Professional Documents
Culture Documents
A. Pengertian
Gagal ginjal kronik adalah gangguan fungsi ginjal yang progresif dan irreversibel (tubuh
gagal dalam mempertahankan metabolisme dan keseimbangan
cairan dan elektrolit), sehingga menyebabkan uremia (retensi
urea dan sampah nitrogen lain dalam darah) (Muhammad,
2012).
Gagal ginjal kronik adalah penurunan fungsi ginjal dalam skala kecil. Itu merupakan proses
normal bagi setiap manusia seiring bertambahnya usia. Namun
hal ini tidak menyebabkan kelainan atau menimbulkan gejala
karena masih dalam batas-batas wajar yang dapat ditolerir
ginjal dan tubuh. Tetapi karena berbagai sebab, dapat terjadi
kelainan di mana penurunan fungsi ginjal terjadi secara
progresif sehingga menimbulkan berbagai keluhan dari ringan
sampai berat. Kondisi ini disebut gagal ginjal kronik (Colvy,
2010).
B. Etiologi
Gagal ginjal kronik merupakan suatu keadaan klinis kerusakan ginjal yang progresif dan
ireversibel dari berbagai penyebab :
a. Infeksi : pielonefritis kronik.
b. Penyakit peradangan : glomerulonefritis.
c. Penyakit vaskular hipertensif : nefroskeloris benigna, nefrosklerosisi maligna, stenosis
arteria renalis.
d. Gangguan jaringan penyambung : lupus eritematosus sistemik, poliarteritis nodosa, sklerosis
sistemik progresif.
e. Gangguan kongenital dan herediter : penyakit ginjal polikistik dan asidosis tubulus ginjal.
f. Penyakit metabolik : diabetes melitus, gout, hiperparatiroidisme dan amiloidosis.
g. Nefropati toksik : penyalahgunaan analgesik dan nefropati timbal.
h. Nefropati obstruktif : saluran kemih bagian atas (kalkuli, eoplasma, fibrosis retroperitoneal)
dan saluran kemih bagian bawah (hipertrofi prostat, striktur
uretra, anomali kongenital apada leher kandung kemih dan
uretra).
C. Tahap-Tahap Perkembangan Gagal Ginjal Kronik
Berikut ini tahap-tahap perkembangan penyakit gagal ginjal kronik menurut Muhammad
(2012), yaitu:
a. Penurunan cadangan ginjal (faal ginjal antara 40-75%)
Pada tahap ini, ada beberapa hal yang terjadi dalam tubuh penderita, di antaranya:
1) sekitar 40-75% nefron tidak berfungsi,
2) laju filtrasi glomerulus 40-50% normal,
3) BUN dan kreatinin serum masih normal, dan
4) pasien asimtomatik
Tahap ini merupakan tahap perkembangan penyakit ginjal yang paling ringan, karena faal
ginjal masih dalam kondisi baik. Oleh karena itu, penderita
juga belum merasakan gejala apapun. Bahkan, hasil
pemeriksaan laboratorium menunjukan bahwa faal ginjal
masih berada dalam batas normal.
Selain itu, kreatinin serum dan kadar BUN (blood urea nitrogen) masih berada dalam batas
normal dan penderita asimtomatik. Gangguan fungsi ginjal
baru diketahui setelah pasien diberi beban kerja yang berat,
seperti tes pemekatan kemih dalam waktu lama atau melalui
tes GFR dengan teliti.
b. Indufisiensi ginjal (faal ginjal antara 20-50%)
Pada tahap ini, beberapa hal yang terjadi dalam tubuh penderita, di antaranya:
1) sekitar 75-80% nefron tidak berfungsi,
2) laju filtrasi glomerulus 20-40% normal,
3) BUN dan kreatinin serum mulai meningkat,
4) Anemia dan azotemia ringan, serta
5) nokturia dan poliuria
Pada tahap ini, penderita masih dapat melakukan tugas-tugas seperti biasa, walaupun daya
dan konsentrasi ginjal menurun. Pengobatan harus dilakukan
dengan cepat untuk mengatasi kekurangan cairan, kekurangan
garam, dan gangguan jantung. Selain itu, penderita juga harus
diberi obat untuk mencegah gangguan faal ginjal. Apabila
langkah-langkah ini dilakukan dengan cepat dan tepat,
perkembangan penyakit ginjal yang lebih berat pun dapat
dicegah.
Pada stadium ini, lebih dari 75% jaringan ginjal yang berfungsi telah rusak. Selain itu, kadar
BUN dan kreatinin serum juga mulai meningkat melampaui
batas normal.
c. Gagal ginjal (faal ginjal kurang dari 10%)
Beberapa hal yang terjadi dalam tubuh penderita, di antaranya:
1) laju filtrasi glomerulus 10-20% normal,
2) BUN dan kreatinin serum meningkat,
3) anemia, azotemia, dan asidosis metabolik,
4) poliuria dan nokturia, serta
5) gejala gagal ginjal.
d. End-Stage Meal Disease (ESRD)
Pada tahap ini, beberapa hal yang terjadi dalam tubuh penderita, di antaranya:
1) lebih dari 85% nefron tidak berfungsi,
2) laju filtrasi glomerulus kurang dari 10% normal,
3) BUN dan kreatinin tinggi,
4) anemia, azotemia, dan asidosis metabolik,
5) berat jenis urine tetap 1,010,
6) oliguria, dan
7) gejala gagal ginjal.
Pada stadium akhir, kurang lebih 90% massa nefron telah hancur. Nilai GFR 10% di bawah
batas normal dan kadar kreatinin hanya 5-10 ml/menit, bahkan
kurang dari jumlah tersebut. Selain itu, peningkatan kreatinin
serum dan kadar BUN juga meningkat secara mencolok.
Pada stadium akhir gagal ginjal, penderita tidak sanggup mempertahankan homeostatis
cairan dan elektrolit didalam tubuh. Biasanya, penderita
menjadi oliguri (pengeluaran kemih kurang dari 500ml/hari
karena kegagalan glomerulus). Pada stadium akhir gagal
ginjal, penderita harus mendapatkan pengobatan dalam bentuk
transplantasi ginjal atau dialisis.
