You are on page 1of 13

4.7.

1 Analgesik Non-Opioid

Asetosal diindikasikan untuk sakit kepala; nyeri muskuloskeletal sementara, dismenore;


dan demam. Pada peradangan kebanyakan klinisi lebih menyukai pengobatan
antiinflamasi dengan AINS lain yang mungkin lebih dapat ditoleransi dan lebih nyaman
bagi pasien. Asetosal makin banyak dipakai karena kerja antiplateletnya (lihat 2.9).
Tablet asetosal atau tablet terlarut (dispersible) asetosal memadai untuk sebagian besar
penggunaan karena efeknya yang cepat. Iritasi lambung dapat menjadi masalah namun
dapat dikurangi dengan meminum obat setelah makan. Tersedia juga sediaan salut
enterik tetapi mempunyai mula kerja yang lambat dan karena itu tidak sesuai untuk
penggunaan analgesik dosis tunggal (walaupun kerja yang lebih panjang mungkin
berguna untuk nyeri pada malam hari). Asetosal secara nyata berinteraksi dengan
beberapa obat lain dan interaksinya dengan warfarin menimbulkan bahaya khusus
(special hazard), lihat interaksi; Lampiran 1 (asetosal).

Parasetamol mempunyai efikasi yang mirip dengan asetosal, tetapi tidak dapat
menunjukkan aktivitas antiinflamasi, parasetamol kurang mengiritasi lambung dan
karena itu lebih disukai daripada asetosal, khususnya pada orang lansia.

Overdosis dengan parasetamol secara khusus berbahaya karena dapat mengakibatkan


kerusakan hati yang kadang-kadang tidak tampak dalam 46 hari pertama (lihat
Informasi tentang Penanganan Darurat pada Keracunan).

Analgesik antiinflamasi nonsteroid khususnya berguna untuk pengobatan pasien


dengan penyakit kronis yang disertai nyeri dan inflamasi. Beberapa AINS juga digunakan
untuk pengobatan jangka pendek nyeri ringan sampai sedang termasuk nyeri
muskuloskeletal ringan, tetapi parasetamol sekarang lebih disukai, terutama pada orang
lansia. AINS juga sesuai untuk mengurangi nyeri pada dismenore dan untuk mengobati
nyeri yang disebabkan tumor sekunder pada tulang yang beberapa diantaranya
menimbulkan lisis tulang dan melepaskan prostaglandin (lihat Peresepan pada Perawatan
Paliatif). Inhibitor selektif COX-2 dapat juga digunakan menggantikan AINS non-selektif
untuk pasien dengan risiko tinggi efek samping serius saluran cerna. AINS termasuk
ketorolak juga digunakan untuk analgesia perioperatif; lihat 15.1.4.

Asam mefenamat merupakan analgesik kelompok AINS tetapi sifat antiinflamasinya


rendah. Berbeda dengan AINS lainnya, asam mefenamat mempunyai efek samping diare
dan kadang-kadang anemia hemolitik bisa terjadi sehingga pengobatan harus dihentikan.

Nyeri daerah orofacial dan gigi. Kebanyakan nyeri gigi dapat diringankan secara
efektif dengan AINS. Asetosal efektif terhadap nyeri gigi ringan hingga sedang; bentuk
sediaan tablet larut asetosal (dispersable) diabsorpsi dengan cepat dan sesuai untuk
berbagai tujuan.

Efek analgesik parasetamol dalam mengatasi nyeri gigi ringan sampai sedang lebih kecil
dibanding asetosal, namun parasetamol tidak mempengaruhi waktu pendarahan
(bleeding time) ataupun berinteraksi secara bermakna dengan warfarin. Dan lagi,
parasetamol kurang mengiritasi lambung. Parasetamol adalah analgesik yang sesuai
untuk anak-anak.

SEDIAAN ANALGESIK KOMBINASI

Sediaan kombinasi analgesik yang mengandung analgesik sederhana (seperti asetosal


atau parasetamol) dan senyawa opioid memperkecil kemungkinan untuk dapat
melakukan titrasi terhadap masing- masing komponen dalam penanganan nyeri dengan
berbagai intensitas. Sediaan kombinasi analgesik yang mengandung parasetamol atau
asetosal dan analgesik opioid dosis rendah (misalnya 8 mg kodein fosfat per tablet
kombinasi) sering digunakan; tetapi manfaatnya belum terbukti. Opioid dosis rendah
cukup untuk menimbulkan efek samping opioid (khususnya konstipasi) dan dapat
memperumit penanganan bila terjadi overdosis; lagipula tidak memberi tambahan efek
pengurangan nyeri yang berarti.

Dosis penuh opioid (misalnya kodein fosfat 60 mg) dalam sediaan kombinasi analgesik
dapat memperbesar aktivitas analgesiknya namun disertai dengan efek samping opioid
(meliputi mual, muntah, konstipasi berat, rasa mengantuk, depresi pernapasan, dan
risiko ketergantungan pada penggunaan jangka panjang). Untuk efek samping;
peringatan dan kontraindikasi opioid analgesik yang lebih rinci; lihat 4.7.2 (penting:
penderita lansia lebih mudah mengalami efek samping opioid dan sebaiknya diberikan
dosis yang lebih rendah).Secara umum, pada saat menilai rasa sakit, pentin g untuk
menimbang secara seksama apakah diperlukan pemberian analgesik non-opioid dan
opioid sekaligus. Kafein, merupakan suatu stimulan lemah, sering ditambahkan ke
dalam sediaan analgesik dalam dosis kecil. Penambahan kafein ini dinyatakan dapat
menambah efek analgesik, tetapi efek perangsang, efek kecanduan ringan, dan
kemungkinan terpicunya sakit kepala belum tentu diinginkan. Lebih-lebih dosis yang
berlebihan atau penghentian kafein itu sendiri dapat memicu sakit kepala.
Monografi:

ASAM MEFENAMAT
Indikasi:

nyeri ringan sampai sedang seperti sakit kepala, sakit gigi, dismenore primer, termasuk
nyeri karena trauma, nyeri otot, dan nyeri pasca operasi.
Peringatan:

