You are on page 1of 11

Aswaja Menurut KH Hasyim Asy'ari dan KH Aqil Sirodj

ASWAJA MENURUT KH HASYIM ASYARI DAN


MENURUT KH SAID AQIL SIRODJ

I. Pendahuluan
Islam telah mengisaratkan adanya firqah-firqah yang akan terjadi dalam kehidupan
umat manusia, termasuk firqah dalam Islam. Setidaknya terdapat 14 hadits yang menjelaskan
hal tersebut, diantaranya hadits yang diriwayatkan oleh Al-Tirmidzi;Artinya; Dari Sufyan al-
Tsauri Nabi Saw. Bersabda:Sesungguhnya Bani Israil itu terpecah menjadi tujuh puluh
dua aliran, dan umatku akan terpecah menjadi tujuh puluh tiga aliran. Semua aliran itu
akan masuk neraka, kecuali satu. Para sahabat bertanya: Siapakah satu aliran itu ya
Rasulallah? (mereka itu adalah aliran yang mengikuti) apa yang aku lakukan dan para
sahabatku.(Ahli Sunnah wal Jamaah)

Dalam firqah-firqah tersebut semuanya akan celaka kecuali golongan yang


berkometmen melaksanakan segala amaliyah Nabi dan para sahabatnya. Lafadz M Ana
alaihi wa Ashhb disebut dengan Ahli Sunnah wal Jamaah, yang berarti penganut Sunnah
Nabi Muhammad dan Jamaah (sahabat-sahabatnya).1[1] Dalam hal ini pernyataan tersebut
hingga saat ini masih begitu aktual, karena masing-masing kelompok merasa sebagai ahlu
sunnah wal jamaah dan pantas sebagai kelompok yang masuk surga.
Aswaja adalah kepanjangan kata dari Ahlussunnah waljamaah. Ahlussunnah berarti
orang-orang yang menganut atau mengikuti sunnah Nabi Muhammad SAW, dan waljamaah
berarti mayoritas umat atau mayoritas sahabat Nabi Muhammad SAW. Jadi definisi
Ahlussunnah waljamaah yaitu; Orang-orang yang mengikuti sunnah Nabi Muhammad
SAW dan mayoritas sahabat (maa ana alaihi wa ashhabi), baik di dalam syariat (hukum
Islam) maupun akidah dan tasawuf.
Dalam konteks di Indonesia, Aswaja identik dengan golongan Islam Tradisional
atau lebih spesifik lagi golongan Nahdlatul Ulama (NU) yang secara konsisten telah
melaksanakan amaliyahnya berdasarkan tekstualitas hadits di atas. Disamping itu NU sebagai

