You are on page 1of 10

PENDAHULUAN

Di wilayah tropis, seperti Indonesia hujan menjadi kondisi yang dapat


dijumpai sehari-hari terutama pada musim penghujan. Awal musim penghujan di
wilayah Indonesia dari waktu ke waktu tidaklah sama persis. Perubahan awal musim
dapat mengakibatkan aktivitas manusia terganggu. Contohnya pada bidang
pertanian, bahkan dapat mengakibatkan gagal panen dan sebagainya.
Keragaman hasil produksi padi di Indonesia sangat berkaitan erat dengan
keragaman curah hujan. Baik pada saat curah hujan di atas rata-rata ataupun curah
hujan di bawah rata-rata. Berdasar data yang ada, 81% kegagalan panen disebabkan
oleh variabilitas iklim, dan 19% dikarenakan serangan hama (Boer et al. 2008). Dari
kegagalan yang disebabkan variabilitas iklim tersebut, 90% berupa bencana
kekeringan yang terjadi pada masa pertanaman kedua. Hal ini diperparah jika awal
musim hujan mengalami kemunduran. Dengan mundurnya awal musim hujan, maka
penanaman juga mengalami kemunduran, sehingga penanaman padi masa tanam
pertama berkurang. Hal ini dikompensasi oleh petani dengan meningkatkan
penanaman padi pada musim tanam kedua. Pertanaman pada pada musim tanam
kedua ini rawan terhadap kekeringan, khususnya jika panjang musim hujan adalah
pendek dan sifat hujan di musim kemarau adalah di bawah normal. Untuk
meminimalisasi risiko bencana kekeringan tersebut diperlukan informasi mengenai
awal musim hujan dan panjang musim serta sifat hujan di musim kemarau. Dengan
informasi ini, maka bisa dirumuskan langkah-langkah antisipasi untuk menekan
risiko gagal panen.
Lo et al., 2007 dan Robertson et al., 2009 menunjukkan secara empiris
adanya pengaruh dari feneomena global seperti ENSO (El Nino Southern
Oscillation), IOD (Indian Ocean Dipole), SOI (Souther Oscillation Index) dan
lainnya terhadap peubah-peubah iklim lokal tersebut di atas. Haylock 2001
menunjukkan adanya korelasi yang kuat antara SOI dengan karakteristik hujan di
Indonesia.
Perubahan awal musim ini dapat disebut dengan anomali alam, contohnya
yang berkaitan dengan iklim adalah fenomena alam El-Nino dan La-Nina. Kejadian
El-Nino biasanya diikuti dengan penurunan curah hujan dan peningkatan suhu
udara, sedangkan kejadian La-Nina merangsang kenaikan curah hujan di atas curah
hujan normal. Penentuan kejadian El-Nino dan La-Nina, salah satunya dapat dilihat
berdasarkan dari data indeks osilasi selatan atau Southern Oscilation Index (SOI).
Osilasi Selatan adalah suatu osilasi yang tidak teratur, interannual dan
berskala global, yang merupakan pertukaran massa udara antara daerah pusat
tekanan rendah di Pasifik Barat sekitar ekuator yaitu daerah Indonesia - Australia
(Indo-Australia), dengan pusat tekanan tinggi di Pasifik Tengah.
Indeks SOI ini secara sederhana merupakan perbedaan tekanan udara
permukaan di daerah Pasifik Timur yang diukur di Tahiti, dengan tekanan udara
permukaan di daerah Pasifik Barat (Indo-Australia), yang diukur di Darwin,
Australia (Haryanto, 1998).
Pergeseran Osilasi Selatan menyebabkan terjadinya udara subsiden di
Indonesia (udara jatuh/turun, padahal seharusnya naik ke atas akibat pemanasan di
ekuator). Apabila muson yang terjadi lemah akibat gradien tekanan udara selatan
yang sangat kecil, aktivitas awan konveksi di khatulistiwa Indonesia berkurang
(rendah) yang menyebabkan terjadinya El-Nino, musim kemarau berkepanjangan di
Indonesia (Murtianto, 2012).
Gambar 1. Mekanisme pembentukan La-Nina dan El-Nino

