You are on page 1of 16

MAKALAH ANTI KORUPSI

SEJARAH PEMBERANTASAN
TINDAK PIDANA KORUPSI

DISUSUN OLEH : KELOMPOK 21

OKTAVIANI SAFITRI
JEREMIA A.C RITONGA

TINGKAT III KELAS A

DOSEN PEMBIMBING :
SAFRINA DAULAY, SST, MPH

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLITEKNIK KESEHATAN MEDAN
PROGRAM STUDI KEBIDANAN
PEMATANGSIANTAR

2017
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan rahmat serta
karunia-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul MAKALAH
ANTI KORUPSI : SEJARAH PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI ini
dengan tepat waktu.

Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena
itu kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun selalu kami harapkan
demi kesempurnaan makalah ini.

Diharapkan makalah ini dapat memberikan informasi dan pelajaran kepada kita
semua.

Akhir kata kami sampaikan terima kasih.

Pematangsiantar, Januari 2017

PENYUSUN

KELOMPOK 21

2
DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR......................................................................................................

DAFTAR ISI...................................................................................................................

BAB I PENDAHULUAN...............................................................................................

BAB II PEMBAHASAN................................................................................................

A. Sejarah korupsi di Indonesia..............................................................................


B. Sejarah pemberantasan tindak pidana korupsi....................................................
C. Berdirinya lembaga penegak hukum pemberantasan dan pencegahan................

BAB III PENUTUP......................................................................................................... 12

DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................................... 13

3
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Tindak perilaku korupsi akhir-akhir ramai di perbincangkan, baik di media
massa maupun media cetak. Tindak korupsi ini mayoritas dilakukan oleh para
pejabat tinggi negara yang sesungguhnya dipercaya oleh masyarakat luas untuk
memajukan kesejahteraan rakyat sekarang malah merugikan negara. Hal ini tentu
saja sangat memprihatinkan bagi kelangsungan hidup rakyat yang dipimpin oleh
para pejabat yang terbukti melekukan tindak korupsi. Maka dari itu, di sini kami
akan membahas tentang korupsi di Indonesia dan upaya untuk memberantasnya.
Korupsi di Indonesia sudah membudaya sejak dulu, sebelum dan sesudah
kemerdekaan, di era Orde Lama, Orde Baru, berlanjut hingga era Reformasi.
Berbagai upaya telah dilakukan untuk memberantas korupsi, namun hasilnya
masih jauh panggang dari api.

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Sejarah Korupsi Di Indonesia


Korupsi di Indonesia berkembang secara sistemik. Bagi banyak
orang korupsi bukan lagi merupakan suatu pelanggaran hukum, melainkan
sekedar suatu kebiasaan. Dalam seluruh penelitian perbandingan korupsi antar
negara, Indonesia selalu menempati posisi paling rendah. Perkembangan korupsi
di Indonesia juga mendorong pemberantasan korupsi di Indonesia. Namun hingga
kini pemberantasan korupsi di Indonesia belum menunjukkan titik terang melihat
peringkat Indonesia dalam perbandingan korupsi antar negara yang tetap rendah.
Hal ini juga ditunjukkan dari banyaknya kasus-kasus korupsi di Indonesia.
korupsi yang sudah di tangani di Indonesia. Secara garis besar, budaya korupsi di
Indonesia tumbuh dan berkembang melalu 3 (tiga) fase sejarah, yakni ; zaman
kerajaan, zaman penjajahan hingga zaman modern seperti sekarang ini.
Pertama, Fase Zaman Kerajaan. Budaya korupsi di Indonesia pada
prinsipnya, dilatar belakangi oleh adanya kepentingan atau motif kekuasaan dan
kekayaan. Literatur sejarah masyarakat Indonesia, terutama pada zaman kerajaan-
kerajaan kuno. Coba saja kita lihat bagaimana Kerajaan Singosari yang
memelihara perang antar saudara bahkan hingga tujuh turunan saling membalas
dendam berebut kekuasaan. Lalu, kerajaan Demak yang memperlihatkan
persaingan antara Joko Tingkir dengan Haryo Penangsang, ada juga Kerajaan
Banten yang memicu Sultan Haji merebut tahta dan kekuasaan dengan ayahnya
sendiri, yaitu Sultan Ageng Tirtoyoso (Amien Rahayu SS, Jejak Sejarah Korupsi
Indonesia- Analis Informasi LIPI).
Hal menarik lainnya pada fase zaman kerajaan ini adalah, mulai
terbangunnya watak opurtunisme bangsa Indonesia. Salah satu contohnya adalah
posisi orang suruhan dalam kerajaan, atau yang lebih dikenal dengan abdi
dalem. Abdi dalem dalam sisi kekuasaan zaman ini, cenderung selalu bersikap
manis untuk menarik simpati raja atau sultan. Hal tersebut pula yang menjadi
embrio lahirnya kalangan opurtunis yang pada akhirnya juga memiliki potensi

