You are on page 1of 11

By : Johanis Kerangan, S.Kep., Ns, M.

Kep
ESSAY
Pentingnya Basic Life Support Training terhadap peran serta mahasiswa keperawatan
dalam menghadapi kondisi gawat darurat; implikasi dalam kurikulum Keperawatan
Gawat Darurat pada tingkat awal.

A. Latar belakang

Kondisi kegawatdaruratan dapat terjadi dimana saja, dan kapan saja. Sudah menjadi
tugas petugas kesehatan untuk menangani masalah tersebut. walaupun begitu, tidak
menutup kemungkinan kondisi kegawat daruratan dapat terjadi pada area yang sulit
dijangkau oleh petugas kesehatan, maka pada kondisi tersebut, peran serta masyarakat
untuk membantu korban sebelum ditemukan oleh petugas kesehatan menjadi sangat
penting (Sudiharto dan Sartono, 2011). Oleh karena itu banyak negara negara yang
telah melibatkan masyarakatnya yaitu orang awam dan para siswa siswi terutama pada
sekolah kesehatan melalui pelatihan bantuan hidup dan mengimplikasikan kedalam
kurikulum pendidikan kesehatan pada tingkat awal. Sehingga diharapkan mereka dapat
berperan serta aktif dalam penanganan kondisi gawat darurat.
Namun di Indonesia sekarang ini, belum secara optimal menerapkan program
pelatihan bantuan hidup kepada masyarakat awam sehingga mereka kurang berpartisipasi
dalam penanganan kondisi gawat darurat. Sebagian besar sekolah sekolah kesehatan di
Indonesia juga, mengimplikasikan program pelatihan bantuan hidup kedalam kurikulum
pendidikan pada tingkat akhir atau pada saat mahasiswa mahasiswi tersebut akan
magang di rumah sakit. Sehingga mahasiswa mahasiswi kesehatan tersebut tidak dapat
berperan serta pada saat menghadapi korban gawat darurat karena belum memiliki
pengetahuan dan keterampilan dalam memberikan bantuan hidup dasar pada korban
gawat darurat.
Kecelakaan lalu lintas di Indonesia, merupakan penyebab kematian ketiga terbesar
setelah penyakit jantung dan TBC. Hal ini disebabkan karena laju pertumbuhan penduduk
dan perkembangan ekonomi yang tinggi sehingga menyebabkan pertambahan kendaraan
di jalan raya. (WHO, 2011). jumlah kematian akibat kecelakaan lalu lintas mencapai
27.441 jiwa, dengan potensi kerugian sosial ekonomi mencapai Rp. 203 triliun hingga
Rp. 217 triliun per tahun (2,9% 3,1 %) dari Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia.
Sebanyak 67% korban kecelakaan lalu lintas berada pada usia produktif 22 50 tahun,
dan didominasi kecelakaan lalu lintas sepeda motor yang mencapai 120.226 kali atau
72% dalam setahun (data POLRI 2012 dalam Surat Kabar Suara Pembaruan 5 Maret
2013).
Melihat betapa besarnya potensi peran serta masyarakat, khususnya Mahasiswa
mahasiswi keperawatan, maka penulis tertarik untuk mengangkat masalah tentang
pentingnya Basic Life Support Training terhadap peran serta mahasiswa keperawatan
dalam menghadapi kondisi gawat darurat; implikasi Basic Life Support Training dalam
kurikulum keperawatan gawat darurat di tingkat awal.

