You are on page 1of 15

BAB 1

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang

Kejadian hipospadia saat ini cenderung muncul pada 1 diantara 500 kelahiran
bayi laki-laki (Behrman, Kliegman, & Arvin, 2000). Di Indonesia banyak terjadi
kasus hipospadia karena kurangnya pengetahuan para bidan saat menangani kelahiran
karena seharusnya anak yang lahir itu laki-laki namun karena melihat lubang kencing
di bawah maka dibilang anak itu perempuan.
Hipospadia merupakan kelainan abnormal dari perkembangan uretra anterior
dimana muara dari uretra terletak ektopik pada bagian ventral dari penis proksimal
hingga glands penis. Muara dari uretra dapat pula terletak pada skrotum atau
perineum. Semakin ke proksimal defek uretra maka penis akan semakin mengalami
pemendekan dan membentuk kurvatur yang disebut chordee. Masalah yang
ditimbulkan akibat hipospadia dapat berupa masalah fungsi reproduksi, psikologis
maupun sosial. Pada kasus ringan, meatus berada tepat di bawah ujung penis, pada
sebagian kasus yang berat meatus terletak pada perineum antara dua skrotum
(Muscari, 2005). Tatalaksana pasien dengan hipospadia adalah dengan operasi, yang
bertujuan untuk memperbaiki baik fungsi maupun kosmetik. Dari berbagai metode
operasi tersebut dikenal operasi 1 tahap (onestage) dan beberapa tahap (multistage).

1.2 Tujuan
1. Tujuan Umum
Mahasiswa/mahasiswi mampu mengetahui asuhan keperawatan pada klien dengan
Hipospadia
2. Tujuan Khusus
a. Memahami definisi Hipospadia
b. Mengetahui etiologi, patofisiologi Hipospadia
c. Mengetahui manifestasi klinik Hipospadia
d. Mengatahui penatalaksanaan asuhan keperawatan Hipospadia
BAB 2

PEMBAHASAN

2.1 KONSEP MEDIS

2.1.1 PENGERTIAN

1. Hipospadia adalah suatu kelainan bawaan congenital dimana meatus uretra externa
terletak di permukaan ventral penis dan lebih ke proksimal dari tempatnya yang
normal (ujung glans penis). (Arif Mansjoer, 2000 : 374).

2. Hipospadia adalah suatu keadaan dimana terjadi hambatan penutupan uretra penis
pada kehamilan miggu ke 10 sampai ke 14 yang mengakibatkan orifisium uretra
tertinggal disuatu tempat dibagian ventral penis antara skrotum dan glans penis. (A.H
Markum, 1991 : 257).

3. Hipospadia adalah suatu kelainan bawaan berupa lubang uretra yang terletak di
bagian bawah dekat pangkal penis. (Ngastiyah, 2005 : 288).

4. Hipospadia adalah keadaan dimana uretra bermuara pada suatu tempat lain pada
bagian belakang batang penis atau bahkan pada perineum ( daerah antara kemaluan
dan anus ). (Davis Hull, 1994 )

5. Hipospadia adalah salah satu kelainan bawaan pada anak-anak yang sering
ditemukan dan mudah untuk mendiagnosanya, hanya pengelolaannya harus dilakukan
oleh mereka yang betul-betul ahli supaya mendapatkan hasil yang memuaskan.

2.1.2 ETIOLOGI

Penyebab sebenarnya sangat multifaktor dan sampai sekarang belum diketahui


penyebab pasti dari hipospadia. Namun ada beberapa faktor yang oleh para ahli
dianggap paling berpengaruh antara lain :
1. Secara embriologis, hipospadia disebabkan oleh kegagalan penutupan yang
sempurna pada bagian ventral lekuk uretra (Heffiner, 2005).
2. Diferensiasi uretra pada penis bergantung androgen dihidrotestoteron (DHT).
Defisiensi produksi testoteron (T), konversi T menjadi DHT yang tidak adekuat atau
defisiensi lokal pada pengenalan androgen (kekurangan jumlah atau fungsi reseptor
androgen) (Heffiner, 2005).
3. Terdapat presdisposisi genetik non-Mendelian pada hipospadia, jika salah satu
saudara kandung mengalami hipospadia, resiko kejadian berulang pada keluarga
tersebut adalah 12%, jika bapak dan anak laki-lakinya terkena, maka resiko untuk
anak laki-laki berikutnya adalah 25% (Heffiner, 2005).
4. Kriptorkismus (cacat perkembangan yang ditandai dengan kegagalan buah zakar
untuk turun ke dalam kandung buah zakar) terdapat pada 16% anak laki-laki dengan
hipospadia (Heffiner, 2005).
5. Dihubungkan dengan penurunan sifat genetik (Muscari, 2005).
6. Faktor eksogen antara lain pajanan pranatal terhadap kokain, alkohol, fenitoin,
progestin, rubela, atau diabetes gestasional (Muscari, 2005)
2.1.3 KLASIFIKASI

