You are on page 1of 41

1

LEARNING ISSUE

2.1 Prematuritas
2.1.1Definisi
Prematuritas adalah kelahiran yang berlangsung pada umur
kehamilan 20 minggu hingga 37 minggu dihitung dari hari pertama haid
1
terakhir. Terdapat 3 subkategori usia kelahiran prematur berdasarkan
kategori World Health Organization (WHO), yaitu:
1) Extremely preterm (< 28 minggu)
2) Very preterm (28 hingga < 32 minggu)
3) Moderate to late preterm (32 hingga < 37 minggu).
2.1.2 Epidemiologi
Angka kejadian prematur yang tinggi masih menjadi pusat
perhatian dunia hingga kini. Tingkat kelahiran prematur di Amerika
Serikat sekitar 12,3% dari keseluruhan 4 juta kelahiran setiap tahunnya
dan merupakan tingkat kelahiran prematur tertinggi di antara negara
industri.
Angka kejadian kelahiran prematur di Indonesia belum
dapat dipastikan jumlahnya, namun berdasarkan data Riset
Kesehatan Dasar (Riskesdas) Departemen Kesehatan tahun 2007,
proporsi BBLR di Indonesia mencapai 11,5%, meskipun angka BBLR
tidak mutlak mewakili angka kejadian kelahiran prematur. Dalam studi
yang dilakukan di RSUP Dr. Kariadi Semarang tahun 2002 didapatkan
kelahiran prematur sebesar 138 kasus (4,6%).
2.1.3 Patofisiologi
Secara umum, penyebab persalinan prematur dapat
dikelompokan dalam 4 golongan yaitu :
1) Aktivasi prematur dari pencetus terjadinya persalinan
2) Inflamasi/infeksi
3) Perdarahan plasenta
4) Peregangan yang berlebihan pada uterus
Mekanisme pertama ditandai dengan stres dan anxietas yang
biasa terjadi pada primipara muda yang mempunyai predisposisi genetik.
1
0

Adanya stres fisik maupun psikologi menyebabkan aktivasi prematur


dari aksis Hypothalamus-Pituitary-Adrenal (HPA) ibu dan menyebabkan
terjadinya persalinan prematur. Aksis HPA ini menyebabkan timbulnya
insufisiensi uteroplasenta dan mengakibatkan kondisi stres pada janin.
Stres pada ibu maupun janin akan mengakibatkan peningkatan pelepasan
hormon Corticotropin Releasing Hormone (CRH), perubahan pada
Adrenocorticotropic Hormone (ACTH), prostaglandin, reseptor
oksitosin, matrix metaloproteinase (MMP), interleukin-8,
cyclooksigenase-2, dehydroepiandrosteron sulfate (DHEAS), estrogen
plasenta dan pembesaran kelenjar adrenal.
Mekanisme kedua adalah decidua-chorio-amnionitis, yaitu
infeksi bakteri yang menyebar ke uterus dan cairan amnion. Keadaan ini
merupakan penyebab potensial terjadinya persalinan prematur. Infeksi
intraamnion akan terjadi pelepasan mediator inflamasi seperti pro-
inflamatory sitokin (IL-1, IL-6, IL-8, dan TNF- ). Sitokin
akan merangsang pelepasan CRH, yang akan merangsang aksis HPA
janin dan menghasilkan kortisol dan DHEAS. Hormon-hormon ini
bertanggung jawab untuk sintesis uterotonin (prostaglandin dan
endotelin) yang akan menimbulkan kontraksi. Sitokin juga berperan
dalam meningkatkan pelepasan protease (MMP) yang mengakibatkan
perubahan pada serviks dan pecahnya kulit
ketuban.
Mekanisme ketiga yaitu mekanisme yang berhubungan dengan
perdarahan plasenta dengan ditemukannya peningkatan hemosistein
yang akan mengakibatkan kontraksi miometrium. Perdarahan pada
plasenta dan desidua menyebabkan aktivasi dari faktor pembekuan Xa
(protombinase). Protombinase akan mengubah protrombin menjadi
trombin dan pada beberapa penelitian trombin mampu menstimulasi
kontraksi miometrium.
1
0

Mekanisme keempat adalah peregangan berlebihan dari uterus


yang bisa disebabkan oleh kehamilan kembar,
polyhydramnion atau distensi berlebih yang disebabkan oleh kelainan
uterus atau proses operasi pada serviks. Mekanisme ini dipengaruhi oleh
IL-8, prostaglandin, dan COX-2.
Gambar 1. Patofisiologi prematur

2.2 Faktor Risiko


2.2.1 Usia Ibu
Persalinan prematur meningkat pada usia <20 tahun dan
>35 tahun. Berdasarkan penelitian di Purwokerto tahun 2009 angka
persalinan prematur pada usia <20 tahun sebesar 30% sedangkan
pada persalinan usia reproduksi (20-35 tahun) angka kejadian
prematur sebesar 10%, hal ini menunjukan ibu usia muda
meningkatkan kejadian prematur sebesar 38,8 kali lebih besar.
11

Kehamilan usia muda lebih memungkinkan mengalami penyulit


pada masa kehamilan dan persalinan yaitu karena wanita muda sering
memiliki pengetahuan yang terbatas tentang kehamilan atau kurangnya
informasi dalam mengakses sistem pelayanan kesehatan. Pada usia ini
juga belum cukup dicapainya kematangan fisik, mental dan fungsi
organ reproduksi dari calon ibu. Golongan primigravida muda
dimasukkan dalam golongan risiko tinggi, karena angka kesakitan dan
angka kematian ibu dan bayi pada kehamilan remaja 2-4x lebih tinggi
dibandingkan dengan usia reproduksi.
Persalinan prematur di usia >35 tahun sebesar 16,9% di
Semarang tahun 2008. Pada usia ibu yang tua telah terjadi penurunan
fungsi organ reproduksi, penurunan fungsi ini akan mempengaruhi
kesehatan baik ibu maupun janin yang dikandungnya sehingga ibu dan
bayi yang dikandungnya memiliki banyak hal yang dapat
mempersulit dan memperbesar risiko
kehamilan.
2.2.2 Penyakit Dalam Kehamilan
2.2.2.1 Preeklampsia/Eklampsia
Preeklampsia adalah hipertensi yang timbul setelah usia
20 minggu kehamilan dan disertai dengan proteinuria,
sedangkan eklampsia adalah preeklampsia yang disertai
12

dengan kejang dan atau koma. Preeklampsia meningkatkan


risiko terjadinya solusio plasenta, persalinan prematur,
Intrauterine Growth Retardation (IUGR), dan hipoksia akut.
Preeklampsia menyumbang sekitar 15% dari semua kelahiran
prematur.
Preeklampsia/eklamspia didasari oleh beberapa
teori, namun teori yang saat ini paling banyak digunakan adalah
teori iskemia plasenta, radikal bebas dan disfungsi endotel.
Berdasarkan teori ini terjadi kegagalan remodeling arteri
spiralis sehingga menyebabkan plasenta mengalami iskemia
dan terjadi disfungsi endotel. Spasme pembuluh darah arteriola
yang menuju organ penting dalam tubuh dapat menyebabkan
mengecilnya aliran darah yang menuju retroplasenta sehingga
2 2
mengakibatkan gangguan pertukaran CO , O dan nutrisi pada
janin. Hal ini menyebabkan terjadinya vasospasme dan
hipovolemia sehingga janin menjadi hipoksia dan malnutrisi.
Hipoksia menyebabkan plasenta mengtransfer kortisol dengan
kadar yang tinggi ke dalam sirkulasi janin. Konsentrasi kortisol
yang tinggi akan mensintesis prostaglandin yaitu protasiklin
(PGE-2) yang menyebabkan timbulnya kontraksi, perubahan
pada serviks dan pecahnya kulit ketuban, sehingga bayi sering
terlahir premature.
13

2.2.2.2 Penyakit Kardiovaskular


Penyakit kardiovaskular adalah sekelompok gangguan
pada jantung dan pembuluh darah. Penyakit
jantung/kardiovaskular terjadi pada 0,5 - 3 % kehamilan, yang
dapat menyebabkan morbiditas dan mortalitas pada ibu hamil
di dunia.
Masa kehamilan, persalinan maupun pasca
persalinan berhubungan dengan perubahan fisiologis yang
membutuhkan penyesuaian dalam sistem kardiovaskular.
Fisiologi hemodinamik mencapai puncak pada akhir trimester
kedua, pada masa ini perubahan hemodinamik dapat
menyebabkan timbulnya manifestasi klinik pada jantung yang
telah sakit sebelumnya. Perubahan hormonal yaitu aktivasi
estrogen oleh sistem renin-aldosteron menyebabkan retensi air
dan natrium yang akan meningkatkan volume darah 40%. Hal
ini menyebabkan peningkatan volume darah sebesar 1200-
1600 ml lebih banyak dibanding dalam keadaan tidak hamil.
Selama masa kehamilan curah jantung akan mengalami
peningkatan 30-50%. Perubahan curah jantung ini disebabkan
karena peningkatan preload akibat bertambahnya volume darah,
penurunan afterload akibat menurunya resistesi vaskular
sitemik, dan peningkatan denyut jantung ibu saat istirahat 10-
20 kali/menit. Peningkatan curah jantung dipengaruhi juga oleh
isi sekuncup jantung yang meningkat 20-30% selama
kehamilan. Pada penyakit jantung yang disertai kehamilan,
pertambahan denyut jantung dan volume sekuncup
jantung dapat menguras cadangan kekuatan jantung. Payah
jantung akan menyebabkan stres maternal sehingga terjadi
pengaktifan aksis HPA yang akan memproduksi kortisol dan
prostaglandin, kemudian mencetuskan terjadinya persalinan
prematur.
New York Heart Association (NYHA) kelas III dan IV
dengan aktivitas fisiknya sangat terbatas, tidak dianjurkan untuk
hamil. Jika kehamilan masih awal sebaiknya diterminasi, dan jika
14