Risiko kardiovaskular; AINS dapat meningkatkan risiko kejadian trombotik kardiovaskuler


serius, infark miokard, dan stroke, yang dapat fatal. Risiko ini bertambah dengan
lamanya penggunaan. Pasien dengan penyakit kardiovaskuler atau faktor risiko untuk
penyakit kardiovaskuler berada dalam risiko yang lebih tinggi. Gunakan dengan hati-hati
pada pasien lansia, pengobatan jangka lama lakukan tes darah.
Interaksi:

Lampiran 1 (AINS).
Kontraindikasi:

pengobatan nyeri peri operatif pada operasi CABG, peradangan usus besar.
Efek Samping:

gangguan sistem darah dan limpatik berupa agranulositosis, anemia aplastika, anemia
hemolitika autoimun, hipoplasia sumsum tulang, penurunan hematokrit, eosinofilia,
leukopenia, pansitopenia, dan purpura trombositopenia.
Dapat terjadi reaksi anafilaksis. Pada sistem syaraf dapat mengakibatkan meningitis
aseptik, pandangan kabur; konvulsi, mengantuk. Diare, ruam kulit (hentikan
pengobatan), kejang pada overdosis.
Dosis:

500 mg 3 kali sehari sebaiknya setelah makan; selama tidak lebih dari 7 hari.

ASETOSAL (ASAM ASETILSALISILAT)


Indikasi:

nyeri ringan sampai sedang; demam (lihat keterangan di atas).


Peringatan:
asma; penyakit alergi; gangguan fungsi ginjal (lampiran 3); menurunnya fungsi hati;
dehidrasi; sebaiknya hindarkan pengunaan pada demam atau infeksi virus pada remaja
(risiko Sindrom Reye, lihat keterangan di bawah); kehamilan (lampiran 4); pasien lansia;
defisiensi G6PD (lihat 9.1.5);
Interaksi:

Lampiran 1 (asetosal).
Kontraindikasi:

anak dan remaja di bawah usia 16 tahun dan ibu menyusui (Sindrom Reye; lihat bawah);
riwayat maupun sedang menderita tukak saluran cerna; hemofilia; tidak untuk
pengobatan gout. HIPERSENSITIVITAS. Asetosal dan AINS lainnya tidak boleh diberikan
kepada penderita dengan riwayat hipersensitivitas terhadap asetosal atau AINS lain;
termasuk mereka yang terserang asma; angioudema; urtikaria atau rinitis yang
ditimbulkan oleh asetosal atau AINS lain. SINDROM REYE. Karena hubungannya dengan
Sindrom Reye, maka sediaan yang mengandung asetosal tidak diberikan pada anak dan
remaja di bawah usia 16 tahun, kecuali ada indikasi yang spesifik misalnya untuk
pengobatan Sindrom Kawasaki.
Efek Samping:

biasanya ringan dan tidak sering, tetapi kejadiannya tinggi untuk terjadinya iritasi
saluran cerna dengan perdarahan ringan yang asimptomatis; memanjangnya bleeding
time; bronkospasme; dan reaksi kulit pada pasien hipersensitif. Overdosis: lihat
Pengobatan Darurat pada Keracunan.
Dosis:

300-900 mg tiap 4-6 jam bila diperlukan; maksimum 4 g per hari. Anak dan remaja tidak
dianjurkan (lihat keterangan di atas).

ASETOSAL KOMBINASI DENGAN BUKAN PSIKOLEPTIK


Keterangan:

Sediaan yang dijual bebas. Berikut ini daftar sediaan yang dijual bebas yang
mengandung asetosal atau parasetamol dengan bahan aktif lain. Penting: pada overdosis
hubungi Sentra Informasi Keracunan untuk penjelasan lengkap tentang isinya.

IBUPROFEN
Indikasi:

Nyeri ringan sampai sedang antara lain nyeri pada penyakit gigi atau pencabutan gigi,
nyeri pasca bedah, sakit kepala, gejala artritis reumatoid, gejala osteoartritis, gejala
juvenile artritis reumatoid, menurunkan demam pada anak.
Peringatan:

Tidak dianjurkan pada lansia, kehamilan, persalinan, menyusui, pasien dengan


perdarahan, ulkus, perforasi pada lambung, gangguan pernafasan, gangguan fungsi
jantung, gangguan fungsi ginjal, gangguan fungsi hati, hipertensi tidak terkontrol,
hiperlipidemia, diabetes melitus, gagal jantung kongestif, penyakit jantung iskemik,
penyakit serebrovaskular, penyakit arteri periferal, dehidrasi, meningitis aseptik.
Interaksi:

AINS dan penghambat selektif COX-2: berpotensi menimbulkan efek adiktif. Glikosida
jantung: menurunkan kecepatan filtrasi glomerulus dan meningkatkan konsentrasi
plasma glikosida jantung. Kortikosteroid: meningkatkan risiko ulkus atau perdarahan
lambung. Antikoagulan (warfarin): meningkatkan efek dari antikoagulan. Antiplatelet dan
golongan SSRI (klopidogrel, tiklopidin): meningkat risiko perdarahan lambung. Asetosal:
meningkatkan risiko efek samping. Anti hipertensi: menurunkan efek anti hipertensi.
Diuretik: meningkatkan risiko nefrotoksik. Litium: mempercepat eliminasi litium.
Metotreksat: mengurangi bersihan metotreksat. Siklosporin dan takrolimus:
meningkatkan risiko nefrotoksik. Zidovudin: meningkatkan risiko gangguan hematologi.
Kuinolon: meningkatkan risiko kejang. Aminoglikosida: menurunkan eksresi
aminoglikosida. Mifepriston: jangan gunakan AINS selama 8 12 hari setelah terapi
mifepriston karena dapat mengurangi efek mifepriston. Ginkgo biloba: meningkatkan
risiko perdarahan.
Kontraindikasi:

Kehamilan trimester akhir, pasien dengan ulkus peptikum (ulkus duodenum dan
lambung), hipersensitivitas, polip pada hidung, angioedema, asma, rinitis, serta urtikaria
ketika menggunakan asam asetilsalisilat atau AINS lainnya.
Efek Samping:

