You are on page 1of 6

Absurd

Djimmy

Rambutku urak-urakkan, sudah cocok buat tempat beternak kutu-kutu rakus


penghisap darah. Wajahku jerawatan, lubang bekas bom hiroshima-nagasaki
bertebaran di wajahku. Untungnya, hidungku tak menentang kodrat alam, tak
mancung ke dalam lebih tepatnya. Untung saja. Tapi, aku benci dengan hal yang
satu ini. Orang-orang di jalanan sering menanyakan bahwa aku keturunan cina ya?
Keturunan cina? Gila, ini ejekan luar biasa. Sudah jelas-jelas kulit tubuhku warnanya
sudah melewati batas normal orang asia bagian Cina yang mayoritas berkulit putih.
Masih aja dibilang keturunan cina. Ah, nggak tau sih itu candaan mereka atau
akunya aja yang kegeeran waktu dibilangin seperti itu. Dalam hati sih, aku selalu
mengaminkan doa orang-orang itu. Kan kata pepatah, doa orang-orang yang
tertindas itu akan dikabulkan. Walau nggak tau kapan Tuhan akan mengabulkan
doanya. Apalagi orang-orang yang tertindas itu adalah aku. Yang di dalam buku
catatan harian absurd Malaikat Atid pun udah nggak muat lagi dengan amal-amal
burukku. Nah, sekarang apalagi yang dapat aku gambarkan tentang diriku. Udah
terbayang kan gimana absurdnya wajahku? Panggil aja aku Dika, bukan Raditya
Dika yang lebay itu. Dia agak gantengan. Dikit, dikit banget.

Dik, bangun.

Iya rid, ini udah.

Yaudah, cepetan ganti baju sana. Kita harus ngambil stok koran hari ini di
agen. Entar dimarahin, bos.

Astaga. Aku lupa. Aku gantian nyuruh Farid. Cepetan rid, jangan kelamaan
ganti bajunya. Aku bergegas sambil mengikat tali sepatu kumuhku.

Aku udah dari tadi nih dik. Kamu tuh yang kelamaan.

Percakapan seperti itu kami lakukan hampir setiap pagi. Aku harus dimarah-
marahin dulu sama Farid waktu akan mengambil stok koran pagi-pagi di agen.
Celotehan cemprengnya membakar telinga indahku. Berbagai cara ia lakukan untuk
membangunkanku dari tidur pulas. Dipukulin, ditabokin, disiramin. Semuanya udah
pernah. Dibangunin Farid pake kentut aja pernah. Kentut yang baunya udah kaya
bau tahi lalat di ketiakku, kebayang kan?. Asem-asem kecut. Lebih bau daripada
ketiak kambing jantan ternakan Raditya Dika. Untung aku gak pernah dibangunin
dengan cara dicium kayak putri tidur di dongeng-dongeng oleh Farid. Untung.

Sisa hidupku kuhabiskan dengan berjualan koran. Awalnya aku dipaksa


kedua orangtuaku berjualan koran waktu umur 13 tahun. Waktu itu ingusku masih
meler kemana-mana. Namun, lama-kelamaan aku menyukai hal ini, karena dapat
memberiku sedikit uang dan membantu ekonomi keluargaku. Akhirnya aku betah
dengan pekerjaan yang baru ini, aku berhenti dari sekolah.

Kehidupan ini berawal sejak 6 tahun lalu. Keluargaku berantakan, kacau, dan
miskin. Ayahku pemabuk. Uang hasil kerjanya menjadi sopir angkot pun habis
dibelikannya dengan membeli minuman keras. Namun, ayahku telah meninggal. Ia
mendekam di penjara akibat kasus pemerkosaan di dalam angkutan umum, lalu mati
bunuh diri di dalam penjara dengan menusuk perutnya sebanyak 13 kali
menggunakan pisau dapur yang ia curi di dapur umum penjara. Naas. Sedangkan,
ibuku meninggal karena sakit. Aku tak tahu lagi arah. Aku hidup sendirian. Sampai
akhirnya 1 tahun kemudian aku bertemu Farid saat sedang mencuri makanan di
warteg gang gaduh. Ia menyelamatkanku dari kejaran warga. Itulah awal
pertemuanku dengan kehidupan yang baru. Kehidupan jalanan.

Hari demi hari ku lewati. Bukan dengan jalan kaki. Tapi dengan sepenuh hati.
Bersama Farid. Sebagai penjual koran. Bukan sebagai anak sekolahan.

Aku tak tahu apa yang akan terjadi padaku jika aku lengah dalam menjalani
hidup di jalanan. Aku mungkin akan dihajar, dipukuli, bahkan mungkin aku akan
dicabuli oleh preman-preman, seperti kasus Babe beberapa tahun silam.
Sayangnya, Babe bukan preman.

