You are on page 1of 6

THERAPI

Terapi pada peritonitis primer adalah dengan pemberian antibiotika bila diagnosa telah ditegakkan.

Sedangkan untuk peritonitis sekunder, terapi bergantung pada penyakit dasarnya memerlukan

tindakan bedah. (4.5.8.9)


Langkah - langkah penatalaksanaan peritonitis :
1. Mengistirahatkan traktus gastrointestinal dengan puasa dan pemasangan selang nasogastrik

yang bertujuan untuk pengontrolan dekompresi terhadap distensi usus akibat ileus paralitik.
2. Atasi syok dan koreksi cairan dan elektrolit.
Resusitasi hebat dengan larutan salin isotonik adalah penting. Pengembalian volume

intravaskular memperbaiki perfusi jaringan dan pengantaran oksigen, nutrisi, dan

mekanisme pertahanan. Defisit kalium bertanggung jawab terhadap inhibisi ileus setelah

peritonitis sembuh. Pengeluaran urin dan tekanan pengisian jantung harus dipantau.
3. Antibiotika berspektrum luas diberikan secara empirik dan kemudian diubah jenisnya

setelah hasil pembiakan laboratorik keluar. Pilihan antibiotika didasarkan pada organisme

mana yang dicurigai menjadi penyebab. Antibiotika ini merupakan tambahan bagi drainase

bedah, walaupun drainase sendiri tidak mutlak harus dilakukan. Harus tersedia dosis

yang cukup pada saat pembedahan karena bakteremia akan berkembang selama operasi.
4. Oksigen dan dukungan ventilasi. Sepsis yang sedang berlangsung membawa ke hipoksemia

yang disebabkan oleh pintas dan splinting dinding dada. Penghantaran oksigen yang cukup

adalah penting.
5. Obat - obat yang menstimulasi aktivitas usus tidak boleh diberikan.
6. Penyakit yang berhubungan dan akibat umum peritonitis harus diobati
7. Pembedahan
a. Koreksi penyakit dasar.
Hal ini menjadi peraturan penatalaksanaan peritonitis yang fundamental. Penyingkiran atau

penutupan sumber kontaminasi peritoneal harus dilakukan segera. Segala usaha harus

dilakukan untuk membuang semaksimal mungkin benda asing dan material - material

infeksius.
b. Cairan peritoneal diaspirasi dan dibilas dengan larutan salin. Pembilasan dengan

antibiotika dan antiseptika masih diperdebatkan sampai sekarang.


c. Drainase (pengaliran) pada peritonitis umum tidak dianjurkan karena pipa itu dengan segera

( dalam waktu hanya beberapa jam) menjadi terisolasi atau terpisah dari ruangan yang

dimaksudkan semula, mempengaruhi pertahanan peritoneum dan dapat mengganggu organ

dalam. Indikasi drainase adalah : (2.6.8)


Pengumpulan pus yang terlokalisir.
Suatu daerah dari jaringan mati yang tidak dapat
dibuang.
Penutupan organ berongga yang tidak aman.
Kebocoran cairan tubuh seperti empedu, cairan pankreas, urin, cairan usus, darah

yang tidak dapat dihentikan dengan operasi.


Kontaminasi retroperitoneal dengan faeces, pus, dan darah.
8. Perawatan pasca bedah harus sangat seksama pada penderita yang keadaannya gawat.

Antibiotika harus diberikan dan bila perlu diganti. Ahli bedah harus waspada terhadap

pembentukan abses. Posisi setengah duduk (semi - Fowler) dapat mengumpulkan pus yang

terbentuk pada rongga pelvik, tetapi kegunaan posisi ini tidak sebesar yang dibayangkan.

2.7.1 Penanganan Preoperatif

Resusitasi Cairan
Peradangan yang menyeluruh pada membran peritoneum menyebabkan
perpindahan cairan ekstraseluler ke dalam cavum peritoneum dan ruang intersisial
(Schwartz et al, 1989).
Pengembalian volume dalam jumlah yang cukup besar melalui intravaskular
sangat diperlukan untuk menjaga produksi urin tetap baik dan status hemodinamik
tubuh. Jika terdapat anemia dan terdapat penurunan dari hematokrit dapat diberikan
transfusi PRC (Packed Red Cells) atau WB (Whole Blood). Larutan kristaloid dan koloid
harus diberikan untuk mengganti cairan yang hilang (Doherty, 2006).
Secara teori, cairan koloid lebih efektif untuk mengatasi kehilangan cairan
intravaskuler, tapi cairan ini lebih mahal. Sedangkan cairan kristaloid lebih murah,
mudah didapat tetapi membutuhkan jumlah yang lebih besar karena kemudian akan
dikeluarkan lewat ginjal (Schwartz et al, 1989).
Suplemen kalium sebaiknya tidak diberikan hingga perfusi dari jaringan dan
ginjal telah adekuat dan urin telah diprodukasi (Doherty, 2006).

