Professional Documents
Culture Documents
September 3, 2013
IDENTIFIKASI RESIKO
KESELAMATAN PASIEN (PATIENT
SAFETY) DI RUMAH SAKIT
1. PENDAHULUAN
Saat ini isu penting dan global dalam Pelayanan Kesehatan adalah Keselamatan Pasien
(Patient Safety). Isu ini praktis mulai dibicarakan kembali pada tahun 2000-an, sejak laporan
dan Institute of Medicine (IOM) yang menerbitkan laporan: to err is human, building a safer
health system. Keselamatan pasien adalah suatu disiplin baru dalam pelayanan kesehatan
yang mengutamakan pelaporan, analisis, dan pencegahan medical error yang sering
menimbulkan Kejadian Tak Diharapkan (KTD) dalam pelayanan kesehatan.
Frekuensi dan besarnya KTD tak diketahui secara pasti sampai era 1990-an, ketika berbagai
Negara melaporkan dalam jumlah yang mengejutkan pasien cedera dan meninggal dunia
akibat medical error. Menyadari akan dampak error pelayanan kesehatan terhadap 1 dari 10
pasien di seluruh dunia maka World Health Organization (WHO) menyatakan bahwa
perhatian terhadap Keselamatan Pasien sebagai suatu endemis.
Organisasi kesehatan dunia WHO juga telah menegaskan pentingnya keselamatan dalam
pelayanan kepada pasien: Safety is a fundamental principle of patient care and a critical
component of quality management. (World Alliance for Patient Safety, Forward Programme
WHO, 2004), sehubungan dengan data KTD di Rumah Sakit di berbagai negara menunjukan
angka 3 16% yang tidak kecil.
Sejak berlakunya UU No. 8/1999 tentang Perlindungan Konsumen dan UU No. 29 tentang
Praktik Kedokteran, muncullah berbagai tuntutan hukum kepada Dokter dan Rumah Sakit.
Hal ini hanya dapat ditangkal apabila Rumah Sakit menerapkan Sistem Keselamatan Pasien.
Sehingga Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (PERSI) membentuk Komite
Keselamatan Pasien Rumah Sakit (KKP-RS) pada tanggal 1 Juni 2005. Selanjutnya Gerakan
Keselamatan Pasien Rumah Sakit ini kemudian dicanangkan oleh Menteri Kesehatan RI pada
Seminar Nasional PERSI pada tanggal 21 Agustus 2005, di Jakarta Convention Center
Jakarta.
KKP-RS telah menyusun Panduan Tujuh Langkah Menuju Keselamatan Pasien bagi staf RS
untuk mengimplementasikan Keselamatan Pasien di Rumah Sakit. Di samping itu pula
KARS (Komisi Akreditasi Rumah Sakit) Depkes telah menyusun Standar Keselamatan
Pasien Rumah Sakit yang akan menjadi salah satu Standar Akreditasi Rumah Sakit.
Pada tahun 2011 Kementerian Kesehatan RI mengeluarkan Permenkes 1691 tahun 2011
tentang Keselamatan Pasien Rumah Sakit sebagai pedoman bagi penerapan Keselamatan
Pasien di rumah sakit. Dalam permenkes 1691 tahun 2011 dinyatakan bahwa rumah sakit dan
tenaga kesehatan yang bekerja di rumah sakit wajib melaksanakan program dengan mengacu
pada kebijakan nasional Komite Nasional Keselamatan Pasien Rumah Sakit.
(1) Setiap rumah sakit wajib membentuk Tim Keselamatan Pasien Rumah Sakit (TKPRS)
yang ditetapkan oleh kepala rumah sakit sebagai pelaksana kegiatan keselamatan pasien.
(2) TKPRS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertanggung jawab kepada kepala rumah
sakit.
(3) Keanggotaan TKPRS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari manajemen
rumah sakit dan unsur dari profesi kesehatan di rumah sakit.
Keselamatan pasien rumah sakit adalah suatu sistem dimana rumah sakit membuat asuhan
pasien lebih aman yang meliputi asesmen risiko, identifikasi dan pengelolaan hal yang
berhubungan dengan risiko pasien, pelaporan dan analisis insiden, kemampuan belajar dari
insiden dan tindak lanjutnya serta implementasi solusi untuk meminimalkan timbulnya risiko
dan mencegah terjadinya cedera yang disebabkan oleh kesalahan akibat melaksanakan suatu
tindakan atau tidak mengambil tindakan yang seharusnya diambil (Kemenkes RI, 2011).
Risiko adalah peristiwa atau keadaan yang mungkin terjadi yang dapat berpengaruh negatif
terhadap perusahaan. perusahaan. (ERM) Pengaruhnya dapat berdampak terhadap kondisi :
Pelanggan,
Risiko adalah fungsi dari probabilitas (chance, likelihood) dari suatu kejadian yang tidak
diinginkan, dan tingkat keparahan atau besarnya dampak dari kejadian tersebut.
Risiko klinis adalah semua isu yang dapat berdampak terhadap pencapaian pelayanan
pasien yang bermutu tinggi, aman dan efektif.
Risiko non klinis/corporate risk adalah semua issu yang dapat berdampak terhadap
tercapainya tugas pokok dan kewajiban hukum dari rumah sakit sebagai korporasi.
Financial risks
Other risks
Manajemen risiko adalah pendekatan proaktif untuk mengidentifikasi, menilai dan menyusun
prioritas risiko, dengan tujuan untuk menghilangkan atau meminimalkan dampaknya.
Manajemen risiko rumah sakit adalah kegiatan berupa identifikasi dan evaluasi untuk
mengurangi risiko cedera dan kerugian pada pasien, karyawan rumah sakit, pengunjung dan
organisasinya sendiri (The Joint Commission on Accreditation of Healthcare
Organizations/JCAHO).
Jika risiko sudah dinilai dengan tepat, maka proses ini akan membantu rumah sakit, pemilik
dan para praktisi untuk menentukan prioritas dan perbaikan dalam pengambilan keputusan
untuk mencapai keseimbangan optimal antara risiko, keuntungan dan biaya.
Menjamin bahwa rumah sakit menerapkan system yang sama untuk mengelola semua
fungsi-fungsi manajemen risikonya, seperti patient safety, kesehatan dan keselamatan
kerja, keluhan, tuntutan (litigasi) klinik, litigasi karyawan, serta risiko keuangan dan
lingkungan.
Jika dipertimbangkan untuk melakukan perbaikan, modernisasi dan clinical
governance, manajemen risiko menjadi komponen kunci untuk setiap desain proyek
tersebut.
Menyatukan semua sumber informasi yang berkaitan dengan risiko dan keselamatan,
contoh: data reaktif seperti insiden patient safety, tuntutan litigasi klinis, keluhan,
dan insiden kesehatan dan keselamatan kerja, data proaktif seperti hasil dari
penilaian risiko; menggunakan pendekatan yang konsisten untuk pelatihan,
manajemen, analysis dan investigasi dari semua risiko yang potensial dan kejadian
aktual.
Menggunakan pendekatan yang konsisten dan menyatukan semua penilaian risiko
dari semua jenis risiko di rumah sakit pada setiap level.
Memadukan semua risiko ke dalam program penilaian risiko dan risk register
Menggunakan informasi yang diperoleh melalui penilaian risiko dan insiden untuk
menyusun kegiatan mendatang dan perencanaan strategis.
Identifikasi risiko adalah usaha mengidentifikasi situasi yang dapat menyebabkan cedera,
tuntutan atau kerugian secara finansial. Identifikasi akan membantu langkah-langkah yang
akan diambil manajemen terhadap risiko tersebut.
Instrument:
Brainstorming
Mapping out proses dan prosedur perawatan atau jalan keliling dan menanyakan
kepada petugas tentang identifikasi risiko pada setiap lokasi.
Membuat checklist risiko dan menanyakan kembali sebagai umpan balik
Penilaian risiko (Risk Assesment) merupakan proses untuk membantu organisasi menilai
tentang luasnya risiko yg dihadapi, kemampuan mengontrol frekuensi dan dampak risiko
risiko. RS harus punya Standard yang berisi Program Risk Assessment tahunan, yakni Risk
Register:
Penilaian risiko Harus dilakukan oleh seluruh staf dan semua pihak yang terlibat termasuk
Pasien dan publik dapat terlibat bila memungkinkan. Area yang dinilai:
Operasional
Finansial
Strategik
Hukum/Regulasi
Teknologi
1. Informasi yang lebih baik sekitar risiko sehingga tingkat dan sifat risiko terhadap
pasien dapat dinilai dengan tepat.
2. Pembelajaran dari area risiko yang satu, dapat disebarkan di area risiko yang lain.
3. Pendekatan yang konsisten untuk identifikasi, analisis dan investigasi untuk semua
risiko, yaitu menggunakan RCA.
4. Membantu RS dalam memenuhi standar-standar terkait, serta kebutuhan clinical
governance.
5. Membantu perencanaan RS menghadapi ketidakpastian, penanganan dampak dari
kejadian yang tidak diharapkan, dan meningkatkan keyakinan pasien dan masyarakat.
Standar:
Pasien dan keluarganya mempunyai hak untuk mendapatkan informasi tentang rencana dan
hasil pelayanan termasuk kemungkinan terjadinya insiden.
Kriteria:
1.3. Dokter penanggung jawab pelayanan wajib memberikan penjelasan secara jelas
dan benar kepada pasien dan keluarganya tentang rencana dan hasil pelayanan, pengobatan
atau prosedur untuk pasien termasuk kemungkinan terjadinya insiden.
Standar:
Rumah sakit harus mendidik pasien dan keluarganya tentang kewajiban dan tanggung jawab
pasien dalam asuhan pasien.