kehamilan telah lanjut sebaiknya kehamilan diteruskan dengan


persalinan pervaginam dan kala II dipercepat serta
kehamilan berikutnya dilarang.
2.2.2.3 Anemia
Anemia adalah suatu kelainan darah yang terjadi ketika
tubuh menghasilkan terlalu sedikit sel darah merah (SDM),
penghancuran SDM berlebihan, atau kehilangan banyak SDM.
Angka kejadian anemia pada kehamilan berkisar 24,1% di
Amerika dan 48,2% di Asia Tenggara pada tahun 1993-2005.
Selama kehamilan, tubuh ibu mengalami mengalami
banyak perubahan salah satunya adalah hubungan antara suplai
darah dengan respon tubuh. Seperti yang telah dijelaskan pada
subbab penyakit kardivaskular, total jumlah plasma pada wanita
hamil dan jumlah SDM meningkat dari kebutuhan awal, namun
peningkatan volume plasma lebih besar dibandingkan
peningkatan massa SDM dan menyebabkan penurunan
konsentrasi hemoglobin, sehingga mempengaruhi kadar O2
yang masuk ke dalam jaringan. Keadaan ini dapat menyebabkan
hipoksia jaringan yang kemudian akan memproduksi kortisol
dan prostaglandin, yang mencetuskan terjadinya persalinan
prematur pada ibu dengan anemia.
2.2.2.4 Hipotiroid
Penyakit tiroid adalah suatu kelainan yang menyerang
glandula tiroid. Secara global, hipotiroid yang terjadi pada
kehamilan sebesar 0,2% kasus dan hipotiroid sub klinis 2,3%
kasus.
Saat awal gestasi, janin bergantung sepenuhnya pada
hormon tiroid ibu yang melewati plasenta karena fungsi
tiroid janin belum berfungsi sebelum 12-14 minggu kehamilan.
Pada kehamilan 12 minggu pertama kadar hormon chorionic
gonadotropin (HCG) akan mencapai puncaknya dan kadar
tiroksin bebas akan meningkat, sehingga menekan kadar
tirotropin. Namun, kadar hormone tiroid yang rendah pada
hipotiroid kehamilan akan memacu aksis HPA untuk memacu
15

produksi TRH untuk memenuhi kebutuhan hormon tiroid ibu


dan janin. Pengaktifan aksis HPA ini yang dapat memacu
pelepasan kortisol kedalam darah sehingga memproduksi
prostaglandin yang dapat memacu terjadinya persalinan
prematur.
Tabel 2. Kadar hormon tiroid pada masa kehamilan

Trimester ke-1 Trimester ke-2 Trimester ke-3

Mean Media Mean Media Mean Media


n n n
fT4 1.08 1.08 0.94 0.12 0.94 0.90 0.89
(ng/dL) 0.14 0.13
fT3 3.41 3.42 3.33 0.45 4.20 3.22 3.24
(ng/dL) 0.53 0.52
TSH 1.08 0.94 1.20 1.13 1.39 1.29
(IU/mL 0.69 0.62 0.75
)
2.2.3 Paritas
Paritas adalah jumlah anak yang pernah dilahirkan hidup.
Paritas dapat diklasifikasikan berdasarkan jumlah anak yang
dilahirkan yaitu
1) Nulipara, adalah seorang wanita yang belum
pernah menyelesaikan kehamilan melewati gestasi 20
minggu.
16

2) Primipara, yaitu seorang wanita yang pernah satu kali


melahirkan bayi yang lahir hidup atau meninggal dengan
perkiraan lama gestasi 20 minggu atau lebih.
3) Multipara, adalah seorang wanita yang pernah menyelesaikan
dua atau lebih kehamilan hingga 20 minggu atau lebih.
Jumlah paritas merupakan salah satu faktor predisposisi terjadinya
kelahiran prematur karena jumlah paritas dapat mempengaruhi keadaan
kesehatan ibu dalam kehamilan. Berdasarkan penelitian yang dilakukan di
Jerman tahun 2004 didapatkan data bahwa pada wanita primipara angka
kejadian kelahiran prematur lebih besar yaitu 9,5%, sedangkan angka
kejadian pada multipara adalah sebesar 7,5%. Hal ini di karenakan oleh
kenyataan bahwa wanita multipara akan mencari pengetahuan yang lebih
untuk menghindari risiko yang akan terjadi pada kehamilan berikutnya
berdasarkan pengalaman dari proses persalinan sebelumnya, sehingga
dapat mengurangi risiko persalinan berikutnya.
2.2.4 Riwayat Partus Prematurus
Riwayat persalinan prematur sebelumnya merupakan penanda risiko
paling kuat dan paling penting. Berdasarkan data Health Technology
Assessment Indonesia tahun 2010 bahwa insiden terjadinya persalinan
prematur selanjutnya setelah 1x persalinan premature meningkat
hingga 14,3% dan setelah 2x persalinan prematur meningkat hingga 28%.
Wanita yang mengalami persalinan prematur memiliki risiko untuk
mengalaminya kembali pada kehamilan selanjutnya.
2.2.5 Ketuban Pecah Dini
Ketuban pecah dini adalah pecahnya kulit ketuban sebelum
persalinan, sedangkan pecahnya kulit ketuban pada usia kehamilan <37
minggu disebut ketuban pecah dini kehamilan prematur. Ketuban pecah dini
kehamilan prematur terjadi pada 1% -3% dari seluruh kehamilan dan
bertanggung jawab untuk sepertiga dari semua kelahiran prematur.
Ketuban pecah selama persalinan secara umum disebabkan oleh
kontraksi uterus dan peregangan berulang, keseimbangan antara sintesis dan
degradasi ekstraseluler matriks, perubahan struktur, jumlah sel, dan
katabolisme kolagen menyebabkan aktivitas kolagen berubah. Degradasi
kolagen dimediasi oleh matriks metaloproteinase (MMP) yang dihambat
17

oleh inhibitor jaringan spesifik dan inhibitor protease. Mendekati waktu


persalinan, keseimbangan antar MMP dan Tissue Inhibitor of
Metalloproteinase (TIMP-1) mengarah pada degradasi proteolitik dari
matriks ekstraseluler dan membran janin.
Pecahnya selaput ketuban yang berfungsi melindungi atau menjadi
pembatas dunia luar dan ruangan dalam rahim pecah dan mengeluarkan air
ketuban menyebabkan hubungan langsung antara dunia luar dan ruangan
dalam rahim yang memudahkan terjadinya infeksi asenden. Semakin lama
periode laten maka semakin besar kemungkinan infeksi dalam rahim,
persalinan prematur dan selanjutnya meningkatkan kejadian kesakitan dan
kematian ibu dan bayi atau janin dalam rahim.
2.2.6 Perdarahan Antepartum
Perdarahan antepartum adalah perdarahan jalan lahir setelah
kehamilan 24 minggu hingga sebelum kelahiran bayi. Perdarahan
antepartum menyebabkan seperlima bayi lahir dengan prematur dan juga
menyebabkan bayi yang dilahirkan mengalami cerebral palsy. Penyebab
paling sering dari perdarahan antepartum adalah plasenta previa dan
solusio plasenta.
Plasenta previa adalah plasenta yang berimplantasi di segmen bawah
rahim demikian rupa sehingga menutupi seluruh atau sebagian dari ostium
uteri internum. Terjadinya implantasi plasenta di segmen bawah rahim
dapat disebabkan karena:
1) Endometrium di fundus uteri belum siap menerima
implantasi.
2) Lapisan endometrium tipis sehingga diperlukan perluasan
plasenta untuk mencukupi kebutuhan nutrisi janin
3) Vili khorialis pada chorion leave yang persisten.
2
0

Solusio plasenta adalah terlepasnya sebagian atau seluruh


permukaan plasenta maternal dari tempat implantasinya sebelum waktunya.
Perdarahan tidak dapat berhenti dikarenakan uterus yang sedang
mengandung tidak mampu berkontraksi untuk menjepit pembuluh arteria
spiralis yang terputus.
Pada penjelasan pada subbab prematur sebelumnya telah
dijelaskan bahwa perdarahan pada plasenta dan desidua menyebabkan
aktivasi dari faktor pembekuan Xa (protombinase). Protombinase akan
mengubah protrombin menjadi trombin dan pada beberapa penelitian
trombin mampu menstimulasi kontraksi miometrium dan menginduksi
persalinan prematur.

Gambar 2. Patofisiologi terjadinya prematur pada


perdarahan plasenta
19

2.2.7 Gemelli
Gemelli/kehamilan ganda adalah kehamilan dengan dua janin atau
lebih intrauteri. Kehamilan ganda dianggap mempunyai risiko tinggi karena
dapat menyebabkan komplikasi lebih tinggi untuk mengalami hiperemesis
gravidarum, hipertensi dalam kehamilan, kehamilan dengan
hidramnion, persalinan dengan prematuritas, pertumbuhan janin
terhambat. Gemelli merupakan 30% penyebab terjadinya prematur di
Indonesia pada tahun 2010.
Fisiologi dari kehamilan ganda yaitu dua ovum yang dibuahi pada
saat hampir besamaan atau berasal dari satu ovum yang mengalami
pemecahan disaat dini. Persalinan prematur pada kehamilan ganda dapat
terjadi dikarenakan terjadinya overdistensi, maka retraksi akibat ketegangan
otot uterus makin dini sehingga dimulailah proses Braxton Hicks, kontraksi
makin sering dan menjadi HIS persalinan.
2.2.8 Bakterial Vaginosis
Vagina yang sehat mengandung berbagai jenis bakteri yang penting
dalam memerangi infeksi. Bakterial Vaginosis (BV) diperkirakan terjadi
pada 40% wanita dan merupakan faktor risiko kuat penyebab prematur. BV
dapat meningkatkan risiko prematur 2 kali lipat terutama jika dijumpai pada
usia kehamilan kurang dari 20 minggu. Di Indonesia, angka kejadian
persalinan prematur sebesar 20,5% pada wanita hamil muda dengan BV
dan 10,7% terjadi pada akhir kehamilan.
BV merupakan suatu kondisi tanpa dijumpai adanya peradangan.
Bakteri BV menghasilkan enzim mukolitik yang mempermudah bakteri
tersebut menembus barier lendir serviks masuk kedalam traktus genitalis
bagian atas. Selain itu jumlah mikroflora vagina normal yaitu Lactobacillus
fakultatif menurun, maka akan mempengaruhi tingkat keasaman
vagina dan mempermudah pertumbuhan bakteri anaerob.
Gambaran klinis BV dapat dinilai dengan menggunakan kriteria
Amsel, yaitu terdapat tiga dari empat tanda klinis berikut:
1. pH vagina di atas 4,5
2. Sekret vagina yang homogen dan tipis
3. Terdapat bau amis dari sekret vagina bila ditambahkan kalium
hidroksida 10% (tes amin)
20