Aku pernah bermimpi seandainya aku tak berhenti sekolah, mungkin aku
takkan ada dalam kehidupan seperti ini. Seperti sekarang. Aku mungkin ada di salah
satu sekolah ternama di Ibukota. Dan ayahku pasti tak akan mendekam dipenjara,
lalu akhirnya meninggal. Ibuku juga, ia mungkin tak akan meninggal karena demam
hebat selama lima hari akibat tertusuk peniti di bagian jari tangan telunjuk kiri
sehabis menjahit pakaian sekolahku. Begitu besar pengorbanannya. Mereka
mungkin akan bangga padaku jika aku tetap bersekolah. Serta takdir mungkin
berkata lain. Kematian mereka tertunda dan aku tidak hidup sebatang kara seperti
sekarang ini. Gak terlalu sebatang kara sih, masih ada Farid kok. Sedih ah,
ngelanjutin cerita tentang keluarga. Udah, ya.

Perjalanan kehidupanku bersama Farid tidaklah mulus, semulus paha Cinta


Laura. Aku dengan Farid juga pernah mengalami masa-masa sulit seperti remaja-
remaja biasanya. Dalam hal cinta misalnya, kami juga pernah mengalami
perselisihan. Kami sempat tidak bercakap satu sama lain hampir selama 6 hari 3 jam
20 detik hanya gara-gara cinta. Untungnya, kami dapat menyelesaikan masalah
tersebut dengan kepala dingin, seperti pria dewasa pada umumnya. Walau aku
sadar bulu ketiakku belum tumbuh seutuhnya. Jadi, aku belum dapat dikatakan pria
dewasa. Tapi dalam hal keuangan, aku sangat senang dengan Farid. Kami saling
berbagi satu sama lain. Hal ini yang membuat hubungan kami makin erat. Seperti
sebuah keluarga, kakak dan adik, aku kakak, farid adiknya. Bukan sebagai
pasangan remaja, aku cewek, farid cowoknya. Bukan. Senang hidup denganmu,
Farid.

Aku berjualan koran setiap hari, sejak 10 tahun lalu. Saat aku masih bersama
ayah dan ibuku. Sedangkan Farid, sejak 4 tahun lalu, selang beberapa bulan kami
bertemu. Kami menjajakan koran-koran dijalanan dari waktu mentari mulai naik
hingga mentari mulai tenggelam. Paling cepat selesai, hingga koran kami habis
terjual.

Rambu lalu lintas mana yang belum kami jajaki di kota ini. Setiap inci rambu
lalu lintas, sudah pernah kami pijak. Dengan pahit-manis kisah dibaliknya. Jadi, kami
sudah paham betul bagaimana sifat dan sikap pembeli-pembeli dijalanan terhadap
kami, penjual koran. Mulai dari mereka yang cuek, yang pemarah, yang pelit, yang
dermawan, yang galak, apalagi? Hampir semuanya sudah pernah. Tapi pembeli
yang satu ini, beda dengan yang pernah aku hadapi sebelum-sebelumnya. Iya, beda
sekali. Menggoreskan kisah tersendiri yang membekas. Siapa si pembeli ini?

Koran, koran. Kooooraaan, kooooraaaan... Ada berita gadis cilik mati


tertusuk peniti di jempol kaki. Beli pak, beli mbak. Aku berteriak menjajakan koran di
sekitaran lampu merah Jalan Thamrin. Sementara Farid hanya mengacungkan
jarinya dari kejauhan. Menandakan kerja yang aku lakukan sangat maksimal.
Karena aku telah berusaha keras mengeluarkan suara merduku untuk menarik
perhatian para pembeli.

Tak hanya sampai disitu. Aku belum puas berteriak.

Koran... koran.... Ada berita kasus pembunuhan yang baru saja terungkap
sabtu kemarin. Diduga, ia membunuh dengan cara menciumi pipi korban.
Waspadai, orang-orang seperti ini. Terutama yang memiliki kelebihan gigi taring.
Koran... koran...

Aku terus berteriak dengan menyebut satu per satu berita absurd yang
terdapat pada koran hari itu. Tiba-tiba terdengar panggilan.

Sini, dek. Dari sebelah kananku terdengar suara makhluk gaib, sang
pembeli pertama.

Oh, iya pak. Tanpa diselimuti rasu takut sedikitpun, aku menghampiri pria
berkacamata hitam di dalam mobil Honda Jazz berwarna hijau.

Berapa dek korannya? tanya ia dari dalam mobil.

Oh, Bapak mau beli koran?

Yaiyalah, masa mau beli kamu?

Haha. Aku tertawa dalam hati. Bapak ini memulai percakapan dengan
lawakan yang garing. Dua ribu aja pak, udah didiskon 30% karena bapak pembeli
pertama koranku hari ini.