Kriteria:
Keselamatan dalam pemberian pelayanan dapat ditingkatkan dengan keterlibatan pasien yang
merupakan partner dalam proses pelayanan. Karena itu, di rumah sakit harus ada sistem dan
mekanisme mendidik pasien dan keluarganya tentang kewajiban dan tanggung jawab pasien
dalam asuhan pasien. Dengan pendidikan tersebut diharapkan pasien dan keluarga dapat:
Standar:
Rumah Sakit menjamin keselamatan pasien dalam kesinambungan pelayanan dan menjamin
koordinasi antar tenaga dan antar unit pelayanan.
Kriteria:
3.1. Terdapat koordinasi pelayanan secara menyeluruh mulai dari saat pasien masuk,
pemeriksaan, diagnosis, perencanaan pelayanan, tindakan pengobatan, rujukan dan saat
pasien keluar dari rumah sakit
3.2. Terdapat koordinasi pelayanan yang disesuaikan dengan kebutuhan pasien dan
kelayakan sumber daya secara berkesinambungan sehingga pada seluruh tahap pelayanan
transisi antar unit pelayanan dapat berjalan baik dan lancar.
3.4. Terdapat komunikasi dan transfer informasi antar profesi kesehatan sehingga
dapat tercapainya proses koordinasi tanpa hambatan, aman dan efektif.
Standar:
Rumah sakit harus mendesain proses baru atau memperbaiki proses yang ada, memonitor dan
mengevaluasi kinerja melalui pengumpulan data, menganalisis secara intensif insiden, dan
melakukan perubahan untuk meningkatkan kinerja serta keselamatan pasien.
Kriteria:
4.1. Setiap rumah sakit harus melakukan proses perancangan (desain) yang baik, mengacu
pada visi, misi, dan tujuan rumah sakit, kebutuhan pasien, petugas pelayanan kesehatan,
kaidah klinis terkini, praktik bisnis yang sehat, dan faktor-faktor lain yang berpotensi risiko
bagi pasien sesuai dengan Tujuh Langkah Menuju Keselamatan Pasien Rumah Sakit.
4.2. Setiap rumah sakit harus melakukan pengumpulan data kinerja yang antara lain terkait
dengan: pelaporan insiden, akreditasi, manajemen risiko, utilisasi, mutu pelayanan, keuangan.
4.3. Setiap rumah sakit harus melakukan evaluasi intensif terkait dengan semua insiden,
dan secara proaktif melakukan evaluasi satu proses kasus risiko tinggi.
4.4. Setiap rumah sakit harus menggunakan semua data dan informasi hasil analisis untuk
menentukan perubahan sistem yang diperlukan, agar kinerja dan keselamatan pasien terjamin.
Standar:
Kriteria:
5.1. Terdapat tim antar disiplin untuk mengelola program keselamatan pasien.
5.2. Tersedia program proaktif untuk identifikasi risiko keselamatan dan program
meminimalkan insiden.
5.3. Tersedia mekanisme kerja untuk menjamin bahwa semua komponen dari rumah sakit
terintegrasi dan berpartisipasi dalam program keselamatan pasien.
5.4. Tersedia prosedur cepat-tanggap terhadap insiden, termasuk asuhan kepada pasien
yang terkena musibah, membatasi risiko pada orang lain dan penyampaian informasi yang
benar dan jelas untuk keperluan analisis.
5.5. Tersedia mekanisme pelaporan internal dan eksternal berkaitan dengan insiden
termasuk penyediaan informasi yang benar dan jelas tentang Analisis Akar Masalah
Kejadian Nyaris Cedera (Near miss) dan Kejadian Sentinel pada saat program
keselamatan pasien mulai dilaksanakan.
5.6. Tersedia mekanisme untuk menangani berbagai jenis insiden, misalnya menangani
Kejadian Sentinel (Sentinel Event) atau kegiatan proaktif untuk memperkecil risiko,
termasuk mekanisme untuk mendukung staf dalam kaitan dengan Kejadian Sentinel.
5.7. Terdapat kolaboratoriumorasi dan komunikasi terbuka secara sukarela antar unit dan
antar pengelola pelayanan di dalam rumah sakit dengan pendekatan antar disiplin.
5.8. Tersedia sumber daya dan sistem informasi yang dibutuhkan dalam kegiatan
perbaikan kinerja rumah sakit dan perbaikan keselamatan pasien, termasuk evaluasi berkala
terhadap kecukupan sumber daya tersebut.
5.9. Tersedia sasaran terukur, dan pengumpulan informasi menggunakan kriteria objektif
untuk mengevaluasi efektivitas perbaikan kinerja rumah sakit dan keselamatan pasien,
termasuk rencana tindak lanjut dan implementasinya.
Standar:
1. Rumah sakit memiliki proses pendidikan, pelatihan dan orientasi untuk setiap jabatan
mencakup keterkaitan jabatan dengan keselamatan pasien secara jelas.
2. Rumah sakit menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan yang berkelanjutan untuk
meningkatkan dan memelihara kompetensi staf serta mendukung pendekatan
interdisipliner dalam pelayanan pasien.
Kriteria:
6.1. Setiap rumah sakit harus memiliki program pendidikan, pelatihan dan orientasi bagi
staf baru yang memuat topik keselamatan pasien sesuai dengan tugasnya masing-masing.
6.2. Setiap rumah sakit harus mengintegrasikan topik keselamatan pasien dalam setiap
kegiatan in-service training dan memberi pedoman yang jelas tentang pelaporan insiden.
6.3. Setiap rumah sakit harus menyelenggarakan pelatihan tentang kerjasama kelompok
(teamwork) guna mendukung pendekatan interdisipliner dan kolaboratoriumoratif dalam
rangka melayani pasien.
Standar:
Kriteria:
7.1. Perlu disediakan anggaran untuk merencanakan dan mendesain proses manajemen
untuk memperoleh data dan informasi tentang hal-hal terkait dengan keselamatan pasien.
7.2. Tersedia mekanisme identifikasi masalah dan kendala komunikasi untuk merevisi
manajemen informasi yang ada.
4. Sasaran Keselamatan Pasien
Sasaran Keselamatan Pasien merupakan syarat untuk diterapkan di semua rumah sakit yang
diakreditasi oleh Komisi Akreditasi Rumah Sakit. Penyusunan sasaran ini mengacu kepada
Nine Life-Saving Patient Safety Solutions dari WHO Patient Safety (2007) yang digunakan
juga oleh Komite Keselamatan Pasien Rumah Sakit PERSI (KKPRS PERSI), dan dari Joint
Commission International (JCI).
Maksud dari Sasaran Keselamatan Pasien adalah mendorong perbaikan spesifik dalam
keselamatan pasien. Sasaran menyoroti bagian-bagian yang bermasalah dalam pelayanan
kesehatan dan menjelaskan bukti serta solusi dari konsensus berbasis bukti dan keahlian atas
permasalahan ini. Diakui bahwa desain sistem yang baik secara intrinsik adalah untuk
memberikan pelayanan kesehatan yang aman dan bermutu tinggi, sedapat mungkin sasaran
secara umum difokuskan pada solusi-solusi yang menyeluruh.
Kesalahan karena keliru pasien terjadi di hampir semua aspek/tahapan diagnosis dan
pengobatan. Kesalahan identifikasi pasien bisa terjadi pada pasien yang dalam keadaan
terbius/tersedasi, mengalami disorientasi, tidak sadar; bertukar tempat tidur/kamar/lokasi di
rumah sakit, adanya kelainan sensori; atau akibat situasi lain. Maksud sasaran ini adalah
untuk melakukan dua kali pengecekan: pertama untuk identifikasi pasien sebagai individu
yang akan menerima pelayanan atau pengobatan; dan kedua, untuk kesesuaian pelayanan
atau pengobatan terhadap individu tersebut.
Nomor kamar pasien atau lokasi tidak bisa digunakan untuk identifikasi. Kebijakan dan/atau
prosedur juga menjelaskan penggunaan dua identitas yang berbeda pada lokasi yang berbeda
di rumah sakit, seperti di pelayanan rawat jalan, unit gawat darurat, atau kamar operasi,
termasuk identifikasi pada pasien koma tanpa identitas. Suatu proses kolaboratoriumoratif
digunakan untuk mengembangkan kebijakan dan/atau prosedur agar dapat memastikan semua
kemungkinan situasi dapat diidentifikasi.
Komunikasi efektif, yang tepat waktu, akurat, lengkap, jelas, dan yang dipahami oleh pasien,
akan mengurangi kesalahan, dan menghasilkan peningkatan keselamatan pasien. Komunikasi
dapat berbentuk elektronik, lisan, atau tertulis. Komunikasi yang mudah terjadi kesalahan
kebanyakan terjadi pada saat perintah diberikan secara lisan atau melalui telpon.
Komunikasi yang mudah terjadi kesalahan yang lain adalah pelaporan kembali hasil
pemeriksaan kritis, seperti melaporkan hasil laboratorium klinik cito melalui telpon ke unit
pelayanan.
Bila obat-obatan menjadi bagian dari rencana pengobatan pasien, manajemen harus berperan
secara kritis untuk memastikan keselamatan pasien. Obat-obatan yang perlu diwaspadai
(high-alert medications) adalah obat yang sering menyebabkan terjadi kesalahan/kesalahan
serius (sentinel event), obat yang berisiko tinggi menyebabkan dampak yang tidak diinginkan
(adverse outcome) seperti obat-obat yang terlihat mirip dan kedengarannya mirip (Nama
Obat Rupa dan Ucapan Mirip/NORUM, atau Look Alike Sound Alike/LASA).