Berdasarkan uraian tersebut dapat diketahui bahwa awalnya penderita penyakit gagal ginjal
tidak menunjukan gejala apapun. Kemudian, penyakit ini
berkembang secara perlahan-lahan. Kelainan fungsi ginjal
hanya dapat diketahui dari pemeriksaan laboratorium. Pada
tahap ringan dan sedang, penderita penyakit gagal ginjal
kronik masih menunjukan gejala-gejala ringan, meskipun
terjadi peningkatan urea didalam darahnya.
Pada stadium ini, ginjal tidak dapat menyerap air dari air kemih, sehingga volume air kemih
bertambah. Oleh karena itu, penderita
mengalaminokturia (sering berkemih pada malam hari). Selain
itu, penderita juga mengalami tekanan darah tinggi, karena
ginjal tidak mampu membuang kelebihan garam dan air. Hal
inilah yang memicu penyakit stroke atau gagal jantung.
Lambat laun, limbah metabolik yang tertimbun didalam darah semakin banyak. Maka,
penderita menunjukan berbagai macam gejala, seperti mudah
lelah, letih, kurang siaga, kedutan otot, kelemahan otot, kram,
anggota gerak seperti tertusuk jarum, dan hilangnya rasa pada
daerah-daerah tertentu. Selain itu, nafsu makan penderita
menurun, merasa mual dan muntah, terjadi peradangan pada
lapisan mulut (stomatitis), rasa tidak enak dimulut, dan
penderita mengalami penurunan berat badan dan malnutrisi.
Apabila tekanan darah tinggi, penderita akan kejang. Dan
kelainan kimia darah menyebabkan kelainan fungsi otak
penderita (Muhammad, 2012).
D. Patofisiologi
Fungsi ginjal menurun karena produk akhir metabolisme protein tertimbun dalam darah,
sehingga mengakibatkan terjadinya uremia dan mempengaruhi
seluruh sistem tubuh. Semakin banyak timbunan produksi
sampah maka gejala semakin berat (Nursalam dan Fransisca,
2008).
Gangguan clearance renal terjadi akibat penurunan jumlah glomerulus yang berfungsi.
Penurunan laju filtrasi glomerulus dideteksi dengan
memeriksa clearance kreatinin urine tampung 24 jam yang
menunjukan penurunan clearance kreatinin dan peningkatan
kadar kreatinin serum (Nursalam dan Fransisca, 2008).
Retensi cairan dan natrium dapat mengakibatkan edema, CHF, dan hipertensi. Hipotensi
dapat terjadi karena aktivitas aksis renin angitensin dan kerja
sama keduanya meningkatkan sekresi aldosteron. Kehilangan
garam mengakibatkan risiko hipotensi dan hipovolemia.
Muntah dan diare menyebabkan perpisahan air dan natrium
sehingga status uremik memburuk (Nursalam dan Fransisca,
2008).
Asidosis metabolik akibat ginjal tidak mampu mensekresi asam (H) yang berlebihan.
Penurunan sekresi asam akibat tubulus ginjal tidak mampu
men sekresi ammonia dan mengabsorpsi natrium bikarbonat
(HCO3). Penurunan ekskresi fosfat dan asam organik lain
terjadi (Nursalam dan Fransisca, 2008).
Anemia terjadi akibat produksi eritropoietin yang tidak memadai, memendeknya usia sel
darah merah, defisiensi nutrisi, dan kecendurungan untuk
mengalami perdarahan akibat status uremik pasien, terutama
dari saluran pencernaan. Eritropoietin yang diproduksi oleh
ginjal, menstimulasi sumsum tulang untuk menhasilkan sel
darah merah, dan produksi eritropoietin menurun sehingga
mengakibatkan anemia berat yang disertai keletihan, angina,
dan sesak napas (Nursalam dan Fransisca, 2008).
Ketidakseimbangan kalsium dan fosfat merupakan gangguan metabolisme. Kadar serum
kalsium dan fosfat tubuh memiliki hubungan timbal balik. Jika
salah satunya meningkat, maka fungsi yang lain akan
menurun. Dengan menurunnya filtrasi melalui glomerulus
ginjal, maka meningkatkan kadar fosfat serum, dan sebaliknya,
kadar serum kalsium menurun. Penurunan kadar kalsium
serum menyebabkan sekresi parathormon, sehingga kalsium
ditulang menurun, menyebabkan terjadinya perubahan tulang
dan penyakit tulang. Demikian juga vitamin D (1, 25
dihidrokolekalsiferol) yang dibentuk di ginjal menurun seiring
perkembangan gagal ginjal (Nursalam dan Fransisca, 2008).
E. Manifestasi Klinik
Menurut Muhammad (2012), manifestasi klinik gagal ginjal kronik adalah sebagai berikut :
a. Gangguan pada system gastrointestinal
1) Anoreksia, nausea, dan vomitus yang berhubungan dengan gangguan
metabolisme protein didalam usus, terbentuknya zat-zat toksik akibat metabolisme bakteri usus
seperti ammonia dan metal gaunidin, serta sembabnya
mukosa .
2) Fetor uremik disebabkan oleh ureum yang berlebihan pada air liur diubah oleh bakteri di
mulut menjadi ammonia sehingga nafas berbau ammonia.
3) Cegukan (hiccup) sebabnya yang pasti belum diketahui .
b. Gangguan sistem hematologi dan kulit
Oleh:
Kelompok 3
BAB 1
PENDAHULUAN
1.3 Tujuan
1.3.1 Tujuan Umum
Untuk menjelaskan dan mengetahui konsep dasar teori serta bagaimana cara
menyusun asuhan keperawatan pada pada pasien dengan gangguan gagal ginjal
baik yang bersifat akut.
1.3.2 Tujuan Khusus
1. Agar mahasiswa mengerti tentang definisi dari gagal ginjal akut.
2. Agar mahasiswa mengerti tentang etiologi dari gagal ginjal akut.
3. Agar mahasiswa mengetahui tentang klasifikasi dari gagal ginjal akut.
4. Agar mahasiswa mengetahui tentang manifestasi klinis dari gagal ginjal
akut.
5. Agar mahasiswa dapat memahami tentang WOC dari gagal ginjal akut.
6. Agar mahasiswa dapat memahami tentang patofisiologi dari gagal ginjal
akut.
7. Agar mahasiswa dapat mengerti dan memahami tentang pemeriksaan
penunjang dari gagal ginjal akut.
