You are on page 1of 14

Limfadenitis Filariasis

Elike Oktorindah Pamilangan


102013412
D2
Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Jl. Arjuna Utara no.6 Kebon Jeruk, Jakarta
elikeoktorindah@gmail.com

Pendahuluan
Penyakit kaki gajah (filariasis) adalah penyakit menahun yang disebabkan oleh infeksi
cacing filarial yang ditularkan oleh berbagai jenis nyamuk. Penyakit ini merupakan penyebab
utama kecacatan, stigma sosial, hambatan psikososial, dan penurunan produktivitas kerja
individu, keluarga, dan masyarakat sehingga menimbulkan kerugian ekonomi yang besar.
Dengan demikian penderita menjadi beban keluarga dan negara.

Pembahasan

Definisi
Penyakit kaki gajah atau Bancrofti filariasis adalah infeksi Wuchereria bancrofti yang
mengalami perubahan siklus hidup (stadium seksual) dan menjadi dewasa didalam kelenjar getah
bening manusia sebagai pejamu definitif.1 Infeksi dengan Wuchereria bancrofti menimbulkan
sindroma klinis yang serupa, ditandai pada awal stadium dengan limfangitis dan limfadenitis
akut, dan, kemudian oleh obstruksi limfatik dengan hidrokel dan elefantiasis.2

Anamnesis
Anamnesis adalah suatu teknik wawancara terhadap pasien disertai dengan empati.
Anamnesis yang baik terdiri dari identitas, keluhan utama, riwayat penyakit sekarang, riwayat
penyakit dahulu, riwayat obstetri, dan ginekologi, riwayat penyakit keluarga, anamnesis susunan
sistem dan anamnesis pribadi.3
Identitas meliputi nama lengkap, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin, nama orang tua
atau suami atau isteri atau penanggung jawab, alamat, pendidikan, pekerjaan, suku bangsa dan
agama. Keluhan utama adalah keluhan yang dirasakan pasien yang membawa pasien pergi ke
dokter atau mencari pertolongan. Riwayat penyakit sekarang atau riwayat perjalanan penyakit
adalah cerita kronologis, terinci dan jelas mengenai keadaan kesehatan pasien sejak sebelum
keluhan utama sampai pasien datang berobat. Riwayat penyakit dahulu untuk mengetahui

1
kemungkinan-kemungkinan adanya hubungan antara penyakit yang pernah diderita dengan
penyakitnya sekarang. Anamnesis susunan sistem bertujuan mengumpulkan data-data positif dan
negatif yang berhubungan dengan penyakit yang diderita pasien berdasarkan alat tubuh yang
sakit. Riwayat penyakit dalam keluarga penting untuk mencari kemungkinan penyakit herediter,
familial atau penyakit infeksi.3
Didalam kasus didapati bahwa:

Identitas : Seorang laki-laki berusia 40 tahun.

Keluhan utama : Bengkak pada tungkai kirinya sejak 1 bulan yang lalu.

Riwayat penyakit sekarang : Pasien mengeluh demam naik turun setiap 3 hari, BAK dengan
kencing yang berwarna putih seperti susu.

Pemerikasaan Fisik

Pemeriksaan fisik biasa terdiri dari inspeksi, palpasi, dan edema non pitting pada tungkai kiri.
Pemeriksaan fisik ini berguna agar kita dapat lebih mudah mengetahui keadaaan fisik pasien.4
1. Inspeksi

Pada pemeriksaan ini ditentukan dengan cara melihat dan hal yang dilaporkan adalah Injeksi
konjugtiva, lakrimasi, fotobia, bercak-bercak merah, dan lidah kotor.

2. Palpasi

Pemeriksaan ini dilakukan dengan cara meraba. Khusus pada penderita Dengue Shock
Sindrom (DSS) kulitnya akan terasa lembab, dingin dan sianosis perifer terutama di ujung
jari dan hidung.

3. Edema non pitting

Edem non pitting adalah kedaaan edem dimana apabila dipencet atau ditekan pada bagian
edem, maka dengan segera cekungan itu akan kembali ke seperti semula, bahkan tidak akan
timbul bekas bahwa bagian yang terkena edem sudah ditekan.