Hipospadia dibagi menjadi beberapa tipe menurut letak orifisium uretra eksternum
yaitu :

1. Tipe sederhana adalah tipe grandular, disini meatus terletak pada pangkal glands
penis. Pada kelainan ini secara klinis umumnya bersifat asimtomatik.

2. Tipe penil, meatus terletak antara glands penis dan skortum.

3. Tipe penoskrotal dan tipe perineal, kelainan cukup besar, umumnya pertumbuhan
penis akan terganggu.

2.1.4 KLASIFIKASI

-Pancaran air kencing pada saat BAK tidak lurus, biasanya kebawah,
menyebar, mengalir melalui batang penis, sehingga anak akan jongkok pada
saat BAK.

- Pada Hipospadia grandular/ koronal anak dapat BAK dengan berdiri


dengan mengangkat penis keatas.

1. Pada Hipospadia peniscrotal/ perineal anak berkemih dengan jongkok.

2. Penis akan melengkung kebawah pada saat ereksi.

2.1.5 PATOFISIOLOGI

Fusi dari garis tengah dari lipatan uretra tidak lengkap terjadi sehingga meatus uretra
terbuka pada sisi ventral dari penis. Ada berbagai derajat kelainan letak meatus ini,
dari yang ringan yaitu sedikit pergeseran pada glans, kemudian disepanjang batang
penis, hingga akhirnya di perineum. Prepusium tidak ada pada sisi ventral dan
menyerupai topi yang menutup sisi dorsal dari glans. Pita jaringan fibrosa yang
dikenal sebagai chordee, pada sisi ventral menyebabkan kurvatura (lengkungan)
ventral dari penis.

2.1.6 KOMPLIKASI

1. Pseudohermatroditisme (keadaan yang ditandai dengan alat-alat kelamin


dalam 1 jenis kelamin tetapi dengan satu beberapa ciri sexsual tertentu )

2. Psikis ( malu ) karena perubahan posisi BAK.

3. Kesukaran saat berhubungan sexsual, bila tidak segera dioperasi saat dewasa.

Komplikasi paska operasi yang terjadi :

1. Edema / pembengkakan yang terjadi akibat reaksi jaringan besarnya dapat


bervariasi, juga terbentuknya hematom / kumpulan darah dibawah kulit, yang
biasanya dicegah dengan balut tekan selama 2 sampai 3 hari paska operasi.

2. Striktur, pada proksimal anastomosis yang kemungkinan disebabkan oleh


angulasi dari anastomosis.
3. Rambut dalam uretra, yang dapat mengakibatkan infeksi saluran kencing
berulang atau pembentukan batu saat pubertas.

4. Fitula uretrokutan, merupakan komplikasi yang sering dan digunakan sebagai


parameter untuyk menilai keberhasilan operasi. Pada prosedur satu tahap saat
ini angka kejadian yang dapat diterima adalah 5-10 %.

5. Residual chordee/rekuren chordee, akibat dari rilis korde yang tidak


sempurna, dimana tidak melakukan ereksi artifisial saat operasi atau
pembentukan skar yang berlebihan di ventral penis walaupun sangat jarang.

6. Divertikulum, terjadi pada pembentukan neouretra yang terlalu lebar, atau


adanya stenosis meatal yang mengakibatkan dilatasi yang lanjut.

2.1.7 PEMERIKSAAN PENUNJANG

1. Rontgen

2. USG sistem kemih kelamin.

3. BNO-IVP

Karena biasanya pada hipospadia juga disertai dengan kelainan

kongenital ginjal.

2.1.8 PENATALAKSANAAN

1. Tujuan utama dari penatalaksanaan bedah hipospadia adalah


merekomendasikan penis menjadi lurus dengan meatus uretra ditempat yang
normal atau dekat normal sehingga aliran kencing arahnya ke depan dan dapat
melakukan coitus dengan normal.