8. Agar mahasiswa dapat mengerti dan memahami tentang pemeriksaan
diagnostik dari gagal ginjal akut.
9. Agar mahasiswa mengetahui tentang penatalaksanaan dari gagal ginjal akut.
10. Agar mahasiswa mengetahui tentang komplikasi dari gagal ginjal akut.
11. Agar mahasiswa dapat memahami dan mengaplikasikan asuhan keperawatan
pada pasien dengan gagal ginjal akut.
1.4 Manfaat
Dengan adanya makalah ini, diharapkan mahasiswa dapat dapat menambah wawasan
dan informasi dalam penanganan gagal ginjal akut dan mampu mengaplikasikan asuhan
keperawatan pada klien dengan gagal ginjal akut secara tepat dan benar, serta mampu
mengimplementasikannya dalam proses keperawatan.
BAB 2
PEMBAHASAN
2.1 Definisi
Gagal ginjal terjadi ketika ginjal tidak mampu mengangkut sampah metabolic tubuh
atau melakukan fungsi regulernya. Suatu bahan yang biasanya dieliminasi di urin
menumpuk dalam cairan tubuh akibat gangguan ekskresi renal dan menyebabkan gangguan
fungsi endokrin dan metabolic, cairan, elektrolit, serta asam basa. Gagal ginjal merupakan
penyakit sistemik dan merupakan jalur akhir yang umum dari berbagai penyakit traktus
urinarius dan ginjal (Saifudin, 2010).
Gagal ginjal akut adalah sindrom klinis dimana ginjal tidak lagi mengsekresi produk-
produk limbah metabolisme. Biasanya karena hiperfusi ginjal sindrom ini biasa berakibat
azotemia (uremia), yaitu akumulasi produk limbah nitrogen dalam darah dan aliguria dimana
haluaran urine kurang dari 400 ml / 24 jam (Tambayong, 2000).
Menurut levinsky dan Alexander (1976), gagal ginjal akut terjadi akibat penyebab-
penyebab yang berbeda. Ternyata 43% dari 2200 kasus gagal ginjal akut berhubungan
dengan trauma atau tindakan bedah 26% dengan berbagai kondisi medic 13%, pada
kehamilan dan 9% disebabkan nefrotoksin penyebab GGA dibagi dalam katagori renal, renal
dan pasca renal
Gagal ginjal akut dikenal dengan Acute Renal Fallure (ARF) adalah sekumpulan
gejala yang mengakibatkan disfungsi ginjal secara mendadak (Nursalam, 2006).
Gagal ginjal akut (GGA) adalah suatu keadaan fisiologik dan klinik yang ditandai
dengan pengurangan tiba-tiba glomerular filtration rate (GFR) dan perubahan kemampuan
fungsional ginjal untuk mempertahankan eksresi air yang cukup untuk keseimbangan dalam
tubuh. Atau sindroma klinis akibat kerusakan metabolik atau patologik pada ginjal yang
ditandai dengan penurunan fungsi yang nyata dan cepat serta terjadinya azotemia.
Gagal Ginjal Akut adalah kemunduran yang cepat dari kemampuan ginjal dalam
membersihkan darah dari bahan-bahan racun yang menyebabkan penimbunan limbah
metabolik di dalam darah (misalnya urea).
2.2 Etiologi
Sampai saat ini para praktisi klinik masih membagi etiologi gagal ginjal akut dengan
tiga kategori meliputi :
a. Prarenal
Kondisi prarenal adalah masalah aliran darah akibat hipoperpusi ginjal dan turunnya
laju filtrasi glomeruls. Gagal ginjal akut Prerenal merupakan kelainan fungsional, tanpa
adanya kelainan histologik atau morfologik pada nefron. Namun bila hipoperfusi ginjal
tidak segera diperbaiki, akan menimbulkan terjadinya nekrosis tubulat akut (NTA).
Kondisi ini meliputi hal-hal sebagai berikut :
1) Hipovolemik (perdarahan postpartum, luka bakar, kehilangan cairan dari
gastrointestinal pankreatitis, pemakaian diuretik yang berlebih)
2) Fasodilatasi (sepsis atau anafilaksis)
3) Penurunan curah jantung (disaritmia, infark miokard, gagal jantung, syok
kardioenik dn emboli paru)
4) Obstruksi pembuluh darah ginjal bilateral (emboli, trombosis)
b. Renal
Pada tipe ini Gagal Ginjal Akut timbul akibat kerusakan jaringan ginjal. Kerusakan
dapat terjadi pada glomeruli atau tubuli sehingga faal ginjal langsung terganggu. Dapat
pula terjadi karena hipoperfusi prarenal yang tak teratasi sehingga mengakibatkan
iskemia, serta nekrosis jaringan ginjal Prosesnya dapat berlangsung cepat dan
mendadak, atau dapat juga berlangsung perlahanlahan dan akhirnya mencapai stadium
uremia. Kelainan di ginjal ini dapat merupakan kelanjutan dari hipoperfusi prarenal dan
iskemia kemudian menyebabkan nekrosis jaringan ginjal. Beberapa penyebab kelainan
ini adala :
1) Koagulasi intravaskuler, seperti pada sindrom hemolitik uremik, renjatan sepsis
dan renjatan hemoragik.
2) Glomerulopati (akut) seperti glomerulonefritis akut pasca sreptococcus, lupus
nefritis, penolakan akut atau krisis donor ginjal.
3) Penyakit neoplastik akut seperti leukemia, limfoma, dan tumor lain yang langsung
menginfiltrasi ginjal dan menimbulkan kerusakan.
4) Nekrosis ginjal akut misal nekrosis tubulus akut akibat renjatan dan iskemia lama,
nefrotoksin (kloroform, sublimat, insektisida organik), hemoglobinuria dan
mioglobinuria.
5) Pielonefritis akut (jarang menyebabkan gagal ginjal akut) tapi umumnya pielonefritis
kronik berulang baik sebagai penyakit primer maupun sebagai komplikasi kelainan
struktural menyebabkan kehilangan faal ginjal secara progresif.
