Professional Documents
Culture Documents
A. Konsep Teori
1. Defenisi
Paraparese adalah kelemahan otot kedua ekstremitas bawah pada fungsi motoric dan
sensorik pada segmen torakal, lumbal atau sacral medulla spinalis (Smeltzer & Bare,
2002).
Paraplegia adalah cedera saraf tulang belakang yang disebabkan karena kecelakaan yang
merusak sensorik dan fungsi motorik di bagian tubuh. Paraplegia mengalami kelumpuhan
pada kedua tungkai kaki dan mati rasa pada bagian perut hingga ujung kaki akibat cedera
pada sumsum tulang belakang. Para penderita paraplegia juga memiiki masalah lain
seperti impotensia, BAK, BAB, selain itu emosional, depresi, dan stres karena mereka
tidak bisa berjalan lagi.
Perbedaan kuadraplegi, paraplegia, tetraplegia, paralisis dan parese (Smeltzer & Bare,
2002), (Kowalak, 2011).
a. Kuadriplegik mengacu pada kehilangan gerakan dan sensasi pada keempat
ekstremitas dan badan yang dikaitkan dengan cedera pada medulla spinalis
cervikalis.
b. Paraplegia mengacu pada kehilangan gerak dan sensasi ekstremitas bawah dan semua
atau sebagian badan sebagai akibat cedera pada torakal, lumbal atau sacral.
c. Paralisis merupakan hilangnya kekuatan untuk memindahkan tubuh berhubungan
dengan injury atau penyakit pada syaraf yang mengatur otot dalam melakukan
perpindahan tubuh.
d. Plegia yaitu kehilangan kekuatan.
e. Paresis yaitu kelemahan yang berarti pada otot yang terkena.
f. Paraparese yaitu kelemahan tonus otot pada ekstremitas bawah.
g. Tetraparese yaitu kelemahan tonus otot yang melibatkan salah satu segmen servikal
medulla spinalis dengan disfungsi kedua lengan dan kedua kaki.
2. Etiologi
Penyebab paraparese menurut Smeltzer & Bare (2002) adalah sebagai berikut:
a. Faktor trauma tulang belakang, paling banyak terjadi karena jatuh dari ketinggian.
b. Faktor infeksi myelin
2
3. Klasifikasi
a. Paraparese spastik: terjadi karena kerusakan yang mengenai upper motor neuron
(UMN) sehingga menyebabkan peningkatan tonus otot atau hipertonus.
b. Paraparese flaksid terjadi karena kerusakan yang mengenai lower motor neuron
(LMN) sehingga menyebabkan penurunan tonus otot atau hypotonus.
Lesi yang terjadi pada medulla spinalis dapat menimbulkan gejala klinis:
a. Gangguan fungsi motoric
1) Lesi pada medulla spinalis merusak kornu anterior medulla spinalis sehingga
menimbulkan kelumpuhan LMN pada otot-otot yang dipersyarafi oleh
kelompok motoneuron ynag terkena lesi dan menyebabkan nyeri punggung
yang terjadi secara tiba-tiba.
2) Gangguan motoric dibawah lesi: dapat terjadi kelumpuhan UMN karena jaras
kortikospinal lateral segmen thorakal terputus. Gerakan reflex tertentu yang
tidak dikendalikan oleh otak akan tetap utuh atau bahkan meningkat.
Misalnya, reflex lutut tetap ada dan bahkan meningkat. Meningkatnya reflex
ini menyebabkan kejang tungkai. Reflex yang tetap dipertahankan
menyebabkan otot yang terkena menjadi memendek sehingga terjadi
kelumpuhan jenis spastik. Otot yang spastik teraba kencang dan keras dan
sering mengalami kedutan.
b. Gangguan fungsi sensorik
Karena lesi total juga merusak kornu posterior medulla spinalis maka akan terjadi
penurunan atau hilang fungsi sensitabilitas di bawah lesi. Penderita tidak dapat
merasakan adanya rangsangan taktil, rangsang nyeri, rangsang thermal.
c. Gangguan fungsi autonomy karena terputusnya jaras ascenden spinothalamicus
maka penderita kehilangan kontrol vesika urinaria dan kehilangan kontrol saat
defekasi (disfungsi kandung kemoh dan usus).
5. Komplikasi
a. Gangguan penghubung dari lokasi pusat hambatan yang lebih tinggi di otak.
b. Infeksi dan sepsis dari berbagai sumber meliputi saluran kemih, saluran
pernapasan dan decubitus.