B. Literature review

Menurut Sudiharto dan Sartono (2011), Bantuan Hidup Dasar merupakan bagian dari
pengelolaan gawat darurat medik yang bertujuan :
1. Mencegah berhentinya sirkulasi atau berhentinya respirasi.
2. Memberikan bantuan eksternal terhadap sirkulasi dan ventilasi dari korban yang
mengalami henti jantung atau henti napas melalui Resusitasi Jantung Paru (RJP).
Pemberian Resusitasi Jantung Paru harus dilaksanakan dengan cermat. Resusitasi
Jantung Paru terdiri dari 2 tahap yaitu : Survei primer (Primary Survey), yang dapat
dilakukan oleh setiap orang seperti menilai Circulation (Sirkulasi), Airway (Jalan napas),
dan Breathing (Bantuan pernapasan), dan survei sekunder (Secondary Survey), yang
hanya dapat dilakukan oleh tenaga medis dan perawat terlatih yang merupakan lanjutan
dari survei primer (Sudiharto dan Sartono, 2011).
Menurut Suharsono dan Ningsih (2012), mengatakan Resusitasi Jantung Paru (RJP)
merupakan salah satu rangkaian tindakan penyelamatan nyawa untuk meningkatkan
angka kelangsungan pasien henti jantung mendadak. Teknik Resusitasi Jantung Paru
dilakukan dengan cara mengkombinasikan antara kompresi dada dan napas buatan untuk
memberikan oksigen yang diperlukan bagi kelangsungan fungsi sel tubuh. Metode ini
dilakukan untuk mempertahankan fungsi sirkulasi selama terjadi henti jantung. Saat henti
jantung terjadi, jantung berhenti berdenyut dan sirkulasi darah berhenti. Jika sirkulasi
tidak segera berfungsi kembali, kematian organ organ tubuh akan mulai terjadi. Organ
tubuh yang paling sensitif adalah otak, yang akan mengalami kerusakan secara permanen
dan ireversibel jika tidak ada sirkulasi kembali dalam 4 6 menit. RJP yang dilakukan
secara dini dan efektif dapat membantu untuk mempertahankan dan mengambil alih
fungsi sirkulasi ke organ organ penting seperti otak dan jantung sehingga korban dapat
bertahan hidup (Suharsono dan Ningsih, 2012).
Berbagai upaya telah dilakukan untuk optimalisasi RJP di berbagai Setting (di dalam
dan di rumah sakit), mulai dari penolong, korban, dan ketersediaan sumber daya tetapi
sampai saat ini yang masih menjadi masalah mendasar adalah bagaimana melakukan
resusitasi jantung paru segera dan efektif? pengenalan tanda- tanda terjadinya henti
jantung dan tindakan awal yang tepat oleh penolong perlu disebarluaskan pada
masyarakat awam. American Heart Association tahun 2010 dalam guidelines for CPR
and ECC, menempatkan pengenalan henti jantung dan tindakan yang tepat oleh penolong
pertama sebagai prioritas yang sangat penting (Suharsono dan Ningsih, 2012).
Penelitian yang dilakukan oleh Pillow, dkk (2013) mengatakan Basic Life Support
(BLS), Advanced Cardiac Life Support (ACLS), dan Pediatric Advanced Life Support
(PALS) merupakan bagian integral dari perawatan resusitatif gawat darurat. Meskipun
pelatihan ini biasanya disediakan untuk resident, pengenalan pelatihan dalam kurikulum
mahasiswa medis dapat meningkatkan perolehan dan mempertahankan keterampilan ini.
Objektif: Kami mengembangkan survei untuk menandai persepsi dan kebutuhan lulusan
mahasiswa kedokteran tentang pelatihan BLS, ACLS, dan PALS. Metode : penelitian ini
merupakan studi kelulusan 4 tahun pada mahasiswa kedokteran di sebuah sekolah
kedokteran di Amerika Serikat. Para mahasiswa yang di survei sebelum berpartisipasi
dalam kursus ACLS pada bulan maret di tahun terakhir mereka. Hasil : dari 152
mahasiswa, 109 (71.7 %) selesai melaksanakan survei, 48.6 % dari mahasiswa yang
masuk sekolah kedokteran tanpa pelatihan sebelumnya dan 47.7 % memulai praktek
klinik tanpa pelatihan. 83.4 % dari mahasiswa melaporkan hanya menyaksikan rata
rata 3.0 pada kasus serangan jantung di rumah sakit selama pelatihan (range 0 - 20).
Secara keseluruhan, mahasiswa dinilai dari kesiapan mereka 2.0 (SD 1.0) untuk
resusitasi pada orang dewasa dan 1.7 (SD 0.9) untuk resusitasi pediatrik pada skala
Likert 1-5 dengan 1 yang tidak siap. Sebanyak 36.8 % mahasiswa menghindari ikut serta
dalam tindakan resusitasi karena kurangnya pelatihan. 98.2 %, 91.7 %, dan 64.2 % dari
mahasiswa yakin bahwa masing- masing pelatihan BLS, ACLS, PALS seharusnya
dimasukkan dalam kurikulum mahasiswa kedokteran.
Sertifikat untuk BLS, ACLS, dan PALS ini sangat bervariasi, dan diharapkan para
dokter akan mempertahankan kepercayaan mereka yang ada di rumah sakit. Di rumah
sakit pelatihan Amerika Serikat, mahasiswa medis merupakan suatu yang penting dan
menjadi komponen dalam tim medis.terkait kasus serangan jantung didalam maupun
diluar rumah sakit, mahasiswa medis memiliki potensi untuk membantu dalam resusitasi
sebagai responden pertama, dan terkadang hal ini adalah yang pertama kali dalam
menghadapi kasus serangan jantung, serta mereka belajar tindakan resusitasi dari apa
yang mereka lihat dimana mereka berperan serta. Pada saat itu, pelatihan BLS, ACLS,
PALS tidak terintegrasi dalam kurikulum. Apa studi ini menunjukkan bahwa mahasiswa
medis yang datang di sekolah kedokteran dengan sedikit pelatihan BLS dan bahkan
hampir tidak ada pelatihan ACLS atau PALS sebelumnya. Sebagian besar mahasiswa
medis akan melihat pasien cardiac arrest selama mereka praktek klinik. Mahasiswa
medis merasa tidak ada persiapan untuk memulai resusitasi dan seringkali tidak
berpartisipasi dalam usaha resusitasi karena kurangnya pelatihan. Sebaliknya, disana
besar presentasi bagi mahasiswa untuk berpartisipasi dalam resusitasi tanpa pelatihan
sebelumnya. Akhirnya sebagian besar mahasiswa medis di institusi kita percaya bahwa
BLS, ACLS, dan PALS seharusnya menjadi komponen yang terintegrasi dalam
pendidikan sekolah medis mereka. Penemuan dari artikel ini menggemakan hasil
penelitian lain di bidang ini. Mereka sangat menyarankan bahwa pelatihan bantuan hidup
seharusnya menjadi komponen yang terintegrasi dalam kurikulum sekolah medis.
Pelatihan mahasiswa medis akan memiliki peranan yang bermanfaat dalam pendidikan
mereka sehingga memungkinkan mereka belajar dari setiap kasus serangan jantung
selama pelatihan, dan membantu mereka menguasai kemampuan resusitasi sebelumnya
untuk menjadi dokter resident yang sering membawa upaya tindakan resusitasi. Dan
yang terpenting dari pelatihan mahasiswa medis ini dapat meningkatkan pelayanan
pasien Sudden Cardiac Arrest di dalam maupun di luar rumah sakit dengan
memberdayakan mahasiswa medis dengan kemampuan dan pengetahuan untuk memulai
CPR dan upaya resusitasi ketika mereka menghadapi pasein Cardiac Arrest.