6) Glomerulonefritis kronik dengan kehilangan fungsi progresif.
c. Pascarenal / Postrenal
GGA pascarenal adalah suatu keadaan dimana pembentukan urin cukup, namun
alirannya dalam saluran kemih terhambat. Etiologi pascarenal terutama obstruksi aliran
urine pada bagian distal ginjal, ciri unik ginjal pasca renal adalah terjadinya anuria,
yang tidak terjadi pada gagal renal atau pre-renal. Kondisi yang umum adalah sebagai
berikut :
1) Obstruksi muara vesika urinaria: hipertropi prostat< karsinoma
2) Obstruksi ureter bilateral oleh obstruksi batu saluran kemih, bekuan darah atau
sumbatan dari tumor (Tambayong, 2000).
2.3 Klasifikasi
Tabel Klasifikasi GGA menurut The Acute Dialysis Quality Initiations Group (Roesli R,
2007).
Penurunan Laju Filtrasi
Kategori Peningkatan Kadar Serum Cr Glomerulus Kriteria Urine Outp
<0,5 mL/kg/jam,
Risk >1,5 kali nilai dasar >25% nilai dasar >6 jam
<0,5 mL/kg/jam,
Injury >2,0 kali nilai dasar >50% nilai dasar >12 jam
Failure >3,0 kali nilai dasar >75% nilai dasar <0,3 mL/kg/jam, >24 j
Penurunan fungsi ginjal menetap selama lebih dari 4
Loss Minggu
Penurunan fungsi ginjal menetap selama lebih dari 3
End stage Bulan
2.9 Penatalakasanaan
a. Penatalaksanaan secara umum adalah:
Kelainan dan tatalaksana penyebab.
1) Kelainan praginjal. Dilakukan klinis meliputi faktor pencetus keseimbangan cairan,
dan status dehidrasi. Kemudian diperiksa konsentrasi natrium urin, volume darah
dikoreksi, diberikan diuretik, dipertimbngkan pemberian inotropik dan dopamin.
2) Kelainan pasca ginjal. Dilakukan pengkajian klinis meliputi apakah kandung kemih
penuh, ada pembesaran prostat, gangguan miksi atau nyeri pinggang. Dicoba
memasang kateter urin, selain untuk mengetahui adanya obstruksi juga untuk
pengawasan akurat dari urin dan mengambil bahan pemeriksaan. Bila perlu
dilakukan USG ginjal.
3) Kelainan ginjal. Dilakukan pengkajian klinis, urinalinasi, mikroskopik urin, dan
pertimbangkan kemungkinan biopsi ginjal, arteriografi, atau tes lainnya
b. Penatalaksanaan gagal ginjal
1) Mencapai dan mempertahankan keseimbangan natrium dan air. Masukan natrium
dibatasi hingga 60 mmol/hari dan cairan cukup 500 ml/hari di luar kekurangan hari
sebelumnya atau 30 mmol/jam di luar jumlah urin yang dikeluarkan jam sebelumnya.
Namun keseimbangan harus tetap diawasi.
2) Memberikan nutrisi yang cukup. Bisa melalui suplemen tinggi kalori atau
hiperalimentaasi intravena. Glukosa dan insulin intravena, penambahan kalium,
pemberian kalsium intravena pada kedaruratan jantung dan dialisis.
3) Pemberian manitol atau furosemid jika dalam keadaan hidrasi yang adekuat terjadi
oliguria.
4) Mencegah dan memperbaiki infeksi, terutama ditujukan terhadap infeksi saluran napas
dan nosokomial. Demam harus segera harus dideteksi dan diterapi. Kateter harus
segera dilepas bila diagnosis obstruksi kandung kemih dapat disingkirkan.
5) Mencegah dan memperbaiki perdarahan saluran cerna. Feses diperiksa untuk adanya
perdarahan dan dapat dilakukan endoskopi. Dapat pula dideteksi dari kenaikan rasio
ureum/kreatinin, disertai penurunan hemoglobin. Biasanya antagonis histamin H
(misalnya ranitidin) diberikan pada pasien sebagai profilaksis.
6) Dialisis dini atau hemofiltrasi sebaiknya tidak ditunda sampai ureum tinggi,
hiperkalemia, atau terjadi kelebihan cairan. Ureum tidak boleh melebihi 30-40
mmol/L. Secara umum continous haemofiltration dan dialisis peritoneal paling baik
dipakai di ruang intensif, sedangkan hemodialisis intermitten dengan kateter
subklavia ditujukan untuk pasien lain dan sebagai tambahan untuk pasien katabolik
yang tidak adekuat dengan dialisis peritoneal/hemofiltrasi.
7) Monitoring keseimbangan cairan, pemasukan dan pengeluaran cairan atau makanan,
menimbang berat badan, monitoring nilai elektrolit darah, nilai BUN dan nilai
kreatinin.
8) Penanganan Hiperkalemia. Keseimbangan cairan dan elektrolit merupakan masalah
utama pada gagal ginjal akut; hiperkalemia merupakan kondisi yang paling
mengancam jiwa pada gangguan ini. Oleh karena itu pasien dipantau akan adanya
hiperkalemia melalui serangkaian pemeriksaan kadar elektrolit serum (nilai kalium
>5.5 mEq/L; SI: 5.5 mmol/L), perubahan EKG (tinggi puncak gelombang T rendah
atau sangat tinggi), dan perubahan status klinis. Peningkatan kadar kalium dapat
dikurangi dengan pemberian ion pengganti resin (natrium polistriren sulfonat), secara
oral atau melalui retensi enema.
2.10 Komplikasi
a. Jantung: edema paru, aritmia, efusi pericardium.
b. Gangguan elektrolit: hyperkalemia, hiponatremia, asidosis.
c. Neurologi: iritabilitas neuromuskuler, flap, tremor, koma, gangguan kesadaran,
kejang.
d. Gastrointestinal: nausea, muntah, gastritis, ulkus peptikum, perdarahaan
gastrointestinal.
e. Hematologi: anemia, diathesis hemoragik.
f. Infeksi: pneumonia, septikemis, infeksi nosocomial.