4. Terdapat clue cell pada sediaan basah.


2.1.9 Infeksi Saluran Kemih
Infeksi saluran kemih/urinary tract infection (UTI) adalah tumbuh dan
berkembang biaknya mikroba dalam saluran kemih dalam jumlah bermakna.
Pada wanita hamil dikenal 2 keadaan infeksi saluran kemih yakni:
1. Bakteriuria asimtomatik (asymptomatic bacteriuria, covert bacteriuria)
adalah terdapatnya bakteri dalam saluran kemih tanpa menimbulkan
manifestasi klinis.
2. ISK simtomatik adalah ISK yang disertai gejala dan tanda klinik.
Lebih dari 30% penderita bakteriuria simtomatis yang tidak diobati
akan menyebabkan berkembangnya kelahiran bayi prematur dengan berat
badan lahir rendah sekitar 1,5 sampai 2 kali lipat. Faktor risiko meningkatnya
infeksi saluran kemih dapat dikarenakan oleh:
1. Perubahan morfologi kehamilan, dimana asal dari traktus genital dan
traktus urinarius adalah sama secara embriologi. Selain itu, letaknya yang
sangat berdekatan, maka adanya perubahan pada salah satu sistem akan
mempengaruhi sistem yang lain. Pada saat hamil dapat terjadi perubahan
pada traktus urinarius berupa:
a. Dilatasi pelvis renal dan ureter
Adanya dilatasi tersebut juga dimungkinkan akibat dari adanya
hormon progesteron yang meningkat disamping efek penekanan dari
uterus yang membesar karena hamil.
b. Vesika urinaria terdesak ke anterior dan superior
Pembesaran uterus dan pelebaran di daerah basal vesika
urinaria akibat kelemahan otot destrusor karena pengaruh dari
progesteron mengakibatkan sering terjadinya retensi urin dan
memudahkan pertumbuhan bakteri.
2. Sistokel dan urethrokel
21

3. Kebiasaan menahan berkemih


Cara terjadinya infeksi saluran kemih umumnya bakteri yang
menyebabkan terjadinya infeksi berasal dari tubuh penderita sendiri. Ada 3
cara terjadinya infeksi, yaitu:
1. Melalui aliran darah yang berasal dari usus halus atau organ lain ke bagian
saluran kemih
2. Penyebaran melalui saluran getah bening yang berasal dari usus besar ke
buli-buli atau ke ginjal.
3. Migrasi mikroorganisme secara asenden dan urethra wanita yang pendek
memudahkan terjadi kontaminasi yang berasal dari vagina dan rektum.
Pada infeksi dan inflamasi dapat menginduksi kontraksi uterus. Banyak
mikroorganisme yang menghasilkan fosfolipid A2 dan C sehingga
meningkatkan konsentrasi asam arakidonat secara lokal dan pada gilirannya
dapat menyebabkan pelepasan PGF-2 dan PGE-2 sehingga terjadi kontraksi
miometrium uterus. Selain itu pada keadaan infeksi terdapat juga produk
sekresi dari makrofag/monosit berupa interleukin-1 dan interleukin-6,
sitokin, tumor necrosis factor, yang juga akan
menghasikan sitokin dan prostaglandin.
22

Gambar 3. Mekanisme terjadinya persalinan preterm


pada infeksi

2.3 Luaran Maternal


2.3.1 Kematian Maternal
Kematian maternal adalah kematian seorang wanita saat hamil
atau dalam 42 hari penghentian kehamilan, dengan penyebab yang
berhubungan atau diperburuk oleh kehamilan dan penanganannya tetapi
bukan dari penyebab kecelakaan atau insidental.
Berdasarkan hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT)
tahun 2001, angka kematian maternal yaitu sebesar 396 per 100.000
kelahiran hidup. Penyebab obstetrik langsung terhadap kematian maternal
sebagian besar dikarenakan perdarahan (28%), eklampsia (24%) dan
infeksi (11%). Penyebab tak langsung kematian ibu berupa kondisi
kesehatan yang dideritanya misalnya Kurang Energi Kronis (37%),
anemia (40%) dan penyakit kardiovaskuler.
3
1

2.3.2 Persalinan Tindakan


Persalinan tindakan adalah persalinan yang tidak dapat berjalan
normal secara spontan atau tidak berjalan sendiri, oleh karena terdapat
indikasi adanya penyulit. Sehingga persalinan tersebut dilakukan dengan
memberikan tindakan menggunakan alat bantu. Data penelitian di
Surakarta tahun 2005 tercatat jumlah kelahiran sebanyak 1.469,
terdiri dari persalinan normal sebanyak 731 (49,8%), sedangkan
persalinan dengan komplikasi yang memerlukan tindakan sebanyak
738 (50,2%).
Persalinan tindakan dilakukan jika kelahiran spontan diduga
berisiko lebih besar pada ibu atau anak daripada tindakannya. Hal- hal
yang menyebabkan peralinan dilakukan tindakan adalah adanya faktor
penyulit pada saat persalinan yang berasal dari faktor kekuatan HIS ibu
(power), faktor bayi (passager) atau faktor jalan lahir (passage). Pada
prematuritas dengan gawat janin hanya diindikasikan untuk melalukan
seksio sesaria, dikarenakan syarat tindakan vakum dan forseps adalah
bayi aterm dimana struktur tulang telah matang.
2.3.3 Lama Rawat Inap
Rawat inap adalah pelayanan kesehatan yang meliputi observasi,
diagnosa, pengobatan, keperawatan, rehabilitasi medik, dengan
menginap di ruang rawat inap pada sarana kesehatan oleh karena
penyakitnya sehingga penderita harus menginap. Lama rawat inap
adalah istilah yang umum digunakan untuk mengukur durasi satu
episode rawat inap. Lama rawat inap dinilai dengan mengekstraksi
durasi tinggal di rumah sakit yang diukur dalam jam atau hari. Sebagian
besar ahli obstetrik merawat inapkan lebih lama pasien dengan
komplikasi persalinan, diantaranya adanya ketuban pecah dini kelahiran
prematur, eklampsia, infeksi dan perdarahan.
2.4 Luaran Perinatal
2.4.1 Asfiksia
Asfiksia neonatorum adalah kegagalan napas secara spontan dan
teratur pada saat lahir atau beberapa saat setelah saat lahir yang ditandai
dengan hipoksemia, hiperkarbia dan asidosis.
Organ pada bayi prematur belum sepenuhnya berkembang, bayi
3
1

membutuhkan perawatan khusus hingga organ pada bayi tersebut dapat


berkembang cukup dalam mendukung kehidupan bayi tanpa dukungan
dari alat medis. Pematangan organ mungkin memakan waktu berminggu-
minggu hingga berbulan-bulan. Kortikosteroid perlu diberikan 7 hari
sebelum kelahiran hingga paling lambat 24 jam sebelum bayi lahir
untuk meningkatkan maturasi paru fetus.
Skor apgar adalah suatu metode sederhana yang digunakan untuk
menilai keadaan umum bayi sesaat setelah kelahiran. Setiap penilaian
diberi angka 0/1/2. Dari hasil penilaian tersebut dapat diketahui apakah
bayi normal (vigorous baby = nilai apgar 7-10), asfiksia ringan (nilai
apgar 4-6), asfiksia berat (nilai apgar 0-3).
Tabel 3. Skor Apgar

Tanda 0 1 2 Akronim

Warna Seluruh badan warna kulit warna kulit Appearance


kulit biru atau tubuh tubuh, tangan
pucat normal dan kaki
merah normal merah
muda, tetapi muda, tidak
Denyut Tidak ada <100 >100 Pulse
Jantung kali/menit kali/menit
Respon Tidak ada Meringis atau Meringis Grimace
refleks respon menangis atau bersin
terhadap lemah ketika atau batuk
stimulasi di stimulasi saat
Tonus Otot Lemah Sedikit Gerakan
stimulasi aktif Activity
atau tidak gerakan
Pernapasan Tidak
ada ada Lemah atau Menangis Respiration
tidak teratur kuat,
pernapasan
baik dan
2.4.2 Berat Bayi Lahir
Berat badan merupakan salah satu indikator kesehatan bayi baru
lahir. Rerata berat bayi normal (usia gestasi 37 sampai dengan 41
3
1

minggu) adalah 2500 4000 gram. Prevalensi global BBLR adalah


15,5 %, yang berarti bahwa sekitar 20,6 juta tersebut bayi yang lahir
setiap tahun, 96,5 % dari mereka di negara berkembang. Berat badan
lahir rendah ( BBLR ) telah didefinisikan oleh WHO sebagai berat saat
lahir kurang dari 2500 gram. BBLR dapat menjadi konsekuensi dari
kelahiran prematur atau karena ukurannya yang kecil untuk usia
kehamilan (SGA, didefinisikan sebagai berat untuk usia kehamilan < 10
persentil). Bayi dengan BBLR dapat dibagi menjadi 2 golongan, yaitu :
1. Prematur murni adalah neonatus dengan usia kehamilan kurang dari
37 minggu dan mempunyai berat badan sesuai dengan berat badan
untuk masa kehamilan, atau biasa disebut neonatus kurang bulan
sesuai masa kehamilan.
2. Dismaturitas adalah bayi lahir dengan berat badan kurang dari berat
badan sesungguhnya untuk masa kehamilan. Hal ini dikarenakan
janin mengalami gangguan pertumbuhan dalam kandungan dan
merupakan bayi yang kecil untuk masa kehamilan.
2.4.3 Hipoglikemia
Hipoglikemi adalah keadaan hasil pengukuran kadar glukosa
darah kurang dari 45 mg/dL (2.6 mmol/L). Hipoglikemi sering terjadi
pada kelahiran prematur dengan BBLR, karena cadangan glukosa yang
rendah. Bayi prematur sangat rentan mengalami hipoglikemia
disebabkan karena mekanisme kontrol glukosa yang masih immatur.
Glukosa merupakan sumber kalori yang penting untuk ketahanan hidup
selama proses persalinan dan hari-hari pertama pasca lahir. Setiap stress
yang terjadi mengurangi cadangan glukosa yang ada disebabkan
karena meningkatkan penggunaan cadangan glukosa, misalnya pada
asfiksia, hipotermi, hipertermia dan gangguan pernapasan. Kondisi ini
menjadi penyebab ketergantungan pemberian glukosa dari luar,
karenanya pemberian dekstrosa melalui intravena merupakan suatu
kebutuhan pada bayi prematur.
Hipoglikemi adalah masalah serius pada bayi baru lahir,
karena dapat menimbulkan kejang yang berakibat terjadinya hipoksia
otak. Bila tidak dikelola dengan baik akan menimbulkan kerusakan pada
susunan saraf pusat bahkan sampai kematian.
3
1