Untuk diketahui, ini adalah salah satu dari studi pertama untuk persepsi dan
kebutuhan untuk pelatihan BLS, ACLS, dan PALS di sekolah sekolah medis di
Amerika Serikat. Mahasiswa merasa bahwa pelatihan bantuan hidup diperlukan dalam
kurikulum mereka dan mungkin akan meningkatkan tingkat kenyamanan dan kemauan
untuk berpartisipasi dalam tindakan resusitasi. Banyak mahasiswa yang terpapar dalam
kesempatan untuk berpartisipasi dalam tindakan resusitasi, dan sebagian besar mereka
tidak berpartisipasi karena kurangnya pelatihan sebelumnya.

Pertanyaan berikutnya bagaimana menyelidiki cara terbaik dalam mengintegrasikan


pelatihan BLS, ACLS, dan PALS ke dalam kurikulum. Menurut pengamatan banyak
sekolah medis yang mengajarkan pelatihan ACLS di tahun ke empat, dan sejumlah besar
hanya memerlukan pelatihan sebelum memulai tahun magang. Mahasiswa mungkin
dapat meningkatkan penguasaan konsep dan algoritma sebelum memulai tahun magang
dengan memasukkan pelatihan BLS, ACLS, dan PALS diawal kurikulum seperti
sebelum clerkship klinis. Hal ini kemudian akan diikuti dalam melihat prospektif
partisipasi mahasiswa dalam tindakan resusitasi setelah pelaksanaan pelatihan
sebelumnya untuk menelusuri apakah mahasiswa benar benar berpartisipasi lebih atau
terus menunda untuk menjadi pengamat. (M.T. Pillow et al., 2013)