BAB 3
ASUHAN KEPERAWATAN
3.1 Pengkajian
a. Pengkajian Anamnesis
Pada pengakajian anamnesis data yang diperoleh yakni identitas klien dan identitas
penanggung jawab, identitas klien yang meliputi nama, usia, jenis kelamin, pekerjaan,
serta diagnosa medis. Penyakit Gagal Ginjal Akut dapat menyerang pria maupun wanita
dari rentang usia manapun, khususnya bagi orang yang sedang menderita penyakit serius,
terluka serta usia dewasa dan pada umumnya lanjut usia. Untuk pengkajian identitas
penanggung jawab data yang didapatkan yakni meliputi nama, umur, pekerjaan,
hubungan dengan si penderita.
b. Riwayat Kesehatan
1. Keluhan Utama
Keluhan utama yang sering adalah terjadi penurunan produksi miksi.
2. RiwayatPenyakit Sekarang
Pengkajian ditujukan sesuai dengan predisposisi etiologi penyakit terutama pada
prerenal dan renal. Secara ringkas perawat menanyakan berapa lama keluhan
penurunan jumlah urine output dan apakah penurunan jumlah urine output tersebut ada
hubungannya dengan predisposisi penyebab, seperti pasca perdarahan setelah
melahirkan, diare, muntah berat, luka bakar luas, cedera luka bakar, setelah mengalami
episode serangan infark, adanya riwayat minum obat NSAID atau pemakaian
antibiotik, adanya riwayat pemasangan tranfusi darah, serta adanya riwayat trauma
langsung pada ginjal.
3. Riwayat Penyakit Dahulu
Kaji adanya riwayat penyakit batu saluran kemih, infeksi sistem perkemihan yang
berulang, penyakit diabetes melitus dan penyakit hipertensi pada masa sebelumnya
yang menjadi predisposisi penyebab pasca renal. Penting untuk dikaji tentang riwayat
pemakaian obat-obatan masa lalu dan adanya riwayat alergi terhadap jenis obat dan
dokumentasikan.
4. Riwayat Penyakit Keluarga
Tanyakan adanya riwayat penyakit ginjal dalam keluarga.
c. Pemeriksaan Fisik
1. Keadaan umum dan TTV
Keadaan umum klien lemah, terlihat sakit berat, dan letargi. Pada TTV sering
didapatkan adanya perubahan, yaitu pada fase oliguri sering didapatkan suhu tubuh
meningkat, frekuensi denyut nadi mengalami peningkatan dimana frekuensi meningkat
sesuai dengan peningkatan suhu tubuh dan denyut nadi. tekanan darah terjadi
perubahan dari hipetensi rinagan sampai berat.
2. Pemeriksaan Pola Fungsi
a) B1 (Breathing).
Pada periode oliguri sering didapatkan adanya gangguan pola napas dan jalan napas
yang merupakan respons terhadap azotemia dan sindrom akut uremia. Klien
bernapas dengan bau urine (fetor uremik) sering didapatkan pada fase ini. Pada
beberapa keadaan respons uremia akan menjadikan asidosis metabolik sehingga
didapatkan pernapasan kussmaul.
b) B2 (Blood).
Pada kondisi azotemia berat, saat perawat melakukan auskultasi akan menemukan
adanya friction rub yang merupakan tanda khas efusi perikardial sekunder dari
sindrom uremik. Pada sistem hematologi sering didapatkan adanya anemia. Anemia
yang menyertai gagal ginjal akut merupakan kondisi yang tidak dapat dielakkan
sebagai akibat dari penurunan produksi eritropoetin, lesi gastrointestinal uremik,
penurunan usia sel darah merah, dan kehilangan darah, biasanya dari saluran G1.
Adanya penurunan curah jantung sekunder dari gangguan fungsi jantung akan
memberat kondisi GGA. Pada pemeriksaan tekanan darah sering didapatkan adanya
peningkatan.
c) B3 (Brain).
Gangguan status mental, penurunan lapang perhatian, ketidakmampuan
berkonsentrasi, kehilangan memori, kacau, penurunan tingkat kesadaran (azotemia,
ketidakseimbangan elektrolit/asam/basa). Klien berisiko kejang, efek sekunder
akibat gangguan elektrolit, sakit kepala, penglihatan kabur, kram otot/kejang
biasanya akan didapatkan terutama pada fase oliguri yang berlanjut pada sindrom
uremia.
d) B4 (Bladder).
Perubahan pola kemih pad aperiode oliguri akan terjadi penurunan frekuensi dan
penurunan urine output <400 ml/hari, sedangkan pada periode diuresis terjadi
peningkatan yang menunjukkan peningkatan jumlah urine secara bertahap, disertai
tanda perbaikan filtrasi glomerulus. Pada pemeriksaan didapatkan perubahan warna
urine menjadi lebih pekat/gelap.
e) B5 (Bowel).
Didapatkan adanya mual dan muntah, serta anoreksia sehingga sering didapatkan
penurunan intake nutrisi dari kebutuhan.
f) B6 (Bone).
Didapatkan adnaya kelemahan fisik secara umum efek sekunder dari anemia dan
penurunan perfusi perifer dari hipetensi.
d. Pemeriksaan Diagnostik
1. Laboratorium
Urinalisis didapatkan warna kotor, sedimen kecoklatan menunjukkan adanya
darah, Hb, dan myoglobin. Berat jenis <1.020 menunjukkan penyakit ginjal, pH urine
>7.00 menunjukkan ISK, NTA, dan GGK. Osmolalitas kurang dari 350 mOsm/kg
menunjukkan kerusakan ginjal dan rasio urine : serum sering 1 : 1.
Pemeriksaan BUN dan kadar kreatinin. Terdapat peningkatan yang tetap dalakm
BUN dan laju peningkatannya bergantung pada tingkat katabolisme (pemecahan
protein), perfusi renal dan masukan protein. Serum kratinin meningkat pada kerusakan
glomerulus. Kadar kreatinin serum bermanfaat dalam pemantauan fungsi ginjal dan
perkembangan penyakit.
Pemeriksaan elektrolit. Pasien yang mengalami penurunan lajut filtrasi
glomerulus tidak mampu mengeksresikan kalium. Katabolisme protein mengahasilkan
pelepasan kalium seluler ke dalam cairan tubuh, menyebabkan hiperkalemia berat.
Hiperkalemia menyebabkan disritmia dan henti jantung.