2. Operasi harus dilakukan sejak dini, dan sebelum operasi dilakukan bayi atau
anak tidak boleh disirkumsisi karena kulit depan penis digunakan untuk
pembedahan nanti.

3. Dikenal banyak teknik operasi hipospadia yang umumnya terdiri dari


beberapa tahap yaitu :

a. Operasi Hipospadia satu tahap ( ONE STAGE URETHROPLASTY )

Adalah tekhnik operasi sederhana yang sering digunakan, terutama untuk hipospadia
tipe distal. Tipe distal ini meatusnya letak anterior atau yang middle. Meskipun sering
hasilnya kurang begitu bagus untuk kelainan yang berat. Sehingga banyak dokter
lebih memilih untuk melakukan 2 tahap. Untuk tipe hipospadia proksimal yang
disertai dengan kelainan yang jauh lebih berat, maka one stage urethroplasty nyaris
dapat dilakukan. Tipe hipospadia proksimal seringkali di ikuti dengan kelainan-
kelainan yang berat seperti korda yang berat, globuler glans yan bengkok kearah
ventral ( bawah ) dengan dorsal; skin hood dan propenil bifid scrotum. Intinya tipe
hipospadia yang letak lubang air seninya lebih kearah proksimal ( jauh dari tempat
semestinya ) biasanya diikuti dengan penis yang bengkok dan kelainan lain di
scrotum atau sisa kulit yang sulit di tarik pada saat dilakukan operasi pembuatan
uretra ( saluran kencing ). Kelainan yang seperti ini biasanya harus dilakukan 2 tahap.

b. Operasi Hipospadia 2 tahap


Tahap pertama operasi pelepasan chordee dan tunelling dilakukan untuk meluruskan
penis supaya posisi meatus ( lubang tempat keluar kencing ) nantinya letaknya lebih
proksimal ( lebih mendekati letak yang normal ), memobilisasi kulit dan preputium
untuk menutup bagian ventral/bawah penis. Tahap selanjutnya ( tahap kedua )
dilakukan uretroplasty ( pembuatan saluran kencing buatan/uretra ) sesudah 6 bulan.
Dokter akan menentukan tekhnik operasi yang terbaik. Satu tahap maupun dua tahap
dapat dilakukan sesuai dengan kelainan yang dialami oleh pasien.

BAB 3

ASUHAN KEPERAWATAN ANAK

HIPOSPADIA

3.1 PENGKAJIAN

1. Kaji biodata pasien

2. Kaji riwayat masa lalu: Antenatal, natal,

3. Kaji riwayat pengobatan ibu waktu hamil

4. Kaji keluhan utama

5. Kaji skala nyeri (post operasi)

PEMERIKSAAN FISIK

1. Inspeksi kelainan letak meatus uretra

2. Palpasi adanya distensi kandung kemih.

3.2 DIAGNOSA KEPERAWATAN

Pasien pre operasi

1. Manajemen regimen terapeutik tidak efektif berhubungan dengan pola


perawatan keluarga.

2. Perubahan eliminasi (retensi urin) berhubungan dengan obstruksi mekanik

3. Kecemasan berhubungan dengan akan dilakukan tindakan operasi baik


keluarga dan klien.

Pasien post operasi


1. Kesiapan dalam peningkatan manajemen regimen terapeutik berhubungan
dengan petunjuk aktivitas adekuat.

2. Nyeri berhubungan dengan post prosedur operasi

3. Resiko tingggi infeksi berhubungan dengan invasi kateter

4. Perubahan eliminasi urine berhibingan dengan trauma operasi

INTERVENSI

Diagnosa pre operasi

1. Diagnosa : Manajemen regimen terapeutik tidak efektif berhubungan dengan pola


perawatan keluarga.

Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 324 jam diharapkan


manajemen regimen terapeutik kembali efektif.

