You are on page 1of 28

REFERAT

PENGELOLAAN PASIEN MIASTENIA GRAVIS

Pembimbing :
dr. Donni Sp. An

Disusun oleh :
Sutrisuna

(03011281)

BAGIAN ILMU ANESTESI


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KOTA SEMARANG
KEPANITERAAN KLINIK FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI
Periode 1 FEBRUARI 2016 5 MARET 2016

HALAMAN PENGESAHAN

Nama

Sutrisuna

(03011281)

Universitas

Universitas Trisakti

Fakultas

Fakultas Kedokteran

Tingkat

Program Studi Profesi Dokter

Diajukan

Februari 2106

Bagian

Ilmu Anestesi

Judul

Penanganan pasien miastenia gravis

Telah diperiksa dan disetujui tanggal :

Bagian Ilmu Anestesi


RSUD Kota Semarang
Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti

Mengetahui,
Pembimbing

dr. Donni Sp. An

KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas seluruh rahmat dan
bimbingan-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan referat yang berjudul
PENANGANAN PASIEN MIASTENIA GRAVIS dengan baik dan tepat waktu.
Dalam penulisan referat ini, penulis mendapatkan banyak bantuan dan bimbingan dari
berbagai pihak. Maka pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada :
1. dr. Donni Sp. An, selaku Ketua SMF Ilmu Penyakit Dalam dan Pembimbing Kepaniteraan
Klinik di bagian Ilmu Penyakit Dalam RSUD Kota Bekasi
2. dr. Satrio Sp. An, selaku Pembimbing Kepaniteraan Klinik di bagian Ilmu Anestesi RSUD
Kota Semarang
3. dr. Taufik Sp. An, selaku Pembimbing Kepaniteraan Klinik di bagian Ilmu Anestesi RSUD
Kota Semarang
4. dr. Asyraf , selaku Pembimbing Kepaniteraan Klinik di bagian Ilmu Anestesi RSUD Kota
Semarang
5. Staf Anestesi di RSUD Kota Semarang
6. Rekan-rekan anggota Kepaniteraan Klinik Ilmu Anestesi RSUD Kota Semarang

Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan yang terdapat pada referat ini. Oleh
sebab itu, penulis mengharapkan kritik dan saran guna menyempurnakan referat ini.
Akhir kata, semoga referat ini dapat berguna bagi rekan-rekan sekalian. Terima kasih.
Semarang, November 2015

Penulis

DAFTAR ISI
HALAMAN PENGESAHAN.............................................................................................i
KATA PENGANTAR.........................................................................................................ii
DAFTAR ISI.....................................................................................................................iii
DAFTAR TABEL..............................................................................................................iv
DAFTAR GAMBAR..........................................................................................................v
I.

II.

PENDAHULUAN
LATAR BELAKANG......................................................................................1
BATASAN MASALAH..................................................................................2
TUJUAN PENULISAN..................................................................................2
METODE PENULISAN.................................................................................2
TINJAUAN PUSTAKA

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Miastenia gravis merupakan penyakit kelemahan otot yang terjadi pada kira-kira 1 dari
20.000

orang,

menyebabkan

kelumpuhan

akibat

ketidakmampuan

sambungan

neuromuskular untuk menghantarkan sinyal dari serat saraf ke serat otot. Secara patologis,
dalam darah sebagian besar penderita miastenia gravis terlihat antibodi yang menyerang
protein transpor bergerbang asetilkolin. Oleh karena itu, ada anggapan bahwa miastenia
gravis merupakan penyakit autoimun karena pada penderita ini terbentuk antibodi yang
melawan saluran ion teraktivasi asetilkolin miliknya sendiri. Tanpa memperhatikan
penyebabnya, potensial lempeng akhir yang timbul di dalam serat otot terlalu lemah untuk
dapat merangsang serat otot secara adekuat. Bila penyakit tersebut cukup parah, penderita
meninggal akibat paralisis terutama, paralisis otot pernapasan (Guyton & Hall, 1997).
Miastenia gravis adalah salah satu karakteristik penyakit autoimun pada manusia. Selama
beberapa dekade terakhir telah dilakukan penelitian tentang gejala miastenia gravisyang
diimunisasi dengan acetylcholine receptor (AchR)pada kelinci. Sedangkan pada manusia
yang menderita miastenia gravis, ditemukan kelainan pada neuromuscular junction akibat
defisiensi dari acetylcholine receptor (AchR).
Sindrom klinis ini ditemukan pertama kali pada tahun 1600, dan pada akhir tahun
1800 Miastenia gravis dibedakan dari kelemahan otot akibat paralisis burbar. Pada tahun
1920 seorang dokter yang menderita penyakit Miastenia gravis merasa lebih baik setelah
minum obat efidrin yang sebenarnya obat ini ditujukan untuk mengatasi kram menstruasi.
Dan pada tahun 1934 seorang dokter dari Inggris bernama Mary Walker melihat adanya
gejala-gejala yang serupa antara Miastenia gravis dengan keracunan kurare. Mary Walker
menggunakan antagonis kurare yaitu fisiotigmin untuk mengobati Miastenia gravis dan
ternyata ada kemajuan nyata dalam penyembuhan penyakit ini.
Kematian dari penyakit Miastenia gravis biasanya disebabkan oleh insufisiensi
pernafasan, tetapi dapat dilakukannya perbaikan dalam perawatan intensif untuk pertahanan
sehingga komplikasi yang timbul dapat ditangani dengan lebih baik. Penyembuhan dapat
terjadi pada 10 % hingga 20 % pasien dengan melakukan timektomi elektif pada pasienpasien tertentu dan yang paling cocok dengan jalan penyembuhan seperti ini adalah

golongan wanita muda, yaitu pada usia awitan. Usia awitan dari miastenia gravis adalah 2030 tahun untuk wanita dan 40-60 untuk pria. Berdasarkan uraian diatas, Miastenia gravis
merupakan penyakit yang masih
belum diketahui penyebab pasti serta masih belum teratasi secara menyeluruh.

1.2. Batasan Masalah


Dalam referat ini membahas mengenai miastenia gravis dan khususnya penanganan
pada pasien miastenia gravis.
1.3. Tujuan Penulisan
Penulisan referat ini bertujuan untuk lebih memahami tentang penanganan pada
pasien miastenia gravis sekaligus sebagai syarat dalam mengikuti kepaniteraan klinik di
bagian Ilmu Anestesi di RSUD Semarang.
1.4. Metode Penulisan
Penulisan referat ini disusun berdasarkan tinjauan kepustakaan yang merujuk
kepada beberapa literatur.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Miastenia gravis adalah suatu kelainan autoimun yang ditandai oleh suatu
kelemahan abnormal dan progresif pada otot rangka yang dipergunakan secara terusmenerus dan disertai dengan kelelahan saat beraktivitas (Ngoerah, 1991; Howard, 2008).
Bila penderita beristirahat, maka tidak lama kemudian kekuatan otot akan pulih kembali.
Penyakit ini timbul karena adanya gangguan dari synaptic transmission atau pada
neuromuscular junction (Ngoerah, 1991). Pada penyakit ini terdapat antibodi terhadap
reseptor asetilkolin pada sinaps neuromuskular. Dapat disertai patologi timus, seperti
hiperplasia, atrofi, atau tumor-timoma (Lionel Ginsberg, 2005: 156). Mistenia gravis juga
dikatakan penyakit autoimun dimana persambungan otot dan saraf (neuromuscular
junction) berfungsi tidak normal, menyebabkan kelemahan otot menahun, kelemahan
progresif dan sporadis, kelemahan abnormal pada otot skeletal, dan bertambah buruk
setelah latihan dan pengulangan gerakan. Jumlah reseptor asetilkolin yang ditemukan pada
kondisi ini sedikit. Gangguan ini menyerang otot yang dikendalikan saraf kranial (wajah,
bibir, lidah, leher dan tenggorokan), dan dapat menyerang otot lain. Penyakit ini juga
berbahaya karena juga melibatkan sistem pernapasan.