1[1] Sirajuddin Abbas, Itiqad Ahlussunnah Wal Jama;ah, (Jakarta, Pustaka


Tarbiyah, 1983), hlm. 16.
penerus ajaran Aswaja yang telah dibawa oleh ajaran Wali Songo merupakan salah satu
golongan umat Islam tradisional yang terbesar bukan hanya di Indonesia melainkan terbesar
di dunia.
NU dalam mengusung Aswaja disamping karena sesuai dengan hadits juga secara
prinsipil termotivasi dengan dua faktor; a). Adanya ancaman Internasional, terjadinya
perebutan kekuasaan dari penguasa Mekkah Syarif Husain (yang moderat) direbut oleh Abd.
Al-Aziz ibn Saud (pengikut kaum Wahabi, pengikut sekte puritan yang paling dogmatis
dalam Islam yang terkenal keras dan mengancam keyakinan Islam Tradisional dalam
beribadah di tanah suci Mekkah. b). Adanya gerakan Serikat Islam (SI) dan Muhammadiyah
yang memiliki pemahaman berbeda dengan golongan Islam Tradisional, dan tidak bisa
membawa aspirasi Islam Tradisional dalam kancah Internasional (Mekkah), sehingga
terbentuklah komite Hijaz yang berlanjut dengan berdirinya Nahdlatoel Oelama di
Surabaya 31 Januari 1926.2[2]
Kalau ditelusuri secara mendalam, paham Aswaja sesungguhnya telah lama masuk ke
Indonesia bersamaan dengan masuknya Islam. Islam sendiri masuk ke Indonesia sejak zaman
Khulafaur Rasyidin tepatnya pada masa Khalifah Utsman bin Affan. Penyebaran Islam di
Indonesia masuk melalui dua jalur utama yaitu Jalur Selatan yang bermadzhab Syafii (Arab,
Yaman, India, Pakistan, Bangladesh, Malaka, Indonesia) dan Jalur Utara (Jalur Sutara) yang
bermadzhab Hanafi (Turki, persia, Kazakhstan, Uzbekistan, Afganistan, Cina, Malaka,
Indonesia).
Penyebaran Islam semakin berhasil, khususnya di Pulau Jawa sejak abad ke-13 oleh
Walisongo. Dari murid -murid Walisongo inilah kemudian secara turun temurun
menghasilkan ulam-ulama besar di wilayah Nusantara seperti Syaikhuna Kholil Bangkalan
(Madura), Syaikh Arsyad Al Banjari (Banjar, Kalimantan, Syaikh Yusuf Sulawesi, dan tak
ketinggalanan Hadratus Syaikh KH Hasyim Asyari yang nantinya sebagai pendiri utama
jamiyah Nahdlatul Ulama.
Telaah terhadap Ahlussunnah Wal Jamaah (Aswaja) sebagai bagaian dari kajian
keislaman merupakan upaya yang mendudukkan aswaja secara proporsional dan profesional,
bukannya semata-mata untuk mempertahankan sebuah aliran atau golongan tertentu yang
mungkin secara subyektif kita anggap baik karena rumusan dan konsep pemikiran teologis

2[2] Martin Van Bruinessen, NU, Tradisi, Relsi-relasi Kuasa, Pencarian Wacana
Baru, (Yogyakarta, LkiS, 1994), hlm. 31-32
yang diformulasikan oleh suatu aliran, sangat dipengaruhi oleh suatu problem teologis pada
masanya dan mempunyai sifat dan aktualisasinya tertentu.
Oleh sebab itulah, penulis tertarik untuk mengupas tentang pemahaman Aswaja dari
sudut pandang KH Hasyim Asyari dan dari sudut pandang KH Said Aqil Siradj dalam
sebuah makalah.

II. Rumusan Masalah


Dari latar belakang yang penulis uraikan di atas, dapat dikemukakan rumusan
masalahnya sebagai berikut:
1. Bagaimana pengertian dan Sejarah Perkembangan Aswaja?
2. Bagaimana Aswaja Menurut KH Hasyim Asyari dan KH Said Aqil Siroj?