2.4.4 Sepsis Neonatorum


Bayi prematur sangat rentan untuk terjadinya infeksi dan sepsis.
Sepsis neonatorum merupakan infeksi berat yang menyebar keseluruh
tubuh bayi baru lahir dan terjadi pada bayi berusia di bawah 90 hari.
Infeksi bakteri 5 kali lebih sering terjadi pada bayi baru lahir yang berat
badannya kurang dari 2,75 kg dan 2 kali lebih
sering mengenai bayi laki-laki.
Sejumlah bakteri bisa menyebabkan terjadinya sepsis
neonatorum, misalnya Eschericia coli, dan Streptococcus strain tertentu.
Sepsis neonatorum onset paling dini terjadi dalam waktu 24 jam lahir,
bayi mendapatkan infeksi dari ibu sebelum atau saat di lahirkan. Pada
bayi prematur dengan BBLR yang dicurigai mengalami sepsis
perlu diberikan antibiotik dengan spektrum yang luas.
2.4.5 Hiperbilirubinemia
Hiperbilirubinemia adalah ikterus dengan konsentrasi bilirubin
serum yang menjurus ke arah terjadinya kern ikterus atau ensefalopati
bilirubin bila kadar bilirubin tidak dikendalikan. Ikterus fisiologi adalah
ikterus yang timbul pada hari kedua dan hari ketiga serta tidak
mempunyai dasar patologi atau tidak mempunyai potensi menjadi kern
ikterus. Ikterus patologis adalah ikterus yang mempunyai dasar patologis
atau kadar bilirubin mencapai suatu nilai yang disebut
hiperbilirubinemia. Ikterus pada hari ke-2 sampai hari ke-5 dapat
disebabkan karena ikterus fisiologik, sepsis darah
ekstravaskular, polisitemia sferositosis kongenital, dan bayi prematur
karena belum berfungsinya hepar.
Ikterus ditandai dengan berlebihnya akumulasi bilirubin dalam
darah >5 mg/dL pada bayi yang mengakibatkan jaudice, warna kuning
yang jelas pada kulit, mukosa, sklera dan urin bayi dengan
hiperbilirubinemia dapat dikelola dengan efektif dengan cara memantau
kadar bilirubin dan terapi sinar/fototerapi.
3
1

Penyakit Membran Hialin (PMH)


2.1 DEFINISI
Penyakit Membran Hialin (PMH) adalah nama lain untuk Sindrom Gangguan
Pernafasan (SGP) atau Respiratory Distress Syndrome (RDS) dalam bahasa Inggeris. Ini
adalah diagnosis klinis pada bayi baru lahir prematur dengan kesulitan pernapasan, termasuk
takipnea (> 60 napas/menit), retraksi dada, dan sianosis di ruangan biasa yang menetap atau
berlangsung selama 48-96 jam pertama kehidupan, dan gambaran foto rontgen dada yang
karakteristik (pola retikulogranular seragam dan bronkogram udara perifer).
2.2 EPIDEMIOLOGI
Kejadian PMH ini berbanding terbalik dengan usia kehamilan dan berat lahir. Di
Amerika Serikat, PMH telah diperkirakan terjadi pada 20,000-30,000 bayi baru lahir setiap
tahun dan merupakan komplikasi pada sekitar 1% kehamilan. Sekitar 50% dari neonatus yang
lahir pada usia kehamilan 26-28 minggu terjadi PMH, sedangkan kurang dari 30% dari
neonatus prematur lahir pada usia kehamilan 30-31 minggu terjadi kondisi tersebut.
Dalam satu laporan, tingkat kejadian PMH adalah 42% pada bayi dengan berat 501-
1500 g, dengan 71% dilaporkan pada bayi dengan berat 501-750 g, 54% dilaporkan pada bayi
dengan berat 751-1000 g, 36% dilaporkan pada bayi dengan berat 1001 - 1250g, dan 22%
dilaporkan pada bayi dengan berat 1251-1500g, di antara 12 rumah sakit universitas yang
berpartisipasi dalam National Institute of Child Health and Human Development (NICHD)
Neonatal Research Network. PMH terjadi pada ~ 50% dari bayi dengan berat lahir antara 501
dan 1500 g (Lemon et al, 2001).
Penyakit membrane hialin kurang ditemukan di negara berkembang dibandingkan di
tempat lain, terutama karena sebagian besar bayi prematur yang kecil untuk usia kehamilan
mereka telah mengalami stres di dalam rahim karena kekurangan gizi atau hipertensi yang
diinduksi kehamilan. Selain itu, karena sebagian besar persalinan di negara berkembang
terjadi di rumah, catatan yang akurat di wilayah ini tidak tersedia untuk menentukan
frekuensi PMH. PMH telah dilaporkan dalam semua ras, terjadi paling sering pada bayi
prematur berkulit putih.
Resiko terjadi PMH meningkat pada ibu dengan diabetes, kelahiran kembar,
persalinan secara sectio caesar , persalinan terjal, asfiksia, stres dingin, dan riwayat bayi
prematur sebelumnya. Di sisi lain, risiko PMH berkurang pada ibu dengan hipertensi kronis
atau terkait-kehamilan dan rupture membran yang berkepanjangan, dan profilaksis
kortikosteroid antenatal. Kelangsungan hidup telah meningkat secara signifikan, terutama
setelah adanya surfaktan eksogen (Malloy & Freeman, 2000) dan sekarang angka
3
1

kelangsungan hidup menjadi > 90%. Saat ini, PMH menyumbang <6% dari semua kematian
neonatus.

Tabel 1. Faktor Resiko yang meningkatkan dan menurunkan PMH

2.3 ETIOLOGI
Defisiensi surfaktan (penurunan produksi dan sekresi) adalah penyebab utama dari
PMH. Konstituen utama surfaktan adalah dipalmitoyl fosfatidilkolin (lesitin),
phosphatidylglycerol, apoprotein (protein surfaktan SP-A,-B,-C,-D), dan kolesterol. Dengan
pertambahan usia kehamilan, jumlah fosfolipid yang disintesis meningkat dan disimpan
dalam sel alveolar tipe II. Bahan aktif-permukaan ini akan dilepaskan ke dalam alveoli, di
mana mereka akan mengurangi tegangan permukaan dan membantu mempertahankan
stabilitas alveolus dengan mencegah runtuhnya ruang udara kecil pada akhir ekspirasi.
Jumlah yang dihasilkan atau dilepaskan mungkin tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan
pasca kelahiran karena immaturitas. Surfaktan yang hadir dalam konsentrasi tinggi pada paru
janin mengalami homogenasi pada usia kehamilan 20 minggu, tetapi tidak mencapai
permukaan paru-paru sampai nanti. Ia muncul dalam cairan amnion pada waktu di antara 28
dan 32 minggu. Tingkat maturitas dari surfaktan paru biasanya terjadi setelah 35 minggu.
Meskipun jarang, kelainan genetik dapat berkontribusi untuk terjadinya gangguan
pernapasan. Kelainan pada gen protein surfaktan B dan C serta sebuah gen bertanggung
jawab untuk mengangkut surfaktan melintasi membran (ABC transporter 3 [ABCA3])
berhubungan dengan penyakit pernapasan berat dan sering mematikan yang diturunkan.
Sebagian sintesis surfaktan bergantung pada pH normal, suhu, dan perfusi. Asfiksia,
hipoksemia, dan iskemia paru, khususnya terkait dengan hipovolemia, hipotensi, dan stres
3
1

dingin, dapat menekan sintesis surfaktan. Lapisan epitel paru-paru juga dapat terluka oleh
konsentrasi oksigen yang tinggi dan efek dari manajemen respirator, sehingga mengakibatkan
pengurangan surfaktan yang lebih lanjut.

2.4 PATOFISIOLOGI
Kegagalan untuk mencapai kapasitas residu fungsional (Fungsional Residual Capacity
[FRC]) yang memadai dan kecenderungan paru-paru yang terkena untuk menjadi atelektatik
berkorelasi dengan tegangan permukaan yang tinggi dan tidak adanya surfaktan paru.
Atelektasis alveolar, pembentukan membran hialin, dan edema interstisial membuat paru-
paru kurang komplians, sehingga tekanan lebih besar diperlukan untuk mengembangkan
alveoli dan saluran-saluran napas yang kecil. Pada bayi yang sudah terkena PMH, bagian
bawah dinding dada ditarik ke dalam apabila diafragma menurun, dan tekanan intratoraks
menjadi negatif, sehingga membatasi jumlah tekanan intratoraks yang dapat diproduksi,
hasilnya akan terjadi atelektasis. Dinding dada yang sangat komplians pada bayi prematur
memberikan ketahanan lebih rendah dari bayi yang matur dengan kecenderungan paru-paru
untuk kolaps. Dengan demikian, pada akhir ekspirasi, volume toraks dan paru-paru
cenderung untuk mendekati volume residu, dan atelektasis dapat terjadi.
Kekurangan sintesis atau pelepasan surfaktan, bersama-sama dengan unit pernapasan
kecil dan dinding dada yang komplians, menghasilkan atelektasis dan menghasilkan alveoli
yang diperfusi tetapi tidak berventilasi, yang menyebabkan hipoksia. Penurunan komplians
paru-paru, volume tidal yang kecil, peningkatan ruang mati fisiologis, peningkatan kerja
pernapasan, dan ventilasi alveolar yang tidak memadai pada akhirnya menyebabkan
hiperkapnia. Kombinasi hiperkapnia, hipoksia, dan asidosis mengakibatkan vasokonstriksi
arteri pulmonari dengan peningkatan shunting kanan-ke-kiri melalui foramen ovale dan
duktus arteriosus dan dalam paru-paru itu sendiri. Aliran darah paru berkurang, dan cedera
iskemik pada sel-sel yang memproduksi surfaktan dan pembuluh darah yang akan
mengakibatkan terjadi efusi bahan protein ke dalam ruang alveolar dan terjadi pembentukan
membran hialin (Gambar 1).
3
1

Gambar 1. Patogenesis Penyakit Membran Hialin.