El-Nino dicirikan dengan melemahnya angin pasat dalam skala yang luas
dan meningkatnya suhu permukaan air laut di Pasifik Tengah dan Timur dekat
ekuator. Selama berlangsungnya El-Nino, terjadi hal yang tidak biasa pada tekanan
udara permukaan pada samudera Pasifik. Di Pasifik Barat dan Samudera Hindia
terbentuk pusat tekanan tinggi, sedangkan pada Pasifik Tengah dan Selatan
terbentuk pusat tekanan rendah, sehingga SOI bernilai negatif (Haryanto, 1998).
Pada saat terjadi La-Nina angin pasat timur yang bertiup di sepanjang Samudera
Pasifik menguat (Sirkulasi Osilasi Selatan bergeser ke arah Barat), sehingga massa
air hangat yang terbawa semakin banyak ke arah Pasifik Barat, akibatnya massa air
dingin di Pasifik Timur bergerak ke atas dan menggantikan massa air hangat yang
berpindah tersebut, hal ini biasa disebut upwelling. Dengan pergantian massa air
itulah suhu permukaan laut mengalami penurunan dari nilai normalnya, (Edukasi,
2010). Tekanan udara di kawasan ekuator Pasifik Barat menurun, lebih ke barat dari
keadaan normal, menyebabkan pembentukan awan yang lebih dan hujan lebat di
daerah sekitarnya (Haryanto, 1998). Bila tekanan udara di Pasifik Barat cenderung
menguat maka di Pasifik Timur dan Tengah cenderung melemah sehingga SOI
bernilai negatif. Sebaliknya bila tekanan udara di Pasifik Barat cenderung melemah
maka di Pasifik Timur dan Tengah cenderung menguat sehingga SOI bernilai
positif. Adapun persamaan untuk menentukan nilai SOI adalah : (Haryanto, 1998).

Tahun kejadian El-Nino dan La-Nina ditentukan berdasarkan banyaknya


kemunculan SOI yang nilainya signifikan ( > dari +5 atau < dari -5). Jika SOI lebih
dari +5 berlangsung paling lama 6 bulan maka tahun bersangkutan dinyatakan
sebagai tahun El-Nino, sedangkan jika SOI di antara -5 dan +5 maka dinyatakan
sebagai tahun normal (Haryanto, 1998).

Tabel 1. Panduan prediksi El-Nino, La-Nina, atau normal terhadap nilai SOI

Nilai SOI dikelompokkan menjadi 5 fase yaitu :


1. Fase 1 : konstan negatif
2. Fase 2 : konstan positif
3. Fase 3 : menurun cepat
4. Fase 4 : meningkat cepat
5. Fase 5 : mendekati nol
Kondisi El-Nino biasanya digambarkan oleh fase konstan negatif dan fase
menurun cepat, sedangkan La-Nina oleh fase konstan positif dan fase meningkat
cepat, dan kondisi normal oleh fase mendekati nol.

METODE
Tulisan ini menggunakan data curah hujan Stasiun Klimatologi Sungai
Tabuk tahun 2000-2015 dengan data index SOI yang di dapat dari www.bom.gov.au,
serta data produktivitas tanaman padi di Kabupaten Banjar dari
www.pertanian.go.id.
Untuk menentukan apakah data SOI pada suatu bulan tertentu itu memiliki
fase 1,2,3,4 atau 5 ditentukan berdasarkan nilai perbedaan antara nilai SOI pada
bulan tersebut (M2) dengan nilai SOI pada bulan sebelumnya (M1). Apabila nilai
perbedaan M2-M1 jatuh pada kolom meningkat cepat maka bulan tersebut
dikategorikan fase 4. Analisis lebih lanjut ialah dengan menghitung anomaly hujan
bulanan (AXi). Adapun cara menghitung anomaly hujan bulanan adalah sebagai
berikut :
AXi = Xi - Xg
Xi ialah curah hujan pada bulan ke-i dan Xg adalah curah hujan rata-rata jangka
panjang (pada tulisan ini 30 tahun).
Anomali produktivitas tanaman padi sawah dihitung dengan rumus :
Anomali = Produktivitas Tahun ke I : Produktivitas Rata-Rata
Kemudian dihitung nilai peluang untuk masing-masing anomaly dengan rumus
sebagai berikut :
P (AXi) = (1-n/(N+1)).
Dimana n adalah nomor urut data dan N jumlah data.
Kemudian data peluang dihubungkan dengan data anomali hujan tiap bulan dengan
menggunakan grafik.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pada umumnya daerah Kalimantan Selatan terdiri dari dua musim, yaitu
musim hujan dan musim kemarau (panas). Musim hujan biasanya terjadi pada akhir
bulan Oktober sampai akhir bulan April, pada waktu itu angin bertiup dari arah
Timur Laut. Sedangkan musim kemarau (panas) terjadi pada bulan Mei sampai
September dan di antara kedua musim tersebut terdapat musim pancaroba
(keragaman awal dan lama musim hujan di Kabupaten Banjar terlampir).