III. Pembahasan
Dari rumusan masalah diatas, maka dalam pembahasan makalah ini akan terfokus pada:
1. Pengertian dan Sejarah Aswaja
Sebagaimana yang telah kita ketahui bersama bahwa Aswaja bukanlah sebuah paham
(mazhab) keagamaan, melainkan Aswaja adalah sebuah manhaj Al fikr (metode berpikir),
tapi tidak sedikit diantara kita khususnya kaum nahdhiyyin (kader NU) yang menganggap
bahwa Aswaja adalah sebuah mazhab dan idiologi yang QotI, sehingga tidak heran timbul
sebuah pertanyaan yang sedikit nyeleneh tetapi logis Mengapa Aswaja menghambat
perkembangan intelektual masyarakat? dampaknya adalah paradigma jumud (mandeg), kaku
dan eksklusif. Kalau kita pahami Aswaja adalah sebuah mazhab bagaimana mungkin dalam
satu mazhab kok mengandung beberapa mazhab dan bagaimana mungkin dalam satu ideologi
ada doktrin yang kontradiktif antara doktrin imam satu dengan imam yang lain.
a. Pengertian Aswaja
Ahlu sunnah waljamaah berasal dari kata Ahlun yang artinya keluarga, golongan atau
pengikut. Ahlussunnah berarti orang orang yang mengikuti sunnah (perkataan, pemikiran atau
amal perbuatan Nabi Muhammad SAW.) Sedangkan Wal Jamaah memiliki arti Mayoritas
ulama dan jamaah umat Islam pengikut sunnah Rasul. Dengan demikian secara
bahasa aswaja berarti orang-orang atau mayoritas para Ulama atau umat Islam yang
mengikuti sunnah Rasul dan para Sahabat atau para Ulama.
Sedangkan secara Istilah Berarti golongan umat Islam yang dalam bidang Tauhid
menganut pemikiran Imam Abu Hasan Al Asyari dan Abu Mansur Al Maturidi, sedangkan
dalam bidang ilmu fiqih menganut Imam Madzhab 4 (Hanafi, Maliki, Syafii, Hambali) serta
dalam bidang tasawuf menganut pada Imam Al Ghazali dan Imam Junaid al Baghdadi.
Nahdlatul Ulama sebagai Jamiyyah Diniyyah Islamiyyah berakidah Islam menurut faham
Ahlussunnah wal Jamah mengikuti salah satu madzhab empat : Hanafi, Maliki, Syafii dan
Hambali.3[3]
Dalam pengertian yang lebih sederhana dapat dikatakan bahwa ahlusunnah
waljamaah adalah paham yang dalam masalah aqidah mengikuti Imam Abu Musa Al Asyari
dan Abu Mansur Al Maturidi. Dalam praktek peribadatan mengikuti salah satu empat
madzhab yaitu madzhab Hanafi, Maliki, Syafii dan Hambali, dan dalam bertawasuf
mengikuti Imam Abu Qosim Al Junaidi dan Imam Abu Hamid Al Gozali.
Kalau kita mempelajari Ahlussunnah dengan sebenarnya, batasan seperti itu nampak
begitu simple dan sederhana, karena pengertian tersebut menciptakan definisi yang sangat
eksklusif Untuk mengkaji secara mendalam, terlebih dahulu harus kita tekankan bahwa
Ahlussunnah Waljamaah (Aswaja) sesungguhnya bukanlah madzhab, Aswaja hanyalah
sebuah manhaj Al fikr (cara berpikir) tertentu yang digariskan oleh para sahabat dan
muridnya, yaitu generasi tabiin yang memiliki intelektualitas tinggi dan relatif netral dalam
mensikapi situasi politik ketika itu. Meski demikian, bukan berarti dalam kedudukannya
sebagai Manhaj Al fikr sekalipun merupakan produk yang bersih dari realitas sosio-kultural
maupun sosio politik yang melingkupinya.
Salah satu karakter Aswaja adalah selalu bisa beradaptasi dengan situasi dan kondisi,
oleh karena itu Aswaja tidaklah jumud, tidak kaku, tidak eksklusif, dan juga tidak elitis, apa
lagi ekstrim. Sebaliknya Aswaja bisa berkembang dan sekaligus dimungkinkan bisa
mendobrak kemapanan yang sudah kondusif. Tentunya perubahan tersebut harus tetap
mengacu pada paradigma dan prinsip al-sholih wa al-ahslah.
Karena implementasi dari qaidah al-muhafadhoh ala qodim al-sholih wa al-akhdzu bi
al jadid alashlah. Adalah menyamakan langkah sesuai dengan kondisi yang berkembang
pada masa kini dan masa yang akan datang. Yakni pemekaran relevansi implementatif
pemikiran dan gerakan kongkrit ke dalam semua sektor dan bidang kehidupan baik, aqidah,
syariah, akhlaq, sosial budaya, ekonomi, politik, pendidikan dan lain sebagainya. Semua itu
dilakukan sebagaim wujud dari upaya untuk senantiasa melaksanakan ajaran Islam dengan
sungguh-sungguh.
b. Sejarah Perkembangan