Pemeriksan pH. Pasien oliguri akut tidak dapat emngeliminasi muatan metabolik
seperti substansi jenis asam yang dibentuk oleh proses metabolik normal. Selain itu,
mekanisme bufer ginjal normal turun. Hal ini ditunjukkan dengan adanya penurunan
kandungan karbon dioksida darah dan pH darah sehingga asidosis metabolik progresif
menyertai gagal ginjal.
e. Penatalaksanaan Medis
Tujuan penatalaksanaan adalah menjaga keseimbangan dan mencegah komplikasi, yang
meliputi hal-hal sebagai berikut:
1. Dialisis. Dialisis dapat dilakukan untuk mencegah komplikasi gagal ginjal akut yang
serius, seperti hiperkalemia, perikarditis, dan kejang. Dialisis memperbaiki
abnormalitas biokimia, menyebabkan cairan, protein, dan natrium dapat dikonsumsi
secara bebas; menghilangkan kecenderungan perdarahan dan membantu penyembuhan
luka.
2. Koreksi hiperkalemi. Peningkatan kadar kalium dapat dikurangi dengan pemberian
ion pengganti resin (natrium polistriren sulfonat), secara oral atau melalui retensi
enema. Natrium polistriren sulfonat bekerja dengan mengubah ion kalium menjadi
natrium di saluran intenstinal.
3. Terapi cairan
4. Diet rendah protein, tinggi karbohidrat
5. Koreksi asidosis dengan natrium bikarbonat dan dialisis
Diagnosa Keperawatan
a. Defisit volume cairan berhubungan dengan fase diuresis dari gagal ginjal akut.
b. Pola nafas nafas tidak efektif berhubungan dengan penurunan pH pada ciaran
serebrospinal, perembesan cairan, kongesti paru efek sekunder perubahan membran
kapiler alveoli dan retensi cairan interstisial dari edema paru pada respons asidosis
metabolik.
c. Risiko tinggi kejang b.d kerusakan hantaran saraf sekunder dari abnormalitas elektrolit
dan uremia.
d. Aktual/risiko perubahan perfusi serebral b.d. penurunan pH pada cairan serebrospinal
efek sekunder dari asidosis metabolik
e. Aktual/risiko tinggi aritmia b.d gangguan konduksi elektrikal efek sekunder dari
hiperkalemi
Intervensi
a. Defisit volume cairan berhubungan dengan fase diuresis dari gagal ginjal akut.
Tujuan: Setelah dilakukannya asuhan keperawatan selama 1x24 jam diharapkan defisit
volume cairan dapat teratasi
Kriteria: Klien tidak mengeluh pusing, membran muosa lembab, turgor kulit normal,
ttv normal, CRT < 2 detik, urine >600 ml/hari
Laboratorium: nilai hematokrit dan protein serum meningkat, BUN/kreatinin menurun\
Intervensi:
1. Monitoring status cairan (turgor kulit, membran mukosa, urine output)
R: Jumlah dan tipe cairan pengganti ditentukan dari keadaan status cairan
Penurunan volume cairan mengakibatkan menurunnya produksi urine, monitoring
yang ketat pada produksi urine <600 ml/hari karena merupakan tanda-tanda
terjadinya syok hipovolemik.
2. Kaji keadaan edema
R: Edema menunjukan perpindahan cairan karena peningkatan permeabilitas
sehingga mudah ditensi oleh akumulasi cairan walaupun minimal, sehingga berat
badan dapat meningkat 4,5 kg
3. Kontrol intake dan output per 24 jam.
R: Untuk mengetahui fungsi ginjal, kebutuhan penggantian cairan dan penurunan
kelebihan resiko cairan.
4. Timbang berat badan tiap hari.
R: Penimbangan berat badan setiap hari membantu menentukan keseimbangan dan
masukan cairan yang tepat.
5. Beritahu keluarga agar klien dapat membatasi minum.
R: Manajemen cairan diukur untuk menggantikan pengeluaran dari semua sember
ditambah perkiraan yang tidak nampak. Pasien dengan kelebihan cairan yang tidak
responsif terhadap pembatasan caiaran dan diuretic membutuhkan dialysis.
6. Penatalaksanaan pemberian obat anti diuretik.
R: Obat anti diuretic dat melebarkan lumen tubular dari debris, menurunkan
hiperkalemia dan meningkatkan volume urine adekuat. Misalnya : Furosemide.
7. Kolaborasi pemeriksaan laboratorium fungsi ginjal.
R: Hasil dari pemeriksaan fungsi ginjal dapat memberikan gambaran sejauh mana
terjadi kegagalan ginjal.
b. Pola nafas nafas tidak efektif berhubungan dengan penurunan pH pada ciaran
serebrospinal, perembesan cairan, kongesti paru efek sekunder perubahan membran
kapiler alveoli dan retensi cairan interstisial dari edema paru pada respons asidosis
metabolik.
Tujuan: setelah diberikan asuhan keperawatan 1x24 jam diharapkan tidak terjadi
perubahan pola nafas
Kriteria: klien tidak sesak nafas, RR dalam batas normal 16-20 x/menit
Intervensi:
1. Kaji faktor penyebab asidosis metabolik.
R: Hasil dari pemeriksaan fungsi ginjal dapat memberikan gambaran sejauh mana
terjadi kegagalan ginjal. Mengeidentifikasi untuk mengatasi penyebab dasar dari
asidosis metabolic.
2. Monitor ketat TTV.
R: Perubahan TTV akan memberikan dampak pada risiko asidosis yang bertambah
berat dan berindikasi pada intervensi untuk secepatnya melakukan koreksi asidosis.
3. Istirahatkan klien dengan posisi fowler.
R: Posisi fowler akan meningkatkan ekspansi paru optimal istirahat akan
mengurangi kerja jantung, meningkatkan tenaga cadangan jantung, dan
menurunkan tekanan darah.
4. Ukur intake dan output.
R: Penurunan curah jantung, mengakibatkan gangguan perfusi ginjal, retensi
natrium/air, dan penurunan urine output.
5. Kolaborasi berikan cairan ringer laktat secara intravena.
R: Larutan IV ringer laktat biasanya merupakan cairan pilihan untuk memperbaiki
keadaan asidosis metabolik dengan selisih anion normal, serta kekurangan volume
ECF yang sering menyertai keadaan ini.
6. Berikan bikarbonat.
R: Kolaborasi pemberian bikarbonat. Jika penyebab masalah adalah masukkan
klorida, maka pengobatannya adalah ditujukan pada menghilangkan sumber
klorida.