Hubungan antara SOI dengan awal dan lama musim hujan

.
Gambar 2. Hubungan SOI dengan Awal Musim Hujan

Dari grafik hubungan SOI dengan Awal Musim Hujan diketahui, apabila SOI
bulan November berada disekitar nol (normal), awal masuk musim hujan di
Kabupaten Banjar sekitar akhir bulan Oktober atau awal November. Apabila nilai
SOI naik 10 dari nol, maka awal musim hujan akan maju sekitar 13 hari, sebaliknya
kalau turun 10, awal musim hujan akan mundur sekitar 13 hari.
Gambar 3. Hubungan SOI dengan Lama Musim Hujan

Dari grafik hubungan SOI dengan Lama Musim Hujan diketahui, apabila
SOI bulan November berada disekitar nol (normal), lama musim hujan di
Kabupaten Banjar sekitar awal masuk musim hujan sekitar 15 dasarian (150 hari).
Apabila nilai SOI naik 10 dari nol, maka awal musim hujan akan maju sekitar 3
dasarian (30 hari), sebaliknya kalau turun 10, awal musim hujan akan mundur
sekitar 4 dasarian (40 hari).
Prediksi Peluang Awal dan Lama Masuk MH berdasarkan Fase SOI
November di Kabupaten Banjar

Gambar 4. Prediksi awal MH berdasarkan fase SOI November

Gambar 5. Prediksi lama MH berdasarkan fase SOI November

Dari grafik prediksi peluang awal musim hujan dan lama musim hujan
berdasarkan fase SOI bulan November diketahui, apabila pada bulan November fase
SOI masuk pada kategori 1 atau 3 (El-Nino), maka peluang awal musim hujan di
Kabupaten Banjar akan mundur menjadi lebih besar dan lama musim hujan relatif
menjadi lebih singkat dibandingkan fase yang lain (normal atau La-Nina).
Sebaliknya apabila bulan November masuk kategori 2 atau 4 (La-Nina), maka
peluang terjadinya musim hujan di Kabupaten Banjar yang lebih panjang lebih besar
dibandingkan dengan fase yang lain (normal atau El-Nino)

Prediksi peluang anomali produksi padi sawah berdasarkan Fase SOI


November di Kabupaten Banjar

Gambar 6. Prediksi anomali produktivitas padi sawah

Pada grafik prediksi peluang anomali produktivitas padi sawah di Kabupaten


Banjar terlihat, bahwa Peluang untuk mendapatkan penyimpangan produktivitas
lebih dari 0 ku ha-1 dari kondisi normal di bawah 45%.

KESIMPULAN
Dari data di atas diketahui bahwa fase SOI mempengaruhi awal musim
hujan dan lama musim hujan di wilayan Kabupaten Banjar. Pada kondisi El-Nino,
awal musim hujan akan mundur dan lama musim hujan akan lebih pendek dari pada
kondisi normal atau La-Nina. Begitu pula ketika terjadi La-Nina, menyebabkan
awal musim hujan menjadi lebih cepat dan musim hujan terjadi lebih lama
dibanding kondisi normal atau El-Nino.
Peluang untuk meningkatkan produktivitas padi sawah di kabupaten banjar sangat
kecil, yaitu di bawah 45%.

DAFTAR PUSTAKA

www.pertanian.go.id. Departemen Pertanian Republik Indonesia. Basis data


tanaman pangan dan hortikultura. .

https://www.longpaddock.qld.gov.au/seasonalclimateoutlook/southernoscillationind
ex/soigraph/index.php

www.bom.gov.au/climate/glossary/soi.shtml

Haryanto, U., 1998, Keterkaitan Fase SOI Terhadap Curah Hujan Di DAS Citarum,
http://repository. ipb.ac.id/ bitstream/handle. Di akses tanggal 29 Februari
2012.

Haylock Malcolm, McBridge John. 2001. Spatial Coherence and Predictability of


Indonesian Wet Season Rainfall. Journal of Climate 14:3882-3887.

Lo, F., Wheeler, M.C., Meinke, H. and Donald, A., 2007. Probabilistic forecasts of
the onset of the North Australian wet season. Monthly Weather Review, 135,
35063520.

Robertson, A. W. , V. Moron, and Y. Swarinoto, 2009. Seasonal predictability of


daily rainfall statistics over Indramayu district, Indonesia. Int. J.
Climatology, 29, 1449-1462.

You might also like