Umum: pusing, sakit kepala, dispepsia, diare, mual, muntah, nyeri abdomen, konstipasi,
hematemesis, melena, perdarahan lambung, ruam. Tidak umum: rinitis, ansietas,
insomnia, somnolen, paraestesia, gangguan penglihatan, gangguan pendengaran,
tinnitus, vertigo, asma, dispnea, ulkus mulut, perforasi lambung, ulkus lambung, gastritis,
hepatitis, gangguan fungsi hati, urtikaria, purpura, angioedema, nefrotoksik, gagal ginjal.
Jarang: meningitis aseptik, gangguan hematologi, reaksi anafilaktik, depresi,
kebingungan, neuritis optik, neuropati optik, edema. Sangat jarang: pankreatitis, gagal
hati, reaksi kulit (eritema multiform, sindroma Stevens Johnson, nekrolisis epidermal
toksik), gagal jantung, infark miokard, hipertensi.
Dosis:

Dewasa, dosis yang dianjurkan 200-250 mg 3-4 kali sehari. Anak 1-2 tahun, 50 mg 3-4
kali sehari. 3-7 tahun, 100-125 mg 3-4 kali sehari. 8-12 tahun, 200-250 mg 3-4 kali
sehari. Tidak boleh dipergunakan pada anak dengan berat badan kurang dari 7 kg.
Sebaiknya diminum setelah makan. Osteoartritis, artritis reumatoid. 1200 mg 1800 mg
3 kali sehari. Eksaserbasi akut. Dosis maksimum 2400 mg/hari, jika kondisi sudah stabil
selanjutnya dosis dikurangi hingga maksimum 1800 mg/hari.

PARASETAMOL (ASETAMINOFEN)
Indikasi:

nyeri ringan sampai sedang, nyeri sesudah operasi cabut gigi, pireksia.
Peringatan:

gangguan fungsi hati, gangguan fungsi ginjal (lampiran 3), ketergantungan alkohol.
Interaksi:

lihat lampiran 1, peningkatan risiko kerusakan fungsi hati pada pengunaan bersama
alkohol.
Kontraindikasi:

gangguan fungsi hati berat, hipersensitivitas.


Efek Samping:

jarang terjadi efek samping, tetapi dilaporkan terjadi reaksi hipersensitivitas, ruam kulit,
kelainan darah (termasuk trombositopenia, leukopenia, neutropenia), hipotensi juga
dilaporkan pada infus, PENTING: Penggunaan jangka panjang dan dosis berlebihan atau
overdosis dapat menyebabkan kerusakan hati, lihat pengobatan pada keadaan darurat
karena keracunan.
Dosis:

oral 0,51 gram setiap 46 jam hingga maksimum 4 gram per hari; anakanak umur 2
bulan 60 mg untuk pasca imunisasi pireksia, sebaliknya di bawah umur 3 bulan (hanya
dengan saran dokter) 10 mg/kg bb (5 mg/kg bb jika jaundice), 3 bulan1 tahun 60 mg
120 mg, 1-5 tahun 120250 mg, 612 tahun 250 500 mg, dosis ini dapat diulangi setiap
46 jam jika diperlukan (maksimum 4 kali dosisdalam 24 jam), infus intravena lebih dari
15 menit, dewasa dan anakanak dengan berat badan lebih dari 50 kg, 1 gram setiap 4
6 jam, maksimum 4 gram per hari, dewasa dan anakanak dengan berat badan 10 -50
kg, 15 mg/kg bb setiap 46 jam, maksimum 60 mg/kg bb per hari.

4.7.2 Analgesik opioid

Analgesik opioid digunakan untuk mengurangi nyeri sedang sampai berat, terutama
yang pada bagian viseral. Penggunaan berulang dapat mengakibatkan ketergantungan
dan toleransi, tapi ini bukan alasan tidak digunakannya dalam mengatasi nyeri pada
penyakit terminal. Penggunaan opioid kuat mungkin sesuai untuk beberapa kasus nyeri
kronis non-keganasan; pengobatan sebaiknya diawasi oleh dokter spesialis dan kondisi
pasien sebaiknya dikaji setiap interval tertentu

EFEK SAMPING. Berbagai analgesik opioid memiliki banyak efek samping yang sama
walaupun ada perbedaan kualitatif dan kuantitatif. Yang paling sering, diantaranya mual,
muntah, konstipasi, dan rasa mengantuk. Dosis yang lebih besar menimbulkan depresi
napas dan hipotensi. Overdosis, lihat Perawatan Darurat pada Keracunan.

INTERAKSI. Lampiran 1 (analgesik opioid) (penting: bahaya khusus pada interaksi dengan
petidin dan mungkin juga opioid lain, dan dengan MAOI).

MENGEMUDI. Rasa mengantuk dapat mempengaruhi kemampuan kerja seseorang


(misalnya mengemudi); efek alkohol diperkuat.

PILIHAN. Morfin tetap merupakan analgesik opioid pilihan untuk nyeri berat walaupun
sering mengakibatkan mual dan muntah. Morfin merupakan standar yang digunakan
sebagai pembanding bagi analgesik opioid lain. Namun selain menghilangkan nyeri,
morfin juga menimbulkan keadaan euforia dan gangguan mental.

Morfin merupakan opioid pilihan untuk pengobatan oral nyeri berat pada perawatan
paliatif. Obat diberikan tiap 4 jam (atau tiap 12 atau 24 jam sebagai sediaan lepas
lambat).

Buprenorfin memiliki sifat agonis opioid maupun antagonis dan dapat memperburuk
gejala putus obat, termasuk nyeri, pada pasien yang bergantung pada opioid lain.
Buprenorfin berpotensi untuk disalahgunakan dan dapat menimbulkan ketergantungan.
Buprenorfin memiliki lama kerja yang jauh lebih panjang dari morfin dan pemberian
secara sublingual merupakan analgesik yang efektif untuk 6-8 jam. Kemungkinan
timbulnya muntah dapat menjadi masalah. Tidak seperti kebanyakan analgesik opioid
lainnya; efek buprenorfin hanya dapat dihilangkan secara parsial oleh nalokson. Kodein
efektif untuk mengurangi nyeri ringan hingga sedang, tetapi terlalu sering menimbulkan
konstipasi bila dipakai untuk jangka panjang.