4. Kesadaran

1) Kesadaran pasien dapat diperiksa secara inspeksi dengan melihat reaksi pasien yang
wajar terhadap stimulus visual, auditor maupun taktil. Seorang yang sadar dapat tertidur,

2
tapi segera terbangun bila dirangsang. Bila perlu, tingkat kesadaran dapat diperiksa
dengan memberikan rangsang nyeri. Kita dapat mengetahui macam-macam tingkat
kesadaran, yaitu: 5

Compos Mentis (conscious), yaitu kesadaran normal, sadar sepenuhnya, dapat menjawab
semua pertanyaan tentang keadaan sekelilingnya..
Apatis, yaitu keadaan kesadaran yang segan untuk berhubungan dengan sekitarnya,
sikapnya acuh tak acuh.
Delirium, yaitu gelisah, disorientasi (orang, tempat, waktu), memberontak, berteriak-
teriak, berhalusinasi, kadang berhayal.
Somnolen (Obtundasi, Letargi), yaitu kesadaran menurun, respon psikomotor yang
lambat, mudah tertidur, namun kesadaran dapat pulih bila dirangsang (mudah
dibangunkan) tetapi jatuh tertidur lagi, mampu memberi jawaban verbal.
Stupor (soporo koma), yaitu keadaan seperti tertidur lelap, tetapi ada respon terhadap
nyeri.
Coma (comatose), yaitu tidak bisa dibangunkan, tidak ada respon terhadap rangsangan
apapun (tidak ada respon kornea maupun reflek muntah, mungkin juga tidak ada respon
pupil terhadap cahaya). 4

2) Tanda-Tanda Vital
Suhu: Untuk mengukur suhu tubuh, digunakan termometer demam. Suhu tubuh yang
normal adalah 36-37C.
Tekanan darah: Tekanan darah diukur dengan menggunakan tensimeter
(sfigmomanometer). Tekanan darah normal biasanya 120/80 mmHg.
Denyut nadi: Pemeriksaan nadi biasanya dilakukan dengan melakukan palpasi a. radialis.
Frekuensi nadi yang normal adalah sekitar 80 kali per menit.
Respiratory rate: Dalam keadaan normal, frekuensi pernapasan adalah 16-24 kali per
menit.4
Pada kasus, didapatkan hasil pemeriksaan fisik; KU = tampak sakit sedang, kesadaran =
compos mentis, TD = 110/70 mmHg, HR = 90 x/menit, RR = 20 x/menit, S = 37,2 oC.
Extremitas : edema non pitting di tungkai kiri, nyeri tekan (+).

Pemeriksaan Penunjang
3
1. Diagnosis Parasitologi
Deteksi parasit yaitu menemukan microfilaria didalam darah, cairan hidrokel atau cairan
kiluria pada pemeriksaan sediaan darah tebal, teknik konsentrasi Knott, membrane filtrasi
dan tes profokatif dan DEC 100. Pengambilan darah dilakukan malam hari mengingat
periodisitas mikrofilarianya umumnya nokturna. Pada pemeriksaan histopatologi kadang-
kadang potongan cacing dewasa dapat dijumpai disaluran dan kelenjar limfe dari jaringan
yang dicurigai sebagai tumor. Diferensiasi spesies dan stadium filaria yaitu dengan
menggunakan pelacak DNA dan spesies spesifik dan antibodi monoclonal untuk
mengidentifikasi larva filarial dalam cairan tubuh dan dalam tubuh nyamuk vektor sehingga
dapat membedakan antara larva filarial yang menginfeksi manusia dengan yang menginfeksi
hewan penggunaannya masih terbatas pada penelitian dan survey.
2. Radiodiagnosis
Pemeriksaan dengan USG pada skrotum dan kelenjar getah bening inguinal pasien akan
memberikan gambaran cacing yang bergerak-gerak. Ini berguna untuk evaluasi hasil
pengobatan. Pemeriksaan limfosintigrafi dengan menggunakan dextran atau albumin yang
ditandai dengan zat radioaktif menunjukkan abnormalitas pada sistem limfatik sekalipun
pada penderita yang asimtomatik mikrofilaremia.
3. Diagnosis Immunologi
Dengan teknik ELISA ( Enzyme-Linked Immunosorbent Assay) dan ICT (Insuline Coma
Theraphy) pada dasarnya menggunakan antibodi monoclonal yang spesifik untuk mendeteksi
antigen Wuchereria Brankrofti dalam sirkulasi. Hasil yang positif menunjukkan adanya
infeksi aktif walaupun microfilaria tidak ditemukan dalam darah. Pada stadium obstruktif,
microfilaria sering tidak ditemukan lagi dalam darah, tapi ada di cairan hidrokel atau cairan
kiloria. Deteksi antigen merupakan deteksi metabolit, ekskresi dan sekresi parasit tersebut.
4. Pemeriksaan urin dan mikroskopis
Jika diduga filariasis limfatik, pemeriksaan urin secara makroskopis untuk chyluria kemudian
dipusatkan untuk mikrofilaria.
5. CBC (Complete Blood Count)
Eosinofilia terjadi pada semua bentuk infeksi filariasis yang jelas.