3[3] Ali Khaidar, Nahdlatul Ulama dan Islam Indonesia; Pendekatan Fiqih dalam
Politik, (Jakarta: Gramedia, 1995), hlm. 69-70.
Istilah ahlussunnah waljamaah tidak dikenal di zaman Nabi Muhammad SAW
maupun di masa pemerintahan al-khulafa al-rasyidin, bahkan tidak dikenal di zaman
pemerintahan Bani Umayah (41-133 H /611-750 M). Terma Ahlus sunnah wal
jamaah sebetulnya merupakan diksi baru, atau sekurang-kurangnya tidak pernah digunakan
sebelumnya di masa Nabi dan pada periode Sahabat. 4[4] Bahkan bila dirunut dari catatan,
kata ini belum dipakai pada kurun masa tabiin (masa Sahabat) dan/atau tabiut tabiin (masa
sesudah periode tabiin).
Pada masa Al-Imam Abu Hasan Al-Asyari (w. 324 H) umpamanya, orang yang
disebut-sebut sebagai pelopor mazhab Ahlus sunnah wal jamaah itu, istilah ini belum
digunakan. Sebagai terminologi, Ahlus sunnah wal jamaah baru diperkenalkan hampir empat
ratus tahun pasca meninggalnya Nabi Saw, oleh para Ashab Asyari (pengikut Abu Hasan Al-
Asyari) seperti Al-Baqillani (w. 403 H), Al-Baghdadi (w. 429 H), Al-Juwaini (w. 478 H), Al-
Ghazali (w.505 H), Al-Syahrastani (w. 548 H), dan al-Razi (w. 606 H).
Memang jauh sebelum itu kata sunnah dan jamaah sudah lazim dipakai dalam
tulisan-tulisan arab, meski bukan sebagai terminologi dan bahkan sebagai sebutan bagi
sebuah mazhab keyakinan. Ini misalnya terlihat dalam surat-surat Al-Mamun kepada
gubernurnya Ishaq ibn Ibrahim pada tahun 218 H, sebelum Al-Asyari sendiri lahir,
tercantum kutipan kalimat wa nasabu anfusahum ilas sunnah (mereka mempertalikan diri
dengansunnah), dan kalimat ahlul haq wad din wal jamaah (ahli kebenaran, agama dan
jamaah)5[5].
Pemakaian Ahlus sunnah wal jamaah sebagai sebutan bagi kelompok keagamaan
justru diketahui lebih belakangan, sewaktu Az-Zabidi menyebutkan dalamIthaf Sadatul
Muttaqin, penjelasan atau syarah dari Ihya Ulumuddinnya Al-Ghazali:idza uthliqa uthliqa
ahlus sunnah fal muradu bihi al-asyairah wal maturidiyah (jika disebutkan ahlussunnah,
maka yang dimaksud adalah pengikut Al-Asyari dan Al-Maturidi).
Dari aliran ahlussunnah waljamaah atau disebut aliran sunni dibidang teologi
kemudian juga berkembang dalam bidang lain yang menjadi cirri khas aliran ini, baik
dibidang fiqh dan tasawuf. sehingga menjadi istilah, jika disebut akidah sunni (ahlussunnah

4[4] Said Aqil Siradj, Ahlussunnah wal Jamaah; Sebuah Kritik Historis, (Jakarta:
Pustaka Cendikia Muda, 2008), hlm. 6.