Difenoksilat (dikombinasi dengan atropin, sebagai co-phenotrope) digunakan pada


diare akut (lihat 1.4.3)

Dipipanon yang digunakan secara tunggal kurang menimbulkan sedasi dibanding


morfin, tetapi merupakan satu-satunya sediaan yang mengandung antiemetik dan oleh
karena itu tidak sesuai sebagai regimen reguler pada perawatan paliatif.

Diamorfin (heroin) adalah opioid analgesik yang sangat kuat. Diamorfin dapat
menyebabkan lebih sedikit mual dan hipotensi dibanding morfin. Pada perawatan paliatif
kelarutan diamorfin yang lebih besar memungkinkan dosis efektif disuntikkan dengan
volume yang lebih kecil dan hal ini penting pada pasien yang sangat kurus.
Dihidrokodein memiliki khasiat analgesik mirip kodein. Dosis dihidrokodein per oral
biasanya 30 mg tiap 4 jam, menggandakan dosis menjadi 60 mg dapat meningkatkan
efek analgesiknya, tetapi mual dan muntah juga meningkat.

Alfentanil, fentanil, dan remifentanil biasanya digunakan melalui injeksi sebagai


penghilang nyeri dalam intra-operasi; fentanil tersedia dalam sediaan transdermal
seperti plester yang diganti setiap 72 jam. Meptazinol dinyatakan jarang menimbulkan
depresi pernapasan. Lama kerjanya 2-7 jam dan mula kerja 15 menit.

Metadon kurang menimbulkan sedasi dibanding morfin dengan masa kerja lebih lama.
Pada penggunaan jangka panjang, metadon tidak boleh diberikan lebih dari 2 kali sehari
untuk menghindari risiko akumulasi dan overdosis opioid. Metadon dapat digunakan
sebagai pengganti morfin pada penderita yang mengalami reaksi eksitasi (atau
eksaserbasi rasa nyeri) dengan morfin.

Oksikodon mempunyai khasiat dan efek samping yang mirip dengan morfin. Biasanya
digunakan pada penanganan nyeri pada perawatan paliatif.

Pentazosin memiliki sifat agonis maupun antagonis dan memicu timbulnya gejala putus
obat; termasuk nyeri pada penderita yang bergantung pada opioid lain. Bila disuntikkan
efek pentazosin lebih kuat dibanding daripada dihidrokodein atau kodein, tetapi dapat
timbul halusinasi dan gangguan pikiran. Tidak dianjurkan, dan khususnya sebaiknya
dihindari oleh penderita pasca infark miokard karena obat ini meningkatkan tekanan
darah aorta dan paru-paru; dan meningkatkan kerja jantung.

Petidin merupakan analgesik yang cepat tetapi bertahan hanya untuk waktu singkat;
kurang menimbulkan konstipasi dibanding morfin; tetapi kurang kuat sebagai analgesik,
bahkan dalam dosis tinggi. Tidak cocok untuk nyeri hebat yang berkepanjangan.
Digunakan untuk analgesia dalam proses melahirkan; namun demikian, opioid lain
seperti morfin dan diamorfin sering lebih disukai untuk nyeri obstetrik.

Tramadol bekerja sebagai analgesia melalui dua mekanisme yaitu efek opioid dan
memacu jalur serotoninergik dan adrenergik. Memiliki efek samping khas opioid yang
lebih sedikit (depresi napas, konstipasi, dan potensi kecanduan yang lebih sedikit). Telah
dilaporkan terjadi reaksi psikiatrik.

DOSIS. Dosis opioid yang tercantum mungkin perlu disesuaikan sesuai masing-masing
individu tergantung pada derajat penghilang rasa nyeri dan efek samping. Respon pasien
terhadap analgesik opioid sangat beragam.

ANALGESIK PASCA BEDAH. Penggunaan opioid selama pembedahan mempengaruhi


peresepan analgesik pasca bedah dan pada banyak kasus mungkin diperlukan
penundaan penggunaan analgesik pasca bedah. Opioid pasca bedah sebaiknya
digunakan secara hati-hati karena kemungkinan dapat memicu depresi pernafasan
residual. Analgesik non opioid juga dapat digunakan untuk mengatasi nyeri pasca bedah.

Morfin dan papaveretum digunakan paling luas. Tramadol tidak seefektif opioid lain
untuk mengatasi nyeri hebat. Buprenorfin mungkin dapat melawan efek analgesik dari
analgesik yang digunakan sebelumnya dan karenanya tidak direkomendasikan. Petidin
dimetabolisme menjadi norpetidin yang dapat terakumulasi, terutama pada gangguan
fungsi ginjal; norpetidin menstimulasi sistem saraf pusat dan dapat menyebabkan
kejang. Meptazinol jarang digunakan.

NYERI GIGI DAN MULUT. Analgesik opioid relatif kurang efektif pada nyeri gigi dan mulut.
Seperti opioid lain, dihidrokodein sering menimbulkan mual dan muntah yang membatasi
manfaatnya pada nyeri gigi dan mulut; jika digunakan sedikit lebih, dapat berpotensi
menimbulkan konstipasi. Dihidrokodein tidak terlalu efektif dalam mengatasi nyeri gigi
dan mulut pasca bedah. Petidin dapat digunakan per oral, namun untuk memperoleh
efek optimal, perlu diberikan melalui injeksi. Khasiat dalam mengatasi nyeri gigi dan
mulut pasca bedah tidak terbukti dan penggunaannya pada sekitar gigi dan mulut
menjadi sangat sedikit. Efek samping petidin sama dengan dihidrokodein dan kecuali
efek konstipasi, petidin lebih banyak menyebabkan efek samping lainnya.

PECANDU. Walaupun perlu hati-hati, pecandu (dan mantan pecandu) dapat diobati
dengan analgesik dengan cara yang sama seperti orang lain bila kebutuhan klinisnya
nyata.