NOC : Family health status

Indikator :

1. Status imunisasi anggota kelurga

2. Kesehatan fisik anggota keluarga

3. Asupan makanan yang adekuat

4. Tidak adanya kekerasan anggota kelurga

5. Penggunaan perawatan kesehatan

Keterangan skala :

1 = Tidak pernah dilakukan

2 = Jarang dilakukan
3 = Kadang dilakukan

4 = Sering dilakukan

5 = Selalu dilakukan

NIC : Family mobilization

Intervensi :

1. Jadilah pendengar yang baik untuk anggota keluarga

2. Diskusikan kekuatan kelurga sebagai pendukung

3. Kaji pengaruh budaya keluarga

4. Monitor situasi kelurga

5. Ajarkan perawatan di rumah tentang terapi pasien

6. Kaji efek kebiasaan pasien untuk keluarga

7. Dukung kelurga dalam merencanakan dan melakukan terapi pasien dan


perubahan gaya hidup

8. Identifikasi perlindungan yang dapat digunakan kelurga dalam menjaga status


kesehatan.

2. Diagnosa : Perubahan eliminasi (retensi urin) berhubungan dengan obstruksi


mekanik

Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 324 jam diharapkan


retensi urin berkurang.

NOC : Pengawasan urin

Indikator :

1. Mengatakan keinginan untuk BAK

2. Menentukan pola BAK

3. Mengatakan dapat BAK dengan teratur

4. Waktu yang adekuat antara keinginan BAK dan mengeluarkan BAK ke toilet

5. Bebas dari kebocoran urin sebelum BAK

6. Mampu memulai dan mengakhiri aliran BAK

7. Mengesankan kandung kemih secara komplet


Keterangan skala :

1 = Tidak pernah menunjukan

2 = Jarang menunjukan

3 = Kadang menunjukan

4 = Sering menunjukan

5 = Selalu menunjukan

NIC : Perawatan retensi urin

Intervensi :

1. Melakukan pencapaian secara komperhensif jalan urin berfokus kepada


inkontinensia (ex: urin output, keinginan BAK yang paten, fungsi kognitif dan
masalah urin)

2. Menjaga privasi untuk eliminasi

3. Menggunakan kekuatan dari keinginan untuk BAK di toilet

4. Menyediakan waktu yang cukup untuk mengosongkan blader (10 menit)

5. Menyediakan perlak di kasur

6. Menggunakan manuver crede, jika dibutuhkan

7. Menganjurkan untuk mencegah konstipasi

8. Monitor intake dan output

9. Monitor distensi kandung kemih dengan papilasi dan perkusi

10. Berikan waktu berkemih dengan interval reguler, jika diperlukan.

3. Diagnosa : Kecemasan berhubungan dengan akan dilakukan tindakan operasi baik


keluarga dan klien.

Tujuan : Setelah dilakukan tindkan keperawatan selama 324 jam diharapkan


kecemasan pasien berkurang.

NOC : Kontrol ansietas

Indikator :

1. Tingkat kecemasan di batas normal

2. Mengetahui penyebab cemas

3. Mengetahui stimulus yang menyebabkan cemas

4. Informasi untuk mengurangi kecemasan

5. Strategi koping untuk situasi penuh stress


6. Hubungan sosial

7. Tidur adekuat

Keterangan skala :

1 = Tidak pernah menunjukan

2 = Jarang menunjukan

3 = Kadang menunjukan

4 = Sering menunjukan

5 = Selalu menunjukan

NIC : Pengurangan cemas

Intervensi :

1. Ciptakan suasana yang tenang

2. Sediakan informasi dengan memperhatikan diagnosa, tindakan dan prognosa,


dampingi pasien untuk meciptakan suasana aman dan mengurangi ketakutan

3. Dengarkan dengan penuh perhatian

4. Kuatkan kebiasaan yang mendukung

5. Ciptakan hubungan saling percaya

6. Identifikasi perubahan tingkatan kecemasan

7. Bantu pasien mengidentifikasi situasi yang menimbulkan kecemasan.

Diagnosa post operasi

1. Diagnosa : Kesiapan dalam peningkatan manajemen regimen terapeutik


berhubungan dengan petunjuk aktivitas adekuat.

Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 324 jam diharapkan


kesiapan peningkatan regimen terapeutik baik.

NOC : Family participation in profesioal care

Indikator :

1. Ikut serta dalam perencanaan perawatan

2. Ikut serta dalam menyediakan perawatan

3. Menyediakan informasi yang relefan

4. Kolaborasi dalam melakukan latihan

5. Evaluasi keefektifan perawatan

Keterangan skala :
1 = Tidak pernah menunjukan

2 = Jarang menunjukan

3 = Kadang menunjukan

4 = Sering menunjukan

5 = Selalu menunjukan

NIC : Family process maintenance

Intervensi :

1. Anjurkan kunjungan anggota keluarga jika perlu

2. Bantu keluarga dalam melakukan strategi menormalkan situasi

3. Bantu keluarga menemukan perawatan anak yang tepat

4. Identifikasi kebutuhan perawatan pasien di rumah dan bagaimana pengaruh


pada keluarga

5. Buat jadwal aktivitas perawatan pasien di rumah sesuai kondisi

6. Ajarkan keluarga untuk menjaga dan selalu menngawsi perkembangan status


kesehatan keluarga.

2. Diagnosa : Nyeri akut berhubungan dengan post prosedur operasi

Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 324 jam diharapkan nyeri
berkurang.

NOC 1 : Level nyeri

Indikator :

1. Melaporkan nyeri (frekuensi & lama)

2. Perubahan vital sign dalam batas normal

3. Memposisikan tubuh untuk melindungi nyeri

NOC 2 : Tingkat kenyamanan

Indikator :

1. Melaporkan kondisi fisik yang nyeman

2. Menunjukan ekspresi puas terhadap manajemen nyeri

NIC 1 : Manajemen nyeri

Intervensi :
1. Kaji secara komperhensif mengenai lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi,
kualitas, intensitas, dan faktor pencetus nyeri

2. Observasi keluhan nonverbal dari ketidaknyamanan

3. Ajarkan teknik nonfarmakologi (ralaksasi)

4. Bantu pasien & keluarga untuk mengontrol nyeri

5. Beri informasi tentang nyeri (penyebab, durasi, prosedur antisipasi nyeri)

NIC 2 : Monitor tanda vital

Intervensi :

1. Monitor TD, RR, nadi, suhu pasien

2. Monitor keabnormalan pola napas pasien

3. Identifikasi kemungkinan perubahan TTV

4. Monitor toleransi aktivitas pasien

5. Anjurkan untuk menurunkan stress dan banyak istirahat

3. Diagnosa : Resiko tingggi infeksi berhubungan dengan invasi kateter

Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 324 jam diharapkan tidak
terjadi infeksi.

NOC : Deteksi resiko

Indikator :

1. Mengidentifikasi faktor yang dapat menimbulkan resiko

2. Menjelaskan kembali tanda & gejala yang mengidentifikasi faktor resiko

3. Menggunakan sumber & pelayanan kesehatan untuk mendapat sumber


informasi

NIC : Kontrol infeksi

Intervensi :

1. Ajarkan pasien & kelurga cara mencucitangan yang benar

2. Ajarkan pada pasien & keluarga tanda gejala infeksi & kapan harus
melaporkan kepada petugas

3. Batasi pengunjung

4. Bersihkan lingkungan dengan benar setelah digunakan pasien


E. EVALUASI

Pre operasi

1. Diagnosa : Manajemen regimen terapeutik tidak efektif berhubungan dengan


pola perawatan keluarga.

Indikator : Skala

1. Status imunisasi anggota keluarga 5

2. Kesehatan fisik anggota keluarga 4

3. Asupan makanan yang adekuat 5

4. Tidak adanya kekerasan anggota kelurga 5

5. Penggunaan perawatan kesehatan 4

1. Diagnosa : Perubahan eliminasi (retensi urin) berhubungan dengan obstruksi


mekanik

Indikator :

1. Mengatakan keinginan untuk BAK 4

2. Menentukan pola BAK 4

3. Mengatakan dapat BAK dengan teratur 4

4. Waktu yang adekuat antara keinginan BAK dan mengeluarkan 4

5. Bebas dari kebocoran urin sebelum BAK 4

6. Mampu memulai dan mengakhiri aliran BAK 4

7. Mengesankan kandung kemih secara komplet 4

3. Diagnosa : Kecemasan berhubungan dengan akan dilakukan tindakan operasi baik


keluarga dan klien.

Indikator :

1. Tingkat kecemasan di batas normal 4

2. Mengetahui penyebab cemas 4

3. Mengetahui stimulus yang menyebabkan cemas 4

4. Informasi untuk mengurangi kecemasan 4

5. Strategi koping untuk situasi penuh stress 4


6. Hubungan sosial 4

7. Tidur adekuat 4

8. Respon cemas 4

Post operasi

1. Diagnosa : Kesiapan dalam peningkatan manajemen regimen terapeutik


berhubungan dengan petunjuk aktivitas adekuat.

Indikator :

1. Ikut serta dalam perencanaan perawatan 5

2. Ikut serta dalam menyediakan perawatan 5

3. Menyediakan informasi yang relefan 5

4. Kolaborasi dalam melakukan latihan 5

5. Evaluasi keefektifan perawatan 5

2. Diagnosa : Nyeri berhubungan dengan post prosedur operasi

Indikator :

1. Melaporkan nyeri (frekuensi & lama) 5

2. Perubahan vital sign dalam batas normal 5

(TD 120/80 mmHg; RR 22 x/mt; N 75x/mt; S 36,8C)

1. Memposisikan tubuh untuk melindungi nyeri 5

2. Melaporkan kondisi fisik yang nyeman 4

3. Menunjukan ekspresi puas terhadap manajemen nyeri 4

4. Mengungkap faktor pencetus nyeri 4

5. Menggunakan tetapi non farmakologi 4

6. Dapat menggunakan berbagai sumber untuk mengontrol nyeri 4

7. Melaporkan nyeri terkontrol 4

3. Diagnosa : Resiko tingggi infeksi berhubungan dengan invasi kateter

Indikator :

1. Mengidentifikasi faktor yang dapat menimbulkan resiko 4

2. Menjelaskan kembali tanda & gejala yang mengidentifikasi faktor resiko 4

3. Menggunakan sumber & pelayanan kesehatan untuk mendapat sumber


informasi 4
4. Membenarkan faktor resiko 4

5. Memonitor faktor resiko dari lingkungan 4

6. Memonitor perilaku yang dapat meningkatkan faktor resiko 4

7. Memonitor & mengungkapkan status kesehatan 4

8. Tidak menunjukan infeksi berulang 4

BAB IV

PENUTUP

Hipospadia adalah suatu keadaan dimana lubang uretra terdapat di penis bagian
bawah, bukan di ujung penis.
Hipospadia merupakan kelainan bawaan yang terjadi pada 3 diantara 1.000 bayi baru
lahir.
Beratnya hipospadia bervariasi, kebanyakan lubang uretra terletak di dekat ujung
penis, yaitu pada glans penis.
Bentuk hipospadia yang lebih berat terjadi jika lubang uretra terdapat di tengah
batang penis atau pada pangkal penis, dan kadang pada skrotum (kantung zakar) atau
di bawah skrotum. Kelainan ini seringkali berhubungan dengan kordi, yaitu suatu
jaringan fibrosa yang kencang, yang menyebabkan penis melengkung ke bawah pada
saat ereksi.
Gejalanya adalah:

1. Lubang penis tidak terdapat di ujung penis, tetapi berada di bawah atau di dasar
penis

2. Penis melengkung ke bawah

3. Penis tampak seperti berkerudung karena adanya kelainan pada kulit depan penis

4. Jika berkemih, anak harus duduk.


Diagnosis ditegakkan berdasarkan pemeriksaan fisik.
Jika hipospadia terdapat di pangkal penis, mungkin perlu dilakukan pemeriksaan
radiologis untuk memeriksa kelainan bawaan lainnya.
Bayi yang menderita hipospadia sebaiknya tidak disunat. Kulit depan penis dibiarkan
untuk digunakan pada pembedahan nanti.
Rangkaian pembedahan biasanya telah selesai dilakukan sebelum anak mulai sekolah.
Pada saat ini, perbaikan hipospadia dianjurkan dilakukan sebelum anak berumur 18
bulan.
Jika tidak diobati, mungkin akan terjadi kesulitan dalam pelatihan buang air pada
anak dan pada saat dewasa nanti, mungkin akan terjadi gangguan dalam melakukan
hubungan seksual.
DAFTAR PUSTAKA

Johnson, Marion dkk. (2000). Nursing outcomes classification (NOC). Mosby

Suriadi SKp, dkk. (2001). Asuhan keperawatan pada anak. Jakarta : Fajar
Interpratama

Mansjoer, Arif, dkk. (2000).Kapita Selekta Kedokteran. Jilid 2, Jakarta : Media


Aesculapius.

Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak FKUI. (1985). Buku Kuliah Ilmu Kesehatan
Anak. Jakarta : EGC

https://kumpulan0askep.wordpress.com/2011/06/02/askep-hipospadia/

Posted: Juni 2, 2011 in Keperawatan Anak

You might also like