2
jiwa yang korup yang begitu besar dalam tatanan pemerintahan kita dikmudian
hari.
Kedua, Fase Zaman Penjajahan. Pada zaman penjajahan, praktek korupsi
telah mulai masuk dan meluas ke dalam sistem budaya sosial-politik bangsa kita.
Budaya korupsi telah dibangun oleh para penjajah colonial (terutama oleh
Belanda) selama 350 tahun. Budaya korupsi ini berkembang dikalangan tokoh-
tokoh lokal yang sengaja dijadikan badut politik oleh penjajah, untuk menjalankan
daerah adiministratif tertentu, semisal demang (lurah), tumenggung (setingkat
kabupaten atau provinsi), dan pejabat-pejabat lainnya yang notabene merupakan
orang-orang suruhan penjajah Belanda untuk menjaga dan mengawasi daerah
territorial tertentu. Mereka yang diangkat dan dipekerjakan oleh Belanda untuk
memanen upeti atau pajak dari rakyat, digunakan oleh penjajah Belanda untuk
memperkaya diri dengan menghisap hak dan kehidupan rakyat Indonesia. Secara
eksplisit, sesungguhnya budaya penjajah yang mempraktekkan hegemoni dan
dominasi ini, menjadikankan orang Indonesia juga tak segan menindas bangsanya
sendiri lewat perilaku dan praktek korupsi-nya.
Ketiga, Fase Zaman Modern. Fase perkembangan praktek korupsi di
zaman modern seperti sekarang ini sebenarnya dimulai saat lepasnya bangsa
Indonesia dari belenggu penjajahan. Akan tetapi budaya yang ditinggalkan oleh
penjajah kolonial, tidak serta merta lenyap begitu saja. salah satu warisan yang
tertinggal adalah budaya korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Hal tersebut
tercermin dari prilaku pejabat-pejabat pemerintahan yang bahkan telah dimulai di
era Orde lama Soekarno, yang akhirnya semakin berkembang dan tumbuh subur
di pemerintahan Orde Baru Soeharto hingga saat ini. Indonesia tak ayal pernah
menduduki peringkat 5 (besar) Negara yang pejabatnya paling korup, bahkan
hingga saat ini. Di Indonesia langkah- langkah pembentukan hukum positif untuk
menghadapi masalah korupsi telah dilakukan selama beberapa masa perjalanan
sejarah dan melalui bebrapa masa perubahan perundang- undangan. Keberadaan
tindak pidana korupsi dalam hukum positif indonesia sebenarnya sudah ada sejak
lama, yaitu sejak berlakunya kitab undang-undang hukum pidana 1 januari 1918.
KUHP sebagai suatu kodifikasi dan unifikasi berlaku bagi semua golongan di