Ketergantungan dan penghentian obat


Ketergantungan psikologi jarang muncul pada anak jika opioid digunakan untuk
penanganan nyeri, tetapi toleransi dapat terjadi selama penggunaan jangka panjang,
oleh karena itu obat sebaiknya dihentikan secara bertahap untuk menghindari gejala
putus obat.
Monografi:

FENTANIL
Indikasi:

nyeri tiba-tiba pada pasien yang sudah dalam terapi opioid untuk nyeri kanker kronik;
nyeri kronik yang sukar ditangani; indikasi lain.
Peringatan:

lihat pada Garam Morfin dan keterangan di atas.


Interaksi:

Lampiran 1 (analgesik opioid).


Kontraindikasi:

lihat pada Garam Morfin, dan keterangan di atas.


Efek Samping:

lihat pada Garam Morfin dan keterangan di atas; penggunaan dengan patches, reaksi
lokal seperti ruam kulit, eritema dan gatal dilaporkan.
DEMAM atau PANAS DARI LUAR. Monitor pasien untuk efek samping yang meningkat bila
timbul demam (absorpsi mungkin meningkat); hindarkan tempat aplikasi dari sengatan
panas (dapat menambah absorpsi).
LAMA KERJA YANG PANJANG. Mengingat kerjanya yang lama; pasien yang mengalami
efek samping berat harus dimonitor hingga 24 jam setelah tapel (patch) dilepas.
Penggunaan:

Durogesic (Janssen, Belgia/ Kimia Farma) 2,5 mg, 5 mg, 7,5 mg, 10 mg/cakram
transdermal; self-adhesive; transparan; tapel fentanil; '25' (melepaskan kira-kira 25
mcg/jam untuk 72 jam); '50' patch (melepaskan kira-kira 50 mcg/jam untuk 72 jam); '75'
patch (melepaskan kira-kira 75 mcg/jam untuk 72 jam); '100' patch (melepaskan kira-kira
100 mcg/jam untuk 72 jam).
CARA PAKAI: Tempelkan pada permukaan kulit yang kering; tidak terkena sinar matahari;
dan tidak berambut di daerah pinggang atau lengan atas; dilepaskan setelah 72 jam; dan
tempelkan tapel baru di tempat lain (hindarkan penempelan tapel pada tempat yang
sama untuk beberapa hari).
Penderita yang belum pernah menerima analgesik opioid kuat; dosis awal; satu patch '25
mcg/jam' diganti setelah 72 jam; penderita yang pernah menerima analgesik opioid;
dosis awal didasarkan kebutuhan opioid dalam 24 jam sebelumnya (morfin sulfat oral 90
mg per 24 jam- satu tapel '24 mcg/jam'; lihat lembaran informasi untuk perinciannya);
ANAK tidak dianjurkan. Catatan: Bila baru mulai menggunakan Durogesic penilaian efek
analgesiknya jangan dilakukan sebelum cara ini dipakai selama 24 jam (untuk menaikkan
kadar plasma fentanil sedikit demi sedikit) pemberian analgesik sebelumnya sebaiknya
dihentikan bertahap sejak aplikasi tapel yang pertama; penyesuaian dosis umumnya
dilakukan setiap 72 jam dengan '25 mcg/jam'. Boleh dipakai lebih dari satu tapel
sekaligus bila dosis lebih besar dari '100 mcg/jam' (tetapi tempelkan pada saat yang
sama supaya tidak bingung) pertimbangkan pengobatan analgesik tambahan/ alternatif
bila dosis yang dibutuhkan melebihi 300 mcg/jam (penting: mungkin diperlukan 17 jam/
lebih untuk berkurangnya kadar fentanil sebanyak 50%; karena itu pengobatan opioid
pengganti sebaiknya dimulai dengan dosis rendah; dinaikkan sedikit demi sedikit).

KODEIN FOSFAT
Indikasi:

nyeri ringan sampai sedang; diare; antitusif.


Peringatan:

lihat pada Garam Morfin; penggunaan antitusif yang mengandung kodein atau opioid
analgesik sejenis tidak direkomendasikan pada anak-anak dan sebaiknya dihindari
seluruhnya pada anak di bawah satu tahun.
Interaksi:

Lampiran 1 (analgesik opioid).


Kontraindikasi:

lihat di bawah Garam Morfin dan catatan di atas.


Efek Samping:

lihat pada Garam Morfin dan catatan di atas.


Dosis:

per oral, 30-60 mg setiap 4 jam ketika dibutuhkan, hingga maksimal 240 mg sehari; anak
1-12 tahun, 3 mg/kg bb sehari dengan dosis terbagi. Melalui injeksi intramuskular, 30-60
mg setiap 4 jam ketika dibutuhkan.

GARAM MORFIN
Indikasi:

lihat keterangan di atas; udema paru-paru akut; analgesia perioperatif lihat 15.1.4.
Peringatan:

hipotensi, hipotiroidisme, asma (hindari selama serangan), dan turunnya cadangan


pernapasan, hipertrofi prostat; wanita hamil (lampiran 4) dan menyusui (lampiran 5);
dapat memicu koma pada gangguan fungsi hati (kurangi dosis atau hindari, namun
banyak pasien demikian dapat menerima morfin); kurangi dosis atau hindari pada
gangguan fungsi ginjal (lihat juga Lampiran 3); penderita lansia dan sakit parah (kurangi
dosis); gangguan konvulasi, ketergantungan (gejala putus obatnya berat); penggunaan
antitusif yang mengandung analgesik opioid secara umum tidak dianjurkan pada anak
dan sebaiknya dihindari seluruhnya pada mereka di bawah 1 tahun.
PERAWATAN PALIATIF. Pada pengendalian nyeri penyakit terminal; peringatan ini tidak
boleh menjadi suatu penghalang bagi penggunaan analgesik opioid.
Interaksi:

Lampiran 1 (analgesik opioid).


Kontraindikasi:

hindari pada depresi napas akut, alkoholisme akut, dan bila terdapat risiko ileus paralitik;
juga hindarkan pada peningkatan tekanan kranial atau cedera kepala (mempengaruhi
respon pupil yang penting untuk penilaian neurologis); hindari injeksi pada
feokromositoma (ada risiko tekanan darah naik sebagai respons terhadap pelepasan
histamin).
Efek Samping:

mual dan muntah (khususnya pada permulaan), konstipasi, dan rasa mengantuk; dosis
lebih besar menyebabkan depresi napas, hipotensi, dan kekakuan otot; efek samping lain
termasuk kesulitan kencing, spasme bilier atau ureter, mulut kering, berkeringat, sakit
kepala, muka memerah, vertigo, bradikardia, takikardia, palpitasi, hipotensi postural,
hipotermia, halusinasi, disforia, perubahan suasana hati (mood), kertergantungan,
miosis, menurunnya libido atau potensi, ruam kulit, urtikaria, dan pruritus; overdosis:
lihat Perawatan Darurat pada Keracunan; untuk memperbaiki depresi napas yang
ditimbulkan oleh opioid; lihat 15.1.7.
Dosis:

nyeri akut, melalui injeksi subkutan (tidak cocok untuk penderita udem) atau injeksi
intramuskular, 10 mg setiap 4 jam bila perlu (15 mg untuk pasien bertubuh lebih kekar);
ANAK: hingga 1 bulan 150 mcg/kg bb; 1-12 bulan 200 mcg/kg bb; 1-5 tahun 2,5-5 mg. 6-
12 tahun 5-10 mg; melalui injeksi perlahan intravena, dosisnya seperempat hingga
setengah dosis intramuskular. Pramedikasi, melalui injeksi subkutan atau intramuskular,
sampai 10 mg pada 60-90 menit sebelum pembedahan; anak, melalui injeksi
intramuskular, 150 mcg/kg bb.
Nyeri pasca bedah, melalui injeksi subkutan atau intramuskular, 10 mg setiap 2-4 jam
jika diperlukan (15 mg pada pasien kekar); anak hingga 1 bulan 150 mcg/kg bb, 1-12
bulan 200 mcg/kg bb; 1-5 tahun 2,5-5 mg; 6-12 tahun 5-10 mg.
Catatan: selama pasca bedah, pasien sebaiknya dimonitor secara saksama pada
penghilangan rasa nyerinya juga efek samping yang mungkin timbul, terutama
penekanan pernapasan.
Pasien analgesia terkendali, rujuk ke protokol rumah sakit.
Infark miokard; dengan injeksi perlahan intravena (2 mg/menit); 10 mg diikuti dengan 5-
10 mg bila perlu; PASIEN LANSIA atau pasien yang lemah, kurangi dosis hingga
setengahnya.Udem paru akut, melalui injeksi perlahan intravena (2 mg/menit) 5-10 mg.
Nyeri kronis, per oral atau injeksi subkutan (tidak cocok untuk penderita udem) atau
dengan injeksi intramuskuler, 5-20 mg secara teratur tiap 4 jam; dosis dapat ditingkatkan
sesuai dengan kebutuhan; dosis oral harus sekitar dua kali dosis intramuskular dan tiga
kali dari dosis diamorfin intramuskular; per anal, sebagai supositoria, 15-30 mg secara
teratur tiap 4 jam.
Catatan. Dosis yang dinyatakan di atas adalah untuk morfin hidroklorida, sulfat, dan
tartrat; lihat di bawah untuk dosis sediaan lepas lambat.
Nyeri berat yang tidak dapat dikendalikan dengan opioid yang lebih lemah; 30 mg tiap
12 jam; ditingkatkan hingga 60 mg tiap 12 jam bila diperlukan; kemudian peningkatan
lebih lanjut 30-50% bila perlu. Tentang dosis awal yang lebih rendah untuk pasien yang
belum menerima opioid lain. ANAK: nyeri yang bandel (intractable) pada kanker; mula-
mula 200-800 mcg/kg bb tiap 12 jam; lalu penambahan lebih lanjut 30-50% bila perlu.

HIDROMORFON HIDROKLORIDA
Indikasi:

nyeri sedang hingga berat pada pasien kanker.


Peringatan:

tidak disarankan untuk remaja, hati-hati penggunaan pada lansia, risiko ileus paralitik,
depresi pernapasan, PPOK, pasien yang mendapat anestesi, pasien yang mengalami
cedera kepala dan peningkatan tekanan intrakranial, konstipasi kronik, radang atau
gangguan obstruktif usus besar, pankreatitis akut, penyakit saluran empedu atau
menjalani operasi saluran empedu, pasien dengan insufisiensi ginjal atau hati ringan
hingga sedang, insufisiensi adrenokortikal, miksedem, hipotiroidisme, hipertrofi prostat
atau striktur uretra, depresi SSP, kifoskoliosis, psikosis toksik, alkoholisme akut, tremens
delirium, gangguan konvulsi, penghentian secara tiba-tiba dapat menyebabkan gejala
putus obat, dapat mengganggu kemampuan mengemudi dan menjalankan mesin.
Interaksi:

penggunaan bersama penghambat MAO dapat menyebabkan perangsangan atau depresi


SSP, meningkatkan atau menurunkan tekanan darah, agonis/antagonis morfin
(buprenorfin, nalbufin, atau pentazosin) dapat menurunkan efek analgesik sehingga
mengarah ke risiko gejala putus obat, obat penekan SSP, alkohol, dan relaksan otot.
Kontraindikasi:

hipersensitivitas, nyeri akut dan setelah operasi, asma, anak, kehamilan, saat proses
melahirkan, menyusui, penurunan fungsi hati berat, insufisiensi pernapasan, nyeri perut
akut, dalam terapi penghambat MAO atau masih dalam 14 hari setelah penggunaan
penghambat MAO, terapi dengan buprenorfin, nalbufin, atau pentazosin, pasien koma.
Efek Samping:

konstipasi, mual dan muntah, mengantuk, sakit kepala dan pusing, diare, pruritus,
astenia, udem.
Dosis:

4 mg tiap 24 jam, dapat dinaikkan sesuai kebutuhan. Pada pasien yang belum pernah
menggunakan opioid, dosis awal tidak boleh lebih dari 8 mg per 24 jam. Dosis dapat
dinaikkan atau diturunkan tergantung respon, dan dosis tidak boleh dititrasi kurang dari
2 hari. Hentikan penggunaan analgesik opioid around-the-clock lainnya. Dapat digunakan
bersamaan dengan analgesik non opioid.

OKSIKODON HIDROKLORIDA
Indikasi:

nyeri sedang hingga berat pada pasien kanker, nyeri pasca bedah; nyeri berat.
Peringatan:

lihat pada garam morfin dan keterangan di atas; hindari pada porfiria.
Interaksi:

lihat lampiran 1 (analgesik opioid).


Kontraindikasi:

lihat pada garam morfin dan keterangan di atas; gangguan fungsi hati sedang hingga
berat, gangguan fungsi ginjal.
Efek Samping:

lihat pada garam morfin dan keterangan di atas.


Dosis:

oral, awal, 5 mg setiap 4-6 jam, ditingkatkan jika perlu menurut tingkat keparahan nyeri;
maksimal 400 mg sehari, namun beberapa pasien memerlukan dosis yang lebih tinggi.
ANAK di bawah 18 tahun, tidak direkomendasikan. Injeksi intravena lambat, 1-10 mg
setiap 4 jam jika diperlukan. Injeksi subkutan, dosis awal 5 mg setiap 4 jam jika
diperlukan. Infus subkutan, dosis awal 7,5 mg/24 jam, disesuaikan menurut respon.
Catatan. 2 mg oksikodon oral setara dengan 1 mg oksikodon parenteral.

PETIDIN HIDROKLORIDA
Indikasi:

nyeri sedang sampai berat; analgesia obstetrik; analgesia perioperatif.


Peringatan:
lihat pada Garam Morfin dan keterangan di atas; tidak cocok untuk nyeri berat yang
berkepanjangan.
Interaksi:

Lampiran 1 (analgesik opioid).


Kontraindikasi:

lihat pada Garam Morfin dan keterangan di atas; gangguan fungsi ginjal berat.
Efek Samping:

lihat pada Garam Morfin dan keterangan di atas; konvulsi dilaporkan pada overdosis.
Dosis:

nyeri akut, oral 50-150 mg tiap 4 jam; anak: 0,5-2 mg/kg bb; anak-anak 0,5-2 mg/kg bb.
Injeksi subkutan atau intramuskular, 25-100 mg, diulang setelah 4 jam; ANAK, injeksi
intramuskular, 0,5-2 mg/kg bb.
Injeksi intravena perlahan, 25-50 mg, diulang setelah 4 jam.
Analgesia obstetrik, injeksi subkutan atau intramuskular, 50-100 mg, diulang 1-3 jam
kemudian bila perlu; maksimum 400 mg dalam 24 jam. Pramedikasi, injeksi
intramuskular, 25-100 mg 1 jam sebelum pembedahan; anak 0,5-2 mg/kg bb.
Nyeri pasca bedah, injeksi subkutan atau intramuskular, 25-100 mg setiap 2-3 jam jika
diperlukan; anak, injeksi intramuskular, 0,5-2 mg/kg bb.
Catatan: selama pasca bedah, pasien sebaiknya dimonitor secara saksama pada
penghilangan rasa nyerinya juga efek samping yang mungkin timbul, terutama
penekanan pernapasan.

SUFENTANIL
Indikasi:

Intravena: analgesik tambahan selama induksi dan pemeliharaan keseimbangan anestesi


umum, anestesi induksi dan anestesi pemeliharaan pada pasien yang menjalani prosedur
operasi besar. Epidural: pengendalian nyeri pasca operasi umum, operasi toraks atau
tulang dan operasi caesar.
Peringatan:

Gangguan fungsi hati, gangguan fungsi ginjal, lansia, kondisi lemah, anak, penggunaan
bersama penghambat sitokrom P4503A4, kehamilan, menyusui, mengemudi dan
mengoperasikan mesin.
Interaksi:

Barbiturat, benzodiazepin, neuroleptik, gas halogenik dan nonselektif depresan sistem


saraf pusat: dapat meningkatkan depresi pernapasan. Enzim penghambat sitokrom
P4503A4 seperti ketokonazol, itrakonazol, ritonavir: menghambat metabolisme sufentanil
yang meningkatkan risiko perpanjangan atau terlambatnya depresi pernapasan.
Kontraindikasi:

Pemberian intravena pada persalinan, intoleransi.


Efek Samping:

Umum: sedasi, tremor neonatal, pusing, sakit kepala, takikardi, hipertensi, hipotensi,
muka pucat, sianosis neonatal, mual, muntah, pruritus, perubahan warna kulit, otot
berkedut, retensi urin, inkontinensi urin, pireksia. Tidak umum: rinitis, hipersensitivitas,
apati, gugup, ataksia, diskinesia neonatal, distonia, hiperrefleksia, hipertonia, hipokinesia
neonatal, somnolen, gangguan penglihatan, aritmia, abnormal elektrokardiogram,
hambatan atrioventrikular, bradikardi, sianosis, bronkospasme, batuk, disfonia, cegukan,
hipoventilasi, gangguan pernapasan, dermatitis alergi, kulit kering, hiperhidrosis, ruam,
ruam neonatal, nyeri punggung, hipotonia neonatal, kaku otot, panas dingin, hipotermia,
penurunan suhu tubuh, nyeri lokasi injeksi, reaksi lokasi injeksi, nyeri, peningkatan suhu
tubuh. Sangat jarang: syok anafilaktik, reaksi anafilaktik, reaksi anafilaktoid, koma,
konvulsi, kontraksi otot paksa, miosis, henti jantung, syok, henti pernafasan, apnoe,
penekanan pernafasan, udem paru, lariospasme, eritema, kejang otot.
Dosis:

Analgesik tambahan: dosis 0.5-5 mcg/kg BB, tambahan dosis 10-25 mcg perlu
disesuaikan pada kebutuhan masing-masing pasien dan untuk mengantisipasi sisa waktu
operasi. Anestesi: dosis lebih dari 8 mcg/kg BB, dosis tambahan 25-50 mcg cukup untuk
mempertahankan kestabilan kardiovaskular selama anestesi. Pengendalian nyeri pasca
operasi: dosis awal 30-50 mcg, tambahan 25 mcg dapat diberikan bila terdapat
pengurangan efek analgesia. Analgesik tambahan selama proses persalinan: 10 mcg
tambahan pada bupivakain epidural, dapat diberikan 2 injeksi kombinasi berikutnya
dengan total dosis tidak lebih dari 30 mcg.