Penelitian yang dilakukan juga oleh P.R. Harvey, dkk (2012) mengatakan bahwah
Basic Life Support menjadi tahap awal dalam mengajarkan mahasiswa kesehatan tentang
resusitasi pada pasien sakit akut. Ini tetap menjadi keterampilan inti bagi mahasiswa dan
lulusan penyedia layanan kesehatan khususnya instruktur intensif. Di Birmingham model
peer- led telah berkembang lebih dari 15 tahun untuk memberikan pelatihan praktis yang
tidak dapat disampaikan oleh yang lain, dan standar paling tidak setara dengan yang
disediakan oleh staf senior juga memiliki reliabilitas yang lebih besar dan biayanya jauh
lebih rendah. Program ini diakui oleh General Medical Council (GMC) sebagai contoh
yang inovatif dalam pengembangan kurikulum, memberikan kontribusi bagi pendidikan
mahasiswa akademik dan non akademik. Dalam tinjauan literatur yang sama mendukung
penggunaan peer-teaching dalam konteks tertentu, yang menyatakan bahwa ini paling
tidak setara dengan pengajaran konvensional dari fakultas dengan manfaat tambahan
dalam hal pengembangan profesional dari instruktur mahasiswa dan pemeriksa. Hasil
jangka panjang dari peer-led teaching, bermanfaat atau tidak, belum diketahui. Penelitian
lanjutan harus memeriksa masalah ini, khususnya pengembangan karir profesional dari
peer instructors selanjutnya. (P.R. Harvey, dkk ,2012)

Penelitian dari Qi Li, dkk (2013) mengatakan dalam memberikan pelatihan BLS
pada mahasiswa kedokteran perlu adanya evaluasi pra pelatihan dan umpan balik dari
mahasiswa. Evaluasi pra pelatihan dan umpan balik ini telah terbukti meningkatkan
perolehan keterampilan mahasiswa kedokteran segera setelah pelatihan Basic Life
Support (BLS) diberikan. Pengaruh dari pelatihan tersebut dalam mempertahankan
keterampilan BLS masih belum diketahui. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui
pengaruh dari evaluasi pra pelatihan dan umpan balik dalam mempertahankan
keterampilan BLS pada mahasiswa kedokteran. Metode : 330 mahasiswa kedokteran
tahun ketiga diambil secara acak menjadi 2 kelompok, kelompok kontrol (kelompok C),
dan kelompok evaluasi pra pelatihan dan umpan balik (kelompok EF). Setiap kelompok
dibagi lagi menjadi 4 kelompok sesuai dengan waktu retention-test (pada bulan 1,3,6,12
setelah pelatihan). Setelah 45 menit pelatihan BLS, keterampilan BLS dinilai (evaluasi
pra pelatihan) pada kedua kelompok sebelum pelatihan. Setelah itu, kelompok C
menerima pelatihan 45 menit. 15 menit umpan balik dari kelompok sesuai dengan
kemampuan dalam evaluasi pra pelatihan itu hanya diberikan pada kelompok EF yang
diikuti dengan pelatihan BLS selama 30 menit. Keterampilan BLS dinilai segera setelah
pelatihan (post-test) dan di follow up (retention-test). Hasil : tidak ada perbedaan
keterampilan yang diamati antara kedua kelompok dalam evaluasi pra pelatihan.
Perolehan keterampilan yang lebih baik diamati pada kelompok EF (85.3 7.3 vs 68.1
12.2 di kelompok C) pada post-test (p <0.0001) . secara keseluruhan retention-test,
dalam mempertahankan keterampilan yang lebih baik diamati pada setiap sub kelompok
EF dibandingkan dipasangkan dengan sub kelompok C. Kesimpulan: evaluasi pra
pelatihan dan umpan balik terjadi peningkatan dalam mempertahankan keterampilan
pada kelompok EF selama 12 bulan setelah pelatihan awal dibandingkan dengan
kelompok kontrol. (Qi Li, dkk, 2013)

Penelitian dari Andreas Bohn,dkk (2013) mengatakan serangan jantung mendadak


merupakan salah satu penyebab kematian paling sering di Eropa yang dapat dicegah.
Meskipun kehadiran bystanders lebih dari setengah dalam kasus serangan jantung,
namun tindakan resusitasi oleh bystander awam hanya terjadi kira kira 20 %. Salah
satu cara untuk meningkatkan laju tindakan resusitasi oleh awam adalah dengan
menawarkan tindakan resusitasi kedalam subjek di sekolah. Hal ini dapat di
implementasikan sebagai subjek mandiri pada usia anak anak dan kemampuan fisiknya
di sekolah. Pelatihan resusitasi sesuai dengan tahap perkembangan anak disini sangat
bermanfaat.Semakin rendah usia dimana pendidikan diperkenalkan maka pelatihan
tersebut akan lebih berkelanjutan.