Hipoksia, asidosis, hipotermia, dan hipotensi dapat mengganggu produksi dan/atau


sekresi surfaktan. Pada sebagian neonatus, toksisitas oksigen dengan barotrauma dan
volutrauma pada paru-paru mereka yang belum matang secara struktural menyebabkan
influks sel inflamasi, yang memperburuk cedera vaskular, menyebabkan displasia
bronkopulmonal (Bronchopulmonary Dysplasia [BPD]). Kekurangan antioksidan dan cedera
radikal bebas memperburuk kecederaan. Pada evaluasi makroskopik, paru-paru bayi baru
lahir yang terkena tampak pengap dan kemerahan (yaitu, seperti hepar). Oleh karena itu,
paru-paru memerlukan peningkatan tekanan pembukaan yang penting untuk mengembang.
Atelektasis difus rongga udara distal bersama dengan distensi saluran napas distal dan daerah
perilimfatik dapat diamati secara mikroskopis. Atelektasis progresif, barotrauma atau
volutrauma, dan toksisitas oksigen merusak sel-sel endotel dan epitel pada lapisan saluran
udara distal ini, mengakibatkan eksudasi matriks fibrin yang berasal dari darah.
Membran hialin yang melapisi alveoli (lihat gambar di bawah) dapat membentuk dalam
waktu setengah jam setelah kelahiran. Pada bayi prematur lebih besar, epitel mulai
menyembuh dalam waktu 36-72 jam setelah lahir, dan sintesis surfaktan endogen dimulai.
3
1

Fase pemulihan ditandai dengan regenerasi sel-sel alveolar, termasuk sel tipe II, dengan
peningkatan dalam aktivitas surfaktan. Proses penyembuhan ini adalah kompleks.
Sebuah proses kronis sering terjadi kemudian pada bayi yang sangat immatur dan sakit berat
dan pada bayi lahir dari ibu dengan korioamnionitis, sehingga menyebabkan BPD. Pada bayi
yang sangat prematur, penghentian dalam pengembangan paru-paru sering terjadi selama
tahap sakular, mengakibatkan penyakit paru-paru kronis yang disebut BPD baru.

2.5 MANIFESTASI KLINIS


Temuan fisik konsisten dengan maturitas bayi yang dinilai dengan menggunakan
pemeriksaan Dubowitz atau modifikasi dengan Ballard. Tanda-tanda gangguan pernafasan
progresif dicatat segera setelah lahir dan termasuk yang berikut:
Takipnea
Ekspirasi merintih (dari penutupan sebagian glotis)
Retraksi subcostal dan interkostal
Sianosis
Napas cuping hidung
Pada neonatus yang sangat immatur dapat terjadi apnea dan/atau hipotermia.

Tanda-tanda PMH biasanya muncul dalam beberapa menit selepas lahir, meskipun
mereka mungkin tidak disadari untuk beberapa jam pada bayi prematur lebih besar sampai
pernapasan yang cepat dan dangkal telah meningkat menjadi 60 kali/menit atau lebih. Sebuah
onset terlambat dari takipnea harus menunjukkan kondisi lain. Beberapa pasien
membutuhkan resusitasi pada saat lahir karena asfiksia intrapartum atau gangguan
pernapasan yang parah terdahulu(terutama dengan berat lahir 1.000 g <). Secara karakteristik,
takipnea, menonjol (sering terdengar) merintih, retraksi interkostalis dan subcostal, napas
cuping hidung, dan kepucatan dicatat. Sianosis meningkat dan relatif sering tidak responsif
terhadap pemberian oksigen. Bunyi nafas mungkin normal atau berkurang dengan kualitas
tubular yang keras dan, pada inspirasi dalam, ronki halus dapat didengar, terutama pada
bagian posterior basal paru-paru.
Perjalanan alami PMH yang tidak diobati ditandai dengan memburuknya sianosis secara
progresif dan dyspnea. Jika kondisi ini tidak diobati, tekanan darah bisa turun, kelelahan,
sianosis, dan kepucatan meningkat, dan rintihan berkurang atau hilang seiring dengan kondisi
yang memburuk. Apnea dan respirasi tidak teratur terjadi karena bayi kelelahan dan
merupakan tanda buruk yang memerlukan intervensi segera. Pasien juga mungkin memiliki
asidosis metabolik-respiratorik campuran, edema, ileus, dan oliguria. Kegagalan pernapasan
3
1

dapat terjadi pada bayi dengan perkembangan penyakit yang cepat. Dalam kebanyakan kasus,
gejala dan tanda-tanda mencapai puncaknya dalam waktu 3 hari, setelah itu membaik secara
bertahap. Perbaikan sering dikatakan oleh diuresis spontan dan kemampuan untuk
mengoksigenisasi bayi pada kadar oksigen inspirasi yang rendah atau ventilator dengan
tekanan rendah. Kematian jarang pada hari pertama penyakit, biasanya terjadi antara hari ke 2
dan 7, dan berhubungan dengan kebocoran udara alveolar (emfisema interstisial,
pneumotoraks), perdarahan paru, atau intraventricular hemorrhage (IVH). Kematian
mungkin tertunda beberapa minggu atau bulan jika BPD berkembang pada bayi dengan PMH
yang parah yang dipasang ventilasi mekanik.

2.6 PEMERIKSAAN PENUNJANG


Pemeriksaan Laboratorium:
1. Pengambilan sampel gas darah penting dalam pengelolaan PMH. Biasanya, pengambilan
sampel arteri secara intermiten dilakukan. Meskipun tidak ada konsensus, sebagian besar
ahli neonatologi setuju bahwa tekanan oksigen arteri 50-70 mm Hg dan tekanan karbon
dioksida arteri 45-60 mm Hg dapat diterima. Sebagian besar akan mempertahankan pH
pada atau di atas 7,25 dan saturasi oksigen arteri pada 88 - 95%. Selain itu, oksigen
transkutaneus secara kontinu dan pemantauan karbon dioksida atau pemantauan saturasi
oksigen, atau keduanya, yang membuktikan sangat membantu dalam pemantauan menit-
ke-menit bayi-bayi ini.
2. Pemeriksaan Sepsis. Sebuah pemeriksaan sepsis parsial, termasuk hitung sel darah
lengkap dan kultur darah, harus dipertimbangkan untuk setiap bayi dengan diagnosis
PMH, karena sepsis yang berlangsung awal (Misalnya, infeksi streptokokus grup B atau
Haemophilus influenzae) sudah dapat dibedakan dari PMH atas dasar klinis saja.
3. Kadar glukosa serum dapat menjadi tinggi atau rendah pada awalnya dan harus dipantau
secara ketat untuk menilai kecukupan infus dekstrosa. Hipoglikemia saja dapat
menyebabkan takipnea dan gangguan pernapasan.
4. Kadar elektrolit serum termasuk kalsium harus dipantau setiap 12-24 jam untuk
pengelolaan cairan parenteral. Hipokalsemia dapat berkontribusi lebih banyak pada gejala
pernafasan dan sering pada bayi sakit, asupan gizi kurang, bayi prematur, atau bayi yang
asfiksia.

Pemeriksaan Radiologi
Sebuah foto rontgen dada AP harus diperoleh untuk semua bayi dengan gangguan
pernapasan dengan durasi apa pun. Temuan radiografi khas pada PMH adalah pola
3
1

retikulogranular yang seragam, disebut sebagai gambaran ground-glass, disertai dengan


bronkogram udara perifer. Selama perjalanan klinis penyakit, gambaran foto dada sekuensial
dapat mengungkapkan kebocoran udara sekunder yang disebabkan intervensi ventilasi
mekanik serta timbulnya perubahan yang sesuai dengan BPD. Dalam PMH, temuan
radiografi dada klasik terdiri dari hypoaerasi yang jelas, opasitas reticulogranular yang
menyebar secara bilateral pada parenkim paru, dan bronkogram udara yang meluas ke perifer.
Retikulogranularitas ini terjadi karena superimposisi beberapa nodul asinar yang disebabkan
oleh alveoli yang atelektatik. Perkembangan bronkogram udara tergantung pada koalesensi
daerah atelektasis asinar sekitar bronkus dan bronkiolus yang teraerasi. Pada bayi yang tidak
diintubasi, didapatkan kubah sefalika dari diafragma dan hypoekspansi. Fitur radiografi
klasik PMH terlihat pada gambar 2.

Gambar 2. Klasik penyakit membran hialin (PMH). Dada berbentuk lonceng adalah karena
kurang aerasi umum. Volume paru-paru berkurang, parenkim paru-paru memiliki pola
retikulogranular menyebar, dan terdapat bronkogram udara perifer memperluas.

Gambar 3.Penyakit membran hialin (PMH) sedang-berat. Pola retikulogranular lebih


menonjol dan distribusinya lebih seragam dari biasanya. Paru-paru hipoaerasi. Air
bronchogram yang meningkat diamati.
3
1

Gambar 4. Penyakit membran hialin (PMH) berat. Kekeruhan reticulogranular didapatkan


sepanjang kedua lapang paru-paru, dengan air bronchogram menonjol dan mengaburkan
bayang jantung secara total. Daerah kistik di paru-paru kanan dapat mewakili alveoli yang
melebar atau emfisema paru interstisial(PIE) awal.

Spektrum radiologis dari PMH berkisar dari ringan sampai berat (seperti terlihat pada
gambar 3 dan gambar 4) dan biasanya berkorelasi dengan keparahan dari temuan klinis. Pada
tahap awal penyakit ini, bronkogram udara kurang menonjol, karena bronkus utama terletak
pada bagian yang lebih anterior dari paru-paru dan karena atelektasis alveolus cenderung
untuk melibatkan daerah paru-paru yang dependen, di mana merupakan bagian posterior pada
bayi yang terlentang. Namun, gambaran gelembung, yang mewakili distensi berlebihan dari
bronkiolus dan saluran alveolar dapat diamati.
Sewaktu PMH berlangsung, pola retikulogranular menjadi menonjol karena
koalesensi daerah atelektatik yang kecil. Koalesensi ini mengarah kepada peningkatan
opasitas daerah paru-paru yang lebih besar. Sewaktu bagian anterior dari paru-paru terjadi
microatelectasis, distribusi granularitas menjadi merata, dan bronkogram udara dapat dilihat.
Dengan peningkatan keparahan penyakit, opasifikasi yang progresif dari bagian anterior
paru-paru menyebabkan bayang-bayang jantung tidak kelihatan dan pembentukan
bronkogram udara menjadi lebih menonjol. Pada penyakit yang lebih berat, paru-paru muncul
opak dan bronkograms udara menjadi jelas, dengan bayang-bayang cardiomediastinal tidak
kelihatan sama sekali.
Pada bayi dengan PMH ringan sampai sedang, hipoaerasi dan opasitas
retikulogranular menetap selama 3-5 hari. Penurunan opasitas terjadi dari perifer ke daerah
medial dan dari lobus superior ke lobus inferior dimulai pada akhir minggu pertama. Bayi
dengan PMH berat tmengalami hipoaerasi progresif dan opasitas bilateral yang difus.
Perdarahan parenkim yang jelas juga didapatkan. Jenis PMH yang parah dan progresif sering
menyebabkan kematian, biasanya dalam waktu 72 jam. Temuan radiografi dari PMH
3
1