5[5] Harun Nasution, Teologi Islam; Aliran-Aliran, Sejarah Analisa Perbandingan,


(Jakarta: UI Pres, 2008), hlm. 65.
waljamaah) yang dimaksud adalah pengikut Asyaryah dan Maturidyah. Atau Fiqh Sunni,
yaitu pengikut madzhab yang empat ( Hanafi, Maliki, SyafiI dan Hanbali). Yang
menggunakan rujukan alquran, al-hadits, ijma dan qiyas. Atau juga Tasawuf Sunni, yang
dimaksud adalah pengikut metode tasawuf Abu Qashim Abdul Karim al-Qusyairi, Imam Al-
Hawi, Imam Al-Ghazali dan Imam Junaid al-Baghdadi. Yang memadukan antara syariat,
hakikat dan makrifaat.
Penyebaran dan pertumbuhan Islam di Nusantara terletak di pundak para Ulama.
Mereka membentuk kader-kader yang akan bertugas sebagai mubaligh ke daerah-daerah yang
lebih luas. Cara ini dilakukan di dalam lembaga-lembaga pendidikan Islam seperti pondok di
Jawa, dayah di Aceh, surau di Minangkabau. Dunia pemikiran Islam di Indonesia
bagaimanapun juga mempunyai akar pemikiran yang bersumber di pusat dunia Islam tersebut
sebelumnya.6[6]
Di Indonesia sendiri, cikal-bakal berdirinya perkumpulan para ulama kemudian
menjelma menjadi Nahdhatul Ulama (Kebangkitan Ulama) tidak terlepas dari sejarah
Khilafah. Ketika itu, tanggal 3 Maret 1924, Majelis Nasional yang bersidang di Ankara
mengambil keputusan, Khalifah telah berakhir tugas-tugasnya. Khilafah telah dihapuskan
karena Khilafah, pemerintahan dan republik, semuanya menjadi satu gabungan dalam
berbagai pengertian dan konsepnya.Keputusan tersebut mengguncang umat Islam di seluruh
dunia, termasuk di Indonesia.
Untuk merespon peristiwa itu, sebuah Komite Khilafah (Comite Chilafat) didirikan di
Surabaya tanggal 4 Oktober 1924 dengan ketua Wondosudirdjo (kemudian dikenal dengan
nama Wondoamiseno) dari Sarikat Islam dan wakil ketua KH A. Wahab Hasbullah dari
golongan tradisi (yang kemudian melahirkan NU). Tujuannya untuk membahas undangan
kongres Kekhilafahan di Kairo (Bandera Islam, 16 Oktober 1924). Kemudian pada Desember
1924 berlangsung Kongres al-Islam yang diselenggarakan oleh Komite Khilafah Pusat
(Centraal Comite Chilafat). Kongres memutuskan untuk mengirim delegasi ke Konferensi
Khilafah di Kairo untuk menyampaikan proposal Khilafah. Setelah itu, diadakan lagi
Kongres al-Islam di Yogyakarta pada 21-27 Agustus 1925.
Lahirnya NU sendiri, yang merupakan kelanjutan dari Komite Merembuk Hijaz, yang
tujuannya untuk melobi Ibnu Suud, penguasa Saudi saat itu, untuk mengakomodasi
pemahaman umat yang bermazhab, jelas tidak terlepas dari sejarah keruntuhan Khilafah. Ibnu

6[6] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Jaya, 2001),
hlm. 195-197.
Suud sendiri adalah pengganti Syarif Husain, penguasa Arab yang lebih dulu membelot dari
Khilafah Utsmaniyah. Jadi, secara historis lahirnya NU tidak terlepas dari persoalan Khilafah.
Di sisi lain, NU sejak kelahirannya tidak berpaham sekular dan tidak pula anti
formalisasi. Bahkan NU memandang formalisasi syariah menjadi sebuah kebutuhan. Hanya
saja, yang ditempuh NU dalam melakukan upaya formalisasi bukanlah cara-cara paksaan dan
kekerasan, tetapi menggunakan cara gradual yang mengarah pada penyadaran.
Hal ini karena sepak terjang NU senantiasa berpegang pada
kaidah fiqhiyah seperti: m l yudraku kulluh l yutraku kulluh (apa yang tidak bisa dicapai
semua janganlah kemudian meninggalkan semua); daral-mafsid muqaddamun ala jalb al
mashlih (mencegah kerusakan lebih didahulukan daripada mengambil kemaslahatan).
Sejarah NU menjadi bukti bahwa sejak kelahirannya NU justru concern pada perjuangan
formalisasi Islam.7[7]
Oleh sebab itulah tidak mengherankan jika kemudian NU bisa diterima umat Islam
Indonesia, bahkan bisa berkembang pesat menjadi salah satu paham terbesar yang dianut oleh
umat Islam terutama yang dianggap Islam tradisional.