6. Penilaian serum immunoglobulin


Peningkatan serum Ige dan IgG4 dapat terlihat pada filariasis aktif.6

4
Diagnosis
1. Working Diagnosis
Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik maupun penunjang, dapat disimpulkan
bahwa working diagnosis pada kasus ini adalah limfadenitis filariasis. Limfadenitis dan
limfangitis dapat timbul pada sistem limfe dimana saja, tetapi kebanyakan di daerah lipat
paha kemudian menjalar ke arah distal (desendens) terlihat sepert tali berwarna merah dan
terasa nyeri. Gejala kronik seperti sikatrik, hidrokel testis dan elephantiasis sifatnya menetap.
Pada filariasis bancrofti dapat terjadi elephantiasis pada seluruh kaki atau lengan sedangkan
pada filariasis malayi atau timori hanya terjadi elefantiasis dibawah lutut. Di daerah endemik
filariasis munculnya gejala-gejala klinis bervariasi, ada yang cepat, ada yang lambat sampai
beberapa tahun, tetapi ada yang tidak menunjukkan gejala klinis sama sekali sepanjang
hidupnya walaupun sudah terinfeksi filaria.7

2. Differential Diagnosis
1) Limfadenitis Tuberkulosis
Limfadenitis tuberkulosis adalah limfadenitis kronis non spesifik yang biasanya
disebabkan bakteri mikobakterium tuberkulosis tipe bovin. Fokal infeksi biasanya bukan
berasal dari koch pulmonum ( tuberkulosa ekstra pulmonal ). Infeksi terutama melalui
mukosa orofaring. Limfadenitis tuberkulosis sering terjadi pada orang dengan higiene yang
kurang baik. Ciri khas limfadenitis tuberkulosis antara lain ditemukan pembesaran kelenjar
getah bening multipel, dapat terjadi periadenitis yang menggerombol seperti untaian mutiara,
dan keluar perkejuan pada permukaan kulit (skrofuloderma).8
2) Limfadenitis Bacterial
Limfadenitis bacterial, contohnya adalah limfadenitis servikal. Limfadenitis ini sering di
jumpai pada populasi anak-anak, merupakan infeksi primer pada kelenjar limfe. Organisme
penyebab sering memasuki tubuh melalui faring, hidung, gigi, atau luka pada
kulit.Penyebabnya adalah bakteri dan Staphylococcus aureus merupakan organisme yang
paling sering diisolasi. Pathogen lain yang dapat ditemukan adalah streptokokus grup A,
Mycobacterium tuberculosis, mikobakterium atipik, basil Gram negatif (diduga merupakan
agen penyebab penyakit cakar kucing), Haemophilus influenza, bakteri anaerob, Francisella
tularensis, dan Yersinia pestis. Pada pemeriksaan fisik biasanya menunjukkan adanya
kelenjar limfe yang padat, hangat, eritematosa, dan nyeri. Kadang-kadang dapat dijumpai
demam dan peningkatan jumlah leukosit, terutama pada anak-anak.9

5
Patofisiologi
Penyakit filariasis ini adalah infeksi cacing nematoda yang mengalami perubahan siklus
hidup (stadium seksual) dan menjadi dewasa di dalam kelenjar limfe manusia sebagai hospes
definitif. Cacing betina akan memproduksi mikrofilaria yang masuk ke dalam aliran darah
perifer menausia pada malam hari dengan konsentrasi tinggi pada jam antara 10.00 malam dan
2.00 pagi. Bila penderita digigit nyamuk dan nyamuknya menghisap darahnya, maka mikrofilaria
yang terdapat dalam tubuh penderita akan terhisap oleh nyamuk dan mengalami perkembangan.
Mula-mula masuk ke lambung nyamuk untuk melepaskan sarung lalu menuju ke toraks dan
menjadi larva 1, 2, dan 3.Pada stadium larva 3 ini sudah berada di proboscis nyamuk. Lalu ketika
nyamuk mengigit manusia, larva 3 akan masuk ke tubuh manusia dan berkembang menjadi larva
4 dan 5 di limfe.1