tergantung waktu pemberian surfaktan. Jika awal, meskipun pencegahan dengan surfaktan,
paru-paru sudah mengalami hipoaerasi dan memiliki pola retikulogranular karena cairan
interstitial dan alveoli yang atelectatik. Administrasi surfaktan biasanya menghasilkan sedikit
perbaikan, yang mungkin simetris atau asimetris; yang asimetri biasanya menghilang dalam
2-5 hari.
Bayi yang sedang diberikan ventilasi dengan tekanan positif intermiten dengan
tekanan akhir-ekspirasi positif mungkin memiliki paru-paru yang mempunyai aerasi baik
tanpa bronkogram udara. Bayi dengan penyakit yang berat mungkin tidak
dapatmengembangkan paru-paru mereka, mereka memiliki radiograf yang opak total. Pada
akhir perjalanan penyakit, edema paru, kebocoran udara, atau perdarahan paru dapat
mempengaruhi gambaran radiografik. Dengan ventilasi tekanan-positif, opasitas paru-paru
menurun, dan timbul perbaik secara radiografik. Namun, tekanan positif diperlukan untuk
mengaerasi paru-paru dapat mengganggu epitelium, menghasilkan edema interstisial dan
alveolar. Hal ini juga dapat menyebabkan diseksi udara ke septae interlobar dan saluran
limfatik, menghasilkan emfisema interstisial opasitas (pulmonary interstitial emphysema
[PIE]), yang memiliki gambaran berliku-liku, 1 - untuk 4-mm linier lusen yang berukuran
relatif seragam. Ini memancar keluar dari daerah hilus.Setelah mendapat dukungan ventilasi
selama berhari-hari, fibrosis interstisial terjadi akibat dari efek kumulatif dari beban
terapeutik pada parenkim paru. Fibrosis ini sering disertai dengan nekrosis eksudatif dan
gambaran sarang lebah dari paru-paru pada radiografi dada. Kondisi ini disebut sebagai
displasia bronkopulmonalis (bronchopulmonary dysplasia [BPD]). Penampilan sarang lebah
menunjukkan kelompok alveolar yang mengalami distensi secara fokal pada paru-paru
terluka dan immatur.
Pada bayi dengan PMH biasanya mengalami hipoksia karena duktus arteriosus
mungkin masih tetap paten. Pada peringkat awal penyakit, shunting adalah dari kanan ke kiri.
Pada akhir minggu pertama, shunting menjadi kiri ke kanan disebabkan tekanan arteri
pulmonalis yang menurun karena peningkatan komplians dari paru-paru sedang dalam fase
penyembuhan. Edema paru interstisial dapat berkembang. Karena itu, ketika pola granular
dari penyakit membran hialin berubah ke gambaran opak yang homogen, edema paru terjadi
akibat duktus arteriosus yang paten (patent ductus arteriosus [PDA]) atau awal dari
perubahan paru kronis harus dicurigai. Jika foto dada pada bayi prematur menunjukkan
opasitas retikulogranular, PMH boleh didiagnosa dengan keyakinan sehingga 90%.

Ultrasonografi
3
1

Opaksifikasi yang homogen pada paru-paru adalah karena konsolidasi lobus inferior
yang boleh dilihat pada ultrasonografi abdominal bagian atas. Selain itu, ultrasonografi
sangat berguna dalam mendiagnosa atau menyingkirkan efusi pleura yang timbul bersamaan
atau sebagai komplikasi.
Ekokardiografi
Merupakan alat diagnostik yang berharga dalam evaluasi bayi dengan hipoksemia
dan gangguan pernapasan. Hal ini digunakan untuk mengkonfirmasi diagnosis PDA serta
merekod respon terhadap terapi. Penyakit jantung kongenital yang signifikan dapat
disingkirkan dengan teknik ini juga.

2.7 DIAGNOSIS
Diagnosis gangguan napas dapat ditegakkan secara klinis maupun dengan analisa gas
darah (blood gas analysis). Perhitungan indeks oksigenisasi akan menggambarkan beratnya
hipoksemia. Bila mengevaluasi bayi dengan gangguan napas harus hati-hati atau waspada
karena dapat terjadi bayi dengan gejala pernapasan yang menonjol, tetapi tidak menderita
gangguan napas (misalnya asidosis metabolic, DKA = diabetic ketoasidosis) dan sebaliknya
gangguan napas berat dapat juga terjadi pada bayi tanpa gejala distress respirasi
(hipoventilasi sentral akibat intoksikasi obat atau infeksi). Penilaian yang hati-hati
berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik yang lengkap dan pemeriksaan penunjang dapat
menjelaskan tentang diagnosis. Penilaian secara serial tentang kesadaran, gejala respirasi,
Analisis Gas Darah dan respons terhadap terapi merupakan kunci berarti untuk menentukan
perlunya intervensi selanjutnya.

1. Langkah awal untuk mencari penyebab:


a. Anamnesis yang teliti
b. Pemeriksaan fisik yang tepat
c. Menilai tingkat maturitas dengan Ballard atau Dubowitz (bila keadaan bayi masih
labil pemeriksaan ini ditunda dulu)
2. Pemeriksaan penunjang:
a. Pemeriksaan radiologik dada
b. Analisa gas darah
c. Septic work up dan mencari kemungkinan penyebab karena pneumonia: minimal
kultur darah dan jumlah sel.
d. Status metabolik: dilakukan pemeriksaan analisa gas darah, skrining kadar glukosa
darah.
Anamnesis
3
1

Anamnesis tentang riwayat keluarga, maternal, prenatal dan intrapartum sangat diperlukan,
antara lain tentang hal:
Prematuritas, sindrom gangguan napas. sindrom aspirasi mekonium, infeksi:
pneumonia,dysplasia pulmoner, trauma persalinan sungsang, kongesti nasal, depresi
susunan saraf pusat, perdarahan susunan saraf pusat, paralisi nervus frenikus,
takikardia atau bradikardia pada janin, depresi neonatal, tali pusat menumbung, bayi
lebih bulan, demam atau suhu yang tidak stabil (pada pneumonia).
Gangguan SSP: tangis melngking, hipertoni, flasiditas, atonia, trauma, miastenia.
Kelainan congenital: arteri umbilikaslis tunggal, anomali congenital lain: anomali
kardiopulmonal, abdomen cekung pada hernia diafragmatika, paralisis erb (paralisi
nervus frenikus, atresia khoanae, kongesti nasal obstruktif, meningkatnya diameter
anterior posterior paru, hipoplasia paru, trakeoesofageal fistula).
Diabetes pada ibu, perdarahan antepartum pada persalinan kurang bulan, partus lama,
kulit ketuban pecah dini, oligohidramnion, penggunaan obat berlebihan.

Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik dapat dijumpai gejala klinik gangguan napas seperti:
Merintih atau grunting tetapi warna kulit masih kemerahan, merupakan gejala
menonjol.
Sianosis
Retraksi
Tanda obstruksi saluran napas mulai dari hidung: atresia koana, ditandai kesulitan
memasukkan pipa nasogastrik melalui hidung.
Air ketuban bercampur mekonium atau pewarnaan hijau-kekuningan pada tali pusat.
Abdomen mengempis (scaphoid abdomen).

Pemeriksaan penunjang
1. Pemeriksaan laboratorium
a. Analisis gas darah (AGD):
Dilakukan untuk untuk menentukan adanya gagal napas akut yang ditandai
dengan: PaCO2 > 50 mmHg, PaO2 < 60mmHg, atau saturasi oksigen arterial <
90%.
Dilakukan pada BBL yang memerlukan suplementasi oksigen lebih dari 20 menit.
darah arterial lebih dianjurkan.
Diambil berdasarkan indikasi klinis dengan mengambil sampel darah dari arteri
umbilikalis atau pungsi arteri.
3
1

Menggambarkan gambaran asidosis metabolic atau asidosi respiratorik dan


keadaan hipoksia.
Asidosis respiratorik terjadi karena atelektasis alveolar dan/atau overdistensi
saluran napas bawah.
Asidosis metabolik, biasanya diakibatkan asidosis laktat primer, yang merupakan
hasil dari perfusi jaringan yang buruk dan metabolisme anaerobic.hipoksi terjadi
akibat pirau dari kanan ke kiri melalui pembuluh darah pulmonal, PDA dan/atau
persisten foramen ovale.
Pulse oxymeter digunakan sebagai cara non invasif untuk memantau saturasi
oksigen yang dipertahankan pada 90-95%.
b. Elektrolit:
Kenaikan kadar serum bikarbonat mungkin karena kompensasi metabolic untuk
hiperkapnea kronik.
Kadar glukosa darah untuk menentukan adanya keadaan hipoglikemia.
Kelainan elektrolit ini dapat juga diakibatkan oleh karena kondisi kelemahan
tubuh; hipokalemia dan hipofosfatemia dapat mengakibatkan gangguan kontraksi
otot.
c. Pemeriksaan jumlah sel darah: polisitemia mungkin karena hipoksemia kronik.

2. Pemeriksaan radiologik
Pemeriksaan radiologi toraks pada bayi dengan PMH, menunjukkan gambaran
retikulogranular yang difus bilateral atau gambaran bronkogram udara (air
bronchogram) dan paru tidak berkembang.
Gambaran air bronchogram yang menonjol menunjukkan bronkious yang menutup
latar belakang alveoli yang kolaps.
Gambaran jantung yang samar mungkin normal atau membesar.
Kardiomegali mungkin merupakan akibat asfiksia prenatal, maternal diabetes, PDA,
berhubungan dengan kelainan jantung bawaan atau pengambangan paru yang buruk.
Gambaran ini mungkin akan berubah dengan pemberian terapi surfaktan secara dini
atau terapi indometasin dengan ventilator mekanik.
Gambaran radiologik PMH ini kadang tidak dapat dibedakan secara nyata dengan
pneumonia.
Pemeriksaan transiluminasi toraks dilakukan dengan cara memberi iluminasi atau
sinar yang terang menembus dinding dada untuk mendeteksi adanya penumpukan
abnormal misalnya pneumotoraks. Pemeriksaan radiologik toraks ini berguna untuk
membantu konfirmasi ada tidaknya pneumotoraks dan gangguan parenkimal seperti
pneumonia atau PMH.
3
1

Di samping itu pemeriksaan radiologi toraks juga berguna untuk:


Evaluasi adanya kelainan yang memerlukan tindakan segera misalnya: malposisi
pipa endotrakeal, adanya pneumotoraks.
Mengetahui adanya hal-hal yang berhubungan dengan gangguan atau gagl napas
seperti berikut:
Penyakit fokal atau difus (misal: pneumonia, acute respiratory distress
syndrome (ARDS), hiperinflasi bilateral, pengambangan paru asimetris. Efusi
pleura, kardiomegali)
Bila terjadi hipoksemia tetapi pemeriksaan foto toraks normal, maka harus
dipikirkan kemungkinan penyakit jantung bawaaan tipe sianotik, hipertensi
pulmonal atau emboli paru.

Derajat Berat/ringan Temuan pada pemeriksan radiologik toraks


I Ringan Kadang normal atau gambaran granuler, homogen, tidak ada
air bronchogram
II Ringan-Sedang Seperti tersebut di atas ditambah gambaran air bronchogram
III Sedang-Berat Seperti di atas ditambah batas jantung menjadi tidak jelas
IV Berat white lung : paru putih menyeluruh
Tabel 2. Gambaran pemeriksaan radiologik toraks pada PMH menurut kriteria Bomsel terdiri
dari 4 stadium.
3
1

Gambar 5. Gambaran pemeriksaan radiologik toraks pada PMH menurut kriteria Bomsel.

2.8 DIAGNOSIS BANDING


Kondisi yang perlu dipertimbangkan dalam diagnosis diferensial dari penyakit membran
hialin adalah sebagai berikut:
Kelainan metabolik
Kelainan hematologik
Kebocoran udara paru
Anomali kongenital dari paru-paru

Antara diagnosis differensial penyakit membran hialin adalah:


Anemia, akut
Sindrom Aspirasi
Reflux gastroesofageal
Hipoglikemia
Pneumomediastinum
Pneumonia
Pneumotoraks
Polisitemia
Sindrom Kematian Bayi Mendadak
Takipnea Transien dari Bayi

2.9 KOMPLIKASI
Komplikasi akut dari penyakit membran hialin termasuk sebagai berikut:
3
1

Ruptur alveolar
Infeksi
Perdarahan intrakranial dan leukomalasia periventrikular
Patent ductus arteriosus (PDA) dengan meningkatnya pirau kiri-ke-kanan
Perdarahan paru-paru
Necrotizing enterocolitis (NEC) dan / atau perforasi gastrointestinal (GI)
Apnea pada bayi prematur

Komplikasi kronis penyakit membran hialin meliputi:


Bronchopulmonary dysplasia (BPD)
Retinopati pada bayi prematur (RBP)
Gangguan neurologis

Ruptur alveolar
Diduga terjadi kebocoran udara (misalnya, pneumomediastinum, pneumopericardium,
emfisema interstisial, pneumotoraks) ketika bayi dengan penyakit membrane hialin tiba-tiba
memburuk dengan hipotensi, apnea, atau bradikardia atau ketika asidosis metabolik menjadi
persisten.

Infeksi
Infeksi dapat mempersulit penatalaksanaan penyakit membrane hialin dan dapat
bermanifestasi dalam berbagai cara, termasuk kegagalan untuk memperbaiki, pemburukan
secara tiba-tiba, atau perubahan jumlah sel darah putih atau trombositopenia. Juga, prosedur
invasif (misalnya, venipuncture, insersi kateter, penggunaan peralatan pernapasan) dan
penggunaan steroid pasca kelahiran memberi akses untuk organisme menyerang hos dengan
kekebalan tubuh yang sudah terkompromi.Dengan munculnya terapi surfaktan, bayi kecil dan
sakit dapat bertahan, dengan peningkatan insiden terjadi septikemia sekunder bagi
staphylococcal epidermidis dan / atau infeksi candida. Ketika septicaemia dicurigai, dapatkan
kultur darah dari 2 lokasi dan mulakan pemberian antibiotik yang tepat sampai hasil kultur
diperoleh.

Perdarahan intrakranial dan leukomalacia periventrikular


Perdarahan intraventricular diamati pada 20-40% bayi prematur, dengan frekuensi yang lebih
besar pada bayi dengan penyakit membrane hialin yang membutuhkan ventilasi mekanik.
Ultrasonografi kranial dilakukan pada minggu pertama dan selanjutnya seperti yang
3
1

diindikasikan pada neonatus prematur yang lebih muda dari usia kehamilan 32 minggu.
Profilaksis terapi indometasin dan steroid antenatal telah menurunkan frekuensi perdarahan
intrakranial pada pasien dengan PMH. Hypokarbia dan korioamnionitis dikaitkan dengan
peningkatan leukomalacia periventrikular.

Patent ductus arteriosus dengan meningkatnya pirau kiri-ke-kanan


Pirau ini dapat mempersulit perjalanan penyakit membrane hialin, terutama pada bayi yang
disapih cepat setelah terapi surfaktan. Bayi diduga mempunyai patent ductus arteriosus
(PDA) pada setiap bayi yang mengalami perburukan setelah perbaikan awal atau mempunyai
sekret trakeal yang berdarah. Meskipun membantu dalam diagnosis PDA, murmur jantung
dan tekanan nadi yang lebar tidak selalu jelas pada bayi yang kritis. Ekokardiogram
memungkinkan dokter untuk mengkonfirmasikan diagnosis. Tatalaksana PDA dengan
ibuprofen atau indometasin, yang dapat diulang selama 2 minggu pertama jika PDA
membuka kembali. Dalam insiden penyakit membrane hialin yang refraktori atau pada bayi
yang memiliki kontraindikasi terapi medis, dilakukan operasi penutupan PDA.

Perdarahan paru
Kejadian perdarahan paru meningkat pada bayi prematur kecil, terutama setelah terapi
surfaktan. Tingkatkan tekanan akhir ekspirasi positif (PEEP) pada ventilator dan berikan
epinefrin intratrakeal untuk mengelola perdarahan paru. Pada beberapa pasien, perdarahan
paru mungkin terkait dengan PDA; perdarahan paru pada individu tersebut harus segera
mengobati.

Necrotizing enterocolitis dan / atau perforasi GI


Pada setiap bayi dengan temuan abdominal abnormal pada pemeriksaan fisik dicurigai
menderita NEC dan / atau perforasi gastrointestinal. Radiografi perut membantu dalam
mengkonfirmasikan adanya penyakit tersebut. Perforasi spontan (tidak harus sebagai bagian
dari NEC) kadang terjadi pada bayi prematur yang sakit kritis dan telah dikaitkan dengan
penggunaan steroid dan / atau indometasin.

Apnea prematuritas
Apnea prematuritas adalah umum pada bayi belum matang, dan insiden telah meningkat
3
1

dengan terapi surfaktan, mungkin karena ekstubasi dini. Tatalaksana apnea prematuritas
dengan metilxantin (kafein) dan / atau tekanan aliran udara yang positif melalui nasal (CPAP)
atau dengan ventilasi yang dibantu pada insiden yang refraktori. Septikemia, kejang, refluks
gastroesophageal, dan penyebab metabolik dan lainnya harus disingkirkan pada bayi
prematur dengan apnea.

Bronkopulmonary displasia
BPD adalah penyakit paru-paru kronis yang didefinisikan sebagai kebutuhan oksigen pada
usia kehamilan 36 minggu yang sudah dikoreksi. BPD terkait langsung dengan volume tinggi
dan / atau tekanan yang digunakan untuk ventilasi mekanis atau untuk mengelola infeksi,
peradangan, dan kekurangan vitamin A. Insiden BPD meningkat pada usia kehamilan yang
semakin rendah. Penggunaan terapi surfaktan postnatal, ventilasi yang tidak berlebihan,
vitamin A, steroid dosis rendah, dan inhalasi oksida nitrat dapat mengurangi keparahan BPD.

Retinopati pada bayi prematur (RBP)


Bayi dengan penyakit membran hialin yang memiliki nilai tekanan parsial oksigen (PaO2)
lebih dari 100mm Hg mempunyai resiko tinggi untuk menderita RBP. Oleh karena itu, harus
dipantau ketat PaO2 dan dijaga agar nilai PaO2 tetap pada 50-70mm Hg. Meskipun oksimetri
nadi digunakan pada semua bayi prematur, ia tidak membantu dalam mencegah RBP.

Gangguan neurologis
Gangguan neurologis terjadi pada sekitar 10-70% dari bayi dan berhubungan dengan usia
kehamilan bayi, tingkat dan jenis patologi intrakranial, dan apa adanya hipoksia dan infeksi.
Cacat pendengaran dan penglihatan dapat menganggu perkembangan pada bayi yang
menderita penyakit tersebut. Pasien dapat mengembangkan ketidakmampuan belajar yang
spesifik dan perilaku yang menyimpang. Oleh karena itu, bayi ini harus ditindaklanjuti secara
berkala untuk mendeteksi bayi yang mempunyai gangguan neurologis, dan dapat dilakukan
intervensi yang tepat.

2.10 TATA LAKSANA


Pencegahan
1. Kortikosteroid antenatal. National Institutes of Health Consensus Development
Conference pada tahun 1994 tentang efek kortikosteroid untuk pematangan janin pada
hasil perinatal menyimpulkan bahwa kortikosteroid antenatal mengurangi risiko
3
1

kematian, PMH, dan intraventricular hemorrhage (IVH). Penggunaan betametason


antenatal untuk meningkatkan kematangan paru janin sekarang telah dilaksanakan dan
umumnya dianggap sebagai standar perawatan. Regimen glukokortikoid yang
direkomendasikan terdiri dari pemberian dua dosis betametason 12 mg yang diberikan
intramuskuler 24 jam secara terpisah kepada ibu. Deksametason tidak lagi dianjurkan
karena peningkatan risiko leukomalacia periventrikular kistik pada bayi yang sangat
prematur yang mengalami efek obat sebelum lahir (Baud et al, 1999).

2. Beberapa tindakan pencegahan dapat meningkatkan kelangsungan hidup bayi beresiko


untuk PMH dan termasuk ultrasonografi antenatal untuk penilaian lebih akurat usia
kehamilan dan kesejahteraan janin, pemantauan janin secara berterusan untuk
mendokumen kesejahteraan janin selama persalinan atau tanda-tanda perlunya intervensi
saat gawat janin ditemukan, agen tokolitik yang mencegah dan mengobati persalinan
prematur, dan penilaian kematangan paru janin sebelum persalinan (rasio lesitin-
sphingomyelin [LS] dan phosphatidylglycerol) untuk mencegah prematuritas iatrogenik.

Terapi Pengganti Surfaktan


Terapi pengganti surfaktan sekarang dianggap sebagai standar perawatan pada
pengobatan bayi diintubasi dengan PMH. Sejak akhir 1980-an, lebih dari 30 percobaan klinis
telah dilakukan secara acak yang melibatkan >6000 bayi telah dilakukan. Tinjauan sistematis
terhadap uji coba ini (Soll & Andruscavage, 1999) menunjukkan surfaktan ini, apakah
digunakan secara profilaksis dalam ruang persalinan untuk mencegah PMH atau dalam
pengobatan penyakit yang telah terjadi, menyebabkan penurunan yang signifikan dalam
risiko pneumotoraks dan risiko kematian. Manfaat ini diamati baik di uji coba surfaktan
ekstrak alami atau surfaktan sintetik. Surfaktan pengganti, meskipun terbukti
segera efektif dalam mengurangi keparahan PMH, tiada bukti jelas ia dapat menurunkan
kebutuhan oksigen jangka panjang atau perkembangan perubahan kronis paru-paru.

Saat ini, penelitian tindak lanjut jangka panjang tidak menunjukkan perbedaan yang
signifikan antara pasien yang diobati surfaktan dan kelompok kontrol yang tidak diobati
sehubungan dengan PDA, IVH, RBP, NEC, dan BPD. Ada bukti menunjukkan bahwa
lamanya penggunaan ventilasi mekanik dan ventilator total telah berkurang dengan
penggunaan surfaktan pada semua tingkat usia kehamilan, walaupun dengan peningkatan
bayi berat badan lahir sangat rendah. Sebuah kejatuhan dramatis pada kematian akibat PMH
3
1

dimulai pada tahun 1991. Ini mungkin mencerminkan pengenalan terapi surfaktan pengganti
di negara-negara tentang. Dalam tindak lanjut studi jangka panjang, tidak ada efek samping
disebabkan terapi surfaktan telah diidentifikasi.

Dukungan Pernapasan
1. Intubasi endotrakeal dan ventilasi mekanik adalah terapi andalan untuk bayi dengan PMH
yang mengalami antaranya apnea atau hipoksemia dengan asidosis respiratorik yang
berkembang. Ventilasi mekanis biasanya dimulai dengan kadar 30-60 napas/menit dan
rasio inspirasi-ekspirasi 1:2. Sebuah PIP awal 18-30 cm H2O digunakan, tergantung pada
ukuran bayi dan keparahan penyakit. Sebuah PEEP dengan 4-5 cm H2O menunjukkan
hasil oksigenasi yang meningkat, mungkin karena membantu dalam pemeliharaan dari
FRC yang efektif. Tekanan terendah yang memungkinkan dan konsentrasi oksigen
inspirasi diselenggarakan dalam upaya untuk meminimalkan kerusakan pada jaringan
parenkim. Ventilator dengan kapasitas untuk menyinkronkan upaya pernafasan dapat
mengurangi barotrauma. Penggunaan awal HFOV telah menjadi semakin populer dan
merupakan modus ventilator yang sering digunakan untuk bayi berat badan lahir rendah
(Gerstmann et al, 1996; Plavka et al, 1999).

2. CPAP dan nasal synchronized intermittent mandatory ventilation (SIMV). Nasal CPAP
(NCPAP) atau nasopharyngeal CPAP (NPCPAP) dapat digunakan dini untuk menunda
atau mencegah kebutuhan untuk intubasi endotrakeal. Untuk meminimalkan cedera paru-
paru berhubungan dengan intubasi dan ventilasi mekanis, telah ada minat baru dalam
menggunakan CPAP sebagai strategi pengobatan awal untuk mengobati PMH bahkan
pada bayi berat badan lahir sangat rendah. Di beberapa pusat, praktik ini telah telah
digunakan dengan sukses dan menghasilkan penurunan insiden BPD (Aly, 2001; De
Klerk & De Klerk, 2001; Van Marter et al, 2000). Selain itu, pengobatan dini dengan
surfaktan, yang dikelola selama periode singkat intubasi diikuti oleh ekstubasi dan
penerapan NCPAP semakin sedang digunakan di Eropa. Pendekatan ini telah digunakan
pada bayi prematur usia kehamilan <30 minggu kehamilan dan secara signifikan
mengurangi kebutuhan ventilasi mekanik selanjutnya (Kamper, 1999; Verder et al, 1999).
NCPAP dan NPCPAP dapat digunakan pada ekstubasi dan dapat mengurangi
kemungkinan diintubasi lagi.

Dukungan cairan dan nutrisi


3
1

Pada bayi yang sangat sakit, sekarang memungkinkan untuk mempertahankan dukungan gizi
dengan nutrisi parenteral untuk periode yang diperpanjang. Kebutuhan spesifik prematur dan
bayi cukup bulan telah dipahami dengan baik, dan persiapan nutrisi yang tersedia
mencerminkan pemahaman ini.

Terapi antibiotik
Antibiotik yang mencakup infeksi neonatal yang paling sering biasanya
dimulai secara awal. Dosis interval aminoglikosida ditingkatkan untuk bayi prematur.

Sedasi
Sedasi umumnya digunakan untuk mengontrol ventilasi pada bayi yang sakit. Fenobarbital
sering digunakan untuk menurunkan tingkat aktivitas bayi. Morfin, fentanil, atau lorazepam
dapat digunakan untuk analgesik serta obat penenang. Kelumpuhan otot dengan pankuronium
untuk bayi dengan PMH tetap menjadi kontroversial. Sedasi mungkin diindikasikan untuk
bayi yang "melawan" ventilator dan menghembuskan napas selama inspirasi siklus ventilasi
mekanis. Pola pernapasan dapat meningkat kemungkinan karena komplikasi seperti
kebocoran udara dan seharus dihindari. Sedasi bayi dengan fluktuasi kecepatan aliran darah
otak secara teoritis menurunkn resiko IVH.

2.11 PROGNOSIS
Persediaan awal mulai dari pengamatan intensif dan perawatan bayi baru lahir yang
berisiko tinggi secara signifikan dapat mengurangi morbiditas dan mortalitas yang terkait
dengan PMH dan penyakit neonatal akut yang lain. Steroid antenatal, penggunaan surfaktan
postnatal, peningkatan modus ventilasi, dan perawatan sesuai perkembangan penyakit telah
menurunkan mortalitas dari PMH ( 10%). Hasil yang optimal tergantung pada ketersediaan
personil yang berpengalaman dan terampil, unit rumah sakit daerah khusus dirancang dan
diselenggarakan, peralatan yang tepat, dan kurangnya komplikasi seperti asfiksia berat,
perdarahan intrakranial, atau malformasi kongenital.
Terapi surfaktan telah mengurangi angka kematian dari PMH sekitar 40%; kejadian
BPD yang mempengaruhi belum terukur. Prognosis untuk bertahan hidup dengan atau tanpa
gejala sisa neurologis pernapasan dan sangat tergantung pada berat badan lahir dan usia
kehamilan. Kematian meningkat dengan menurunnya usia kehamilan. Meskipun 85-90% dari
semua bayi dengan PMH yang masih hidup setelah membutuhkan dukungan ventilasi dengan
respirator adalah normal, prognosis jauh lebih baik bagi mereka dengan berat lebih dari 1.500
3
1

g. Prognosis jangka panjang untuk fungsi paru yang normal pada bayi yang masih hidup
dengan PMH sangat baik. Korban kegagalan pernafasan neonatal yang parah mungkin
memiliki gangguan paru-paru dan perkembangan saraf yang signifikan. Morbiditas utama
(BPD, NEC, dan IVH berat) dan pertumbuhan postnatal yang kurang tetap tinggi untuk bayi
yang terkecil.
Bayi dengan PMH, 80 sampai 90% bertahan hidup, dan sebagian besar korban
memiliki paru-paru normal pada usia 1 bulan. Beberapa terjadi gangguan pernapasan yang
menetap, bagaimanapun mungkin memerlukan konsentrasi oksigen inspirasi tinggi selama
berminggu-minggu. Mereka dengan perjalanan penyakit yang berkepanjangan memiliki
insiden tinggi untuk memiliki penyakit pernafasan dengan mengi pada tahun-tahun pertama
kehidupan. Meskipun sebagian bayi fungsi paru-paru menjadi normal, mereka cenderung
mengalami laju aliran ekspirasi yang berkurang dan di masa kanak-kanak akhir sering
memiliki bronkospasme yang diinduksi aktifitas atau metakolin. Bayi prematur dengan
gangguan pernapasan neonatal lebih cenderung memiliki gangguan perkembangan
dibandingkan bayi yang lahir prematur tanpa gangguan pernapasan neonatal.
DAFTAR PUSTAKA

1. Dudell GG, Stoll BJ. Respiratory Distress Syndrome (Hyaline Membrane


Disease). Dalam: Kliegman RM, Behrman RE, Jenson HB, Stanton BF, editors.
Nelson Textbook of Pediatrics. Edisi ke 18. Philadelphia: Saunders; 2007.

2. Mohamed FB. Hyaline Membrane Disease (Respiratory Distress Syndrome). Dalam:


Gomella TL, Eyal FG, Zenk KE, editors. Neonatology: Management, Procedures, On-
Call Problems, Diseases, and Drugs. Edisi ke-5. New York: The McGraw-Hill
Companies; 2004.

3. Thilo EH. The Newborn Infant. Dalam: Hay WW, Levin MJ, Sondheimer JM,
Deterding RR, editors. Current Pediatric Diagnosis & Treatment, Edisi ke-18.
Colorado: The McGraw-Hill Companies; 2007.

4. Hansen TH. Hyaline Membrane Disease. Dalam: Rudolph CD, Rudolph AM,
Hostetter, MK, Lister G, Siegel NJ. Rudolph's Pediatrics, Edisi ke-21. New York:
McGraw-Hill Companies; 2003.
3
1

5. Bhakta KY. Respiratory Distress Syndrome. Dalam: Cloherty JP, Eichenweld EC,
Stark AR, editors. Manual of Neonatal Care. Edisi ke-6. Philadelphia: Lippincott
Williams & Wilkins; 2008. h. 323-30.

6. Kosim MS. Gangguan Napas pada Bayi Baru Lahir. Dalam: Kosim MS, Yunanto A,
Dewi Rizalya, dkk. Buku Ajar Neonatologi. Edisi ke-1. Jakarta: Badan Penerbit IDAI;
2008. h. 126-45.

7. Nur A, Etika R, Damanik SM dkk. Pemberian Surfaktan Pada Bayi Prematur Dengan
Respiratory Distress Syndrome. Available from:
www.pediatrik.com/buletin/06224113905-76sial.doc. Accessed Dis 30th,2011.

8. Pramanik AK, dkk. Respiratory Distress Syndrome. Updated: Oct 10th, 2011.
Available from:
http://emedicine.medscape.com/article/976034-overview . Accessed Dis 31th,2011.

9. McClure PC. Hyaline Membrane Disease Imaging. Updated: May 25th, 2011.
Available from:
http://emedicine.medscape.com/article/409409-overview. Accessed Dis
31th,2011

10. Lubis HNU. Penyakit Membran Hialin. Available from:


http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/08PenyakitMembranHialin121.pdf/08P
enyakitMembranHialin121.html. Accessed Dis 30th,2011.

You might also like