida digunakan untuk penanganan simtom negatif, dan pada dosis di atas
800 mg sebagai antipsikotikum. Pada semua dosis menimbulkan lebih jarang
GEP dan sedasi, adakalanya dilaporkan galaktorrea, amenorroea, dan
perintangan ovulasi.
Dosis: oral permulaan 1 dd 200 mg, sesudah 3 hari berangsur-angsur
dinaikkan sampai 3-4 dd 200 mg. Pada pusing 2 (vertigo) 150-300 mg sehari.
i.m. 200-300 mg sehari selama 10 hari.
9. Klozapin: Leponex.
Senyawa-dibenzodiazepin ini (1969) juga termasuk kelompok obatobat atypis. Khasiatnya antipsikotis lemah, dan daya kerja noradrenolitis,
antikolinergis, dan antihistaminenya kuat. Efek sedatif cepat dimulainya, efek
antipsikotisnya setelah 1-6 bulan. Plasma-t1/2nya 6-14 jam. Efektivitasnya
terhadap simtom positif dan negatif dari psikose akut lebih baik daripada obatobat lain. Lagi pula tidak menimbulkan GEP dan dyskinesia, dan jarang sekali
akathisia dan dystonia. Tetapi penggunaannya dibatasi oleh risiko agranulocytose berbahaya (1-2%). Oleh karena itu, gambaran-darah harus dimonitor
selama 5-6 bulan pertama dari terapi (16).
Dosis: oral, Lm. 25-50 mg sehari, berangsur-angsur dinaikkan sampai
maksimum 600 mg sehari. Pemeliharaan 1 dd 200 mg malam hari.
* Olanzapin (Zyprexa) ada1ah derivat long-acting terbaru (1995) dengan daya
menghambat reseptor D1 sId D5 dan reseptor neurotransmitter lainnya.
P1asma-t1/2-nya ca 30 jam. Olanzapin terutama digunakan pada schizofrenia,
sarna ampuhnya dengan haloperidol tetapi kurang GEP Efek samping
tersering (>10%) adalah rasa kantuk dan naiknya berat badan. Agranulocytose
belum dilaporkan.
Dosis: permulaan 1 dd 10 fig, pemeliharaan 7,5-17,5 mg sehari.
Cara Kerja
1.
neuroleptika
tradisional
berkorelasi
dengan
kemampuannya