3
Indonesia sesuai dengan asas konkordansi dan diundangkan dalam Staatblad 1915
nomor 752, tanggal 15 Oktober 1915.
Beberapa peraturan yang mengatur mengenai tindak pidana korupsi di
Indonesia sebagai berikut :
1. Masa Peraturan Penguasa Militer
Pengaturan yang berkuasa Nomor PRT/PM/06/1957 dikeluarkan oleh
Penguasa Militer Angkatan Darat dan berlaku untuk daerah kekuasaan Angkatan
Darat. Rumusan korupsi menurut perundang- undangan ini ada dua yaitu, tiap
perbuatan yang dilakukan oleh siapa pun juga baik untuk kepentingan sendiri,
untuk kepentingan orang lain, atau untuk kepentingan suatu badan yang langsung
atau tidak langsung menyebabkan kerugian keuangan atau perekonomian. Masa
Undang- Undang Nomor 24/Prp/Tahun 1960 tentang Pengusutan, Penuntutan, dan
Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi.
2. Masa Undang- Undang Nomor 3 Tahun 1971 (LNRI 1971-19, TNLRI 2958)
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
3. Masa Undang- Undang Nomor 31 Tahun 1999 (LNRI 1999-40, TNLRI 387),
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi kemudian diubah dengan undang-
Undang Nomor 20 Tahun 2001 (LNRI 2001-134, TNLRI 4150), tentang
Perubahan atas Undang- Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi. Selanjutnya pada tanggal 27 Desember 2002 dikeluarkan
Undang- Undang Nomor 30 Tahun 2002 (LNRI 2002-137. TNLRI 4250) tentang
Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Jika ditinjau dari instrumen hukumnya, Indonesia telah memiliki banyak
peraturan perundang- undangan untuk mengatur pemberantasan tindak pidana
korupsi. Diantaranya ada KUHP dan KPK. Secara substansi Undang- undang
Nomor 31 Tahun 1999 telah mengatur berbagai aspek yang kiranya dapat
menjerat berbagai modus operandi tindak pidana korupsi yang semakin rumit.
Dalam Undang- Undang ini tindak pidana korupsi telah dirumuskan sebagai
tindak pidana formil, pengertian pegawai negeri telah diperluas, pelaku korupsi
tidak didefenisikan hanya kepada orang perorang tetapi juga pada korporasi,
sanksi yang dipergunakan adalah sanksi minimum sampai pidana mati, seperti

4
yang tercantum dalam pasal 2 dan pasal 3 undang- undang tahun 1999 tentang
pemberantasan tindak pidana korupsi dan telah pula dilengkapi dengan pengaturan
mengenai kewenangan penyidik, penuntut umumnya hingga hakim yang
memeriksa di sidang pengadilan. Bahkan, dalam segi pembuktian telah diterapkan
pembuktian tebalik secara berimbang dan sebagai kontrol, undang- undang ini
dilengkapi dengan Pasal 41 pengaturan mengenai peran serta masyarakat,
kemudian dipertegas dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah nomor 71
Tahun 2000 tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat dan
Pemberian Penghargaan dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi. Selain itu pengaturan tindak pidana korupsi dilakukan melalui kerja
sama dengan dunia Internasioanal. Hal ini dilakukan dengan cara menandatangani
konvensi PBB tentang anti korupsi yang memberikan peluang untuk
mengembalikan aset- aset para koruptor yang di bawa lari ke luar negeri.
Hukum pidana tentang tindak pidana korupsi yang diatur dalam KUHP
dinilai masih sangat lemah. Memang tidak perlu sampai diberlakukan hukuman
mati bagi koruptor seperti yang di berlakukan di Negara China, tapi untuk tindak
pidana korupsi yang merugikan negara dalam jumlah besar seharusnya diberi
hukuman seumur hidup dan tanpa remisi ataupun grasi. Agar terjadi efek jera dan
juga sebagai pelajaran bagi pejabat-pejabat baru.
Selain hukum yang masih lemah terjadinya korupsi di Indonesia juga
didukung dengan aparat hukum yang korup mulai dari Kepolisian, Kejaksaan,
hingga Pengadilan. Kepolisian bisa menghentikan penyelidikan bila koruptor
mampu menyuapnya. Hal ini menyebabkan mudahnya para pejabat yang terjerat
kasus korupsi untuk membebaskan diri dari jeratan hukum dengan jalan menyuap
dari hasil uang korupsi. Sehingga sebanyak apapun Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK) melimpahkan kasus korupsi ke pihak kepolisian akan menjadi
percuma. Bahkan beberapa waktu lalu ada upaya pelemahan KPK oleh institusi
hukum lain yang takut diselidiki mengenai kasus korupsi di dalamnya.[1]