Antikolinergik dosis kecil intravena diberikan sebelum pemberian sufentanil intravena


untuk mencegah bradikardi. Dosis disesuaikan dengan usia, berat badan, status fisik,
kondisi patologis, penggunaan obat lain, dan tipe prosedur pembedahan dan anestesi.

TRAMADOL HIDROKLORIDA
Indikasi:

nyeri sedang sampai berat.


Peringatan:

lihat pada garam morfin dan keterangan di atas; riwayat epilepsi (dilaporkan timbulnya
konvulsi, biasanya setelah injeksi intravena yang cepat); hindari pada kehamilan
(lampiran 4) dan menyusui (lampiran 5); tidak sesuai sebagai terapi pengganti pada
pasien ketergantungan opiat.
Anestesi Umum: Tidak direkomendasikan sebagai analgesik pada awal kerja anestesi
umum (menyebabkan meningkatnya risiko pembatalan pembedahan).
Interaksi:

lihat Lampiran 1.
Kontraindikasi:

Lihat pada garam morfin dan keterangan di atas.


Efek Samping:

lihat pada garam morfin dan keterangan di atas, perasaan tidak nyaman di perut, diare,
hipotensi, dan hipertensi okasional, dilaporkan juga terjadi paraestesia, anafilaksis, dan
kebingungan.
Dosis:

oral, 50-100 mg tidak boleh lebih sering dari 4 jam; total pemakaian lebih dari 400 mg
per hari tidak selalu dibutuhkan. Anak-anak tidak direkomendasikan. Intramuskular atau
intravena (lebih dari 2-3 menit) atau infus intravena, 50-100 mg setiap 4-6 jam.
Nyeri pasca bedah, dosis awal 100 mg kemudian 50 mg tiap 10-20 menit, jika diperlukan
selama 1 jam pertama hingga total maksimum 250 mg (termasuk dosis awal) pada 1 jam
pertama, kemudian 50-100 mg tiap 4-6 jam, maksimum 600 mg per hari. Anak-anak
tidak direkomendasikan.
4.7.3 Nyeri Neuropatik

Nyeri neuropatik, yang terjadi akibat kerusakan jaringan saraf, termasuk diantaranya
neuralgia pasca herpes, phantom limb pain, complex regional pain syndrome (reflex
sympathetic dystrophy, causalgia) compression neuropathies, neuropati perifer (misalnya
akibat diabetes mellitus, keganasan hematologi, artritis rheumatoid, alkoholisme,
penyalahgunaan obat-obatan), trauma, nyeri sentral (central pain) (misalnya nyeri yang
menyertai stroke, jejas korda spinalis (spinal cord injury), syringomyelia) dan neuropati
idiopatik. Sensasi nyeri muncul pada area yang saraf sensoriknya sedikit dan dapat
digambarkan sebagai rasa terbakar, nyeri tembakan atau nyeri lepuh dan sering disertai
dengan nyeri yang dipicu oleh stimulan yang tidak berbahaya/non-noxiuous (allodynia).
Neuralgia trigeminal juga disebabkan oleh disfungsi jaringan saraf, namun
penanganannya berbeda dari bentuk nyeri neuropatik yang lain.

Nyeri neuropatik biasanya ditangani dengan antidepresan trisiklik dan antiepileptik


tertentu. Nyeri neuropatik hanya dapat memberi respon sebagian terhadap analgesik
opioid. Dari golongan metadon, tramadol, dan oksikodon mungkin paling efektif untuk
nyeri neuropatik dan obat-obat ini dapat dipertimbangkan untuk diberikan jika obat lain
gagal. Blok saraf, transcutaneous electrical nerve stimulation (TENS), dan, pada kasus
tertentu, stimulasi elektrik sentral dapat membantu. Banyak pasien dengan nyeri
neuropatik kronik memerlukan penanganan multidisiplin, termasuk fisioterapi dan
dukungan fisiologis.

Gabapentin dan pregabalin digunakan untuk pengobatan nyeri neuropatik.

Obat-obatan yang saat ini dicadangkan digunakan untuk nyeri neuropatik dengan
pengawasan dokter termasuk natrium valproat, dan kadang fenitoin. Kortikosteroid dapat
membantu melepaskan penekanan pada neuropatik dan akhirnya mengurangi nyeri.

Neuralgia trigeminal
Operasi dapat menjadi pilihan penanganan pada banyak pasien; diperlukan kajian
neurologi untuk mengidentifikasi pasien yang akan memperoleh manfaat.
Karbamazepin yang diminum pada tahap akut neuralgia trigeminal, mengurangi
frekuensi dan keparahan serangan. Karbamazepin sangat efektif untuk nyeri berat yang
terkait neuralgia trigeminal dan (lebih jarang) neuralgia glosofarigeal. Hitung darah
(blood count) dan elektrolit sebaiknya dimonitor jika diberikan dosis tinggi. Dosis rendah
sebaiknya diberikan pada awal pengobatan untuk mengurangi efek samping, seperti
pusing. Beberapa kasus memberikan respon terhadap fenitoin; fenitoin diberikan secara
infus intravena (kemungkinan sebagai fosfenitoin) pada keadaan krisis (khusus
penggunaan oleh dokter spesialis).

Neuralgia postherpetik
Neuralgia posterpetik dapat terjadi setelah infeksi herpes zoster akut (shingles),
terutama pada pasien lansia. Jika amitriptilin gagal menangani nyeri secara memadai,
gabapentin dapat meningkatkan kontrol. Penggunaan sediaan anestetik lokal topikal
dapat membantu pada beberapa pasien.

Nyeri kronik pada wajah


Nyeri wajah dan mulut (seperti nyeri wajah atipikal, dan disfungsi temporomandibular)
memerlukan penggunaan jangka panjang analgesik atau obat lain. Peresepan obat
jangka panjang untuk mengatasi gangguan seperti ini sebaiknya didahului dengan
pemeriksaan lengkap dan biasanya melibatkan dokter spesialis. Kelainan jenis ini
memerlukan rujukan spesialis dan dukungan psikologis selain terapi dengan obat. Pasien
yang dalam terapi jangka panjang perlu dimonitor baik kemajuan penyakit maupun efek
samping obat.

You might also like