Obat-obatan yang sering disebutkan dalam issue keselamatan pasien adalah pemberian
elektrolit konsentrat secara tidak sengaja (misalnya, kalium klorida 2meq/ml atau yang lebih
pekat, kalium fosfat, natrium klorida lebih pekat dari 0.9%, dan magnesium sulfat =50% atau
lebih pekat-). Kesalahan ini bisa terjadi bila perawat tidak mendapatkan orientasi dengan baik
di unit pelayanan pasien, atau bila perawat kontrak tidak diorientasikan terlebih dahulu
sebelum ditugaskan, atau pada keadaan gawat darurat. Cara yang paling efektif untuk
mengurangi atau mengeliminasi kejadian tsb adalah dengan meningkatkan proses
pengelolaan obat-obat yang perlu diwaspadai termasuk memindahkan elektrolit konsentrat
dari unit pelayanan pasien ke farmasi.
Penandaan lokasi operasi perlu melibatkan pasien dan dilakukan atas satu pada tanda yang
dapat dikenali. Tanda itu harus digunakan secara konsisten di rumah sakit dan harus dibuat
oleh operator /orang yang akan melakukan tindakan, dilaksanakan saat pasien terjaga dan
sadar jika memungkinkan, dan harus terlihat sampai saat akan disayat. Penandaan lokasi
operasi ditandai dilakukan pada semua kasus termasuk sisi (laterality), multipel struktur (jari
tangan, jari kaki, lesi), atau multipel level (tulang belakang).
Tahap Sebelum insisi (Time out) memungkinkan semua pertanyaan atau kekeliruan
diselesaikan. Time out dilakukan di tempat, dimana tindakan akan dilakukan, tepat sebelum
tindakan dimulai, dan melibatkan seluruh tim operasi. Rumah sakit menetapkan bagaimana
proses itu didokumentasikan secara ringkas, misalnya menggunakan ceklist.
Pencegahan dan pengendalian infeksi merupakan tantangan terbesar dalam tatanan pelayanan
kesehatan, dan peningkatan biaya untuk mengatasi infeksi yang berhubungan dengan
pelayanan kesehatan merupakan keprihatinan besar bagi pasien maupun para profesional
pelayanan kesehatan. Infeksi biasanya dijumpai dalam semua bentuk pelayanan kesehatan
termasuk infeksi saluran kemih, infeksi pada aliran darah (blood stream infections) dan
pneumonia (sering kali dihubungkan dengan ventilasi mekanis).
Pokok eliminasi infeksi ini maupun infeksi-infeksi lain adalah cuci tangan (hand hygiene)
yang tepat. Pedoman hand hygiene bisa di baca di kepustakaan WHO, dan berbagai
organisasi nasional dan intemasional.
Jumlah kasus jatuh cukup bermakna sebagai penyebab cedera pasien rawat inap. Dalam
konteks populasi/masyarakat yang dilayani, pelayanan yang diberikan, dan fasilitasnya,
rumah sakit perlu mengevaluasi risiko pasien jatuh dan mengambil tindakan untuk
mengurangi risiko cedera bila sampai jatuh. Evaluasi bisa termasuk riwayat jatuh, obat dan
telaah terhadap konsumsi alkohol, gaya jalan dan keseimbangan, serta alat bantu berjalan
yang digunakan oleh pasien. Program tersebut harus diterapkan di rumah sakit.
Proses perancangan tersebut harus mengacu pada visi, misi, dan tujuan rumah sakit,
kebutuhan pasien, petugas pelayanan kesehatan, kaidah klinis terkini, praktik bisnis yang
sehat, dan faktor-faktor lain yang berpotensi risiko bagi pasien sesuai dengan Tujuh
Langkah Keselamatan Pasien Rumah Sakit.
Tujuh langkah keselamatan pasien rumah sakit merupakan panduan yang komprehensif untuk
menuju keselamatan pasien, sehingga tujuh langkah tersebut secara menyeluruh harus
dilaksanakan oleh setiap rumah sakit. Dalam pelaksanaan, tujuh langkah tersebut tidak harus
berurutan dan tidak harus serentak. Pilih langkah-langkah yang paling strategis dan paling
mudah dilaksanakan di rumah sakit. Bila langkah-langkah ini berhasil maka kembangkan
langkah-langkah yang belum dilaksanakan. Bila tujuh langkah ini telah dilaksanakan dengan
baik rumah sakit dapat menambah penggunaan metoda-metoda lainnya.
Uraian Tujuh Langkah Menuju Keselamatan Pasien Rumah Sakit adalah sebagai berikut:
Pastikan rumah sakit memiliki kebijakan yang menjabarkan apa yang harus dilakukan staf
segera setelah terjadi insiden, bagaimana langkah-langkah pengumpulan fakta harus
dilakukan dan dukungan apa yang harus diberikan kepada staf, pasien dan keluarga.
1) Pastikan rumah sakit memiliki kebijakan yang menjabarkan peran dan akuntabilitas
individual bilamana ada insiden.
2) Tumbuhkan budaya pelaporan dan belajar dari insiden yang terjadi di rumah sakit.
1. Bagi Unit/Tim:
Pimpinan melakukan ronde keselamatan pasien (patient safety walk around) secara rutin,
diikuti berbagai unsure terkait. Setiap timbang terima antar shift dilakukan briefing untuk
mengidentifikasi risiko keselamatan pasien dan debriefing untuk meminitor risiko tersebut.
Membangun komitmen dan fokus yang kuat dan jelas tentang Keselamatan Pasien di rumah
sakit. Pimpinan memilih dan menetapkan champion disetiap unit/bagian sebagai motor
penggerak pelaksanaan program keselamatan pasien di RS.
1) Pastikan ada anggota Direksi atau Pimpinan yang bertanggung jawab atas Keselamatan
Pasien
2) Identifikasi di tiap bagian rumah sakit, orang-orang yang dapat diandalkan untuk
menjadi penggerak dalam gerakan Keselamatan Pasien
4) Masukkan Keselamatan Pasien dalam semua program latihan staf rumah sakit anda dan
pastikan pelatihan ini diikuti dan diukur efektivitasnya.
1. Untuk Unit/Tim:
2) Jelaskan kepada tim anda relevansi dan pentingnya serta manfaat bagi mereka dengan
menjalankan gerakan Keselamatan Pasien
Mengembangkan sistem dan proses pengelolaan risiko, serta lakukan identifikas dan asesmen
hal yang potensial bermasalah.
3) Gunakan informasi yang benar dan jelas yang diperoleh dari sistem pelaporan insiden
dan asesmen risiko untuk dapat secara proaktif meningkatkan kepedulian terhadap pasien.
1. Untuk Unit/Tim:
2) Pastikan ada penilaian risiko pada individu pasien dalam proses asesmen risiko rumah
sakit;
3) Lakukan proses asesmen risiko secara teratur, untuk menentukan akseptabilitas setiap
risiko, dan ambillah langkah-langkah yang tepat untuk memperkecil risiko tersebut;
4) Pastikan penilaian risiko tersebut disampaikan sebagai masukan ke proses asesmen dan
pencatatan risiko rumah sakit.
Memastikan staf dapat melaporkan kejadian/ insiden, serta rumah sakit mengatur pelaporan
kepada Komite Nasional Keselamatan Pasien Rumah Sakit.
Lengkapi rencana implementasi sistem pelaporan insiden ke dalam maupun ke luar, yang
harus dilaporkan ke Komite Nasional Keselamatan Pasien Rumah Sakit.
1. Untuk Unit/Tim:
Berikan semangat kepada rekan sekerja anda untuk secara aktif melaporkan setiap insiden
yang terjadi dan insiden yang telah dicegah tetapi tetap terjadi juga, karena mengandung
bahan pelajaran yang penting.
1) Pastikan rumah sakit memiliki kebijakan yang secara jelas menjabarkan cara-cara
komunikasi terbuka selama proses asuhan tentang insiden dengan para pasien dan
keluarganya.
2) Pastikan pasien dan keluarga mereka mendapat informasi yang benar dan jelas
bilamana terjadi insiden.
3) Berikan dukungan, pelatihan dan dorongan semangat kepada staf agar selalu terbuka
kepada pasien dan keluarganya.
1. Untuk Unit/Tim:
1) Pastikan tim anda menghargai dan mendukung keterlibatan pasien dan keluarganya bila
telah terjadi insiden
2) Prioritaskan pemberitahuan kepada pasien dan keluarga bilamana terjadi insiden, dan
segera berikan kepada mereka informasi yang jelas dan benar secara tepat
3) Pastikan, segera setelah kejadian, tim menunjukkan empati kepada pasien dan
keluarganya.
Mendorong staf untuk melakukan analisis akar masalah untuk belajar bagaimana dan
mengapa kejadian itu timbul.
1) Pastikan staf yang terkait telah terlatih untuk melakukan kajian insiden secara tepat,
yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi penyebab.
1. Untuk Unit/Tim:
2) Identifikasi unit atau bagian lain yang mungkin terkena dampak di masa depan dan
bagilah pengalaman tersebut secara lebih luas.
1) Gunakan informasi yang benar dan jelas yang diperoleh dari sistem pelaporan, asesmen
risiko, kajian insiden, dan audit serta analisis, untuk menentukan solusi setempat.
2) Solusi tersebut dapat mencakup penjabaran ulang system (struktur dan proses),
penyesuaian pelatihan staf dan/atau kegiatan klinis, termasuk penggunaan instrumen yang
menjamin keselamatan pasien.
5) Beri umpan balik kepada staf tentang setiap tindakan yang diambil atas insiden yang
dilaporkan.
Untuk Unit/Tim:
1) Libatkan tim anda dalam mengembangkan berbagai cara untuk membuat asuhan pasien
menjadi lebih baik dan lebih aman.
3) Pastikan tim anda menerima umpan balik atas setiap tindak lanjut tentang insiden yang
dilaporkan.
Laporan Insiden keselamatan pasien Internal adalah pelaporan secara tertulis setiap kondisi
potensial cedera dan insiden yang menimpa pasien, keluarga pengunjung, maupun karyawan
yang terjadi di rumah sakit. Laporan insiden keselamatan pasien eksternal KKP-RS.
Pelaporan secara anonim dan tertulis ke KKP-RS setiap Kondisi Potensial cedera dan Insiden
Keselamatan Pasien yang terjadi pada pasien, dan telah dilakukan analisa penyebab,
rekomendasi dan solusinya.
Pelaporan insiden bertujuan untuk menurunkan insiden dan mengoreksi sistem dalam rangka
meningkatkan keselamatan pasien dan tidak untuk menyalahkan orang (non blaming). Setiap
insiden harus dilaporkan secara internal kepada TKPRS dalam waktu paling lambat 224 jam
sesuai format laporan.
TKPRS melakukan analisis dan memberikan rekomendasi serta solusi atas insiden yang
dilaporkan dan melaporkan hasil kegiatannya kepada kepala rumah sakit. Rumah sakit harus
melaporkan insiden, analisis, rekomendasi dan solusi Kejadian Tidak Diharapkan (KTD)
secara tertulis kepada Komite Nasional Keselamatan Pasien Rumah Sakit sesuai format
laporan:
Bagi Rumah Sakit yang telah mempunyai kode rumah sakit untuk melanjutkan ke
form laporan Insiden keselamatan pasien KKP-RS
Bagi Rumah sakit yang belum mempunyai kode rumah sakit diharapkan mengisi Form
data isian RS untuk mendapatkan kode rumah sakit yang dapat digunakan untuk melanjutkan
ke form Laporan Insiden, KKP-RS.
SekretariaT KKPRS PERSI d/a Kantor PERSI : Jl. Boulevard Artha Gading Blok A-7 A No.
28, Kelapa Gading Jakarta Utara 14240 Telp : (021) 45845303/304 Jakarta.
Sistem pelaporan insiden kepada Komite Nasional Keselamatan Pasien Rumah Sakit harus
dijamin keamanannya, bersifat rahasia, anonym (tanpa identitas), tidak mudah diakses oleh
yang tidak berhak. Pelaporan insiden kepada Komite Nasional Keselamatan Pasien Rumah
Sakit mencakup KTD, KNC, dan KTC, dilakukan setelah analisis dan mendapatkan
rekomendasi dan solusi dari TKPRS.
Komite Nasional Keselamatan Pasien Rumah Sakit melakukan pengkajian dan memberikan
umpan balik (feedback) dan solusi atas laporan yang sampaikan oleh rumah sakit.
Analisis yang baik & proses pembelajaran yang berharga memerlukan keahlian/keterampilan.
Tim KPRS perlu menyebarkan informasi, rekomendasi perubahan, pengembangan solusi.
Karakteristik laporan:
1. Bersifat tidak menghukum: Pelapor bebas dari rasa takut dan pembalasan dendam
atau hukuman sebagai akibat laporannya
2. Rahasia: Identitas pasien, pelapor dan institusi disembunyikan
3. Independen: sistem pelaporan yang independen bagi pelapor dan organisasi dari
hukuman.
4. Expert analysis: laporan di evaluasi oleh ahli yang menguasai masalah klinis dan telah
terlatih untuk mengenal penyebab system yang utama.
5. Tepat waktu: Laporan dianalisa segera dan rekomendasinya didesiminasikan
secepatnya, khususnya bila terjadi bahaya serius.
6. Orientasi sistem: Rekomendasi lebih berfokus kepada perbaikan dalam system,
proses, atau produk daripada terhadap individu
7. Responsif: Lembaga yang menerima laporan merupakan lembaga yang punya
kapasitas memberikan rekomendasi.
1. Pasien masuk rumah sakit melakukan pendaftaran/ admisi pada instalasi rawat jalan
(poliklinik) atau pada instalasi gawat darurat apabila pasien dalam kondisi gawat
darurat yang membutuhkan pertolongan medis segera/ cito.
2. Pasien yang mendaftar pada instalasi rawat jalan akan diberikan pelayanan medis
pada klinik-klinik tertentu sesuai dengan penyakit/ kondisi pasien.
RS mempunyai program orientasi yang memuat topik keselamatan pasien bagi staf yang baru
masuk/pindahan/mahasiswa. Staf yang bertugas di unit khusus (ICU, ICCU, IGD, HD,
NICU, PICU, OK) harusmendapat pelatihan keselamatan pasien.
11. Penutup
Keamanan adalah prinsip yang paling fundamental dalam pemberian pelayanan kesehatan
maupun keperawatan, dan sekaligus aspek yang paling kritis dari manajemen kualitas.
Keselamatan pasien (patient safety) adalah suatu sistem dimana rumah sakit membuat asuhan
pasien lebih aman, mencegah terjadinya cidera yang disebabkan oleh kesalahan akibat
melaksanakan suatu tindakan atau tidak mengambil tindakan yang seharusnya diambil.
Sistem tersebut meliputi pengenalan risiko, identifikasi dan pengelolaan hal yang
berhubungan dengan risiko pasien, pelaporan dan analisis insiden, kemampuan belajar dari
insiden, tindak lanjut dan implementasi solusi untuk meminimalkan risiko.
Sebenarnya petugas kesehatan tidak bermaksud menyebabkan cedera pasien, tetapi fakta
tampak bahwa di bumi ini setiap hari ada pasien yang mengalami KTD (Kejadian Tidak
Diharapkan). KTD, baik yang tidak dapat dicegah (non error) maupun yang dapat dicegah
(error), berasal dari berbagai proses asuhan pasien.
Mengingat masalah keselamatan pasien merupakan masalah yang penting dalam sebuah
rumah sakit, maka diperlukan standar keselamatan pasien rumah sakit yang dapat digunakan
sebagai acuan bagi rumah sakit di Indonesia. Standar keselamatan pasien rumah sakit yang
saat ini digunakan mengacu pada Hospital Patient Safety Standards yang dikeluarkan oleh
Join Commision on Accreditation of Health Organization di Illinois pada tahun 2002 yang
kemudian disesuaikan dengan situasi dan kondisi di Indonesia. Pada akhirnya untuk
mewujudkan keselamatan pasien butuh upaya dan kerjasama berbagai pihak dari seluruh
komponen pelayanan kesehatan.
DAFTAR PUSTAKA
Depkes RI. 2008, Panduan Nasional Keselamatan Pasien Rumah Sakit (Patient Safety), 2
edn, Bakti Husada, Jakarta.
_____. 2008, Pedoman Pelaporan Insiden Keselamatan Pasien (IKP) (Patient Safety Incident
Report), 2 edn, Bakti Husada, Jakarta.
IOM, 2000. To Err Is Human: Building a Safer Health System
http://www.nap.edu/catalog/9728.html
Millar, J, et al 2004, Selecting Indicators for Patient Safety at the Health Systems Level in
OECD Countries. DELSA/ELSA/WD/HTP, Paris, OECD Health Technical Paper.
Posted in Uncategorized
Tinggalkan komentar
Februari 25, 2013
1. Pendahuluan
Kepemimpinan merupakan salah satu bentuk fenomena sosial. Tidak berlebihan bila ada yang
merumuskan bahwa kepemimpinan itu sudah ada sejak lama, sejak dikenalnya peradaban
manusia itu sendiri. George R. Terry mengatakan bahwa kepemimpinan adalah untuk
mempengaruhi orang lain agar dapat diarahkan untuk mencapai tujuan organisasi/institusi.
Bahkan tujuan tersebut tidak hanya tujuan organisasi tetapi juga tujuan individual. Agar
perwujudan pengaruh seorang pemimpin dapat berlangsung secara efektif, seringkali
diperlukan kekuasaan atau wewenang. Artinya, perbincangan masalah kepemimpinan, maka
ada keterkaitannya dengan pengaruh (influence), kewibawaan (charisma), kekuasaan (power)
dan wewenang (authority).
Dari perspektif sosiologi kepemimpinan, leadership (kepemimpinan) adalah kemampuan dan
seni seorang leader (pemimpin) dalam memotivasi dan mengkoordinasikan
personal/kelompok dalam melaksanakan peran dan fungsi, kewenangan dan tanggung jawab
untuk mencapai tujuan bersama. Dalam perspektif perubahan sosial, kepemimpinan adalah
maksimalisasi potensi pengaruh untuk melakukan perubahan sosial ke arah yang lebih baik
atau menjaga konsensus yang telah ditetapkan secara bersama-sama.
Faktor-faktor di atas akan memberikan arah pada pola kepemimpinan seseorang. Makin besar
pengaruh dan otoritas yang dipunyai oleh seorang pemimpin, makin besar pula peluangnya
untuk mempengaruhi orang lain.
Dalam membicarakan Sistem Kepemimpinan, kebudayaan merupakan faktor sangat penting,
karena menyangkut kajian mengenai berbagai perilaku seseorang maupun kelompok yang
beroreantasi tentang kahidupan bernegara, penyelenggaraan pemerintahan, politik, hukum,
adat istiadat dan norma, kebiasaan yang berjalan yang dilaksanakan dan dihayati oleh
anggota masyarakat sehari hari dalam organisasi (formal dan informal).
Budaya Minangkabau, dengan budaya politik partisipasi dapat merupakan kajian
kepemimpinan dalam budaya yang positif untuk dikembangkan dalam pemerintahan dan
pembangunan. Keuletan orang Minangkabau tercermin dalam pepatah petitih dan kebiasaan
hidup berdemokrasi dalam sejarah perjalanan suku Minang dengan dua sistem yaitu Sistem
Bodi Caniago dan Sistem Koto Piliang. Pandangan hidup orang Minangkabau yang Adat
Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah. Hal ini menunjukan ketaatan akan nilai dan
ajaran agama Islam terpatri dalam kebiasaan hidup dan budaya Minangkabau.
Budaya lain di Minangkabau yang positif dan dapat diangkat dalam kepemimpinan antara
lain ; tagak samo tinggi dan duduak samo randah, nan buto pambasuh lasuang, nan
pakak palapeh badia, nan lumpuah pauni rumah, nan bingunang di suruah-suruah, nan
kuaek pambaok baban, nan cadiak lawan barundiang, dll. Budaya seperti ini perlu bagi
seorang pemimpin di ranah Minangkabau dalam kepemimpinannya.
Melihat fenomena di atas penulis ingin membahas mengenai bagaimana pola kepemimpinan
yang efektif di Ranah Minang.
2. Minangkabau, adat dan budaya
Minangkabau atau yang biasa disingkat Minang adalah kelompok etnis Nusantara yang
berbahasa dan menjunjung adat Minangkabau. Wilayah penganut kebudayaannya meliputi
Sumatera Barat, separuh daratan Riau, bagian utara Bengkulu, bagian barat Jambi, pantai
barat Sumatera Utara, barat daya Aceh, dan juga Negeri Sembilan di Malaysia. Dalam
percakapan awam, orang Minang seringkali disamakan sebagai orang Padang, merujuk
kepada nama ibu kota provinsi Sumatera Barat yaitu kota Padang. Namun, masyarakat ini
biasanya akan menyebut kelompoknya dengan sebutan urang awak, yang bermaksud sama
dengan orang Minang itu sendiri.
Menurut A.A. Navis, Minangkabau lebih kepada kultur etnis dari suatu rumpun Melayu yang
tumbuh dan besar karena sistem monarki, serta menganut sistem adat yang khas, yang
dicirikan dengan sistem kekeluargaan melalui jalur perempuan atau matrilineal, walaupun
budayanya juga sangat kuat diwarnai ajaran agama Islam, sedangkan Thomas Stamford
Raffles, setelah melakukan ekspedisi ke pedalaman Minangkabau tempat kedudukan
Kerajaan Pagaruyung, menyatakan bahwa Minangkabau adalah sumber kekuatan dan asal
bangsa Melayu, yang kemudian penduduknya tersebar luas di Kepulauan Timur.
Minangkabau, sering dikenal sebagai bentuk kebudayaan dari pada sebagai bentuk negara
yang pernah ada dalam sejarah. Secara umum, perkataan Minangkabau mempunyai dua
pengertian, pertama Minangkabau sebagai tempat berdirinya kerajaan Pagaruyung. Kedua,
Minangkabau sebagai salah satu kelompok etnis yang mendiami daerah tersebut.
Kerajaan Pagaruyung yang pada masa dahulu pernah menguasai daerah budaya
Minangkabau, tampaknya tidak banyak memberikan atau meninggalkan pengaruh yang nyata
terhadap budaya rakyat Minangkabau sampai sekarang. Dewasa ini, kharisma kerajaan
Pagaruyung telah terlupakan begitu saja oleh masyarakat minangkabau. Istilah Minangkabau
tidak lagi mempunyai konotasi sebuah daerah kerajaan, akan tetapi lebih mengandung
pengertian sebuah kelompok etnis atau kebudayaan yang didukung oleh suku bangsa
Minangkabau.
Realitas yang berkembang di tengah masyarakat (terutama orang luar minangkabau), kata
Minangkabau sering diidentikkan dengan kata Sumatera Barat pada hal secara subtantif
keduanya mempunyai makna yang berbeda. Sejarah menunjukkan, bahwa daerah geografis
Minangkabau tidak merupakan bagian daerah propinsi Sumatera Barat. Sumatera Barat
adalah salah satu propinsi menurut administratif pemerintahan RI, sedangkan Minangkabau
adalah teritorial menurut kultur Minangkabau yang daerahnya lebih luas dari Sumatra Barat
sebagai salah satu propinsi.
Minangkabau dalam pengertian sosial budaya merupakan suatu daerah kelompok etnis yang
mendiami daerah Sumatera Barat sekarang, ditambah dengan daerah kawasan pengaruh
kebudayaan Minangkabau seperti : daerah utara dan timur Sumatera Barat, yaitu Riau
daratan, Negeri Sembilan Malaysia, daerah selatan dan timur yaitu; daerah pedalaman Jambi,
daerah pesisir pantai sampai ke Bengkulu, dan sebelah Barat berbatasan dengan Samudera
Hindia.
Alam Minangkabau menurut penulisan historis tradisional dan pemahaman masyarakatnya,
mempunyai dua wilayah utama, yang keduanya berada dalam kekuasaan Kerajaan
Minangkabau. Wilayah utama pertama disebut dengan Luhak nan Tigo dan kedua disebut
dengan Rantau.
Saat ini masyarakat Minang merupakan masyarakat penganut matrilineal terbesar di dunia.
Selain itu, etnis ini juga telah menerapkan sistem proto-demokrasi sejak masa pra-Hindu
dengan adanya kerapatan adat untuk menentukan hal-hal penting dan permasalahan hukum.
Prinsip adat Minangkabau tertuang singkat dalam pernyataan Adat basandi syarak, syarak
basandi Kitabullah (Adat bersendikan hukum, hukum bersendikan Al-Quran) yang berarti
adat berlandaskan ajaran Islam.
Orang Minangkabau sangat menonjol di bidang perniagaan, sebagai profesional dan
intelektual. Mereka merupakan pewaris terhormat dari tradisi tua Kerajaan Melayu dan
Sriwijaya yang gemar berdagang dan dinamis. Hampir separuh jumlah keseluruhan anggota
masyarakat ini berada dalam perantauan. Minang perantauan pada umumnya bermukim di
kota-kota besar, seperti Jakarta, Bandung, Pekanbaru, Medan, Batam, Palembang, dan
Surabaya. Di luar wilayah Indonesia, etnis Minang banyak terdapat di Kuala lumpur,
Seremban, Singapura, Jeddah, Sydney,[12]dan Melbourne.[13]
Menurut tambo, sistem adat Minangkabau pertama kali dicetuskan oleh dua orang
bersaudara, Datuk Perpatih Nan Sebatang dan Datuk Ketumanggungan. Datuk Perpatih
mewariskan sistem adat Bodi Caniago yang demokratis, sedangkan Datuk Ketumanggungan
mewariskan sistem adat Koto Piliang yang aristokratis. Dalam perjalanannya, dua sistem adat
yang dikenal dengan kelarasan ini saling isi mengisi dan membentuk sistem masyarakat
Minangkabau.
Dalam masyarakat Minangkabau, ada tiga pilar yang membangun dan menjaga keutuhan
budaya serta adat istiadat. Mereka adalah alim ulama, cerdik pandai, dan ninik mamak, yang
dikenal dengan istilah Tali Nan Tigo Sapilin. Ketiganya saling melengkapi dan bahu
membahu dalam posisi yang sama tingginya. Dalam masyarakat Minangkabau yang
demokratis dan egaliter, semua urusan masyarakat dimusyawarahkan oleh ketiga unsur itu
secara mufakat.
7. Gaya Kepemimpinan
Setiap pemimpin pada dasarnya memiliki perilaku yang berbeda dalam memimpin para
pengikutnya, perilaku para pemimpin itu disebut dengan gaya kepemimpinan. Gaya
kepemimpinan merupakan suatu cara pemimpin untuk mempengaruhi bawahannya yang
dinyatakan dalam bentuk pola tingkah laku atau kepribadian.
Dari penelitian yang dilakukan Fiedler yang dikutip oleh Prasetyo (2006) ditemukan bahwa
kinerja kepemimpinan sangat tergantung pada organisasi maupun gaya kepemimpinan. Apa
yang bisa dikatakan adalah bahwa pemimpin bisa efektif ke dalam situasi tertentu dan tidak
efektif pada situasi yang lain. Usaha untuk meningkatkan efektifitas organisasi atau
kelompok harus dimulai dari belajar, tidak hanya bagaimana melatih pemimpin secara efektif,
tetapi juga membangun lingkungan organisasi dimana seorang pemimpin bisa bekerja dengan
baik.
Lebih lanjut menurut Prasetyo, gaya kepemimpinan adalah cara yang digunakan dalam proses
kepemimpinan yang diimplementasikan dalam perilaku kepemimpinan seseorang untuk
mempengaruhi orang lain untuk bertindak sesuai dengan apa yang dia inginkan. Selain itu
gaya kepemimpinan juga dapat didefinisikan sebagai pola tingkah laku yang dirancang untuk
mengintegrasikan tujuan organisasi dengan tujuan individu untuk mencapai suatu tujuan
tertentu. Menurut University of Iowa Studies yang dikutip Robbins dan Coulter (2002),
Lewin menyimpulkan ada tiga gaya kepemimpinan; gaya kepemimpinan otokratis, gaya
kepemimpinan demokratis, gaya kepemimpinan Laissez-Faire (Bebas Kendali).
Gaya kepemimpinan otokratis mendeskripsikan pemimpin yang cenderung memusatkan
kekuasaan kepada dirinya sendiri, mendikte bagaimana tugas harus diselesaikan, membuat
keputusan secara sepihak, dan meminimalisasi partisipasi karyawan. Gaya kepemimpinan
Demokratis/Partisipatif ditandai dengan adanya suatu struktur yang pengembangannya
menggunakan pendekatan pengambilan keputusan yang kooperatif. Dibawah kepemimpinan
demokratis bawahan cenderung bermoral tinggi, dapat bekerja sama, mengutamakan mutu
kerja dan dapat mengarahkan diri sendiri. Sedangkan gaya kepemimpinan Laissez-Faire
(Bebas Kendali) mendeskripsikan pemimpin yang secara keseluruhan memberikan
karyawannya atau kelompok kebebasan dalam pembuatan keputusan dan menyelesaikan
pekerjaan menurut cara yang menurut karyawannya paling sesuai.
8. Kepemimpinan Situasional
Pendekatan Situasional adalah pendekatan yang paling banyak dikenal. Pendekatan ini
dikembangkan oleh Paul Hersey and Kenneth H. Blanchard tahun 1969 berdasarkan Teori
Gaya Manajemen Tiga Dimensi karya William J. Reddin tahun 1967. Pendekatan
kepemimpinan Situasional fokus pada fenomena kepemimpinan di dalam suatu situasi yang
unik. Premis dari pendekatan ini adalah perbedaan situasi membutuhkan gaya kepemimpinan
yang berbeda. Dari cara pandang ini, seorang pemimpin agar efektif harus mampu
menyesuaikan gaya mereka terhadap tuntutan situasi yang berubah-ubah.
Pendekatan kepemimpinan situasional menekankan bahwa kepemimpinan terdiri atasdimensi
arahan dan dimensi dukungan. Setiap dimensi harus diterapkan secara tepat dengan
memperhatikan situasi yang berkembang. Guna menentukan apa yang dibutuhkan oleh situasi
khusus, pemimpin harus mengevaluasi pekerja mereka dan menilai seberapa kompeten dan
besar komitmen pekerja atas pekerjaan yang diberikan.
Dengan asumsi bahwa motivasi dan keahlian pekerja berbeda di setiap waktu, kepemimpinan
situasional menyarankan pemimpin untuk mengubah tinggi-rendahnya derajat tatkala
mengarahkan atau mendukung para pekerja dalam memenuhi kebutuhan bawahan yang juga
berubah. Dalam pandangan kepemimpinan situasional, pemimpin yang efektif adalah mereka
yang mampu mengenali apa yang dibutuhkan pekerja untuk kemudian (secara kreatif)
menyesuaikan gaya mereka agar memenuhi kebutuhan pekerja tersebut.
Kepemimpinan situasional menyediakan empat pilihan gaya kepemimpinan. Keempat gaya
tersebut melibatkan aneka kombinasi dari Perilaku Kerja dengan Perilaku Hubungan.Perilaku
Kerja meliputi penggunaan komunikasi satu-arah, pendiktean tugas, dan pemberitahuan pada
pekerja seputar hal apa saja yang harus mereka lakukan, kapan, dan bagaimana
melakukannya. Pemimpin yang efektif menggunakan tingkat perilaku kerja yang tinggi di
sejumlah situasi dan hanya sekedarnya di situasi lain.
Perilaku hubungan meliputi penggunaan komunikasi dua-arah, mendengar, memotivasi,
melibatkan pengikut dalam proses pengambilan keputusan, serta memberikan dukungan
emosional pada mereka. Perilaku hubungan juga diberlakukan secara berbeda di aneka
situasi.
Dengan mengkombinasikan derajat tertentu perilaku kerja dan derajat tertentu perilaku
hubungan, pemimpin yang efektif dapat memilih empat gaya kepemimpinan yang tersedia,
yaitu:
1) Telling Memberitahu
2) Participating Partisipatif
3) Selling Menjual
4) Delegating Delegasi
Menurut model ini, pemimpin harus mempertimbangkan situasi sebelum memutuskan gaya
kepemimpinan mana yang hendak digunakan. Kontijensi situasional pada model adalah
derajat Readiness (Kesiapan). Kesiapan adalah kemampuan pengikut untuk memahami tujuan
organisasi yang berhubungan dengan pekerjaan secara maksimal tetapi mampu dicapai dan
keinginan mereka untuk memikul tanggung jawab dalam pencapaian tugas tersebut.
Kesiapan bukanlah ciri yang tetap pada pengikut, melainkan bergantung pada pekerjaan.
Pengikut yang ada di sebuah kelompok mungkin punya kesiapan yang tinggi untuk suatu
pekerjaan, tetapi tidak dipekerjaan lainnya. Kesiapan pengikut juga bergantung pada seberapa
banyak pelatihan yang pernah diterima, seberapa besar komitmen mereka pada organisasi,
seberapa besar kemampuan teknisnya, seberapa banyak pengalamannya, dan seterusnya.
1) Gaya Telling (memberitahu)
Gaya memberitahu adalah gaya pemimpin yang selalu memberikan instruksi yang jelas,
arahan yang rinci, serta mengawasi pekerjaan dari jarak dekat. Gaya memberitahu membantu
untuk memastikan pekerja yang baru untuk menghasilkan kinerja yang maksimal, dan akan
menyediakan fundasi solid bagi kepuasan dan kesuksesan mereka di masa datang.
2) Gaya Selling (menjual)
Gaya menjual adalah gaya pemimpin yang menyediakan pengarahan, mengupayakan
komunikasi dua-arah, dan membantu membangun motivasi dan rasa percaya diri pekerja.
Gaya ini muncul tatkala kesiapan pengikut dalam melakukan pekerjaan meningkat, sehingga
pemimpin perlu terus menyediakan sikap membimbing akibat pekerja belum siap mengambil
tanggung jawab penuh atas pekerjaan. Sebab itu, pemimpin perlu mulai menunjukkan
perilaku dukungan guna memancing rasa percaya diri pekerja sambil terus memelihara
antusiasme mereka.
3) Gaya Participating (Partisipatif)
Gaya Partisipatif adalah gaya pemimpin yang mendorong pekerja untuk saling berbagi
gagasan dan sekaligus memfasilitasi pekerjaan bawahan dengan semangat yang mereka
tunjukkan. Mereka mau membantu pada bawahan. Gaya ini muncul tatkala pengikut merasa
percaya diri dalam melakukan pekerjaannya sehingga pemimpin tidak lagi terlalu bersikap
sebagai pengarah. Pemimpin tetap memelihara komunikasi terbuka, tetapi kini melakukannya
dengan cenderung untuk lebih menjadi pendengar yang baik serta siap membantu
pengikutnya.
4) Gaya Delegating (delegasi)
Gaya delegasi adalah gaya pemimpin yang cenderung mengalihkan tanggung jawab atas
proses pembuatan keputusan dan pelaksanaannya. Gaya ini muncul tatkala pekerja ada pada
tingkat kesiapan tertinggi sehubungan dengan pekerjaannya. Gaya ini efektif karena pengikut
dianggap telah kompeten dan termotivasi penuh untuk mengambil tanggung jawab atas
pekerjaannya.
10. Kesimpulan
Gaya kepemimpinan yang dijalankan oleh seorang pemimpin organisasi dapat mempengaruhi
semangat kerja karyawan organisasi tersebut. Karena gaya kepemimpinan yang dijalankan
dengan baik merupakan perwujudan dari kepemimpinan yang efektif, dan kepemimpinan
yang efektif dapat memberikan sumbangan pada peningkatan semangat kerja karyawan.
Pendekatan kebudayaan merupakan faktor sangat penting, karena menyangkut kajian
mengenai berbagai perilaku seseorang maupun kelompok yang beroreantasi tentang
kahidupan bernegara, penyelenggaraan pemerintahan, politik, hukum, adat istiadat dan
norma, kebiasaan yang berjalan yang dilaksanakan dan dihayati oleh anggota masyarakat
sehari hari dalam organisasi (formal dan informal).
Masyarakat Minang terkenal dengan pepatahnya; Duduak surang basampik-sampik, duduk
basamo balapang-lapang. Bulek aie dek pambuluah, bulek kato de mufakaiak. Dengan
demikian pemerintahan berjalan dan didukung oleh rakyat.
Pemimpin di alam Minangkabau adalah untuk ditinggikan seranting dan didahulukan
selangkah. Bajalan ba nan tuo, balaie ba nakhodo artinya seorang pemimpin dipilih untuk
diikuti. Ungkapan ditinggikan seranting dan didahulukan selangkah menunjukkan bahwa
antara pemimpin dan rakyat tidak ada jurang pemisah. Namun tidak ada dualisme dalam
kepemimpinan sebagaimana dengan pepatah Bajanjang naik batanggo turun atau
Kamanakan barajo ka mamak, Mamak barajo ka panghulu, panghulu barajo ka mufakat,
mufakat barajo ka nan bana, Nan bana badiri sandirinNyo
Kepemimpinan yang efektif memberikan sumbangan pada moral tenaga kerja, biasanya hal
ini mengakibatkan iklim yang tercipta dilihat oleh para tenaga kerja sebagai sesuatu yang
balans dengan keberuntungan psikologis mereka. Sebagai dampak nyata, dengan senang hati
mereka melibatkan diri dalam pekerjaan mereka. Tenaga kerja jarang sekali menyadari secara
persis mengapa ia merasa bebas untuk melibatkan diri sepenuhnya pada pekerjaannya.
Biasanya hal ini dapat menunjukkan fakta bahwa manajernya adalah rekan kerja yang
menyenangkan, sebagaimana tenaga kerja lainnya, pekerjaannya pun semakin
menyenangkan.
Namun yang terpenting seorang pemimpin juga harus menyadari hubungannya dengan staf
dan jika ada indikasi perlunya perbaikan, maka dengan segera harus mencari jalan untuk
mengoreksi dan memperbaiki hubungan tersebut.
Beberapa pertanyaan tentang hubungan anda dengan staf anda:
Apakah staf anda menerima kepemimpinan anda?
Apakah anda pimpinan atau boss
Apakah staf anda bersikap menerima terhadap pertolongan anda, atau apakah mereka
kelihatan meragukan intervensi anda tersebut?
Seberapa jauh anda membantu staf memahami maksud dari kualitas pelayanan? Apakah
terlihat bahwa pendidikan diperlukan? Apakah anda memanfaatkannya?
Apakah anggota staf sanggup mengikuti arahan anda? Seberapa jelas dan spesifikkah arahan
anda? Apakah anda menyampaikan semua informasi penting?
Apakah penugasan yang anda berikan terencana dengan baik? Apakah anda memanfaatkan
kemampuan setiap orang seluas-luasya?
Apakah anda memberikan perhatian lebih pada pekerjaannya atau pekerjanya? Apakah
anda bisa mengajarkan pekerja kapanpun diperlukan?
Dengan asumsi bahwa motivasi dan keahlian pekerja berbeda-beda, serta dengan keunikan
latar belakang adat dan budaya, khususnya di Minangkabau maka kepemimpinan situasional
merupakan pilihan bagi pemimpin, agar dapat mengarahkan atau mendukung para pekerja
dalam memenuhi kebutuhan bawahan yang juga bebeda-beda pula.
Dalam pandangan kepemimpinan situasional, pemimpin yang efektif adalah mereka yang
mampu mengenali apa yang dibutuhkan pekerja untuk kemudian (secara kreatif)
menyesuaikan gaya mereka agar memenuhi kebutuhan pekerja tersebut. Dapat dipahami
bahwa dengan adanya kepemimpinan yang efektif akan tercipta iklim yang kondusif bagi
karyawan untuk bekerja dengan senang hati, Dalam kondisi ini, pemimpin dirasakan bukan
hanya berperan sebagai supervisor namun juga menjadi rekan kerja yang menyenangkan.
11. Rekomendasi
Berdasarkan definisi-definisi kepemimpinan dan gaya kepemimpinan penulis menyarankan:
1. Kepemimpinan berarti melibatkan orang atau pihak lain yaitu para karyawan atau
bawahan, para karyawan atau bawahan harus memiliki kemauan untuk menerima arahan dari
pemimpin.
2. Seorang pemimpin yang efektif adalah seseorang dengan kekuasaannya mampu
menggugah pengikutnya untuk mencapai kinerja yang memuaskan. Kekuasaan itu dapat
bersumber dari: hadiah, hukuman, otoritas dan karisma.
3. Pendekatan kebudayaan merupakan faktor sangat penting, karena menyangkut kajian
mengenai berbagai perilaku seseorang maupun kelompok
4. Pemimpin harus memiliki kejujuran terhadap diri sendiri, sikap bertanggung jawab yang
tulus, pengetahuan, keberanian bertindak sesuai dengan keyakinan, kepercayaan pada diri
sendiri dan orang lain dalam membangun organisasi.
5. Seorang pemimpin di Ranah Minang harus cerdas, beriman dan bertakwa serta
berakhlahkul kharimah dapat menjadi suri tauladan bagi staf yang dipimpinannya.
DAFTAR PUSTAKA
http://armenzulkarnain.wordpress.com/1000-pepatah-petitih-minangkabau-angku-idrus-
hakimy-dt-rajo-panghulu/pepatah-petitih-minangkabau-1-%E2%80%93-100/
http://belajarpsikologi.com/tipe-tipe-kepemimpinan/
http://ceritarakyatnusantara.com/id/folklore/307-Asal-Mula-Nama-Nagari-Minangkabau
http://edukasi.kompasiana.com/2010/01/15/leadership-2/
http://id.wikipedia.org/wiki/Orang_Minang
http://www.cimbuak.net/content/view/1815/5/
http://www.sumbarprov.go.id/detail_artikel.php?id=141
http://www.minangforum.com/Thread-Cerdasnya-Orang-Minang-Memilih-Pemimpin
http://id.shvoong.com/business-management/marketing/2139031-pendekatan-situasional/
http://www.freequality.org/documents/knowledge/Situational%20Leadership%202.pdf
Kartono, Kartini. 2001. Pemimpin dan Kepemimpinan. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
M.S., Amir. 2011 Adat Minangkabau Pola dan Tujuan Hidup Orang Minang. Jakarta: Citra
Harta Prima
Rivai, Veithzal. 2003. Kepemimpinan Dan Perilaku Organisasi. Jakarta: Grafindo Persada.
Surbakti, Ramlan. 2010. Memahami Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia.
Thoha, Miftah. 1991. Perilaku Organisasi, Dimensi-dimensi Prima Ilmu Administrasi Negara.
Jakarta: Rajawali Pers.
Posted in Uncategorized
Tagged adat istiadat, budaya minangkabau, fenomena sosial, hukum adat, kepemimpinan
situasional, leadership, minang, perubahan sosial, ranah minang, situasional
Tinggalkan komentar
Posted in Uncategorized
Tinggalkan komentar
PENDAHULUAN
Keamanan adalah prinsip yang paling fundamental dalam pemberian pelayanan kesehatan
maupun keperawatan, dan sekaligus aspek yang paling kritis dari manajemen kualitas.
Keselamatan pasien (patient safety) adalah suatu sistem dimana rumah sakit membuat asuhan
pasien lebih aman, mencegah terjadinya cidera yang disebabkan oleh kesalahan akibat
melaksanakan suatu tindakan atau tidak mengambil tindakan yang seharusnya diambil.
Sistem tersebut meliputi pengenalan resiko, identifikasi dan pengelolaan hal yang
berhubungan dengan resiko pasien, pelaporan dan analisis insiden, kemampuan belajar dari
insiden, tindak lanjut dan implementasi solusi untuk meminimalkan resiko (Depkes 2008).
Tujuan dilakukannya kegiatan Patient Safety di rumah sakit adalah untuk menciptakan
budaya keselamatan pasien di rumah sakit, meningkatkan akuntabilitas rumah sakit,
menurunkan KTD di rumah sakit, terlaksananya program-program pencegahan sehingga
tidak terjadi pengulangan kejadian tidak diharapkan.
Mengingat masalah keselamatan pasien merupakan masalah yang penting dalam sebuah
rumah sakit, maka diperlukan standar keselamatan pasien rumah sakit yang dapat digunakan
sebagai acuan bagi rumah sakit di Indonesia. Standar keselamatan pasien rumah sakit yang
saat ini digunakan mengacu pada Hospital Patient Safety Standards yang dikeluarkan oleh
Join Commision on Accreditation of Health Organization di Illinois pada tahun 2002 yang
kemudian disesuaikan dengan situasi dan kondisi di Indonesia. Penilaian keselamatan yang
dipakai Indonesia saat ini dilakukan dengan menggunakan instrumen Akreditasi Rumah Sakit
yang dikeluarkan oleh KARS. Departemen Kesehatan RI telah menerbitkan Panduan
Nasional Keselamatan Pasien Rumah Sakit (Patient Safety) edisi kedua pada tahun 2008 yang
terdiri dari dari 7 standar, yakni:
1. Hak pasien
2. Mendididik pasien dan keluarga
3. Keselamatan pasien dan kesinambungan pelayanan
4. Penggunaan metoda metoda peningkatan kinerja untuk melakukan evaluasi dan program
peningkatan keselamatan pasien
5. Peran kepemimpinan dalam meningkatkan keselamatan pasien
6. Mendidik staf tentang keselamatan pasien
7. Komunikasi merupakan kunci bagi staf untuk mencapai keselamatan pasien
Untuk mencapai ke tujuh standar di atas Panduan Nasional tersebut menganjurkan Tujuh
Langkah Menuju Keselamatan Pasien Rumah Sakit yang terdiri dari:
1. Bangun kesadaran akan nilai keselamatan pasien
2. Pimpin dan dukung staf
3. Integrasikan aktivitas pengelolaan risiko
4. Kembangkan sistem pelaporan
5. Libatkan dan berkomunikasi dengan pasien
6. Belajar dan berbagi pengalaman tentang keselamatan pasien
7. Cegah cedera melalui implementasi sistem keselamatan pasien
Nursing is the protection, promotion, and optimization of health and abilities, prevention of
illness and injury, alleviation of suffering through diagnosis and treatment of human
response, and advocacy in the care of individuals, families, communities, and populations
(ANA, 2003). Berangkat dari definisi inilah, peran-peran perawat dalam mewujudkan patient
safety di rumah sakit dapat dirumuskan. Antara lain sebagai pemberi pelayanan keperawatan,
perawat mematuhi standar pelayanan dan SOP yang telah ditetapkan; menerapkan prinsip-
prinsip etik dalam pemberian pelayanan keperawatan; memberikan pendidikan kepada pasien
dan keluarga tentang asuhan yang diberikan; menerapkan kerjasama tim kesehatan yang
handal dalam pemberian pelayanan kesehatan; menerapkan komunikasi yang baik terhadap
pasien dan keluarganya; peka, proaktif dan melakukan penyelesaian masalah terhadap
kejadian tidak diharapkan; serta mendokumentasikan dengan benar semua asuhan
keperawatan yang diberikan kepada pasien dan keluarga.
WHO Collaborating Centre for Patient Safety pada tanggal 2 Mei 2007 resmi menerbitkan
Nine Life Saving Patient Safety Solutions (Sembilan Solusi Life-Saving Keselamatan
Pasien Rumah Sakit). Panduan ini mulai disusun sejak tahun 2005 oleh pakar keselamatan
pasien dan lebih 100 negara, dengan mengidentifikasi dan mempelajari berbagai masalah
keselamatan pasien.
Sebenarnya petugas kesehatan tidak bermaksud menyebabkan cedera pasien,tetapi fakta
tampak bahwa di bumi ini setiap hari ada pasien yang mengalami KTD (Kejadian Tidak
Diharapkan). KTD, baik yang tidak dapat dicegah (non error) mau pun yang dapat dicegah
(error), berasal dari berbagai proses asuhan pasien.
Solusi keselamatan pasien adalah sistem atau intervensi yang dibuat, mampu mencegah atau
mengurangi cedera pasien yang berasal dari proses pelayanan kesehatan. Sembilan Solusi ini
merupakan panduan yang sangat bermanfaat membantu RS, memperbaiki proses asuhan
pasien, guna menghindari cedera maupun kematian yang dapat dicegah.
Komite Keselamatan Pasien Rumah Sakit (KKPRS) mendorong RS-RS di Indonesia untuk
menerapkan Sembilan Solusi Life-Saving Keselamatan Pasien Rumah Sakit, atau 9 Solusi,
langsung atau bertahap, sesuai dengan kemampuan dan kondisi RS masing-masing.
Perhatikan Nama Obat, Rupa dan Ucapan Mirip (Look-Alike, Sound-Alike Medication
Names).
Nama Obat Rupa dan Ucapan Mirip (NORUM),yang membingungkan staf pelaksana adalah
salah satu penyebab yang paling sering dalam kesalahan obat (medication error) dan ini
merupakan suatu keprihatinan di seluruh dunia. Dengan puluhan ribu obat yang ada saat ini
di pasar, maka sangat signifikan potensi terjadinya kesalahan akibat bingung terhadap nama
merek atau generik serta kemasan. Solusi NORUM ditekankan pada penggunaan protokol
untuk pengurangan risiko dan memastikan terbacanya resep, label, atau penggunaan perintah
yang dicetak lebih dulu, maupun pembuatan resep secara elektronik.
KESIMPULAN
Hal yang dapat kita simpulkan adalah bahwa untuk mewujudkan patient safety butuh upaya
dan kerjasama berbagai pihak, pasien safety merupakan upaya dari seluruh komponen sarana
pelayanan kesehatan, dan perawat memegang peran kunci untuk mencapainya.
Posted in Makalah
8 Komentar
Juni 4, 2010
Movies
Posted in Uncategorized
Tinggalkan komentar
In developing countries, the probability of patients being harmed in hospitals is higher than in
industrialized nations. The risk of health care-associated infection in some developing
countries is as much as 20 times higher than in developed countries.
In recent years, countries have increasingly recognized the importance of improving patient
safety. In 2002, WHO Member States agreed on a World Health Assembly resolution on
patient safety.
More information
Posted in Uncategorized
Tinggalkan komentar
CHEST PHYSIOTHERAPY
CHEST PHYSIOTHERAPY
Mukus merupakan suatu lapisan protektif yang melapisi bagian dalam paru dan jalan napas
yang menangkap debu dan kotoran yang terdapat pada udara yang kita hirup dan mencegah
iritasi pada paru. Ketika terdapat infeksi dan iritasi, maka tubuh akan memproduksi mukus
yang kental untuk membantu paru-paru melepaskan diri dari infeksi. Bila mukus yang kental
ini menyumbat jalan napas, maka akan terjadi kesulitan bernapas. Sehingga untuk membantu
membuang ekstra mukus ini dilakukanlah Chest Physiotherapy.
Chest Physiotherapy terdiri dari Postural Drainage, perkusi dada, dan vibrasi dada. Biasanya
ketiga metode ini digunakan pada posisi drainase paru yang berbeda diikuti dengan latihan
napas dalam dan batuk.
A. Postural Drainage
Penumpukan sekresi saluran napas bila dibiarkan akan menimbulkan akibat yang serius.
Dapat timbul serangan batuk spasmodik akibat iritasi lokal, obstruksi bronkus, atelektasis,
infeksi paru, dan gangguan ventilasi perfusi
Postural Drainage merupakan pemberian posisi terapeutik pada pasien yang memungkinkan
sekresi paru mengalir berdasarkan gravitasi ke dalam bronkus mayor dan trakea dimana
selanjutnya dapat dibatukkan.
Indikasi:
Kondisi yang berkaitan dengan paru-paru: bronkitis, fibrosis kistik, pneumonia, asma, abses
paru, penyakit paru-paru obstruktif.
Profilaksis post-operatif torakotomi, stasis pneumonia
Profilaksis pada penggunaan ventilasi buatan jangka lama, kelumpuhan, dan pada pasien
dalam kondisi tak sadar
Kontra indikasi:
Peningkatan TIK
Segera setelah makan
Refleks batuk (-)
Penyakit jantung akut
Gangguan sistem pembekuan
Postural Drainage juga merupakan suatu rangkaian latihan non invasif yang digunakan
bersamaan dengan humidifikasi dan pengobatan.
Manipulasi ini dibentuk oleh kombinasi mekanis (perkusi dan vibrasi), gravitasi dan
mekanisme batuk. Pasien diletakkan dalam berbagai posisi sesuai dengan segmen paru yang
terlibat. Segmen paru yang akan didrainase ditempatkan setinggi mungkin dan bronkus utama
severtikal mungkin. Selanjutnya perhatikan gambar-gambar berikut ini untuk membantu
pengaturan posisi drainase paru.
Pasien harus dimonitor dengan cermat pada saat posisi kepala lebih rendah terhadap adanya
aspirasi, dispnea, atau aritmia. Pada pasien abses paru, hindari posisi pasien dengan lokasi
abses di sebelah atas karena akan menyebabkan pengaliran abses ke sisi paru lainnya.
Waktu yang diperlukan untuk tindakan ini bervariasi tergantung pada kondisi pasien (sekitar
20-30 menit). Selama pemberian posisi, pasien dianjurkan napas dalam 5 7 kali diselingi
napas biasa selama 1-2 menit.
Tindakan ini dapat dilakukan 4 sampai 6 kali sehari atau setiap 2 jam pada kasus sputum
banyak dan kental dan dilakukan sebelum pemberian makanan.
Untuk memfasilitasi drainase agar konsistensi sekresi paru yang kental menjadi lebih encer
perlu dipertahankan pemberian cairan yang adekuat (oral atau intravena) dan pemberian
medikasi mukolitik.
B. Perkusi
Perkusi dada meliputi pengetokan dada dengan tangan saat pasien berada pada posisi
drainase. Tujuannya adalah untuk membantu melepaskan sekret yang melengket pada dinding
alveoli sehingga dapat mengalir ke percabangan bronkus dan trakea.
Gallon (dikutip dalam Hudak & Gallo, 1998) menemukan bahwa perkusi yang dimasukkan
ke dalam program pengobatan secara bermakna akan meningkatkan kecepatan produksi
sekret.
Untuk melakukan perkusi dada, tangan dibentuk seperti mangkuk dengan mem-fleksikan jari
dan meletakkan ibu jari bersentuhan dengan telunjuk, atau posisi telapak tangan seperti saat
menampung air atau tepung kemudian dibalikkan.
Posisi pasien tergantung pada segmen paru yang akan diperkusi. Selanjutnya pada area yang
akan diperkusi dialas dengan handuk atau biarkan baju pasien tetap terpasang agar tangan
tidak menyentuh kulit secara langsung.
Perkusi dilakukan selama 3 sampai 5 menit untuk setiap posisi. Jangan melakukan perkusi
pada area spinal, sternum, atau di bawah rongga toraks. Bila perkusi dilakukan dengan benar
maka perkusi tidak akan menimbulkan rasa sakit pada pasien atau membuat kulit menjadi
merah. Bunyi tepukan menimbulkan suara yang khas menunjukkan posisi tangan yang benar
C. Vibrasi
Vibrasi meningkatkan kecepatan dan turbulensi udara ekshalasi untuk mendorong sekret dan
merupakan tindakan mekanik kedua setelah perkusi atau dapat digunakan sebagai ganti
perkusi bila dinding dada nyeri sekali.
Tujuan vibrasi adalah untuk membantu mengeluarkan sekret dan merangsang terjadinya
batuk. Getaran pada kulit akan sampai pada paru akan membantu menghilangkan mukus.
Stiller et al (dikutip dalam Hudak & Gallo, 1998) menemukan bahwa pasien-pasien yang
diterapi pemberian posisi, vibrasi, hiperventilasi, dan penghisapan menunjukkan resolusi dari
atelektasis yang lebih berarti dari pada yang diterapi dengan penghisapan dan hiperventilasi
saja.
Teknik vibrasi ini dilakukan dengan cara meletakkan tangan secara berdampingan dengan
jari-jari ekstensi di atas area dada segmen yang akan didrainase. Selanjutnya pasien diminta
untuk melakukan inhalasi dalam dan ekshalasi secara perlahan. Selama pasien ekshalasi, dada
divibrasi dengan cara kontraksi dan relaksasi cepat pada otot lengan dan bahu. Dapat juga
digunakan electric vibrator jika tersedia.
Daftar bacaan:
Basir, D dkk (1992) Naskah Lengkap Penanggulangan Asma dan TB Paru pada Anak dan
Dewasa. Padang: FK Unand
Hudak & Gallo (1998). Keperawatan Kritis Pendekatan Holistik. Jakarta : EGC
Wong, DL (1996). Wong and Whaleys Clinical Manual of Pediatric Nursing. St. Louis:
Mosby-Year-Book
Posted in Makalah
3 Komentar
Arsip
September 2013 (1)
Februari 2013 (1)
adat istiadat budaya minangkabau fenomena sosial hukum adat kepemimpinan situasional leadership minang perubahan sosial ranah
minang situasional
Kategori
Makalah
Uncategorized
Blogroll
Aktivasi Otak Tengah
Facebook
Global Dashboard
WordPress.com
WordPress.org