Aku mengibulinya.

Nih. Sodor tangan bapak berkacamata hitam itu dari kaca mobilnya.

Astaga. Bapak ini menyodorkan uang limapuluh ribu. Uang kembalian mana?
Mana uang kembalian? Aku gaduh dalam hati. Ini koran yang terjual pertama, dan
aku tidak mengantongi uang sedikit pun di saku celana, kecuali tiga ribu perak.
Itupun aku gunakan untuk membeli sebungkus permen pelega nafas. Gak mungkin
kan? mau makan permen aja nyolong? Helooo? Aku juga punya uang kali. Membeli
permen pelega nafas tersebut hanya semata-mata bertujuan agar kualitas suaraku
tetap terjaga kemerduannya. Kan bukan cuma penyanyi doang yang boleh jaga pita
suara. Penjual koran pun boleh. Boleh banget. Gimana kalo penjual koran suaranya
cempreng? Siapa yang mau beli? Noleh aja nggak pelanggan.

Balik lagi ke bapak-bapak tadi.

Udah dek. Ambil aja uangnya buat kamu. Bapak masih banyak kok di
rumah.

Busyet, sombong banget. ucapku di hati paling dalam. Jangan-jangan dia


memiliki maksud tersirat dibalik semua ini. Dari gaya bicaranya saja aku agak
merasa aneh. Jangan-jangan dia adalah bapak-bapak homo plus pedofilia yang
ingin memuaskan hasratnya sama anak-anak remaja cakep bermata sipit sepertiku.
Aku curiga. Curiga berdasar.

Udah om, korannya ambil aja. Gratis. Jawabku.

Ciyus? Enelan? Bapak itu berkata sambil mengendurkan kacamatanya, dan


memainkan lidahnya.

Aku makin yakin bapak ini homo. Aku takut.

Iya pak, iya. Ambil aja. Aku juga masih punya banyak kok yang seperti itu di
rumah.

Makasih ya dek. Kamu baik deh.

Bapak ini mencubit kecil pipi mungilku. Kayaknya dia memang om-om homo
sekaligus pedofil yang lagi pusing dengan siapa ingin mencurahkan nafsunya.
Untung saja, aku sigap. Aku memberikan koran pertamaku gratis kepadanya. Aku
sudah terbayang apa yang akan terjadi padaku, jika tadi terus meladeni percakapan
dengan bapak-bapak ini. Hampir saja kehormatanku direnggut oleh bapak-bapak
asing berkacamata hitam itu. Coba saja kalau tadi aku mengambil uangnya. Terus
aku dihipnotis. Terus ditarik kedalam mobilnya. Dibawa lari ke rumahnya. Dan pada
akhirnya, aku ternodai. Lalu ceritanya, namaku muncul di koran. Aku menjajakan
berita tentang diriku sendiri. Berita tentang aku yang diperkosa oleh bapak-bapak
homo tadi. Untung saja itu tak terjadi padaku. Untung. Memalukan.

Lampu hijau menyala. Bapak itu telah pergi. Aku merasa kehilangan.
Kehilangan rasa geli ku melihat mimik wajah nafsunya tadi. Plat mobil bapak itupun
super aneh, kalau kalian lihat, pasti bikin geli, apalagi lihat yang nyetir mobilnya. BH
32 ... itu adalah nomor plat mobil bapak tadi. Aku lupa dua digit huruf
dibelakangnya. Namun, entah apa maksud tersirat dibaliknya. Mungkin bapak itu lagi
cari sesuatu yang ukurannya segitu, atau mungkin bapak itu pakai yang ukuran
sesuai dengan nomor plat mobilnya itu. Aku berpikiran negatif. Sudahlah. Jadi
tambah geli. Jangan dipikirkan lagi.

Cuaca semakin terik. Mentari telah benar benar naik menempati sudut
sempurna diatas kepalaku. Aku memutuskan untuk istirahat di bawah pohon
Beringin di seberang jalan.

Farid menghampiriku dengan wajah girang

Gimana? Udah laku berapa butir?

Baru laku duapuluh tiga rid. Aku menyombongkan diri.

Kalo aku udah tigapuluh lima dik. Jawab Farid.

Tigapuluh lima? Torehan angka yang cukup besar yang pernah diperoleh
Farid. Pikirku dalam hati.

Wah, hebat kamu rid. Aku menepuk pundak Farid.

Aku takjub dengan rekor baru Farid. Aku iri. Argh, Aku tidak akan
menceritakan pengalaman yang sebenarnya terjadi padaku hari itu. Kejadian ketemu
pembeli yang kuanggap bapak-bapak homo. Tidak akan.

***

You might also like