2.2 Epidemiologi
Miastenia gravis adalah penyakit yang cukup jarang ditemukan, dengan insidensi 20 per
100,000 kasus di Amerika Serikat. Penyakit autoimun ini ditandai dengan kelemahan otot
yang berfluktuasi, memburuk dengan aktivitas dan membaik dengan istirahat.

Pada

duapertiga kasus, biasanya ditandai dengan gejala awal seperti kelainan pada otot ekstrinsik
mata, dilanjutkan dengan melemahnya otot mata lain dan otot ekstrimitas, yang
menyebabkan miastenia gravis menyeluruh. Dibawah usia 40 tahun, rasio wanita dan pria
adalah 3:1. Sedangkan antara usia 40-50 tahun, rasio antara wanita dan pria kurang lebih
sama. Sedangkan diatas usia 50 tahun, miastenia gravis lebih sering terjadi pada pria.
Miastenia gravis pada anak-anak jarang terjadi di Eropa dan Amerika Utara, sekitar 10-15%
dari total kasus miastenia gravis.

2.3 Etiologi
Kelainan primer pada miastenia gravis dihubungkan dengan gangguan transmisi
pada neuromuscular junction, yaitu penghubungantara unsur saraf dan unsur otot. Pada
ujung akson motorneuron terdapat partikel-partikel globuler yang merupakanpenimbunan
asetilkolin (ACh). Jika rangsangan motorik tiba pada ujung akson, partikel globuler pecah
dan ACh dibebaskanyang dapat memindahkan gaya sarafi yang kemudian bereaksidengan
ACh Reseptor (AChR) pada membran postsinaptik.Reaksi ini membuka saluran ion pada
membran serat ototdan menyebabkan masuknya kation, terutama Na, sehinggadengan
demikian terjadilah kontraksi otot.
Penyebab pasti gangguan transmisi neromuskuler pada miastenia gravistidak
diketahui. Dulu dikatakan, pada miastenia gravis terdapat kekuranganACh atau kelebihan
kolinesterase, tetapi menurut teoriterakhir, faktor imunologik yang berperanan.
2.4 ANATOMI, FISIOLOGIS, DAN BIOKIMIA NEUROMUSCULAR JUNCTION
2.4.1 Anatomi Neuromuscular Junction
Sebelum memahami tentang miastenia gravis, pengetahuan tentang anatomi dan fungsi
normal dari neuromuscular junction sangatlah penting. Tiap-tiap serat saraf secara normal
bercabang beberapa kali dan merangsang tiga hingga beberapa ratus serat otot rangka.
Ujung-ujung saraf membuat suatu sambungan yang disebut neuromuscular junction atau
sambungan neuromuscular (Howard, 2008; Newton, 2008). Bagian terminal dari saraf
motorik melebar pada bagian akhirnya yang disebut terminal bulb, yang terbentang diantara
celah-celah yang terdapat disepanjang serat saraf. Membran presinaptik (membran saraf),
membran post sinaptik (membran otot), dan celah sinaps merupakan bagian-bagian
pembentuk neuromuscular junction (Howard, 2008).

Gambar 1. Anatomi suatu Neuromuscular Junction(Howard, 2008)


2.4.2 Fisiologi dan Biokimia Neuromuscular Junction
Celah sinaps merupakan jarak antara membran presinaptik dan membran post
sinaptik. Lebarnya berkisar antara 20-30 nanometer dan terisi oleh suatu lamina basalis,
yang merupakan lapisan tipis dengan serat retikular seperti busa yang dapat dilalui oleh
cairan ekstraselular secara difusi (Newton, 2008). Terminal presinaptik mengandung
vesikel yang didalamnya berisi asetilkolin (ACh). Asetilkolin disintesis dalam sitoplasma
bagian terminal namun dengan cepat diabsorpsi ke dalam sejumlah vesikel sinaps yang
kecil, yang dalam keadaan normal terdapat di bagian terminal suatu lempeng akhir motorik
(motor end plate) (Howard, 2008; Newton, 2008).
Bila suatu impuls saraf tiba di neuromuscular junction, kira-kira 125 kantong
asetilkolin dilepaskan dari terminal masuk ke dalam celah sinaps. Bila potensial aksi
menyebar ke seluruh terminal, maka akan terjadi difusi dari ion-ion kalsium ke bagian
dalam terminal. Ion-ion kalsium ini kemudian diduga mempunyai pengaruh tarikan
terhadap vesikel asetilkolin. Beberapa vesikel akan bersatu ke membran saraf dan
mengeluarkan asetilkolinnya ke dalam celah sinaps. Asetilkolin yang dilepaskan berdifusi
sepanjang sinaps dan berikatan dengan reseptor asetilkolin (AChRs) pada membran post
sinaptik (Howard, 2008; Newton, 2008).
Menurut Murray (1999) secara biokimiawi keseluruhan proses pada neuromuscular
junction dianggap berlangsung dalam 6 tahap, yaitu :
1. Sintesis asetil kolin terjadi dalam sitosol terminal saraf dengan menggunakan enzim
kolin asetiltransferase
2. Asetilkolin kemudian disatukan ke dalam partikel kecil terikat-membran yang disebut
vesikel sinap dan disimpan di dalam vesikel ini.
3. Pelepasan asetilkolin dari vesikel ke dalam celah sinaps merupakan tahap berikutnya.