Kurikulum di seluruh Eropa saat ini kurang terstandar. Pelatihan resusitasi harus
dilakukan secara efektif di sekolah sekolah dari tingkat dasar sampai lulus pada tingkat
atas. Setiap bentuk pelatihan pertolongan pertama juga meningkatkan keterampilan sosial
anak-anak. Pelatihan dalam berbagai keterampilan dapat diberikan sesuai dengan umur
anak. Mulai dari usia 4 tahun, anak-anak (dari TK sampai SD) dapat belajar elemen
penting seperti bagaimana mengenali serangan jantung dan bagaimana cara menelepon
untuk keadaan darurat. Murid yang lebih tua mendapat tambahan belajar bagaimana
melaksanakan kompresi dada. Isi tersebut dapat diperluas secara bertahap dengan
memasukkan instruksi tentang isntruksi penggunaan alat AED dan pelatihan bantuan
pernapasan. Meskipun metode belajar efektif belum di perjelas, namun data pelatihan
setiap tahunnya menunjukkan bahwa dengan kombinasi teori dan praktek yang diberikan
oleh guru yang terlatih, sudah cukup untuk anak anak sekolah. Terlepas dari metode
pengajaran yang dipilih dan pegawai serta peralatan teknis yang tersedia, pengadaaan
resusitasi sebagai subjek di sekolah dapat sangat dianjurkan. Namun, pelatihan praktek
ini penting untuk dilakukan kegiatan penyegaran rutin. Ini nampaknya sulit bagaimana
mendapatkan kesepakatan dari seluruh dunia tentang resusitasi beserta pedoman cara
mengimplementasikannya. Tanpa kurikulum internasional juga hal ini tetap tersedia
untuk mengajarkan tindakan resusitasi untuk anak sekolah. Komunitas resusitasi
internasional perlu merumuskan kesepakatan program pelatihan resusitasi untuk anak
sekolah. Kita perlu menggunakan tekanan politik untuk melaksanakan ini pada tingkat
nasional dengan maksud promosi kesehatan dan pencegahan. Masalah keuangan perlu
segera diklarifikasi terkait dengan manfaat kesehatan bagi masyarakat. Hal ini
seharusnya tidak lagi menghalangi pencegahan hingga 100.000 kasus serangan jantung
mendadak per tahun di Eropa. Oleh karena itu penulis mendukung pelaksanaan resusitasi
secara universal sebagai subjek sekolah di seluruh Eropa. (Andreas Bohn,dkk 2013)

C. Pembahasan
Berdasarkan beberapa literatur yang dipaparkan diatas, menjelaskan bahwa
pengetahuan dan keterampilan tentang pemberian bantuan hidup pada korban yang
mengalami kegawatdaruratan jantung menjadi sangat penting karena hal ini dapat
menekan tingginya angka kematian akibat gawat jantung.

Seperti yang dijelaskan dalam penelitian dari (M.T. Pillow et al., 2013) yaitu
mahasiswa medis merupakan suatu yang penting dan menjadi komponen dalam tim
medis.Terkait kasus serangan jantung didalam maupun diluar rumah sakit, mahasiswa
medis memiliki potensi untuk membantu dalam resusitasi sebagai responden pertama,
dan terkadang hal ini adalah yang pertama kali dalam menghadapi kasus serangan
jantung, serta mereka belajar tindakan resusitasi dari apa yang mereka lihat dimana
mereka berperan serta. Pada saat itu, pelatihan BLS, ACLS, PALS tidak terintegrasi
dalam kurikulum. Apa studi ini menunjukkan bahwa mahasiswa medis yang datang di
sekolah kedokteran dengan sedikit pelatihan BLS dan bahkan hampir tidak ada pelatihan
ACLS atau PALS sebelumnya. Sebagian besar mahasiswa medis akan melihat pasien
cardiac arrest selama mereka praktek klinik. Mahasiswa medis merasa tidak ada
persiapan untuk memulai resusitasi dan seringkali tidak berpartisipasi dalam usaha
resusitasi karena kurangnya pelatihan. Sebaliknya, disana besar presentasi bagi
mahasiswa untuk berpartisipasi dalam resusitasi tanpa pelatihan sebelumnya.