2. Aswaja Menurut KH Hasyim Asyari dan KH Said Aqil Siroj


Adapun penjelasannya dari Aswaja menurut sudut pandang KH Hasyim Asyari dan
KH Said Aqil Siradj adalah sebagai berikut:
a. Aswaja Menurut KH Hasyim Asyari
KH. Hasyim Asyari, merupakan Rais Akbar Nahdlatul Ulama. Beliau
memberikan tashawur (gambaran) tentang ahlussunnah waljamaah
sebagaimana ditegaskan dalam al-qanun al-asasi, bahwa faham
ahlussunnah waljamaah versi Nahdlatul Ulama yaitu mengikuti Abu
Hasan al-asyari dan Abu Manshur al-Maturidi secara teologis, mengikuti
salah satu empat madzhab fiqh ( Hanafi, Maliki, Syafii dan Hanbali)
secara fiqhiyah, dan bertashawuf sebagaimana yang difahami oleh Imam
al-Ghazali atau Imam Junaid al-Baghdadi.

7[7] Ainul, Yaqin, Warga NU, Aktivis Lembaga Kajian Islam Hanif (L-
Jihan) Sidogiri.com
Penjelasan KH. Hasyim Asyari tentang ahlussunnah waljamaah
versi Nahdlatul Ulama dapat difahami sebagai berikut:
1. Penjelasan aswaja KH Hasyim Asyari, jangan dilihat dari pandangan tarif
menurut ilmu Manthiq yang harus jami wa mani ( ) tapi itu
merupakan gambaran ( )yang akan lebih mudah kepada masyarakat
untuk bisa mendaptkan pembenaran dan pemahaman secara jelas (
). Karena secara definitif tentang ahlussunnah waljamaah para ulama
berbeda secara redaksional tapi muaranya sama yaitu maa ana alaihi wa
ashabii.
2. Penjelasan aswaja versi KH. Hasyim Asyari, merupakan implimentasi dari
sejarah berdirinya kelompok ahlussunnah waljamaah sejak masa
pemerintahan Abbasiyah yang kemudian terakumulasi menjadi firqah
yang berteologi Asyariyah dan Maturidiyah, berfiqh madzhab yang empat
dan bertashuwf al-Ghazali dan Junai al-Baghdadi
3. Merupakan Perlawanan terhadap gerakan wahabiyah (islam modernis)
di Indonesia waktu itu yang mengumandangkan konsep kembali kepada al-
quran dan as-sunnah, dalam arti anti madzhab, anti taqlid, dan anti TBC.
( tahayyul, bidah dan khurafaat). Sehingga dari penjelasan aswaja versi
NU dapat difahami bahwa untuk memahami al-quran dan As-sunnah
perlu penafsiran para Ulama yang memang ahlinya. Karena sedikit sekali
kaum m uslimin mampu berijtihad, bahkan kebanyakan mereka itu
muqallid atau muttabi baik mengakui atau tidak.8[8]
Untuk menegaskan prinsip dasar organisasi ini, maka KH. Hasyim Asyari
merumuskan kitab Qanun Asasi (prinsip dasar), kemudian juga merumuskan kitab Itiqad
Ahlussunnah wal Jamaah. Kedua kitab tersebut, kemudian diejawantahkan dalam Khittah
NU, yang dijadikan dasar dan rujukan sebagai warga NU dalam berpikir dan bertindak dalam
bidang sosial, keagamaan dan po1itik.
Khusus Untuk membentengi keyakinan warga NU agar tidak terkontaminasi oleh
paham-paham sesat yang dikampanyekan oleh kalangan modernis, KH Hasyim Asy'ari
menulis kitab risalah ahlusunah waljamaah yang secara khusus menjelaskan soal bidah dan
sunah. Sikap lentur NU sebagai titik pertemuan pemahaman akidah, fikih, dan tasawuf versi

8[8] KH. Hasyim Asyari, Al-Qanun Al-Asasi; Risalah Ahlus Sunnah Wal
Jamaah,terjemah oleh Zainul Hakim, (Jember: Darus Sholah, 2006).
ahlusunah waljamaah telah berhasil memproduksi pemikiran keagamaan yang fleksibel,
mapan, dan mudah diamalkan pengikutnya.9[9]
Dalam perkembangannya kemudian para Ulama NU di Indonesia menganggap
bahwa Aswaja yang diajarkan oleh KH Hasyim Asyari sebagai upaya pembakuan atau
menginstitusikan prinsip-prinsip tawasuth (moderat), tasamuh (toleran) dan tawazzun
(seimbang) serta taaddul (Keadilan). Prinsip-prinsip tersebut merupakan landasan dasar
dalam mengimplimentasikan Aswaja.

b. Aswaja Menurut KH Said Aqil Siroj

Seiring dengan derasnya perkembangan ilmu pengetahuan dalam berbagai bidang


menuntut kita agar terus memacu diri mengkaji Ahlussunah Wal Jamaah dari berbagai
aspeknya, agar warga nahdliyin dapat memahami dan memperdalam, menghayati dan
mengejawantahkan warisan ulama al salaf al salih yang berserakan dalam tumpukan kutub al
turast.10[10]
Nahdlatul Ulama dalam menjalankan paham ahlusunah waljamaah pada dasarnya
menganut lima prinsip. Yakni, at-Tawazun (keseimbangan), at-Tasamuh (toleran), at-
Tawasuth (moderat), at-Ta'adul (patuh pada hukum), dan amar makruf nahi mungkar. Dalam
masalah sikap toleran pernah dicontohkan oleh pendiri NU KH Hasyim Asy'ari saat muncul
perdebatan tentang perlunya negara Islam atau tidak di Indonesia. Kakek mantan Presiden
Abdurrahman Wahid itu mengatakan, selama umat Islam diakui keberadaan dan
peribadatannya, negara Islam atau bukan, tidak menjadi soal. Sebab, negara Islam bukan
persoalan final dan masih menjadi perdebatan11[11]
Lain dengan para Ulama NU di Indonesia yang menganggap Aswaja sebagai upaya
pembakuan atau menginstitusikan prinsip-prinsip tawasuth (moderat), tasamuh (toleran) dan
tawazzun (seimbang) serta taaddul (Keadilan). Maka Said Aqil Shiroj dalam
mereformulasikan Aswaja adalah sebagai metode berfikir (manhaj al-fikr) keagamaan yang
mencakup semua aspek kehidupan yang berdasarkan atas dasar modernisasi, menjaga

9[9] Marwan Jafar, Ahlussunnah Wal Jamaah; Telaah Historis dan Kontekstual,
(Yogyakarta: LKiS, 2010), Cet. Pertama, hlm. 81.

10[10] Said Aqil Siraj dalam Muhammad Idrus Ramli, Pengantar Sejarah
Ahlussunah Wal Jamaah (Jakarta: Khalista, 2011).