Antibiotik
Bakteri penyebab tersering dari peritonitis dapat dibedakan menjadi bakteri
aerob yaitu E. Coli, golongan Enterobacteriaceae dan Streptococcus, sedangkan
bakteri anaerob yang tersering adalah Bacteriodes spp, Clostridium, Peptostreptococci.
Antibiotik berperan penting dalam terpai peritonitis, pemberian antibiotik secara empiris
harus dapat melawan kuman aerob atau anaerob yang menginfeksi peritoneum
(Schwartz et al, 1989).
Pemberian antibiotik secara empiris dilakukan sebelum didapatkan hasil kultur
dan dapat diubah sesuai dengan hasil kultur dan uji sensitivitas jika masih terdapat
tanda infeksi. Jika penderita baik secara klinis yang ditandai dengan penurunan demam
dan menurunnya hitung sel darah putih, perubahan antibiotik harus dilakukan dengan
hati-hati meskipun sudah didapatkan hasil dari uji sensitivitas (Cole et al,1970).
Efek pemberian antibiotik pada peritonitis tergantung kondisi-kondisi seperti: (1)
besar kecilnya kontaminasi bakteri, (2) penyebab dari peritonitis trauma atau
nontrauma, (3) ada tidaknya kuman oportunistik seperti candida. Agar terapi menjadi
lebih efektif, terpai antibiotik harus diberikan lebih dulu, selama dan setelah operasi
(Schwartz et al, 1989).
Pada umumnya Penicillin G 1.000.000 IU dan streptomycin 1 gram harus segera
diberikan. Kedua obat ini merupakan bakterisidal jika dipertahankan dalam dosis tinggi
dalam plasma. Kombinasi dari penicillin dan streptomycin juga memberikan cakupan
dari bakteri gram negatif. Penggunaan beberapa juta unit dari peniillin dan 2 gram
streptomycin sehari sampai didapatkan hasil kultur merupakan regimen terpai yang
logis. Pada penderita yang sensitif terhadap penicillin, tetracycline dosis tinggi yang
diberikan secara parenteral lebih baik daripada chloramphenicol pada stadium awal
infeksi (Cole et al,1970).
Pemberian clindamycin atau metronidazole yang dikombinasi dengan
aminoglikosida sama baiknya jika memberikan cephalosporin generasi kedua (Schwartz
et al, 1989).
Antibiotik awal yang digunakan cephalosporin generasi ketiga untuk gram
negatif, metronidazole dan clindamycin untuk organisme anaerob (Doherty, 2006).
Daya cakupan dari mikroorganisme aerob dan anerob lebih penting daripada
pemilihan terapi tunggal atau kombinasi. Pemberian dosis antibiotikal awal yang kurang
adekuat berperan dalam kegagalan terapi. Penggunaan aminoglikosida harus diberikan
dengan hati-hati, karena gangguan ginjal merupakan salah satu gambaran klinis dari
peritonitis dan penurunan pH intraperitoneum dapat mengganggu aktivitas obat dalam
sel. Pemberian antibiotik diberikan sampai penderita tidak didapatkan demam, dengan
hitung sel darah putih yang normal (Doherty, 2006).

Oksigen dan Ventilator


Pemberian oksigen pada hipoksemia ringan yang timbul pada peritonitis cukup
diperlukan, karena pada peritonitis terjadi peningkatan dari metabolism tubuh akibat
adanya infeksi, adanya gangguan pada ventilasi paru-paru. Ventilator dapat diberikan
jika terdapat kondisi-kondisi seperti (1) ketidakmampuan untuk menjaga ventilasi
alveolar yang dapat ditandai dengan meningkatnya PaCO 2 50 mmHg atau lebih tinggi
lagi, (2) hipoksemia yang ditandai dengan PaO 2 kurang dari 55 mmHg, (3) adanya
nafas yang cepat dan dangkal (Schwartz et al, 1989).