Peristiwa ini terjadi melalui eksositosis yang melibatkan fusi vesikel dengan membran
presinaptik. Dalam keadaan istirahat, kuanta tunggal (sekitar 10.000 molekul
transmitter yang mungkin sesuai dengan isi satu vesikel sinaps) akan dilepaskan secara
spontan sehingga menghasilkan potensial endplate miniature yang kecil. Kalau sebuah
akhir saraf mengalami depolarisasi akibat transmisi sebuah impuls saraf, proses ini akan
membuka saluran Ca2+ yang sensitive terhadap voltase listrik sehingga memungkinkan
aliran masuk Ca2+ dari ruang sinaps ke terminal saraf. Ion Ca2+ ini memerankan peranan
yang esensial dalam eksositosis yang melepaskan asitilkolin (isi kurang lebih 125
vesikel) ke dalam rongga sinaps.
4. Asetilkolin yang dilepaskan akan berdifusi dengan cepat melintasi celah sinaps ke
dalam reseptor di dalam lipatan taut (junctional fold), merupakan bagian yang menonjol
dari motor end plate yang mengandung reseptor asetilkolin (AChR) dengan kerapatan
yang tinggi dan sangat rapat dengan terminal saraf. Kalau 2 molekul asetilkolin terikat
pada sebuah reseptor, maka reseptor ini akan mengalami perubahan bentuk dengan
membuka saluran dalam reseptor yang memungkinkan aliran kation melintasi
membran. Masuknya ion Na+ akan menimbulkan depolarisasi membran otot sehingga
terbentuk potensial end plate. Keadaan ini selanjutnya akan menimbulkan depolarisasi
membran otot di dekatnya dan terjadi potensial aksi yang ditransmisikan disepanjang
serabut saraf sehingga timbul kontraksi otot.
5. Kalau saluran tersebut menutup, asetilkolin akan terurai dan dihidrolisis oleh enzim
asetilkolinesterase. Enzim yang penting ini terdapat dengan jumlah yang besar dalam
lamina basalis rongga sinaps
6. Kolin didaur ulang ke dalam terminal saraf melalui mekanisme transport aktif di mana
protein tersebut dapat digunakan kembali bagi sintesis asetilkolin.
Setiap reseptor asetilkolin merupakan kompleks protein besar dengan saluran yang akan
segera terbuka setelah melekatnya asetilkolin. Kompleks ini terdiri dari 5 protein subunit,
yatiu 2 protein alfa, dan masing-masing satu protein beta, delta, dan gamma. Melekatnya
asetilkolin memungkinkan natrium dapat bergerak secara mudah melewati saluran tersebut,
sehingga akan terjadi depolarisasi parsial dari membran post sinaptik. Peristiwa ini akan
menyebabkan suatu perubahan potensial setempat pada membran serat otot yang disebut
excitatory postsynaptic potential (potensial lempeng akhir). Apabila pembukaan gerbang
natrium telah mencukupi, maka akan terjadi suatu potensial aksi pada membran otot yang

selanjutnya menyebabkan kontraksi otot (Howard, 2008; Newton, 2008).

Gambar 2. Fisiologi Neuromuscular Junction


2.5 Patofisiologi
Mekanisme imunogenik memegang peranan yang sangat penting pada patofisiologi
miastenia gravis. Observasi klinik yang mendukung hal ini mencakup timbulnya kelainan
autoimun yang terkait dengan pasien yang menderita miastenia gravis, misalnya autoimun
tiroiditis, sistemik lupus eritematosus, arthritis rheumatoid, dan lain-lain (Howard, 2008)
Sejak tahun 1960, telah didemonstrasikan bagaimana autoantibodi pada serum penderita
miastenia gravis secara langsung melawan konstituen pada otot. Hal inilah yang memegang
peranan penting pada melemahnya otot penderita dengan miatenia gravis. Tidak diragukan
lagi, bahwa antibody pada reseptor nikotinik asetilkolin merupakan penyebab utama
kelemahan otot pasien dengan miastenia gravis. Autoantibodi terhadap asetilkolin reseptor
(anti-AChRs), telah dideteksi pada serum 90% pasien yang menderita acquired myasthenia
gravis generalisata (Lewis , 1995)
Mekanisme pasti tentang hilangnya toleransi imunologik terhadap reseptor asetilkolin pada
penderita miastenia gravis belum sepenuhnya dapat dimengerti. Miastenia gravis dapat
dikatakan sebagai penyakit terkait sel B, dimana antibodi yang merupakan produk dari
sel B justru melawan reseptor asetilkolin. Peranan sel T pada patogenesis miastenia gravis
mulai semakin menonjol. Timus merupakan organ sentral terhadap imunitas yang terkait

dengan sel T. Abnormalitas pada timus seperti hiperplasia timus atau thymoma, biasanya
muncul lebih awal pada pasien dengan gejala miastenik (Howard, 2008).
Pada pasien miastenia gravis, antibodi IgG dikomposisikan dalam berbagai subklas yang
berbeda, dimana satu antibodi secara langsung melawan area imunogenik utama pada
subunit alfa. Subunit alfa juga merupakan binding site dari asetilkolin. Ikatan antibodi
reseptor asetilkolin pada reseptor asetilkolin akan mengakibatkan terhalangnya transmisi
neuromuskular melalui beberapa cara, antara lain : ikatan silang reseptor asetilkolin
terhadap antibodi anti-reseptor asetilkolin dan mengurangi jumlah reseptor asetilkolin pada
neuromuscular junction dengan cara menghancurkan sambungan ikatan pada membran
post sinaptik, sehingga mengurangi area permukaan yang dapat digunakan untuk insersi
reseptor-reseptor asetilkolin yang baru disintesis (Howard, 2008).
2.6 GEJALA KLINIS
Miastenia gravis dikarakteristikkan melalui adanya kelemahan yang berfluktuasi pada otot
rangka dan kelemahan ini akan meningkat apabila sedang beraktivitas. Penderita akan
merasa ototnya sangat lemah pada siang hari dan kelemahan ini akan berkurang apabila
penderita beristirahat. Gejala klinis miastenia gravis antara lain adalah kelemahan pada otot
ekstraokular atau ptosis. Ptosis yang merupakan salah satu gejalasering menjadi keluhan
utama penderita miastenia gravis, ini disebabkan oleh kelumpuhan dari nervus
okulomotorius.Walaupun pada miastenia gravis otot levator palpebra jelas lumpuh, namun
ada kalanya otot-otot okular masih bergerak normal. Tetapi pada tahap lanjut kelumpuhan
otot okular kedua belah sisi akan melengkapi ptosis miastenia gravis. Sewaktu-waktu dapat
pula timbul kelemahan dari otot masseter sehingga mulut penderita sukar untuk
ditutup.Kelemahan otot bulbar juga sering terjadi, diikuti dengan kelemahan pada fleksi
.

dan ekstensi kepala Selain itu dapat pula timbul kesukaran menelan dan berbicara akibat
kelemahan dari otot faring, lidah, pallatum molle, dan laring sehingga timbullahparesis dari
pallatum molle yang akan menimbulkan suara sengau. Selain itu bila penderita minum air,

mungkin air itu dapat keluar dari hidungnya.

2.7 DIAGNOSIS MIASTENIA GRAVIS


Pemeriksaan fisik yang cermat harus dilakukan untuk menegakkan diagnosis suatu
miastenia gravis.Kelemahan otot dapat muncul menghinggapi bagian proksimal dari tubuh
serta simetris di kedua anggota gerak kanan dan kiri. Walaupun dalam berbagai derajat
yang berbeda, biasanya refleks tendon masih ada dalam batas normal.

Kelemahan otot

wajah bilateral akan menyebabkan timbulnya myasthenic sneer dengan adanya ptosis dan
senyum yang horizontal dan miastenia gravis biasanya selalu disertai dengan adanya
kelemahan pada otot wajah.
Pada pemeriksaan fisik, terdapat kelemahan otot-otot palatum, yang menyebabkan
suara penderita seperti berada di hidung (nasal twang to the voice) serta regurgitasi
makanan terutama yang bersifat cair ke hidung penderita. Selain itu, penderita miastenia
gravis akan mengalami kesulitan dalam mengunyah serta menelan makanan, sehingga
dapat terjadi aspirasi cairan yang menyebabkan penderita batuk dan tersedak saat minum.
Kelemahan otot bulbar juga sering terjadi pada penderita dengan miastenia gravis.
Ditandai dengan kelemahan otot-otot rahang pada miastenia gravis yang menyebakan
penderita sulit untuk menutup mulutnya, sehingga dagu penderita harus terus ditopang
dengan tangan. Otot-otot leher juga mengalami kelemahan, sehingga terjadi gangguan pada
saat fleksi serta ekstensi dari leher.
Otot-otot anggota tubuh atas lebih sering mengalami kelemahan dibandingkan otototot anggota tubuh bawah.Musculus deltoid serta fungsi ekstensi dari otot-otot pergelangan
tangan serta jari-jari tangan sering kali mengalami kelemahan.Otot trisep lebih sering
terpengaruh dibandingkan otot bisep.Pada ekstremitas bawah, sering kali terjadi kelemahan
melakukan dorsofleksi jari-jari kaki dibandingkan dengan melakukan plantarfleksi jari-jari
kaki dan saat melakukan fleksi panggul.

Hal yang paling membahayakan adalah kelemahan otot-otot pernapasan yang dapat
menyebabkan gagal napas akut, dimana hal ini merupakan suatu keadaan gawat darurat dan
tindakan intubasi cepat sangat diperlukan. Kelemahan otot-otot faring dapat menyebabkan
kolapsnya saluran napas atas dan kelemahan otot-otot interkostal serta diafragma dapat
menyebabkan retensi karbondioksida sehingga akan berakibat terjadinya hipoventilasi.
Sehinggga pengawasan yang ketat terhadap fungsi respirasi pada pasien miastenia gravis
fase akut sangat diperlukan.
Kelemahan sering kali mempengaruhi lebih dari satu otot ekstraokular, dan tidak
hanya terbatas pada otot yang diinervasi oleh satu nervus kranialis.

Serta biasanya

kelemahan otot-otot ekstraokular terjadi secara asimetris. Hal ini merupakan tanda yang
sangat penting untuk mendiagnosis suatu miastenia gravis. Kelemahan pada muskulus
rektus lateralis dan medialis akan menyebabkan terjadinya suatu pseudointernuclear
ophthalmoplegia, yang ditandai dengan terbatasnya kemampuan adduksi salah satu mata
yang disertai nistagmus pada mata yang melakukan abduksi.
Untuk penegakan diagnosis miastenia gravis, dapat dilakukan pemeriksaan dengan
cara penderita ditugaskan untuk menghitung dengan suara yang keras. Lama kelamaan akan
terdengar bahwa suaranya bertambah lemah dan menjadi kurang terang. Penderita menjadi
anartris dan afonis. Setelah itu, penderita ditugaskan untuk mengedipkan matanya secara
terus-menerus dan lama kelamaan akan timbul ptosis. Setelah suara penderita menjadi
parau atau tampak ada ptosis, maka penderita disuruh beristirahat.. Kemudian tampak
bahwa suaranya akan kembali baik dan ptosis juga tidak tampak lagi.
Untuk memastikan diagnosis miastenia gravis, dapat dilakukan beberapa tes antara lain:
Uji Tensilon (edrophonium chloride)
Untuk uji tensilon, disuntikkan 2 mg tensilon secara intravena, bila tidak terdapat reaksi
maka disuntikkan lagi sebanyak 8 mg tensilon secara intravena. Segera setelah tensilon

disuntikkankita harus memperhatikan otot-otot yang lemah seperti misalnya kelopak mata
yang memperlihatkan adanya ptosis. Bila kelemahan itu benar disebabkan oleh miastenia
gravis, maka ptosis itu akan segera lenyap. Pada uji ini kelopak mata yang lemah harus
diperhatikan dengan sangat seksama, karena efektivitas tensilon sangat singkat.
Uji Prostigmin (neostigmin)
Pada tes ini disuntikkan 3 cc atau 1,5 mg prostigmin methylsulfat secara intramuskular (bila
perlu, diberikan pula atropin atau mg). Bila kelemahan itu benar disebabkan oleh
miastenia gravis maka gejala-gejala seperti misalnya ptosis, strabismus atau kelemahan lain
tidak lama kemudian akan lenyap.
Uji Kinin
Diberikan 3 tablet kinina masing-masing 200 mg. 3 jam kemudian diberikan 3 tablet lagi
(masing-masing 200 mg per tablet). Untuk uji ini, sebaiknya disiapkan juga injeksi
prostigmin, agar gejala-gejala miastenik tidak bertambah berat.Bila kelemahan itu benar
disebabkan oleh miastenia gravis, maka gejala seperti ptosis, strabismus, dan lain-lain akan
bertambah berat.
Laboratorium
Antistriated muscle (anti-SM) antibody
Tes ini menunjukkan hasil positif pada sekitar 84% pasien yang menderita timoma dalam
usia kurang dari 40 tahun.Sehingga merupakan salah satu tes yang pentingpada penderita
miastenia gravis. Pada pasien tanpa timomaanti-SM Antibodi dapat menunjukkan hasil
positif pada pasien dengan usia lebih dari 40 tahun.
Anti-muscle-specific kinase (MuSK) antibodies.
Hampir 50% penderita miastenia gravis yang menunjukkan hasil anti-AChR Ab negatif
(miastenia gravis seronegarif), menunjukkan hasil yang positif untuk anti-MuSK Ab.
Antistriational antibodies

Antibodi ini bereaksi dengan epitop pada reseptor protein titin dan ryanodine (RyR).
Antibodi ini selalu dikaitkan dengan pasien timomadengan miastenia gravis pada usia
muda. Terdeteksinya titin/RyR antibody merupakan suatu kecurigaaan yang kuat akan
adanya timoma pada pasien muda dengan miastenia gravis.Hal ini disebabkan dalam serum
beberapa pasien dengan miastenia gravis menunjukkan adanya antibodi yang berikatan
dalam pola cross-striational pada otot rangka dan otot jantung penderita.
Anti-asetilkolin reseptor antibodi
Hasil dari pemeriksaan ini dapat digunakan untuk mendiagnosis suatu miastenia gravis,
dimana terdapat hasil yang postitif pada 74% pasien.80% dari penderita miastenia gravis
generalisata dan 50% dari penderita dengan miastenia okular murni menunjukkan hasil tes
anti-asetilkolin reseptor antibodi yang positif. Pada pasien timomatanpa miastenia gravis
sering kali terjadi false positive anti-AChR antibody

Elektrodiagnostik
Pemeriksaan elektrodiagnostik dapat memperlihatkan defek pada transmisi neuromuscular
melalui 2 teknik:
Single-fiber Electromyography (SFEMG)
SFEMG mendeteksi adanya defek transmisi pada neuromuscular fiber berupa peningkatan
titer dan fiber density yang normal. Karena menggunakan jarum single-fiber, yang memiliki
permukaan kecil untuk merekam serat otot penderita. Sehingga SFEMG dapat mendeteksi
suatu titer(variabilitas pada interval interpotensial diantara 2 atau lebih serat otot tunggal
pada motor unit yang sama) dan suatufiber density (jumlah potensial aksi dari serat otot
tunggal yang dapat direkam oleh jarum perekam).
Repetitive Nerve Stimulation (RNS)

Pada penderita miastenia gravis terdapat penurunan jumlah reseptor asetilkolin, sehingga
pada RNS terdapat adanya penurunan suatu potensial aksi.
2.8 KLASIFIKASI MIASTENIA GRAVIS
Menurut Myasthenia Gravis Foundation of America (MGFA), miastenia gravis dapat
diklasifikasikan sebagai berikut :
1) Klas I, adanya kelemahan otot-otot okular, kelemahan pada saat menutup mata, dan
kekuatan otot-otot lain normal.
2) Klas II, terdapat kelemahan otot okular yang semakin parah, serta adanya kelemahan
ringan pada otot-otot lain selain otot okular.
3) Klas Iia, mempengaruhi otot-otot aksial, anggota tubuh, atau keduanya. Juga terdapat
kelemahan otot-otot orofaringeal yang ringan.
4) Klas Iib, mempengaruhi otot-otot orofaringeal, otot pernapasan atau keduanya.
Kelemahan pada otot-otot anggota tubuh dan otot-otot aksial lebih ringan dibandingkan
klas IIa.
5) Klas III, terdapat kelemahan yang berat pada otot-otot okular. Sedangkan otot-otot lain
selain otot-otot ocular mengalami kelemahan tingkat sedang.
6) Klas IIIa, mempengaruhi otot-otot anggota tubuh, otot-otot aksial, atau keduanya
secara predominan. Terdapat kelemahan otot orofaringeal yang ringan.
7) Klas IIIb, mempengaruhi otot orofaringeal, otot-otot pernapasan, atau keduanya secara
predominan. Terdapat kelemahan otot-otot anggota tubuh, otot-otot aksial, atau
keduanya dalam derajat ringan.
8) Klas IV, otot-otot lain selain otot-otot okular mengalami kelemahan dalam derajat yang
berat, sedangkan otot-otot okular mengalami kelemahan dalam berbagai derajat.

9) Klas Iva, secara predominan mempengaruhi otot-otot anggota tubuh dan atau otot-otot
aksial. Otot orofaringeal mengalami kelemahan dalam derajat ringan.
10) Klas Ivb, mempengaruhi otot orofaringeal, otot-otot pernapasan atau keduanya secara
predominan. Selain itu juga terdapat kelemahan
2.9 Penatalaksanaan
Walaupun belum ada penelitian tentang strategi pengobatan yang pasti, tetapi miastenia
gravis merupakan kelainan neurologik yang paling dapat diobati. Antikolinesterase
(asetilkolinesterase inhibitor) dan terapi imunomudulasi merupakan penatalaksanaan utama
pada miastenia gravis. Antikolinesterase biasanya digunakan pada miastenia gravis yang
ringan. Sedangkan pada pasien dengan miastenia gravis generalisata, perlu dilakukan terapi
imunomudulasi yang rutin (Howard 2008). Terapi imunosupresif dan imunomodulasi yang
dikombinasikan dengan pemberian antibiotik dan penunjang ventilasi, mampu menghambat
terjadinya mortalitas dan menurunkan morbiditas pada penderita miastenia gravis.
Pengobatan ini dapat digolongkan menjadi terapi yang dapat memulihkan kekuatan otot
secara cepat dan tepat yang memiliki onset lebih lambat tetapi memiliki efek yang lebih
lama sehingga dapat mencegah terjadinya kekambuhan (Lewis, 1995).
Acetylcholinesterase inhibitors

Pilihan Pengobatan pertama untuk terapi simtomatis.


Kebanyakan pasien menggunakan Pyridostigmine bromide.

Acetylcholinesterase inhibitor efektif untuk peningkatan neurotransmitter


(acetylcholine) yang terdapat pada NeuroMuskularJunction (NMJ).
Dosis optimal pyridostigmine bervariasi terhadap setiap pasien.
Umum : pasien mengawali dosis 30 mg (setengah tablet) setiap 4 6 jam .
Pengobatan medis dengan obat antikolenesterase adalah terapi terpilih untuk
menetralkan gejala MG. Neostigmin menon-aktifkan atau merusak kolinesterase sehingga
asetilkolin tidak cepat rusak. Efeknya adalah pemulihan aktivitas otot mendekati normal,
paling tidak 80% hingga 90% dari kekuatan atau daya tahan otot sebelumnya. Selain
neostigmin (Prostigmin), piridostigmin (Mestinon), dan ambenonium (Mytelase),
digunakan juga analog sintetik lain dari obat awal yang digunakan yaitu fifiotigmin

(Eserine). Efek samping dalam traktus GI yang tidak disenangi (kejang perut, diare) disebut
efek samping muskarinik. Pasien harus menyadari bahwa gejala-gejala ini menandakan
sudah terlalu banyak obat yang diminum setiap hari sehingga dosis selanjutnya harus
diturunkan untuk mencegah terjadinya krisis kolinergik.neostigmin paling cenderung
menyebabkan efek muskarinik, maka awalnya dapat diterangkan pada pasien untuk berhatihati terhadap efek samping yang nyata. Piridostigmin tersedia dalam bentuk yang berjangka
waktu dan sering digunakan sebelum tidur sehingga pasien dapat tidur sepanjang malam
tanpa harus bangun untuk minum obat.

Terapi Jangka Pendek untuk Intervensi Keadaan Akut


Menurut Lewis (1995) terapi Jangka Pendek untuk Intervensi Keadaan Akut adalah
sebagai berikut
2.

Plasma Exchange (PE)

Jumlah pasien yang mendapat tindakan berupa hospitalisasi dan intubasi dalam waktu yang
lama serta trakeostomi, dapat diminimalisasikan karena efek dramatis dari PE. Dasar terapi
dengan PE adalah pemindahan anti-asetilkolin secara efektif. Respon dari terapi ini adalah
menurunnya titer KecretKe. PE paling efektif digunakan pada situasi dimana terapi jangka
pendek yang menguntungkan menjadi prioritas. Terapi ini digunakan pada pasien yang
akan memasuki atau sedang mengalami masa krisis. PE dapat memaksimalkan tenaga
pasien yang akan menjalani thymektomi atau pasien yang kesulitan menjalani periode
postoperative. Belum ada regimen standar untuk terapi ini, tetapi banyak pusat kesehatan
yang mengganti sekitar satu volume plasma tiap kali terapi untuk 5 atau 6 kali terapi setiap
hari. Albumin (5%) dengan larutan salin yang disuplementasikan dengan kalsium dan
natrium dapat digunakan untuk replacement. Efek PE akan muncul pada 24 jam pertama
dan dapat bertahan hingga lebih dari 10 minggu. Efek samping utama dari terapi PE adalah
terjadinya pergeseran cairan selama pertukaran berlangsung. Terjadi retensi kalsium,
magnesium, dan natrium yang dpat menimbulkan terjadinya hipotensi. Trombositopenia
dan perubahan pada berbagai Kecret pembekuan darah dapat terjadi pada terapi PE
berulang. Tetapi hal itu bukan merupakan suatu keadaan yang dapat dihubungkan dengan
terjadinya perdarahan, dan pemberian fresh-frozen plasma tidak diperlukan.

2.

Intravenous Immunoglobulin (IVIG) Produk tertentu dimana 99% merupakan


IgG adalah complement-activating aggregates yang KecretKe aman untuk
diberikan secara intravena. Mekanisme kerja dari IVIG belum diketahui secara
pasti, tetapi IVIG diperkirakan mampu memodulasi respon imun. Reduksi dari
titer antibody tidak dapat dibuktikan secara klinis, karena pada sebagian besar
pasien tidak terdapat penurunan dari titer KecretKe. Efek dari terapi dengan
IVIG dapat muncul sekitar 3-4 hari setelah memulai terapi. IVIG diindikasikan
pada pasien yang juga menggunakan terapi PE, karena kedua terapi ini memiliki
onset yang cepat dengan durasi yang hanya beberapa minggu. Tetapi
berdasarkan pengalaman dan beberapa data, tidak terdapat respon yang sama
antara terapi PE dengan IVIG, sehingga banyak pusat kesehatan yang tidak
menggunakan IVIG sebagai terapi awal untuk pasien dalam kondisi krisis.
Dosis standar IVIG adalah 400 mg/kgbb/hari pada 5 hari pertama, dilanjutkan 1
gram/kgbb/hari selama 2 hari. IVIG dilaporkan memiliki keuntungan klinis
berupa penurunan level anti-asetilkolin reseptor yang dimulai sejak 10 hingga
15 hari sejak dilakukan pemasangan Kecret. Efek samping dari terapi dengan
menggunakan IVIG adalah nyeri kepala yang hebat, serta rasa mual selama
pemasangan Kecret, sehingga tetesan Kecret menjadi lebih lambat. Flulike
symdrome seperti demam, menggigil, mual, muntah, sakit kepala, dan malaise
dapat terjadi pada 24 jam pertama.

2.

Intravenous Methylprednisolone (IVMp)

IVMp diberikan dengan dosis 2 gram dalam waktu 12 jam. Bila tidak ada respon, maka
pemberian dapat diulangi 5 hari kemudian. Jika respon masih juga tidak ada, maka
pemberian dapat diulangi 5 hari kemudian. Sekitar 10 dari 15 pasien menunjukkan respon
terhadap IVMp pada terapi kedua, sedangkan 2 pasien lainnya menunjukkan respon pada
terapi ketiga. Efek maksimal tercapai dalam waktu sekitar 1 minggu setelah terapi.
Penggunaan IVMp pada keadaan krisisakan dipertimbangkan apabila terpai lain gagal atau
tidak dapat digunakan.
Pengobatan Farmakologi Jangka Panjang

Menurut Lewis (1995) terapi jangka panjang untuk Intervensi Keadaan Akut adalah
sebagai berikut :
1. Kortikosteroid
Kortikosteroid adalah terapi yang paling lama digunakan dan paling murah untuk
pengobatan miastenia gravis. Respon terhadap pengobatan kortikosteroid mulai tampak
dalam waktu 2-3 minggu setelah inisiasi terapi. Durasi kerja kortikosteroid dapat
berlangsung hingga 18 bulan, dengan rata-rata selama 3 bulan. Kortikosteroid memiliki
efek yang kompleks terhadap sistem imun dan efek terapi yang pasti terhadap miastenia
gravis masih belum diketahui. Koortikosteroid diperkirakan memiliki efek pada aktivasi
sel T helper dan pada fase proliferasi dari sel B. Sel t serta antigen-presenting cell yang
teraktivasi diperkirakan memiliki peran yang menguntungkan dalam memposisikan
kortikosteroid di tempat kelainan imun pada miastenia gravis. Pasien yang berespon
terhadap

kortikosteroid

akan

mengalami

penurunan

dari

titer

antibodinya.

Kortikosteroid diindikasikan pada penderita dengan gejala klinis yang sangat


menggangu, yang tidak dapat di KecretK dengan antikolinesterase. Dosis maksimal
penggunaan kortikosteroid adalah 60 mg/hari kemudian dilakukan tapering pada
pemberiannya. Pada penggunaan dengan dosis diatas 30 mg setiap harinya, akan timbul
efek samping berupa osteoporosis, diabetes, dan komplikasi obesitas serta hipertensi.
2. Azathioprine
Azathioprine biasanya digunakan pada pasien miastenia gravis yang secara KecretKe
terkontrol tetapi menggunakan kortikosteroid dengan dosis tinggi. Azathioprine dapat
dikonversi menjadi merkaptopurin, suatu analog dari purin yang memiliki efek terhadap
penghambatan sintesis nukleotida pada DNA dan RNA. Azathioprine diberikan secara
oral dengan dosis pemeliharaan 2-3 mg/kgbb/hari. Pasien diberikan dosis awal sebesar
25-50 mg/hari hingga dosis optimafl tercapai. Azathioprine merupakan obat yang secara
KecretKe dapat ditoleransi dengan baik oleh tubuh dan secara umum memiliki efek
samping yang lebih sedikit dibandingkan dengan obat imunosupresif lainnya. Respon
Azathioprine sangant lambat, dengan respon maksimal didapatkan dalam 12-36 bulan.
Kekambuhan dilaporkan terjadi pada sekitar 50% kasus, kecuali penggunaannya juga
dikombinasikan dengan obat imunomodulasi yang lain.
3. Cyclosporine

Cyclosporine berpengaruh pada produksi dan pelepasan interleukin-2 dari sel T-helper.
Supresi terhadap aktivasi sel T-helper, menimbulkan efek pada produksi KecretKe.
Dosis awal pemberian Cyclosporine sekitar 5 mg/kgbb/hari terbagi dalam dua atau tiga
dosis. Respon terhadap Cyclosporine lebih cepat dibandingkan azathioprine.
Cyclosporine dapat menimbulkan efek samping berupa nefrotoksisitas dan hipertensi.
4. Cyclophosphamide (CPM)
CPM adalah suatu alkilating agent yang berefek pada proliferasi sel B, dan secara tidak
langsung dapat menekan sintesis KecretKeKiaKin. Secara teori CPM memiliki efek
langsung terhadap produksi KecretKe dibandingkan obat lainnya.
5. Thymectomy (Surgical Care) Thymectomy telah digunakan untuk mengobati pasien
dengan miastenia gravis sejak tahun 1940 dan untuk pengobatan thymoma denga atau
tanpa miastenia gravis sejak awal tahun 1900. Telah banyak dilakukan penelitian
tentang hubungan antara kelenjar timus dengan kejadian miastenia gravis. Germinal
center

KecretKeKia

timus

dianggap

sebagai

penyebab

yang

mungkin

bertanggungjawab terhadap kejadian miastenia gravis. Penelitian terbaru menyebutkan


bahwa terdapat Kecret lain sehingga timus kemungkinan berpengaruh terhadap
perkembangan dan inisiasi imunologi pada miastenia gravis. Tujuan neurologi utama
dari Thymectomi ini adalah tercapainya perbaikan signifikan dari kelemahan pasien,
mengurangi dosis obat yang harus dikonsumsi pasien, serta idealnya adalah
kesembuhan yang permanen dari pasien (Anonim, 2008). Banyak ahli saraf memiliki
pengalaman meyakinkan bahwa thymektomi memiliki peranan yang penting untuk
terapi miastenia gravis, walaupun kentungannya bervariasi, sulit untuk dijelaskan dan
masih tidak dapat dibuktikan oleh standar yang seksama. Secara umum, kebanyakan
pasien mulai mengalami perbaikan dalam waktu satu tahun setelah thymektomi dan
tidak sedikit yang menunjukkan remisi yang permanen (tidak ada lagi kelemahan serta
obat-obatan). Beberapa ahli percaya besarnya angka remisi setelah pembedahan adalah
antara 20-40% tergantung dari jenis thymektomi yang dilakukan. Ahli lainnya percaya
bahwa remisi yang tergantung dari semakin banyaknya prosedur ekstensif adalah antara
40-60% lima hingga sepuluh tahu setelah pembedahan (Anonim, 2008).
2.10 Krisis dalam miastenia gravis

Pasien miastenik dikatakan berada dalam krisis bila sudah tidak mampu menelan,
membersihkan Kecret, atau bernapas secara adekuat tanpa bantuan alat. Dua jenis krisi
adalah (1) kriris iastenik, yaitu keadaan ketika pasien membutuhkan lebih banyak obat
antikolinesterase, dan (2) krisis kolinergik, yaitu keadaan yang terjadi akibat kelebihan obat
antikolinesterase. Pada keadaan lain, ventilasi dan jalan yang adekuat harus dipertahankan.
Edrofonium klorida (Tensilon) (2 hingga 5 mg) diberikan secara intravena sebagai tes untuk
membedakan jenis krisis. Obat tersebut menghasilkan perbaikan sementara dalam krisis
miastenik namun tidak memperbaiki atau memperburuk gejala pada krisis kolinergik. Bila
terjadi krisis miastenik, pasien dipertahankan dengan respirator. Obat antikolinesterase
tidak dapat diberikan karena obat itu meningkatkan sekresi pernapasan dan dapat
mencetuskan krisis kolinegik. Pemberian obat dimulai lagi secara bertahap dan seringkali
dosis dapat diturunkan secara krisis.Pada krisis kolinergik, pasien mungkin telah meminum
obat secara berlebihan karena kesalahan atau dosisnya mungkin berlebihan karena terjadi
remisi spontan. Banyak pasien yang mengalami krisis ini disebut sebagai miastenik rapuh.
Episode ini sulit dikendalaikan dengan pengobatan dengan kisaran nterapetik yang sempit
antara kekurangan dosis dan kelebihan dosis. Respons terhadap pengobatan ini seringkali
hanya sebagian. Pada krisis kolinergik, pasien dipertahankan dengan ventilasi buatan. Obat
antikolinergik tidak dapat diberikan, dan 1 mg KecretKe diberikan secara intravena dan
dapat diulang bila perlu. Ketika diberi KecretKe, pasien harus diawasi dengan hati-hati
karena Kecret pernapasan dapat mengental sehingga terjadi kesulitan mengisap,atau
sumbatan mukus dapat menghambat bronkus sehingga terjadi atelaksis.
2.11 Penanganan dalam bidang anestesi
Manajemen anestesi pasien miastenia harus secara individual tergantung keparahan
penyakit dan jenis operasi. Penggunaan anestesi regional atau lokal tampaknya dibenarkan
bila memungkinkan. Setiap anestesi lokal atau regional yang digunakan, dosis anestesi
lokal dapat dikurangi pada pasien untuk mengurangi kemungkinan efek anestesi pada
transmisi neuromuskular. Hal ini mungkin sangat penting ketika ester lokal anestesi yang
diberikan kepada pasien yang menerima terapi antikolinesterase (menghambat plasma
cholinesterase). anestesi umum dapat dilakukan dengan aman, asalkan pasien optimal
disiapkan dan transmisi neuromuskuler yang dipantau selama dan setelah operasi.
Persiapan pra operasi

Evaluasi pra operasi yang memadai dari pasien miastenia harus dilakukan dengan
hati-hati. Usia, jenis kelamin, onset dan durasi penyakit serta adanya thymoma dapat
menentukan respon terhadap thymectomy. Juga, tingkat keparahan myasthenia dan
keterlibatan bulbar atau pernapasan otot harus dievaluasi. Pasien harus dirawat 24-48 jam
sebelum operasi untuk memungkinkan penilaian rinci dari otot pernafasan dan fungsi
bulbar dan review antikolinesterasi dan terapi kortikosteroid. Fugnsi pernafasan cadangan
sebaiknya dipantau oleh pengukuran seri kapasitas vital paksa (FVC). Faktor pra operasi
yang terkait dengan kebutuhan untuk IPPV pasca operasi berkepanjangan meliputi: FVC
<2.9l, sejarah MG> 6 tahun, operasi besar, adanya penyakit paru-paru dan MG grade III
dan IV. Penyakit autoimun lainnya, jika ada, perlu dilakukan pemeriksaan pra operasi yang
tepat dan lengkap. Optimalisasi kondisi pasien miastenia nyata dapat menurunkan risiko
operasi dan meningkatkan hasilnya. Banyak rejimen telah direkomendasikan untuk
pengobatan pra-operasi. Hal ini kontroversial apakah terapi antikolinesterase harus
dipertahankan

atau

dihentikan

sebelum

dan

setelah

operasi.

Antikolinesterase

mempotensiasi respon vagal dan maka atropinisasi yang memadai harus tersedia. Juga,
antikolinesterase dapat menghambat plasma cholinesterase dengan penurunan dalam
metabolisme ester lokal anestesi, dan hidrolisis suxamethonium akan menurun. Seperti
pada pasien tanpa
berbanding

miastenia, durasi dari blok suxamethonium pada pasien miastenia

terbalik

suxamethonium,

dengan

penghambatan

aktivitas

cholinesterase

acetylcholinesterase

plasma.

oleh

Berbeda

antikolinesterase

dengan
dapat

meningkatkan kebutuhan untuk relaxan otot nondepolarisasi pada pasien miastenia,


meskipun ini belum didokumentasikan. Baru-baru ini, plasmapheresis sendiri tanpa
imunosupresi telah digunakan untuk mengoptimalkan status medis pasien miastenia
sebelum operasi.

Agen antikolinesterasi dihentikan, sementara obat kortikosteroid

diturunkan dosisnya dan kemudian dihentikan pasca operasi.


Premedikasi
Pasien miastenia mungkin memiliki sedikit cadangan pernapasan dan karenanya obat
depresan untuk premedikasi sebelum operasi harus digunakan dengan hati-hati, dan
dihindari oleh pasien dengan gejala bulbar, tapi sebuah antikolinergik mungkin berguna.
Hidrokortison 'cover' harus diberikan kepada orang-orang dengan terapi kortikosteroid
jangka panjang.

Teknik anestesi
Dua teknik telah direkomendasikan untuk anestesi umum pada pasien miastenia,
meskipun tidak ada unggul. Karena respon tak terduga untuk suxamethonium dan adanya
kepekaan terhadap non -depolarisasi relaksan otot, beberapa anestesi menghindari
penggunaan relaksan otot dan tergantung pada inhalasi mendalam anestesi, untuk intubasi
trakea dan pemeliharaan anestesi. Agen ini memungkinkan pemulihan neuromuscular
transmisi, dengan penghapusan cepat agen ini pada akhir operasi. Secara teori, desflurane
dan sevoflurane mungkin menawarkan beberapa keuntungan, karena tingkat kelarutannya
yang rendah dalam darah. Sevofluran mungkin unggul dibandingkan desflurane, karena
insiden yang lebih rendah dari refleks jalan napas rangsang selama induksi inhalasi.
Namun, beberapa menggunakan teknik seimbang yang meliputi penggunaan
relaksasi otot, tanpa perlu untuk anestesi inhalasi dalam, titrasi dosis kecil (10- 25% dari
ED95) dari obat relaksan intermediate dengan pemantauan stimulator saraf perifer untuk
baik intubasi dan relaksasi bedah, jika diperlukan. Keputusan seperti apakah untuk
membalikkan residual blokade neuromuskular pada akhir operasi adalah kontroversial.
Beberapa berpendapat bahwa kehadiran antikolinesterase dan antimuscarinics akan
membingungkan upaya untuk membedakan kelemahan karena transmisi neuromuskuler
yang tidak memadai dari krisis kolinergik diruang pemulihan. Beberapa lebih memilih
pemulihan spontan dan ekstubasi ketika pasien menunjukkan parameter yang memadai
untuk ekstubasi (head-tilt, lidah protusi).
Total anestesi intravena (TIVA) untuk management dari myasthenics telah dilaporkan.
Ketidakstabilan hemodinamik pada pasien yang lebih tua membuat pendekatan ini lebih
sulit, sedangkan pasien yang lebih muda biasanya mentolerir itu. Penggunaan remifentanil
sebagai bagian dari TIVA dapat mengurangi beberapa instabilitas hemodinamik.
Bila mungkin, banyak dokter lebih memilih untuk memanfaatkan teknik anestesi regional
atau lokal.

Teknik regional dapat mengurangi atau menghilangkan kebutuhan untuk

relaksan otot di perut. Teknik epidural menawarkan keuntungan dari control nyeri pasca
operasi dengan minimal
atau tidak menggunakan opioid.
Manajemen pasca operasi

Fungsi ventilasi harus dipantau secara hati-hati setelah operasi. Ada beberapa tes fungsi
neuromuskularyang berkorelasi dengan memadai ventilasi. Penting bahwa kekuatan otot
pernapasan dikonfirmasikan sebelum ekstubasi dari trakea dan dimulainya kembali
ventilasi spontan.

Pasien miasthenik memiliki peningkatan risiko mengembangkan

kegagalan pernapasan pasca operasi trans-thymectomy sternum, hingga 50% dari pasien
memerlukan ventilator berkepanjangan pasca operasi.
Empat faktor risiko telah diidentifikasi: (Anestesiologi 1980; 53: 26 -30)
Durasi myasthenia gravis selama lebih dari enam tahun (12 poin).
(Durasi MG ternyata memiliki nilai terbesar dalam memprediksi kebutuhan
bantuan ventilasi)
Riwayat penyakit pernapasan kronis selain disfungsi pernapasan secara langsung
karena MG (10 poin).
Dosis pyridostigmine lebih besar dari 750 mg per hari, 48 jam sebelum operasi (8
poin).
Sebuah kapasitas vital pra operasi <2,9 L (4 poin)
Faktor risiko ini ditimbang menurut signifikansi mereka sebagai prediktor; total 10 poin
diidentifikasi pasien mungkin membutuhkan ventilasi paru pasca operasi untuk lebih dari
tiga jam

BAB III
KESIMPULAN
Miastenia gravis adalah suatu kelainan autoimun yang ditandai oleh suatu kelemahan
abnormal dan progresif pada otot rangka yang dipergunakan secara terus-menerus dan
disertai dengan kelelahan saat beraktivitas. Mekanisme imunogenik memegang peranan
yang sangat penting pada patofisiologi miastenia gravis. Mekanisme pasti tentang
hilangnya toleransi imunologik terhadap reseptor asetilkolin pada penderita miastenia
gravis belum sepenuhnya dapat dimengerti. Miastenia gravis dapat dikatakan sebagai
penyakit terkait sel B, dimana antibodi yang merupakan produk dari sel B justru melawan
reseptor asetilkolin. Gejala klinis miastenia gravis antara lain ; Kelemahan pada otot
ekstraokular atau ptosis, Kelemahan otot penderita semakin lama akan semakin memburuk.
Kelemahan tersebut akan menyebar mulai dari otot ocular, otot wajah, otot leher, hingga ke
otot ekstremitas. Sewaktu-waktu dapat pula timbul kelemahan dari otot masseter sehingga
mulut penderita sukar untuk ditutup. Selain itu dapat pula timbul kelemahan dari otot
faring, lidah, pallatum molle, dan laring sehingga timbullah kesukaran menelan dan
berbicara. Paresis dari pallatum molle akan menimbulkan suara sengau. Selain itu bila
penderita minum air, mungkin air itu dapat keluar dari hidungnya. Penatalaksaan utama
pada miastenia gravis dapat diobati dengan antikolinesterase (asetilkolinesterase inhibitor)
dan terapi imunomudulasi. Antikolinesterase biasanya digunakan pada miastenia gravis
yang ringan. Sedangkan pada pasien dengan miastenia gravis generalisata, perlu dilakukan
terapi imunomudulasi yang rutin. Terapi imunosupresif dan imunomodulasi yang

dikombainasikan dengan pemberian antibiotik dan penunjang ventilasi, mampu


menghambat terjadinya mortalitas dan menurunkan morbiditas pada penderita miastenia
gravis. Pengobatan ini dapat digolongkan menjadi terapi yang dapat memulihkan kekuatan
otot secara cepat dan tepat yang memiliki onset lebih lambat tetapi memiliki efek yang
lebih lama sehingga dapat mencegah terjadinya kekambuhan.

You might also like