11[11] Marwan Jafar, Op.cit, hlm. 81.


keseimbangan dan toleransi, tidak lain dan tidak bukan adalah dalam rangka memberikan
warna baru terhadap cetak biru (blue print) yang sudah mulai tidak menarik lagi dihadapan
dunia modern.
Hal yang mendasari imunitas (daya tahan) keberadaan paham Ahlus sunnah wal
jamaah adalah sebagaimana dikutip oleh Said Aqil Siradj, bahwa Ahlus sunnah wal
jamaah adalah Ahlu minhajil fikri ad-dini al-musytamili ala syuuunil hayati wa
muqtadhayatiha al-qaimi ala asasit tawassuthu wat tawazzuni wat taadduli wat tasamuh,
atau orang-orang yang memiliki metode berfikir keagamaan yang mencakup semua aspek
kehidupan yang berlandaskan atas dasar-dasar moderasi, menjaga keseimbangan dan
toleransi.12[12]
Prinsip dasar yang menjadi ciri khas paham Ahlus sunnah wal
jamaah adalah tawassuth, tawazzun wat taadul, dan tasamuh; moderat, seimbang dan netral,
serta toleran. Sikap pertengahan seperti inilah yang dinilai paling selamat, selain bahwa Allah
telah menjelaskan bahwa umat Nabi Muhammad adalahummat wasath, umat pertengahan
yang adil (QS. Al-Baqarah : 143).
Harus diakui bahwa pandangan Said Aqil Siradj tentang Aswaja yang dijadikan
sebagai manhaj al fikr memang banyak mendapatkan tentangan dari berbagai pihak. Apalagi
sejak kyai Said mengeluarkan karyanya yang berjudul Ahlussunnah wal Jamaah; Sebuah
Kritik Historis.
Meskipun banyak sekali yang menentang pemikiran Said Aqil Sirodj dalam
memahami Aswaja dalam konteks saat ini, akan tetapi harus diakui bahwa paradigma yang
digunakan Said Aqil Siradj dalam menafsiri Aswaja patut untuk dihormati. Karena yang
dilakukan merupakan wujud tafsir dalam memahami Aswaja di era Globalisasi.

IV. Penutup
Dari pembahasan diatas, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
1. Ahlu sunnah waljamaah berasal dari kata Ahlun yang artinya keluarga, golongan atau
pengikut. Ahlussunnah berarti orang orang yang mengikuti sunnah (perkataan, pemikiran atau
amal perbuatan Nabi Muhammad SAW.) Sedangkan Wal Jamaah memiliki arti Mayoritas
ulama dan jamaah umat Islam pengikut sunnah Rasul. Aswaja berarti orang-orang atau

12[12] Said Aqil Siraj, Op.cit, hlm. 8.


mayoritas para Ulama atau umat Islam yang mengikuti sunnah Rasul dan para Sahabat atau
para Ulama.
2. Aswaja menurut:
a. KH. Hasyim Asyari adalah suatu paham berteologi Asyariyah dan Maturidiyah,
berfiqh madzhab yang empat (Hanafi, Maliki, SyafiI, dan Hambali) dan
bertashuwf al-Ghazali dan Junaid al-Baghdadi. Selain itu dalam
mengimplementasikan Aswaja adalah dengan prinsip at-Tawazun
(keseimbangan), at-Tasamuh (toleran), at-Tawasuth (moderat), at-Ta'adul (patuh pada
hokum/adil), dan amar makruf nahi mungkar.
b. KH. Said Aqil Siradj memandang Aswaja adalah sebagai Manhaj al Fikr (landasan berpikir).
Dalam hal inilah Aswaja dapat dipahami sebagai sesuatu yang bisa ditafsiri secara kontekstual
dan lebih modern.

Demikian makalah ini kami susun, penulis yakin bahwa masih banyak kekurangan dalam
penyusunan makalah ini. Oleh sebab itulah kritik dan saran senantiasa kami nantikan demi
perbaikan pada penyusunan makalah yang lain. Dan semoga makalah ini bermanfaat, amien.

You might also like