Intubasi, Pemasangan Kateter Urin dan Monitoring Hemodinamik


Pemasangan nasogastric tube dilakukan untuk dekompresi dari abdomen,
mencegah muntah, aspirasi dan yang lebih penting mengurangi jumlah udara pada
usus. Pemasangan kateter untuk mengetahui fungsi dari kandung kemih dan
pengeluaran urin. Tanda vital (temperature, tekanan darah, nadi dan respiration rate)
dicatat paling tidak tiap 4 jam. Evaluasi biokimia preoperative termasuk serum elektrolit,
kratinin, glukosa darah, bilirubin, alkali fosfatase dan urinalisis (Schwartz et al, 1989).
2.7.2 Penanganan Operatif
Terapi primer dari peritonitis adalah tindakan operasi. Operasi biasanya
dilakukan untuk mengontrol sumber dari kontaminasi peritoneum. Tindakan ini berupa
penutupan perforasi usus, reseksi usus dengan anstomosis primer atau dengan
exteriorasi. Prosedur operasi yang spesifik tergantung dari apa yang didapatkan selama
operasi berlangsung, serta membuang bahan-bahan dari cavum peritoneum seperti
fibrin, feses, cairan empedu, darah, mucus lambung dan membuat irigasi untuk
mengurangi ukuran dan jumlah dari bakteri virulen (Schwartz et al, 1989).

Kontrol Sepsis
Tujuan dari penanganan operatif pada peritonitis adalah untuk menghilangkan
semua material-material yang terinfeksi, mengkoreksi penyebab utama peritonitis dan
mencegah komplikasi lanjut. Kecuali pada peritonitis yang terlokalisasi, insisi midline
merupakan teknik operasi yang terbaik. Jika didapatkan jaringan yang terkontaminasi
dan menjadi fibrotik atau nekrosis, jaringan tersebut harus dibuang. Radikal
debridement yang rutin dari seluruh permukaan peritoneum dan organ dalam tidak
meningkatkan tingkat bertahan hidup. Penyakit primer lalu diobati, dan mungkin
memerlukan tindakan reseksi (ruptur apendik atau kandung empedu), perbaikan (ulkus
perforata) atau drainase (pankreatitis akut). Pemeriksaan kultur cairan dan jaringan
yang terinfeksi baik aerob maupun anaerob segera dilakukan setelah memasuki kavum
peritoneum (Doherty, 2006).

Peritoneal Lavage
Pada peritonitis difus, lavage dengan cairan kristaloid isotonik (> 3 liter) dapat
menghilangkan material-material seperti darah, gumpalan fibrin, serta bakteri.
Penambahan antiseptik atau antibiotik pada cairan irigasi tidak berguna bahkan
berbahaya karena dapat memicu adhesi (misal: tetrasiklin, povidone-iodine). Antibiotik
yang diberikan cecara parenteral akan mencapai level bakterisidal pada cairan
peritoneum dan tidak ada efek tambahan pada pemberian bersama lavage. Terlebih
lagi, lavage dengan menggunakan aminoglikosida dapat menyebabkan depresi nafas
dan komplikasi anestesi karena kelompok obat ini menghambat kerja dari
neuromuscular junction. Setelah dilakukan lavage, semua cairan di kavum peritoneum
harus diaspirasi karena dapat menghambat mekanisme pertahanan lokal dengan
melarutkan benda asing dan membuang permukaan dimana fagosit menghancurkan
bakteri (Doherty, 2006).

Peritoneal Drainage
Penggunaan drain sangat penting untuk abses intra abdominal dan peritonitis lokal
dengan cairan yang cukup banyak. Drainase dari kavum peritoneal bebas tidak efektif
dan tidak sering dilakukan, karena drainase yang terpasang merupakan penghubung
dengan udara luar yang dapat menyebabkan kontaminasi. Drainase profilaksis pada
peritonitis difus tidak dapat mencegah pembentukan abses, bahkan dapat memicu
terbentuknya abses atau fistula. Drainase berguna pada infeksi fokal residual atau pada
kontaminasi lanjutan. Drainase diindikasikan untuk peradangan massa terlokalisasi atau
kavitas yang tidak dapat direseksi (Doherty, 2006).

2.7.3 Pengananan Postoperatif


Monitor intensif, bantuan ventilator, mutlak dilakukan pada pasien yang tidak stabil.
Tujuan utama adalah untuk mencapai stabilitas hemodinamik untuk perfusi organ-organ
vital., dan mungkin dibutuhkan agen inotropik disamping pemberian cairan. Antibiotik
diberikan selama 10-14 hari, bergantung pada keparahan peritonitis. Respon klinis yang
baik ditandai dengan produksi urin yang normal, penurunan demam dan leukositosis,
ileus menurun, dan keadaan umum membaik. Tingkat kesembuhan bervariasi
tergantung pada durasi dan keparahan peritonitis. Pelepasan kateter (arterial, CVP,
urin, nasogastric) lebih awal dapat menurunkan resiko infeksi sekunder (Doherty, 2006).

You might also like