7. Pantau data laboratorium analisis gas darah berkelanjutan.
R: Tujuan intervensi keperawatan pada asidosis metabolik adalah meningkatkan pH
sistemik sampai ke batas yagn aman dan menanggulangi sebab-sebab asidosis yang
mendasarinya. Dengan monitoring perubahan dari analisis gas darah berguna untuk
menghindari komplikasi yang tidak diharapkan
c. Risiko tinggi kejang b.d kerusakan hantaran saraf sekunder dari abnormalitas elektrolit
dan uremia.
Tujuan: setelah diberikan asuhan keperawatan 1x24 jam diharapkan kejang berulang
tidak terjadi
Kriteria: klien tidak mengalami kejang
Intervensi:
1. Kaji dan catat faktor-faktor yang menurunkan kalsium dari sirkulasi.
R: Penting artinya untuk mengamati hipokalsemia pada klien berisiko. Perawat
harus bersiap untuk kewaspadaan kejang bila hipokalsemia
2. Kaji stimulus kejang.
R: Stimulus kejang pada tetanus adalah rangsang cahaya dan peningkatan suhu
tubuh.
3. Monitor klien yang berisiko hipokalsemi
R: Individu berisiko terhadap osteoporosis diinstruksikan tentang perlunya masukan
kalsium diet yang adekuat; jika dikonsumsi dalam diet, suplemen kalsium harus
dipertimbangkan.
4. Hindari konsumsi alkohol dan kafein yang tinggi.
R: Alkohol dan kafein dalam dosis yang tinggi menghambat penyerapan kalsium
dan perokok kretek sedang meningkatkan ekskresi kalsium urine
5. Garam kalsium parenteral
R: Garam kalsium parenteral termausk kalsium glukonat, kalsium klorida, dan
kalsium gluseptat. Meskipun kalsium klorida menghasilkan kalsium berionisasi
yang secara signifikan lebih tinggi dibandingkan jumlah akuimolar kalsium
glukonat, tetapi cairan ini tidak sering digunakan karena cairan tersebut l ebih
mengiritasi dan dapat menyebabkan peluruhan jaringan jika dibiarkan
menginfiltrasi
6. Tingkatan masukan diet kalsium.
R: Tingkatan masukan diet kalsium sampai setidaknya 1.000 hingga 1.500 mg/hari
pada orang dewasa sangat dianjurkan (produk dari susu: sayuran berdaun hijau;
salmon kaleng, sadin, dan oyster segar)
7. Monitor pemeriksaan EKG dan laboratorium kalsium serum.
R: Menilai keberhasilan intervensi
d. Risiko perubahan perfusi serebral b.d. penurunan pH pada cairan serebrospinal efek
sekunder dari asidosis metabolic
Tujuan: setelah diberikan asuhan keperawatan 2x24 jam diharapkan perfusi jaringan
otak dapat tercapai secara optimal
Kriteria: klien tidak mengalami kegelisahan,tidak ada keluhan nyeri kepala, mual
kejang. GCS 456 pupil isokor, reflek cahaya (+), TTV normal, serta klien tidak
mengalami defisit neurologis seperti: lemas , agitasi iritabel, hiperefleksia, dan
spastisitas dapat terjadi hingga akhirnya timbul koma, kejang.
Intervensi:
1. Monitor tanda-tanda status neurologis dengan GCS.
R: Dapat mengurangi kerusakan otak lebih lanjut.
2. Monitor tanda-tanda vital seperti TD, nadi, suhu, respirasi, dan hati-hati pada
hipertensi sistolik.
R: Pada keadaan normal, autoregulasi mempertahankan keadaan tekanan darah
sistemik yang dapat berubah secara fluktuasi. Kegagalan autoreguler akan
menyebabkan kerusakan vaskular serebral yang dapat dimanifestasikan dengan
peningkatan sistolik dan diikuti oleh penurunan tekanan diastolik, sedangkan
peningkatan suhu dapat menggambarkan pejralanan infeksi.
3. Bantu klien untuk membatasi muntah dan batuk. Anjurkan klien untuk
mengeluarkan napas apabila bergerak atau berbalik di tempat tidur.
R: Aktivitas ini dapat meningkatkan tekanan intrakranial dan
intraabdomen.Mengeluarkan napas sewaktu bergerak atau mengubah posisi dapat
melindungi diri dari efek valsava.
4. Anjurkan klien untuk menghindari batuk dan mengejan berlebihan
R: Batuk dan mengejan dapat meningkatkan tekanan intrakranial dan potensial
terjadi perdarahan ulang.
5. Monitor kalium serum
R: Hiperkalemi terjadi dengan asidosis, hipokalemi dapat terjadi pada kebalikan
asidosis dan perpindahan kalium kembali ke sel.
f. Risiko tinggi aritmia b.d gangguan konduksi elektrikal efek sekunder dari hiperkalemi
Tujuan: setelah diberikan asuhan keperawatan 1x24 jam diharapkan tidak terjadi
aritmia.
Kriteria: Klien tidak gelisah, tidak mengeluh mual-mual dan muntah, GCS 456, tidak
terdapat papiledema, TTV dalam batas normal, Klien tidak mengalami defisit
neurologis, kadar kalium serum dalam batas normal.
Intervensi:
1. Kaji faktor penyebab dari situasi/keadaan individu dan faktor-faktor hiperkalemi.
R: Banyak faktor yang menyebabkan hiperkalemia dan penanganan disesuaikan
dengan faktor penyebab.
2. Beri diet rendah kalium
R: Makanan yang mengandung kalium tinggi yang harus dihindari termausk kopi,
cocoa, the, buah yang dikeringkan, kacang yang dikeringkan, dan roti gandum utuh.
Susu dan telur juga mengandung kalium yang cukup besar. Sebaliknya, makanan
dengan kandungan kalium minimal termasuk mentega, margarin, sari buah, atau
saus cranbeery, bir jahe, permen karet, atau gula-gula (permen), root beer, gula dan
madu.
3. Memonitor tanda-tanda vital tiap 4 jam.
R: Adanya perubahan TTV secara cepat dapat menjadi pencetus aritmia pada klien
hipokalemi.