Gambar : Daur hidup limfadenitis filariasis


Sumber : http://www.dpd.cdc.gov/dpdx

Etiologi
Filariasis disebabkan oleh investasi satu atau dua cacing jenis filaria yaitu Wuchereria
bancrofti atau Brugia malayi. Cacing filaria ini termasuk famili Filaridae, yang bentuknya
langsing dan ditemukan di dalam sistem peredaran darah limfe, otot, jaringan ikat atau rongga
serosa pada vertebrata. Cacing bentuk dewasa dapat ditemukan pada pembuluh dan jaringan
limfa pasien.3
Pada manusia W. bancrofti dapat hidup selama kira-kira 5 tahun. 3 Larva filaria
dimasukkan ke dalam manusia dalam sekresi gigitan nyamuk. Selama berbulan-bulan sampai
bertahun-tahun stadium ini berkembang menjadi cacing dewasa yang bertempat tinggal dalam

6
pembuluh dan kelenjar limfe. Cacing betina dewasa yang matang secara seksual melepaskan
sejumlah besar mikrofilaria yang bersikulasi dalam aliran darah. Siklus hidup parasit
disempurnakan ketika nyamuk menelan oganisme ini dalam makanan darah.2
Masa inkubasi penyakit ini cukup lama lebih kurang 1 tahun, sedangkan penularan
parasit terjadi melalui vektor nyamuk sebagai hospes perantara, dan manusia atau hewan kera
dan anjing sebagai hospes definitif.3 Di daerah perkotaan, parasit ini ditularkan oleh nyamuk
Culex quiquefasciatus. Di pedesaan, vektornya berupa nyamuk Anopheles atau Aedes.4

Epidemiologi
Filariasis bancrofti dapat dijumpai di perkotaan atau pedesaan. Di Indonesia, parasit ini
lebih sering dijumpai di pedesaan daripada di perkotaan dan penyebarannya bersifat fokal.
Kurang lebih 20 juta penduduk Indonesia bermukim di daerah endemi filariasis bancrofti, malayi
dan timori dan mereka sewaktu-waktu dapat ditulari. Kelompok umur dewasa muda merupakan
kelompok penduduk yang paling sering menderita, terutama mereka yang tergolong penduduk
berpenghasilan rendah.4
Prevalensi mikrofilaria meningkat bersamaan dengan umur pada anak-anak dan
meningkat antara umur 20-30 tahun, pada saat usia pertumbuhan, serta lebih tinggi pada laki-laki
dibanding wanita.3

Komplikasi
Manifestasi klinis filariasis dipengaruhi oleh berbagai faktor, termasuk usia, jenis
kelamin, lokasi anatomis cacing dewasa filaria, respon imun, riwayat pajanan sebelumnya, dan
infeksi sekunder. Berdasarkan pemeriksaan fisik dan parasitologi, manifestasi klinis filariasis
dibagi dalam 4 stadium yaitu:
Asimptomatik atau subklinis filariasis
Individu asimptomatik dengan mikrofilaremia
Pada daerah endemik dapat ditemukan penduduk dengan mikrofilaria positif tetapi tidak
menunjukkan gejala klinis. Angka kejadian stadium ini meningkat sesuai umur dan biasanya
mencapai puncaknya pada usia 20-30 tahun, dan lebih banyak terjadi pada pria dibandingkan
wanita. Banyak bukti menunjukan bahwa walaupun secara klinis asimptomatik tetapi semua
individu yang terinfeksi W. bancrofti dan B.malayi mempunyai gejala subklinis. Hal tersebut
terlihat pada 40% individu mikrofilaremia ini menderita hematuri dan / proteinuria yg
menunjukkan kerusakan ginjal minimal. Kelainan ginjal ini berhubungan dengan adanya
mikrofilaria dibandingkan dengan adanya cacing dewasa, karena hilangnya mikrofilaria
dalam darah akan mengembalikan fungsi ginjal menjadi normal. Keadaan ini dapat bertahan

7
selama bertahun-tahun yang kemudian secara perlahan berlanjut ke stadium akut atau
kronik.10

Individu asimptomatik dan amikrofilaremia dengan antigen filarial (+)


Pada daerah endemik terdapat populasi yang terpajan dengan larva infektif (L3) yang
tidak menunjukkan adanya gejala klinis atau adanya infeksi, tetapi mempunyai antibodi-
antifilaria dalam tubuhnya.
Stadium akut
Manifestasi klinis akut dari filariasis ditandai dengan serangan demam berulang yang
disertai pembesaran kelenjar (adenitis) dan saluran limfe (lymphangitis) disebut
adenolimfangitis (ADL). Etiologi serangan akut masih diperdebatkan, apakah akibat
adanya infeksi sekunder, respon imun terhadap antigen filarial, dan dilepaskannya zat-zat
dari cacing yang mati atau hidup.
Terdapat dua mekanisme berbeda dalam terjadinya serangan akut pada daerah endemik:
Dermatolimfangioadenitis akut (DLAA)
Dermatolimfangioadenitis akut (DLAA), proses di awali di kulit yang kemudian
menyebar ke saluran limfe dan kelenjar limfe. DLAA ditandai dengan adanya
plak kutan atau subkutan yang disertai dengan limfangitis dengan gambaran
retikular dan adenitis regional. Terdapat pula gejala konstitusional sistemik
maupun lokal yang berat berupa demam, menggigil dan edema pada tungkai yang
terkena. DLAA adalah ADL sekunder yang disebabkan oleh infeksi bakteri atau
jamur.
Limfangitis filarial akut (LFA)
Limfangitis filarial akut (LFA), merupakan reaksi imunologik dengan matinya
cacing dewasa akibat sistim imun penderita atau terapi. Kelainan ini ditandai
dengan adanya Nodus atau cord yang disertai limfadenitis atau limfangitis
retrograde pada ekstremitas bawah atau atas.
Filariasis bancrofti sering hanya mengenai sistem limfatik genitalia pria sehingga
mengakibatkan terjadinya funikulitis, epididimitis atau orkitis, sedangkan pada filariasis brugia,
kelenjar limfe yang terkena biasanya daerah inguinal atau aksila yang nantinya berkembang
menjadi abses yang pecah meninggalkan jaringan parut. Pada masa resolusi fase akut, kulit pada

8
ekstremitas yang terlibat akan mengalami eksfoliatif yang luas. Keadaan akut dapat berulang 6-
10 episode per tahun dengan lama setiap episode 3-7 hari. Serangan berulang adenolimfangitis
(ADL) merupakan faktor penting dalam perkembangan penyakit.
Stadium kronik
Manisfestasi kronis filariasis jarang terlihat sebelum usia lebih dari 15 tahun dan hanya
sebagian kecil dari populasi yang terinfeksi mengalami stadium ini. Hidrokel, limfedema,
elephantiasis tungkai bawah, lengan atau skrotum, kiluria adalah manifestasi utama dari filariasis
kronik.
Hidrokel merupakan pembesaran testis akibat terkumpulnya cairan limfe dalam tunika
vaginalis testis. Kelainan ini disebabkan oleh W. bancrofti dan merupakan manifestasi kronis
yang paling sering ditemukan pada infeksi filariasis. Pada daerah endemik, 40-60% laki-laki
dewasa memiliki hidrokel. Cairan yang terkumpul biasanya bening.
Limfedema pada ekstremitas atas jarang terjadi dibandingkan dengan limfedema pada
ekstremitas bawah. Pada filariasis bancrofti seluruh tungkai dapat terkena, berbeda dengan
filariasis brugia yang hanya mengenai kaki dibawah lutut dan kadang-kadang lengan dibawah
siku. Limfedema pada filariasis biasanya terjadi setelah serangan akut berulang kali. Kelainan
pada kulit dapat terlihat sebagai kulit yang menebal, hiperkeratosis, hipotrikosis atau
hipertrikosis, pigmentasi, ulkus kronik, nodus dermal dan subepidermal.
Limfedema pada genitalia melibatkan pembengkakan pada skrotum dan / penebalan kulit
skrotum atau kulit penis yang akan memberikan gambaran peau d orange yang nantinya
berkembang menjadi lesi verukosa.
Kiluria terjadi akibat bocornya atau pecahnya saluran limfe oleh cacing dewasa yang
menyebabkan masuknya cairan limfe ke dalam saluran kemih. Kelainan ini disebabkan oleh W.
bancrofti. Pasien dengan kiluria mengeluhkan adanya urine yang berwarna putih seperti susu
(milky urine). Diagnosis kiluria ditetapkan dengan ditemukannya limfosit pada urine.
Limforea sering terjadi pada dinding skrotum dimana cairan limfe meleleh keluar dari
saluran limfe yang pecah.
Pada daerah endemik, payudara dapat terkena, baik unilateral ataupun bilateral. Hal ini
harus dapat dibedakan dengan mastitis kronik dan limfedema pasca mastektom.
Occult filariasis

9
Occult filariasis merupakan infeksi filariasis yang tidak memperlihatkan gejala klasik
filariasis serta tidak ditemukannya mikrofilaria dalam darah, tetapi ditemukan dalam organ
dalam. Occult filariasis terjadi akibat reaksi hipersensitivitas tubuh penderita terhadap antigen
mikrofilaria. Contoh yang paling jelas adalah Tropical Pulmonary Eosinophilia (TPE). TPE
sering ditemukan di Southeast Asia, India, dan beberapa daerah di Cina dan Afrika. TPE adalah
suatu sindrom yang terdiri dari gangguan fungsi paru, hipereosinofilia (>3000mm3), peningkatan
antibodi antifilaria, peningkatan IgE antifilaria dan respon terhadap terapi DEC. Manifestasi
klinis TPE berupa gejala yang menyerupai asma bronkhial ( batuk, sesak nafas, dan
wheezing),penurunan berat badan, demam, limfadenopati lokal, hepatosplenomegali.
Pada daerah endemis, perjalanan penyakit filariasis berbeda antara penduduk asli dengan
penduduk yang berasal dari daerah non-endemis dimana gejala dan tanda lebih cepat terjadi
berupa limfadenitis, hepatomegali dan splenomegali. Llimfedema dapat terjadi dalam waktu 6
bulan dan dapat berlanjut menjadi elefantiasis dalam kurun waktu 1 tahun. Hal ini diakibatkan
karena pendatang tidak mempunyai toleransi imunologik terhadap antigen filaria yang biasanya
terlihat pada pajanan lama. Resiko terjadinya manifestasi akut dan kronik pada seseorang yang
berkunjung ke daerah endemis sangat kecil, hal tersebut menunjukkan diperlukannya
kontak/pajanan berulang dengan nyamuk yang terinfeksi.11

Penatalaksanaan
Perawatan Umum
Istirahat di tempat tidur, pindah tempat ke daerah yang dingin akan mengurangi derajat
serangan akut.
Antibiotik dapat diberikan untuk infeksi sekunder dan asbes.
Pengikatan didaerah pembendungan akan mengurangi edema.3

Pengobatan Spesifik
Pengobatan Infeksi. Fokus pengobatan yang terbukti efektif adalah pengobatan di
komunitas. Hal ini dilakukan melalui penurunan angka mikrofilaremia dengan pemberian dosis
satu kali per tahun. Pengobatan perorangan ditujukan untuk menghancurkan parasit dan
mengeliminasi, mengurangi, atau mencegah kasakitan. Hingga saat ini, Organisasi Kesehatan
Dunia (WHO) menetapkan DEC sebagai satu-satunya obat yang efektif, aman, dan relatif murah.
Pengobatan dilakukan dengan pemberian DEC 6mg/kg BB/hari selama 12 hari. Pengobatan ini
dapat diulang 1 hingga 6 bulan kemudian bila perlu, atau DEC selama 2 hari per bulan (6-8
mg/kgBB/hari).3
Obat lain yang dapat digunakan adalah Ivermektin. Meski Ivermektin sangat efektif
menurunkan kadar mikrofilaremia, tampaknya tidak dapat membunuh cacing dewasa, sehingga
10
terapi tersebut tidak dapat diharapkan menyembuhkan infeksi secara menyeluruh. Aalbendazol
bersifat makrofilarisidal untuk W. bancrofti dengan pemberian setiap hari selama 2-3 minggu.
Namun, dari penelitian obat ini masih belum optimal. Efek samping Dec dibagi dalam 2 jenis.
Yang pertama bersifat farmakologis, tergantung dosisnya, angka kejadian sama baik pada yang
terinfeksi filariasis maupun tidak. Yang kedua adalah respons dari hospes yang terinfeksi
terhadap kematian paraasit; sifatnya tidak tergantung pada dosis obatnya tapi pada jumlah parasit
dalam tubuh hospes.3

Ada 2 jenis reaksi:


1. Reaksi sistemik dengan atau tanpa demam, berupa sakit kepala, sakit pada berbagai
bagian tubuh, sendi-sendi, pusing, anoreksia, lemah, hematuria trasien, reaksi alergi,
muntah, dan serangan asma. Reaksi ini terjadi karena kematian filaria dengan cepat
dapat menginduksi banyak antigen sehingga merangsang sistem imun dan
menginduksi berbagai reaksi. Reaksi ini dapat terjadi beberapa jam setelah pemberian
DEC dan berlangsung tidak lebih dari 3 hari. Reaksi akan hilang dengan sendirinya.
2. Rekasi lokal dengan atau tanpa demam berupa limfadenitis, asbes, ulserasi, transien
limfedema, hidrokel, funikulitis, dan epididimitis. Reaksi ini cenderung terjadi
kemudian dan berlangsung lebih lama sampai beberapa bulan, tetapi akan menghilang
dengan spontan. Reaksi lokal cenderung terjadi pada pasian dengan riwayat
adenolimfangitis; berhubungan dengnan keberadaan cacing dewasa dalam tubuh
hospes.3

Pengobatan Penyakit
Pada ekstremitas yang terkena dapat dilakukan:
1. Pencucian dengan sabun dan air dua kali per hari.
2. Menaikkan tungkai yang terkena pada malam hari.
3. Ekstremitas digerakkan teratur untuk melancarkan aliran.
4. Memakai alas kaki.
5. Menjaga kebersihan kuku.
6. Mengobati luka kecil dengan krim antiseptik atau antibiotik.3

Pencegahan
Pencegahan masal. Kontrol penyakit pada populasi adalah melalui kontrol vektor
(nyamuk). Namun hal ini terbukti tidak efektif mengingat panjangnya masa hidup parasit (4-8
tahun). Baru-baru ini, khususnya dengan dikenalnya pengobatan dosis tunggal, sekali pertahun, 2
regimen obat (Albendazol 400 mg dan Ivermectin 200mg/kgBB) cukup efektif. Hal ini
merupakan pendekatan alternatif dalam menurunkan jumlah mikrofilaria dalam populasi.3
Pada pengobatan masal (program pengendalian filariasis) pemberian DEC dosis standar
tidak dianjurkan lagi mengingat efek sampingnya. Untuk itu, DEC diberikan dengan dosis yang
11
lebih rendah (6mg/kgBB), dengan jangka waktu pemberian yang lebih lama untuk mencapai
dosis total yang sama misalnya dalam bentuk garam DEC 0,2-0,4% selama 9-12 bulan. Atau
pemberian obat dilakukan seminggu sekali, atau dosis tunggal setiap 6 bulan atau 1 tahun.3

Pencegahan Individu. Kontak dengan nyamuk terinfeksi dapat dikurangi melalui


penggunaan obat oles anti nyamuk, kelambu, atau insektisida.3

Prognosis

Yang dimaksud dengan konsep estimasi prognosis adalah perkiraan apakah pasien bisa
sembuh atau tidak atau dengan formulasi yang lebih subjektif, yang berarti apakah dengan ilmu
dan pengalaman yang dimilikinya, dokter mampu menyembuhkan penyakit yang diderita pasien
atau tidak.12
Kepentingan perumusan estimasi prognosis adalah:
1. Sebagai awal pertanggungjawaban dokter terhadap pasien dalam hal berpikir apakah
saksama atau tidak, khususnya dalam hal perumusan masalah dan perumusan diagnosis
kerja termasuk perumusan diagnosis banding.
2. Sebagai takaran keyakinan dokter dalam hal perumusan masalah dan perumusan
diagnosis. Apakah dia yakin pada pendapatnya atau ragu-ragu.
3. Sebagai petunjuk dalam pemantauan (follow-up) proses pengobatan.
4. Sebagai petunjuk apakah pasien perlu dirujuk atau tidak.
5. Sebagai patokan dalam memberikan keterangan dan penerangan (edukasi) atau
penyuluhan kepada pasien.12

Dalam ilmu kedokteran terdapat beberapa istilah dalam perumusan prognosis, yaitu
prognosis ad vitam, prognosis ad fungsionam, dan prognosis ad sanationam. Prognosis ad vitam
menunjuk pada pengaruh penyakit pada proses kehidupan, apakah penyakit cenderung menuju
kepada proses kematian atau akan kembali sehat seperti semula. Prognosis ad fungsionam
menunjuk pada pengaruh penyakit terhadap fungsi organ dan fungsi manusia dalam
melaksanakan tugasnya. Prognosis ad sanationam menunjuk pada penyakit yang dapat hilang
100% sehingga pasien kembali ke keadaan semula (sehat) atau penyakit akan menetap atau
menimbulkan kecacatan. Tentang kualitas prognosisnya, berikut ada tiga kemungkinan:
1. Ad bonam, yaitu baik dengan suatu atau beberapa persyaratan yang harus dipenuhi.
2. Ad dubiosan, yaitu meragukan.
3. Ad malam, yaitu jelek.

12
Contoh:
Perumusan masalah : bengkak pada tungkai kiri
Perumusan diagnosis : limfadenitis filariasis
Prognosis : ad vitam bonam
ad fungsionam bonam
ad sanatisnam bonam.
Prognosis penyakit ini tergantung dari jumlah cacing dewasa dan mikrofilaria dalam tubuh
penderita, potensi cacing untuk berkembang biak, kesempatan untuk infeksi ulang dan aktivitas RES.
Pada kasus-kasus dini dan sedang, prognosis baik terutama bila pasien pindah dari daerah endemik.
Pengawasan daerah endemik tersebut dapat dilakukan dengan pemberian obat, serta pemberantasan
vektornya. Pada kasus-kasus lanjut terutama dengan edema pada tungkai, prognosis lebih buruk. 12

Kesimpulan
Limfadenitis filariasis disebabkan oleh cacing W. bancrofti.

Daftar Pustaka

1. Chandra B. Penyakit menular. Dalam: Ilmu Kedokteran Pencegahan dan Komunitas. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2009.h.32.
2. Behrman, Kliegman, Alvin, Nelson. Penyakit infeksi. Dalam: Ilmu Kesehatan Anak Nelson
Vol 2. Edisi ke-15. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2002.h.1227-8.
3. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Setiati S, dll. Tropik infeksi. Dalam: Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam Jilid 3. Edisi ke-5. Jakarta: Penerbit Internal Publishing; 2009.h.27-9; 2931-
6.
4. Jonathan G. At a glance anamnesis dan pemeriksaan fisik. Jakarta : Penerbit Erlangga
Medical Series; 2007.h.176-7.
5. Abdurrahman N, et al. Penuntun anamnesis dan pemeriksaan fisis. Cetakan ke-3. Jakarta:
Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI; 2005. h. 45.
6. Gandahusada, Srisasi. Parasitologi kedokteran. Ed. 3. Jakarta: Bagian Parasitologi FKUI;
2004.
7. Chaerudin P, Pasaribu S. Infeksi dan penyakit tropis. Ed. 1. Jakarta: Bagian Ilmu Kesehatan
Anak FKUI; 2002.h. 435-441.
8. Herdiman T. Pohan. Filariasis dalam buku ajar penyakit dalam. Jilid I. Ed.3. Jakarta: Balai
Penerbit FKUI; 2004.h.525-9.
9. Schwartz MW. Pedoman klinis pediatri. Jakarta: EGC; 2004.h.514.
10. Addis DG, Dreyer G. Treatment of lymphatic filariassis. Dalam Thomas B. Nutman,
penyunting. Lymphatic filariasis. Imperial college press; 2002:hal.151-180.

13
11. Kusmaraswami V. The clinical manifestation of lymphatic filariasis. Dalam : Nutman TB
penyunting. Limphatic filariasis. Imperial college press; 2002:103-122.
12. Hardjodisastro D. Bagaimana dokter berpikir dan bekerja. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama;
2006.89-92.

14

You might also like