6. Penatalaksanaan
4) Selain itu, fokus selanjutnya adalah mempertahankan tekanan darah dan pernapasan,
stabilisasi leher, mencegah komplikasi (retensi urine atau alvi, komplikasi
kardiovascular atau respiratorik, dan thrombosis vena-vena profunda)
b. Penanganan lanjut trauma medulla spinalis dapat dilakukan dengan:
1) Farmakoterapi
Pemberian kortikosteroid dosis tinggi, khususnya metilprednisolon, telah ditemukan
unruk memperbaiki prognosis dan mengurangi kecacatan bila diberikan dalam 8 jam
cedera.
2) Hipotermia
Teknik pendinginan atau penyebaran hipotermia ke daerah cedera dari medulla
spinalis, untuk mengatasi kekuatan autodestruktif yang mengikuti tipe cedera ini, cara
ini keefektifannya masih diselidiki.
3) Tindakan pernapasan
Oksigen diberikan untuk mempertahankan PO2 arteri tinggi, karena anoksemia dapat
menimbulkan atau memperburuk deficit neurologic medulla spinalis. Intubasi
endotrakea diberikan bila perlu, perawatan ekstrem dilakukan untuk menghindari
fleksi atau ekstensi leher, yang dapat menimbulkan tekanan pada cidera servikal
diaphragma pacing (stimulasi listrik terhadap saraf frenik) dapat dipertimbangkan
unituk pasien dengan lesi servikal tinggi tetapi biasanya dilakukan setelah fase akut.
4) Traksi dan Reduksi skelet
Penatalaksanaan cidera medulla spinalis memerlukan imobilisasi dan reduksi dislokasi
(memperbaiki posisi normal) dan stabilisasi kolum vertebra.
5) Fraktur servikal dikurangi dan spinal servikal disejajarkan dengan beberapa bentuk
traksi seklet seperti tong seklet atau callipers, atau dengan menggunakan alat halo.
6) Intervensi pembedahan, pembedahan diindikasikan bila :
a) Deformitas pasien tidak dapat dikurangi dengan traksi
b) Tidak ada kestabilan tulang servikal
c) Cedera terjadi pada daerah toraks atau lumbal
d) Status neurologic pasien memburuk.
Pembedahan dilakukan untuk mengurangi fraktur spinal atau dislokasi atau
dekompresi medulla. Laminektomi (eksisi cabang posterior dan prossesus spinosus
vertebra) diindikasikan pada adanya defisit neurologic progresif, dicurigai adanya
hematoma epidural, atau cedera penetrasi yang memerlukan debridemen pembedahan,
atau memungkinkan visualisasi langsung dan eksplorasi medulla.
Penderita menghadapi ketidakmampuan fisik sepanjang hidup sehingga memerlukan
tindak lanjut dan perawatan terus menerus dari professional kesehatan seperti psikiatris,
perawat rehabilitasi, ahli terapi okupasi.
5
7. Pemeriksaan Penunjang
a. Laboratorium
b. Hematologi
1) Hemoglobin dapat menurun karena destruksi sum-sum tulang vertebra atau
perdarahan. Peningkatan leukosit menandakan selain adanya infeksi juga karena
kematian jaringan.
2) Kimia klinik: fungsi pembekuan darah sebelum terapi antikoagulan.
3) Juga dapat terjadi gangguan elektrolit karena terjadi gangguan dalam fungsi
perkemihan dan fungsi gastrointestinal.
4) Radiognostik
5) CT Scan untuk melihat adanya edema, hematoma, iskemia dan infark
6) MRI menunjukkan daerah yang mengalami fraktur, infark hemoragik.
7) Rontgen menunjukkan daerah yang mengalami fraktur dan kelainan tulang.
8. PATHWAY
T2-T4: kelumpuhan anggota gerak bawah, hilangnya rasa pada kedua putting susu
T5-T8: kelumpuhan pada anggota gerak bagian bawah dan kehilangan rasa pada daerah tulang dada
T9-T11: Kelumpuhan pada kaki dan kehilangan rasa pada daerah umbilicus
T12-L1: Kelumpuhan pada daerah dibawah paha
L2-L5: kelumpuhan pada keldua kaki
S1-S2: Kelumpuhan pada kedua kaki
S3-S5: Kehilangan kontrol pada kandung kemih dan usus. Kehilangan sensasi pada daerah
perineum
6
h) Neurosensori
Kesadaran: GCS
Fungsi motorik: Kelumpuhan, kelemahan
Fungsi sensorik: Kehilangan sensasi / sensibilitas.
Refleks fisiologis: Kehilangan refleks /refleks asimetris termasuk tendon dalam.
Kehilangan tonus otot /vasomotor.
Skala
Tingkat Fungsi Otot
Tingkat % Normal Skala Lovett
Tidak ada kontraktilitas 0 0 0 (nol)
Kontraktilitas ringan, tidak ada gerakan 1 10 T (trace/mimimal)
Rentang gerak penuh, tanpa gravitasi 2 25 P (poor/buruk)
Rentang gerak penuh, dengan gravitasi 3 50 F (fair/cukup)
Rentang gerak penuh, melawan gravitasi, 4 75 G (good/baik)
terdapat sedikit tahanan
Rentang gerak penuh, melawan gravitasi, 5 100 N (normal)
tahanan penuh
Refleks patologis: reflek patologis ynag sering diperiksa adalah ekstensor plantar
respons atau reflek Babinski.
Perubahan reaksi pupil, ptosis, hilangnya keringat bagian tubuh yang terkena karena
pengaruh trauma spinal.
i) Nyeri /kenyamanan
Mengalami deformitas, postur, nyeri tekan vertebral.
j) Pernapasan
Pernapasan dangkal, periode apnea, penurunan bunyi napas, ronki, pucat, sianosis.
k) Keamanan
Suhu yang berfluktuasi, jatuh.
2. Diagnosa Keperawatan Yang Mungkin Muncul
a. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan ketidakmampuan berjalan
b. Retensi Urin berhubungan dengan cedera medulla spinalis
c. Konstipasi berhubungan dengan gangguan neurologis
d. Disfungsi seksual berhubungan dengan gangguan neurologis
e. Ketidakefektifan koping berhubungan dengan ketidakmampuan beradaptif dengan
situasi yang dialami.
8
2 Retensi urin 1. setelah dilakukan tindakan keprawatan Self care Assistence : Toileting
berhubungan dengan salaam 3x24 jam diharapkan pasien 1. Sediakan alat bantu untuk berkemih (misal : kateter).
gangguan neuromuskular dapat mengontrol pola berkemih 2. Monitor integritas kulit pasien terutama di daerah bokong.
dengan kriteria:
Urinary Elimination Urinary Catheterization (0580)
Pola eliminasi urun kembali normal 1. Jelaskan prosedur dan rasional dilakukan pemasangan kateter.
seperti semula. 2. Siapkan alat alat pemasangan kateter.
3. Pertahankan teknik aseptic.
4. Gunakan kateter yang paling kecil.
5. Hubungkan kateter dengan drainase bag.
9
kebutuhan
2. Melakukan aktifitas seksual dengan
partner seperti sebelumnya.
4. Implementasi
Implementasi dilakukan sesuai intervensi keperawatan berdasarkan prioritas.
5. Evaluasi
a. Pasien dapat melakukan aktifitas fisik secacra bertahap dengan alat bantu sampai mandiri
b. Kemampuan berkemih secara normal
c. Kemampuan defekasi kemmabi normal.
d. Fungsi seksual kembali normal
e. Pasien dpaat beradapatasi terhadap dampak trauma yang dialamu dan melakukan hal yang positif sesuai kemampuan.
11
Menurut Potter & Perry, (2009), ROM terdiri dari gerakan pada persendian sebagai berikut :
1. Leher, Spina, Servikal
Gerakan Penjelasan Rentang
Fleksi Menggerakan dagu menempel ke dada, rentang 45
Ekstensi Mengembalikan kepala ke posisi tegak, rentang 45
Hiperektensi Menekuk kepala ke belakang sejauh mungkin, rentang 40-45
Fleksi lateral Memiringkan kepala sejauh mungkin sejauh rentang 40-45
mungkin kearah setiap bahu,
Rotasi Memutar kepala sejauh mungkin dalam gerakan rentang 180
sirkuler,
2. Bahu
3. Siku
4. Lengan bawah
12
5. Pergelangan tangan
7. Ibu jari
8. Pinggul
13
9. Lutut
11. Kaki
DAFTAR PUSTAKA
14
Herdman, T. H. & Kamitsuru, S. (2015). Diagnosis Keperawatan: Definisi & Klasifikasi. Edisi
10. Jakarta: EGC
Kowalak, P. J., Welsh, W., & Mayer, B. (2011). Buku Ajar Patofisologi. Jakarta: EGC
Moorhead, S., Jonson, M., Mass, M. L., & Swanson, E. (2008). Nursing Outcomes
Classification. Mosby. Elsevier inc
Smeltzer, S. C, & Bare, B. G. (2002). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Volume 2, Edisi
8. Jakarta: EGC
15