Penelitian dari (Andreas Bohn,dkk 2013) mengatakan Pelatihan resusitasi harus dilakukan
secara efektif di sekolah sekolah dari tingkat dasar sampai lulus pada tingkat atas.
Setiap bentuk pelatihan pertolongan pertama juga meningkatkan keterampilan sosial
anak-anak. Pelatihan dalam berbagai keterampilan dapat diberikan sesuai dengan umur
anak. Mulai dari usia 4 tahun, anak-anak (dari TK sampai SD) dapat belajar elemen
penting seperti bagaimana mengenali serangan jantung dan bagaimana cara menelepon
untuk keadaan darurat. Murid yang lebih tua mendapat tambahan belajar bagaimana
melaksanakan kompresi dada. Isi tersebut dapat diperluas secara bertahap dengan
memasukkan instruksi tentang isntruksi penggunaan alat AED dan pelatihan bantuan
pernapasan. Meskipun metode belajar efektif belum di perjelas, namun data pelatihan
setiap tahunnya menunjukkan bahwa dengan kombinasi teori dan praktek yang diberikan
oleh guru yang terlatih, sudah cukup untuk anak anak sekolah.

Berdasarkan penelitian tentang pemberian BLS training pada anak usia dini yang
sudah dikembangkan di beberapa negara lain, ketika dibandingkan dengan keadaan
pendidikan keperawatan yang ada di indonesia, kita mengalami keterbelakangan dalam
mengembangkan suatu pembelajaran tentang pemberian bantuan hidup dasar terutama
bagi mahasiswa keperawatan. Sebagian besar kurikulum sekolah pendidikan
keperawatan, memasukkan materi tentang bantuan hidup dasar pada mata ajar
keperawatan gawat darurat pada tingkat akhir pendidikan dan atau juga pada saat
mahasiswa keperawatan akan turun praktek profesi di rumah sakit. Akibatnya mahasiswa
keperawatan pada tingkat awal, ketika terpapar dengan korban gawat jantung, mereka
tidak dapat berpartisipasi dalam tindakan resusitasi karena belum memiliki pengetahuan
dan keterampilan lewat pelatihan BLS. Hal ini tentunya sangat memprihatinkan bagi
pendidikan keperawatan di Indonesia, dengan melihat salah satu permasalahan yang ada
yaitu tingkat kecelakaan lalu lintas yang sangat tinggi, dan merupakan penyebab
kematian ketiga terbesar setelah penyakit jantung dan TBC (WHO, 2011).
Keuntungan dari pemberian BLS training pada pada mahasiswa keperawatan di
tingkat awal yaitu memberikan pengetahuan dan keterampilan tentang BLS kepada
mahasiswa sehingga mereka dapat percaya diri dengan kemampuan yang diperoleh dan
diharapkan mereka dapat berperan serta aktif dalam menangani korban gawat darurat
baik di dalam rumah sakit saat turun praktek laboratorium klinik maupun di luar rumah
sakit. Sedangkan kelemahannya, pertama, mahasiswa lebih di titik beratkan pada
keterampilan saja seperti masyarakat awam karena untuk membahas teori secara detail
yang berhubungan dengan pemberian BLS akan didapatkan pada semester - semester
berikutnya sesuai dengan kurikulum yang ada. Sehingga pada saat di perhadapkan dalam
berbagai kondisi gawat darurat,pengetahuan mereka masih terbatas dalam hal
pengambilan keputusan saat menghadapi korban gawat darurat. Yang kedua, pengetahuan
dan keterampilan yang dimiliki mahasiswa dalam pelatihan BLS dapat hilang karena
diberikan pada level awal. Sedangkan pada kurikulum, untuk turun praktek laboratorium
klinik nantinya pada semester 4. Oleh karena itu, ini menjadi tantangan untuk bagaimana
mempertahankan pengetahuan dan keterampilan tentang BLS.

Penerapan BLS training di dalam kurikulum keperawatan gawat darurat yaitu :

1. Melakukan pre dan post test sebelum dan sesudah pelatihan BLS
2. Memberikan pengetahuan dasar tentang BLS (metode : ceramah dan diskusi) dan
keterampilan BLS (metode Lab Skill).
3. Menguji keterampilan BLS dari masing masing individu setelah pelatihan
dengan menggunakan batas kelulusan.

Untuk mempertahankan pengetahuan dan keterampilan yang telah dimiliki oleh setiap
mahasiswa keperawatan, maka mereka perlu dilibatkan dalam setiap kegiatan
pelatihan BLS pada masyarakat awam, yang merupakan salah satu program
pengabdian masyarakat. Selain itu perlu ada unit pelatihan Emergency dalam hal ini
BLS yang dikelola langsung oleh mahasiswa dan dikontrol oleh dosen yang
bersangkutan. Hal ini juga dapat membantu mempertahankan pengetahuan dan
keterampilan tentang BLS dengan memberikan pelatihan BLS pada mahasiswa yang
lain yang belum pernah mendapat pelatihan tersebut.
D. Kesimpulan

Kondisi kegawatdaruratan dapat terjadi dimana saja, dan kapan saja. Sudah menjadi
tugas petugas kesehatan untuk menangani masalah tersebut. walaupun begitu, tidak
menutup kemungkinan kondisi kegawat daruratan dapat terjadi pada area yang sulit
dijangkau oleh petugas kesehatan, maka pada kondisi tersebut, peran serta masyarakat
untuk membantu korban sebelum ditemukan oleh petugas kesehatan menjadi sangat
penting (Sudiharto dan Sartono, 2011).

Berbagai upaya telah dilakukan untuk optimalisasi RJP di berbagai Setting (di dalam
dan di rumah sakit), mulai dari penolong, korban, dan ketersediaan sumber daya tetapi
sampai saat ini yang masih menjadi masalah mendasar adalah bagaimana melakukan
resusitasi jantung paru segera dan efektif? pengenalan tanda- tanda terjadinya henti
jantung dan tindakan awal yang tepat oleh penolong perlu disebarluaskan pada
masyarakat awam. American Heart Association tahun 2010 dalam guidelines for CPR
and ECC, menempatkan pengenalan henti jantung dan tindakan yang tepat oleh penolong
pertama sebagai prioritas yang sangat penting (Suharsono dan Ningsih, 2012).

Mahasiswa keperawatan merupakan bagian yang memiliki peran yang sangat penting
dalam penanganan kondisi gawat darurat baik pada saat mereka turun praktek
laboratorium klinik di rumah sakit maupun pada saat di luar rumah sakit. Oleh karena itu,
mahasiswa keperawatan perlu mendapatkan pengetahuan dan keterampilan tentang
bantuan hidup terhadap kondisi gawat darurat lewat pelatihan Basic Lif Support yang
berimplikasi dalam kurikulum Keperawatan Gawat Darurat pada tingkat awal.
Dengan terintegrasinya pengetahuan dan keterampilan tentang Basic Lif Support ke
dalam kurikulum pendidikan keperawatan di tingkat awal, maka diharapkan dapat terjadi
peningkatan partisipasi dari mahasiswa keperawatan dalam melakukan tindakan terhadap
kondisi gawat darurat sesuai dengan pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh dari
pelatihan Basic Lif Support .
E. Daftar Pustaka

Sudiharto & Sartono. 2011. Basic Trauma Cardiac Life Support. CV Sagung Seto :
Jakarta

Suharsono & Ningsih, 2012. Penatalaksanaan Henti Jantung di luar Rumah Sakit sesuai
dengan Algoritma AHA 2010. UMM Press: Malang

Pillow MT, Stader D, Nguyen M, Arthur DRM, and Hoxhaj S, Perceptions of basic,
advanced, and pediatric life support training In a united states medical school. The
Journal of Emergency Medicine. 2013; 08.055

Harvey PR , Higenbottamb CV, Owenc A, Hulmea J, Bionb JF. Peer-led training and
assessment in basic life support for healthcare students: Synthesis of literature
review and fifteen years practical experience. Resuscitation; 83 (2012) 894 899

Qi Li , Zhou R, Liu J, Lin J, Ma EL, Liang P, Shi T, Fang L, Xiao H. Pre-training


evaluation and feedback improved skills retention of basic life support in medical
students. Resuscitation 84 (2013) 1274 1278

Bohn A, Aken HV, Lukas RP, Weber T, Breckwoldt J. Schoolchildren as lifesavers in


Europe Training in cardiopulmonary resuscitation for children. Best Practice &
Research Clinical Anaesthesiology 27 (2013) 387396

Polmasari Tety.2013. Harian terbit dalam


http://www.harianterbit.com/2013/03/06/kecelakaan-lalin-penyebab-kematian-
terbesar-ke-3/ diakses pada tanggal 27 Oktober 2013 pukul 11.00 WIB

You might also like