5
B.Sejarah Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

Berbagai upaya pemberantasan korupsi dilakukan oleh pemerintah sejak


kemerdekaan, baik dengan menggunakan peraturan perundang-undangan yang
ada maupun dengan membentuk peraturan perundang-undangan baru yang secara
khusus mengatur mengenai pemberantasan tindak pidana korupsi. Di antara
peraturan perundang-undangan yang pernah digunakan untuk memberantas tindak
pidana korupsi adalah:

1. Delik korupsi dalam KUHP.

2. Peraturan Pemberantasan Korupsi Penguasa Perang Pusat Nomor Prt/


Peperpu/013/1950.

3. Undang-Undang No.24 (PRP) tahun 1960 tentang Tindak Pidana Korupsi.

4. Undang-Undang No.3 tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana


Korupsi.

5. TAP MPR No. XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih


dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.

6. Undang-Undang No.28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang


Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.

7. Undang-Undang No.31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana


Korupsi.

8. Undang-undang No. 20 tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-


undang No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

9. Undang-undang No. 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak


Pidana Korupsi.

10. Undang-undang No. 7 tahun 2006 tentang Pengesahan United Nation


Convention Against Corruption (UNCAC) 2003.

6
11. Peraturan Pemerintah No. 71 tahun 2000 tentang Peranserta Masyarakat
dan Pemberian Penghargaan dalam Pencegahan dan Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi.

12. Instruksi Presiden No. 5 tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan


Korupsi.

C. Berdirinya Lembaga Penegak Hukum, Pemberantasan dan Pencegahan


Korupsi
1. Sejarah Penegakkan Hukum Tindak Pidana Korupsi
Sejarah pembentukan Tim Pemberantasan Korupsi sesungguhnya sudah
dimulai sejak tahun 1960 dengan munculnya Perpu tentang pengusutan,
penuntutan dan pemeriksaan tindak pidana korupsi. Perpu itu lalu dikukuhkan
menjadi UU No.24/1960. Salah satu upaya yang dilakukan adalah melancarkan
Operasi Budhi, khususnya untuk mengusut karyawan-karyawan ABRI yang
dinilai tidak becus. Waktu itu perusahaan-perusahaan Belanda diambil-alih dan
dijadikan BUMN, dipimpin oleh para perwira TNI. Operasi Budhi antara lain
mengusut Mayor Suhardiman (kini Mayjen TNI Pur) meskipun akhirnya
dibebaskan dari dakwaan.
Pada akhir 1967 Presiden Soeharto membentuk Tim Pemberantasan
Korupsi (TPK) dengan Kepres No. 228/1967 tanggal 2 Desember 1967 dan dasar
hukumnya masih tetap UU 24/1960. Para anggota tim ini merangkap jabatan lain
seperti Jaksa Agung, Kapolri, Menteri Kehakiman, dan Panglima ABRI. Hasil
kerja tim ad-hoc ini kemudian berhasil menyeret 9 orang yang diindikasikan
koruptor.
Presiden Soeharto juga membentuk Komisi Empat pada Januari 1970,
untuk memberikan penilaian obyektif terhadap langkah yang telah diambil
pemerintah, dan memberikan pertimbangan mengenai langkah yang lebih efektif
untuk memberantas korupsi. Mantan Wakil Presiden M. Hatta diangkat sebagai
penasihat Komisi Empat. Anggota-anggotanya adalah mantan perdana menteri

7
Wilopo, I.J.Kasimo, Prof. Johannes dan Anwar Tjokroaminoto dan Kepala
BAKIN Mayjen Sutopo Yuwono menjadi sekretaris.
Selama periode 1970-1977 hanya satu pejabat tinggi yang dipenjara
karena korupsi, yaitu Deputi Kapolri Letjen Pol Siswadji (1977, divonis 8 tahun).
Pegawai negeri yang diganjar hukuman paling berat adalah Kepala Depot Logistik
Kaltim Budiadji, yang divonis penjara seumur hidup (grasi Presiden
menguranginya menjadi 20 tahun). Selain Komisi Empat, dimasa pemerintahan
orde baru juga pernah berdiri Komisi Anti Korupsi (KAK) pada tahun 1970.
Anggota KAK terdiri dari aktivis mahasiswa eksponen 66 seperti Akbar Tanjung,
Thoby Mutis, Asmara Nababan dkk. Namun belum terlihat hasil yang telah
dicapai, Komisi ini dibubarkan pada 15 Agustus 1970 atau hanya dua bulan sejak
terbentuk.
Ketika Abdurrahman Wahid menjadi presiden, dibentuk Tim Gabungan
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TGPTPK). Tim ini berada di bawah Jaksa
Agung Marzuki Darusman. TGPTPK dibentuk sebagai lembaga sementara sampai
terbentuknya Komisi Pemberantasan Korupsi yang merupakan amanat
UU No.31 tahun 1999 tentang pemberantasan korupsi. Sayang, TGPTPK yang
beranggotakan jaksa, polisi dan wakil dari masyarakat tidak mendapat dukungan.
Bahkan oleh Jaksa Agung sendiri. Permintaan TGPTPK untuk mengusut kasus
BLBI yang banyak macet prosesnya ditolak oleh Jaksa Agung. Akhirnya,
TGPTPK dibubarkan tahun 2001 ketika gugatan judicial review tiga orang Hakim
Agung pernah diperiksa oleh TGPTPK dikabulkan oleh Mahkamah Agung.
Pada tahun 1999 juga pernah terbentuk Komisi Pemeriksa Kekayaan
Penyelenggaran Negara (KPKPN) berdasarkan UU No. 28 Tahun 1999 tentang
Penyelenggaraan Pemerintahan yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi dan
nepotisme. Komisi yang dipimpin oleh Yusuf Syakir ini bertugas menerima dan
memeriksa laporan kekayaan para penyelenggara negara.
Pada era Megawati sebagai Presiden, berdasarkan UU Nomor 30 Tahun
2002 dibentuk Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi atau Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK). Komisi superbody yang memiliki 5 tugas dan 29
wewenang yang luar biasa ini dipimpin oleh Taufiqurahman Ruki, Sirajudin

8
Rasul, Amien Sunaryadi, Erry Riyana Harjapamengkas, Tumpak Hatorang. Belum
genap satu tahun berdiri, KPK telah menerima 1.452 laporan masyarakat
mengenai praktek korupsi. Sepuluh kasus diantaranya ditindaklanjuti dalam
proses penyidikan dan sudah dua kasus korupsi yang berhasil dilimpahkan ke
Pengadilan Tipikor (Abdullah Puteh dan Harun Let Let dan keduanya telah
divonis). Kasus korupsi besar yang telah ditangani KPK adalah korupsi yang
terjadi di Komisi Pemilihan Umum (KPU). Hasil penyelidikan dan penyidikan
KPK berhasil menjebloskan ketua dan anggota KPU serta beberapa pegawai
Setjen KPU ke penjara. Meskipun seringkali menuai kritik dari berbagai kalangan
namun apa yang telah dilakukan oleh KPK sedikit banyak memberikan harapan
bagi upaya penuntasan beberapa kasus korupsi di Indonesia.
Setelah Megawati lengser dan digantikan oleh Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono (SBY), program 100 hari pemerintahannya ditandai dengan
pembentukan Tim Pemburu Koruptor yang dipimpin oleh oleh Wakil Jaksa Agung
, Basrief Arief dibawah koordinasi Wakil Presiden Jusuf Kalla. Tim yang terdiri
dari Kejaksaan dan Kepolisian bertugas memburu terpidana dan tersangka kasus
korupsi yang melarikan diri keluar negeri. Meskipun belum terlihat hasil yang
telah dicapai, namun Tim Pemburu koruptor diberitakan sudah menurunkan tim
ke lima negara, yaitu Singapura, Amerika Serikat, Hongkong, Cina dan Australia.
Selain itu Tim pemburu koruptor juga telah mengidentifikasi jumlah aset yang
terparkir di luar negeri sebanyak Rp 6-7 triliun.
Tim pemberantasan korupsi yang terakhir dibentuk adalah Tim Koordinasi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Timtas Tipikor) yang dibentuk Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 11
Tahun 2005 pada tanggal 2 Mei 2005. Ada dua tugas utama yang diemban tim
yang diketuai oleh Hendarman Supandji. Pertama, melakukan penyelidikan,
penyidikan dan penuntutan sesuai dengan ketentuan hukum acara yang berlaku
terhadap kasus dan/atau indikasi tindak pidana korupsi. Kedua, mencari dan
menangkap pelaku yang diduga keras melakukan tindak pidana serta menelusuri
asetnya dalam rangka pengembalian keuangan secara optimal.[2]
2. Kebijakan Pemerintah Dalam Pemberantasan Korupsi:

9
a. Mewujudkan keseriusan pemerintah dalam upaya memberantas korupsi, Telah
di keluarkan berbagai kebijakan. Di awali dengan penetapan anti korupsi
sedunia oleh PBB pada tanggal 9 Desember 2004, Presiden susilo Budiyono
telah mengeluarkan instruksi Presiden Nomor 5tahun 2004 tentang Percepatan
Pemberantasan Korupsi, yang menginstruksikan secara khusus Kepada Jaksa
Agung Dan Kapolri:
b. Mengoptimalkan upaya upaya penyidikan/Penuntutan terhadap tindak
pidana korupsi.
c. Meningkatkan Kerjasama antara kejaksaan dgn kepolisian Negara RI, selain
denagan BPKP,PPATK,dan intitusi Negara yang terkait denagn upaya
penegakan hukum.
3. Peran Serta Pemerintah Dalam Memberantas Korupsi
Partisipasi dan dukungan dari masyarakat sangat dibutuhkan dalam
mengawali upaya-upaya pemerintah melalui KPK (Komisi Pemberantasan
Korupsi) dan aparat hukum lain. KPK yang ditetapkan melalui Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
untuk mengatasi, menanggulangi, dan memberan-tas korupsi, merupakan komisi
independen yang diharapkan mampu menjadi martir bagi para pelaku tindak
KKN.
Adapun agenda KPK adalah sebagai berikut :
a. Membangun kultur yang mendukung pemberantasan korupsi.
b. Mendorong pemerintah melakukan reformasipublic sector dengan
mewujudkan good governance.
c. Membangun kepercayaan masyarakat.
d. Mewujudkan keberhasilan penindakan terhadap pelaku korupsi besar.
e. Memacu aparat hukum lain untuk memberantas korupsi.[4]

4. Upaya yang Dapat Ditempuh dalam Pemberantasan Korupsi


a. Upaya Pencegahan (Preventif)
Menanamkan semangat nasional yang positif dengan mengutamakan
pengabdian pada bangsa dan negara melalui pendidikan formal, informal dan
agama, melakukan penerimaan pegawai berdasarkan prinsip keterampilan teknis,
para pejabat dihimbau untuk mematuhi pola hidup sederhana dan memiliki tang-

10
gung jawab yang tinggi, para pegawai selalu diusahakan kesejahteraan yang
memadai dan ada jaminan masa tua, menciptakan aparatur pemerintahan yang
jujur dan disiplin kerja yang tinggi, sistem keuangan dikelola oleh para pejabat
yang memiliki tanggung jawab etis tinggi dan dibarengi sistem kontrol yang
efisien.

b. Upaya Penindakan (Kuratif)


Upaya penindakan, yaitu dilakukan kepada mereka yang terbukti
melanggar dengan diberikan peringatan, dilakukan pemecatan tidak terhormat dan
dihukum pidana.
c. Upaya Edukasi Masyarakat/Mahasiswa:
1. Memiliki tanggung jawab guna melakukan partisipasi politik dan kontrol
sosial terkait dengan kepentingan publik.
2. Tidak bersikap apatis dan acuh tak acuh.
3. Melakukan kontrol sosial pada setiap kebijakan mulai dari pemerintahan
desa hingga ke tingkat pusat/nasional.
4. Membuka wawasan seluas-luasnya pemahaman tentang penyelenggaraan
peme-rintahan negara dan aspek-aspek hukumnya.
5. Mampu memposisikan diri sebagai subjek pembangunan dan berperan
aktif dalam setiap pengambilan keputusan untuk kepentingan masyarakat
luas.
d. Upaya Edukasi LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat):
Indonesia Corruption Watch (ICW) adalah organisasi non-pemerintah yang
meng-awasi dan melaporkan kepada publik mengenai korupsi di Indonesia dan
terdiri dari sekumpulan orang yang memiliki komitmen untuk memberantas
korupsi melalui usaha pemberdayaan rakyat untuk terlibat melawan praktik
korupsi. ICW lahir di Jakarta pada tanggal 21 Juni 1998 di tengah-tengah gerakan
reformasi yang menghendaki pemerintahan pasca Soeharto yang bebas korupsi.[5]

BAB III
KESIMPULAN

11
Korupsi adalah penyelewengan atau penggelapan (uang negara atau
perusahaaan) dan sebagainya untuk keuntungan pribadi atau orang lain serta
selalu mengandung unsur penyelewengan ataudishonest(ketidakjujuran).
Korupsi di Indonsia dimulai sejak era Orde Lama sekitar tahun 1960-an
bahkan sangat mungkin pada tahun-tahun sebelumnya. Korupsi di Indonesia
semakin banyak sejak akhir 1997 saat negara mengalami krisis politik, sosial,
kepemim-pinan dan kepercayaan yang pada akhirnya menjadi krisis multidimensi.
Pelajaran yang didapat dari uraian diatas sebenarnya korupsi yang terjadi
di Indonesia disebabkan mental pemimpin yang buruk. Jadi walaupun sebaik
apapun sistem pemerintahan, setegas apapun hukum, dan sebersih apapun aparat
akan percuma bila mental pemimpin dan pejabat negeri ini masih buruk dan
korupsi pasti masih akan terus lestari. Untuk itu sekarang kita harus menyadarkan
para pemimpin untuk memperbaiki mentalnya, dan apabila sudah tidak dapat
diperbaiki maka sebaiknya untuk diganti dengan pemimpin yang amanah dan
bermental baik serta siap susah demi rakyat. Kita sebagai generasi muda calon
pemimpin bangsa sudah seharusnya menjaga hati dan mental agar tetap jujur dan
tidak berubah menjadi mental koruptor.

12
DAFTAR PUSTAKA

http://andsbarcaboy.blogspot.com/2016/03/sejarah-korupsi-di-indonesia.html.
http://polmas.wordpress.com/2016/03/03/sejarah-penegakkan-hukum-tindak-pidana-
korupsi-di-indonesia.
http://makalahsekolah.com/2016/03/03/makalah-upaya-pemberantasan-korupsi-di-
indonesia.
http://fikriarahman-smkwadaya.blogspot.co.id/2016/03/peran-pemerintah-dalam-
memberantas.html.
http://nurulsolikha.blogspot.com/2016/03/upaya-pemberantasan-korupsi-di.html.

13

You might also like