4. Monitoring klien yang berisiko terjadi hipokalemi
R: Asidosis dan kerusakan jaringan seperti pada luka bakat atau cedera remuk,
dapat menyebabkan perpindahan kalium dari ICF ke ECF, dan masih ada hal-hal
lain yang dapat menyebabkan hiperkalemia. Akhirnya, larutan IV yang
mengandung kalium harus diberikan perlahan-lahan untuk mencegah terjadinya
beban kalium berlebihan latrogenik.
5. Monitoring klien yang mendapat infus cepat yang mengandung kalium
R: Aspek yang paling penting dari pencegahan hiperkalemia adalah mengenali
keadaan klinis yang dapat menimbulkan hiperkalemia karena hiperkalemia adalah
akibat yang bisa diperkirakan pada banyak penyakit dan pemberian obat-obatan.
Selain itu, juga harus diperhatikan agar tidak terjadi pemberian infus larutan IV
yang mengandung kalium dengan kecepatan tinggi.
6. Pemberian kalsium glukonat.
R: Kalsium glukonat 10% sebanyak 10 ml diinfus IV perlahan-lahan selama 2-3
menit dengan pantauan EKG, efeknya terlihat dalam waktu 5 menit, tetapi hanya
bertahan sekitar 30 menit.
7. Pemberian glukosa 10%.
R: Glukosa 10% dalam 500 ml dengan 10 U insulin regular akan memindahkan
+
K ke dalam sel; efeknya terlihat dalam waktu 30 menit dan dapat bertahan
beberapa jam.
Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan ditegakkan atas dasar data dari pasien. Kemungkinan diagnosa
keperawatan dari orang dengan kegagalan ginjal kronis adalah sebagai berikut :
3. Intervensi
Diagnosa I
Kelebihan volume cairan berhubungan dengan penurunan haluaran urine, diet
berlebihan dan retensi cairan serta natrium.
Tujuan : mempertahankan berat tubuh ideal tanpa kelebihan cairan.
Kriteria hasil :
Intervensi
Diagnosa II
Perubahan nutrisi : Kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan anoreksia, mual
dan muntah, pembatasan diet perubahan membran mukosa mulut.
Tujuan : Mempertahankan masukan nutrisi yang adekuat
Kriteria hasil :
Intervensi
o Riwayat diet
o Makanan kesukaan
o Hitung kalori
Pola diet dahulu dan sekarang dapat dipertimbangkan dalam menyusun menu.
(Keperawatan Medikal Bedah edisi 8 vol 2, Brunner & Suddart, hal 1452).
o Depresi
Menyediakan informasi mengenai faktor lain yang dapat diubah atau dihilangkan
untuk meningkatkan masukan diet.
7. Tinggikan masukan protein yang mengandung nilai biologis tinggi : telur, susu,
daging.
Protein lengkap diberikan untuk mencapai keseimbangan nitrogen yang
diperlukan untuk pertumbuhan dan penyembuhan. (Keperawatan Medikal Bedah
edisi 8 vol 2, Brunner & Suddart, hal 1452).
Diagnosa III
Intoleran aktifitas berhubungan dengan kelelahan, anemia dan retensi produk sampah
Tujuan : Berpartisipasi dalam aktifitas yang dapat ditoleransi
Kriteria hasil :
Intervensi
o Anemia
o Ketidakseimbangan cairan dan elektrolit
o Depresi
Diagnosa IV
Ansietas berhubungan dengan kurang pengetahuan tentang kondis, pemeriksaan
diagnostic, rencana tindakan dan prognosis.
Tujuan : Ansietas berkurang dengan adanya peningkatan pengetahuan tentang penykit
dan pengobatan.
Kriteria hasil :
Intervensi
1. Bila mungkin atur untuk kunjungan dari individu yang mendapat terapi.
Indiviodu yang berhasil dalam koping dapat pengaruh positif untuk membantu
pasien yang baru didiagnosa mempertahankan harapan dan mulai menilai
perubahan gaya hidup yang akan diterima. (Rencana Asuhan Keperawatan vol
1, Barbara Engram hal 159).
o Sifat gagal ginjal. Jamin pasien memahami bahwa gagal ginjal kronis
adalah tak dapat pulih dan bahwa lama tindakan diperlukan untuk
mempertahankan fungsi tubuh normal.
Tujuan
Diskripsi singkat
o Jelaskan fungsi renal dan konsekuensi gagal ginjal sesuai dengan tingkat
pemahaman dan kesiapan pasien untuk belajar.
Pasien dapat belajar tentang gagal ginjal dan penanganan setelah mereka
siap untuk memahami dan menerima diagnosis dan konsekuensinya.
Mansjoer, Arif, dkk. 2001. Kapita Selekta Kedokteran edisi 3 jilid 1. Jakarta: Salemba Medika
Muttaqin, Arif, Kumala Sari. 2011. Askep Gangguan Sistem Perkemihan. Jakarta: Salemba
Medika.
Price, S. A & Wilson, L. M. 2005. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Edisi 6
Volume 2. Jakarta: EGC
Smeltzer, Suzanne C, Brenda G bare, 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta:
EGC
Doenges, Marilyn. E. 1999. Rencana Asuhan Keperawatan. Edisi 3. Jakarta: EGC
NANDA Internasional. 2012. Diagnosa Keperawatan: Definisi dan Klasifikasi. Jakarta: EGC.
Suddart, Brunner. 2002. Keperawatan Medikal Bedah Edisi 8 Vol 2 alih bahasa H. Y. Kuncara,
Andry Hartono, Monica Ester, Yasmin Asih. Jakarta: EGC
Nursalam, Dr. Nurs M. 2006. Asuhan Keperawatan Pada Pasien Dengan Gangguan Sistem
Perkemihan. Jakarta: Salemba Medika
Tambayong, jan. 2000. Patofisiologi Untuk Keperawatan. Jakarta: EGC
Roesli R. 2007. Kriteria RIFLE Cara yang Mudah dan Terpercaya untuk Menegakkan
Diagnosis dan Memprediksi Prognosis Gagal Ginjal Akut. Bandung: Pusat Penerbitan
Ilmiah Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UNPAD
Schrier RW, Wang W, Poole B, Mitra A. 2004. Acute Renal Failure: Definitions, Diagnosis,
Pathogenesis, and Therapy. J. Clin. Invest.
Sinto R, Nainggolan G. 2010. Acute Kidney Injury: Pendekatan Klinis dan Tata Laksana.
Jakarta: Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia